menolak pujian karena kurang percaya diri

Di Balik Menolak Pujian: Rendahnya Kepercayaan Diri Hingga Budaya

Menerima dan mengakui pujian bukanlah perkara mudah. Setidaknya bagi Lisa, mahasiswa berdomisili di Yogyakarta. Mengucapkan “terima kasih” bukan jadi respons utamanya. Lisa justru mengelak dan menganggap kinerja baiknya terjadi karena tidak disengaja.

Salah satunya ketika perempuan 21 tahun itu magang di sebuah startup. Kemampuan Lisa dalam copywriting kerap disanjung. Kata atasannya, Lisa jago menulis dan memilih kata-kata. Namun, ia menanggapinya dengan mengatakan, “Enggak kok, cuma kebetulan.”

Lisa mengaku terbiasa menolak ketika dipuji sejak kecil. Meskipun senang dan enggak menyangka, ada perasaan di bawah tekanan dan takut dicap sombong, apabila mengakui kelebihannya. Karena itu, Lisa memilih merendahkan diri.

“Aku merendah dan menganggap itu bukan apa-apa, mungkin akan lebih diterima masyarakat,” ujarnya pada Magdalene, Selasa (15/11).

Bahkan, merespons dengan rendah diri tidak hanya dilakukan di lingkup tempat magang. Lisa melakukannya berulang kali. Misalnya ketika belajar kelompok dengan teman-temannya. Teman-teman Lisa memuji caranya menjelaskan mudah dipahami. Sementara di tempat kursus bahasa Inggris yang didirikannya, Lisa disebut mahir dalam menyusun materi modul.

Namun, tanggapan Lisa masih sama. Ia meyakininya kebetulan belaka–yang disebut Lisa success by accident. Lalu, apa yang membuat seseorang menolak pujian?

Baca Juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian

Alasan Kita Menolak Pujian

Ketika ditanya alasannya, Lisa menjawab kurang percaya diri. Pasalnya, ia sering dikritik orang lain, dan apa pun yang dilakukan selalu salah di mata orang lain. Hal-hal tersebut membuat Lisa berusaha meyakinkan orang lain, bahwa tidak memiliki kelebihan itu.

“Mungkin impostor syndrome ya, takut “nipu” yang muji karena aku nggak sejago yang mereka kira,” tuturnya.

Impostor syndrome yang disebutkan Lisa, merupakan kondisi ketika seseorang meragukan kemampuan dan prestasinya. Sebab, keberhasilan itu diyakini terjadi akibat keberuntungan, menimbulkan perasaan takut jika orang lain mengetahuinya.

Lisa pun khawatir tidak mampu mempertahankan performa kerja yang baik, ataupun mematahkan ekspektasi atasannya terhadap kemampuannya. Akibatnya, setiap pujian yang diberikan atasannya, membuat Lisa berada di bawah tekanan. Ia menginternalisasi perspektif yang dibangun atas kepercayaan diri yang rendah, sampai tidak dapat melihat kapabilitasnya. Bahkan, Lisa merasa tidak mampu melakukan sesuatu.

“Aku merasa paling enggak bisa apa-apa, kayak I don’t belong in the environment. Jadi enggak berani menyampaikan pendapat sama sekali,” katanya.

Perihal kepercayaan diri sebagai faktor seseorang menolak pujian, juga pernah disampaikan psikolog Guy Winch. Dalam tulisannya di Psychology Today, Winch menyebutkan, rendahnya kepercayaan diri membuat orang tidak nyaman ketika dipuji.

Ini disebabkan, pujian yang bertolak belakang dengan sistem kepercayaan dan pandangan diri sebagai individu. Alhasil, respons yang diberikan berupa penolakan, seperti Lisa yang menilai keberhasilannya adalah kebetulan.

Baca Juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Lebih dari itu, menurut Winch pujian dapat terdengar seperti sindiran. Penyebabnya sama, yakni persepsi terhadap diri sendiri yang menginternalisasi pandangan negatif. Seperti Lisa yang mengaku ada faktor internal, yang memengaruhi kepercayaan dirinya.

“Aku juga nggak pernah mengapresiasi milestone yang udah tercapai. Terus menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk diri sendiri, dan ngebandingin diri sama kehidupan orang lain,” jelasnya.

Namun, selain rendahnya kepercayaan diri, ada faktor budaya yang berperan dalam hal ini. Winch mencontohkan pada sejumlah negara, yang menormalisasi pada anak-anaknya. Umumnya pada negara-negara Barat, yang menganut budaya low context. Pasalnya, komunikasi di negara tersebut disampaikan secara eksplisit. 

Sementara negara-negara Asia, cenderung sulit mengekspresikan pujian. Hal ini dipengaruhi budaya high context–komunikasi yang tidak disampaikan eksplisit maupun fokus ke permasalahan. Maka itu, mungkin kamu termasuk yang jarang menerima pujian, seperti Lisa. Mahasiswa farmasi itu mengatakan, tidak pernah menerima apresiasi dari orang lain.

Sayangnya, menolak pujian dapat berdampak pada pengembangan diri. Lisa menyampaikan, hal ini dialaminya secara langsung. Pujian yang diterima dari atasan tidak membuatnya semangat untuk mengembangkan kemampuan, karena Lisa memandang kinerja yang baik bukan dihasilkan oleh kapabilitasnya.

“Aku nggak tahu points of improvement-nya, kira-kira apa yang bikin hasilnya bagus,” kata Lisa.

Lama-kelamaan, Lisa dapat menerima pujian itu dan mengubahnya sebagai sesuatu yang berdampak. Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya?

Baca Juga:Merdeka dari ‘Insecurity’ lewat ‘Self-Love’, Mungkinkah?

Belajar Menerima Pujian

Pada dasarnya, pujian dapat membuat seseorang merasa baik. Ini disampaikan oleh peneliti Keise Izuma, Daisuke Saito, dan Norihiro Sadato. Dalam riset Processing of Social and Monetary Rewards in the Human Striatum (2008), ketiganya menuliskan, ada reaksi yang timbul dalam otak ketika menerima pujian. Reaksi tersebut serupa dengan menerima penghargaan berupa uang.

Keuntungan lainnya adalah, pujian dapat membantu seseorang mempelajari kemampuan motorik dan perilaku baru. Sebab, memberikan pujian dapat membantu seseorang mengenali kapabilitasnya. Mungkin yang sebelumnya tidak disadari.

Contohnya Lisa, yang awalnya belum cukup aware dengan keahlian copywriting-nya. Setelah mengakhiri magangnya di perusahaan startup yang berlangsung selama enam bulan, ia mengetahui punya keahlian dalam bidang tersebut. Menurutnya, itu tercermin dari engagement konten di media sosial yang Lisa produksi.

“Awalnya kupikir kebetulan aja viral. Tapi aku notice ada pola yang bikin kontennya berhasil,” cerita Lisa.

Perubahan pola pikir hingga akhirnya menerima pujian bukan sesuatu yang mudah.  Menurut Lisa Schuman, pekerja sosial asal New York, menerima pujian dapat diawali dengan latihan bersyukur. Setelah itu, barulah hal-hal positif dapat dirasakan. Selanjutnya, akan lebih mudah mengucapkan terima kasih.

Kesadaran pada Lisa berawal dari feedback yang ditekankan atasannya, setiap ia mengirimkan hasil kerja. Lisa menceritakan, atasannya selalu menyebutkan kalimat berikut: “You have to own your work, negative or positive. Also celebrate your mistakes and accomplishments.”

Pengalaman Lisa menunjukkan, peran atasan sangat berperan dalam pengembangan diri pekerjanya. Pujian yang diberikan membantu pekerja untuk mencapai tujuan mereka. Sebab, pujian sekaligus jadi pengingat, sejauh mana kemampuan dan perkembangan karier seseorang.

Lisa pun mengamininya. Setelah mempertimbangkan ucapan atasannya, ia menyadari keberhasilannya dalam memproduksi konten media sosial, didasarkan pada kemampuannya menyesuaikan minat audiens. Yakni menyukai tulisan yang singkat dan berkesan bagi audiensnya.

Kini Lisa mampu menerima pujian dengan mengucapkan terima kasih, dan meminta feedback atas kinerjanya dari orang-orang tertentu. Setelah menerima kelebihan dan mengetahui aspek yang harus di-improve, Lisa berusaha mencari tahu contoh kerja yang baik, biasa saja, dan yang buruk berdasarkan variabelnya.

Read More
Rekan kerja

Jangan Datang dengan Kepala Kosong, 4 Alasan ‘Kepoin’ Calon Perusahaan

Wawancara adalah proses penting dalam rekrutmen kerja. Bukan hanya jadi ruang bagi calon pekerja mempromosikan diri, tapi juga mengidentifikasi apakah visi misi perusahaan selaras dengan tujuan pribadi.

Karena pentingnya wawancara kerja, kesempatan ini sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Apalagi mengingat ketatnya kompetisi berburu pekerjaan, sehingga pelamar kerja harus tampil menonjol ketimbang kandidat lainnya.

Walaupun dalam wawancara perekrut lebih banyak mempertanyakan tentangmu, riset terkait latar belakang perusahaan juga tak kalah penting. Berikut Magdalene merangkum empat alasan kamu perlu melakukan riset tentang perusahaan, agar mudah diterima dalam pekerjaan.

1. Siapkan Diri dan Tunjukkan Ketertarikan pada Calon Perusahaan

Selain mempersiapkan diri dengan mengetahui kemampuan dan pencapaian, untuk meningkatkan kesempatan diterima, kamu perlu menggali sejumlah informasi tentang perusahaan.

