Hubungan Ageism Bagi Perempuan Pekerja

Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja

Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kamera dari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.

Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.

Apa Itu Ageism?

Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.

Diskriminasi usia ini sesungguhnya menghalangi perkembangan karier perempuan

Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan. 

Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.

UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.

Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme

Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.

Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.

Baca Juga: Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Diskriminasi usia berbasis gender yang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.

Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.

Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.

Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.

Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.

Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?

Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.

Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.

Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.

Read More

4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Sudah sepuluh bulan ini kantor media tempat “Laura” bekerja menerapkan sistem kerja dari rumah (work from home/WFH). Sistem kerja tersebut membawa tantangan tersendiri baginya, bukan karena ia harus bekerja ganda, mengurus anaknya yang masih balita sambil melakukan tugas-tugas kantor, tetapi juga karena situasi kerja yang membuatnya tidak nyaman semakin menjadi.

“Setiap minggu ada meeting lewat Zoom yang dihadiri sepuluh orang termasuk bos saya. Di setiap meeting itu, saya merasa tidak diberi banyak kesempatan untuk bicara atau memberi ide,” ujar ibu satu anak berusia 29 tahun itu.

“Tapi sebetulnya ini juga sudah terjadi sebelum pandemi dan WFH, waktu masih kerja di kantor,” ia menambahkan.

Laura mengisahkan bagaimana setiap ia mulai berbicara, ada saja kolega laki-lakinya yang memotong. Kalaupun ia berhasil mengungkapkan pendapatnya, mereka sering kali mengkritik atau bahkan meremehkan Laura.

“Misalnya waktu saya mengajukan diri untuk meliput satu isu untuk artikel investigasi. Teman cowok ada yang berkomentar liputan itu akan berat banget untuk saya, apalagi karena saya punya anak,” kata karyawati media daring ini.

Laura merasa aktualisasi dirinya terhambat di kantornya yang didominasi laki-laki tersebut. Semakin lama, ia merasa semakin kecil hati bisa banyak berkontribusi dan diapresiasi di sana.

“Kelihatan sekali perbedaan perlakuan terhadap saya dan kolega laki-laki. Setiap bicara saya malah dipotong atau tidak didengar. Kelihatannya seolah-olah saya enggak kontribusi apa-apa di meeting,” ujar Laura.

“Sementara, teman yang cowok sering banget dipuji karena rajin memberi ide. Padahal, salah satu ide yang dia ajukan itu hasil obrolan saya sama dia.”

Sempat terpikirkan olehnya untuk pindah tempat kerja. Tapi, Laura ragu apakah di tempat kerja lainnya situasi yang akan ia hadapi berbeda dengan kantornya sekarang.

Perempuan Tidak Didengarkan di Tempat Kerja dan Dampaknya

Pengalaman Laura ini senada dengan temuan survei dari Catalyst, sebuah lembaga nonprofit yang mendukung kepemimpinan perempuan di Amerika Serikat, yang dikutip dalam artikel di situs World Economic Forum. Sebanyak 45 persen perempuan pemimpin bisnis mengatakan bahwa sulit bagi perempuan untuk bisa bicara di tengah meeting virtual.

Selain itu, riset Catalyst tersebut juga menemukan satu dari lima perempuan merasa diabaikan oleh koleganya saat melakukan panggilan video, dan tiga dari lima karyawati merasa prospek mendapat promosi bagi mereka semakin buruk saat bekerja jarak jauh.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Lebih sedikitnya kesempatan berbicara bagi perempuan di dunia profesional tidak lepas dari anggapan miring terkait perempuan yang vokal.

“Kami telah melihat hal itu terjadi lagi dan lagi. Ketika seorang perempuan berbicara di konteks profesional, dia berada di situasi rentan. Entah dia tidak akan didengar atau dia dinilai terlalu agresif. Waktu laki-laki melakukan hal yang sama, banyak orang yang mengapresiasi idenya,” demikian pendapat Chief Operating Officer Facebook dan pendiri LeanIn.Org, Sheryl Sandberg dan profesor sekolah bisnis, Adam Grant dalam artikel opini mereka di The New York Times. 

