Cara Jadi HRD Profesional

5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Menciptakan lingkungan kerja yang setara, terutama dalam hal gender, memerlukan dukungan semua elemen tempat kerja. Salah satu pihak yang menjadi aktor utama pencapaian kesetaraan gender di tempat kerja adalah adanya Human Resources Department (HRD) alias departemen sumber daya manusia yang profesional.

Tugas HRD ini beragam, mulai dari, perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan karyawan, manajemen performa, penggajian, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, banyak sekali keuntungan untuk perusahaan jika perusahaan mulai memperbaiki kebijakannya agar lebih ramah terhadap pekerja perempuan. Ia mengakui memang masih banyak perusahaan menganggap memberikan akses lebih untuk perempuan di tempat kerja adalah biaya, padahal itu justru akan memberi perusahaan lebih banyak keuntungan. 

“Memberikan cuti melahirkan enam bulan, misalnya. Waduh, [mereka pikir] itu nanti cost-nya gimana? Padahal, kalau mereka bikin regression analysis aja, enggak semua perempuan dalam perusahaan itu akan melahirkan lagi. Dan belum tentu ada yang  berencana mau melahirkan, atau enggak juga dalam waktu yang bersamaan semuanya cuti melahirkan,” kata Maya kepada Magdalene dalam acara BiSiK Kamis di Instagram bertema “Women on Top: Tantangan dan Peluang“. 

Fakta lainnya, kesetaraan di tempat kerja juga membantu perusahaan untuk bertahan menghadapi pandemi. Legal Counsel Citi Indonesia serta Co-Chairwoman Citi Indonesia Women’s Network (IWN), Vera Sihombing mengatakan salah satu kunci agar perusahaan bertahan di tengah pandemi adalah mewujudkan  kebijakan serta kegiatan yang meningkatkan profesionalitas pekerja perempuan. 

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

“Perempuan merupakan pilar kemajuan perusahaan. Jadi perusahaan harus memberikan mereka kesempatan aktualisasi diri untuk mencapai pencapaian yang maksimal di kantor,” kata Vera.

Agar lingkungan kerja lebih setara gender, kami memiliki tips jitu buat kamu yang bekerja sebagai HRD profesional di perusahaanmu, berikut ini.

1. HRD Profesional Merekrut Karyawan Baru dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Beberapa kali kita melihat iklan lowongan kerja dengan syarat-syarat yang tidak relevan dan seksis, karena kaitannya dengan fisik calon pekerja, misalnya berpenampilan menarik, berusia tertentu, tinggi badan sekian, dan sebagainya. Padahal penampilan tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan seseorang dalam sebuah bidang. 

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Sebaiknya tidak menaruh hal-hal yang berkaitan dengan penampilan untuk syarat calon pelamar. Selain itu, di dalam proses rekrutmen, sebelum daftar para calon diajukan ke manajemen, sebaiknya nama dan gender disembunyikan dulu. Hal ini sangat membantu agar manajemen terhindar dari bias implisit. Pada tahap wawancara, pastikan ada keragaman opini di dalam ruangan. Dapatkan opini kedua dan ketiga. 

2. HRD Profesional Perlu Menerapkan Kebijakan yang Setara dan Adil 

Staf HRD profesional perlu berlaku adil dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Apa pun latar belakang karyawan dan gender karyawannya, HRD profesional harus merangkul perbedaan sebab tenaga kerja yang lebih beragam juga lebih menguntungkan. 

Kita juga perlu menanamkan pemahaman bahwa kebijakan yang adil gender akan menguntungkan kedua belah pihak baik pihak karyawan laki-laki maupun perempuan. Adakan juga pelatihan tentang kesetaraan gender di tempat kerja supaya cara pandangnya berubah.  

3. Tanamkan Keutamaan Work-Life Balance pada Karyawan

Bekerja memang sebuah kewajiban, tapi jangan sampai lupa istirahat. Para staf HRD profesional perlu menanamkan prinsip work-life balance kepada seluruh karyawan termasuk kepala-kepala divisi. Ingatkan mereka untuk saling menghormati waktu istirahat masing-masing apalagi jika sedang cuti. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Selain itu, HRD pun perlu jeli bahwa kondisi fisik dan mental antara karyawan perempuan dan laki-laki berbeda. Utamakan juga melihat permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dengan pendekatan dan perspektif gender, sebab sering kali permasalahan yang dihadapi tertutup oleh lapisan ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan.  

4. Buat Kebijakan dan SOP yang Ketat dan Efektif Terhadap Pelecehan dan Pelanggaran di Tempat Kerja

Ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama di berbagai perusahaan, sebab pelecehan seksual di perusahaan masih luput dalam pembicaraan. Sebagai HRD profesional, kita perlu membicarakan isu ini dengan serius. 

Dalam riset yang dilakukan oleh Never Okay Project di tahun 2018, hanya 4 persen perempuan pekerja yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Bahkan, sebanyak 40 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik di tempat kerjanya. Temuan lain dari riset tersebut sebagian besar pelakunya merupakan atasan atau rekan kerja senior. 

Angka tersebut merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus yang terjadi. Sering kali korban terhambat untuk melapor sebab tidak adanya standard operational procedure (SOP) khusus yang menangani isu kekerasan seksual. Jika pun ada, SOP tersebut masih belum memihak kepada korban. 

Baca Juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Karenanya, HRD profesional perlu membuat kebijakan khusus terkait dengan isu kekerasan seksual, dan yang terpenting kebijakan ini berpihak kepada korban. 

5. Dorong Kepemimpinan Perempuan 

Penting bagi HRD profesional untuk melihat apakah perusahaan sudah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mencapai pucuk kepemimpinan. Seperti yang kita tahu, jumlah pemimpin perempuan masih minim disebabkan oleh banyak tantangan salah satunya, beban ganda yang mereka emban. 

Untuk membantu mereka mencapai pucuk kepemimpinan perusahaan perlu memberikan dukungan terhadap perempuan, seperti misalnya waktu kerja yang fleksibel, dan layanan penitipan anak.

Read More
perempuan dalam iklan

Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

Beberapa tahun lalu, ada satu iklan cat merek lokal yang membuat dahi saya berkerut. Iklan tersebut memperlihatkan seorang perempuan menggunakan gaun putih sedang berjalan di taman dan memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman biru.

Sesaat setelah duduk, seorang tukang cat langsung berteriak “Awas cat basah” dan si perempuan langsung buru-buru mengangkat roknya hingga pahanya tersibak dan kamera menyoroti daerah pahanya.

Iklan ini hanya salah satu contoh yang memperlihatkan bahwa perempuan masih diseksualisasi dalam industri periklanan.

Isu dalam periklanan Indonesia dan global tidak hanya berhenti pada seksualisasi perempuan. Ada juga peran-peran gender kaku dalam skenario iklan yang memperkuat stereotip gender. Salah satu contoh yang paling legendaris adalah pada gambar kemasan kaleng biskuit Khong Guan, yang menggambarkan ibu beserta anak-anaknya yang sedang makan bersama ini banyak mengundang pertanyaan, “Loh, bapaknya ke mana?”.

Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Ilustrator gambar kaleng biskuit yang melegenda itu, Bernadus Prasodjo, mengatakan kepada media bahwa ia hanya mengikuti arahan dari pihak Khong Guan untuk gambar itu. Tapi ia punya teori sendiri: Itu cara Khong Guan untuk memengaruhi ibu rumah tangga agar membeli produk mereka. Jadi, karakter yang penting dalam ilustrasi tersebut adalah sang ibu, karena toh yang belanja ibu.

Dikutip dari laman Campaign setidaknya ada enam stereotip gender terhadap perempuan yang sering kali ditemukan dalam periklanan.

  1. Domestik obsessive: stereotip yang menggambarkan perempuan sangat bersemangat penuh energi ketika mengerjakan pekerjaan domestik yang biasanya berhubungan dengan membersihkan rumah.

  2. Selfless nurturer: stereotip karakter perempuan yang digambarkan mengutamakan keluarga ketimbang dirinya, biasanya karakter tersebut digambarkan sebagai seorang ibu.

  3. Sex object: Ini seperti yang terjadi pada iklan cat di awal, bagaimana karakter perempuan digambarkan sangat menggoda dengan atribut-atribut sensual.

  4. Unattainable goddes: perempuan digambarkan sangat sempurna, tidak ada kekurangan sama sekali secara fisik, sangat ideal tapi tidak realistis.
     
  5. The fraught juggler: stereotip karakter perempuan, khususnya ibu, yang digambarkan super sibuk dengan banyak pekerjaan yang ia kerjakan dari domestik hingga publik, dan ia terlihat tidak bahagia.

  6. The bit part: karakter perempuan hanya dijadikan peran pendukung karakter laki-laki.

Potret Laki-Laki yang Gagah dalam Iklan

Lalu bagaimana dengan laki-laki dalam skenario-skenario iklan? Bapak di kaleng Khong Guan menghilang entah ke mana, dan biasanya dalam iklan pembersih pakaian pun bapak juga absen. Apakah memang skenario tersebut masih relevan dalam situasi sekarang?  

Dalam podcast FTW Media episode “Stereotip Perempuan dalam Iklan”, Fauzan, dari komunitas Aliansi Laki-Laki Baru (ALB),  sebuah gerakan laki-laki untuk kesetaraan gender, mengatakan hingga saat ini ia masih belum melihat perubahan yang signifikan dalam iklan.

Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

“Meski terkadang ada beberapa konten menggambarkan perempuan di ruang publik seperti di perkantoran dan sekor bisnis, tetap saja mereka belum banyak digambarkan sebagai pembuat keputusan,” ujar Fauzan.

Ia menambahkan, laki-laki yang diposisikan di ranah domestik, mereka hanya digambarkan sebagai pembantu ibu atau bahkan cuma menonton televisi atau berkegiatan lain sementara ibu memasak.

“Pesan-pesan yang disampaikan dalam visual seperti ini bisa melanggengkan pemikiran patriarkal dalam masyarakat, dan sebetulnya sudah tidak relevan dengan keadaan seperti ini. karena pada kenyataannya peran laki-laki dan perempuan itu bisa dipertukarkan,” kata Fauzan.

Mengapa ini Terus Terjadi

Jika produsen dan pembuat iklan selalu berdalih bahwa iklan yang mereka buat sesuai dengan keinginan pasar, secara pribadi Fauzan merasa tidak terwakili oleh iklan-iklan seperti itu.

“Nyatanya yang ditampilkan dalam iklan tersebut jauh dari realitas yang ada, sebab peran laki-laki dan perempuan sangat cair banget dan bisa saling mengisi dan bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.

Sebagai konsumen, Fauzan mengatakan bahwa iklan yang masih menggunakan skenario yang stereotip gender seperti ini juga bisa mempengaruhi keputusan konsumen secara sadar atau tidak sadar.

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

“Iklan yang seperti itu bisa menimbulkan pengelompokan produk berdasarkan jenis kelaminnya misalnya, kebutuhan dapur itu yang tahu hanya perempuan, lalu iklan susu anak pun juga sama diperlihatkan hanya ibu saja yang paham. Ketika laki-laki ingin mencari referensi  soal produk-produk tersebut, ya dia jadi bingung sendiri,” katanya.

Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, mengatakan bahwa narasi-narasi penuh stereotip gender ini seperti lingkaran setan yang agak sulit untuk diputus sebab terkadang stereotip tersebut juga datang dari pihak produsen.

“Agak sulit untuk keluar dari konstruksi seperti ini. produsen dan biro iklan perlu melihat lagi  sekarang di masyarakat sudah ada perubahan loh. Laki-laki ada juga yang mengerjakan pekerjaan domestik dan perempuan yang bekerja. Ini kan menjadi menarik  ketika dihadirkan dalam sebuah iklan. Dan ini butuh waktu yang panjang untuk membongkar cara pandang seperti ini,” ujarnya.

Walaupun Kecil Perubahan Tetap Ada


Meski pekerjaan rumahnya masih sangat banyak, beberapa produsen dan biro iklan sudah memulai melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Salah satu iklan yang viral dibicarakan masyarakat adalah iklan kecap ABC dengan kampanyenya “Suami Sejati” yang menggambarkan para suami mulai memasak di dapur.

Eldon D’Cruz, Planning Lead dari  Eldon D’Cruz, Planning Lead VML&R, agensi pemasaran digital yang bekerja bersama kecap ABC dalam menggarap kampanye tersebut, mengatakan bahwa iklan yang progresif seperti kampanye ABC tadi lebih berarti bagi masyarakat sebab iklan tersebut bermakna. Hal ini secara otomatis menjadi pembeda bagi Band yang bersangkutan yang pada akhirnya berpengaruh juga pada market share serta penjualan.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

Sebetulnya sudah ada panduan bagi pengiklan dalam membuat iklan yang non-stereotip. Di Indonesia, panduan tersebut sudah tertuang dalam bentuk Etika Pariwara Indonesia yang dibuat oleh  Dewan Periklanan Indonesia yang anggotanya termasuk perusahaan pengiklan, perusahaan periklanan atau agensi, dan media periklanan.

RTS Masli, Mantan Direktur Eksekutif Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Ketua Umum Dewan Perguruan Periklanan Indonesia, aturan itu termasuk idak boleh mempertentangkan atau membiaskan kesetaraan hak gender dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.

“Contohnya nih ya, dari segi kewenangan, laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan yang setara,” kata Masli.

Read More
Nawal El Saadawi tutup usia

Nawal El Saadawi Aktivis Perempuan Legendaris dari Mesir

Aktivis perempuan terkemuka dari Mesir, Nawal El Saadawi, yang buah pikirannya telah menginspirasi dan memengaruhi banyak feminis di dunia, tutup usia pada Minggu, 21 Maret 2021. Semasa hidupnya, ia mengabdikan diri pada perjuangan membela hak perempuan, selain sebagai psikiater dan ahli kesehatan masyarakat.  

Baca Juga: Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Ia banyak sekali menulis tentang isu perempuan dalam Islam dan sangat menaruh perhatian terhadap praktik sunat perempuan dalam masyarakat Mesir, yang juga ia alami. 

El Saadawi adalah penulis produktif, telah menghasilkan lebih dari 55 buku yang mengangkat isu gender dalam masyarakat yang konservatif. Bukunya yang paling berpengaruh dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia adalah Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) pada 1975.

