Sudah sepuluh bulan ini kantor media tempat “Laura” bekerja menerapkan sistem kerja dari rumah (work from home/WFH). Sistem kerja tersebut membawa tantangan tersendiri baginya, bukan karena ia harus bekerja ganda, mengurus anaknya yang masih balita sambil melakukan tugas-tugas kantor, tetapi juga karena situasi kerja yang membuatnya tidak nyaman semakin menjadi.
“Setiap minggu ada meeting lewat Zoom yang dihadiri sepuluh orang termasuk bos saya. Di setiap meeting itu, saya merasa tidak diberi banyak kesempatan untuk bicara atau memberi ide,” ujar ibu satu anak berusia 29 tahun itu.
“Tapi sebetulnya ini juga sudah terjadi sebelum pandemi dan WFH, waktu masih kerja di kantor,” ia menambahkan.
Laura mengisahkan bagaimana setiap ia mulai berbicara, ada saja kolega laki-lakinya yang memotong. Kalaupun ia berhasil mengungkapkan pendapatnya, mereka sering kali mengkritik atau bahkan meremehkan Laura.
“Misalnya waktu saya mengajukan diri untuk meliput satu isu untuk artikel investigasi. Teman cowok ada yang berkomentar liputan itu akan berat banget untuk saya, apalagi karena saya punya anak,” kata karyawati media daring ini.
Laura merasa aktualisasi dirinya terhambat di kantornya yang didominasi laki-laki tersebut. Semakin lama, ia merasa semakin kecil hati bisa banyak berkontribusi dan diapresiasi di sana.
“Kelihatan sekali perbedaan perlakuan terhadap saya dan kolega laki-laki. Setiap bicara saya malah dipotong atau tidak didengar. Kelihatannya seolah-olah saya enggak kontribusi apa-apa di meeting,” ujar Laura.
“Sementara, teman yang cowok sering banget dipuji karena rajin memberi ide. Padahal, salah satu ide yang dia ajukan itu hasil obrolan saya sama dia.”
Sempat terpikirkan olehnya untuk pindah tempat kerja. Tapi, Laura ragu apakah di tempat kerja lainnya situasi yang akan ia hadapi berbeda dengan kantornya sekarang.
Perempuan Tidak Didengarkan di Tempat Kerja dan Dampaknya
Pengalaman Laura ini senada dengan temuan survei dari Catalyst, sebuah lembaga nonprofit yang mendukung kepemimpinan perempuan di Amerika Serikat, yang dikutip dalam artikel di situs World Economic Forum. Sebanyak 45 persen perempuan pemimpin bisnis mengatakan bahwa sulit bagi perempuan untuk bisa bicara di tengah meeting virtual.
Selain itu, riset Catalyst tersebut juga menemukan satu dari lima perempuan merasa diabaikan oleh koleganya saat melakukan panggilan video, dan tiga dari lima karyawati merasa prospek mendapat promosi bagi mereka semakin buruk saat bekerja jarak jauh.
Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’
Lebih sedikitnya kesempatan berbicara bagi perempuan di dunia profesional tidak lepas dari anggapan miring terkait perempuan yang vokal.
“Kami telah melihat hal itu terjadi lagi dan lagi. Ketika seorang perempuan berbicara di konteks profesional, dia berada di situasi rentan. Entah dia tidak akan didengar atau dia dinilai terlalu agresif. Waktu laki-laki melakukan hal yang sama, banyak orang yang mengapresiasi idenya,” demikian pendapat Chief Operating Officer Facebook dan pendiri LeanIn.Org, Sheryl Sandberg dan profesor sekolah bisnis, Adam Grant dalam artikel opini mereka di The New York Times.
Sandberg dan Grant mengutip riset-riset yang temuannya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara dan lebih sering diinterupsi, serta dicecar idenya oleh koleganya yang lain. Lebih lanjut, ada pula riset yang mereka sebutkan menyatakan bahwa sementara laki-laki yang berbicara dipandang 10 persen lebih kompeten, perempuan yang melakukan hal yang sama dinilai 14 persen kurang kompeten.
Mendorong Perempuan Lebih Didengarkan
Untuk mengubah situasi di kantor seperti ini, baik para pekerja perempuan maupun pihak pimpinan perusahaan perlu membuat inisiatif-inisiatif. Dari sisi pimpinan perusahaan, Sandberg dan Grant menyarankan supaya mereka lebih berfokus pada ide-ide yang diusulkan dibanding siapa yang mengusulkannya. Dengan begini, peluang bagi perempuan untuk berkontribusi akan menjadi lebih besar.
