sebelum jadi anak magang

5 Hak Anak Magang yang Perlu Dipahami Sebelum Tanda Tangan Kontrak

Tak sedikit pengalaman buruk yang dibagi para mahasiswa yang melakukan praktik kerja magang. Ada yang melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang dideskripsikan pada awal rekrutmen, bekerja di luar jam kantor, tidak menerima upah, hingga melakukan pekerjaan karyawan lainnya yang tidak menjadi kewajibannya.

Cerita serupa yang datang dari start-up Ruangguru meramaikan Twitter di pertengahan Maret lalu. Sebagian warganet menuding perusahaan tersebut dengan sengaja mempekerjakan karyawan magang karena upahnya lebih rendah.

Kejadian-kejadian tersebut membuktikan bahwa tampaknya perusahaan masih abai dalam penerapan hak dan kewajiban karyawan magang. Tentunya kita dapat belajar dari pengalaman mereka sehingga tidak perlu mengalaminya, serta bersikap lebih kritis dan selektif dalam membaca hak dan kewajiban yang diberikan oleh perusahaan.

Karenanya, kita perlu memahami lima hak anak magang berikut ini sebelum memulai praktik kerja magang. Hak-hak ini penting untuk dipahami sebelum menandatangani kontrak, agar dapat menghindar dari eksploitasi pekerjaan, yakni dipekerjakan dengan upah rendah atau tidak sama sekali, dan beban kerja yang terlalu berat untuk seorang anak magang.

Baca Juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

1. Menerima Uang Saku atau Uang Transpor

Meskipun bukan karyawan tetap, karyawan magang juga memiliki hak untuk menerima uang saku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Sering kali hak yang satu ini berada di ranah abu-abu dan anak magang pun hanya pasrah dan diam saat perusahaan tidak dapat memberikan upah. Hal ini karena mereka lebih mengutamakan pengalaman bekerja sebagai modal yang dicantumkan dalam CV-nya nanti. Memang sih, anak magang akan mendapatkan pengalaman berharga yang akan mempersiapkan mereka sebelum masuk ke dunia kerja. Tapi apa iya, dibayar dengan pengalaman itu sudah cukup?

2. Memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang dimaksud jaminan sosial di sini adalah jaminan kecelakaan kerja dan kematian.

Dicantumkannya hak ini dalam UU merepresentasikan pentingnya jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya jaminan sosial, anak magang tak perlu khawatir apabila risiko yang tidak diinginkan terjadi karena tidak mendapat pertanggungjawaban dari perusahaan. Jaminan sosial juga menjadi kebutuhan mendasar yang layak diterima.

3. Mendapatkan Bimbingan dari Supervisor Magang

Anak magang tentunya membutuhkan peran seorang supervisor dalam melaksanakan pekerjaannya. Peran ini dibutuhkan untuk memberikan arahan terkait sistem dan rangkaian pekerjaan yang harus dilakukan, menyampaikan ilmu terkait bidang pekerjaan dan realitas dalam dunia kerja, serta mengevaluasi kinerja agar dapat dikembangkan. Supervisor juga yang akan memastikan kalau praktik kerja magang yang dilakukan berjalan dengan lancar.

Apabila tidak ada keterlibatan seorang supervisor, anak magang akan kehilangan ilmu yang seharusnya bisa mereka peroleh. Meskipun mereka dapat bertanya dan belajar dari karyawan lainnya, komunikasi utama yang harus dibangun dalam lingkungan kerja tersebut ialah dengan supervisor-nya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

4. Anak Magang harus Mendapatkan Jobdesk atau Pekerjaan yang Jelas

Di sebagian tempat kerja, karyawan magang kerap dianggap sebagai sosok yang gampang disuruh-suruh. Padahal, sebagaimana karyawan tetap, mereka juga butuh kejelasan dalam hal deskripsi kerja dan kewajiban utamanya. Karyawan tetap sering kali menyuruh anak magang melakukan ini itu demi meringankan kerja mereka sendiri, tapi tidak memikirkan beban kerja si karyawan magang.

Maka itu, penting bagi karyawan magang untuk memahami dan memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukannya masuk ke dalam cakupan deskripsi pekerjaan secara tertulis yang dijelaskan sebelum periode magang dimulai.

Bila masih tetap disuruh mengerjakan hal-hal di luar deskripsi kerjanya, sebaiknya anak magang mengomunikasikannya kepada pembimbing magang agar kejadian tersebut tidak terulang dan karyawan lain pun berhenti untuk berperilaku sesukanya.