Hal itu diyakini membantumu lebih percaya diri saat menjawab pertanyaan, dan menunjukkan antusiasme untuk bekerja di perusahaan tersebut.

Bahkan riset perusahaan juga memberikan kesan baik bagi pewawancara, karena mereka tidak perlu menyampaikan informasi mendasar yang perlu diketahui. Sehingga, ini memberikan poin plus bahwa kamu memiliki inisiatif mencari informasi yang dibutuhkan.

Kamu bisa mencari tahu, berapa lama perusahaan itu bergerak, produk dan layanan yang diberikan, visi misinya, berita dan pencapaian perusahaan terkini, dan sosok yang memimpin.

Tak hanya memengaruhi penilaian yang memberikan nilai lebih, kamu juga semakin mengenal apakah bidang perusahaan itu bergerak, sesuai dengan ketertarikan, keinginan, dan kebutuhan dalam berkarier.

Baca Juga: 8 Tips Cara Membuat CV yang Menarik di Mata Perekrut

2. Mempelajari Kultur, Misi, dan Nilai Perusahaan

Meskipun kejujuran adalah salah satu kunci dalam proses wawancara, sebaiknya kamu menyesuaikan jawaban dengan kultur, misi, dan nilai perusahaan.

Ketika ditanya tentang alasan melamar pekerjaan tersebut misalnya, kamu dapat menjawab bagaimana posisi dan perusahaan itu akan berdampak signifikan pada perkembangan kariermu. Atau menjelaskan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan, sangat sesuai dengan ketertarikanmu pada industri tersebut, jika dibandingkan kompetitor.

Lebih dari itu, memahami kultur perusahaan akan memudahkanmu menyesuaikan diri saat proses wawancara. Contohnya dalam berpakaian, kamu tidak perlu mengenakan setelan jas apabila perusahaannya tidak begitu formal, tetapi memakai busana lainnya yang lebih kasual dan tetap rapi.

Atau yang tidak kalah penting adalah cara perusahaan memperlakukan pekerjanya, apakah mereka cukup inklusif atau diskriminatif dan tidak bisa melindungi para pekerja. Terlepas dari tingginya penghasilan, hal-hal tersebut juga perlu dipertimbangkan demi kesejahteraan diri selama bekerja.

Melansir Forbes, kultur merupakan aspek penting dalam perusahaan. Dari sini, nilai yang dipegang dapat teridentifikasi. Misalnya, perusahaan yang memprioritaskan pencapaian tujuan, akan mendorong pekerjanya untuk menentukan dan memenuhi tujuannya masing-masing.

Dari situ, kamu juga dapat melihat bagaimana mereka mempertahankan pekerjanya, sehingga minim turnover dan relasi di dalam tim lebih kuat, karena tidak perlu gonta-ganti pekerja.

Dengan demikian, kamu memperoleh gambaran lebih besar tentang perusahaan, dan mampu memperkirakan apakah itu tempat yang tepat untukmu bekerja.

Baca Juga: Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

3. Sesuaikan Diri dengan Perusahaan

Direkrut sebagai pekerja merupakan tujuan utama dari wawancara, sehingga kamu perlu menunjukkan diri sebagai orang yang tepat, agar diterima di perusahaan. Karena itu, saat melakukan riset, temukan aspek atau nilai yang diprioritaskan perusahaan, kemudian implementasikan lewat jawaban yang diberikan.

Terkait akuntabilitas contohnya. Jika mereka menghargai pekerja yang bertanggung jawab, jelaskan bagaimana di pekerjaan sebelumnya, kamu menentukan strategi untuk memenuhi target perusahaan, atau berusaha menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline.

Selain menyelaraskan kemampuan dan pengalaman dengan nilai yang dipegang perusahaan, pewawancara dapat menemukan kecocokkan karaktermu dengan kualifikasi pekerja yang dibutuhkan, sehingga mereka mampu menggambarkan kinerjamu bersama tim.

Baca Juga: Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

4. Siapkan Pertanyaan untuk Mengenal Perusahaan

Setelah proses wawancara dilakukan, umumnya user ataupun staf lainnya yang mewawancarai akan memberikan kesempatan bertanya. Sebagai calon pekerja, sebaiknya kamu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengetahui lebih dalam tentang lingkup perusahaan, maupun deskripsi pekerjaan.

Selain untuk menggali informasi lebih lanjut, momen ini juga membuktikan kesiapan diri dan kesungguhan, bahwa kamu berusaha membiasakan diri dengan perusahaan melalui riset. Namun, sebaiknya hindari sejumlah pertanyaan umum yang dapat ditemukan di internet.

Kamu dapat menanyakan hal-hal yang lebih relevan dengan cara kerja mereka. Misalnya tujuan yang ingin dicapai perusahaan dan bisa kamu lakukan untuk meraihnya, cara perusahaan mengimplementasikan budaya yang dipegang, performa yang diharapkan setelah setahun bekerja, atau upaya atasan mendukung kesuksesan pekerjanya, dalam bidang yang ditekuni.

Alhasil, pewawancara akan melihat semangatmu untuk terlibat dalam perusahaan, dan kamu mengetahui apakah tujuan perusahaan serupa dengan tujuan kariermu.

Sementara jika tidak mengajukan pertanyaan, kemungkinannya pewawancara akan menilai kamu tidak memiliki antusiasme untuk bekerja bersama mereka.

Read More

Tersandera ‘Glass Cliff’, Perempuan Pekerja Sulit Berkembang

Sampai saat ini bias gender relatif masih menyandera pekerja perempuan, khususnya di perusahaan yang didominasi laki-laki. Buntut bias ini membuat kemampuan mereka dipandang sebelah mata.

Bahkan jika ingin meniti karier lebih jauh, kebanyakan perempuan terjebak dalam keadaan stagnan. Penyebabnya, masyarakat mengondisikan mereka untuk tidak berkembang dalam karier, dan perusahaan turut berperan dalam hal ini.

Saat menghadiri Pesta Perempuan yang digelar Magdalene pada (26/3), Executive Director Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE) Maya Juwita menceritakan, salah satu perusahaan di bawah koalisi itu sempat enggan mempromosikan perempuan.

“Akhirnya mereka mempromosikan dua perempuan dari bagian sales, ke suatu daerah yang sales-nya nggak pernah nutup” ujarnya. “Setelah enam bulan, ternyata sales di sana menutup dari targetnya. Mereka menempati posisi ketiga dan keempat top sales di perusahaan.”

Peristiwa seperti yang dijelaskan Maya, merupakan contoh glass cliff. Itu merupakan kondisi ketika perusahaan mempromosikan perempuan untuk jabatan lebih tinggi, saat mengalami krisis atau sewaktu resesi, ketika kegagalan lebih mungkin terjadi.

Baca Juga: Bias Gender yang Harus Dialami Perempuan STEM

Kondisi tersebut umumnya diberikan kepada perempuan, karena perannya lebih mudah digantikan dan dikambing hitamkan. Pun jika kesuksesan diraih perempuan, akan membawa keberhasilan bagi perusahaan. Sedangkan jika gagal dan situasi di perusahaan memburuk, perempuan justru disalahkan dan laki-laki kembali ditunjuk mengambil alih peran tersebut.

Dalam Think crisis—think female: The glass cliff and contextual variation in the think manager—think male stereotype (2011) oleh profesor psikologi di University of Queensland, Australia S. Alexander Haslam, dkk., disebutkan, pada dasarnya perempuan tidak selalu diharapkan memperbaiki situasi. Acapkali, mereka diposisikan sebagai sosok yang dapat disalahkan atas kegagalan.

Pasalnya, perusahaan tidak ingin mengorbankan pekerjanya yang lebih potensial dan bernilai—dalam hal ini laki-laki. Namun, perempuan kerap menerima promosi tersebut karena tidak memiliki akses informasi terkait posisinya. Dalam hal ini, tawaran itu dianggap satu-satunya kesempatan mengembangkan karier, padahal mereka dianggap tidak berharga.

Maka itu, pekerja yang menerima promosi jabatan perlu menerima dukungan yang membantunya mengembangkan perusahaan. Karena apabila gagal membawa perusahaannya ke arah lebih baik, kemungkinannya perempuan akan meninggalkan perusahaan. Ini juga yang memperkuat stereotip tentang mereka yang kurang ahli dalam kepemimpinan, seperti disebutkan Investopedia.

Baca Juga: Kerap Dinomorduakan, Karier Perempuan Minim Harapan

Glass Cliff Merupakan Second-Generation Gender Bias

Glass cliff merupakan salah satu second-generation gender bias, yaitu bias yang tidak terlihat dan dilakukan secara tidak sadar, tetapi mendiskriminasi gender dan membentuk stereotip. Bias ini juga umumnya terjadi di perusahaan, misalnya ketika pemimpin perempuan diharapkan bersikap tegas, justru dipandang terlalu agresif dan dominan.

Sebenarnya bias ini mencerminkan nilai maskulinitas di dalam perusahaan, dan mengakar dalam kultur. Alhasil berdampak pada pengambilan keputusan proses rekrutmen, kesempatan promosi jabatan, dan penghasilan pekerja.

Pernyataan ini didukung oleh akademisi asal India, Vijay Grover, dalam Second generation gender bias: Invisible barriers holding women back in organizations (2015). Pada penelitian tersebut disebutkan, kesenjangan gaji merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia, dan lebih tinggi di beberapa negara. Seperti Korea mencapai 37,5 persen, Rusia sejumlah 32,1 persen, adn Estonia sebesar 27,9 persen.

