Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Disney Princess Stereotip

Penulis: Virginia García Beaudoux

Budaya pop bisa berpengaruh besar pada anak-anak, termasuk soal norma gender dan kepemimpinan perempuan.

Kebanyakan anak-anak berusia dua tahun mulai menggunakan kata ganti bergender dalam ucapannya. Selain itu, mereka juga perlahan-lahan mampu mengidentifikasi seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Saat menginjak usia tujuh tahun, anak-anak telah belajar banyak tentang apa yang diharapkan dari mereka berdasarkan sistem gender biner kita. Kebanyakan pembelajaran ini tidak disengaja dan disampaikan lewat budaya pop.

Beberapa tahun yang lalu, seorang peneliti dari Universitas Granada, Spanyol, menganalisis 621 karakter dari kedua jenis kelamin dari 163 serial kartun, termasuk Monster High dan Shin Chan. Ia menemukan bahwa sebagian besar perempuan diberikan posisi peran pendukung—sebagai pacar, ibu, atau pendamping dari tokoh pahlawan ataupun penjahatnya.

Tak hanya jarang menjadi tokoh utama, perempuan dalam kartun juga dibanjiri stereotip. Peneliti Spanyol menemukan bahwa kebanyakan tokoh perempuan dalam animasi ditempeli sifat materialistis, iri dan dangkal, terobsesi dengan tubuh, dan suka untuk menyenangkan orang lain.

Perempuan pemimpin dalam film Disney

Bahkan ketika menjadi karakter utama, tokoh perempuan dalam kartun Disney sering kali hanya menghidupkan pepatah-pepatah kuno tentang perempuan. Contohnya bisa ditemukan dalam film Pocahontas (1995). Disney memperlihatkan bahwa bahkan dalam film kartun pun, perempuan tidak bisa memiliki semuanya. Putri suku asli Amerika ini harus memilih antara sukses dalam sektor publik atau kehidupan romantis yang bahagia.

Lebih lanjut, beberapa penelitian studi menemukan bahwa di seluruh film putri yang diproduksi oleh Disney antara 1989 hingga 1999, tokoh laki-laki mendapatkan  dialog tiga kali lebih banyak dibandingkan tokoh perempuan.

Ahli linguistik di AS menemukan bahwa laki-laki berbicara 68 persen sepanjang film The Little Mermaid, 71  persen dalam film Beauty and the Beast, 90 persen dalam film Aladdin, dan 76 persen dalam film Pocahontas. Ariel, si putri duyung yang menjadi tokoh utama dalam The Little Mermaid, nyatanya memilih untuk tidak dapat berbicara selamanya demi seorang laki-laki.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Pelajaran-pelajaran ini diserap oleh anak-anak, yang sangat menyadari bahwa kebanyakan pahlawan super adalah laki-laki dan putri adalah perempuan. Hal ini menyebabkan semakin sulit bagi perempuan untuk mendapat contoh kepemimpinan bagi perempuan muda.

Tidak seperti pahlawan super, yang menggunakan kemampuannya yang luar biasa untuk melakukan sesuatu yang baik bagi masyarakat, putri-putri dalam kartun cenderung fokus pada permasalahan privat, bukannya pelayanan publik.

Disney menunjukkan perkembangannya sejak mereka memunculkan tokoh Snow White (1937) yang pasif dan Cinderella (1950) yang submisif. Beberapa tahun belakangan, pemimpin perempuan bermunculan dari studio tersebut. Yang paling terkenal adalah Mulan (1998) dan megahit 2013, Frozen.

Akan tetapi, pesan yang disampaikan tidak jauh berbeda dari kebanyakan stereotip Disney konvensional. Mulan adalah seorang prajurit Tionghoa yang berani, dihormati, dan dipatuhi oleh rakyatnya, yang semuanya beranggapan bahwa dia adalah seorang laki-laki, karena ia telah menipu mereka dengan memotong rambutnya. Intinya adalah, tampaknya untuk menjadi pemimpin yang baik, seorang perempuan harus terlihat dan bertindak seperti seorang pria.