4. Anak Magang Berhak Mendapatkan sertifikat magang

Berdasarkan hak dan kewajiban anak magang yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 22 Ayat (2), seorang anak magang juga berhak untuk mendapatkan sertifikat magang apabila lulus pada akhir program.Tentunya sertifikat ini berguna sebagai bukti bahwa mereka telah memiliki pengalaman kerja secara resmi di sebuah perusahaan. Kinerja karyawan magang juga dapat dilihat dalam sertifikat tersebut, yang kemudian akan jadi pertimbangan bagi perusahaan tempat mereka melamar pekerjaan berikutnya.

Read More

Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Akhir Mei lalu, seorang pengusaha meramaikan jagat Twitter dengan sebuah video yang diunggahnya di TikTok. Ia mengatakan bahwa karyawan yang kebanyakan izin sakit sebenarnya hanya ingin menyabotase perusahaan. Menurutnya, apabila seseorang masih bisa bangun, jalan, makan, dan naik motor, artinya bisa ke kantor. Ini mengindikasikan bagaimana kesehatan mental karyawan belum dianggap penting oleh pengusaha tersebut. 

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah tertera dengan jelas bahwa dalam mempekerjakan tenaga kerja, pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Sayangnya, UU tersebut belum diimplementasikan oleh banyak perusahaan dalam konteks kesehatan mental. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental Karyawan

Sejatinya, bekerja memiliki dampak positif untuk kesehatan mental seseorang. Alasannya, dengan bekerja, kita bisa mengaktualisasi diri selain mendapat upah untuk menunjang hidup. Bekerja juga membentuk struktur dan tujuan hidup seseorang yang membuat orang-orang termotivasi untuk melanjutkan hidup karena ada yang dikejar. Di samping itu, bekerja juga membuka kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain dan menjalin pertemanan, serta sebagai sarana untuk meningkatkan harga diri seseorang dengan dihargai oleh orang lain.

Namun, dalam situasi tertentu seperti lingkungan kerja yang toksik, terus bekerja justru menimbulkan tekanan hingga memicu gangguan kecemasan, dan depresi.

Di berbagai kasus, ada bos-bos menilai beban kerja seorang karyawan tak begitu banyak sehingga tidak akan ada risiko kesehatan apa pun yang akan muncul. Tapi,  masih ada faktor lain yang menyebabkan karyawan tidak bekerja sebagaimana biasanya, yang luput dari perhatian. Lingkungan kerja toksik yang mencakup interaksi dengan kolega yang buruk di kantor, budaya kantor yang minim apresiasi, tidak memperhatikan kebutuhan khusus karyawan per individu secara psikologis bisa menjadi faktor-faktor lain pemicu masalah kesehatan mental karyawan.

Kita ambil contoh, jika seorang pekerja menerima pelecehan atau dirundung oleh rekan-rekan kerjanya hingga ia merasa tak nyaman, sangat mungkin dia mengalami penurunan performa kerja. 

Masalah jam kerja juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Sebagian perusahaan memberlakukan jam kerja yang fleksibel. Hal ini jadi dua sisi mata uang. Di satu titik, jam kerja fleksibel memungkinkan karyawan memenuhi target kerjanya, terlebih bagi perempuan pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Adanya kebijakan jam kerja ini membuat mereka bisa mengatur kapan harus berhadapan dengan laptop atau ponsel untuk bekerja, dan kapan harus mengurus anak dan rumah. 

Tapi di titik lain, khususnya selama pandemi ini, jam kerja fleksibel juga berarti kita mesti siap dipanggil, rapat, atau mengumpulkan tugas kantor kapan pun. Sebagian orang masih mengisi waktu istirahat malamnya atau mengorbankan waktu main dengan anaknya karena perusahaan masih berorientasi pada hasil. Ujungnya,work-life balance karyawan pun jadi berantakan, dan ini berisiko pada penurunan kesehatan mentalnya. 

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kenapa Perusahaan Perlu Sadari Pentingnya Kesehatan Mental Karyawan?

Masih banyak pihak, termasuk perusahaan, yang perlu disadarkan bahwa kesehatan manusia tidak hanya dilihat dari fisik saja, tetapi juga mental. Kantor menjadi salah satu tempat yang memengaruhi kesehatan mental seseorang karena adanya beban kerja berlebih yang diemban para pekerja.

Saya sering menemukan sebuah kalimat yang sepertinya dijadikan pengingat oleh para pengguna Twitter, “kerja sewajarnya karena kalau sakit, mati, keluarga yang sedih. Kantor mah tinggal cari karyawan lagi.”

Terkadang, beban kerja memang sering membuat kita lupa dengan kesehatan. Mengerjakan sesuatu sesuai deadline seperti dianggap sebagai keutamaan, tak peduli alarm burnout si karyawan sudah berbunyi. 