Profil Penulis Feminis Mesir Nawal El Saadawi 

Nawal El Saadawi lahir pada 27 Oktober 1931 di sebuah desa bernama Kafr Tahla dan merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. 

Pada tahun 1955 ia lulus sebagai dokter dari Universitas Kairo. Di tahun itu juga El Saadawi menikah dengan Ahmad Helmi yang ia kenal saat kuliah. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang anak bernama Mona Helmi. 

El Saadawi tak hanya mendedikasikan pengetahuannya di dalam dunia kedokteran untuk pelayanan kesehatan, namun juga untuk menyoroti masalah kesehatan perempuan secara fisik dan psikologis yang disebabkan oleh budaya opresif yang mereka terima, seperti patriarki dan opresi kelas. 

Baca Juga: Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

Ia mengamati secara langsung bagaimana opresi terhadap perempuan sangat memengaruhi kesehatan fisik dan psikologis mereka saat ia membuka praktik di kampung halamannya. Saat itu, salah seorang pasiennya mengalami kekerasan domestik dan ia mencoba untuk melindungi pasiennya tersebut. Setelah kejadian tersebut ia dipanggil pulang ke Kairo dan menjadi seorang direktur di Kementerian Kesehatan Masyarakat. 

Merupakan Penulis Kontroversial mengenai Feminisme

El Saadawi punya ciri feminisme yang sangat terbuka. Dia menulis soal topik-topik kontroversial di Mesir, termasuk isu poligami serta sunat pada perempuan.

Karena kritis pada pemerintah, ia sempat dipenjara, dan juga mengalami persekusi baik dari pihak pemerintah dan kelompok Islamis. Itu sebabnya pada tahun 1993, El Saadawi menempuh pendidikan di Universitas Duke, North Carolina, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi pengajar di sana selama tiga tahun. Ia juga menjadi pengajar di University of Washington. 

Tidak hanya di dua universitas itu saja, Saadawi juga memegang posisi seperti Universitas Kairo, Harvard, Yale, Columbia, Sorbonne, dan universitas bergengsi lainnya. 

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ia kemudian kembali ke Mesir dan memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2005. Tetapi rencana itu batal, terhalang oleh persyaratan yang super ketat untuk calon-calon baru. 

Buku-bukunya yang kritis sudah berhasil diterbitkan ke dalam banyak bahasa dan juga menjadi rujukan untuk para feminis Barat, termasuk kawannya, Gloria Steinem. Ia juga mengkritik kebijakan yang dianut para pemimpin negara seperti penyerangan mantan Presiden AS, George W. Bush ke Irak dan Afghanistan.

Karier Nawal El Saadawi sebagai Penulis dan Aktivis Pembela Hak Perempuan

Saat bekerja di Kementerian Kesehatan, pada tahun 1972, Saadawi menerbitkan sebuah buku berjudul Women and Sex yang mengonfrontasi serta mengontekstualisasi berbagai agresi terhadap tubuh perempuan, salah satunya praktik sunat perempuan. Buku ini menjadi salah satu fondasi gerakan feminisme gelombang kedua. Namun buku ini membuat Saadawi dipecat dari Kementerian Kesehatan.

Baca Juga: Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan dalam Pelantikan Presiden Amerika Joe Biden dan Kamala Harris

Setelah ia kehilangan posisinya di Kementerian dan Asosiasi Kesehatan Mesir, ia bekerja di Fakultas Kedokteran Ain Shams University pada 1973 hingga 1976. Pada 1979 hingga 1980, ia ditunjuk menjadi Penasihat PBB untuk program berkaitan dengan isu perempuan di Afrika dan Timur Tengah.

Tantangan Saadawi sebagai Aktivis Pembela Hak Perempuan 

Dari banyak advokasi yang ia jalankan dan sikap kritisnya terhadap pemerintah Mesir yang opresif saat itu, Saadawi dipenjara pada tahun 1981 Saadawi oleh Presiden  Mesir Anwar Sadat. Ia ditahan di penjara Qanatir.  

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Meski tubuhnya dipenjara, semangatnya untuk membela hak-hak perempuan tidak pernah padam. Ia dilarang memegang pensil atau alat tulis lainnya, tetapi ia tetap menuangkan pemikiran-pemikirannya pada kertas tisu toilet menggunakan pinsil alis. Ia dibebaskan tiga bulan kemudian dan pada tahun 1982 mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab. 

Fase ini menjadi salah satu basis dari memoarnya yang berjudul Memoirs from the Women’s Prison. Sembilan tahun sebelum ia dipenjara, ia pernah berkontak dengan salah satu tahanan di sana dan kontak ini menjadi sebuah inspirasi dari novel Woman at Point Zero

Read More
Nyai Masriyah Amva

Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

Masriyah Amva, biasa dipanggil Nyai Masriyah, adalah pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy di Cirebon, Jawa Barat. Beliau dikenal ramah serta sangat dikagumi oleh para santrinya, karena melakukan banyak terobosan. Ia adalah ulama perempuan inspiratif, namun tentu saja ia menghadapi banyak tantangan.

Dibesarkan di lingkungan pesantren, ayah dan kakek Nyai Masriyah adalah para ulama terpandang di Cirebon. Orang tuanya cukup progresif, sang ayah Amrin Khanan menginginkan semua anaknya menjadi ulama. Nyai Masriyah kemudian menimba ilmu di Pesantren Al-Muayyad Solo dan Pesantren Al-Badi’iyyah Pati di Jawa Tengah, serta Pesantren Dar Al-Lughah wa Da’wah di Bangil, Jawa Timur.

“Bapak ibu saya ini orang yang cerdas. Walaupun belum ada istilah ulama perempuan, dan meski anak-anaknya perempuan semua, mereka berdoa dengan keras anak-anaknya bisa menjadi ulama,” ujar Nyai Masriyah Amva, dalam wawancara dengan podcast How Women Lead.

Namun, tantangan pertama datang dari para kerabat yang mendorong orang tuanya untuk menikahkan Masriyah. Ini memang merupakan salah satu tantangan perempuan dalam berkarier. Masriyah akhirnya dinikahkan dengan seorang kiai pengasuh Pesantren Kebon Melati. 

“Kata pakde saya, sayang kalau dilewatkan mumpung ada laki-laki yang berilmu tinggi menginginkan saya. Pakde memaksa saya kawin. Di situlah orang tua saya merasa gagal mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan saya ulama perempuan,” ujar Nyai Masriyah.

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

Setelah menikah, Nyai Masriyah bersama dengan sang suami, Kiai Haji Muhammad, mendirikan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy. Namun, pada 2007, suaminya meninggal dunia, meninggalkan Nyai Masriyah dalam keadaan limbung.

Kepemimpinan Membumi Ulama Perempuan Masriyah Amva 

Dalam suasana berduka yang besar, Masriyah harus dihadapkan pada tanggung jawab keberlangsungan pesantren. Namun, saat itu banyak yang tidak mempercayai perempuan berkompeten menjadi pemimpin, sehingga banyak santri yang memilih untuk keluar. 