Sandberg dan Grant mengutip riset-riset yang temuannya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara dan lebih sering diinterupsi, serta dicecar idenya oleh koleganya yang lain. Lebih lanjut, ada pula riset yang mereka sebutkan menyatakan bahwa sementara laki-laki yang berbicara dipandang 10 persen lebih kompeten, perempuan yang melakukan hal yang sama dinilai 14 persen kurang kompeten.

Mendorong Perempuan Lebih Didengarkan

Untuk mengubah situasi di kantor seperti ini, baik para pekerja perempuan maupun pihak pimpinan perusahaan perlu membuat inisiatif-inisiatif. Dari sisi pimpinan perusahaan, Sandberg dan Grant menyarankan supaya mereka lebih berfokus pada ide-ide yang diusulkan dibanding siapa yang mengusulkannya. Dengan begini, peluang bagi perempuan untuk berkontribusi akan menjadi lebih besar.

Kesadaran untuk membuka ruang bagi pekerja perempuan juga harus lebih ditingkatkan oleh para pemimpin perusahaan. Selain itu, mereka juga perlu menekankan bahwa dalam rapat, para anggotanya tidak diperkenankan untuk menginterupsi siapa pun yang sedang berbicara.

Mantan Presiden AS Barack Obama pernah melakukannya saat ia baru menjabat, membuat kesepakatan bersama timnya untuk memberi kesempatan lebih banyak pada perempuan untuk berbicara dan tidak menolerir ‘mansplaining’.

Dalam jangka panjang, menurut Sandberg dan Grant, strategi yang bisa dilakukan untuk memperbesar ruang bicara bagi perempuan adalah meningkatkan jumlah perempuan di posisi pimpinan. Meningkatnya jumlah perempuan di berbagai posisi pekerjaan pada akhirnya memungkinkan terciptanya normalisasi perempuan berbicara di tengah rapat atau diskusi.

Lantas, apa yang bisa perempuan lakukan untuk mengurangi tindakan laki-laki menginterupsi atau membungkam mereka dalam rapat?

1. Sadari bahwa kita sedang diinterupsi dan itu hal yang tidak benar

Sering kali perempuan tidak sadar bahwa kolega laki-lakinya, entah dengan sengaja atau tidak, menghentikan upaya mereka berkontribusi dengan menyela omongannya. Selain itu, budaya di masyarakat juga kerap menekankan perempuan untuk lebih bersikap mengalah atau pasif dibanding laki-laki.

Langkah pertama untuk membuka ruang bicara lebih lebar bagi perempuan adalah dengan menyadari hal ini. Alih-alih mengamini norma gender yang mendorong perempuan menjadi pasif, kita perlu mendobrak pemikiran tersebut dan terus berusaha mengemukakan gagasan-gagasan kita di tengah rapat.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

2. Cara Hadapi Mansplaining Selanjutnya dengan Bersikap Lebih Asertif

Ketika kita diinterupsi oleh kolega laki-laki, kita tidak boleh lagi membiarkannya terjadi di kemudian hari. Konsultan pengembangan kepemimpinan dan penulis The Power of Presence and The Inspiration Code, Kristi Hedges menulis di Forbes, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan cepat menanggapi si kolega laki-laki begitu ada tanda dia menginterupsi.

Sebagai contoh, kita bisa mengatakan kepadanya, “Bambang, saya hargai pendapatmu dan saya bisa menangani ini”, “Izinkan saya melanjutkan dulu dan kalau masih ada pertanyaan atau tanggapan, kita bisa bicarakan nanti”, atau “Komentarmu membuat saya penasaran, apakah akan membantu bila kamu mengetahui latar belakang saya?”.

3. Maju terus, Abaikan Interupsinya

Penulis buku Feminist Fight Club: An Office Survival Manual (For a Sexist Workplace) Jesssica Bennet menyarankan kepada perempuan untuk tidak ragu meneruskan pembicaraannya ketika terlihat upaya menginterupsi dari laki-laki.

