kehilangan motivasi kerja

Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

kehilangan motivasi kerja – Perasaan jenuh saat bekerja adalah hal yang lumrah terjadi. Bisa saja hal itu muncul sebentar, tetapi bisa juga dalam jangka panjang. Ketika kejenuhan itu terus menerus berlangsung, sangat mungkin performa kerja dan produktivitas seseorang terpengaruh, sehingga menghambat kerja tim di tempat kerja. Ujung-ujungnya, performa perusahaan pun terjun.

Ketika rasa jenuh melanda, tidak jarang seseorang berpikir, buat apa saya bekerja di sini? Ia bisa mempertanyakan kenapa sejak awal memilih berkarier di tempatnya sekarang. Seiring dengan itu, ia mulai kehilangan ketertarikan serta antusiasme untuk bekerja.

Jika kamu pernah atau sedang mengalaminya, bisa jadi kamu mengalami demotivasi. Dalam kamus American Psychological Association (APA), demotivasi didefinisikan sebagai gambaran negatif atau self-talk negatif yang menekankan pada kenapa seseorang tidak bisa mengerjakan tugas dengan baik. Alhasil, itu mendorongnya untuk tidak melakukan usaha apa pun untuk memperbaikinya. Sementara dalam IGI Global disebutkan, demotivasi merupakan keadaan berkurangnya ketertarikan, antusiasme, dan keinginan untuk tampil baik dalam suatu hal karena pengaruh-pengaruh negatif tertentu. 

Dalam Linkedin, manajer sumber daya manusia dari Aktiv Software & iCreative Technologies, Vaibhavi Choksi mengatakan bahwa kehilangan motivasi kerja atau demotivasi itu bisa menular. Ketika ada satu pekerja yang merasakan hal tersebut karena berbagai faktor di kantor, pekerja lainnya bisa merasakan hal serupa.

Baca juga: Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Penyebab Demotivasi Kerja

Choksi mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa menciptakan demotivasi pada pekerja:

  1. Kurangnya apresiasi

Meskipun seseorang sudah menunjukkan usaha seoptimal mungkin, pihak atasan maupun rekan kerja lainnya masih mengabaikan hal tersebut dan tidak memberi feedback positif atau pujian kepadanya. 

Ini bisa menimbulkan perasaan sudah melakukan hal sia-sia dalam diri pekerja tersebut. Ia pun bisa mulai merasa malas untuk tampil optimal seperti dulu karena ujungnya tak ada hadiah apa pun yang diraihnya.

  1. Terlalu banyak pekerjaan

Hal ini bisa membuat seorang pekerja sangat kewalahan, sehingga berdampak buruk terhadap kemampuannya untuk bekerja dengan baik dan tepat waktu. Saat hasil kerjanya tak sesuai harapan atau jauh di bawah targetnya, hal tersebut juga dapat menurunkan motivasinya untuk bekerja.

  1. Favoritisme

Tidak jarang di kantor ada atasan yang menunjukkan sikap favoritisme atau pilih kasih terhadap sebagian karyawan. Walau seseorang sudah melakukan pekerjaan sesuai harapan dari atasannya, tetap saja ia tak diapresiasi oleh atasannya itu. Malah, rekan kerja mereka yang sebenarnya bekerja tak lebih baik darinya atau biasa-biasa saja yang lebih mendapat sorotan. 

  1. Tak ada kepercayaan

Ketika seorang pekerja tidak dipercaya oleh rekan kerja maupun atasannya, ia pun bisa merasa pekerjaan atau keberadaannya tidak bernilai. Ketidakpercayaan dari atasan atau rekan kerja bisa terlihat dari besarnya campur tangan mereka dalam pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan sendiri, atau sikap meremehkan dan anggapan bahwa pekerja tersebut tak cukup berpengalaman atau piawai dalam melakukan suatu tugas. 

Perasaan tidak berharga atau tidak dipercayai ini pada akhirnya mengendurkan rasa keterikatannya dengan orang-orang kantor dan perusahaan, sehingga ia pun merasa tak ingin-ingin amat untuk berkontribusi lebih ke perusahaan.

  1. Miscommunication

Di sebagian kantor, ada atasan yang hanya memberi secuil informasi atau tidak sama sekali seputar perusahaannya. Hal tersebut bisa menjadi pemicu hilangnya motivasi kerja atau demotivasi karena menyiratkan sang atasan atau perusahaan tidak sepenuhnya mempercayai para pekerjanya. Padahal, membagikan informasi tentang suatu pekerjaan itu penting karena berpengaruh terhadap hasil kerja karyawan. 

Baca juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Apa yang Bisa Kita Lakukan Saat Mengalami Ini?

Ketika seorang pekerja mengalami demotivasi, sangat mungkin ia terpikirkan untuk buru-buru keluar dari tempat kerjanya. Namun tunggu dulu, bisa jadi itu bukan keputusan yang tepat untuk segera diambil. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebelum sampai pada keputusan itu.

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Dalam The Guardian, konsultan eksekutif dari The Forum Corporation, David Robertson menyarankan pekerja yang mengalami demotivasi untuk pertama-tama mengenali pemicu demotivasinya itu. Selain hal-hal yang disebutkan Choksi tadi, pemicu demotivasi menurut Robertson bisa saja berupa perubahan dalam perusahaan atau target pasar, restrukturisasi internal, atau perampingan perusahaan. Ini semua sedikit banyak akan berpengaruh terhadap beban kerja yang akan diemban para pekerja. 

Dengan mengenali pemicu demotivasi, pekerja bisa mencari solusi yang tepat atas permasalahannya. Selain itu, Robertson juga mengingatkan, penting bagi pekerja untuk mengidentifikasi hal-hal potensial yang memicu demotivasi di kemudian hari sehingga pekerja mampu melakukan langkah pencegahan lebih awal. 

Dilansir Idealist, langkah lain yang bisa dilakukan untuk menyikapi kehilangan motivasi kerja atau demotivasi adalah berkomunikasi terbuka dengan pihak HRD atau atasan. Mungkin kamu merasa kurang puas dengan bayaran yang kamu terima karena merasa tidak setimpal dengan beban kerja yang bertambah. Atau, kamu merasa ingin dipercaya mengambil tanggung jawab lebih besar dari yang kamu pegang sekarang, tapi tak kunjung dilirik atasan. Bisa juga kamu merasa sangat bosan karena pekerjaan yang diberikan padamu hanya itu-itu saja dan tidak mendukung perkembangan dirimu. Bicarakan baik-baik tentang itu dan cobalah mencari titik tengah terbaik bagi kamu dan perusahaan.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Kamu juga bisa coba mulai mengurangi berbagai distraksi saat bekerja. Pasalnya, hal ini hanya akan membuatmu makin kewalahan ketika sedang mengemban beban kerja yang berat. Beranikan diri untuk menetapkan batasan dengan tidak menerima pekerjaan lain atau membantu rekan kerja ketika kamu sedang butuh fokus untuk mengerjakan tugasmu sendiri. Buatlah prioritas agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, sehingga hasilnya tidak mengecewakan.

Terakhir, kamu bisa mengambil jeda sejenak di tengah pekerjaanmu. Ini penting untuk menyalakan kembali semangatmu setelah kamu berkutat dengan kebosanan atau pekerjaan yang melimpah. Dalam jeda ini, kamu juga dapat memikirkan kembali atau mengevaluasi tujuanmu bekerja di tempat kerjamu sekarang ini. Apakah kamu merasa masih ada kemungkinan muncul perubahan ke arah lebih baik dan win-win solution bagi dirimu sendiri dan kantor atau tidak? Atau, kamu sudah tidak menemukan kenyamanan dan keuntungan lagi bekerja di sana sehingga opsi mencari tempat kerja atau profesi lain bisa saja kamu ambil.

Read More

Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

“Kalau lu bukan seorang jurnalis, ibu dari anak lu dan istri dari suami lu, elu siapa?”

Pertanyaan ini dilontarkan kawan saat kami makan bersama pada suatu siang. Bagi saya, ini bukan pertanyaan yang bisa dijawab dalam hitungan detik atau menit, dan mungkin hal ini juga dirasakan sama oleh sebagian orang di luar sana. 

Sejak kecil, kita sering kali “diplotkan” menjalani kehidupan dengan gol-gol tertentu pada setiap periode: Lulus sekolah, kuliah, bekerja, menikah, punya anak, meningkatkan jenjang karier, punya rumah dan harta benda lainnya, lalu pensiun dengan adem ayem setelah mengantongi dana cukup untuk hari tua. 

Karena masyarakat serempak menegakkan life goals macam ini, siapa pun yang keluar dari standar itu berpotensi jadi rendah diri karena ketinggalan dari teman-teman sebayanya atau dihakimi, baik oleh keluarga sendiri maupun orang sekitar lainnya. 

Salah satu yang cukup mengusik dan bikin orang galau adalah pekerjaan. Tak dimungkiri, pekerjaan di perusahaan dengan jabatan dan gaji tertentu, seperti manajer di perusahaan minyak, pegawai negeri swasta, atau pengacara ternama jadi idaman banyak orang. Ini karena masyarakat memandang pekerjaan-pekerjaan macam itu bergengsi dan bisa menjamin hidup seseorang dalam jangka panjang. 

Kita suka akan kepastian dan cenderung menghindari perubahan. Pasalnya, kita akan diminta beradaptasi lagi dan kondisi itu biasanya tidak mengenakkan. Belum lagi kita jadi galau dan minder saat berhadapan dengan kenalan yang nodong dengan pertanyaan, “Kamu kerja di mana sekarang?”. Berapa banyak yang dengan pede menjawab, “Kerja serabutan” atau “Nganggur nih”? Bahkan mungkin sebagian perempuan yang sudah meraih gelar sarjana dan di atasnya masih malu mengaku, “Jadi ibu rumah tangga ‘aja’.” 

Baca juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bagaimana Anggapan “Kita adalah Pekerjaan Kita” Tumbuh?

Dalam jurnalnya yang berjudul “Work, Identity and Self: How We Are Formed by the Work We Do” (1998), Al Gini mengutip sejumlah pandangan orang tentang identitas didefinisikan oleh pekerjaan, yang kemudian diyakini dan dilanggengkan banyak orang hingga kini. Contohnya, Etika Kerja Protestan yang mengutamakan kerja dalam pembentukan keberhargaan hidup seseorang. Paus Yohanes Paulus II dalam On Human Work (1981) juga menyatakan, “Pekerjaan adalah hal baik bagi manusia. Baik untuk kemanusiaannya karena lewat pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam, mengadaptasinya untuk memenuhi kebutuhan dia, tetapi ia juga meraih pemenuhan diri dan merasa ‘jadi lebih manusia.’”

Sementara, novelis Elia Kazan mengatakan, karier dan identitas kita tidak terpisahkan, justru keduanya sebanding. Ia memandang, orang-orang adalah apa yang mereka kerjakan dan hal itu memengaruhi setiap aspek dirinya, apa pun keadaannya.

Di samping itu, sebagian orang benar-benar menemukan pekerjaan yang menjadi ladang aktualisasi dirinya. Mereka menemukan makna dari pekerjaan yang dijalaninya dan kondisi ini menciptakan rasa puas tersendiri yang sulit untuk dilepaskan setelah bertahun-tahun mengalaminya. Ditambah lagi, dalam perjalanannya mereka dapat memperoleh pengakuan masyarakat terkait status dan kesejahteraannya. Tidak heran bila orang begitu berusaha mempertahankan identitas dirinya yang terkait dengan pekerjaan. 

Dalam The New York Times, penulis buku Ask a Manager (2018), Alison Green berujar, sebagian orang punya cita-cita tertentu dan begitu meraihnya, mereka menganggap kariernya itu satu-satunya dorongan untuk hidup maju. 