Sementara, Frozen disanjung sebagai “bukan film Disney biasa” karena menggambarkan dua saudara perempuan yang tidak butuh ditolong oleh pangeran tampan. Dalam akhir film ini, Elsa dan Anna saling menyelamatkan dengan cinta persaudaraan mereka.

Walau demikian, Elsa, sang protagonis, memiliki kemampuan kepemimpinan yang meragukan. Sebagai anak tertua, dia bertanggung jawab untuk memerintah. Namun ketika ia gugup, dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Terlepas dari niat baiknya, dia tidak mampu menggunakan kekuatannya dengan baik. Hasilnya, ia membekukan kerajaannya dan menarik diri ke dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain, ia digambarkan tidak memiliki kecerdasan emosional.

Semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga.

Pelajaran dalam kepemimpinan perempuan

Apa yang telah kita pelajari dari berbagai produk budaya pop yang ada?

  1. Kepemimpinan adalah laki-laki.
  2. Perempuan adalah pemimpin yang lebih baik ketika ia terlihat dan berperilaku seperti laki-laki.
  3. Kehidupan publik yang sukses mengganggu kehidupan pribadi seorang perempuan.
  4. Ketika perempuan terlibat secara emosional, mereka kehilangan pemikiran rasionalnya, dan mereka gagal sebagai pemimpin.

Bukan hal yang mengejutkan bahwa pelajaran yang telah kita internalisasi sejak kecil diproduksi ulang setiap harinya oleh liputan media (orang dewasa), misalnya politisi perempuan yang menghadapi stereotip dan tantangan yang tidak dialami oleh kolega laki-lakinya.

Tapi tunggu dulu, kata beberapa pemerhati budaya, tidakkah kita berlebihan di sini? Menonton film Disney dan bermain menirukan karakternya hanyalah hal-hal kekanakan dan untuk kesenangan belaka.

Tidak persis begitu. Tahun lalu, para akademisi dari Universitas Brigham Young di Utah melakukan penelitian terkait tokoh-tokoh Disney, serta mewawancarai dan mengamati 198 anak laki-laki dan perempuan di taman kanak-kanak dan kelompok bermain.

Mereka menemukan bahwa semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga. Studi tersebut secara empiris memvalidasi kekhawatiran yang didiskusikan oleh para sosiolog dan feminis selama ini.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Menyadari bahwa kepemimpinan perempuan tidak digambarkan secara baik dalam masyarakat Barat, bukan berarti anak-anak tidak boleh terpapar produk budaya ini. Tidak masalah bagi seorang anak perempuan untuk bermain menjadi seorang putri, selama dia juga bisa menendang bola, membangun sesuatu dengan mur dan perkakas, bermain drum dan mengkhayal menjadi ilmuwan, insinyur, astronaut, atau pemadam kebakaran.

Begitupun sebaliknya. Bukan alasan bagi anak laki-laki yang suka berpakaian seperti pahlawan super untuk tidak bermain berpura-pura mengurus bayi, memasak makan malam, atau menyapu rumah.

Persepsi tentang gender (perempuan menyukai dapur, laki-laki bermain dengan senapan) dibentuk oleh apa yang diajarkan kepada kita ketika masih sangat muda. Orang dewasa harus memastikan bahwa kita tidak memaksakan pesan gender negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga harus berbicara dengan anak tentang makna dari hal-hal yang mereka lihat, untuk memastikan bahwa anak mereka paham bahwa para putri hanyalah salah satu dari contoh tokoh fiktif yang mengagumkan dan menginspirasi. Di luar itu terdapat Wonder Woman yang hebat, Velma yang Cerdas, dan Peppa-Pig (dijuluki sebagai “feminis yang aneh” oleh seorang blogger konservatif).

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Virginia García Beaudoux adalah profesor Komunikasi Politik dan Opini Publik, Universidad de Buenos Aires.