“Tugasmu adalah menjadi tetap kuat dan terus berbicara. Usahakan jeda yang kamu buat sesebentar mungkin. Jaga momentum kamu. Tidak peduli bila dia [kolega laki-laki] melambaikan tangannya, menaikkan suaranya, bergelagat gelisah di kursinya, lakukanlah yang perlu kamu lakukan. Pura-pura tuli saja kalau kamu harus demikian; itu berguna membantumu menyampaikan gagasan. Kuncinya adalah mencegah dia berbicara sembari kamu bertingkah seolah orang yang paling santai di ruangan itu,” tulis Bennet dalam artikel “How to win against manterrupter” di Business Chicks.

4. Dukung Sesama Perempuan Berbicara Cara Hadapi Mansplaining yang Tepat

Dalam tulisannya yang lain di Time, Bennet menyarankan agar kita tidak ragu untuk mendukung sesama perempuan bila ide yang dia berikan bagus. Dengan demikian, kita akan mendapat efek timbal balik yang positif di kemudian hari selagi menunjukkan diri sebagai pekerja dalam tim yang baik.

Seiring dengan itu, saat menyadari ada kolega perempuan yang diinterupsi, biasakan diri untuk berusaha menyetopnya. Entah dengan menyenggolnya saat rapat, memberi kode untuk tidak memotong, atau bahkan secara gamblang berkata, “Tunggu, biarkan dia [si perempuan yang sedang berbicara] selesai dulu,” atau “Saya mau mendengarkan apa yang mau disampaikan Jess”. Kata-kata yang bisa kita gunakan saat itu bisa bermacam-macam. Yang terpenting adalah tidak diam saja ketika melihat perempuan diinterupsi dalam rapat.

Read More
Perempuan Bekerja di Kantor

Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Perempuan di dunia kerja masih menghadapi kasus pelecehan seksual sampai adanya langit-langit kaca atau glass ceiling yang menghambat perempuan, perusahaan masih jadi salah satu faktor yang menghalangi kemajuan karier perempuan. Masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak memberikan akses bagi pekerja perempuan untuk mengembangkan karier sebagaimana pekerja laki-laki.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, kebanyakan perusahaan cenderung menganggap pemberian akses lebih bagi perempuan di tempat kerja adalah biaya,alih-alih investasi, padahal itu justru akan memberi perusahaan lebih banyak keuntungan.

“Memberikan cuti melahirkan enam bulan, misalnya. Waduh, [mereka pikir] itu nanti cost-nya gimana? Padahal, kalau mereka bikin regression analysis aja, enggak semua perempuan dalam perusahaan itu akan melahirkan lagi. Dan belum tentu ada yang  berencana mau melahirkan, atau enggak juga dalam waktu yang bersamaan semuanya cuti melahirkan,” kata Maya kepada Magdalene dalam acara BiSiK Kamis di Instagram bertema “Women on Top: Tantangan dan Peluang“ (1/10).

“Paling yang ngambil enggak sampai 10 persen. Saya pernah melakukan regression analysis untuk mengetahui berapa biaya melahirkan yang ditanggung organisasi. Di tahun itu yang melahirkan hanya enam orang. Dari yang kita budget-in aja itu enggak habis,” ia menambahkan.

Menurut Maya, kecenderungan itu memang tidak terlepas dari berbagai stigma dan anggapan mengenai sosok perempuan itu sendiri. Misalnya, kultur masyarakat Indonesia yang menuntut perempuan untuk bisa ber-multitasking dan terampil melakukan banyak hal, ujarnya.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

“Padahal, berapa sih dari kita yang bisa multitasking? Gue aja enggak bisa. Sambil menelepon bisa sambil, ‘Eh, itu anak jangan naik ke meja!’,” kata Maya.