“Ketika kamu menyukai pekerjaanmu, sangat mudah bagimu untuk melekatkan identitasmu pada pekerjaan. Gagasan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat mahir dalam pekerjaanmu adalah hal yang sangat kuat,” kata Green.

Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

Apa Jadinya Kalau Identitas Didefinisikan oleh Pekerjaan Saja?

Sekilas tidak ada yang salah dengan melekatkan erat identitas diri dengan pekerjaan kita. Namun, profesor Psikologi di Wilfrid Laurier University, Ontario, Anne Wilson mengatakan dalam BBC, mereka yang membiarkan pekerjaannya “menelan” identitasnya dapat mengalami kondisi psikologis yang dinamakan “enmeshment”. Istilah ini merujuk pada situasi ketika batasan antara kerja dan kehidupan personal menjadi buram.

Enmeshment bisa terlihat misalnya saat seseorang terus memikirkan soal kerja di situasi-situasi luar kantor atau selalu membicarakan masalah pekerjaan pada berbagai kesempatan. Wilson menyatakan, hal ini membuat kita mengabaikan ruang untuk hobi dan kesenangan sendiri. Akibatnya, kita menjadi susah terkoneksi dengan orang-orang yang ada di luar lingkungan kerja.  

Saat kamu mengalami enmeshment dan pekerjaan sangat berperan mendefinisikan dirimu, nilai-nilai yang kamu pegang juga bisa terdampak. 

“Kalau kamu mengikat keberhargaan dirimu dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang kamu alami akan langsung mempengaruhi keberhargaan dirimu,” kata Wilson.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau jabatannya dan sudah kadung membiarkan identitas didefinisikan oleh pekerjaan dia, ada potensi ia mengalami depresi karena merasa kebermaknaan hidupnya hilang. Dalam The Economic Times India dikatakan, jika pekerjaanmu bergaji tinggi, kamu mungkin jadi punya standar hidup tinggi. Bila pekerjaanmu memberi kuasa besar, kamu bisa kecanduan status sosial tinggi. Ketika kamu kehilangan pekerjaanmu, kamu bisa saja kesulitan atau bahkan tak mampu menerima keadaaan hilangnya status lamamu itu.

Dalam wawancara dengan Magdalene tentang lansia aktif beberapa waktu lalu, psikolog dan pegiat isu lansia Danny Yatim menyoroti sebagian orang yang sudah pensiun dan mengalami depresi. Ia mengatakan, terlalu lama attach dengan suatu pekerjaan membuat seseorang tidak punya kehidupan atau skill di luar pekerjaan utama. 

“Ada teman [saya] yang sudah pensiun lalu bergerak di bidang bisnis kecil-kecilan. Ada yang gagal karena enggak punya skill lantaran terlalu lama bekerja kantoran. Pada teman-teman yang dulu kehidupannya cuma satu aspek saja [pekerjaan utama], sewaktu ini hilang, dia enggak punya personal resources untuk melakukan hal berbeda,” kata Danny. 

Mengubah Persepsi

Gimana kalau kita mandang pekerjaan kita sebagai aksesoris selagi kita ngejalanin hidup?”

Sebagian dari kita mungkin tidak setuju dengan perkataan kawan saya ini. Namun, saya bisa menangkap maksudnya: Aspek hidup kita itu jauh lebih luas dari kehidupan kerja kita saja. Ada orang-orang di luar sana yang tetap bekerja di kantornya sekarang hanya untuk mencari nafkah, selebihnya ia mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar kantor. Entah itu bermusik, menjadi relawan, menjelajahi berbagai kota atau negara, atau lainnya. Itu semua hal-hal ideal, yang sesuai passion, yang hanya bisa dijalankan kalau kebutuhan perut terpenuhi dulu.

Memang ada yang beranggapan, lebih baik bekerja sesuai dengan passion saja supaya tak jadi “kutu loncat”. Namun, realitasnya tentu tidak semudah ujaran itu. Berapa banyak lapangan kerja sesuai passion kita yang ditawarkan, dan apakah pekerjaan sesuai passion itu bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang tua serta anak-anak bagi sandwich generation?

Karenanya, ujaran kawan saya itu bisa saya pahami dan mungkin dapat jadi alternatif cara berpikir kita. Barangkali kita bekerja sebagai admin media sosial, customer service, atau bahkan direktur di suatu bank. Namun, itu semua tidak serta merta mendefinisikan diri kita karena pekerjaan bisa jadi hanya sarana untuk bertahan hidup, bukan aktualisasi diri yang memang benar-benar dikejar.

Pada 2018, kontributor Magdalene, Elvita Natassa menceritakan pandangannya tentang karier setelah sempat mengecap empat pekerjaan di industri-industri berbeda, sebagian dengan gaji lumayan dan tempat kerja yang nyaman. Terakhir, ia membuka usaha sendiri dengan mengajar pilates

Dari pengalamannya tersebut, ia sadar nilai yang dipegangnya selama hidup terus berubah. Namun, identitas dan keberhargaan dirinya tidak didefinisikan dari pekerjaan yang kedengarannya bergengsi. 

“Hal ini didefinisikan dari nilai, kebenaran, kontribusi saya, dan apa yang terjadi di luar jam kerja nine-to-five. Saya tahu karier saya tidak mendefinisikan identitas saya, karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan adalah dari diri saya sendiri,” tulisnya.

Selain itu, yang juga penting untuk direfleksikan supaya kita bisa menggeser persepsi bahwa kita adalah pekerjaan yang kita punya saja: Apakah kita benar-benar nyaman dan bahagia dengan profesi atau jabatan yang kita pegang sekarang? Jika tidak, bukankah pekerjaan yang kita lakukan sekarang hanya jadi topeng belaka hanya supaya kita diterima orang lain? Sebenarnya, memakai topeng sepanjang waktu itu meletihkan, disadari atau tidak. 

Jika pada suatu titik kita merasa identitas didefinisikan oleh pekerjaan kita saja, tidak ada salahnya mengevaluasi lagi pandangan kita itu. Pun tidak keliru bila suatu hari kita mau identitas kita itu berubah, selama kita merasa bahagia dengan pilihan kita. Yang terpenting, apa pun yang kita pilih dan kita anggap sebagai identitas sekarang ini, kita perlu menyadari bahwa hal itu sifatnya cair, tidak harus diterima dan diterapkan selamanya secara mutlak. 

Read More
perempuan takut sukses

Kenapa Ada Perempuan Takut Sukses, Bagaimana Mengatasinya?

Sejak kecil, “Fina” senang sekali menulis, mulai dari puisi, cerpen, hingga novel. Bahkan sejak remaja, ia kerap mengikuti berbagai kursus penulisan untuk mengasah kemampuannya. Karya-karyanya kerap diapresiasi teman-teman Fina, bahkan sebagian di antaranya membuat Fina jadi pemenang berbagai lomba. 

Namun, apresiasi serupa tak didapatkannya dari keluarga, yang menganggap kegiatan menulis tak begitu penting dan tak menjamin kehidupan seseorang di kemudian hari. Kendati sudah terbukti karyanya cukup baik hingga memenangkan lomba, Fina berulang kali berpikir hal tersebut tidak lebih dari suatu keberuntungan.

Beranjak dewasa, Fina mengambil profesi sebagai jurnalis. Memang, ini sedikit bergeser dari minatnya terhadap dunia fiksi sejak dulu, tetapi Fina tetap menikmati perannya tersebut karena masih sejalan dengan kegemarannya menulis. Bos Fina melihat perkembangan perempuan tersebut dari waktu ke waktu dan kemauan Fina yang kuat untuk terus belajar. Karenanya, ia menawarkan Fina untuk menempati jabatan lebih tinggi di perusahaan. 

Alih-alih gembira dan menerima kesempatan yang ditawarkan, Fina merasa cemas dan ragu saat mendapat promosi kerja. Ia masih merasa tidak layak memimpin teman-temannya di kantor dan membayangkan ia tidak sanggup mengemban tanggung jawab lebih besar saat itu. Pasalnya, saat mendapat promosi, Fina sudah berkeluarga dan anaknya masih balita.

Sebagian perempuan takut sukses sebagaimana Fina. Kita sering mendengar banyak orang takut gagal, sehingga mungkin berpikir ketakutan akan kesuksesan bukanlah hal nyata. Namun, sejumlah studi telah menemukan fenomena semacam ini dan menyelisik berbagai penyebab di baliknya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Alasan Perempuan Takut Sukses

Konsep ketakutan akan kesuksesan (fear of success/FOS) pertama kali diperkenalkan oleh psikolog AS Matina Horner pada 1968. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan perilaku terhadap pencapaian yang dipengaruhi perbedaan jenis kelamin. 

Dilansir Encyclopedia.com, pada 1964, Horner membuat penelitian terhadap 90 mahasiswi dan 88 mahasiswa. Ia meminta mereka untuk menyelesaikan cerita tentang karakter “John” dan “Anne” yang keduanya merupakan mahasiswa kedokteran. Sebesar 90 persen mahasiswa menyelesaikan cerita dengan keberhasilan John yang diiringi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Sementara, 65 persen mahasiswi melihat masa depan Anne lebih negatif. Dari komentar para mahasiswi, Horner menyimpulkan, pada diri perempuan terdapat kecemasan tinggi bila mereka meraih kesuksesan karena mereka tidak bisa menjalani ekspektasi masyarakat. Perempuan yang sangat pintar, independen, atau ambisius dianggap tidak feminin, sehingga kesuksesan setara dengan laki-laki pun mereka hindari.

Di dalam negeri juga ada sejumlah riset tentang sebagian perempuan takut sukses, salah satunya yang diterbitkan dalam jurnal Palastren pada Juli 2019. Riset bertajuk “Fear of Success Perempuan Bekerja dalam Perspektif Budaya Jawa” ini menunjukkan, faktor budaya menyumbang FOS pada diri perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan dianggap sebagai kanca wingking bagi suami. Peran perempuan yang didefinisikan dalam budaya seperti ini membuat perempuan berhadapan dengan konflik antara mengejar pencapaian dan penyesuaian diri atas nilai-nilai budayanya agar tetap bisa diterima masyarakat.

Dalam riset tersebut dikatakan, alih-alih ketakutan akan pencapaian pada area yang lazimnya dipandang sebagai milik laki-laki (ranah publik), FOS lebih merupakan ketakutan pada konsekuensi negatif yang muncul akibat kesuksesan, dalam hal ini konsekuensi tersebut berupa penolakan sosial terhadap perempuan yang tak memenuhi peran sebagai kanca wingking.

Pada sebagian perempuan takut sukses, ditemukan pesimisme terhadap hal baik yang diterimanya. Bukannya memikirkan berbagai kesempatan dan keuntungan dari mencapai kesuksesan, mereka justru lebih berfokus pada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi bila mereka mengambil kesempatan untuk sukses tersebut, seperti dalam contoh kasus Fina. Ia takut ia tidak bisa menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik seiring bertambahnya tugas dari kantor, dan ia khawatir orang sekitar akan menghakiminya bila ia memutuskan mengambil kesempatan promosi. 

Terlepas dari gender apa pun, ada alasan lain kenapa orang takut sukses. Dalam Forbes disebutkan, kekhawatiran akan kehilangan diri sendiri menjadi salah satu faktor penyebabnya. Banyak orang takut jika mereka sukses atau meraih banyak uang, ego mereka akan meninggi dan mereka menjadi orang berbeda yang lebih buruk.

Ada juga alasan takut menghadapi kritik ketika mereka ada di bawah sorotan. Tidak semua orang suka diperhatikan banyak orang dan siap untuk menghadapi suatu kritikan. Karenanya, mereka memilih mundur jika mereka mendapat kesempatan untuk menjadi lebih sukses.