“Waktu itu saya kaget sekali saat santri-santri meninggalkan saya. Tapi saya terpaksa tampil walaupun saya tidak memiliki modal sosial, tidak dipercaya oleh masyarakat. Saya katakan kepada mereka, saya sudah menemukan pendamping saya, yaitu Allah SWT,” kata Nyai Masriyah.

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Di awal kepemimpinannya, ia banyak sekali mendapat cemoohan dari masyarakat, bahkan ulama-ulama besar. Nyai Masriyah kerap kali dihadapkan pada laki-laki yang melakukan mansplaining padanya, padahal saat itu ia sudah menjadi seorang pemimpin dan juga tidak kalah berilmu.

“Banyak sekali laki-laki yang menafikan kerja saya. Pernah ada yang datang ke rumah, ketika ada sebuah kegiatan semacam reuni. Enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba dia ngomong di depan saya, ‘Kamu tahu enggak kalau kamu itu nol besar. Kamu bukan siapa-siapa. Pesantren ini bisa berdiri dan berkembang karena anak-anak (santri laki-laki) dan berkat alumni yang solid’,” Masriyah mengatakan.

“Saya iya-iya saja,” ia menambahkan. 

Masriyah tidak menyangkal bahwa ada saat-saat dia merasa tidak percaya diri menjadi seorang pemimpin akibat hal-hal tersebut. Namun, ia tetap berteguh dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT agar selalu diberikan kekuatan.

Pemimpin Inspiratif Nyai Masriyah Amva Memimpin Pesantren Kebon Jambu di Kala Pandemi 

Sudah 13 tahun Nyai Masriyah Amva memimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy di Cirebon. Selain tantangan dari masyarakat, selama setahun ini ia juga menghadapi tantangan besar karena pandemi COVID-19. Pembelajaran yang seharusnya dilakukan secara tatap muka tidak bisa lagi dilakukan.

Pada empat bulan pertama pandemi, Nyai Masriyah Amva memutuskan untuk memberhentikan sementara semua aktivitas pesantren. Dengan sekuat tenaga dan penuh empati, Nyai Masriyah berusaha keras agar orang-orang yang bekerja di pesantren tetap bisa hidup. 

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

“Alhamdulillah, kami masih bisa memberi makan pekerja kami, dan bisa bertahan,” ujar Nyai Masriyah Amva dalam perbincangannya bersama dengan podcast How Women Lead. 

Nyai Masriyah tidak hanya bergulat menghidupi para pekerjanya. Warga di sekitar pesantren yang terkena dampak pandemi pun ia bantu dengan sepenuh hati. Ia membantu mereka dengan mempromosikan barang-barang yang dijual warga di grup-grup WhatsApp. 

“Ada yang jualan kerupuk , ikan asin, macem-macem lah. Jadi sampai sekarang situasi sudah normal perdagangan masih jalan. Kalau petani jamur, kita jualkan jamurnya, jagung, semua kita jalani,” ujarnya.

Setelah libur sekian lama, para santri kemudian datang bertahap untuk kembali mondok. 

“Minta surat kesehatan biasa. Kalau rapid e mahal ya, duitnya mereka enggak ada. Suhunya kemudian kita periksa, sampai sekarang sudah pada kembali semua,” ujarnya.

Masriyah Ulama Perempuan yang Ingin Jadi Perempuan Mandiri

Sebagai seorang ulama perempuan yang berteguh pada interpretasi ajaran Islam yang berkesetaraan gender, Nyai Masriyah bukanlah sosok yang suka memaparkan banyak teori. Ia lebih banyak mencontohkan dalam perbuatan sehari-hari atau lewat obrolan santai bersama santri dan guru. 

Baca Juga: Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

Masriyah selalu mendorong para santri perempuannya untuk selalu percaya diri dan tidak minder ketika berkompetisi dengan laki-laki. Hal ini juga merupakan salah satu contoh bagaimana mendidik anak perempuan menjadi pemimpin.

“Saya sering mengarahkan mereka bahwa perempuan dan laki-laki itu memiliki kesadaran dan kesempatan yang sama, kalau sandaran kita sama. Kalau perempuan bersandarnya kepada Tuhan, laki-laki juga begitu. Maka kekuatannya sama,” kata Masriyah

Selama 13 tahun, ulama perempuan Masriyah Amva bekerja sebagai pemimpin pondok pesantren. Ketika ada hal-hal yang membuatnya gundah, Masriyah menemukan ketenangan dalam bentuk menulis puisi. 

Hingga saat ini tercatat cukup banyak buku puisi karya Nyai Masriyah, termasuk Ketika Aku Gila Cinta, Cara Mudah Menggapai Impian, dan Matematika Allah.

Read More
Lian Gogali

Lian Gogali: Suara dari Perempuan Poso

Merlian “Lian” Gogali merupakan aktivis yang berfokus  membangun perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah, dengan memberdayakan perempuan di daerah yang pernah dilanda konflik mematikan tersebut. 

Baca Juga: Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Lian lahir di Taliwan, Poso pada 28 April 1978. Saat konflik Poso pecah pada akhir dekade 1990an dan awal 2000, ia sedang melanjutkan pendidikan masternya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia terpukul melihat dampak konflik pada masyarakat, terutama perempuan. 

Podcast tentang Tips Membangun Koneksi dan Kolaborasi ala Lian Gogali

Dari pengalaman tersebut, Lian pun bertekad untuk mencari tahu apa penyebab konflik tersebut. Ia melakukan penelitian untuk tesisnya dan mewawancarai perempuan dan anak-anak di Poso. Setiap komunitas ia tanyai dan ia perhatikan bagaimana mereka berinteraksi. Dari situ Lian menemukan bahwa para perempuan Poso turut andil dalam menciptakan perdamaian  antar komunitas. 

Setelah menyelesaikan tesisnya, Lian bekerja di beberapa lembaga swadaya masyarakat hingga akhirnya ia mendirikan Institut Mosintuwu pada 2010. Dalam wawancara bersama dengan podcast Indonesia, How Women Lead, Lian mengatakan fokus dari Mosintuwu Institute adalah emansipasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat Poso, melalui pemberdayaan perempuan dan anak.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Agar berjalan dengan lancar, Lian menggunakan metode dengan konteks lokal agar kurikulum sekolah pembaharu desa dari Mosintuwu Institute bisa relevan dengan perempuan Poso. Di sinilah Lian mulai memahami betapa membangun koneksi dengan warga lokal sangat penting untuk kemajuan desa. 

Membangun Koneksi dengan Menjadi Pendengar Aktif

Selama mengembangkan Mosintuwu Institute, Lian banyak mendapatkan pelajaran ketika berbincang dengan perempuan-perempuan Poso. Salah satunya adalah mengenai pentingnya mendengarkan secara aktif saat kita berbicara dengan orang lain. Menurut Lian,  mendengarkan berarti memberi ruang bagi orang terutama perempuan, untuk bersuara. 

Bagi Lian, mendengarkan itu bukan hanya upaya satu orang saja, tetapi dua orang yang memiliki kemauan untuk memahami hidup sehari-hari antara satu sama lain. Lian mengatakan, mendengarkan merupakan prinsip dasar dalam berkomunikasi.