Alih-alih terus melanggengkan kondisi memprihatinkan seperti ini, perusahaan punya peran penting dalam membuat kebijakan yang mendukung pemenuhan kesehatan mental karyawannya. Jika tidak, ujung-ujungnya perusahaan juga merugi. 

Selain performa karyawan tak optimal lagi sehingga kurang produktif, reputasi perusahaan yang tak peduli masalah kesehatan mental juga tercoreng. Belum lagi perusahaan mesti mencari karyawan baru bila karyawan lamanya tidak tahan lagi mengemban beban kerjanya dan memutuskan resign

Perusahaan juga dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental karyawan dengan menyosialisasikan cara mengelola stres serta cara berinteraksi dengan orang lain sebelum membuat keputusan terkait kerja.Komunikasi terbuka soal masalah mental pekerja dan inklusi menjadi kunci kesuksesan perusahaan, khususnya yang melibatkan kerja tim yang tinggi. 

Baca Juga: Diskriminasi di Tempat Kerja Hantui Orang dengan Gangguan Bipolar

Apa yang Perlu Dilakukan Perusahaan?

Jika seorang pekerja yang mengalami radang sendi langsung berobat ke dokter, mengapa saat dia mengalami burnout, depresi, dan kecemasan lebih memilih untuk menyimpan situasi tersebut pada diri sendiri dan terus memaksakan diri bekerja?

Bisa jadi mereka ragu untuk mengungkapkannya ke perusahaan karena khawatir tidak mendapat toleransi. Bisa jadi pula, masalah kesehatan mental di kantor hanya dikaitkan dengan kurangnya seseorang beribadah, terlalu ‘lembek’ saat diberi pekerjaan menantang, dan berbagai persepsi keliru lainnya.

Untuk mengubah kondisi itu, pihak perusahaan perlu membuat perubahan atau inisiasi kebijakan dalam menyikapi kesehatan mental karyawan. Mereka dapat membentuk ruang dengar untuk menerima keluh kesah pekerjanya dan memberikan fasilitas yang sama dengan kesehatan fisik. Bagi sebagian perusahaan, hal ini hanya membuang-buang anggaraan saja, padahal ditegakkannya kesadaran atas pentingnya kesehatan mental bisa berdampak positif dalam jangka panjang.

Sebuah regulasi dapat ditetapkan untuk mendukung kesehatan mental para pekerja. Misalnya, dengan membentuk Employee Assistance Program (EAP). Menurut sekelompok peneliti dari Illinois, Amerika Serikat, program ini berfungsi sebagai layanan pendampingan untuk membantu para pekerja dalam mengenal dan menyelesaikan permasalahan yang menghambat produktivitas kerja. Permasalahan yang pekerja hadapi sampai mengalami penurunan kesehatan mental bisa disebabkan oleh gangguan emosional, stres, kesehatan fisik, keuangan, keluarga, atau masalah pribadi yang memengaruhi kinerja.

Toleransi Perusahaan pada Karyawan Bermasalah Mental

Meskipun masih terganjal stigma, isu kesehatan mental semakin menjadi kesadaran masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dialami oleh Agni Larasati (40), yang berprofesi sebagai seorang pekerja media. Beban kerja yang berat di industri media membuatnya seperti tidak memiliki batasan antara kehidupan dan pekerjaan karena dapat dihubungi kapan pun.

Saat ia menyadari bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja, Agni memilih untuk menceritakan situasinya setelah hasil medis keluar karena saat itu, kondisinya tidak semua orang paham tentang kesehatan mental.

“Saya pergi ke psikiater dan melakukan sejumlah tes. Ternyata hasilnya memang buruk sehingga enggak bisa bekerja dengan kompeten untuk sementara waktu. Saya pun mengajukan resign karena kalau cuti tak berbayar, takutnya masih dihubungi kantor untuk urusan pekerjaan dan jadi beban untuk segera pulih,” tuturnya.

Agni mengatakan bahwa perusahaannya sempat memberikan beberapa opsi selain cuti tak berbayar, seperti diizinkan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan si pekerja saat itu. Namun, rehat dari seluruh aktivitasnya saat itu menjadi hal yang paling diperlukan.

Ia pun menyatakan bahwa perusahaannya justru memberikan dukungan untuk memulihkan kesehatan mental. “Dari kantor memang belum ada fasilitas kesehatan mental, tetapi mereka memberikan kelonggaran untuk mengatur jadwal pekerjaan dan ruang bagi pekerjanya untuk mengomunikasikan kondisi diri yang tengah dialami. Selain itu, kami juga bisa me-reimburse biaya konseling,” ceritanya.

