“Tia” sedang termenung di sudut kedai kopi dan segera menyeka air mata, ketika barista memanggil namanya. “Caramel macchiato ya,” tutur si pembuat kopi, menyodorkan minuman pesanan perempuan itu. Dengan cepat, ia mengambil dan kembali menjauhi keramaian untuk tenggelam dalam dunianya.
Manis yang dikecap di bibir bukan berarti menghapus kekalutannya. Ia masih saja bingung mempertanyakan identitas diri dan perjalanan karier yang akan dijalani kelak. Sebagai bright A student sewaktu bersekolah, Tia merasa dirinya bukan siapa-siapa begitu menghadapi dunia nyata.
“Dulu kan gue pinter, kenapa sekarang mereka yang dinas ke luar negeri dan punya jabatan tinggi?” tanyanya dalam hati.
Sejak fresh graduate, ia bekerja di firma hukum di Jakarta selama dua tahun, dengan penghasilan enggak seberapa jika dibandingkan teman-temannya. Saking kecil gaji yang ia terima, sang ayah kerap mendesak untuk pindah pekerjaan.
“Akhirnya aku ambil S-2 dan resign dari kantor itu,” ceritanya pada Magdalene, (9/3). Dari berbagai alasan, perempuan 25 tahun itu mengaku, salah satunya untuk memvalidasi diri sendiri agar prestasinya tidak kalah dari teman-temannya.
Baca Juga: Mereka Bilang, Jadi Orang Dewasa Melelahkan
Kondisi yang dialami Tia selama setahun merupakan post-graduation depression, yakni perasaan cemas, depresi, stuck, dan tidak nyaman setelah lulus kuliah. Menurut konselor profesional berlisensi asal AS Libby O’Brien, hal itu lantaran perubahan fase kehidupan, dan seseorang tidak mengetahui yang akan terjadi ke depannya.
Melansir WebMD, ada beberapa faktor penyebabnya. Misalnya pandemi, membuat mahasiswa kesulitan berinteraksi dengan teman-teman dan dosen, maupun kehilangan kesempatan merealisasikan rencana hidupnya. Atau adanya tekanan dari diri sendiri maupun orang-orang di sekitar, tentang apa yang selanjutnya dilakukan.
Putri, dietary aide di care center di Toronto, Kanada, mengalami post-graduation depression karena kedua hal tersebut. Menekuni pendidikan di jurusan food and nutrition management, ia berencana bekerja dua tahun lalu melanjutkan pendidikan, orang tuanya perlu memfokuskan perhatian ke adiknya yang akan kuliah.
Sayangnya, ia harus memendam mimpi karena pandemi dan keuangan keluarganya tidak stabil. Alhasil Putri semakin ragu akan perjalanan kariernya.
“There’s always clear milestones on what we achieve and what’s the next step,” ujarnya. “ TK terus SD, SMP, SMA, kuliah. What’s out there after this?”
Mengapa Transisi Hidup Sulit Dilalui?
Mengakhiri masa-masa perkuliahan adalah salah satu tahap perubahan dalam hidup, menghadapkan seseorang terhadap ketidakpastian. Menyebabkan perasaan tidak nyaman tanpa sebab, tidak termotivasi, merasa tidak mampu dan tidak berharga, hingga kesepian tanpa kehadiran teman dan keluarga.
Baca Juga: Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate
Penulis dan psikoterapi asal AS Richard Joelson menjelaskan, masa transisi sulit dilalui karena memaksa seseorang untuk meninggalkan situasi familier, untuk menghadapi masa depan dengan perasaan rentan.
Menurutnya, kita hidup dalam budaya yang mengajarkan untuk tidak nyaman dengan ketidakpastian, menimbulkan kecemasan ketika hidup merasa terganggu. Karena itu, meskipun telah menyusun rencana, sesuatu di luar ekspektasi yang terjadi menyebabkan keresahan, dan mengharuskan untuk beradaptasi. Bahkan semakin sulit dilalui.