Kesadaran untuk membuka ruang bagi pekerja perempuan juga harus lebih ditingkatkan oleh para pemimpin perusahaan. Selain itu, mereka juga perlu menekankan bahwa dalam rapat, para anggotanya tidak diperkenankan untuk menginterupsi siapa pun yang sedang berbicara.
Mantan Presiden AS Barack Obama pernah melakukannya saat ia baru menjabat, membuat kesepakatan bersama timnya untuk memberi kesempatan lebih banyak pada perempuan untuk berbicara dan tidak menolerir ‘mansplaining’.
Dalam jangka panjang, menurut Sandberg dan Grant, strategi yang bisa dilakukan untuk memperbesar ruang bicara bagi perempuan adalah meningkatkan jumlah perempuan di posisi pimpinan. Meningkatnya jumlah perempuan di berbagai posisi pekerjaan pada akhirnya memungkinkan terciptanya normalisasi perempuan berbicara di tengah rapat atau diskusi.
Lantas, apa yang bisa perempuan lakukan untuk mengurangi tindakan laki-laki menginterupsi atau membungkam mereka dalam rapat?
1. Sadari bahwa kita sedang diinterupsi dan itu hal yang tidak benar
Sering kali perempuan tidak sadar bahwa kolega laki-lakinya, entah dengan sengaja atau tidak, menghentikan upaya mereka berkontribusi dengan menyela omongannya. Selain itu, budaya di masyarakat juga kerap menekankan perempuan untuk lebih bersikap mengalah atau pasif dibanding laki-laki.
Langkah pertama untuk membuka ruang bicara lebih lebar bagi perempuan adalah dengan menyadari hal ini. Alih-alih mengamini norma gender yang mendorong perempuan menjadi pasif, kita perlu mendobrak pemikiran tersebut dan terus berusaha mengemukakan gagasan-gagasan kita di tengah rapat.
Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan
2. Cara Hadapi Mansplaining Selanjutnya dengan Bersikap Lebih Asertif
Ketika kita diinterupsi oleh kolega laki-laki, kita tidak boleh lagi membiarkannya terjadi di kemudian hari. Konsultan pengembangan kepemimpinan dan penulis The Power of Presence and The Inspiration Code, Kristi Hedges menulis di Forbes, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan cepat menanggapi si kolega laki-laki begitu ada tanda dia menginterupsi.
Sebagai contoh, kita bisa mengatakan kepadanya, “Bambang, saya hargai pendapatmu dan saya bisa menangani ini”, “Izinkan saya melanjutkan dulu dan kalau masih ada pertanyaan atau tanggapan, kita bisa bicarakan nanti”, atau “Komentarmu membuat saya penasaran, apakah akan membantu bila kamu mengetahui latar belakang saya?”.
3. Maju terus, Abaikan Interupsinya
Penulis buku Feminist Fight Club: An Office Survival Manual (For a Sexist Workplace) Jesssica Bennet menyarankan kepada perempuan untuk tidak ragu meneruskan pembicaraannya ketika terlihat upaya menginterupsi dari laki-laki.
“Tugasmu adalah menjadi tetap kuat dan terus berbicara. Usahakan jeda yang kamu buat sesebentar mungkin. Jaga momentum kamu. Tidak peduli bila dia [kolega laki-laki] melambaikan tangannya, menaikkan suaranya, bergelagat gelisah di kursinya, lakukanlah yang perlu kamu lakukan. Pura-pura tuli saja kalau kamu harus demikian; itu berguna membantumu menyampaikan gagasan. Kuncinya adalah mencegah dia berbicara sembari kamu bertingkah seolah orang yang paling santai di ruangan itu,” tulis Bennet dalam artikel “How to win against manterrupter” di Business Chicks.
4. Dukung Sesama Perempuan Berbicara Cara Hadapi Mansplaining yang Tepat
Dalam tulisannya yang lain di Time, Bennet menyarankan agar kita tidak ragu untuk mendukung sesama perempuan bila ide yang dia berikan bagus. Dengan demikian, kita akan mendapat efek timbal balik yang positif di kemudian hari selagi menunjukkan diri sebagai pekerja dalam tim yang baik.
Seiring dengan itu, saat menyadari ada kolega perempuan yang diinterupsi, biasakan diri untuk berusaha menyetopnya. Entah dengan menyenggolnya saat rapat, memberi kode untuk tidak memotong, atau bahkan secara gamblang berkata, “Tunggu, biarkan dia [si perempuan yang sedang berbicara] selesai dulu,” atau “Saya mau mendengarkan apa yang mau disampaikan Jess”. Kata-kata yang bisa kita gunakan saat itu bisa bermacam-macam. Yang terpenting adalah tidak diam saja ketika melihat perempuan diinterupsi dalam rapat.