Menurut Grover, pay gap itu adalah strategi untuk memengaruhi perempuan, agar memegang jabatan tinggi di perusahaan.

Belum lagi, sebagian perusahaan cenderung lebih menyukai pekerja yang memprioritaskan pekerjaan, dibandingkan keluarga. Kondisi ini menjadi hambatan bagi perempuan yang memikul beban ganda, tepatnya mengurus anak dan rumah tangga. 

Karena itu, mereka tidak memiliki waktu kerja yang cukup fleksibel, dan pekerja laki-laki kembali berdiri di bawah spotlight. Dan perempuan cenderung menginternalisasi bias tersebut, sehingga menganggap dirinya tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk meraih suatu jabatan.

Namun, sebetulnya tidak menutup kemungkinan second-generation gender bias dilakukan perempuan. Maya mengungkapkan, tanpa disadari ia melakukannya beberapa waktu lalu.

“Kami harus pergi ke Manila di pertengahan Mei. Nah, dua hari sebelumnya ada seorang staf yang menikah. Saya langsung bilang supaya dia jangan pergi, kan baru menikah,” ceritanya.

Bias seperti yang dilakukan Maya adalah contoh yang dilakukan atas dasar empati. Hal ini juga berlaku dalam beberapa kasus lainnya, seperti perusahaan yang tidak mengizinkan pekerja perempuan pulang malam hari karena dianggap membahayakan keselamatan. Padahal laki-laki juga sama rentannya untuk menjadi korban kejahatan.

Karena itu Maya menggarisbawahi. Yang terpenting dalam menangani second-generation gender bias adalah, bersikap terbuka dalam memberikan kesempatan, tanpa melihat latar belakang maupun gender pekerja.

“Yang penting pekerjanya ditanya dulu, jangan langsung memutuskan sendiri,” tegasnya.

Baca Juga: Bias Finansial: Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha

Investasi terhadap Pekerja Perempuan

Di sejumlah perusahaan dan divisi tertentu, mempekerjakan perempuan masih dianggap lebih mengeluarkan banyak biaya. Pasalnya, ada banyak kewajiban yang harus ditanggung, seperti cuti hamil, melahirkan, menstruasi, dan berbagai keperluan keluarga yang dilihat menghambat kinerja perusahaan.
Namun, Maya justru menilai sebaliknya. Menurutnya, ketika perusahaan mendukung karier perempuan secara maksimal, akan mendorong perempuan bersikap loyal dan memiliki kinerja tinggi. Ini bentuk investasi jangka panjang, yang akan memajukan perusahaan, baik dari segi sumber daya manusia dan keuntungan.

“Dia merasa dihargai karena perusahaan udah memperjuangkan banyak untuk dia,” ungkapnya. “Jadi dia akan stay sampe perusahaan enggak butuh lagi.”

Sayangnya, investasi ini kebanyakan masih dilakukan perusahaan global ataupun berafiliasi ke luar negeri, karena merupakan global movement. Salah satunya adalah The Body Shop, yang telah melakukannya selama 20 tahun. Kini perusahaan kosmetik asal Britania Raya itu telah menuai hasilnya, dengan fasilitas yang memudahkan perempuan, terlebih yang berperan sebagai ibu.

Sedangkan sejumlah perusahaan di Indonesia masih bersifat konvensional dan investasinya lebih mengarah pada infrastruktur.

“Kecuali ada business case yang menguntungkan,” kata Maya. Padahal, investasi pada sumber daya tidak dapat dihitung secara ekonomi.

Karenanya, diperlukan komitmen dan kebijakan secara struktural dari atas ke bawah, sehingga mindset mendobrak bias dapat dibentuk dan dilaksanakan. “Yang penting komitmen kuat, along the way bisa kok nemu caranya,” terang Maya.

Read More

‘Post-Graduate Depression’: Saat Lulusan Baru Berteman dengan Depresi

“Tia” sedang termenung di sudut kedai kopi dan segera menyeka air mata, ketika barista memanggil namanya. “Caramel macchiato ya,” tutur si pembuat kopi, menyodorkan minuman pesanan perempuan itu. Dengan cepat, ia mengambil dan kembali menjauhi keramaian untuk tenggelam dalam dunianya.

Manis yang dikecap di bibir bukan berarti menghapus kekalutannya. Ia masih saja bingung mempertanyakan identitas diri dan perjalanan karier yang akan dijalani kelak. Sebagai bright A student sewaktu bersekolah, Tia merasa dirinya bukan siapa-siapa begitu menghadapi dunia nyata.

“Dulu kan gue pinter, kenapa sekarang mereka yang dinas ke luar negeri dan punya jabatan tinggi?” tanyanya dalam hati. 

Sejak fresh graduate, ia bekerja di firma hukum di Jakarta selama dua tahun, dengan penghasilan enggak seberapa jika dibandingkan teman-temannya. Saking kecil gaji yang ia terima, sang ayah kerap mendesak untuk pindah pekerjaan.

“Akhirnya aku ambil S-2 dan resign dari kantor itu,” ceritanya pada Magdalene, (9/3). Dari berbagai alasan, perempuan 25 tahun itu mengaku, salah satunya untuk memvalidasi diri sendiri agar prestasinya tidak kalah dari teman-temannya.

Baca Juga: Mereka Bilang, Jadi Orang Dewasa Melelahkan

Kondisi yang dialami Tia selama setahun merupakan post-graduation depression, yakni perasaan cemas, depresi, stuck, dan tidak nyaman setelah lulus kuliah. Menurut konselor profesional berlisensi asal AS Libby O’Brien, hal itu lantaran perubahan fase kehidupan, dan seseorang tidak mengetahui yang akan terjadi ke depannya.

Melansir WebMD, ada beberapa faktor penyebabnya. Misalnya pandemi, membuat mahasiswa kesulitan berinteraksi dengan teman-teman dan dosen, maupun kehilangan kesempatan merealisasikan rencana hidupnya. Atau adanya tekanan dari diri sendiri maupun orang-orang di sekitar, tentang apa yang selanjutnya dilakukan.

Putri, dietary aide di care center di Toronto, Kanada, mengalami post-graduation depression karena kedua hal tersebut. Menekuni pendidikan di jurusan food and nutrition management, ia berencana bekerja dua tahun lalu melanjutkan pendidikan, orang tuanya perlu memfokuskan perhatian ke adiknya yang akan kuliah.

Sayangnya, ia harus memendam mimpi karena pandemi dan keuangan keluarganya tidak stabil. Alhasil Putri semakin ragu akan perjalanan kariernya.

There’s always clear milestones on what we achieve and what’s the next step,” ujarnya. TK terus SD, SMP, SMA, kuliah. What’s out there after this?”

Mengapa Transisi Hidup Sulit Dilalui?

Mengakhiri masa-masa perkuliahan adalah salah satu tahap perubahan dalam hidup, menghadapkan seseorang terhadap ketidakpastian. Menyebabkan perasaan tidak nyaman tanpa sebab, tidak termotivasi, merasa tidak mampu dan tidak berharga, hingga kesepian tanpa kehadiran teman dan keluarga.

Baca Juga: Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

Penulis dan psikoterapi asal AS Richard Joelson menjelaskan, masa transisi sulit dilalui karena memaksa seseorang untuk meninggalkan situasi familier, untuk menghadapi masa depan dengan perasaan rentan.

Menurutnya, kita hidup dalam budaya yang mengajarkan untuk tidak nyaman dengan ketidakpastian, menimbulkan kecemasan ketika hidup merasa terganggu. Karena itu, meskipun telah menyusun rencana, sesuatu di luar ekspektasi yang terjadi menyebabkan keresahan, dan mengharuskan untuk beradaptasi. Bahkan semakin sulit dilalui.

Situasi ini juga disebut liminality, atau keterbatasan. Didefinisikan sebagai keadaan ketika seseorang belum sepenuhnya meninggalkan suatu kondisi, juga belum berpindah ke yang baru, setidaknya tidak secara mental hingga menyebabkan ketidakstabilan emosional.

Dalam Life Is in the Transitions: Mastering Change at Any Age (2020) oeh Bruce Feiler, perubahan terjadi setiap 12 hingga 18 bulan. Dan yang berskala besar dapat terjadi sebanyak tiga hingga lima kali dalam hidup seseorang.

Pun pada masa transisi, perjuangan akan terasa lebih berat dan tidak bahagia. Seperti dirasakan Chris, seorang underwriting assistant di perusahaan asuransi. Hidupnya tidak begitu berarti karena pekerjaannya bertolak belakang dengan karier impiannya, di bidang perhotelan.

“Impossible nyari kerja di perhotelan, nggak ada yang hiring juga,” katanya. “Bikin gue desperate banget, akhirnya apply pekerjaan di semua perusahaan yang lagi buka,” sambungnya.

Selama beberapa bulan setelah lulus kuliah, laki-laki 23 tahun itu hanya menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa melihat prospek pekerjaan di masa depan. Kini ia mulai tertarik pada bidang asuransi, karena melihat banyaknya kesempatan berkembang, dan peluang menyukai pekerjaannya.

“Mungkin gue bakal berkembang di asuransi for the rest of my life,” ucapnya.

Mengatasi Post-Graduation Depression

Dalam bukunya, Feiler menjelaskan ketika transisi itu berhasil, seseorang mampu menemukan dirinya kembali. Karena ada berbagai cara yang bisa dilakukan, untuk terlepas dari post-graduation depression.