Berdasarkan pengalaman Agni, tampaknya langkah baik memang sudah dimulai oleh beberapa perusahaan di Indonesia dengan memfasilitasi layanan EAP untuk para pekerja. Setidaknya hal ini telah dilakukan oleh Allianz, AirNav Indonesia, dan PTPN. Ketiganya menyadari bahwa di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh situasi pandemi, kesehatan pekerjanya semakin perlu diprioritaskan karena mereka adalah aset terpenting bagi perusahaan.

Bukan tanpa sebab, tapi korporasi yang melek dengan kesehatan mental dan berusaha untuk memberikan fasilitas, akan menciptakan pekerja yang sadar akan kesejahteraannya. Lingkungan pekerjaan pun menjadi lebih positif, serta mendorong dan memberdayakan mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja.

Read More

4 Film yang Gambarkan ‘Ageism’ terhadap Perempuan Pekerja

Saat menjadi pembawa acara penghargaan film Golden Globes 2014, komedian Tina Fey menyindir diskriminasi usia atau ageisme yang marak di industri film Hollywood dalam monolog pembuka perhelatan tersebut.

“Meryl Streep brilian banget di film August: Osage County. Membuktikan bahwa masih ada peran-peran dahsyat di Hollywood untuk Meryl Streep setelah berusia 60 tahun,” ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Pernyataan itu akurat menggambarkan ageism atau diskriminasi usia terhadap perempuan di industri film tersebut. Aktris yang telah berumur biasanya lebih sulit mendapatkan pekerjaan, digantikan oleh wajah-wajah baru yang jauh lebih muda yang secara fisik dianggap lebih menarik. Hanya ada satu-dua pengecualian, seperti pada aktris peraih Oscar, Meryl Streep. 

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Di dunia kerja secara umum, diskriminasi usia terhadap perempuan juga marak. Perempuan yang berada di usia reproduksi aktif sering kali dihadapkan dengan stereotip tentang status mereka sebagai seorang istri dan ibu sehingga dianggap tidak dapat melakukan beban kerja sebanyak pria. Sementara perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung dikategorikan sebagai pekerja dengan performa yang kurang baik.

Meskipun sebagian di antaranya disampaikan secara tersirat, empat film ini telah menyuarakan isu ageisme terhadap perempuan di tempat kerja. Melalui karakter dan alur ceritanya, kita dapat mempelajari cara memperjuangkan hak untuk tetap bekerja jika suatu saat harus berhenti dipekerjakan karena alasan ageisme.

1. What Men Want (2019)

Film tentang ageisme What Men Want (2019)
Kredit: IMDb

Film tentang ageisme pertama yang saya bahas adalah What Men Want. What Men Want menceritakan tentang Ali Davis (Taraji P. Henson), seorang agen atlet yang sukses, yang merasa dikucilkan oleh rekan-rekan kerjanya yang sebagian besar adalah laki-laki. Ia tidak pernah mendapatkan promosi jabatan karena sang atasan menganggapnya kurang mampu berhubungan baik dengan laki-laki.

Davis kemudian memutuskan untuk pergi ke paranormal agar ia dapat mengetahui isi pikiran pria. Tak disangka, kemampuan itu ia miliki setelah mengalami kecelakaan sepulang dari rumah sang paranormal.

Film ini menampilkan stereotip bagaimana perempuan cenderung suka hal-hal “mistis”. Namun, film ini menggambarkan bagaimana perempuan hanya perlu memprioritaskan dan memahami perasaan dan isi kepalanya sendiri, tanpa harus berupaya keras memahami isi pikiran pria, karena keberadaan mansplaining sudah sangat menjelaskan perspektif mereka.

2. The Intern (2015)

Film Ageisme The Intern (2015)
kredit: IMDb

Selain karakter Ben Whittaker (Robert De Niro) yang mengalami ageisme sebagai seorang lansia, Jules Ostin (Anne Hathaway) selaku founder dan CEO sebuah perusahaan rintisan tempat Ben magang pun merasakan hal yang sama. Ia diminta untuk memberikan jabatannya ke orang lain lantaran para investor menganggap dirinya yang perempuan dan seorang ibu sudah tidak dapat mengatasi beban kerja.