Selain itu, FOS bisa juga dipicu oleh ketakutan akan kehilangan teman atau momen-momen berharga bersama orang terdekatnya. Ini dapat terjadi seiring meningkatnya beban kerja yang menuntut lebih banyak waktu dan energi, sehingga kesempatan untuk memiliki waktu berkualitas bersama orang terdekat harus terpangkas.

Baca juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

Dalam Psychology Today, terapis pernikahan dan keluarga Susanne Babel menulis, banyak orang percaya bahwa jalan menuju kesuksesan melibatkan berbagai risiko seperti naiknya harapan orang lain. Hal ini bisa memicu ketakutan tersendiri bagi seseorang, terlebih bila ia punya kecenderungan untuk menyenangkan orang lain dan tidak bisa menerima kekecewaan.

Terkait pengalaman Fina, ternyata pengalaman tak dihargai atau mengalami kekerasan verbal bisa juga berkontribusi terhadap FOS. Menurut Babel, orang-orang yang terbiasa disebut pecundang atau tidak diakui bisa menginternalisasi label seperti itu dalam dirinya sehingga kelak ia merasa tak layak sukses.  

FOS bisa mendorong seseorang pada akhirnya menyabotase dirinya sendiri. Sekalipun ia punya kapabilitas, ia tidak akan tampil baik karena ia mau menghindari konsekuensi negatif seperti penolakan sosial terkait kegagalan memenuhi ekspektasi masyarakat. Ia juga mungkin mengambil tugas-tugas yang lebih mudah dicapai dan tidak memasang target lebih tinggi walaupun ia mampu.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan ketika menyadari bahwa kamu memiliki FOS. Pertama, kamu perlu mencari tahu dulu sumber FOS yang kamu rasakan. Apakah itu berasal dari pengalaman masa kecil, misalnya pencapaianmu tidak diakui keluarga,  atau kamu pernah menerima ejekan dari orang lain atas karya kita. Lalu, kamu bisa mencoba mengkroscek pandangan mereka dengan orang-orang lainnya sehingga tidak satu suara negatif saja yang bergaung di kepalamu. 

Jika sebenarnya karyamu mereka anggap cukup baik dan orang lain puas dengan kinerjamu, artinya kamu sebenarnya layak-layak saja untuk diakui dan menerima kesempatan untuk sukses. Jangan biarkan komentar negatif sebagian pihak langsung membuat dirimu rendah diri.

Selanjutnya, coba kenali “gejala-gejala” FOS kamu. Apakah kamu cenderung menunda pekerjaan? Apakah kamu menghindari dapat proyek besar meskipun kamu sanggup? Dalam Healthline disebutkan, membuat daftar gejala-gejala FOS-mu muncul bisa menghindarkan dari upaya menyabotase jalanmu untuk sukses. Mengidentifikasi perilaku-perilaku itu berarti kamu mulai berusaha untuk melawan FOS-mu.

Ketika kamu merasa begitu pesimis kamu mampu mengemban tanggung jawab lebih besar, kamu bisa mulai menggeser fokusmu dari kecemasan berlarut-larut akan mengecewakan orang dengan memikirkan apa yang bisa kamu lakukan sekarang. Segala hal mungkin tidak akan terselesaikan sempurna, tetapi kamu tetap bisa berusaha menuntaskannya satu hal di satu waktu. Tak perlu berharap muluk-muluk kamu selalu bisa menyenangkan orang dan menghindari kritik. Lagi pula, kritik tak selamanya akan menjatuhkanmu kok. Itu bisa membuka jalan bagimu untuk bekerja dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Read More

WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Seiring longgarnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sebagian kantor yang tadinya menerapkan sistem kerja dari rumah (WFH) secara penuh berangsur-angsur beralih ke kerja dari kantor (WFO) sebagian (hybrid) atau penuh. 

Hal ini ditanggapi beragam oleh para pekerja, seperti terlihat dari komentar-komentar warganet saat kami melempar pertanyaan: Mana yang lebih mereka sukai, WFO atau WFH. Dari komentar-komentar yang masuk, hampir separuhnya lebih suka WFH, sementara sebagian sisanya lebih nyaman kerja secara hybrid.

Tren pekerja yang lebih nyaman dan  bisa bekerja jarak jauh (remote work) atau WFH memang sudah muncul jauh sebelum pandemi. Namun, pandemi menambah jumlah orang-orang yang lebih memilih remote work. Bahkan, bila orang-orang ini dituntut kerja kembali dari kantor, mereka akan mempertimbangkan akan bertahan atau tidak.

Ini tampak dari survei FlexJobs pada Maret-April 2021 terhadap 550 laki-laki dan 1.600 perempuan yang pernah atau masih melakukan remote work. Sebanyak 60% perempuan dan 52% laki-laki menyatakan akan resign bila mereka tidak bisa lanjut bekerja jarak jauh. Dalam survei Flexjobs lainnya, ditemukan pula 58% pekerja jarak jauh menyatakan pasti akan cari pekerjaan baru jika yang sekarang tak memungkinkan kerja jarak jauh pascapandemi, dan 69% laki-laki dan 80% perempuan menilai kerja jarak jauh sebagai pertimbangan penting dalam mencari pekerjaan baru itu. 

Alasan Memilih WFH

Kami menemukan sejumlah alasan yang mendasari pilihan sebagian warganet yang pro-WFH. Pertama, faktor uang, energi, dan waktu yang harus dikeluarkan untuk pergi ke kantor. Perkara ini memang menjadi keresahan yang jamak dihadapi pekerja yang tinggal jauh dari kantor dan harus menghadapi kemacetan sehari-hari di kota-kota besar. 

Dalam studi yang dimuat di The International Journal of Business and Management (2019), disebutkan bahwa kemacetan menurunkan produktivitas dan ketepatan waktu pekerja. Selain itu, mayoritas responden studi tersebut juga menyatakan hal ini berdampak buruk terhadap kesehatan mereka, baik fisik maupun psikis. Sebanyak 50,8% responden sangat setuju dan 41,3% setuju kemacetan parah meningkatkan level stres mereka. Dilansir Healthline, ketika level stres naik dan berlangsung terus menerus, ini bisa memicu berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, peningkatan gula darah, ketegangan otot, dan melemahnya sistem imun.  

Penurunan produktivitas tidak hanya dipengaruhi masalah mobilitas pekerja, tetapi juga suasana kantor. Hal ini terlihat dari komen seorang warganet yang menyatakan di kantor, ia mesti memasang headset seharian penuh saat bekerja. Ini bisa dipengaruhi oleh kebisingan atau distraksi lain yang berdampak pada konsentrasinya.

Faktor suasana kantor ini bisa dipandang berbeda berdasarkan pengalaman masing-masing pekerja. Ada pekerja yang justru bisa berkonsentrasi lebih baik ketika berada di kantor karena justru situasi rumahnya yang tidak kondusif. Misalnya, di tengah rapat, ia diinterupsi oleh anaknya atau ada kebisingan dari lingkungan rumahnya. Karena alasan ini, sebagian orang lainnya merasa WFH lebih menyulitkan mereka untuk jadi produktif. 

Alasan ketiga, WFH memungkinkan pekerja melakukan aktivitas yang sulit ia lakukan bila harus ke kantor. 

“Semenjak WFH saya sempat olahraga, ke pasar jalan kaki, dan masak sendiri (yang biasanya terbuang dengan commute rumah-kantor). Bangun lebih segar, uang lebih irit, tapi ya [ini] privilege [saya] kerja dengan orang kantor kooperatif yang ngerti [kalau] kontak kerjaan hanya saat jam kerja, kecuali urgent banget,” tulis salah satu warganet.

Alasan ini mengindikasikan pekerja memerlukan waktu tersendiri untuk melakukan hal yang dibutuhkan dan disenanginya, dan ini tersita jika ia harus bekerja dari kantor. Sering kali, alasan ingin punya waktu lebih banyak untuk kehidupan pribadi menjadi isu besar bagi ibu bekerja. Karenanya, sekalipun WFH membuatnya mesti berjibaku menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan rumah dan kantor, sebagian ibu tetap menikmati sistem kerja ini karena memungkinkan mereka punya waktu lebih banyak bersama keluarganya karena tidak harus menghabiskan berjam-jam di perjalanan.

Masa Depan Kantor Pasca-pandemi

Mempertimbangkan berbagai keuntungan yang didapat dari WFH, warganet yang berkomentar di Instagram kami berharap kantornya tetap menerapkan sistem ini berseling dengan WFO. Tak dapat dimungkiri, ada waktu-waktu tertentu ketika pekerja butuh melakukan koordinasi atau brainstorming dengan rekan-rekan atau bosnya. Hal ini oleh sebagian orang dirasa lebih efektif jika dilakukan secara langsung dibanding virtual.

Selain itu, beberapa warganet juga menyampaikan adanya kebutuhan untuk bertemu dengan orang-orang kantor setelah lama bekerja dari rumah. Dalam tulisan Stephanie Russel di The Conversation, ketiadaan kontak sosial, yang terjadi akibat kerja jarak jauh, memang disebut berkontribusi terhadap stres pekerja. Ia menyatakan, seiring lamanya para pekerja tak bertemu, mereka bisa saling melupakan. Ini bisa mengarah pada kurangnya rasa percaya, meningkatnya perasaan terasing dan potensi timbulnya konflik dengan kolega. Terkait hal terakhir, salah satu faktor yang bisa memicunya adalah kesalahpahaman yang terjadi selama melakukan komunikasi secara virtual atau via teks. 

“Tanpa bahasa tubuh yang terlihat, sulit untuk menyampaikan maksud kita sesungguhnya,” tulis Russel. 

Tak hanya pekerja yang menilai hybrid menjadi opsi terbaik untuk masa depan kantor pasca-pandemi. Di sisi perusahaan, keinginan untuk menerapkan sistem kerja hybrid juga tinggi. Ini terlihat salah satunya dari artikel McKinsey yang memaparkan hasil survei mereka terhadap 100 orang di level Csuite, wakil presiden, dan direktur dari Asia, Eropa, Amerika Latin, dan AS (Desember 2020-Januari 2021). Sebanyak 40% responden ingin proporsi kerja dari kantor sebesar 21-50%, 40% ingin proporsi 51-80%, 10% ingin proporsi >80%, 7% ingin proporsi < 20%, dan 3% ingin kerja jarak jauh total. 

Tidak hanya kemungkinan untuk bisa kembali bersosialisasi dengan kolega dan berkoordinasi lebih baik untuk pekerjaan kantor, kebaikan sistem hybrid yang membuatnya layak dipertimbangkan jadi opsi di masa depan adalah adanya independensi dan fleksibilitas. Hal ini penting mengingat kebutuhan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi. Terlebih pada pekerja perempuan yang masih mendapat tuntutan lebih banyak untuk mengurus pekerjaan domestik dan tidak punya sistem pendukung seperti dari keluarga atau asisten rumah tangga.

Fleksibilitas menjadi pelajaran penting selama perubahan sistem kerja pada masa pandemi yang perlu dimasukkan dalam perencanaan masa depan kantor pasca-pandemi. Ini bertujuan untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaik di suatu perusahaan yang punya berbagai tantangan seperti kelompok ibu bekerja tadi. Tanpa adanya hal ini, kemungkinan perusahaan untuk menjadi inklusif dan mengusung keberagaman semakin berkurang, dan hal ini bisa berdampak buruk kemudian terhadap performa perusahaan.

Dalam BBC, Christine Ro menulis sistem hybrid juga memungkinkan pekerjaan terselesaikan secara lebih efisien. Sebagian pekerjaan mungkin memerlukan kerja tim, tetapi sebagian lainnya bisa dilakukan maksimal sendiri. Mengutip pendapat Baruch Silverman, founder situs keuangan personal The Smart Investor, “Sebuah pekerjaan bisa saja menyita beberapa jam di kantor sementara di rumah  bisa terselesaikan dalam satu-dua jam.” 