Pertama, mengevaluasi tingkat kontrol. Biasanya, seseorang dalam keadaan ini cenderung terfokus pada permasalahan yang terjadi, tanpa mempertimbangkan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Bahkan menyalahkan orang lain.

Baca Juga: Kenapa Memulihkan Diri dari Depresi Penting

Putri menyatakan sempat berada dalam lingkaran itu. Ketika ia menyadari ingin berkarier di bidang klinis pelayanan gizi, ia menyalahkan orang tuanya yang dianggap mendorongnya berkecimpung di bidang manajemen.

“I just need someone to blame the feeling of lostness within me,” katanya.

Padahal ketika fokusnya diubah, seseorang yang mengalami post-graduation depression akan melihat kesempatan yang terbuka untuk memberdayakan diri, dan memilih bergerak membawa perubahan.

Cara kedua adalah mencari kegiatan dan berelasi dengan orang baru, karena pertemanan dapat berubah seiring perubahan jarak dan waktu. Terlebih saat memasuki masa dewasa, memiliki kesibukan masing-masing dan membuat hubungan renggang.

Selain membangun koneksi, peluang itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menjalin pertemanan, melainkan memperluas koneksi.

Ketiga, menemukan prioritas dan fokus pada diri sendiri. Masa transisi dapat digunakan untuk berefleksi dan kesempatan untuk berkembang. Pasalnya, post-graduation depression juga dikarenakan membandingkan diri sendiri dengan lingkungan sekitar, menambah tekanan akibat perbedaan progres kehidupan.

Hal ini telah dilakukan Putri, yang memilih mengambil waktu sejenak untuk menganalisis situasinya. Perempuan yang akan melanjutkan pendidikan S-1 di Jakarta itu memutuskan, untuk berhenti membandingkan pencapaiannya dengan orang lain.

“I finally see there’s so much opportunity out there,” jelasnya.

Walaupun sempat merasa dikejar usia, ia menyadari dirinyalah yang mengendalikan hidup. Dan punya banyak waktu untuk merealisasikan karier idaman sesuai passion, sekalipun ia akan menyelesaikan pendidikan S-1 di usia 28.

“I’ll take my time, because I’m in a race with myself, not with someone else.”

Read More
cara jitu membangun karier

‘Love-Hate Relationship’ dengan Pekerjaan, Haruskah Karyawan Bertahan?

Begitu menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah, rasanya hampir setiap orang dihadapkan dua pilihan: Bekerja sesuai passion atau mengejar gaji tinggi demi bayar tagihan. Tak sedikit yang memilih opsi kedua, katanya realistis.

Pernyataan ini juga didukung hasil survei Capital One pada 2017, sebagaimana dilansir dari Forbes. Sebanyak 60 persen responden generasi milenial nyatanya termotivasi mendapatkan pekerjaan dengan cepat karena alasan keuangan. Sehingga, mereka mengesampingkan karier yang sesuai nilai-nilai pribadi, seperti kepentingan dan keyakinan diri.

Alhasil, kerapkali pekerjaan yang dilakukan setiap hari hanya sebagai “formalitas” sambil menunggu gajian tiba setiap bulannya.

Baca Juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Kondisi ini mengingatkan saya pada seorang teman, “Anas”, pekerja di perusahaan agensi. Ia sebenarnya ingin mengejar keinginannya bekerja sebagai jurnalis, tapi mempertimbangkan penghasilannya yang enggak seberapa, niat itu urung. Saat ia akhirnya memutuskan untuk mengejar uang di bidang kerja lain, ia sendiri mengaku tidak begitu menikmati tanggung jawabnya. Bahkan, ia ingin kembali mengembangkan kemampuannya dalam jurnalisme.

Dari kisah Anas, kita belajar, apabila pekerjaan hanya dilakukan dari hari ke hari untuk memenuhi kebutuhan finansial tanpa makna di dalamnya, pekerja cenderung tidak mencapai kebahagiaan atau karier impian.

Maka dari itu, kami merangkum empat langkah yang bisa kamu lakukan untuk membangun karier yang tidak dibenci.

1. Tentukan Tujuan Berkarier

Menduduki jabatan tinggi, berpenghasilan besar, bekerja di perusahaan ternama, punya bisnis sendiri, menjadi ahli di bidangnya, atau hidup berkecukupan serta sehat fisik dan mental. Hal-hal itu adalah beberapa contoh tujuan berkarier, yang sayangnya tidak dapat dipukul rata bagi setiap pekerja.

Semua itu dapat didasarkan pada sebuah kata tanya, “mengapa?”, yang jawabannya dapat digunakan sebagai pengambilan keputusan, dan membantu menemukan makna dalam pekerjaan.

Tentu bukan perkara mudah, untuk bertanya pada diri sendiri tentang tujuan karier. Namun, jawabannya tidak hanya memengaruhi kehidupan profesional, tetapi juga pribadi. Pasalnya, dalam kehidupan kita, keduanya saling beririsan dan berdampak satu sama lain.

Apabila kesulitan menemukan tujuan berkarier, kamu bisa memulainya dengan beberapa pertanyaan sederhana. Misalnya, siapa sosok yang menginspirasimu untuk melakoni pekerjaan ini, hal-hal yang paling berarti dalam hidup, perubahan yang ingin dicapai melalui pekerjaan, dan kapan kamu merasa paling bangga dengan diri sendiri.

Jika tujuan karier telah tergambarkan, kamu dapat membentuk langkah-langkah kecil yang membantu mencapai titik tersebut. Jangan lupa sebisa mungkin hindari situasi yang menghalangi perkembangan karier.

2. Membangun Karier dengan Perhatikan Momen Bekerja yang Menggairahkan

Merasa jenuh bekerja adalah hal wajar yang dialami seorang pekerja. Terlebih selama pandemi, sudah enggak muncul kegembiraan ketika membayangkan harus bangun pagi setiap hari dan mengulangi rutinitas yang sama.

Baca Juga: Perempuan di Simpang Jalan: Pilih Bekerja atau IRT?

Namun, ada kalanya suatu pekerjaan dirasa menyenangkan, dan tidak membutuhkan usaha ekstra untuk melakukannya.

Bagi seorang reporter media online seperti saya misalnya. Menulis topik yang berkaitan dengan tokoh idola atau dunia hiburan merupakan salah satu hal menggairahkan, membuat bekerja lebih menyenangkan dan hasilnya memuaskan.

Meskipun momen-momen itu tak melulu dapat dilakukan, sebagai pekerja kamu perlu lebih sadar tentang hal-hal dalam pekerjaan yang menggembirakan. Tujuannya sebagai salah satu petunjuk dalam membangun karier jangka panjang. Pun jika pekerjaan saat ini dianggap monoton, ingatlah ada pengalaman dan pengetahuan yang berguna di masa depan.

3. Ketahui Career Trap

Career trap merupakan perilaku yang dilakukan karena sudah familier, padahal berdampak negatif pada pekerjaan. Sering kali, hambatan ini baru disadari ketika seorang pekerja mengalami burnout, pemecatan, jatuh sakit, dan painful boredom—merasa kebosanan dan kecemasan yang menyedihkan hingga tidak dapat berkonsentrasi.

Melansir Harvard Business Review, terdapat beberapa bentuk career trap yang umumnya dialami pekerja.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Pertama, expectation trap. Ini terjadi ketika seseorang berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, dan enggan mengakui kesulitan baik secara mental maupun menghadapi beban kerja. Alasannya, mereka tidak ingin orang lain mengetahui dirinya tidak mampu mengatasinya.

Kedua, ambition trap pada high-achiever. Mereka terbiasa bekerja keras untuk meraih kesuksesan, dan mengkhawatirkan jika memperlambat cara kerjanya, ia akan berhenti memperoleh pencapaian.

Ketiga, translation trap. Yakni situasi ketika seseorang telah bekerja keras untuk berada di posisinya saat ini, tetapi belum merasa bahagia sebagaimana diperkirakan akan didapatkan. Pada situasi ini, ia juga merasa kesuksesannya tidak sesuai dengan tujuan, juga khawatir untuk “pindah haluan” karena merasa hanya memahami pekerjaan yang dilakukan saat ini.

Keempat, adrenalin trap, yaitu seseorang yang bekerja berlebihan tanpa memperhatikan kesehatan tubuh dan mentalnya.

Kelima, busyness trap. Umumnya seseorang yang senang pekerjaannya dijadikan sebagai bagian dari identitas diri, sehingga selalu mengutamakan pekerjaan. Alhasil, mereka mengorbankan kesehatan dan waktu untuk orang-orang di sekitarnya.

4. Membangun Karier dengan Cari Kesempatan Mengembangkan Diri

Tercapainya tujuan karier tidak lepas dengan usaha untuk mengeksplorasi kemampuan diri, baik soft skill maupun hard skill, yang sesuai dengan goals tersebut. Pengembangan ini tidak hanya berupa pelatihan yang diberikan perusahaan, kamu juga bisa proaktif mencari komunitas atau kegiatan yang dinilai mendukung dan dapat memperluas networking, atau menyesuaikan nilai-nilai diri.

Baca Juga: Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Misalnya mengambil kursus online bersertifikasi, menjadi volunteer, mencari mentor, atau rutin membaca untuk mengedukasi diri dan selalu bersikap ingin tahu.

Karena untuk mencapai tujuan tersebut, yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan diri, melainkan peran orang-orang di sekitar. Mereka akan membantu dalam memperluas sudut pandang dan cara berpikir, memperhatikan kesempatan untuk mengembangkan karier, serta memahami profesi yang ditekuni secara mendalam.