“Kemudian multitasking ini kan jadi pedang bermata dua bagi perempuan. Dianggap bisa semuanya, padahal belum tentu seperti itu. Ini membuat kita menjadi perfeksionis karena kita selalu diberikan standar yang lebih tinggi dari kita kecil. Kalau si laki-laki itu bisa capai dua, kita harus empat,” ujarnya.

Berikut adalah obrolan Maya Juwita dengan Magdalene dalam acara di akun Instagram Magdalene.

Magdalene: Mbak Maya berkarir di bidang business law dan human resources (HR). Apa hal yang menarik dari menekuni dua bidang ini?

Maya Juwita:Saya sekolah hukum itu setelah saya jadi HR. HR di Indonesia ini kan harus mumpuni banget soal hukum. Walaupun human interaction jadi key-nya, tapi dasarnya adalah hukum, gimana penerjemahan hukum ini dimengerti perusahaan-perusahaan asing. Dulu, salah satu alasan saya karena saya punya atasan kebanyakan orang asing. Mereka mengeluh, gimana cara nyari HR yang ngerti hukum Indonesia dan bisa kasih tahu why-nya? Kenapa saya tertarik untuk belajar hukum bisnis ini adalah untuk mengetahui kenapa sih undang-undangnya harus seperti itu.

Maya Juwita
IBCWE
Women in Business
Perempuan Karier
Business Women
Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE)

Banyak undang-undang di Indonesia yang sebenarnya merupakan safety net buat para pekerja. Tapi kalau UU Cipta Kerja nih, yang lagi banyak diperbincangkan, itu kita masih mempelajari gender perspective-nya  yang kemudian akan mengancam pekerja perempuan ada di mana. Itu require legal skill untuk bisa membaca itu, walaupun sudah lama banget saya enggak baca undang-undang (sambil tertawa).

Sebenarnya, IBCWE itu apa sih? Kenapa ada dan apa yang dilakukan?

Isinya memang perusahaan-perusahaan yang punya komitmen untuk mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan, terutama dari sektor swasta yang bicara perempuan di dunia kerja, gimana perempuan bisa jadi pendorong ekonomi dari sektor formal. Yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini adalah mentransformasi diri mereka sendiri dengan menggunakan perspektif gender yang dibantu IBCWE.

Mereka menjadi role model, niatnya, buat perusahaan-perusahaan lain karena kekosongan undang-undang (yang mengatur soal perempuan di dunia kerja). Selama ini kan inisiatifnya jalan sendiri-sendiri. Misalnya, perusahaan A sudah melakukan ini nih sukses, tantangannya ini nih. Nah, nanti perusahaan B bisa melakukan itu dengan modifikasi-modifikasi.

Harapannya kesetaraan gender di dunia kerja bisa dipraktikkan rame-rame yang leading-nya nanti adalah kalau ada inisiatif dari private sector, pemerintah bisa ngikutin. Selama ini kan posisinya ada undang-undang dulu, baru perusahaan ngikutin. Tapi sesuai perkembangan zaman, banyak inisiatif yang dilakukan private sector kemudian diadopsi pemerintah.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Member-nya dari industri apa saja?

Macam-macam. Ada dari mining juga, yang tadinya kita pikir, it’s going to be an uphill battle. Mining gitu. Tapi ada dua perusahaan mining yang mau ikutan karena mereka terekspos dengan nilai-nilai dari luar mengenai bagaimana mempekerjakan pekerja perempuan di sektor tambang dan di front-liner loh, ya, bukan di back office, itu meningkatkan performance bisnis mereka, me-reduce biaya, memperkecil sengketa dengan warga di sekeliling. Mereka ingin, bisa enggak sih itu diadopsi di Indonesia? Anggota IBCWE memang beragam, ada dari sektor transportasi, manufacturing paling banyak, consumer goods.

Mengenai Perempuan Di Dunia Kerja, Apa Saja yang Menjadi Indikator Sebuah Perusahaan Menerapkan Policy yang Gender-Friendly?