Baca Juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

“Apalagi kalau kita mendengarkan cerita perempuan, itu seperti radio, padat sekali frekuensinya. Nah, untuk mendapatkan saluran yang tepat, kita perlu berhati-hati karena lapisannya banyak. Sering kali apa yang dibicarakan perempuan itu malah bukan suara mereka,” ujar Lian kepada How Women Lead

Suara perempuan sering kali tidak terdengar, menurutnya, karena mereka mengadopsi suara-suara di sekitar mereka yang sebagian besar adalah laki-laki. Padahal, Lian melihat bahwa perempuan memiliki suaranya sendiri serta memiliki cara berpikir sendiri. 

“Nah, di sekolah ini pelajaran paling pertama adalah belajar mendengarkan. Sebab mendengarkan itu sulit, soalnya semua orang ingin bercerita,” kata Lian. 

Lian Gogali: Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Membangun Koneksi

Sebelum kita menyadari pentingnya mendengarkan secara teliti dan tekun apa yang ingin lawan bicara kita sampaikan, Lian menyadari ada beberapa pilihan bahasa atau slogan yang digunakan oleh lawan bicara kita, dan kita perlu memahami pilihan bahasa tersebut.

“Misalnya, kata damai. Ketika berbicara tentang damai, damai yang mereka bicarakan itu adalah damai yang ditawarkan kepada mereka untuk mereka mini sebagai keyakinan mereka. Kita perlu memeriksa betul konsep bahasa yang digunakan oleh perempuannya, apakah memang benar konsep tersebut benar-benar apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Lian.

Baca Juga: Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Menurutnya, penggunaan bahasa yang dekat dengan lawan bicara kita adalah salah satu jalan terbaik dalam membangun koneksi. Berdasarkan pengamatan Lian, selama ini pemerintah gagal terhubung dengan masyarakat sebab menggunakan bahasa yang tidak memiliki akar emosional dengan masyarakat.

“Apalagi kalau berkaitan dengan kebijakan nasional, yang paling dekat itu ngomongin soal social distancing saja, ini orang-orang desa bakal bertanya, loh itu apa? Apalagi kalau penjelasannya panjang dengan bahasa Indonesia. Itu yang membuat masyarakat memahaminya berbeda dengan yang kita tawarkan,” ujarnya.

Dari hasil pengamatan itu,  Lian pun jadi paham bahwa penggunaan bahasa lokal itu sangat penting dalam penyampaian informasi-informasi untuk warga desa.

Membangun Koneksi dan Memberdayakan Perempuan Poso

Berkat inisiatif yang dilakukan oleh Lian Gogali, saat ini banyak perempuan-perempuan Poso yang terbantu. Sekolah Perempuan dari Institut Mosintuwu tidak hanya mengajarkan cara mendengarkan yang baik, tapi juga bagaimana menguatkan ekonomi solidaritas antar perempuan. Hal ini Lian lakukan sebab ia ingin perempuan Poso mandiri secara ekonomi. 

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

“Ketika dipraktikkan di lapangan, dia enggak bisa sendirian. Mereka perlu juga bekerja bersama-sama. Salah satu contohnya pasar Salukaya yang didirikan oleh ibu-ibu di sekolah perempuan. Jadi kemampuan yang diajarkan di sekolah perempuan harus dapat menjawab konteks daerah tersebut. Dari sini terlihat ini ah pentingnya untuk berkolaborasi dengan semua pihak,” kata Lian

Read More
Perempuan dalam Periklanan

5 Hal yang Perlu di Pahami Soal Potret Perempuan dalam Periklanan Indonesia

Semua perusahaan berlomba-lomba membuat iklan yang menarik untuk menarik perhatian masyarakat agar produk mereka dikonsumsi dan meraup untung. Untuk membuat iklan, kita memang perlu mengetahui siapa target pasar kita. Nah, untuk meraih target pasar yang dituju, para pembuat iklan kerap kali terjebak dalam stereotip gender bahkan seksisme.

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Masih banyak iklan yang melanggengkan stereotip negatif terutama untuk perempuan. Dalam iklan-iklan bumbu dapur, misalnya, skenario umumnya adalah penggambaran perempuan dengan peran ibu yang sedang sibuk memasak dan terkadang suaminya muncul setelah pulang kerja, kemudian mencicipi makanan dengan gembira.

Dalam iklan produk rumah, misalnya cairan pembersih, perempuan juga tampil lebih banyak, hanya lagi-lagi dengan peran ibu yang sedang mencuci atau menjemur pakaian. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut tentang isu ini, kamu dengarkan podcast FTW Media yang secara lengkap mengupas isu perempuan dalam periklanan.

Memang enggak ada perubahan sampai sekarang? Ada sih, tapi iklan-iklan yang menantang atau meruntuhkan stereotip gender negatif masih sangat sedikit. Contohnya di tataran global adalah ketika Gilette, perusahaan pembuat pisau cukur, mengeluarkan iklan dengan jargon “The Best Men Can Be”, menggantikan jargon sebelumnya, “The Best a Man Can Get”. Iklan baru tersebut menggambarkan tentang bullying dan toxic masculinity, dan bagaimana bahwa laki-laki bisa lebih baik dari itu. Iklan ini banyak mendapat pujian, meski ada cemoohan tentunya. Satu hal yang pasti, perusahaan bisa kok membuat iklan yang keren sekaligus juga memutus stereotip negatif gender dalam masyarakat.  

Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang isu-isu terkait gender dalam periklanan. 

1. Perempuan dalam Iklan dan Karakter Ibu yang Mendominasi

Skenario iklan bumbu dapur atau iklan produk pembersih rumah tangga sering kali menampilkan  dengan karakter ibu yang tengah melakukan kerja domestik. Pun saat ada suami di rumah, biasanya sang suami cuma jadi tim hore saja, atau diperlihatkan sedang akan berangkat atau pulang kerja. Ini menguatkan peran gender normatif bahwa tugas-tugas rumah tangga hanya menjadi tugas seorang ibu.

Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Ketika pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia dan mengubah hidup kita secara drastis, iklan pun juga memperlihatkan perubahan itu. Tapi, lihat saja dalam iklan sebuah susu untuk anak terkenal, di situ lagi-lagi ditampilkan sang ibu, yang menemani anak sekolah online. Lantas, di mana sang ayah? 

Ini juga yang menjadi pertanyaan semua orang ketika melihat gambar legendaris di kotak biskuit Khong Guan yang cuma memperlihatkan ibu dan anak-anaknya. 

2. Karakter Laki-laki Selalu Digambarkan Tidak Paham Soal Urusan Rumah

Mengenai peran ayah di skenario periklanan, sebuah episode podcast Indonesia FTW Media juga membahas hal ini bersama dengan Aliansi laki-laki Baru, sebuah gerakan laki-laki untuk mendukung kesetaraan gender. Fauzan dari komunitas tersebut mengatakan, walaupun sudah ada perempuan yang digambarkan sebagai perempuan pekerja, namun tetap saja skenario perempuan yang mengambil keputusan masih minim.  

“Ini juga terjadi dengan peran laki-laki yang cuma digambarkan sebagai suami yang mencicipi masakan istrinya, atau bahkan nonton di saat istrinya lagi mencuci, ini sangat melanggengkan nilai-nilai patriarki dan sudah enggak relevan dengan masa kini,” ujarnya. 