Read More

Dipromosikan, Bagaimana Menjaga Relasi dengan Rekan Kerja?

Bagi sebagian orang, menerima promosi untuk jabatan baru menjadi kemajuan karier yang patut dibanggakan. Namun, situasi akan berbeda apabila pencapaian itu menyebabkan kehilangan rekan kerja, seperti dialami Founder dan CEO dari The Tolan Group, Tim Tolan.

Kepada Wall Street Journal (WSJ) ia menceritakan, setelah menjabat sebagai wakil presiden perusahaan yang memantau pekerjaan mantan rekan kerjanya, Tolan sering menyaksikan mereka pergi makan siang bersama. Perlakuan mereka berubah setiap dirinya masuk ke ruangan kerja.

“Begitu saya menghampiri, mereka langsung diam,” tuturnya.

Berdasarkan penelitian Narratives of Workplace Friendship Deterioration (2004) oleh Patricia Sias dkk., peneliti dari University of Arizona, AS, promosi jabatan adalah salah satu faktor utama yang memperburuk pertemanan di lingkungan kerja. Mereka jadi menjauh dan relasi dengan rekan kerja tak lagi sama seperti dulu.

Mengutip WSJ, ini merupakan tantangan yang membutuhkan keseimbangan dalam mempertahankan hubungan dengan teman-teman lama, menjalin pertemanan baru, sekaligus mengeksplorasi aspek lainnya dalam posisi tersebut.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Karenanya, kami merangkum empat hal yang dapat dilakukan agar pertemanan di lingkungan kerja dapat dipertahankan, ketika kamu menerima promosi jabatan.

1. Atur Emosi dan Terima Perubahan Relasi Rekan Kerja

Kemungkinan terjadinya perubahan relasi merupakan hal utama yang membebani pikiran, ketika terpilih menduduki jabatan baru di saat kolega lain juga berupaya mendapatkannya. Tentunya ini bukan perkara mudah, dan seandainya hubungan dapat diperbaiki, akan membutuhkan usaha dan waktu.

Namun,yang sebaiknya pertama kali dilakukan justru mengembalikan keseimbangan emosional dalam diri sendiri. Melansir Harvard Business Review, dalam situasi penuh tekanan, seseorang cenderung merasa cemas hingga terdampak pada cara berpikirnya.

Karena itu, peringatkan diri sendiri, kamu memiliki kemampuan dan layak menerima promosi tersebut. Dan ini hanya satu dari sekian loncatan karier yang akan dilalui, sehingga terdapat kemungkinan peristiwa serupa terjadi kembali.

Kemudian, persiapkan diri untuk menjelaskan kepada teman-teman, mengapa kamu menerima tawaran posisi tersebut.

2. Komunikasikan Ketidaknyamanan

Kecanggungan atau merasa tidak nyaman dalam hubungan pertemanan umumnya dialami ketika salah satu pihak dipromosikan untuk jabatan baru. Namun, saling mengetahui perasaan satu sama lain perlu dibicarakan untuk menghindari kerusakan hubungan. Lewat obrolan tersebut, sampaikan kamu tidak ingin situasi di lingkungan kerja ataupun perbedaan kedudukan, memengaruhi kualitas pertemanan.

Selain itu, mengutamakan perasaan rekan kerja dibandingkan promosi yang diterima merupakan hal yang perlu menjadi pusat perhatian untuk sementara waktu, meskipun sebenarnya memperoleh jabatan baru bukan suatu kesalahan.

Baca Juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Kamu dapat bersikap empati, mengakui perasaannya, dan menanyakan bagaimana situasi ini memengaruhinya. Bahkan menurut Sias, perilaku ini menunjukkan rasa hormat terhadap mereka. Yang perlu diingat, hindari bersikap defensif jika responsnya menunjukkan kecemburuan.

“Validasi perasaannya, respons dengan kata-kata yang membuat mereka merasa didengarkan,” ujar Melody Wilding, pelatih eksekutif dan pekerja sosial bersertifikat, dikutip HuffPost. Namun, bukan berarti perasaan mereka menjadi tanggung jawab kamu.

Pun dengan memperbaiki relasi dan memiliki hubungan sosial yang positif di lingkungan kerja, akan membuat seseorang lebih bahagia dan terlibat di dalam pekerjaannya.

3. Diskusikan Tujuan Kariernya

Meskipun tampak sulit diterima, peranmu sebagai atasan justru dapat membantu mereka menyusun tujuan kariernya. Bukan dengan memberikan perlakuan khusus, melainkan memanfaatkan akses yang dimiliki untuk mengembangkan pekerja secara umum sebagai sumber daya.

Misalnya mengusung pelatihan, memberikan penugasan, menyampaikan insight dan feedback untuk meningkatkan kinerja, hingga mendengarkan aspirasi untuk mencapai tujuan perusahaan dan mereka sebagai individu.

Baca Juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor

Melansir CNBC, melalui beberapa kegiatan tersebut, mereka dapat menyalurkan energinya untuk aktivitas yang produktif, dibandingkan fokus memikirkan perasaannya. Kemudian, tunjukkan dukunganmu terhadap kariernya melalui tindakan.

4. Atur Batasan pada Pertemanan Relasi Rekan Kerja

Kenaikan jabatan bisa menimbulkan asumsi di antara pekerja lainnya, bahwa ada privilese yang dimiliki teman dekatmu. Misalnya bernegosiasi shift kantor, atau berbagi informasi konfidensial yang seharusnya tidak diketahui, lewat kebiasaan lama seperti makan siang bersama dan mengobrol di pantry.

Untuk menghindari prasangka demikian, Jessica Methot, seorang peneliti manajemen sumber daya manusia di Rutgers University, AS, menyarankan agar peran rekan kerja dilihat secara objektif.

Tujuannya, menempatkan interaksi personal supaya tidak menimbulkan persepsi “anak emas” dalam hubungan tersebut. Pun di sisi lain, sosok teman dekat ini perlu memahami, kedekatannya dengan kolega yang menjadi atasannya bukan berarti mereka pantas meminta perlakuan khusus.

Maka itu, kebiasaan lama seperti makan siang bersama dan mengobrol di pantry sebaiknya dihentikan. Tentunya lewat sebuah diskusi agar tidak terjadi kesalahpahaman, dan profesionalitas pun terbentuk dalam lingkup ruang kerja.

Read More
Rekan kerja

Maksimalkan Jadwal Kerja ‘Hybrid’ dengan Cara Ini

Jika ada dampak positif dari pandemi yang perlu disyukuri, sebagian besar pekerja mungkin menjawab bisa melakukan work from home. Meskipun awalnya mereka memerlukan adaptasi, mengalami burnout saat menjalani ini, dan berasumsi akan kembali bekerja di kantor setelah situasi membaik, pada perkembangannya sistem kerja tersebut justru mereka rasa membawa keuntungan. 

Seiring waktu, banyak perusahaan pun mulai menyesuaikan sistem kerja dengan tak lagi sepenuhnya menerapkan kerja dari kantor. Sebagian dari mereka memilih menerapkan sistem kerja hybrid atau sebagian waktu di kantor, sebagian lainnya di rumah atau tempat lain. Pekerja lantas mulai terbiasa dengan sistem kerja hybrid yang menawarkan fleksibilitas. Mereka juga menganggap, sistem tersebut menguntungkan karena mereka tidak perlu menghabiskan waktu lebih untuk bersiap-siap dan melakukan mobilitas setiap hari. Selain itu, mereka pun jadi memiliki peluang mengeksplor hobi dan aktivitas lain selama tak bekerja di kantor.

Laporan “The Next Great Disruption Is Hybrid Work-Are We Ready?” (2021) yang dirilis Microsoft menunjukkan, sejumlah 83 persen pekerja di Indonesia menginginkan kerja jarak jauh. Bahkan, 49 persen pekerja mempertimbangkan meninggalkan pekerjaannya, dengan memilih opsi kerja jarak jauh sebagai alasan utama.

Meski punya keunggulan seperti fleksibilitas tadi, bukan berarti sistem kerja hybrid tidak memiliki tantangan yang memengaruhi kinerja. Karena itu, pekerja perlu melakukan strategi-strategi tertentu agar selama bekerja dalam sistem tersebut, mesreka bisa tetap menghasilkan output optimal. Berikut kami rangkum beberapa langkah untuk mengatur jadwal kerja, untuk dilakukan para pekerja hybrid untuk bekerja dari jarak jauh.

Baca Juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos

1. Ciptakan Ruang Kerja Ideal

Sebelum pandemi, mungkin hanya sebagian pekerja yang memiliki ruang kerja di rumahnya. Namun, sejak work from home diberlakukan, tampaknya ini menjadi kebutuhan untuk memisahkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. 

Selain itu, memiliki ruang kerja yang ideal artinya memenuhi keperluan aset, dan membangun suasana layaknya bilik kantor untuk memaksimalkan kinerja, terlebih jika lebih banyak hari kerja di rumah.

Apabila dalam menciptakan ruang kerja ideal pekerja terkendala masalah biaya, Vice President and General Manager Cisco Webex Calling and Strategy, Lorrisa Horton menyarankan pekerja untuk menanyakan pada perusahaan apakah mereka memiliki aset berlebih yang dapat pekerja manfaatkan.

Menurut Horton, seharusnya perusahaan mempertimbangkan hal ini demi produktivitas pekerjanya. Karena berpengaruh pada kinerja dan perkembangan perusahaan, hal itu perlu diprioritaskan.