Di samping sistem hybrid, ada sistem lain yang bisa diterapkan perusahaan pasca-pandemi: Hub and spoke. Dalam Harvard Business Review, peneliti senior di Hassel yang berfokus pada masa depan tempat kerja Daniel Davis, Ph.D. mendeskripsikan sistem kerja ini: “Karyawan bekerja dari kantor satelit yang lebih kecil di pinggiran kota atau tempat yang lebih dekat dari domisilinya alih-alih datang ke kantor besar di distrik pusat bisnis. Ini akan menghemat ongkos yang dikeluarkan dengan menjadi komuter, dan membawa keuntungan lain yaitu kesempatan interaksi tatap muka dengan kolega.” 

Untuk opsi yang satu ini, barangkali tidak semua perusahaan bisa menjadikannya masa depan kantor pasca-pandemi walau keuntungan yang didapatkan tampak menggiurkan. Tantangannya ada pada skala dan kemampuan finansial perusahaan juga untuk membentuk kantor-kantor satelit.

Komunikasi antara Karyawan-Bos Soal Sistem Kerja Penting

Menentukan masa depan kantor pasca-pandemi memang membawa dilema tersendiri bagi perusahaan, dan mereka tidak bisa menyenangkan semua karyawan yang punya kebutuhan berbeda. 

Ro menulis, ada isu ketidaksetaraan sosio-ekonomi antara siapa yang bisa bekerja di rumah dan tidak. Sebagian pekerja mungkin punya akses internet yang baik dan lingkungan rumah kondusif untuk bekerja, sebagian lainnya punya kebutuhan tinggi untuk mengasuh anak, sehingga opsi hybrid atau kerja WFH secara penuh tak jadi masalah buatnya. Namun, tidak pada sebagian pekerja lainnya.

Mendapati perbedaan kebutuhan ini, penting untuk melakukan komunikasi terbuka antara karyawan dan pihak perusahaan karena akan berdampak pada performa kerjanya. Dalam Forbes, pengusaha bidang teknologi, Carren Merrick menyarankan kepada para pekerja untuk terbuka tentang kebutuhan mereka. 

“Jika kebutuhanmu–seperti tunjangan anak atau penggantian ongkos transportasi–tidak ditawarkan perusahaan, terbukalah kepada supervisor-mu dan upayakan kompromi yang memungkinkan kamu bekerja optimal dan mendapat dukungan yang dibutuhkan,” tulis Merrick.

Menurut ibu bekerja yang menjabat sebagai CEO, penting bagi pekerja untuk mengingat bahwa mengelola kehidupan pribadi tak mesti mengorbankan pekerjaan dan sebaliknya. Penting pula bagi pekerja untuk memprioritaskan self care dan kesehatan mentalnya  sehingga ketika ada perubahan kebijakan sistem kerja di kantor, pekerja bisa mengevaluasi lagi apakah itu bisa dan mau dijalankan dengan berbagai konsekuensinya atau tidak. 

Read More
Hadapi Masalah Kesehatan Mental Pekerja

Kesehatan Mental Pekerja Rentan Selama Pandemi, Ini yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Pandemi COVID-19 tidak hanya meningkatkan kerentanan kesehatan orang-orang secara fisik, tetapi juga psikis. Salah satu kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan mental ialah para pekerja. 

Berdasarkan survei pada Desember 2020 yang dilakukan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) sebanyak 38 persen karyawan di Indonesia mengalami kesehatan mental yang memburuk. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar dua persen dari survei serupa pada Mei 2020.

Survei ini dilakukan terhadap 300 pekerja laki-laki dan 300 pekerja perempuan di sektor swasta yang berusia 18-60 tahun. 

Selain temuan ini, masalah kesehatan mental pekerja juga ditemukan lebih banyak dialami perempuan dibanding laki-laki (40 persen dibanding 36 persen). Lebih banyaknya perempuan yang mengalami ini bisa terkait dengan beban domestik yang bertambah selama pandemi dan sistem kerja dari rumah (WFH) diterapkan. Sebanyak 90 persen perempuan dan 81 persen laki-laki melaporkan adanya tambahan tanggung jawab rumah tangga dalam survei Desember 2020.

Di samping beban domestik, hal lain yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental pekerja ialah kecemasan terhadap situasi yang serba tak pasti dan rentan. Sebanyak 70 persen pekerja yang disurvei mengalami hal ini. Lalu, ada juga faktor keresahan terhadap kondisi finansial dan keluarga yang juga berkontribusi terhadap penurunan kesehatan mental pekerja.

Temuan lain dari survei IBCWE ini adalah adanya perbedaan level masalah kesehatan mental berdasarkan usia. Pada kelompok pekerja berumur 45-60, ada 24 persen yang melaporkan dampak negatif pandemi terhadap kesehatan mentalnya. Sementara pada kelompok pekerja berumur 25-34 tahun, angka ini mencapai 49 persen. 

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Dampak Kesehatan Mental Pekerja yang Menurun 

Ada sejumlah dampak negatif yang terjadi akibat masalah kesehatan mental pekerja, beberapa di antaranya tercantum dalam laporan WHO (2002) bertajuk “Mental health and work: Impact, issues, and good practices”. Pekerja dengan kesehatan mental buruk cenderung lebih sering absen, baik karena masalah mentalnya itu maupun masalah fisik yang mengiringi gangguan kesehatan mental seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pencernaan, gangguan tidur, sakit kepala, dan sebagainya.

Dari segi performa kerja, pekerja lebih mungkin mengalami penurunan produktivitas, melakukan kesalahan dalam bekerja, mengalami kecelakaan, atau kesulitan dalam membuat keputusan, perencanaan, dan kontrol. Selain itu, pekerja juga akan mengalami penurunan motivasi dan komitmen, burn-out, dan berpeluang bekerja dalam jangka panjang tetapi hasilnya minimal.

Masalah kesehatan mental pekerja juga berdampak tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana ia berelasi dengan kolega dan klien. Sangat mungkin pekerja dengan masalah ini menghadapi ketegangan dan konflik dengan rekan kerjanya. Seiring dengan itu, muncul potensi peningkatan masalah kedisiplinan pekerja.

Dalam jangka panjang, penurunan kesehatan mental dapat mendorong pekerja untuk mengundurkan diri. Ini akan mendatangkan biaya besar bagi perusahaan untuk mencari orang penggantinya, terlebih bila yang mengundurkan diri duduk di level manajer ke atas. Pasalnya, tidak gampang untuk mencari orang-orang yang punya kemampuan dan sudah mengenal perusahaan dengan baik untuk menggantikan orang yang mengundurkan diri itu. Setidaknya perusahaan perlu berinvestasi lebih dalam pelatihan orang baru atau membuka rekrutmen.

Baca juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Peran Perusahaan

Menyadari besarnya dampak yang terjadi akibat kesehatan mental pekerja yang menurun, perusahaan perlu aktif membicarakan isu ini dan membuat sejumlah inisiatif untuk mencegah memburuknya kondisi mental pekerja, terlebih ketika masih pandemi.

Dalam artikel “Coronavirus (COVID-19): Mental health support for employees” di situs Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD), disebutkan sejumlah hal yang bisa dilakukan perusahaan, khususnya divisi sumber daya manusia (SDM) untuk mengantisipasi masalah kesehatan mental pekerja.

Pertama, memberi pengarahan pada para manajer tentang potensi dampak pandemi terhadap kesehatan mental, termasuk peran dan tanggung jawab apa saja yang mesti mereka emban untuk mendukung karyawan. 

Kemudian, perusahaan bisa mengomunikasikan secara rutin tentang dukungan kesehatan mental dalam aktivitas-aktivitas tertentu di tempat kerja. Hal ini dapat dilakukan untuk menciptakan budaya kantor yang menerima obrolan seputar kesehatan mental dan bagaimana cara mengakses dukungan ketika seseorang mengalami gangguan pada hal tersebut. 

Bagi para manajer, penting untuk melakukan pengecekan rutin dalam rapat-rapat, baik dalam kelompok maupun secara individual. Ini akan membantu mereka waspada terhadap tanda masalah kesehatan mental karyawan.

Ada pun beberapa tanda yang perlu diperhatikan untuk mulai membicarakan masalah kesehatan mental dengan karyawan adalah adanya jam kerja panjang yang tidak memungkinkan karyawan beristirahat; peningkatan absensi atau keterlambatan karyawan; perubahan mood; munculnya distraksi atau kebingungan pada diri karyawan; adanya perasaan mudah tersinggung, marah, atau agresi; masalah pada performa kerja, sikap berlebihan dalam menanggapi suatu masalah; dan perilaku anti-sosial.  

Dalam menghadapi tanda-tanda ini, penting diingat bahwa manajer tidak boleh bersikap seolah dirinya adalah pakar kesehatan mental. Alih-alih, mereka dapat merujuk karyawan yang bermasalah mentalnya ke profesional atau layanan dukungan.

Hal lain yang dapat mereka lakukan ialah menjadi panutan bagi karyawan lain. Para manajer perlu membagikan bagaimana mereka menjaga kesehatan mental sendiri dan mendorong karyawan lainnya untuk bercerita bila memiliki masalah dalam hal tersebut.

Seiring dengan itu, mereka juga dapat mendorong para karyawan untuk terkoneksi satu sama lain. Koneksi sosial, baik secara virtual selama WFH maupun secara langsung, yang dapat dilakukan melalui media sosial atau pertemuan kasual secara daring, dapat menghindari perasaan terisolasi yang memperburuk kesehatan mental pekerja.

Terakhir, para manajer bisa mereviu beban kerja yang diberikan pada karyawan. Sangat dipahami bahwa saat ini, karyawan banyak yang kewalahan dalam mengurus tugas kantor bersamaan dengan tugas domestik selama WFH. Manajer perlu lebih sensitif dalam menyikapi hal ini dan menyesuaikan kembali ekspektasi mereka pada para bawahan. 

Read More

‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pengakuan MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami kekerasan seksual dan perundungan (bullying) oleh sesama pegawai selama bertahun-tahun. Sejak pertama mengalaminya pada 2012, ia sudah ajek bersuara. Di 2017, ia sempat mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan dari sana ia dirujuk melaporkan hal tersebut ke polisi. Dua tahun berselang, ketika ia melapor ke Polsek Gambir, ia disarankan menyelesaikan perundungan di tempat kerja lewat atasan dulu, alih-alih ditindaklanjuti langsung.

Merespons aduan MS, pihak atasan hanya memindahkannya ke ruangan lain yang dianggap lebih aman bagi MS. Tahun lalu, saat MS hendak melanjutkan proses hukum kasusnya, polisi kembali mengecewakannya dengan tidak menanggapi secara serius.

Ketidakadilan yang lama dialami MS ini pada akhirnya mendorong dia untuk menceritakan secara kronologis kasus penganiayaan fisik dan psikis yang didapatkannya dari sesama rekan kerja ke internet pada September 2021. Baru setelah viral, pihak-pihak terkait angkat suara: Pihak KPI pusat melakukan investigasi, polisi menerima laporan MS. Namun, perkara terus berlanjut seiring dengan niat terduga pelaku untuk menuntut MS balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. MS juga disebut-sebut memicu perundungan siber oleh warganet, yang setelah pengakuan MS tersebar, menyerang identitas pribadi serta keluarga terduga pelaku.

