Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Kamala Harris baru saja ditetapkan sebagai wakil presiden Amerika Serikat terpilih mendampingi Joe Biden sebagai presiden, menjadikannya perempuan pertama, perempuan kulit hitam pertama, dan perempuan dengan ras campuran pertama yang menjadi wapres AS.

Tapi nama Kamala Harris bukan semata-mata besar karena persoalan representasi itu. Sepak terjangnya di dunia hukum dan politik sudah dirintisnya sejak puluhan tahun silam. Meski tak terlepas dari kontroversi, Harris memiliki banyak rekam jejak kebijakan dan advokasi yang tegas membela korban kejahatan, termasuk menyuarakan hak perempuan dan kelompok ras minoritas.

Harris lahir dari seorang ayah asal Jamaika dan ibu asal India. Keduanya fokus merintis karier di bidang akademik, membuat Harris terbiasa akrab dengan pentingnya intelektualitas. Kecerdasan dan sikap kritis Kamala sebenarnya sudah terlihat sejak usianya masih belia. Waktu masih berumur 13 tahun, bersama adiknya, Harris menggelar demonstrasi di depan gedung apartemen keluarganya sebagai bentuk protes dari kebijakan yang melarang anak-anak untuk bermain di sebuah lapangan berumput.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Kecerdasan serta semangat untuk melakukan aktivisme semakin terasah saat ia berkuliah di Howard University, sebuah universitas bagi warga kulit hitam ternama di Washington D.C., tempat dia mengambil jurusan ilmu politik dan ekonomi.

Harris kemudian melanjutkan ke sekolah hukum di University of California, Hastings College of the Law, dan menjadi presiden dari Asosiasi Mahasiswa Kulit Hitam dan advokat yang memperjuangkan keberagaman di kampus dalam Program Kesempatan Pendidikan Hukum.

Ia memulai kariernya di bidang hukum sebagai wakil jaksa wilayah di Oakland pada 1990 sampai 1998. Ia kemudian menjadi jaksa wilayah San Francisco pada tahun 2003 sampai 2007, jaksa agung California, sampai akhirnya menjadi senator California pada tahun 2016. Di sepanjang kariernya ini, Harris vokal membahas isu perempuan dan kesetaraan gender, seperti melawan kekerasan seksual dan membahas hak perempuan terhadap akses layanan kesehatan reproduksi.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Harris juga giat bersuara membela perempuan kulit hitam, yang hak-haknya masih sering dicederai sampai hari ini. Dia tak pernah ragu untuk menunjukkan kebanggaannya akan identitas dan latar belakangnya, entah sebagai perempuan kulit hitam maupun perempuan keturunan India, dan mencari mengajak perempuan-perempuan lain untuk mencintai diri mereka sendiri dan identitas yang mereka miliki.

“Ibu saya sangat sadar bahwa ia membesarkan dua anak perempuan kulit hitam, dan dia bertekad untuk memastikan kami tumbuh sebagai perempuan kulit hitam yang percaya diri dan penuh kebanggaan,” ujarnya.

“Ia juga mendidik kami agar mengenal dan bangga dengan akar India kami,” ia menambahkan.

Kamala Harris Melawan seksisme

Kepiawaian dalam berdebat dan berbicara menjadi ciri khas Harris. Ia berhasil membangun citra sebagai seorang pendebat yang karismatik, tangguh, juga mengintimidasi lawan bicaranya. Dalam sebuah kesempatan, misalnya, Harris pernah membuat Jaksa Agung Jeff Sessions tak berkutik karena pertanyaan dan pembawaannya yang tegas dalam sebuah percakapan mengenai investigasi Rusia. Citra diri ini pun kembali tercermin dalam debat calon wakil presiden AS, di mana ia menghentikan Mike Pence yang berusaha menginterupsi saat dirinya masih berbicara.

Waktu SMP, Kamala Harris berdemo di depan gedung apartemennya untuk memprotes kebijakan yang melarang anak-anak bermain di sebuah lapangan rumput.

“Bapak Wakil Presiden, saya sedang berbicara! Jika Anda tidak keberatan membiarkan saya selesai berbicara, maka kita dapat berdialog,” ujarnya.

Ucapan Harris itu pun menjadi ramai diperbincangkan dan dikutip di mana-mana, termasuk digunakan dalam berbagai diskusi mengenai seksisme dan ketidaksetaraan gender di ruang publik dan profesional yang menyoroti fenomena di mana laki-laki tidak menghargai dan mendengarkan suara perempuan, glass-ceiling, sampai sindrom double bind syndrome atau dilema yang mengikat.

Tentu saja di sepanjang kariernya, terlebih di masa kampanyenya sebagai wakil presiden, ada rentetan hambatan yang Harris harus hadapi, dan itu tidak terlepas dari bias-bias seksisme dari laki-laki yang menjadi rival politiknya. Presiden Donald Trump, misalnya, menyebut dirinya monster, komunis, dan seseorang yang benar-benar sulit disukai orang lain. Ada juga pendukung Trump yang menyebut Kamala “insufferable lying bitch”, serta deretan komentar buruk lainnya.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Terlalu dini memang untuk menyebut pencalonan serta kemenangan Kamala Harris ini sebagai sebuah fenomena besar di dalam koridor feminisme. Terlebih lagi mengingat karakteristik politik praktis yang tidak pernah terlepas dari tarik-menarik kepentingan di balik sebuah keputusan, serta politik identitas yang sudah menjadi ciri tersendiri dari dunia politik hari ini.

Tapi kita bisa menandai kemenangan Kamala sebagai momentum penting yang membangkitkan semangat perjuangan perempuan. Kemunculan Harris sebagai seorang perempuan kulit hitam dan birasial di kursi kepemimpinan yang tinggi patut disebut sebagai terobosan terhadap wacana inklusivitas di dunia politik, di mana seseorang yang berasal dari kelompok minoritas ternyata bisa menduduki posisi besar nan maskulin ini.

Sosok Kamala sendiri banyak menginspirasi perempuan dan anak-anak perempuan di seluruh dunia, bahwa dengan semangat dan kerja keras, perempuan bisa menjadi apa pun yang dia inginkan.

“Saya mungkin perempuan pertama di kantor (wakil presiden), tapi saya tidak akan menjadi yang terakhir,” ujarnya saat terpilih.

“Saya ingin perempuan muda dan anak perempuan tahu bahwa kalian punya kekuatan besar dan suara kalian berarti.”