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

2. Saat Kerja Hybrid, Kenali Cara untuk Jadi Produktif

Di era digital, banyak distraksi yang sulit dihindari, membuat produktivitas dalam bekerja menjadi kemewahan, terutama jika seseorang bekerja jarak jauh. Sebut saja aktivitas seperti doomscrolling media sosial atau aplikasi ojek online untuk memilih menu makan siang, hingga menonton satu episode drakor terkini yang nanggung kalau ditinggal. Atau, pekerjaan domestik yang perlu diselesaikan sebelum petang.

Riset dari Pew Research Center menyatakan, kerja jarak jauh dapat memengaruhi tingkat motivasi seseorang, terutama pada 53 persen pekerja di usia 18-29 tahun. Mereka cenderung termotivasi apabila bertemu dengan rekan kerjanya. 

Tak dimungkiri, meskipun suasana rumah sudah mendukung, motivasi bekerja masih saja bisa minim karena berbagai alasan. Misalnya, pada Senin dan Jumat pagi, pekerja merasa masih ingin atau cepat-cepat rebahan. Atau di atas jam 12 siang, mereka tak semangat bekerja akibat kekenyangan setelah makan.

Untuk mengakali masalah motivasi kerja ini, kita dapat membentuk rutinitas yang membangun mood dan mendukung produktivitas. Misalnya, berolahraga selama 45 menit, mandi, dan sarapan sebelum mulai bekerja. Selain itu, kita bisa membuat to-do list agar gol dalam delapan jam bekerja dapat terlihat jelas.

Kemudian, kita butuh mengatur jadwal sesuai jam kerja dan memfokuskan diri pada pekerjaan yang menjadi prioritas, serta berusaha menyelesaikannya sebelum jam makan siang, selagi pikiran masih jernih.

Sementara dalam pengerjaan proyek besar, Tony Wong, seorang pakar manajemen dan produktivitas, memberikan tipsnya kepada Forbes. Ia mengatakan, sebaiknya proyek tersebut dibagi ke dalam beberapa tahap pengerjaan agar lebih ringan, tetapi berdampak besar.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

3. Saat Kerja Hybrid, Pisahkan Pekerjaan di Rumah dan Kantor

Memisahkan pekerjaan di rumah dan kantor adalah salah satu cara menjaga efektivitas kerja jarak jauh. Alasannya, terdapat beberapa pekerjaan yang lebih baik dikoordinasikan langsung dengan rekan kerja agar komunikasinya lebih jelas.

Harvard Business Review menyebutkan beberapa di antaranya, seperti pembahasan proyek yang memerlukan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, peninjauan objek secara langsung, maupun konten yang memicu emosi tinggi.

Sementara dalam memilih pekerjaan yang dilakukan di rumah, pertimbangkan untuk menyesuaikan porsinya dengan tanggung jawab dan aktivitas lainnya, seperti merawat anak dan menyelesaikan tugas domestik. 

4. Rutin Berkomunikasi dengan Rekan Kerja

Bagi sebagian pekerja, membatasi interaksi dengan kolega dianggap salah satu cara memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalnya. Di sisi lain, support system justru diperoleh apabila menjalin kedekatan dengan orang kantor, diawali dengan membuka diri. Menurut Horton, hal ini menjadi kunci membangun pertemanan bagi pekerja berusia muda dan kelompok marginal.

Namun, pandemi membatasi interaksi langsung, dan upaya minimum yang dapat dilakukan adalah berkomunikasi secara virtual. Keadaan ini membuat seseorang lebih manusiawi dan aspek tersebut yang menjadi fondasi kuat dalam menjalin relasi, sebagaimana dijelaskan dalam Forbes. Hubungan tersebut merupakan salah satu pengingat bahwa pekerja merupakan bagian dari tim.

Tingginya intensitas komunikasi dengan rekan kerja juga meningkatkan kepercayaan setelah mengetahui satu sama lain dapat diandalkan. Kepada NPR, penulis dan profesor di Harvard Business School, Tsedal Neeley mengungkapkan cara-cara untuk melakukan ini. “[Pekerja] muncul ketika diperlukan, baik secara langsung maupun virtual, dan tepat waktu. Tunjukkan kompetensimu lewat kata-kata dan tindakan,” ujar Neeley.

Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab, atasan pun perlu menanyakan kondisi pekerjanya dan mendukung perkembangan potensi mereka, tanpa menunggu evaluasi akhir tahun. Rutinnya komunikasi itu juga membuat koordinasi pekerjaan lebih baik, dan menjaga alur kerja tetap terstruktur.

Read More

Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Ketimpangan penghasilan ternyata bukan satu-satunya momok perempuan dalam dunia kerja. Faktanya, mereka juga memiliki perbedaan tekanan yang bersumber pada time stress — perasaan memiliki banyak hal yang perlu dilakukan dalam waktu terbatas. Alhasil, lebih banyak perempuan mengalami burnout. 

Pernyataan ini didukung penelitian oleh Ashley Whillans dkk., peneliti asal Harvard Business School dan FIsher College of Business, AS, dalam “Extension request avoidance predicts greater time stress among women” (2021). Dari lima ribu partisipan, mereka menemukan perempuan cenderung merasa memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan waktu terbatas.

Walaupun demikian, bukan berarti perempuan rela meminta perpanjangan waktu pengerjaan ataupun membagi beban kerja kepada koleganya. Mereka mengkhawatirkan perilakunya membebani pekerja lain, atau menerima hukuman dari atasan. Terlepas dari tanggung jawabnya, di kantor perempuan turut berinisiatif melakukan aktivitas nonformal secara sukarela, maupun atas dasar permintaan orang lain.

Whillans dkk. mendeskripsikan fenomena ini sebagai epidemi sosial yang mengganggu produktivitas, kesehatan fisik, dan kesejahteraan emosional. Pasalnya, perempuan menganggap dirinya kurang kompeten dibandingkan laki-laki, apabila meminta waktu tambahan untuk melakukan pekerjaannya.

Sementara, berdasarkan Health and Safety Exclusive (HSE)lembaga publik non departemen asal Inggris yang menjamin kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan pekerjaperempuan di usia 35-54 tahun mengalami stres akibat pekerjaan 50 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Penyebabnya adalah kualitas lingkungan pekerjaan yang lebih rendah bagi perempuan, berkaca pada upah yang lebih rendah, jam kerja yang tidak fleksibel, merasa insecure dengan pekerjaannya, dan minimnya potensi perkembangan karier.

Namun, faktor lain penyumbang time stress pada perempuan ialah banyaknya peran yang harus dilakukan, sebagai istri, ibu, anak yang merawat orang tuanya, hingga breadwinner (pencari nafkah).

Selain itu, penyebab lainnya adalah emotional labor, yaitu mengesampingkan perasaan atau emosi yang sesungguhnya demi tuntutan pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk menampilkan kinerja baik di antara tekanan pekerjaan, dengan mengontrol emosi dan memberikan sugesti pada diri bahwa menikmati realitas yang ada. Atau berpura-pura menampilkan emosi positif dengan berusaha tenang, mengutamakan empati, dan mengekspresikan optimisme, dibandingkan perasaan sebenarnya.

Sebagai dampaknya, mengacu pada  laporan Gender and Stress dari American Psychological Association, muncul gejala fisik dan emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan keinginan untuk menangis. Celakanya, persentase gejala ini lebih besar dialami perempuan daripada laki-laki.

Baca Juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim

Perempuan Sebagai Pelaku Utama Pekerjaan Domestik

Membicarakan pekerjaan domestik rasanya tidak lepas dari figur perempuan sebagai pelakon utama, meskipun tak sedikit laki-laki yang juga melakukannya. Dalam The Second Shift: Working Families and the Revolution at Home (2012) oleh Arlie Hochschild dan Anne Machung disebutkan, di AS, peran perempuan sebagai manajer rumah tangga lebih banyak menyita waktu dibandingkan laki-laki.

Rata-rata pekerja perempuan heteroseksual yang berumah tangga, menghabiskan delapan jam lebih banyak setiap minggunya untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengasuh anak.  Ditambah selama pandemi, ketimpangan gender itu meningkat secara substansial.

Menurut Laura Giurge dkk., peneliti yang berafiliasi dengan instansi pendidikan seperti London Business School dan Harvard University, perempuan di seluruh dunia memiliki lima jam tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya sekaligus mengasuh anak. 

Maria (37), seorang pekerja swasta sekaligus ibu dua anak misalnya. Saat work from home, ia harus mendampingi putranya yang duduk di kelas empat SD untuk sekolah daring, dan ikut mempelajari materi yang diberikan wali kelas untuk kembali menerangkan kepada anaknya, sekaligus membantu proses pengerjaan pekerjaan rumah.

Karena itu, ia merasa lebih di bawah tekanan, sekali pun waktu tidurnya masih terhitung cukup, yakni tujuh jam.

Namun, hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan yang berperan sebagai ibu. Pada dasarnya, perempuan memiliki banyak area persaingan, seperti penampilan, kualitas hubungan pertemanan, dan pekerjaan yang dihasilkan. Dalam berbagai aspek tersebut, terdapat potensi kegagalan yang akan dialami. Karenanya, muncul keraguan, kritik pada diri sendiri, serta rendahnya kepercayaan diri pada perempuan.

Baca Juga: Bagaimana Kamu Bisa Mati Karena Kerja Berlebihan?

Cara Perempuan Merespons Time Stress dan Mengatasinya

Sebenarnya, laki-laki dan perempuan memiliki respons serupa dengan laki-laki, yakni rentan terhadap hormon kortisol dan adrenalin. Namun, perempuan juga mengeluarkan lebih banyak hormon oksitosin dari kelenjar pituitari yang membantu mengurangi produksi kortisol dan adrenalin, mengurangi efek berbahaya.