Keberpihakan terhadap gender yang minoritas. Unfortunately, itu perempuan. Saya tidak mengatakan itu salah perusahaan. Tapi memang situasinya di Indonesia kalau bicara kesetaraan gender masih soal emansipasi. Padahal, gila lo, itu bahasa dari zaman kita SD kali (tertawa). Sebenarnya emansipasi itu kan mendapatkan hak yang sama.Perempuan Indonesia sudah punya hak yang sama dengan laki-laki jauh sebelum kita merdeka. Tapi yang jadi masalah, kesempatannya sama enggak? Kalau kesempatannya sama, caranya sama enggak? Kalau dikasih aksesnya beda ya sama saja hak itu enggak bisa di-exercise juga kan?

Misalnya, begini. Ya, perempuan punya hak pilih. Tapi kemudian dalam beberapa culture, perempuan enggak boleh ke luar rumah. Lu gimana bisa exercise your right kalau kayak gitu caranya?

Perusahaan yang gender friendly itu gimana sih? Paling gampang dulu. Punya ruang laktasi enggak? Perempuannya ada yang harus pumping di toilet perempuan. Padahal itu makanan. [Di toilet itu] bakterinya luar biasa. Atau pumping di ruang kerja, itu kan terbuka banget. Kemudian cuti melahirkannya seperti apa? Banyak perusahaan yang sudah mature, mereka tahu perempuan bisa jadi hidden talent dan ngasih maternity leave-nya enam bulan. Yang berbayar tiga bulan, yang cuma 75 persen dua bulan, sisanya unpaid. It’s okay, but its providing choices.

Kemudian memastikan kalaupun perempuan mengambil cuti melahirkan, kariernya tidak terganggu. Misalnya kalau mau promosi minimal 36 bulan di posisi yang sama. Kalau perempuan cuti melahirkan tiga bulan saja, artinya kan mereka enggak eligible untuk promosi. Padahal, belum tentu performance mereka lebih rendah dari yang full 36 bulan kerja. 

Isu Spesifik Perempuan Di Dunia Kerja Itu Apa Sih, Terutama Kalau Kita Ngomongin Perempuan yang Berusaha Untuk Naik Di Dalam Karirnya?

Tantangannya, satu, glass ceiling di Indonesia, di mana perempuan enggak bisa lagi breaking the class ceiling, cuma bisa sampai di level tertentu. Kemarin ada salah satu hasil penelitian dari perusahaan internasional yang mengatakan jumlah perempuan di high level management di Indonesia tinggi, ketiga tertinggi di Asia atau apa gitu. Nomor satunya kalau enggak salah Filipina. Tapi enggak dilihat ada di mana perempuan-perempuan itu. Biasanya di support function. HR, finance, legal. Tapi coba lihat posisi-posisi yang punya key decision maker atau bisa punya hak veto di dalam perusahaan. Ada di situ enggak? Itu sedikit sekali.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Kemudian double bind syndrome. Eh, ini dibahas loh sama Magdalene di tulisan tentang Athena Doctrine. Saya pertama kali tahu Athena Doctrine itu dari Mbak Alissa Wahid. Kalau perempuan jadi leader, karena ada mixed messages mengenai leadership ini, akhirnya perempuan terkena double bind. Leadership dikaitkan dengan masculinity, tapi si perempuan sendiri sebagai individu dinilai secara feminin.

Jadi kalau dia mengadopsi nilai-nilai yang maskulin atau treat yang maskulin untuk functioning leadership-nya, dia dianggap enggak pantas melakukan itu. Itu disebut double bind. Paling gampang begini kali, ya. Kalau laki-laki, misalnya dalam satu meeting marah, dia dibilang tegas. Kalau perempuan dibilang bitchy dan emosional. Padahal isunya sama. Tone-nya berbeda. Atau hormonal. Ih, paling benci deh gue sama kata itu. Enggak ada hubungannya.

Jadi perempuan kan bingung harus bersikap gimana. Sementara, di dunia banyak perempuan yang mengadopsi sisi-sisi masculinity ini because they have to bertahan di boys club ini. Akhirnya membuat mereka menjadi pemimpin yang dibenci.

Read More