Baca juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’

Dampak Serius Perundungan di Tempat Kerja

Kasus seperti yang dialami MS ini tentu bukan hal langka dalam kehidupan profesional. Masalahnya, hanya sedikit saja yang buka suara tentang itu. Bahkan mungkin di antara para korban, ada yang tidak sadar dirinya telah mengalami bentuk-bentuk perundungan karena masih minimnya pengetahuan pribadi atau sosialisasi dari pihak kantor akan hal tersebut. Padahal, ini penting disadari siapa saja, bahkan anak-anak muda yang belum menginjak dunia karier, untuk menghindari terjadinya kasus pelik serupa MS di kemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan MS dalam rilisnya, ia mengalami gangguan psikis dan fisik setelah berulang kali mengalami siksaan fisik, disuruh-suruh, dicaci maki, dan dilecehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Stres berkepanjangan membuatnya mengalami gangguan lambung dan membuatnya mengidap post traumatic stress disorder (PTSD), sehingga dalam kesehariannya pun, MS tidak dapat berfungsi dengan baik. Ia kerap marah tiba-tiba serta menangis mengingat hal traumatis yang dialaminya dulu. 

Gangguan kesehatan yang dialami MS ini memang sering muncul pada korban perundungan di tempat kerja. Selain hal itu, dikutip dari Verywell Mind, korban perundungan juga bisa mengalami kecemasan, serangan panik, masalah tidur, dan tekanan darah tinggi. Sebuah riset yang dilakukan para peneliti di University of Copenhagen pada 2018 juga menyebutkan, korban perundungan berkemungkinan mengalami masalah jantung 59 persen lebih tinggi daripada yang tidak pernah dirundung di kantor. Di samping itu, korban perundungan juga bisa mengalami penyakit fisik lain yang dipicu perilaku koping terkait perundungan yang dia alami, misalnya dengan mengonsumsi makanan tidak sehat atau alkohol secara berlebihan.

Performa kerja korban pun terdampak seperti hilangnya konsentrasi, turunnya penilaian diri, motivasi kerja, serta produktivitas, dan kesulitan mengambil keputusan. Akibat terus terpikirkan soal perundungan yang pernah atau masih akan terjadi, korban akan menghabiskan banyak waktu, entah untuk menghindari perundung, terus termenung dan larut dalam perasaan terisolasi, memikirkan cara mempertahankan diri, atau mencari bantuan. Padahal, waktu tersebut dapat digunakan untuk bekerja dengan optimal seandainya dia tidak perlu tenggelam dalam masalah seperti ini. 

Tidak hanya berdampak buruk bagi individu korban, perusahaan pun akan merasakan kerugian akibat adanya perundungan di tempat kerja. Dalam berbagai studi ditemukan level ketidakhadiran yang lebih tinggi pada pegawai korban perundungan. Ini tentunya menghambat performa perusahaan, terlebih yang kecil dan menengah mengingat kehadiran satu orang saja berpengaruh sekali terhadap kinerja tim. Dalam sebuah riset yang dimuat di Frontiers in Psychology (2016), disebutkan perusahaan bisa mengalami kerugian lain berupa pengunduran diri karyawan. Ini merupakan biaya besar yang mesti ditanggung perusahaan karena tidak mudah untuk mencari pegawai pengganti dan melatihnya kembali supaya memiliki kemampuan sepadan dengan pegawai korban perundungan di tempat kerja yang resign.    

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Sementara, Investopedia bilang, pada sejumlah kasus, pihak perusahaan bisa berhadapan dengan tuntutan hukum bila membiarkan perundungan terjadi di tempatnya. Selain itu, korban juga bisa menuntut pembiayaan rehabilitasi fisik atau psikis yang mesti dijalaninya mengingat masalah kesehatan yang ia alami muncul dari tempat kerja. 

Lebih buruk lagi, pada era media sosial seperti sekarang, sangat mudah reputasi perusahaan hancur karena seseorang mengadukan masalah terkait tempat kerjanya. Dari kasus perundungan di KPI kemarin misalnya, makin banyak warganet yang antipati terhadap institusi tersebut, dan mengaitkan kejadian viral kemarin dengan “borok-borok” KPI terdahulu. Hilangnya legitimasi dari masyarakat bisa berdampak kemudian terhadap penjualan atau kampanye yang dilakukan suatu perusahaan.

Bentuk-bentuk ‘Bullying’ di Tempat Kerja

Setelah mengetahui betapa seriusnya dampak perundungan di tempat kerja, kita perlu menyadari hal-hal apa saja yang termasuk perundungan. Selain siksaan fisik, ada hal-hal lain dalam keseharian di kantor yang masuk perundungan dan sering dianggap wajar. Berikut beberapa di antaranya.

  1. Julukan, cacian

Sebagian orang merasa jika dirinya dipanggil dengan sebutan “Gendut”, “Jelek”, atau “Monyet” itu hal yang biasa, bahkan di beberapa kasus dianggap sebagai candaan semata. Akan tetapi, julukan-julukan tersebut telah merendahkan seseorang dan masuk dalam pelecehan verbal. Begitu pula dengan cacian menggunakan bahasa binatang atau kata-kata umpatan, baik dari sesama kolega maupun bos-bos. 

  1. Fitnah

Sering kali hal ini terjadi saat seseorang hendak melaju sendiri dengan menjatuhkan pihak kompetitornya. Tidak jarang orang yang mendapat fitnah di kantor terkendala kerjanya karena terusik pandangan miring orang sekitar hingga kepercayaan dirinya merosot. Jika kamu mengalami ini, jangan ragu bersuara karena ini juga merupakan bentuk perundungan.

  1. Pengabaian

Jika kamu berada dalam satu tim kerja dan rekan-rekan mengabaikan eksistensimu atau pendapatmu, kamu bisa saja tengah menjadi korban perundungan, apalagi bila ini terus menerus berlangsung. Kamu tidak pernah tahu letak kesalahanmu di mana, tetapi rekan kerja mendiamkanmu. Bahkan buruknya, sekalipun kamu berkontribusi dalam suatu proyek, mereka mengabaikan kontribusimu itu. Ini jelas merugikan sekali karena atasan akan menganggap kamu sekadar numpang nama di suatu proyek dan tidak memperhatikan kualitas dirimu sesungguhnya.

Baca juga: Riset di Aceh: Trauma Perundungan dari SD Terbawa hingga Dewasa

  1. Membombardir dengan pekerjaan

Seperti disebutkan MS, dirinya sempat disuruh-suruh melakukan hal yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Ibarat Nobita yang sering dijadikan kacung oleh Giant dan Suneo, ini juga situasi perundungan yang mesti kita sadari. Tak berarti senior atau atasan itu bisa sewenang-wenang membebani kita dengan pekerjaan di luar kesepakatan awal. 

  1. Mengancam

Dalam beberapa kasus, ada pegawai yang diancam tidak akan naik jabatan bila tidak melayani atasannya. Ada juga yang oleh koleganya diancam akan dilaporkan perbuatan buruknya yang tidak diketahui atasan bila ia tidak mau mengikuti kemauan si kolega. Hal ini penting disadari sebagai bagian dari perundungan dan harus disikapi dengan tegas. Saat pegawai merasa tidak aman, ia akan kesulitan bekerja dengan optimal dan ujungnya ia dan perusahaanlah yang merugi. 

  1.  Prank dan plonco

Sebagian orang merasa hal ini tidak bermasalah, tetapi sebenarnya prank dan plonco, terlebih yang sudah merendahkan seperti disuruh memakan hal yang sama sekali tidak pantas adalah hal serius yang tidak bisa ditoleransi. Apa pun alasannya, entah “tradisi”, sekadar bercanda, atau bagian dari usaha membuat pegawai baru jadi tahan banting, tidak ada yang mengeluarkan tindakan ini dari kategori perundungan.   

Apa yang Bisa Kita Lakukan?  

Dalam situs Australian Human Rights Commision, disebutkan beberapa hal yang bisa kita lakukan saat menjadi korban perundungan di tempat kerja. Di antaranya adalah mengecek apakah di kantor ada kebijakan khusus terkait perundungan, mendokumentasikan tiap peristiwa perundungan yang kita alami, dan mencoba menceritakan hal tersebut kepada orang-orang di tempat kerja, entah rekan yang dipercaya atau atasan supaya ada tindakan terhadap pelaku. 

Akan tetapi, mengadukan masalah ke atasan atau rekan kerja bisa menjadi pedang bermata dua juga. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa dianggap sebagai upaya seseorang untuk menyabotase rekan kerjanya yang disebut sebagai pelaku. Seperti halnya dalam kasus kekerasan seksual, korban perundungan juga sering tidak dipercaya atau dianggap lebay, apalagi bila mereka berbicara tanpa membawa bukti. 

Jika situasinya demikian, jalan lain yang dapat ditempuh adalah mengadukan kasus ke layanan advokasi di luar perusahaan yang peduli isu kekerasan dan hak asasi manusia. Harapannya, layanan ini dapat membantu kita bila nanti kita memilih memproses secara hukum, mencari pendampingan psikologis, atau fasilitas perlindungan saksi dan korban.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Selain mengadukan masalah ini, jalan lain yang bisa ditempuh adalah menghadapi langsung perundung. Memang tidak semua orang bisa melakukannya, tetapi hal ini perlu dilakukan supaya perundung tahu tindakannya itu salah dan merugikan kita. Ini juga kita lakukan untuk menunjukkan kita bukanlah orang pasif yang bisa selamanya ditindas sesuka hati perundung. 

Untuk yang ragu melakukan ini, ada strategi yang bisa kita lakukan. Dilansir Healthline, saat hendak mengonfrontasi perundung, kita bisa melibatkan saksi yang terpercaya seperti kolega atau supervisor. Mintalah perundung untuk berhenti menyakiti setenang mungkin, secara langsung dan sopan. Tentu kita tidak mau berlaku sama buruknya dengan perundung dengan balas mencaci maki atau melukainya secara fisik saat konfrontasi, bukan? 

Seiring dengan upaya-upaya itu, kita, dengan mengumpulkan kekuatan dukungan dari rekan-rekan kerja yang lain, juga bisa mendorong pihak perusahaan untuk membuat kebijakan atau standard operational procedure (SOP) terkait perundungan di kantor. Hal ini memuat bentuk-bentuk perundungan di tempat kerja dan sanksi apa yang menanti jika orang melakukannya. Tanpa adanya kebijakan tertulis, besar kemungkinan perundungan kembali terjadi dan dinormalisasi.

Read More

Perempuan Dukung Perempuan di Kantor, Kenapa Ini Penting?

Meskipun sekarang peluang kerja untuk perempuan semakin terbuka, mereka kerap kali masih menghadapi aneka tantangan dalam melangkah ke jenjang karier lebih tinggi. Di sejumlah industri yang terkesan maskulin, bahkan sejak pintu masuk pun perempuan menghadapi tantangan berkali-kali lebih besar dari laki-laki.

Memilih berjalan sendiri di dunia karier bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan perempuan dalam kondisi seperti ini. Begitu pula dengan mengamini, yang terbaik adalah berkompetisi dan mengalahkan pekerja-pekerja lain. Pasalnya, riset menunjukkan, pekerja yang mengedepankan kolaborasi lebih menguntungkan perusahaan. Karena itu, perempuan memerlukan banyak dukungan sekitar, salah satunya dari sesama pekerja perempuan.  

Alasan Dukung Sesama Perempuan Penting

Dukungan dari sesama perempuan menjadi penting untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan kerja. Berbagai riset telah menemukan bahwa kesetaraan gender di tempat kerja berdampak positif terhadap perusahaan. Misalnya, dari segi keterwakilan perempuan di posisi-posisi pemimpin. 

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, perusahaan-perusahaan yang board director-nya lebih berimbang antara laki dan perempuan, lebih beragam, memiliki performa bisnis yang lebih bagus, stabil, dan secara profil lebih baik.