Mengutip WebMD, artinya hormon oksitosin mampu menciptakan kepribadian lebih rileks, dan secara otomatis, hal tersebut menjadi perlindungan diri perempuan.

Sementara secara karakteristik psikologis, laki-laki memiliki mode fight-or-flight, sedangkan perempuan tend-and-befriend. Dalam mode tersebut, perempuan cenderung merawat orang-orang di sekitarnya dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Menurut Shelley Taylor, profesor psikologi di University of California Los Angeles (UCLA), AS, hal itu dikarenakan perempuan memiliki harapan hidup lebih besar.

“Sistem tend-and-befriend melindungi perempuan dari efek dari stres yang merusak,” ujar Taylor kepada WebMD. 

Dalam hasil penelitian Domestic Stress and Well-Being of Employed Women: Interplay Between Demands and Decision Control at Home” (2006), akademisi asal Israel, Talma Kushnir dan Samuel Melamed memberikan contoh lain, yaitu membentuk kelompok sosial bersama perempuan lain sebagai support system.

Baca Juga: Mendukung Sesama Pekerja Perempuan Penting, Ini Alasannya

Kemudian, mereka yang juga berperan sebagai ibu akan melindungi diri sendiri dan anak-anaknya lewat perilaku pengasuhan, sebagai respons terhadap situasi yang menyebabkan stres. Respons tersebut dilakukan atas kelekatan pada otak sehingga mengarah ke perilaku pengasuhan dan afiliasi.

Untuk mengatasi time stress, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, perempuan perlu memberanikan diri meminta perpanjangan tenggat waktu ketika jam kerjanya fleksibel. Kedua, self-care penting dilakukan sesederhana tidur cukup, diet sehat, dan berolahraga. Selain itu, pemicu stres seperti melakukan pekerjaan kantor dan tanggung jawab di rumah juga perlu disesuaikan.

Ketiga, mengenal pemicu stres secara spesifik, karena di dalam pekerjaan pun terdapat berbagai aspek. Misalnya beban kerja dan perilaku kolega atau atasan, keduanya hal berbeda dan memiliki cara mengatasinya masing-masing.

Yang terakhir, mencari validasi dari dalam diri untuk memahami emosi yang dirasakan itu sah, dan perlu ditanamkan, tidak apa-apa jika merasa tidak baik-baik saja. Apabila sulit dilakukan, terdapat beberapa opsi untuk melatih diri, seperti mengenal kelebihan dan kekurangan dalam diri, secara sadar menaruh perhatian pada situasi saat ini, atau membaca buku self-help.

Sementara bagi perusahaan, Whillans dkk. menyarankan manajer secara rutin mengecek kondisi pekerjanya yang terlihat sedang stres. Apabila memungkinkan, mereka dapat menawarkan perpanjangan waktu pekerjaannya untuk membantu kesehatan mentalnya.

Dengan demikian, pekerja perempuan akan merasa dimengerti dan kesehatan mereka adalah yang utama. Pun mereka memahami bahwa bukan sebuah permasalahan, apabila mereka membutuhkan waktu lebih lama dalam menyelesaikan pekerjaan.

Read More

Yang Tak Dibicarakan dari Kultur Kekeluargaan di Kantor

Seorang pekerja di perusahaan startup mengaku orang-orang di jajaran atas kantornya sering mengingatkan pentingnya melayani konsumen sepanjang waktu, sekalipun tugas tersebut tidak tertera dalam deskripsi pekerjaan yang dilamarnya. Namun, hal itu tetap saja rela dia lakukan atas dasar pemikiran bekerja dengan orang-orang di kantornya perlu dianggap sebagai kerja untuk “keluarga” yang mendukung satu sama lain.

Kepada Cosmopolitan, ia menceritakan aktivitas di luar pekerjaan yang dilakukan bersama rekan kerjanya. Mulai dari mempelajari kebiasaan dan ketakutan mereka, menghadiri pernikahan, makan bersama, hingga membantu istri bosnya mengatur acara ulang tahun.

Awalnya, ia menganggap atasannya suportif. Namun, ketika ia tidak diizinkan mengundurkan diri, ia menyadari relasi mereka bukan sebagai keluarga.

Untuk memperjelas, prinsip kekeluargaan di kantor berbeda dengan menjalin pertemanan dekat bersama teman sekantor atau hubungan yang dilandaskan kepercayaan. Ini lebih kepada sebuah konsep yang digunakan pemimpin perusahaan untuk menjaga loyalitas pekerjanya, dan mempertahankan mereka sebagai sumber daya.

Selain itu, terdapat berbagai aspek dalam kultur kekeluargaan di perusahaan, seperti empati, kepedulian, rasa hormat, dan sense of belonging. Kultur tersebut juga memiliki manfaat psikologis sebagaimana ditemukan dalam riset oleh akademisi asal Norwegia, Rudi Kirkhaug bertajuk “Charisma or Group Belonging as Antecedents of Employee Work Effort?” (2010). Misalnya, membangun pertemanan dan memenuhi kebutuhan untuk memiliki dalam suatu lingkungan.

Sebetulnya, tidak ada salahnya menjalin keakraban dengan teman kantor dan menyukai pekerjaan yang dilakukan. Namun, budaya kekeluargaan yang mengikat pekerja bisa lebih membebani dirinya dibandingkan kepuasan secara psikologis. 

Baca Juga:Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Apa saja sisi buruk penerapan prinsip kekeluargaan di kantor? Berikut kami rangkum beberapa di antaranya.

1. Kaburnya Batasan Kehidupan Personal dan Profesional

Selain menjadi tempat untuk memperoleh penghasilan, lingkungan kerja bisa menjadi tempat para pekerja mendapatkan dukungan dari koleganya, saling peduli satu sama lain, dan memiliki hubungan menyenangkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan dari sini. 

Ketika perusahaan menerapkan prinsip kekeluargaan di kantor, pekerja akan mempertimbangkan keterbukaan terhadap kolega maupun atasannya. Kehidupan pribadi yang sebenarnya menjadi pilihan untuk tidak diketahui, justru diungkapkan sebagai salah satu cara bersosialisasi, meskipun mereka tidak ingin menjalin hubungan lebih dalam di luar urusan pekerjaan.

Studi “Organizational Family Culture: Theoretical Concept Definition, Dimensions and Implication to Business Organizations” (2018) oleh Onyebuchi Obiekwe menyebutkan, bisnis yang menggunakan metafora kekeluargaan memperlakukan pekerjanya bukan sebagai kolega, melainkan kakak dan adik.

Obiekwe menjelaskan metafora itu menciptakan budaya positif yang memotivasi dan meningkatkan moral, pun dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam perusahaan.

Namun, sisi emosional pekerjanya bisa saja dikorbankan karena ia terikat dengan perusahaan. Dikhawatirkan, pekerja merasa harus memberikan informasi apa pun yang diminta atasannya, lantaran relasi mereka seperti orang tua dan anak.

Di dalam perusahaan yang menggunakan kultur kekeluargaan, seluruh aspek pekerjaan diperlakukan dan terasa personal. Karena disamakan dengan hubungan keluarga, ikatan yang terbentuk dirasa tidak memiliki batasan.

Baca Juga:5 Cara Keluar dari ‘Likeability Trap’ Bagi Pekerja Perempuan

2. Keengganan Melaporkan Sesuatu yang Tak Beres

Karena relasi antara pekerja dan atasan bisa dianggap layaknya anak dan orang tua, akan muncul kecenderungan relasi hierarkis: Atasan yang mengambil keputusan sedangkan anak mengikuti perintah. Otomatis, pekerja tidak dapat membela diri sendiri maupun keluar dari zona tersebut, dan relasi cenderung bersifat satu arah dari atasan ke mereka.

Dilansir Harvard Business Review, adanya kekuasaan di perusahaan juga membuat pekerja sulit melaporkan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan rekan kerjanya. Ini disebabkan mereka mengkhawatirkan hukuman yang diterima pelaku, dan berharap dapat menarik pengaduannya.

Pun berdasarkan National Business Ethics Survey pada 2019, 45 persen orang di seluruh dunia pernah menyaksikan pelanggaran di tempat kerjanya, tetapi sepertiga di antaranya tidak melakukan tindakan. Mereka merasa bersalah seolah melaporkan anggota keluarganya sendiri dan tidak dapat melindungi.

Baca Juga:4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya

3. Menciptakan Loyalitas Berlebihan

Setelah mengetahui berbagai aspek pribadi pekerjanya, atasan cenderung mengharapkan pekerja memprioritaskan kewajibannya dan loyal pada perusahaan. Loyalitas yang diharapkan ini dapat berujung pada jam kerja lebih panjang, pekerja melakukan pekerjaan yang tidak terdapat dalam deskripsi pekerjaannya, sementara ia menerima penghasilan tidak sepadan.

Dalam The Character of a Corporation (1998) oleh Rob Goffee dan Gareth Jones dijelaskan, di perusahaan yang melanggengkan budaya kekeluargaan, pekerjanya berinisiatif tinggi untuk membantu rekan kerjanya. Bahkan, secara sukarela menolong sebelum diminta hingga mengesampingkan kepentingannya sendiri. 

Tentu atasan menyukai karakter pekerja demikian. Namun, di balik kultur kekeluargaan tersebut, pekerja dieksploitasi demi memajukan perusahaan, meskipun di sisi lain loyalitas diberikan untuk mempertahankan posisi mereka.