Baca Juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Menurut Fauzan, peran sosial itu tidak ditentukan dari jenis kelamin, tetapi kemampuan si manusia. Faktanya, baik laki-laki dan perempuan peran mereka dapat dipertukarkan  sesuai dengan kebutuhannya.

“Saya merasa enggak terwakili dalam iklan-iklan yang berada di media, sebab ya skenario tersebut sudah enggak relevan dengan masa kini. Seharusnya penggambaran peran perempuan dan laki-laki sangat cair,” katanya.  

3. Pembagian Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Lanskap Periklanan Indonesia

Sebetulnya, sudah banyak penelitian yang memotret isu perempuan dalam periklanan. Salah satunya dilakukan oleh Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Dalam perbincangan dengan podcast FTW Media, Liestianingsih mengatakan bahwa secara keseluruhan, dari tahun ke tahun, periklanan tidak banyak perubahan. 

“Kita bisa lihat di produk-produk kecantikan, sabun, produk dapur, itu masih didominasi oleh peran perempuan, perempuan pun bukan perempuan pekerja, tapi ibu rumah tangga. Jadi masih tidak banyak berubah,” kata Liestianingsih. 

Ia menambahkan, jika produk tersebut ditujukan kepada target pasar laki-laki, skenarionya banyak berputar di peran laki-laki ranah profesional di ranah publik. 

Temuan lain dari Liestianingsih adalah, untuk produk sabun kewanitaan, perempuan masih tetap digambarkan di posisi submisif dengan tugas memuaskan suami secara seksual.

4. Standar Kecantikan Mustahil di Periklanan

Periklanan juga menguatkan standar kecantikan normatif dan toksik dalam masyarakat. Ini berakibat buruk terutama pada anak dan remaja perempuan. Lebih lengkap tentang hal ini dapat disimak di podcast FTW Media episode (Un)filter Me

Iklan-iklan produk perawatan kulit dan kecantikan masih menampilkan standar kecantikan warisan kolonial. Misalnya, bagaimana pernyataan “aku ingin cantik natural” dalam iklan-iklan itu adalah agar kulit cerah dan lebih putih. Iklan-iklan produk pemutih kulit ini yang masih marak juga tidak menghormati keragaman kulit perempuan, dan dengan jahatnya menyatakan dengan implisit bahwa “kamu tidak akan dicintai kalau kulitmu tidak putih.”

5. Iklan-iklan Keren yang Tampilkan Kesetaraan Gender 

Kabar baiknya, sedikit-sedikit ada iklan yang muncul dan sedikit membongkar stereotip gender. Salah satunya iklan ABC tentang kampanye suami sejati. Iklan tersebut pada intinya mengajak para suami untuk lebih banyak terlibat di dapur. 

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Kampanye ini didasari penelitian Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 75 persen pekerjaan rumah tangga  dibagi antara suami dan istri. Namun untuk urusan memasak, hanya 3 dari 10 suami saja yang membantu istri di dapur. 

Read More
Anne Patricia Sutanto

Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Sudah satu tahun dunia menghadapi situasi yang sangat berbeda akibat dari pandemi COVID-19. Banyak aspek kehidupan manusia yang berubah mulai dari mobilitas yang dibatasi, termasuk kehidupan para pekerja. Ketika Covid-19 merebak di seluruh dunia, tentu saja salah satu sektor paling terdampak oleh virus ini adalah sektor bisnis. 

Di Indonesia sendiri, pada tahun lalu Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan pertumbuhan ekonomi I dan kuartal II 2020 berada di angka minus 5,32 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memperkirakan ekonomi nasional berada di kisaran nol persen sampai minus 2 persen pada kuartal III. 

Baca Juga: Pebisnis Perempuan Grace Tahir dan Passion di Bidang Kesehatan

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu bisnis di Indonesia ketar-ketir, namun, ada salah satu perusahaan dari sektor garmen yang bertahan dan berhasil beradaptasi dalam situasi pandemi yaitu, PT Pan Brothers Tbk .

Di saat pandemi, perusahaan garmen ini justru mencatatkan penjualan sebesar US$326 juta sepanjang semester I 2020, naik 15 persen dari US$284 juta pada semester I tahun 2019. 

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam berkembangnya perusahaan Pan Brothers ini kala pandemi adalah Anne Patricia Sutanto, Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk. Dalam wawancara bersama podcast How Women Lead, Anne menceritakan salah satu keberhasilan Pan Brothers dalam menghadapi pandemi ini adalah kemampuan beradaptasi dan juga fleksibilitas perusahaan. Kedua sifat ini merupakan bagian dari ciri sifat kepemimpinan feminin yang juga sudah dijelaskan dalam episode podcast How Women Lead The Athena Doctrine.

Adaptasi Menjadi Modalitas PT. Pan Brothers Hadapi Pandemi

Perjalanan Anne selama malang melintang di dunia bisnis memang penuh dengan adaptasi, pelajaran yang ia ambil untuk bertahan dalam pandemi. Berbeda dari sektor lain yang memang mungkin bisa menerapkan kebijakan work from home, pabrik agak sulit menerapkan hal itu secara penuh.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

“Tidak semua bagian bisa melakukan work from home. Kita tetap meyakini bahwa kerja kita semua tetap sehat dan melalui protokol COVID-19 dan pencegahannya, itu yang kita jalani saat ini,” kata Anne. 

Ketika COVID-19 merebak di Cina, Anne sudah mengantisipasi bahwa hal ini pasti akan berdampak pada sektor bisnis, namun Anne tidak menyangka bahwa skalanya akan sebesar itu. Saat itu, perusahaan langsung berinisiatif untuk menerapkan protokol kesehatan dengan mengukur temperatur dan mewajibkan pemakaian masker walaupun di luar pabrik belum ada kewajiban itu. 

“Karena kita ini perusahaan garmen, kita mulailah dengan membuat masker untuk orang-orang kita sendiri untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang kita. Ya untuk proteksi kerjalah. Itu di awal Maret. Eh, tiba-tiba banyak teman-teman yang minta dibuatkan,” kata Anne.

Dari situ perusahaan itu melihat ini sebagai peluang karena permintaan yang tinggi. Mereka pun mulai memasok ke bagian retail Pan Brothers, tidak hanya masker untuk dewasa tapi juga masker untuk anak-anak. 

Profil Anne Patricia Sutanto 

Anne Patricia Sutanto tidak berniat untuk bergelut dalam dunia bisnis. Saat remaja, ia lebih tertarik dalam bidang hukum dan bertekad masuk sekolah hukum di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Namun, sang ayah menyarankan Anne untuk sekolah ke Amerika Serikat. 

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

“Saya berpikir ingin jadi bio-technologist karena ayah saya itu founder dari PT Kayu Lapis Indonesia. Ternyata paling cocok untuk jadi  bio-technologist itu, S1-nya either harus teknik kimia, kimia atau biologi. Dari situ saya memutuskan untuk mengambil teknik kimia,” ujar Anne pada How Women Lead.  

Di Amerika, ia bersekolah di University of Southern Californiia (USC) di tahun 1990. Ketika menginjak semester 2, ayahnya mengalami stroke. Akibatnya, perusahaan harus dijalankan oleh anak-anaknya, namun saat itu kakak Anne tidak bersedia.