Situasi ini juga disebut liminality, atau keterbatasan. Didefinisikan sebagai keadaan ketika seseorang belum sepenuhnya meninggalkan suatu kondisi, juga belum berpindah ke yang baru, setidaknya tidak secara mental hingga menyebabkan ketidakstabilan emosional.
Dalam Life Is in the Transitions: Mastering Change at Any Age (2020) oeh Bruce Feiler, perubahan terjadi setiap 12 hingga 18 bulan. Dan yang berskala besar dapat terjadi sebanyak tiga hingga lima kali dalam hidup seseorang.
Pun pada masa transisi, perjuangan akan terasa lebih berat dan tidak bahagia. Seperti dirasakan Chris, seorang underwriting assistant di perusahaan asuransi. Hidupnya tidak begitu berarti karena pekerjaannya bertolak belakang dengan karier impiannya, di bidang perhotelan.
“Impossible nyari kerja di perhotelan, nggak ada yang hiring juga,” katanya. “Bikin gue desperate banget, akhirnya apply pekerjaan di semua perusahaan yang lagi buka,” sambungnya.
Selama beberapa bulan setelah lulus kuliah, laki-laki 23 tahun itu hanya menjalani hidup dari hari ke hari, tanpa melihat prospek pekerjaan di masa depan. Kini ia mulai tertarik pada bidang asuransi, karena melihat banyaknya kesempatan berkembang, dan peluang menyukai pekerjaannya.
“Mungkin gue bakal berkembang di asuransi for the rest of my life,” ucapnya.
Mengatasi Post-Graduation Depression
Dalam bukunya, Feiler menjelaskan ketika transisi itu berhasil, seseorang mampu menemukan dirinya kembali. Karena ada berbagai cara yang bisa dilakukan, untuk terlepas dari post-graduation depression.
Pertama, mengevaluasi tingkat kontrol. Biasanya, seseorang dalam keadaan ini cenderung terfokus pada permasalahan yang terjadi, tanpa mempertimbangkan tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Bahkan menyalahkan orang lain.
Baca Juga: Kenapa Memulihkan Diri dari Depresi Penting
Putri menyatakan sempat berada dalam lingkaran itu. Ketika ia menyadari ingin berkarier di bidang klinis pelayanan gizi, ia menyalahkan orang tuanya yang dianggap mendorongnya berkecimpung di bidang manajemen.
“I just need someone to blame the feeling of lostness within me,” katanya.
Padahal ketika fokusnya diubah, seseorang yang mengalami post-graduation depression akan melihat kesempatan yang terbuka untuk memberdayakan diri, dan memilih bergerak membawa perubahan.
Cara kedua adalah mencari kegiatan dan berelasi dengan orang baru, karena pertemanan dapat berubah seiring perubahan jarak dan waktu. Terlebih saat memasuki masa dewasa, memiliki kesibukan masing-masing dan membuat hubungan renggang.
Selain membangun koneksi, peluang itu tidak hanya dimanfaatkan untuk menjalin pertemanan, melainkan memperluas koneksi.
Ketiga, menemukan prioritas dan fokus pada diri sendiri. Masa transisi dapat digunakan untuk berefleksi dan kesempatan untuk berkembang. Pasalnya, post-graduation depression juga dikarenakan membandingkan diri sendiri dengan lingkungan sekitar, menambah tekanan akibat perbedaan progres kehidupan.
Hal ini telah dilakukan Putri, yang memilih mengambil waktu sejenak untuk menganalisis situasinya. Perempuan yang akan melanjutkan pendidikan S-1 di Jakarta itu memutuskan, untuk berhenti membandingkan pencapaiannya dengan orang lain.
“I finally see there’s so much opportunity out there,” jelasnya.
Walaupun sempat merasa dikejar usia, ia menyadari dirinyalah yang mengendalikan hidup. Dan punya banyak waktu untuk merealisasikan karier idaman sesuai passion, sekalipun ia akan menyelesaikan pendidikan S-1 di usia 28.
“I’ll take my time, because I’m in a race with myself, not with someone else.”