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Padahal, Ostin telah mengembangkan startup itu menjadi sebuah perusahaan besar hanya dalam 18 bulan. Ia pun mempertimbangkan untuk melepaskan jabatan tersebut demi menyelamatkan pernikahannya

3. Film Tentang Ageisme Terhadap Perempuan Pekerja: The Devil Wears Prada (2006)

The Devil Wears Prada (2006)
Kredit: IMDb

Posisi Miranda Priestly (Meryl Streep) selaku pemimpin redaksi Runway Magazine nyaris digantikan karena jajaran direksi menganggap perannya perlu dipegang oleh sosok perempuan yang lebih muda, yakni Jacqueline Follet (Stephanie Szostak). 

Baca Juga: 5 Film yang Menunjukkan Kompleksitas Perceraian

Meskipun harus mengorbankan seorang rekan kerja demi menyelamatkan posisinya, Priestly dapat mengatasinya dengan memberikan opsi bagi Follet untuk mengisi bangku Creative Director bersama seorang desainer. Alhasil ia tetap menggerakkan Runway.

Memang terkesan licik, tapi karakter Priestly mencerminkan perempuan yang harus memperjuangkan haknya apalagi jika ia sudah berumur. Ia membuktikan bahwa usia bukan batasan bagi seorang perempuan untuk berhenti berkarya.

4. Duty Free (2021)

Duty Free (2021)
Kredit: IMDb

Mencari pekerjaan di usia lanjut merupakan salah satu kesulitan yang akan dihadapi seseorang karena dianggap optimalisasi dalam melakukan pekerjaan yang jauh berkurang. Hal ini terbukti melalui Duty Free, sebuah film dokumenter dengan karakter utama Rebecca Danigelis, yang dipecat dari profesinya sebagai seorang housekeeping supervisor di sebuah hotel. 

Baca Juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Kehilangan pekerjaan membuatnya merasakan sesuatu yang kurang dalam dirinya, sedangkan ia merasa tidak dapat berbuat apa pun, sesederhana menyusun daftar riwayat hidup untuk kembali mencari pekerjaan.
Hati kita akan dibuat pilu akibat harus menyaksikan seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat ageism, saat ia hanya ingin memiliki sumber penghidupan agar merasa aman di lingkungan sosial. Untunglah anak sulungnya menghibur sang ibu dengan mengajaknya berkeliling ke dua benua.

Read More
Peran Laki-laki dorong kepemimpinan perempuan

6 Peran Laki-laki dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan

Meskipun kini perempuan sudah turut melibatkan diri sebagai pemimpin, perjalanan melawan konstruksi budaya belum berakhir. Lingkungan sosial masih beranggapan bahwa kepemimpinan yang baik hanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh peran laki-laki.

Data dari Badan PBB untuk perempuan, UN Women, menunjukkan bahwa hanya 22 perempuan yang menjabat sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, sedangkan 119 negara tidak pernah memiliki pemimpin perempuan sama sekali. 

Sementara di industri bisnis, menurut laporan Grant Thornton International yang dipublikasikan pada 2019, secara keseluruhan, perempuan memegang 29 persen kepemimpinan senior secara global, angka yang hanya naik 10 persen dalam 15 tahun terakhir. Selain itu, hanya 15 persen bisnis di dunia yang memiliki perempuan CEO. Posisi senior yang paling banyak dijabat perempuan adalah direktur sumber daya manusia, yaitu 43 persen.

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan masih tertinggal dalam urusan kepemimpinan. Untuk meningkatkan kepemimpinan perempuan, perlu ada kontribusi laki-laki sebagai pihak yang mendominasi banyak sektor, terutama di masyarakat yang masih patriarkal ini. Kontribusi laki-laki dapat dimulai dari lingkungan keluarga hingga institusi. 

Berikut peran laki-laki yang dapat membantu dalam membentuk kepemimpinan perempuan.

1. Ayah Mengambil Peran Laki-laki Di Rumah yang Bisa Mendorong Anak Perempuan jadi Pemimpin

Seorang ayah harus bisa mengambil peran laki-laki yang dapat mendampingi, mengajari dengan kesabaran, dan menanamkan nilai-nilai serta kepercayaan diri penting agar anak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Hal-hal tersebut merefleksikan sifat yang dibutuhkan dalam menjalankan kepemimpinan, yakni kemampuan untuk mengobservasi, berani mengambil keputusan, dan mendengarkan anggota timnya, bukan hanya memberikan evaluasi kinerja tanpa adanya arahan.

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Tak hanya itu, peran laki-laki yang dapat memperlakukan pasangannya sebagai mitra yang setara akan menjadi contoh baik kepada anak perempuan soal pentingnya kesetaraan dan itu sesuatu yang harus dituntut dari lingkungannya. 