“Saya ngomong ke Ayah, saya akan coba untuk melanjutkan (bisnis), tetapi saya mau lulus terlebih dahulu. Setelah itu, saya langsung ketemu rektor saya dan menyampaikan kalau saya ingin cepat lulus. Saya akhirnya dibuatkan program khusus dengan syarat GPA saya harus di atas 3,” ujar Anne.

Pada tahun 1992 Anne lulus kuliah dan sesuai dengan janjinya pada sang ayah, ia pun langsung bekerja di Kayu Lapis. Ia langsung menghadapi tantangan karena dianggap tidak memiliki latar belakang bisnis. 

“Saat itu om saya kurang menerima (keterlibatan saya) karena sebab itu. Ditambah lagi ia menganggap, saya ini perempuan, tahu apa soal bisnis laki-laki. Padahal saat itu saya menikmati pekerjaan saya yang harus ke lapangan seperti ke Kalimantan, Papua,” ujarnya.

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Dari situ Anne berpikir mungkin memang ilmunya memang masih minim dan ia memutuskan untuk mengambil program MBA di bidang finance di AS selama satu tahun. Setelah lulus ia kembali ke Kayu Lapis, namun ternyata pamannya tetap tidak menerima Anne. Ia pun didepak keluar di pertengahan 1996, dan ia pindah ke tempat lain.

“Saat itu saat saya mau dipanggil interview, paman saya dari pihak Ibu, yang memiliki PT Batik Keris, Pak Handirman, bilang ‘kamu bantu saya saja untuk mengakuisisi PT Pan Brothers’,” kenang Anne. 

Awalnya Anne memang sedikit enggan sebab tidak ingin menghadapi situasi kerumitan hubungan keluarga yang sama seperti di Kayu Lapis. Namun, sang paman menjanjikan akan memperlakukan Anne sama dengan pegawainya yang lain, dan ia akan membimbing Anne langsung.

Baca Juga: 11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

“Dia bilang, satu hal yang enggak boleh saya lakukan adalah mengadu ke ibu saya. Saya memang tidak pernah komplain, tapi jujur selama enam bulan itu, I have to say it’s the most painful experiences karena dari pagi sampai malam, pagi sampai malam, ngikutin dia, detailin due diligence Pan Brothers dan sebagainya,” kata Anne. 

Namun pengalaman itu menempa Anne, mematangkan kemampuannya dalam berbisnis dan beradaptasi dengan segala situasi sampai sekarang.

Read More
Herawati Sudoyo Ilmuwan Perempuan

Herawati Sudoyo Bicara Soal Tantangan Menjadi Ilmuwan Perempuan

Salah satu ilmuwan perempuan yang ikut andil dalam penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia adalah Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Lembaga Eijkman untuk Bidang Penelitian Fundamental. Sejak awal pandemi, keberadaannya di deretan Tim Pakar Medis Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menjadi sangat penting. Namun, dalam mencapai posisinya saat ini, Herawati mengalami banyak tantangan menjadi seorang ilmuwan perempuan. 

Baca Juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Berbicara dalam Podcast Indonesia  soal tantangan sebagai Ilmuwan Perempuan 

Dalam sebuah podcast Indonesia How Women Lead, Herawati menceritakan perjalanannya menjadi seorang ilmuwan perempuan dan bagaimana ia berkecimpung dalam keilmuan biologi molekuler yang saat itu terbilang bidang baru.

Sebetulnya, sejak kecil Herawati  Herawati memang menyukai dunia sains, tapi ia sebetulnya lebih menyukai bidang arsitektur dan desain interior. Namun, ia kemudian didorong keluarga untuk lebih memilih bidang medis dan Herawati akhirnya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Setelah mendapat gelar dokter, Herawati, yang saat itu bekerja di bagian biologi, Fakultas Kedokteran UI, merasa perlu melanjutkan studinya di dunia pendidikan. Ketika ia menempuh studi doktoral di Departemen Biochemistry Monash University pada 1990, untuk pertama kalinya ia jatuh hati dengan cabang ilmu baru yaitu biologi molekuler.

Podcast Indonesia Tentang Tantangan Sebagai Ilmuwan Perempuan

Biologi molekuler adalah cabang ilmu yang mempelajari keunikan makhluk hidup melalui bagian paling kecil, yaitu DNA dan RNA. Saat mempelajari ilmu ini, Herawati merasa benar-benar dibentuk dan berkembang secara optimal, dan ia merasa ini lah jalan untuknya. Namun, ketika menekuni keilmuan baru ini, ada tantangan yang dihadapi oleh Herawati. 

Baca Juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

“Bekerja di bidang yang baru ini membuat saya tidak memiliki panutan. Pada saat itu, orang banyak yang menganggap penelitian itu enggak penting,” ujar Herawati dalam wawancara bersama How Women Lead. 

Ilmuwan Perempuan Herawati Sudoyo Berjasa dalam Identifikasi Tersangka Bom Bunuh Diri Kedubes Australia

Salah satu pencapaian terbesar Herawati adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia pada 2004. Pada saat itu, Kepolisian Republik Indonesia ditantang untuk mengidentifikasi secara cepat siapa pelaku di balik bom bunuh diri ini.

Tragedi itu menewaskan 10 korban dan  melukai lebih dari 180 orang. Pelaku bom bunuh diri tersebut menggunakan mobil boks untuk mengangkut bom. Mobil tersebut hancur total dan tidak ada bagian badan yang memungkinkan untuk diidentifikasi menggunakan metode konvensional seperti sidik jari, gigi, hingga pengenalan wajah. 

Karenanya, identifikasi DNA-lah jawabannya. DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid, sebuah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti berisi tentang informasi-informasi dari orang tua.

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Setelah metode ditentukan, untuk membedakan mana pelaku dan korban, tim identifikasi mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan bagian-bagian kecil dari tubuh dengan basis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi keberadaan pelaku. Pelaku yang pasti dekat dengan bom, serpihan tubuhnya akan terlontar lebih jauh daripada korban.

Teknik yang dikembangkan oleh tim Herawati dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) ternyata terbukti ampuh. Jaringan tubuh dari tempat-tempat jauh memiliki profil yang sama dengan profil DNA keluarga yang dicurigai. Dalam waktu kurang dari dua minggu, tim Eijkman dan Polri berhasil mengidentifikasi pelaku. 

Herawati Sudoyo dan Beban Ganda Perempuan 

Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Herawati mengatakan, tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana ia bekerja dan meraih gelar doktornya sembari tetap mengurus anak. Ketika bersekolah di Australia, ia harus membawa kedua anaknya ke kampus. Saat itu ia mengambil gelar doktor di satu lab yang pada saat itu merupakan salah satu empat lab di dunia yang mengerjakan topik doktoralnya. 

