Dalam perjalanannya memberikan advokasi dan edukasi pada perempuan tuli mengenai isu-isu gender, aktivis Nissi Taruli Felicia mengatakan, dirinya kerap menemukan hambatan berlapis yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas.
Ia mencontohkan bagaimana ada ketidakadilan dalam sistem pemberian upah yang membuat perempuan tuli buruh pabrik mendapatkan upah yang lebih rendah daripada rekan-rekan kerjanya.
“Saat ditanyai, pihak pabrik tidak mau menjelaskan alasannya. Yang jelas ini berlapis, mungkin berkaitan dengan (bias) gender karena dia perempuan, ditambah lagi dia tuli. Dianggapnya kan orang tuli itu tidak berdaya, bisa dibodoh-bodohi,” kata Nissi, yang merupakan pendiri Feministhemis, sebuah kolektif kesetaraan gender bagi para perempuan tuli, kepada Magdalene (14/6).
Perempuan penyandang disabilitas harus menghadapi hambatan yang sangat berlapis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pekerjaan, ujarnya.
“Sudah dia perempuan, yang secara stigma dan stereotip gender ada di bawah laki-laki, dia punya disabilitas pula yang dianggap ada di bawah orang-orang non-disabilitas. Rentan menjadi korban kekerasan seksual iya, akses kerjanya minim juga iya,” Nissi menambahkan.
Ia mengatakan banyak sekali perempuan tuli yang belum memiliki pemahaman mengenai hak-hak yang mereka miliki di dunia kerja, seperti cuti haid dan melahirkan.
Baca juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja
Nissi dan kolektifnya memiliki niat dan agenda untuk mengedukasi para perempuan tuli mengenai isu dunia kerja, termasuk aksesibilitas dan hak-hak para pekerja. Tapi kemudian masalah lain datang, yaitu sulitnya untuk mendapatkan data jumlah tenaga kerja dan/atau perempuan tuli yang tercatat menjadi pekerja profesional karena tidak ada data yang benar-benar representatif, ujar Nissi. Hal ini kerap kali menghambatnya untuk memetakan kajian dan pendekatan apa yang dibutuhkan para perempuan tuli di dunia kerja.
“Padahal, kondisinya ini sangat memprihatinkan. Dari beberapa kegiatan yang pernah saya lakukan, saya tersadar kalau ternyata masih banyak perempuan tuli yang belum sadar kalau dirinya dilecehkan, belum sadar apa saja bentuk-bentuk pelecehan, belum tau kalau mereka bisa mengajukan cuti,” kata Nissi.
Stigma terhadap Penyandang Disabilitas, Minimnya Kesempatan untuk Terlibat
Aktivis disabilitas Bagja Prawira mengatakan, akar dari minimnya kesempatan kerja bagi disabilitas terletak pada akses keterlibatan penyandang disabilitas itu sendiri. Berbagai instansi swasta hingga pemerintah kerap kali mengadakan diskusi untuk merumuskan serangkaian program dan kebijakan tanpa benar-benar mendengarkan dan melibatkan kelompok disabilitas, ujar Bagja.
Dalam kehidupan sehari-hari, sistem yang diterapkanbelum mengakomodasi kebutuhan dan keadilan bagi kelompok disabilitas. Di sisi lain, menurut Bagja, ada stigma mengakar tentang kelompok disabilitas dan ketidakberdayaannya (ableism), sebuah cara pandang yang penuh ketidakadilan.
Baca juga: 3 Alasan Penyandang Disabilitas Intelektual Masih Sulit Dapat Kerja
Selain itu, ia menambahkan, stigma akan ketidakberdayaan kelompok disabilitas sendiri disebabkan oleh minimnya akses untuk mendapatkan hal-hal fundamental dalam kehidupan yang setara dengan orang-orang non-disabilitas, dari fasilitas publik sampai pendidikan. Bagja mengatakan, sistem pendidikan bagi kelompok disabilitas belum adil dan timpang dengan sistem pendidikan bagi orang-orang non-disabilitas.
“Misalnya, di Sekolah Luar Biasa (SLB), pelajarannya itu lebih ke hal-hal praktik, seperti menjahit, berkebun, dan sebagainya. Murid-muridnya tidak diberikan akses pelajaran tentang critical thinking, design thinking, seperti murid-murid di sekolah biasa. Padahal ini juga dibutuhkan oleh anak-anak dengan disabilitas,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Lalu, kalau anak-anak di sekolah biasa itu sudah terbiasa berorganisasi, tahu caranya rapat formal, berdiskusi dengan orang-orang. Kalau anak-anak dengan disabilitas kan tidak mendapatkan kesempatan seperti ini. Ini kemudian berdampak pada kesempatan mereka di dunia kerja, jadi dianggap terbelakang, tidak berdaya. Padahal masalah aksesnya saja tidak ada.”
Dia juga menyinggung soal minimnya akses kelompok disabilitas terhadap informasi, yang salah satunya karena kebanyakan perusahaan dan lembaga pemerintah belum menyediakan informasi yang aksesibel bagi kelompok disabilitas, misalnya Juru Bahasa Isyarat (JBI). Fasilitas bagi kelompok disabilitas ini sering kali dianggap memakan biaya dan tenaga lebih ketika sebenarnya ini adalah langkah pemenuhan hak yang sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Baca juga: Anak-anak dengan Autisme Hadapi Masalah Akses Pendidikan
Regulasi Soal Disabilitas Baik, Implementasi Buruk
Secara substansi, UU No. 8/2016, menurut Bagja, sudah secara komprehensif mengatur berbagai pemenuhan hak kelompok disabilitas. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut masih sangat minim.
Pasal 53 UU tersebut, misalnya, mengatur bahwa instansi pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling penyandang disabilitas dengan jumlah paling sedikit 2 persen dari jumlah pegawai atau pekerja. Sementara itu, jumlah pekerja penyandang disabilitas di perusahaan swasta seharusnya mencapai sedikitnya 1 persen.
Namun, dalam penelitian berjudul “Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Mendapatkan Pekerjaan di BUMN” (2019), Susiana dan Wardah dari Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa ketentuan dalam UU tersebut belum terpenuhi, paling tidak di Aceh. Dari empat BUMN yang ada di provinsi tersebut, hanya satu BUMN yang sudah mempekerjakan orang dengan disabilitas sebanyak tiga orang.
Hal ini juga diperburuk dengan terbatasnya kesempatan kerja untuk jenis-jenis pekerjaan dan jabatan tertentu, terbatasnya informasi yang tersedia di pasar kerja bagi kelompok disabilitas, lingkungan kerja yang sulit diakses karena fasilitas pendukung yang kurang, stigma masyarakat pada ketidakberdayaan mereka, dan masih banyak lagi.
Untuk memperbaiki situasi ini, menurut Bagja, salah satu kuncinya adalah melibatkan kelompok disabilitas dalam pengambilan keputusan di berbagai kepentingan. Hal ini bisa datang dari kesadaran setiap orang untuk mendengarkan dan menegakkan hak semua kalangan. Agar kesadaran itu bisa timbul, aktivis dan komunitas disabilitas harus solid untuk terus mengedukasi pemerintah dan masyarakat tentang disabilitas itu sendiri, ujar Bagja.
“Pemerintah juga harus berkontribusi, misalnya lewat sistem pendidikan. Selama sekolah, apakah kita pernah diajarkan bahwa kita harus memperlakukan semua orang setara, termasuk kelompok disabilitas? Saya yakin, banyak dari orang-orang non-disabilitas yang belum pernah berinteraksi dengan orang-orang disabilitas,” ujarnya.