Selain itu, seorang ayah juga perlu membebaskan anak dalam menentukan cita-cita tanpa mengkritisi pilihannya. Hal ini merupakan wujud dukungan sehingga muncul keberanian dan tekad dalam diri anak. Hindari memberikan opini yang seolah menjadi risiko apabila perempuan ingin berperan sebagai seorang pemimpin, seperti sulit menemukan pasangan atau kewajiban perempuan ialah mengurus rumah tangga.

2. Peran Kakak Laki-laki yang Dapat Mengajari Adik Perempuan

Hubungan kakak beradik menjadi salah satu lingkungan pertama anak-anak dalam mempelajari hubungan sosial. Melalui hubungan ini, peran kakak laki-laki dibutuhkan dalam memberikan pemahaman terkait lingkungan sosial. Ia dapat menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah setara dan sama, adik perempuan bisa main apa saja seperti dirinya, dan perempuan bisa menjadi apa pun yang dia mau, bahkan di bidang studi atau sektor yang didominasi laki-laki. 

Kakak laki-laki juga bisa memberikan contoh-contoh pengetahuan tentang perempuan-perempuan inspiratif. Atau menjadi teman berdiskusi yang baik untuk mengajarkan adiknya agar berani berpendapat di lingkungan keluarga maupun sekolah. 

3. Teman yang Ada Bagi Sahabat Perempuan

Sebagaimana peran seorang teman, keberadaan atau peran laki-laki dapat mendorong perempuan untuk berani maju dan mengambil risiko dalam melakukan pekerjaan. Dukungan tersebut akan memberikan kenyamanan dan menciptakan mindset positif sehingga perempuan siap untuk melakukan perubahan dalam kariernya, misalnya.

Baca Juga: Contoh Pemimpin Idola yang Bisa Dijadikan Panutan

Dalam menjalankan kepemimpinan, tentunya terdapat banyak tuntutan sehingga memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pada situasi ini, dukungan seorang teman tak kalah penting untuk work-life balance. Oleh karena itu, sebaiknya luangkan waktu sejenak dan ajak mereka untuk bersenang-senang, serta berikan ruang untuk saling menceritakan keseharian. Aktivitas ini dapat mengembalikan energi sekaligus memperkuat ikatan interpersonal yang dimiliki.

Kemudian, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat tertentu, seperti merayakan keberhasilan untuk mengapresiasi kinerja dan dampak kepemimpinan yang diciptakan dalam pekerjaannya.

4. Pasangan yang Menjadi Mitra Sejajar

Sebuah studi dari Vannoy dan Philliber pada 1992 menemukan bahwa harapan seorang suami, identitas peran gender, dan dukungan terhadap istri yang bekerja berkaitan dengan kualitas pernikahan.

Suami dapat menunjukkan kontribusinya dalam karier istri, yakni dengan bertukar pikiran untuk mendiskusikan topik atau permasalahan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan bekerja sama dalam menjaga anak. Dukungan emosional pun dapat diwujudkan, seperti berperan sebagai pendengar yang baik, serta memahami dan percaya pada tujuan kariernya. Selain itu, memberi pengakuan atas pekerjaannya pun mampu membuat mereka merasa dihargai karena afirmasi dikategorikan sebagai hal yang penting.

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Dengan demikian, istri akan merasakan keterlibatan suami, baik dalam pengembangan diri maupun pencapaian karier.

5. Atasan yang Menjadi Mentor

Pada 2010, hasil riset Personnel Psychology, sebuah lembaga penelitian yang memusatkan risetnya pada kondisi psikologis orang-orang di tempat kerja, menunjukkan bahwa bimbingan yang diberikan oleh atasan laki-laki mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesuksesan karier perempuan, terutama bagi mereka yang bekerja di industri yang didominasi laki-laki.

Sebagai atasan dalam lingkungan kerja, laki-laki dapat melibatkan dirinya sebagai seorang mentor. Melalui peran tersebut, ia mampu menggunakan otoritasnya dalam memberikan pengembangan profesional guna membekali anggotanya dalam mengembangkan skill kepemimpinan. Kegiatan tersebut akan membantu para perempuan untuk menemukan kapabilitas dalam dirinya.

6. Kolega yang Mendukung Perempuan

Kenyamanan lingkungan kerja menjadi tanggung jawab seluruh anggota tim di mana setiap orang berkeinginan dan perlu dihargai. Oleh karena itu, para kolega pun perlu memberi ruang bagi perempuan untuk menyampaikan aspirasinya dan melibatkan mereka untuk berkontribusi dalam mengambil berbagai keputusan. Dengan demikian, tak ada yang merasa diasingkan atau diperlakukan sebagai minoritas dalam lingkungan kerja.