Dengan mendukung sesama pekerja perempuan di kantor, perasaan empati antarpekerja pun terbentuk. Saat menghadapi masalah terkait gendernya, misalnya soal pelecehan seksual atau kesenjangan upah, ia tidak akan merasa sendiri setelah berbagi dengan sesama pekerja perempuan di kantornya. Dari situ, bisa terbentuk rasa solidaritas dan upaya untuk mengidentifikasi permasalahan struktural terkait gender yang ada di perusahaan, dan kemudian bersama-sama mencari jalan keluarnya.

Baca juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Dalam studi yang dimuat di Harvard Business Review dikatakan, perempuan yang punya jejaring sesama perempuan akan mendapat keuntungan lebih dalam perjalanannya menaiki tangga karier. Keuntungan berjejaring ini ditemukan lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. 

Di dunia kerja yang masih lebih sering memberi kesempatan pada laki-laki untuk menjadi pemimpin, lingkaran pertemanan dengan sesamanya bisa membantu seorang perempuan untuk berbagi informasi internal perusahaan serta strategi untuk menjadi pemimpin di kemudian hari.

Dalam wawancara eksklusif Magdalene dengan Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia, Risa E. Rustam beberapa waktu lalu, ia menyatakan sebagai perempuan, ada tanggung jawab moral untuk mendukung sesama, terutama bagi perempuan yang ada di posisi pemimpin atau pengambil keputusan. 

“Mereka harus lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan harus bisa lebih melihat ketidakadilan,” ujar Risa. 

Dukung Sesama Perempuan dengan Catatan

Kendati mendukung sesama pekerja perempuan adalah hal yang positif, kita tidak boleh berkacamata kuda dalam melakukannya. Keterwakilan satu gender, yakni perempuan, adalah satu hal yang memang diperjuangkan. Akan tetapi, kita juga mesti melihat bagaimana kiprahnya sebelum dan saat menduduki jabatan tertentu. 

Kita dapat mengambil contoh dari problem pemimpin-pemimpin politik perempuan yang disoroti dalam penelitian di Indonesia. Memang sudah ada Undang-Undang yang mengatur kuota perempuan dalam partai politik dan dalam pencalonan anggota legislatif. Segelintir perempuan pun sudah berhasil menduduki bangku kepala daerah. 

Akan tetapi, keberadaan mereka tidak otomatis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada sesama perempuan. Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perludem menyampaikan kepada Magdalene, “Berdasarkan riset Perludem tahun 2015, tidak semua perempuan kandidat kepala daerah membuat perencanaan program tentang perempuan dan anak atau terkait isu kesetaraan dan keadilan gender.”

Kritisnya kita dalam mendukung sesama perempuan diperlukan karena tidak semua perempuan telah memiliki perspektif gender yang cukup untuk membela kepentingan sesamanya. Ditambah lagi, kuatnya budaya patriarki dan desakan berbagai pihak dalam politik atau ranah kerja lainnya membuatnya semakin jauh dari harapan untuk bisa mendukung perempuan lain yang ada di bawahnya. Jika kita tetap mendukung secara buta perempuan pemimpin yang berpikiran patriarkal, maka hal itu tidak akan membawa perubahan baik bagi individu-individu perempuan lain di tempat kerjanya, juga secara makro bagi perusahaan.   

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Cara Mendukung Sesama Pekerja Perempuan di Kantor

Berikut ini beberapa cara yang bisa kita terapkan di kantor untuk mendukung sesama pekerja perempuan.

  1. Soroti capaian sesama perempuan

Alih-alih menjadi iri atau bersemangat ingin mengalahkan teman perempuan dengan pencapaian baik, kita bisa mulai menyoroti prestasinya agar dikenali oleh para atasan dan kolega lain.

Menurut Rebecca Wiser, co-founder dan direktur Komunikasi di Womaze, sebuah aplikasi yang berfokus pada pemberdayaan diri perempuan, penting untuk memberi kredit atas kerja teman perempuan karena ini bisa berimplikasi baik juga untuk diri kita sendiri.

“Dengan melakukan ini kamu sebenarnya menunjukkan bahwa dirimu adalah pemain tim yang suportif, calon pemimpin yang menginspirasi, dan terkesan cukup percaya diri untuk bisa memuji orang lain,” kata Wiser seperti dikutip dari Forbes.  

  1. Jadi mentor untuk sesama perempuan

Ketika kita sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih banyak dari teman kerja atau bawahan perempuan lainnya, tidak ada salahnya untuk menawarkan diri menjadi mentor mereka. Dengan melakukan ini, kita memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan diri hingga akhirnya pantas untuk menduduki posisi lebih tinggi nantinya.

Tentu saja dalam melakukan mentoring kita tidak selayaknya berlaku paling tahu segalanya karena sebanyak apa pun asam garam yang kita punya, pengalaman yang dihadapi tiap individu dalam menapaki lika-liku karier berbeda, begitu pula dengan tantangannya. Bisa saja sebagai mentor kita membagikan sejumlah strategi yang menurut kita berhasil dalam kondisi kita punya support system mumpuni di rumah. Tetapi strategi itu tidak akan berjalan bila yang melakukannya adalah teman atau bawahan kita yang misalnya serba terbatas kondisinya sebagai ibu bekerja dan tidak punya dukungan cukup di rumah. Poinnya adalah, sebagai mentor, kita perlu berbagi dengan tetap mendengarkan orang yang kita ajari dengan empati.

  1. Berani menegur bila teman kerja perempuan diinterupsi

Fenomena mansplaining dan interupsi pekerja perempuan di kantor bukan hal langka. Untuk menghadapi situasi ini, sebagai sesama perempuan kita perlu bersikap asertif dengan berani menegur kolega laki-laki yang menginterupsi omongan teman kerja perempuan.

Memang, karena dibentuk menjadi sosok pasif oleh masyarakat, kita sebagai perempuan seringkali takut atau ragu untuk melakukan hal itu. Namun, bila kita tidak pernah mulai mengoreksi perbuatan yang salah, terlebih bila kita berposisi menengah hingga tinggi di kantor, kita akan terus melanggengkan lingkungan kerja toksik yang menghindarkan perempuan dari kesuksesan di tempat kerja.

  1. Bergantian membantu 

Kita tahu bahwa perempuan pekerja masih ditempeli peran domestik yang membuat bebannya begitu berat. Menyadari hal itu, sebagai sesama perempuan kita bisa menawarkan bantuan kepada teman kerja ketika ia begitu terdesak oleh urusan rumah, meski pekerjaan yang mesti ditinggalkannya bukanlah bagian job desc kita. Selama kita masih mampu, kenapa tidak?

Hal ini akan menguatkan rasa percaya dan empati sebagai pekerja perempuan. Di waktu lain begitu kita mengalami situasi yang sama, kita bisa meminta bantuannya setelah rasa percaya itu terbangun.

  1. Kritis saat ada komentar seksis terhadap perempuan

Tidak jarang kita dengar komentar-komentar seksis terhadap kolega atau atasan perempuan saat mereka bekerja. Misalnya, bos perempuan disebut lebih cerewet, bossy, judes, atau galak saat menginstruksikan sesuatu ke bawahannya. Atau, saat ia hendak mencapai posisi tinggi dan bekerja keras, kata ambisius dilekatkan secara negatif kepadanya, baik oleh pekerja laki-laki atau sesama perempuan. Hal ini tidak dialami oleh pekerja laki-laki. 

Dikutip dari situs LeanIn, untuk menghadapi hal itu, kita bisa “menantang” orang-orang yang berkomentar demikian. Ketika ada yang menyebut seorang pekerja perempuan “bossy”, kita bisa meminta contoh tindakan dia yang mana yang memunculkan komentar tersebut, lalu bertanya kepada si pemberi komentar, “Kalau yang melakukannya laki-laki, apa reaksi kamu akan sama?”    

Read More

Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Istilah “breadcrumbing” mungkin pernah kamu dengar dan sering dipakai dalam konteks relasi. Namun tahukah kamu, hal ini juga bisa terjadi di dunia kerja?

Dalam kencan online, Macmillan Dictionary mengartikan breadcrumbing sebagai kondisi ketika seseorang mengirimkan pesan yang memberi sinyal ketertarikan terhadap orang lain, meski sebenarnya orang tersebut tidak benar-benar mau berelasi dengan dia. Dengan kata lain, breadcrumbing adalah tindakan menggantungkan seseorang dengan janji-janji omong kosong, dan ini lebih dulu kita kenal dengan istilah pemberi harapan palsu (PHP). 

Lebih lanjut menurut profesor Psikologi dari California State University, Kelly Campbell dalamartikel di Bride, breadcrumbing memakai taktik manipulasi secara emosional untuk membuat seseorang bergantung kepadanya.  

Bagaimana dengan breadcrumbing di dunia kerja?

Breadcrumbing dalam konteks ini biasanya melibatkan relasi antara pemberi kerja atau orang yang berwenang dengan karyawan atau calon karyawan. Salah satu contoh kasus yang menggambarkan kondisi ini adalah saat manajer menjanjikan promosi atau kenaikan gaji kepada seorang karyawan tanpa benar-benar mengusahakannya. Tidak ada upaya untuk meningkatkan kemampuan karyawan, memberi umpan balik yang cukup, atau apa pun yang membuat si karyawan berkembang dan pada akhirnya pantas untuk menerima promosi.

Ketiadaan upaya mengembangkan karyawan ini lantaran perusahaan butuh merogoh kocek untuk itu. Karenanya, dibanding melakukannya betulan, ada sebagian pihak pemberi kerja yang berpikir lebih baik mengiming-imingi seseorang saja supaya dia bertahan. Ini senada dengan artikel BBC, di mana Emily Torres mengemukakan, karyawan yang mengundurkan diri membawa biaya besar bagi perusahaan dalam rangka mencari sumber daya manusia (SDM) penggantinya. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Menurut Karen Gately, pendiri perusahaan konsultan SDM Corporate Dojo, praktik breadcrumbing tidak etis dan tidak adil. Dalam artikel HRM ia menyatakan, daripada melakukan hal ini, pihak perusahaan semestinya melatih karyawan yang ingin menduduki suatu jabatan, misalnya manajer, dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan. Ia juga tidak menyarankan perusahaan untuk menjanjikan hal yang tidak mau mereka wujudkan kelak.

“Bila kamu menjanjikan sesuatu di masa depan dan hal itu berubah, katakan pada karyawan tentang hal tersebut sesegera mungkin. Jangan tunggu sampai enam bulan dan bilang, ‘Oh, maaf, kami masih belum bisa melakukannya [mempromosikan karyawan],” kata Gately. 

Tidak hanya antara bos-karyawan, breadcrumbing juga bisa terjadi di tataran selevel atau antar-kolega. Misalnya, ada rekan kerja yang memujimu sesaat sebelum mereka bilang mereka memerlukan bantuanmu untuk sebuah pekerjaan. Lantas, rekan kerja tersebut meninggalkanmu setelah pekerjaan selesai dan baru kembali kepadamu ketika mereka membutuhkan bantuan lagi.

Selain itu, dalam artikel di Stylist dikatakan, breadcrumbing bisa terjadi bahkan sebelum kamu diangkat sebagai pekerja di suatu kantor. Hal itu bisa berupa janji-janji hal yang bisa kamu nikmati setelah bekerja atau terlibat di suatu proyek sehingga meningkatkan keinginan untuk bergabung dengan perusahaan tersebut dan tidak melirik ke perusahaan lain. Padahal setelah bekerja, janji-janji itu tidak kunjung ditepati. 