“Saat itu yang saya rasakan benar-benar sangat kompetitif. Kita diminta untuk benar-benar berkonsentrasi pada pekerjaan. Tetapi di saat yang sama saya pun perlu mengurus anak. Kita harus belajar sendiri bagaimana berbagi konsentrasi pada pekerjaan kita. Saya menjalankan itu selama empat tahun,” ujar Herawati

Herawati “Kantor Perlu Dukung Ilmuwan Perempuan untuk Berkarier”

Dari pengalamannya itu, Herawati banyak sekali mendapat pengalaman dan bagaimana ia harus bersikap dalam memimpin anak buahnya. Ia paham bagaimana perjuangan-perjuangan ilmuwan perempuan untuk meraih posisinya dan terus berkarier.

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Ketika pertama kali memulai karier, banyak ilmuwan perempuan yang ia kenal mengundurkan diri dan memilih untuk mengurus keluarga. Hal ini menurutnya dapat diatasi dengan adanya dukungan dari kantor tempat ilmuwan tersebut bekerja.

“Ilmuwan perempuan harus di dukung dari luar serta dari dalam, yaitu keluarganya sendiri. Kalau itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi dia. Sebab di dalam dunia yang masih konservatif ini, walaupun perempuan memiliki karier tinggi ya tetap harus ingat tempatnya. Itu kata-kata yang dipakai untuk saya,” kata Herawati.  

Read More
Titi Anggraini dukung perempuan berkarier

Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Titi Anggraini percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan perempuan dalam kariernya adalah dengan adanya dukungan dari sesama perempuan itu sendiri. Perempuan kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia merupakan aktivis dan juga pengamat pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi, yang juga sanga tertarik pada isu perempuan dalam politik. 

Baca Juga: Gelap-Terang Rekam Jejak Aung San Suu Kyi dalam Politik Myanmar

Saat ini Titi Anggraini menjabat sebagai Dewan Pembina Organisasi Perkumpulan Pemilu untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem), setelah  10 tahun menjabat sebagai direktur eksekutif dari organisasi tersebut. Sejak di bangku perkuliahan, Titi memang memiliki minat terhadap isu pemilihan umum, dan sejak berkuliah ia sudah banyak terjun dan membantu dalam isu pemilu.  

Wawancara Titi Anggraini bersama How Women Lead Soal Perempuan dalam Politik

Dalam episode 5 podcast How Women Lead, Titi Anggraini banyak bercerita tentang pengalaman selama berkecimpung di dunia pemilu serta politik. Salah satu isu yang ia sorot adalah soal representasi perempuan dalam dunia politik.  Titi memahami bahwa ranah politik memang sangat maskulin dan masih belum ramah terhadap politisi perempuan. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh perempuan, saat ia ingin terjun ke dalam ranah politik, mulai dari ongkos politik, pengetahuan soal politik, dan lain-lain. 

Awal Karier Titi Anggraini 

Awal karier Titi memang sudah fokus dalam isu pemilihan umum. Pada tahun 1999 ia menjadi anggota panitia pengawas pemilu tingkat pusat pada 1999, mewakili Universitas Indonesia. Saat itu panas diisi oleh orang-orang berlatar belakang dosen dan mahasiswa. 

Di tahun 2005, bersama dengan para tokoh besar lainnya, Titi Anggraini mendirikan organisasi Perludem yang berfokus pada isu pemilihan umum dan demokrasi. Tokoh lainnya yang berada di balik Perludem adalah Topo Santoso, Prof. Aswanto, Didik Supriyanto, serta Prof. Komarudin Hidayat. Saat itu Titi ditunjuk untuk menjadi sekretaris eksekutif. 

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Namun, tentu saja dalam perjalanannya Perludem banyak mengalami hambatan, salah satunya karena orang-orang di balik Perludem memiliki kesibukan juga di luar organisasi. Pada 2008-2010, ketika Titi membantu Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai koordinator Tim Ahli, ia merasa bawa ia perlu membesarkan Perludem. Akhirnya setelah itu Titi diminta untuk fokus mengurus Perludem.  

Male Panel dan Kurangnya Representasi Perempuan dalam Politik

Semenjak mendalami isu pemilihan umum, Titi memang memberi perhatian pada isu perempuan dalam politik. Di periode 2019-2024 saja, dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya ada 118 anggota perempuan atau 20,52 persen. Memang jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, jumlah ini bisa dibilang meningkat, tetapi tetap saja kuota perempuan yang seharusnya 30 persen atau yang sering kali kita sebut politik afirmasi masih belum terpenuhi. 

Peraturan ini sudah tertera jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Sering kali perempuan dilihat hanya sebagai syarat jenis kelamin dan mengabaikan kapasitas, potensi, dan perspektif perempuan. 

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Tidak hanya soal kuota 30 persen, dalam podcast How Women Lead, Titi juga bercerita soal keprihatinannya terhadap rekan-rekan yang mengabaikan pentingnya representasi perempuan dalam panel-panel diskusi soal pemilu. Yang paling ia ingat adalah salah satu pengalamannya dengan  Hadar Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga memiliki perhatian dengan isu inklusivitas ini. Saat itu, pak Hadar menghubungi Titi untuk menjadi narasumber, sebab panel tersebut lebih banyak narasumber laki-laki. 

“Saya sengaja mengundurkan diri agar mbak Titi bisa menjadi narasumber di forum itu,” ucap Hadar pada Titi kala itu. 

Pentingnya Sisterhood untuk Karier Perempuan dalam Politik 

Di dalam lingkup politik, Titi menyadari pentingnya dukungan dari sesama perempuan agar karier perempuan dalam politik tersebut berkembang. Inklusivitas menjadi salah satu hal penting di dalam politik, baik perempuan maupun laki-laki berhak masuk dalam ranah politik. 

Sifat-sifat seperti welas asih dan merawat atau nurture menjadi salah satu hal yang Titi pegang dalam mengembangkan Perludem. Sejak ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perludem, Titi dikenal sebagai pemimpin perempuan yang berempati, dan peduli terhadap para koleganya. Titi juga selalu memberikan arahan serta mengajak seluruh teman-teman di Perludem untuk sama-sama mengembangkan Perludem. 

Titi merasakan betul bagaimana manfaat sisterhood dalam pengembangan kariernya. Ia mengakui bahwa penguatan di antara sesama perempuan itu sangat penting dalam berorganisasi. 

“Maka dari itu revitalisasi sisterhood itu jadi sangat penting buat saya, dalam arti untuk saling mengingatkan pada konsep integritas,  memberi ruang akses kepada sesama perempuan, tidak saling menjatuhkan, nah ini yang betul-betul harus dihadirkan,” ujar Titi Anggraini. 

Read More
perempuan dirundung online

Perempuan di Ujung Jempol Netizen

Berlindung di balik anonimitas, jempol warganet gampang banget menuliskan komentar-komentar jahat di akun-akun orang lain, terutama di akun perempuan. 

Episode 4 FTW Media

Kenapa perempuan lebih rentan di-bully di dunia maya, ya? Menurut Dhyta Caturani dari Purple Code, pandangan masyarakat yang masih misoginis telah berujung pada banyaknya ujaran-ujaran misoginis serta seksis di dunia maya. 

Waduh, apa ya dampaknya jika perisakan online seperti ini terus terjadi? Apa iya hanya dengan log out dari media sosial, semua akan beres? Bagaimana seharusnya kita menghadapi hal ini?

Simak selengkapnya dalam episode terbaru podcast FTW Media ini ya!

Read More