Baca Juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Untuk mendukung perempuan dalam kepemimpinan, para kolega juga dapat memberikan mereka kesempatan untuk memimpin berbagai project. Dengan memberikan kesempatan, perempuan akan menemukan keunggulannya, hal yang disukai, dan menunjukkan potensi kepemimpinannya. Para atasan perusahaan pun akan memberikan pengakuan dan promosi untuk kariernya.

Itulah beberapa peran laki-laki yang dibutuhkan dalam membentuk kepemimpinan perempuan. Perlu dilakukan kerja sama untuk membuat suatu perubahan dalam menciptakan kesetaraan gender sehingga keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik.

Read More
Hubungan Ageism Bagi Perempuan Pekerja

Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja

Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kamera dari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.

Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.

Apa Itu Ageism?

Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.

Diskriminasi usia ini sesungguhnya menghalangi perkembangan karier perempuan

Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan. 

Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.

UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.

Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme

Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.

Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.

Baca Juga: Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Diskriminasi usia berbasis gender yang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.

Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.

Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.

Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.

Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.

Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?

Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.

Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.

Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.

Read More
fresh graduate cari kerja

10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Tahun ini merupakan tahun kedua bagi para fresh graduate melamar pekerjaan di tengah pandemi. Dalam situasi serba tak pasti dan krisis seperti sekarang, anak-anak muda yang baru lulus atau fresh graduate menghadapi tantangan lebih besar. 

Ketika fresh graduate melamar kerja, perusahaan akan lebih selektif dan barangkali juga menawarkan upah yang tidak seperti dikehendaki si pencari kerja. Jumlah lowongan kerja pun menurun sampai 75 persen pada April 2020, seperti yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS). 

Pada akhirnya, hal ini bisa berkontribusi negatif pada kesehatan mental orang-orang yang baru di-PHK, pengangguran, termasuk para fresh graduate. Mereka rentan stres, apalagi jika mereka menghadapi kesulitan dan kegagalan dalam proses rekrutmen.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Untuk meningkatkan kesempatan lamaran dibaca oleh perekrut, saat fresh graduate melamar kerja, sebaiknya kamu menerapkan sikap sopan dan etika. Kedua hal tersebut perlu dibangun sejak mengirimkan lamaran untuk membentuk kesan yang baik dan menjadi pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap rekrutmen selanjutnya. Perekrut pun dapat melihat cerminan karakter pelamar saat bekerja berdasarkan sikap dan etika yang terbentuk dari awal.

Beberapa tips berikut ini dapat diterapkan oleh para fresh graduate dalam mencari pekerjaan. Dengan menerapkan strategi yang tepat dalam melamar kerja, kesempatan yang digunakan akan lebih efektif dan bermanfaat.

Do’s

1. Tips Pertama untuk Fresh Graduate: Kenali Tujuan Karier

Setelah lulus dari bangku perkuliahan, seorang fresh graduate sebaiknya mengenali tujuan karier serta strategi yang dapat dilakukan untuk mencapainya. Hal ini akan membantu dalam menentukan tempat kerja yang akan dilamar agar sesuai dengan karakteristik dan diperkirakan akan membantu mencapai tujuan tersebut.

Umumnya, tujuan karier menjadi salah satu pertanyaan dalam wawancara kerja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang fresh graduate memiliki rencana dalam hidupnya yang juga memberikan motivasi dalam bekerja.

2. Fresh Graduate Harus Bisa Menulis Body Email yang Baik

Cara seorang pelamar kerja menuliskan body email dapat menentukan impresi perekrut. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana seseorang berusaha membangun interaksi yang baik dengan pihak perekrut.

Ada beberapa hal yang perlu ditulis pada body email. Pertama, sapaan pembuka untuk HRD perusahaan yang namanya dapat ditulis jika memang diketahui. 

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Kedua, pada paragraf pertama, kita dapat mengutarakan tujuan mengirimkan email tersebut dan dari mana informasi lowongan pekerjaan itu diperoleh.

Ketiga, penjelasan diri terkait relevansi diri dengan perusahaan dan posisi yang dilamar, apa saja yang dapat diberikan ke perusahaan, dan menceritakan kembali pengalaman bekerja yang sesuai, tetapi tidak dijelaskan dalam CV.

Keempat, utarakan antusiasme untuk bergabung dengan perusahaan tersebut, ucapan terima kasih pada penerima email, dan menyertakan kontak yang dapat dihubungi.

3. Menjelaskan Garis Besar Job Description di Pengalaman Kerja Sebelumnya

Dalam menyebutkan pengalaman kerja di CV, tak cukup jika hanya menyebutkan profesi yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, detail dari cakupan pekerjaan yang pernah dilakukan perlu dijelaskan secara singkat agar perekrut dapat memahami pengalaman tersebut.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Format penulisannya dapat ditulis dalam bullet point supaya lebih mudah dibaca dan tidak memakan waktu lama bagi perekrut untuk membacanya.