Tanda-tanda Breadcrumbing di Dunia Kerja

Ada sejumlah tanda breadcrumbing terjadi di tempat kerja yang mesti kamu waspadai:

  1. Kamu tidak menerima umpan balik secara rutin

Torres menulis, di lingkungan kerja yang sehat, sudah sewajarnya karyawan menerima umpan balik secara rutin. Ketika bos hanya memberi dukungan atau tanda penghargaan di kala karyawannya mendekati titik burn-out, bisa saja itu hanya upaya menahan si karyawan agar tidak buru-buru undur diri. Ini dilakukan demi menghindari biaya besar turn-over atau keluarnya karyawan.

  1. Ada kesempatan kenaikan jabatan, tapi kamu dilewatkan

Walaupun kamu sudah mengikuti apa yang diinstruksikan bosmu, dan walau ada kesempatan untuk naik jabatan, kamu masih saja dilewatkan dan rekanmu yang lain yang mendapatkannya. Bisa jadi juga bosmu mengatakan kepadamu, “Nanti di lain kesempatan…” agar kamu terus bertahan dan berharap bisa mendapat lebih dari apa yang kamu terima saat ini di kantor.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Tanda breadcrumbing di dunia kerja akan semakin kentara ketika bosmu tidak henti berkata ingin melihat perkembanganmu, bahkan seraya memberi pekerjaan ekstra, tanpa pernah memberi imbalan tambahan upah atau perubahan jabatan. Hal ini pada akhirnya membuat kamu ragu melihat dirimu sendiri dan atasan: Apakah kamu benar-benar pantas naik gaji? Apakah usahamu sudah cukup? Atau memang bos saja yang suka PHP?

  1. Janji yang diberikan atasan tidak jelas

Tidak jarang atasan membuat karyawan bingung dengan membuat janji-janji yang “abu-abu”. Mereka tidak mengatakan reward spesifik apa yang akan kamu dapatkan setelah masuk kerja atau menyelesaikan tugas tertentu, entah itu kenaikan gaji, dipercaya memimpin sebuah proyek bergengsi, atau peningkatan jenjang karier. Yang ada, mereka hanya mengindikasikan kamu akan menerima imbalan sepantasnya dan membuatmu menduga-duga saja.    

Cara Menghadapi Breadcrumbing di Dunia Kerja

Menghadapi situasi seperti ini, kamu tidak sepantasnya pasif atau diam saja menerima perlakuan tidak adil tersebut. Meski sering kali pemberi kerja atau atasan dianggap sebagai pihak yang punya kontrol, kamu juga sebenarnya berhak untuk menerima kejelasan dan kesempatan untuk berkembang.

Kamu bisa mengesampingkan rasa tidak enakan dan menanyakan hal apa yang akan kamu terima setelah menjalankan sejumlah tugas yang bos berikan kepadamu. Bisa juga kamu bertanya apakah kesempatan untuk naik jabatan atau gaji itu ada. Tentu saja tidak setiap kali menyelesaikan tugas dan pada tiap kesempatan kamu bisa menanyakan hal ini. Membaca situasi dan memilih cara komunikasi yang baik tetap dibutuhkan. Bila kamu rasa kamu sudah mengerahkan usahamu yang optimal untuk berkontribusi di kantor selama sekian lama, barulah kamu bisa mengajukan pertanyaan ini. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Dalam sebuah artikel Forbes juga disampaikan beberapa hal lain yang bisa kamu lakukan ketika sudah mencium tanda-tanda breadcrumbing dari atasan. Misalnya, kamu bisa mulai mencatat rekam jejak pencapaian dan usahamu di kantor, begitu juga waktu-waktu ketika bos mengiming-imingi sesuatu. Ini nantinya bisa kamu tunjukkan kepada bos saat hendak menagih apa yang pernah mereka janjikan. Kamu juga bisa bertanya apakah ada hal yang kurang dari usahamu selama ini kepada bos dan mencari tahu mengapa mereka tidak kunjung menepati janjinya, bisa dengan bertanya secara langsung kepada yang bersangkutan, membaca situasi (misalnya: keadaan keuangan kantor yang sedang buruk dan tidak memungkinkan kenaikan gaji karyawan) atau bertanya kepada rekan kerja yang lebih dulu masuk, apakah mereka juga mengalami hal serupa. 

Saat bos tidak terlihat benar-benar mengusahakan reward seperti yang dia janjikan sementara kamu terus dihujani berbagai tugas berat, kamu bisa mempertimbangkan lagi terus bekerja di kantor itu atau tidak. Apakah beban yang kamu emban sepadan dengan yang kamu terima? Apakah kamu ingin mengembangkan karier atau sudah puas dengan gaji dan jabatan yang ada sekarang? 

Bila yang melakukan breadcrumbing adalah rekan kerja, beri batasan kepadanya tentang apa yang bisa dan tidak bisa kamu lakukan untuk membantunya sesuai kapasitas, energi, dan waktu yang kamu punya. Tidak perlu merasa tidak enak saat menolak permintaannya bila itu menginterupsi pekerjaanmu. Lagipula, tidak ada garansi dia akan melakukan hal serupa di kemudian hari setelah kamu mengorbankan banyak porsi waktu kerjamu dan berharap dia bisa mendukungmu kelak. Ketika kamu membantunya, jangan biarkan rekan kerjamu mengambil kredit sepenuhnya dan mengabaikan kontribusimu.

Read More

Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan

Atlet senam perempuan Amerika Serikat Simone Biles baru saja memberi kabar mengejutkan kemarin di tengah perhelatan olahraga akbar Olimpiade Tokyo 2020. Perempuan kulit hitam kelahiran 14 Maret 1997 ini urung hadir dalam final tim beregu putri, (27/7) setelah penampilannya dinanti-nantikan publik mancanegara.

Setelah meninggalkan tim beregu putri sebelum final berlangsung, dan berujung pada diraihnya medali perak oleh tim AS, Biles berbicara kepada pers tentang keputusannya itu. Ia mengaku tidak sedang mengalami cedera fisik, tetapi ia merasa vault (salah satu manuver dalam senam lantai menggunakan meja lompat) yang dilakukannya masih kurang, dan Biles khawatir itu berdampak buruk terhadap performa timnya.

Sesaat sebelum Biles mundur, ia berencana melakukan Amanar, salah satu vault terpelik dalam senam lantai putri. Namun, ia gagal melakukannya dengan sempurna.

“Saya merasa lebih baik bila saya duduk di belakang dan berfokus pada mindfullness saya. Saya tidak mau tim berisiko kehilangan medali karena kesalahan saya,” kata Biles.

Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Simone Biles Peduli Isu Kesehatan Mental

Sebagai atlet senam perempuan Amerika yang prestasinya diakui dunia, Biles merasakan betul beban besar yang diembannya. Hal ini ditulisnya dalam sebuah unggahan di akun Instagram, @simonebiles, (26/7).

“Ini bukanlah hari yang mudah atau yang terbaik dari saya, tapi saya melaluinya. Saya benar-benar mengemban beban berat di pundak saya berulang kali. Saya tahu, saya mencoba mengabaikannya dan membuat tekanan itu tidak terlihat memengaruhi saya. Sialnya, kadang ini berat, hahaha! Olimpiade bukanlah hal remeh!” tutur Biles.

Dalam kesempatan lain, Biles juga mengakui betapa stresnya ia menjalani persiapan tampil di Olimpiade. Ia bahkan sempat gemetar dan sulit istirahat, suatu hal yang tidak pernah ia alami dalam kompetisi-kompetisi terdahulu.

“Saya mencoba keluar, bersenang-senang dan setelah pemanasan, saya merasa lebih baik. Namun begitu saya datang ke sini [arena kompetisi], saya merasa, tidak, mental saya tidak di situ. Saya perlu teman-teman tim saya melakukannya [melanjutkan kompetisi] dan berfokus pada diri saya sendiri,” kata Biles.

Pernyataan-pernyataan Biles ini menunjukkan betapa tinggi kesadarannya akan pentingnya kesehatan mental bagi orang-orang yang terus disoroti publik seperti dirinya. Dalam Huffingtonpost dinyatakan, Biles mengambil keputusan besar ini karena terinspirasi dari tindakan atlet tenis dunia asal Jepang, Naomi Osaka, yang juga menekankan hal serupa dalam dunia olahraga. Pada Mei 2021 lalu, Osaka pun sempat menarik diri dari kompetisi French Open dengan alasan mengutamakan kesehatan mentalnya.

Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri.

Ucapan-ucapan Biles lainnya kepada pers sehubungan dengan kesehatan mentalnya mengandung pesan besar nan menguatkan bagi orang-orang, tidak hanya di kalangan atlet, tetapi juga masyarakat secara umum.

“Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri,” kata Biles.

Atlet Senam Perempuan AS yang Ukir Sejarah

Meski banyak orang menyayangkan keputusan Biles, upayanya mengusung kesadaran akan kesehatan mental tersebut patut diacungi jempol, begitu pula sederet prestasi yang sudah diraihnya.

Britannica mencatat, Biles telah tertarik pada senam sejak berusia enam tahun. Sejak itu, ia mengasah minat dan bakatnya di bawah didikan pelatih Aimee Boorman dan dipayungi oleh Bannon’s Gymnastic. Capaian awal Biles mencakup medali emas dalam kategori floor exercise dan perunggu dalam kategori vault pada ajang Women’s Junior Olympic National Championships 2010.

Sumber: Reuters/Lindsey Wasson

Usaha dan determinasi Biles mengantarkannya kemudian pada capaian-capaian lebih membanggakan. Pada 2013, ia memenangi gelar all-around dalam kejuaraan senam dunia yang pertama kali dia ikuti. Tahun itu, ia menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang meraih gelar tersebut. Dua tahun berturut-turut setelahnya, Biles terus mencetak kemenangan di ajang serupa.

Kemenangan-kemenangan Biles ini membuatnya mengukir sejarah sebagai atlet senam Amerika (baik dari kategori laki-laki maupun perempuan) yang paling banyak mengantongi medali dari kejuaraan dunia. Tidak hanya itu, 10 medali emas dari kejuaraan dunia yang diraihnya juga menjadi jumlah paling tinggi yang pernah dicapai atlet senam perempuan dalam sejarah olahraga.

Pada November 2018, meski sempat mengalami masalah batu ginjal, Biles kembali menorehkan prestasi dengan memenangi enam medali dalam Kejuaraan Dunia di Doha, Qatar. Catatan gemilang ini dibuatnya setelah sempat hiatus dari kompetisi senam pada November 2016, dan baru kembali pada Juli 2018. Dilansir situs resmi Federasi Senam Internasional, keputusan Biles untuk mengosongkan waktu dari kompetisi senam tidak lepas dari keinginannya untuk lebih memperhatikan dirinya dulu dan menikmati masa sekarang.

Penulis autobiografi bertajuk Courage to Soar (2016) ini juga dikenal di dunia olahraga karena telah melakukan berbagai gerakan senam fenomenal yang akhirnya dikenal dengan namanya, “The Biles”. Vault ini merupakan pembaruan dari vault “Cheng”, yang terkenal sebagai salah satu vault paling sulit, dan dilakukan pertama kali oleh Biles dalam kamp seleksi Kejuaraan Dunia 2018. Keberhasilannya menampilkan vault ini dalam proses kualifikasi membuat namanya terpatri untuk manuver tersebut. Sampai Juli 2021, belum ada orang lain yang berhasil menaklukkan vault Biles ini. Selain vault, nama Biles juga diabadikan dalam gerakan di kategori balance beam dan floor exercise.

Di samping itu, belum lama ini Biles juga menaklukkan vault Yurchenko double spike yang dianggap sangat berbahaya sehingga tidak ada pesenam perempuan lain yang mencobanya. Risiko yang ditimbulkan bila vault ini gagal dilakukan adalah cedera leher atau kepala yang serius. Keberhasilan Biles melakukannya setelah 18 bulan tidak berkompetisi akibat pandemi viral di media dan semakin mengilapkan kariernya.