Mungkin dapat dikatakan pantas apabila pekerja menerima haknya dengan setimpal. Sayangnya, dalam realitasnya tak selalu demikian dan tidak sedikit dari mereka yang mengajukan komplain, tetapi diabaikan. Alasannya, menurut mereka di dalam keluarga tidak ada permintaan kenaikan gaji atau waktu kerja fleksibel. 

Bagaimana Mewujudkan Kultur Perusahaan yang Positif?

Untuk menavigasikan budaya tersebut, menurut penulis dan work advice columnist Alison Green, hal terpenting yang perlu dilakukan untuk mengubah kultur ini ialah tidak menginternalisasi prinsip kekeluargaan di kantor, meskipun perusahaan menerapkannya.

“Sebagai pekerja, kita perlu memastikan diri sendiri untuk memperjelas bahwa perusahaan ini perkara bisnis, bukan keluarga. Tidak perlu mempertimbangkan yang dikatakan atasan,” tuturnya kepada The New York Times.

Hal tersebut akan membantu pekerja memisahkan relasi pribadi dan profesional, sehingga mereka dapat belajar memprioritaskan diri dan mengatakan “tidak” apabila atasan menuntut pekerjaan yang dinilai berlebihan. Green menambahkan, apabila tindakan ini dilihat oleh kolega, mereka dapat menirunya dan secara tidak langsung telah menciptakan pengaruh baik di lingkungan kerja.

Selain itu, lingkungan kerja perlu dilakukan seperti sebuah tim. Artinya, pekerja dapat dikeluarkan apabila kinerjanya tidak cukup baik. Mungkin kedengarannya kejam, tetapi tindakan itu menegaskan batasan yang sehat di perusahaan. 

Dan tidak dimungkiri, baik perusahaan maupun pekerja saling membutuhkan satu sama lain. Maka itu, apabila salah satu pihak tidak memperoleh yang dibutuhkan, mereka dapat mencarinya dari pihak lain.

John Feldmann, seorang spesialis komunikasi di sebuah perusahaan di AS menjelaskan, perusahaan perlu menekankan work-life balance kepada pekerjanya. Ia menyarankan, sebaiknya atasan menyadari bahwa peran bawahannya hanya bekerja, membutuhkan istirahat, dan memiliki kehidupannya sendiri.

Sependapat dengan Feldmann, Green menuturkan hal serupa, “Perlakukan pekerjaan layaknya pekerjaan. Lagi pula, keberadaan kita di sana karena dibayar untuk bekerja, bukan kepentingan lain.”

Pun sebenarnya tidak perlu memiliki relasi mendalam yang mengikat dengan atasan dan rekan kerja. Pasalnya, ini bisa membuat pekerja sulit menarik diri dari pekerjaan ketika seharusnya ia dapat menikmati waktu senggangnya untuk kepentingan personalnya.

Read More

Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

likeability trap – Keinginan untuk disukai orang lain cenderung muncul ketika berada di lingkungan baru. Ini mendorong seseorang untuk mempertanyakan kemampuan, penampilan, sikap, dan caranya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Di tempat kerja, keinginan tersebut menjadi tekanan bagi pekerja perempuan, yang disebut likeability trap. Celakanya, tekanan ini kerap kali membuat perempuan justru menjadi terhambat karena ada unsur bias gender di sini. Masyarakat menciptakan karakter perempuan sebagai sosok lemah lembut dan sopan, sedangkan laki-laki dikenal ambisius dan kompetitif.

Oleh sebab itu, dalam negosiasi upah atau meminta promosi jabatan, laki-laki dianggap tegas karena mampu mengekspresikan dirinya, dan percaya diri dalam menyuarakan hak yang pantas didapatkan. Namun, jika pekerja perempuan melakukannya dianggap menuntut dan ingin memerintah.

Jurnalis dan penulis asal Amerika Serikat (AS), Alicia Menendez, menjelaskan Goldilocks conundrum sebagai salah satu faktor perempuan terjebak dalam likeability trap. “Perempuan dianggap berkepribadian terlalu hangat atau dingin, dan keduanya tidak menguntungkan,” jelasnya kepada NPR.

Umumnya, perempuan yang berkepribadian terlalu hangat disukai rekan kerjanya, tetapi dinilai tidak cukup berkompeten dalam melakukan pekerjaan. Sementara, perempuan yang bersikap dingin, meskipun memiliki kemampuan memimpin, mereka dilihat terlalu kuat, tegas, menuntut banyak hal, dan pandai melobi. Karena itu, mereka diminta agar tidak terlalu dominan.

Artinya, di lingkungan kerja perempuan sulit menunjukkan citra diri yang sebenarnya, karena menyesuaikan tuntutan orang-orang di sekitar. Pun ketika perempuan memiliki jabatan tinggi, cenderung dikritik dan disalahkan karena perempuan dinilai tidak perlu mengejar kesuksesan karier.

Namun, bukan berarti perempuan harus terjerat dalam likeability trap yang menahan perkembangan kariernya. Berikut kami merangkum beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Baca Juga: 6 Tantangan Perempuan Bekerja dari Dulu Sampai Sekarang

1. Pertahankan Integritas Diri

Studi berjudul “Negotiating gender roles: gender differences in assertive negotiating are mediated by women’s fear of backlash and attenuated when negotiating on behalf of others” (2010) oleh akademisi asal US, Emily Amanatullah dan Michael Morris menunjukkan penemuan terhadap perempuan penurut.

Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan yang cenderung meminta maaf dan tunduk, hanya melemahkan diri mereka sendiri. Karena itu, integritas perlu dipertahankan melalui nilai-nilai dalam diri, misalnya dengan bertanggung jawab, berbicara dengan konsisten, menjaga pembicaraan, menghindari sikap defensif dan menyalahkan orang lain, serta mampu mempertahankan argumen.

“Integritas artinya jujur pada diri sendiri, dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan diri,” ujar Dr. Kavita Makan, seorang reumatologi asal Bara, Nepal, kepada The Daily Vox. Dengan membangun integritas, kepercayaan yang merupakan kunci kesuksesan dan kepemimpinan juga dapat dipertahankan.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

2. Bangun Koneksi dengan Rekan Kerja

Memupuk kepercayaan dan dukungan dari rekan kerja dapat dilakukan lewat membangun koneksi dengan mereka. Mengutip Forbes, kemanusiaan merupakan fondasi kuat sebagai dasar kepemimpinan dan relasi.

Dengan membuka diri, rekan kerja mengetahui karakter, keinginan, dan aspirasi lawan bicaranya. Pun sebaliknya, mendengarkan kisah mereka menunjukkan kepedulian dan keinginan untuk memahami, sekaligus melatih empati dan menguatkan kecerdasan emosional.

Terlepas dari penilaian mereka yang tidak bisa diubah, setidaknya dapat dipengaruhi melalui cara berpikir dan perilaku. “Nantinya, Anda akan menemukan rekan yang dapat dipercaya, mampu melihat kemampuan dan nilai dalam diri Anda, serta memberikan pandangannya tentang apakah kepribadian Anda benar seperti dikatakan rekan-rekan kerja tersebut,” kata Menendez.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

3. Kesalahan Bukan pada Anda

Adanya bias gender membuat perjalanan mencapai kesuksesan karier lebih sulit bagi perempuan. Tak dimungkiri, bias tersebut memengaruhi cara berpikir dan bersikap sebagian orang, sehingga timbul kesan tidak suka melihat perkembangan perempuan yang signifikan.

Menurut Menendez, perempuan dapat mendorong tanggapan yang konkret dan lebih subjektif. “Ketika disebut terlalu vokal misalnya, tanyakan dengan siapa kita dibandingkan, apakah ada rekan kerja lain yang bisa memberikan saran lebih baik, atau meminta diberikan seseorang yang patut dicontoh dalam bekerja,” ujarnya.

Dengan demikian, seseorang yang mengkritik secara subjektif akan mempertimbangkan dirinya bias atau tidak. Karena itu, berusahalah untuk tidak menginternalisasi hingga menyalahkan diri sendiri. Pun terdapat gambaran lebih besar yang perlu diperhatikan dan dilakukan, yakni pekerjaan dan tujuan yang ingin dicapai.

4. Tidak Perlu Merasa Kecil

Rekan kerja yang tidak menyukai mungkin akan bersikap mengintimidasi. Namun, tidak seharusnya mereka memengaruhi kinerja. Justru gunakan kekuatan yang dimiliki dalam memberikan kontribusi bermakna, untuk membuktikan adanya kapabilitas diri dalam meraih kesuksesan karier. 

Joan C. Williams, seorang penulis, feminis, dan profesor hukum, mengutarakan opininya dalam New York Times. Menurutnya, perempuan harus berperilaku asertif dan apa adanya, untuk melihat apakah menjadi dirinya sendiri memicu ketidaksukaan dari rekan kerja. Dengan demikian, ada kemungkinan perempuan akan didengar, dilihat sebagai sosok yang tegas dan berani.

Namun, apabila itu penyebab ketidaksukaan, perempuan dapat memutuskan langkah selanjutnya, apakah ia ingin menjadi dirinya sendiri atau “berlindung” di balik tuntutan rekan kerja. Pun Menendez menyebutkan, perempuan sebaiknya mempertimbangkan perkembangannya di tempat kerja tersebut. Apabila ingin bekerja secara maksimal, lebih baik mereka mengutamakan tempat kerja yang mendukung dirinya berperan sebagai diri sendiri.

Read More