4. Susun Portofolio di Platform yang Mudah Diakses

Pada pekerjaan tertentu, portofolio dibutuhkan agar perekrut mengetahui kualitas dan kapabilitas pelamar kerja melalui berbagai proyek yang pernah dikerjakan. Agar terlihat profesional dan memudahkan perekrut mengaksesnya, pelamar kerja dapat memanfaatkan berbagai layanan blog gratis seperti WordPress, Wix, dan lain-lain.

Selain bermanfaat untuk perekrut, menyusun portofolio dalam sebuah platform juga mampu memudahkan pelamar kerja dalam memantau perkembangannya dalam setiap proyek yang dikerjakan.

5. Memeriksa Kesalahan Ketik dan Ejaan 

Mungkin terlihat sederhana, tetapi hal ini dapat berpengaruh besar karena mencerminkan ketelitian. Impresi yang dimiliki oleh perekrut akan kurang baik apabila dari penulisan berkas lamaran saja sudah tidak teliti. Kemungkinan mereka akan mempertanyakan kecakapan pelamar dalam melakukan pekerjaan.

Lakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan tidak terdapat kesalahan ketik dan ejaan saat dokumen selesai ditulis dan sebelum dikirimkan.

Don’ts

1. Hanya Mengirimkan CV Tanpa Surat Lamaran dan Portofolio

CV merupakan dokumen yang dapat merepresentasikan perjalanan karier seseorang. Namun, gambaran dari pekerjaan yang pernah dilakukan tidak dapat dipahami dengan baik apabila tidak disertakan dokumen pendukung yang menunjang kelengkapannya.

Baca Juga: Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Portofolio dan surat lamaran merupakan dokumen yang dapat membantu perekrut dalam mengenal kapabilitas dan pengalaman kerja secara lebih detail. Mereka akan lebih mudah menilai apakah pelamar kerja yang bersangkutan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan.

2. Menggunakan Surat Lamaran Template untuk Semua Perusahaan

Setiap perusahaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Tentunya kemampuan yang tertulis pada surat lamaran perlu disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, penting bagi pelamar untuk menyesuaikan setiap surat lamaran yang dikirim ke beberapa perusahaan. 

Selain itu, menggunakan template surat lamaran juga kurang menunjukkan besarnya antusiasme untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan, bukan sekadar melamar demi untuk mendapatkan pekerjaan. 

Hindari pula copy paste contoh surat lamaran yang beredar di internet.

3. Fresh Graduate Biasanya Melebih-lebihkan Kemampuan Diri

Penting bagi seorang pelamar kerja untuk memastikan bahwa yang tertulis dalam dokumen yang dikirimkan sesuai dengan kompetensi dalam diri, kualifikasi pekerjaan yang dilamar, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Di samping itu, kejujuran merupakan sikap yang perlu ditekankan saat melamar kerja. Lebih baik memiliki kemampuan yang terbatas dengan keinginan untuk mengembangkannya dibandingkan melebih-lebihkan, tetapi tidak dapat membuktikan kapabilitas yang sebenarnya.

4. Melamar ke Perusahaan Tanpa Melakukan Background Checking

Melakukan sebuah pekerjaan diharapkan dapat dilakukan dalam jangka panjang. Untuk mengenal budaya dan lingkungannya, pelamar kerja perlu melakukan riset untuk menelusuri latar belakang perusahaan yang ingin dituju. Langkah ini berguna untuk memastikan apakah perusahaan tersebut sesuai dengan kepribadian dan gol mereka dalam dunia karier.

5. Tidak Mengecek/Menyesuaikan Konten Media Sosial Kita

Para perekrut di berbagai perusahaan sudah kerap mengecek profil atau rekam jejak digital pelamar sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk merekrut seseorang. Karenanya, jika media sosial kita tidak digembok, tidak ada salahnya melihat lagi apa ada yang perlu dihapus/simpan dalam rangka melamar kerja. 

Tidak jarang seseorang punya pencitraan  yang jauh berbeda antara di dunia nyata (misal, lewat lamaran kerja) dan di dunia virtual. Misalnya, saat wawancara kita mengaku mendukung keberagaman, tapi ternyata kita menyimpan konten merendahkan komunitas/orang tertentu. 

Kita tidak mau kan, memberi kesan buruk saat pertama kali melamar/wawancara kerja? Karenanya, penting memperhatikan aspek media sosial yang sering dianggap remeh banyak pelamar.  

Read More