Kendati telah melakukan manuver sulit tersebut, juri memberinya nilai 6,6, poin yang di bawah ekspektasi Biles. Dalam berita The New York Times Mei lalu, terdapat spekulasi bahwa salah satu alasan juri melakukan hal itu adalah adanya perhatian terhadap masalah keselamatan para pesenam yang tidak semahir Biles. Dengan memberi nilai awal rendah, federasi diam-diam mendorong pesenam lain untuk tidak melakukannya. Ada juga dugaan bahwa hal ini terjadi lantaran ada kekhawatiran Biles terlalu jago sehingga ia bisa saja melenggang mulus di kompetisi mana pun, tidak seperti kompetitor lainnya.

Kendati ada kondisi seperti ini, Biles tidak ragu untuk kembali melakukan vault ini kemudian hari. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Karena saya mampu”.

Simone Biles Alami Kekerasan Seksual sebagai Atlet

Di balik catatan-catatan membanggakan Biles, rupanya atlet senam perempuan Amerika ini punya pengalaman kelam sebagai korban kekerasan seksual selama terjun di dunia olahraga.

Pada Januari 2018, The Guardian mewartakan, Biles menjadi salah satu korban kekerasan seksual dokter tim senam AS, Larry Nassar. Laki-laki ini telah divonis penjara 60 tahun akibat kasus pornografi anak, dan sudah melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 140 perempuan dan anak perempuan dengan modus perawatan medis.

Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar… Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.

Biles membuat pengakuan panjang lewat Twitternya yang mengundang banyak simpati. Melekatkan tagar #MeToo dalam unggahannya, Biles mengungkapkan, “Banyak dari kalian yang mengenal saya sebagai sosok periang dan energik, tetapi saya belakangan merasa sedikit hancur dan semakin saya mencoba bungkam, suara di kepala saya makin lantang terdengar… Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar. Percayalah saat saya berkata ini jauh lebih sulit untuk mengungkapkannya terang-terangan pada awalnya dibanding sekarang saat saya menuliskannya di atas kertas. Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.”

Perkara kekerasan seksual pada atlet senam perempuan seiring dengan seksualisasi terhadap mereka. Hal tersebut belum lama ini diangkat oleh para atlet senam perempuan dari Jerman yang memilih memakai longtards (dikenal juga dengan unitards), pakaian panjang yang menutupi tubuh atlet dan biasanya dipakai untuk alasan religius saja, dalam Olimpiade Tokyo 2020.

Dikutip dari Business Insider, aksi protes terhadap seksualisasi pesenam ini dimulai sejak April lalu saat atlet senam Jerman Sarah Voss mengenakan pakaian serupa di Kejuaraan Senam Artistik Eropa.

Dalam wawancaranya dengan BBC, Voss mengatakan aksi tersebut dilakukannya agar para pesenam muda lainnya merasa aman.

Read More

Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini

Setelah menikah dan punya anak, mengambil pilihan sebagai ibu bekerja atau menjadi ibu rumah tangga ibarat memakan buah simalakama bagi banyak perempuan. 

Ketika ibu bekerja menghabiskan waktu dan energinya lebih banyak untuk urusan kantor, mau tak mau ia mengorbankan waktu dengan anak dan suaminya serta waktu mengurus rumah. Namun bila ia memilih merelakan kariernya, itu berarti ia kehilangan kesempatan aktualisasi diri sekaligus mencari nafkah seperti halnya laki-laki untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.   

Di satu sisi, akses untuk mengenyam pendidikan tinggi dan menjalani karier sebagaimana laki-laki semakin terbuka bagi mereka, terlebih bagi mereka yang tinggal di kota-kota urban. Namun di lain sisi, secara bersamaan, norma budaya yang mendorong perempuan untuk lebih banyak mengemban tanggung jawab rumah tangga masih tumbuh subur. Ini menyebabkan mereka mesti susah payah berpijak di dua titik  agar kehidupan keluarga dan kerja mereka seimbang. 

Tidak semua ibu bekerja memiliki privilese untuk dapat menyewa asisten rumah tangga, akses ke penitipan anak  (daycare) yang terjangkau dan memadai, support system seperti suami atau orang tua yang mendukung, atau kelonggaran sistem kerja dan jam kerja fleksibel dari kantor. Karenanya, banyak sekali dari mereka yang terpaksa “bertangan delapan” bak laba-laba untuk bisa memegang pekerjaan kantor serta rumah tangga. Perempuan dengan keadaan seperti ini dikenal sebagai “juggling mom”. 

Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking

Ibu Tidak Boleh Sakit, Ibu Harus Sempurna

Kawan saya, “Diana”, menceritakan bagaimana ia susah payah mengurus bayinya dalam kondisi long distance marriage selagi bekerja dari rumah setelah masa cuti melahirkannya habis. Suatu waktu, ia jatuh sakit, tetapi mesti tetap melakukan pekerjaan domestik, mengasuh, seraya mengerjakan tugas kantor. 

Yang membuat saya prihatin adalah saat ia menulis “ibu tidak boleh sakit” dalam story-nya tersebut. Saya pernah merasakan berada di posisinya, hanya saja sedikit lebih “beruntung” karena ketika saya sakit dan mesti mengasuh bayi, saya masih belum mengambil kerja tetap lagi. 

Saya ingat betul saya terkapar di kasur, di samping anak saya yang masih di bawah enam bulan, mesti menyusui dan menenangkannya ketika rewel sembari menahan sakit maag akut plus diare yang membuat saya kelelahan bolak-balik toilet. Tak ada pembantu, tak ada keluarga lain yang memegang bayi saya dulu. Itu kejadian sebelum pandemi sehingga suami saya masih bekerja dari kantor, baru pulang malam hari dan mengambil alih kerja domestik dan pengasuhan.

Kondisi seperti yang saya dan Diana alami barangkali lebih parah lagi sekarang, ketika pandemi melanda dan banyak ibu dengan anak kecil yang terpapar COVID-19. Tak terbayangkan betapa sulitnya menjalani hidup seperti mereka, apalagi jika tak ada yang membantu.

Terlepas dari kondisi sakit, peran gender normatif terus mendesak ibu bekerja untuk jadi sempurna. Sering sekali kita mendengar atau membaca di artikel pertanyaan, “Bagaimana ibu menyeimbangkan waktu dengan keluarga dan waktu bekerja?”. Pertanyaan macam ini langka dilontarkan pada pekerja laki-laki. Ketika si ibu bekerja kedapatan lebih banyak mendedikasikan diri untuk kariernya, ia berpotensi besar dicap “ibu tak sempurna”, “ibu gagal”, atau “terlalu ambisius”. 

Sementara mereka yang (tampak) berhasil memiliki waktu berkualitas dengan keluarga dan karier menjulang, ramai-ramai diberi aplaus. Padahal, baik cap maupun bentuk apresiasi macam itu hanya melanggengkan beban ganda perempuan yang seharusnya dihapuskan. 

Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos

Stereotip Perempuan Jago Multitasking Semakin Membebani

Perempuan juga sering kali dianggap lebih piawai dalam hal multitasking dibanding laki-laki, termasuk urusan pekerjaan dan rumah tangga. Sebagian perempuan merasa itu kebanggaan, sementara lainnya merasa itu adalah label yang merugikan.

Dalam tulisan Leah Ruppaner yang dimuat di The Conversation, ia membantah anggapan klasik macam ini dengan menyebut salah satu hasil riset yang dimuat di jurnal PLOS One. Di sana dikatakan bahwa perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki dalam hal mengerjakan tugas berbeda pada saat yang sama.

Label jago multitasking yang menyuburkan beban ganda perempuan menurut Ruppaner berdampak buruk pada kesehatan mental perempuan, terlebih saat mereka punya anak. 

Bagi sebagian ibu bekerja yang tidak kuat mengemban beban ini, melepaskan pekerjaan atau kesempatan mendapat promosinya menjadi pilihan tak terelakkan. Tidak hanya beban pikiran, waktu, dan tenaga untuk bekerja yang mendorong mereka melakukannya, tetapi juga beban keletihan berkomuter untuk kerja yang sering luput dari perhatian masyarakat dan pihak perusahaan.

Pada era working from home (WFH) seperti sekarang, keadaan kian memberatkan perempuan. Lagi-lagi karena anggapan perempuan jago multitasking, mereka lebih diharapkan bisa mendampingi anak sekolah dari rumah, mengikuti rapat-rapat daring yang sebagian tak kenal waktu dan membuat jam kerja tanpa disadari lebih panjang, serta memastikan soal makan atau stok kebutuhan rumah tangga terpenuhi. 

Zaman digital juga mendorong para bos untuk berorientasi pada target tanpa memperhatikan beragam faktor yang menyandung pekerja untuk berperforma optimal. E-mail dan pesan Whatsapp di tengah malam, pada hari libur, tidak terhindarkan dan menuntut ibu bekerja untuk menanggapinya demi mempertahankan kinerja atau memenuhi key performance index-nya di kantor.  

Ujungnya, ibu bekerja bisa meledak secara emosional, depresi dan dipenuhi kecemasan, sehingga tidak dapat berfungsi baik, entah itu sebagai pekerja maupun istri dan ibu. 

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Bagaimana Cara Mengakhiri Problem Ini?

Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mengurangi kesusahan ibu bekerja adalah membangun support system demi terpenuhinya kewajiban rumah tangga maupun kantor. Di rumah, suami perlu ambil andil dan lebih banyak berinisiatif terjun di urusan domestik. Pasalnya, bila mereka menunggu instruksi dari perempuan terlebih dahulu juga membuat para ibu bekerja tetap mengemban beban mental lebih berat. 

Support system semacam ini bisa diwujudkan bila pihak kantor suami juga menerapkan perspektif gender dan menyadari beban domestik karyawan yang sudah berkeluarga. Percuma saja mengharapkan peran suami apabila dari kantornya tidak menoleransi karyawan untuk mengurus rumah dan anak, berbeda dengan sikap mereka terhadap karyawati.

Pihak kantor pun perlu menerapkan kebijakan ramah perempuan yang memungkinkan ibu bekerja mendapat berbagai akses seperti jam dan tempat kerja fleksibel, fasilitas daycare atau ruang menyusui, atau izin membawa anak ke kantor. Mereka juga mesti menyadari ketimpangan garis start bagi karyawan dan karyawati sehingga dalam hal promosi kerja, mereka bisa menyiasati supaya perempuan juga mendapat kesempatan yang sama untuk meraih capaian atau jabatan tinggi di kantor. 

Satu pandangan menarik dituliskan Meredith Turits di BBC (21/6) terkait peran ibu bekerja. Sejumlah riset telah menunjukkan bahwa pemberi kerja merasa peran ibu berpengaruh buruk terhadap performa kerja individual dan perusahaan pada akhirnya. Misalnya, berdasarkan riset dari Harvard University’s Kennedy School of Public Policy, pemberi kerja menganggap para ibu bekerja 10 persen kurang kompeten dibanding pekerja tanpa anak. Mereka juga dianggap 12,1 persen kurang berkomitmen dibanding laki-laki pekerja.

Adanya anggapan seperti itu mendorong HeyMama, komunitas ibu bekerja di AS, untuk membuat kampanye “Motherhood on the Resume”. Alih-alih dipandang sebagai nilai minus, menjadi ibu semestinya menjadi hal plus yang  bisa dicantumkan di CV. 

Menurut co-founder HeyMama, Katya Libin, kampanye itu adalah upaya untuk meruntuhkan bias kultural yang merugikan perempuan di tempat kerja. Ibu justru merupakan sosok yang lebih baik dalam mendengarkan, lebih diplomatis, dan lebih baik dalam mengorganisasi sesuatu dari kacamata Libin. Karena itulah, kualitas dari seorang ibu itu yang layak dipertimbangkan oleh pemberi kerja.

Read More