kehilangan motivasi kerja

Gara-gara Stigma Janda Media, Ibu Tunggal Sulit Berkarier

Cap ‘perempuan tidak benar’ sampai disebut janda kesepian sebagai bahan olok-olok untuk diseksualisasi terus ditempelkan pada status ibu tunggal atau janda. Bagi ibu satu anak Sagita Ajeng Daniari, stigma negatif sudah jadi makanan sehari-harinya bersama kawan ibu tunggal di komunitas Single Moms Indonesia. Sebuah komunitas yang menjadi ruang nyaman serta aman ibu tunggal untuk bebas dari penghakiman masyarakat. 

Namun, kata Ajeng, beban ibu tunggal tidak berhenti di sana sebab ada polemik lain yang jarang disorot: Kesulitan mencari pekerjaan dan membagi waktu untuk bekerja. Ajeng sendiri bekerja sebagai media and public relations untuk sebuah studio animasi serta public relation and partnership untuk Single Moms Indonesia. Akan tetapi, kesulitan dalam karier yang dihadapi ibu tunggal itu menjadi cerita lazim di komunitasnya. Apalagi untuk ibu tunggal yang masih dalam proses healing, ujarnya. 

“Terutama di masa pandemi ini ada peningkatan angka perceraian atau pasangannya meninggal karena COVID-19. Lalu perempuan yang belasan tahun menjadi ibu rumah tangga apakah dia sudah siap untuk bekerja secara psikologis?” kata Ajeng dalam webinar “Work-life Balance: Creating Healthy and Equal Partnership at Home” oleh Yayasan Pulih,  (17/3). 

Jika merujuk pada peningkatan perceraian, mengutip Databoks Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan terdapat 447.743 kasus perceraian selama 2021. Angka tersebut meroket drastis dibandingkan 2020 dengan 291.677 kasus perceraian. Sebagian besar penggugat cerai merupakan istri dengan alasan situasi ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami. 

Selain itu, lanjut Ajeng, saat ibu tunggal sampai pada tahap wawancara untuk sebuah pekerjaan, pertanyaan jamak semacam, “Kamu janda, jadi bagaimana cara mengatur waktu? Keganggu enggak?” 

“Itu bukan suatu hal yang wajar dilontarkan. Ada masa probation tiga bulan dan kalau di CV dan portofolio dia qualified bisa dikasih kesempatan. Jika tidak, maka jangan,” imbuh Ajeng. 

Terkait pengasuhan anak saat ibu tunggal sedang bekerja, pengeluaran tambahan untuk menitipkan anak ke tetangga, kerabat, atau penyedia layanan seperti daycare menjad satu hal yang sulit dihindari. 

“Mau tidak mau itu menjadi salah satu solusi. Atau ada yang akhirnya memilih untuk tidak bekerja dan membuka usaha sendiri. Kalau anggota kami, beberapa mengambil kerja freelance dan menjaga anak di rumah,” jelasnya. 

Baca juga: Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor

Media Massa Ikut Langgengkan Stigma

Ajeng mengatakan, walaupun sekarang sudah banyak ibu tunggal mendobrak narasi negatif yang menghambat karier ibu tunggal dengan ungkapan ibu single fighter yang berdaya, stigma tersebut sulit menghilang sebab menjadi warisan turun-temurun di masyarakat.

“Saya belajar dari diri sendiri dan sahabat di komunitas, kami ingin punya kesempatan yang sama seperti perempuan lain dari hal pekerjaan dan sosial di masyarakat. Namun, tidak bisa dimungkiri masih ada yang bilang, ‘janda sih, makanya nikah lagi’,” kata Ajeng. 

Menurut Pemimpin Redaksi dan Co-Founder Magdalene, Devi Asmarani, langgengnya stigma kepada janda itu dipengaruhi media yang kerap melakukan seksualisasi terhadap ibu tunggal. Dalam pembingkaian berita status janda kerap diikuti embel-embel seksi, cantik, dan gatal. Alasan media terus membuat pemberitaan mengobjektifikasi perempuan sebab menjadi strategi operasional dan bisnis untuk menggaet khalayak dengan judul berita clickbait

“Ini praktik kotor at the expense of women dengan headline yang clickbait, mengobjektifikasi perempuan, dan menggunakan lensa moralitas ketika merepresentasikan kelompok tertentu, terutama marginal,” kata Devi dalam webinar yang sama. 

Dia melanjutkan, pemberitaan yang tidak sensitif gender berpengaruh pada persepsi publik terhadap dunia, ide, dan aspirasi. Selain itu, ikut berdampak pada pandangan terkait peran gender yang rigid dan tradisional. Pemberitaan tentang perempuan CEO, misalnya, selain diobjektifikasi akan muncul pemberitaan yang mempertanyakan pilihan suaminya menjadi bapak rumah tangga, alih-alih menunjukkannya sebagai dobrakan. 

Baca juga: Tidak Bekerja sampai Bukan Pemimpin, 4 Miskonsepsi Kodrat Perempuan

Garis besarnya, praktik media yang maskulin dan misoginis tersebut tidak mempertimbangkan sudut pandang perempuan untuk konsultasi isu keberagaman, ujarnya. 

“Kalau mau melihat yang terjadi saat ini masih sangat kurang (perempuan pengambil keputusan di media maupun narasumber). Perempuan (narasumber) di media berita, misalnya, secara global hanya sekitar 24 persen diwawancara koran, TV, dan internet,” kata Devi.

Di Indonesia sendiri, pada 2018 Tempo Institute serta Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) menemukan dari 22.900 narasumber yang dikutip media hanya 2.525 perempuan atau hanya 11 persen dari jumlah itu. Media cenderung memilih narasumber laki-laki untuk isu politik, IT, dan ekonomi, walaupun tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut, sebab menilai perempuan sulit diakses untuk diminta pendapatnya. 

“Melihat dampak yang dimiliki media dalam membentuk persepsi dan peran gender, disayangkan media mengekalkan ketidaksetaraan gender lewat representasi yang minim dan buruk,” tandasnya. 

Sementara itu, Nurasiah Jamil, Operational Manager dari Yayasan Rumah KitaB menyatakan, akses dengan media dan tokoh agama juga mempengaruhi tingkat moderat pemahaman agama seseorang. Semakin moderat seseorang, maka semakin menerima perempuan bekerja. Selain itu, jika mengonsumsi konten media yang menghambat perempuan berperan di ruang publik, maka akan mengkonfirmasi peran gender yang kaku itu. 

“Pandangan agama mendorong kembali ke rumah ada beberapa poin, seperti kalau tidak dapat izin suami tidak bisa bekerja, perempuan tidak pantas menjadi pencari nafkah utama, mengalami beban ganda dan menghalangi keterlibatan sampai kepemimpinan di ruang publik,” ujarnya. 

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

“Support System” Ibu Tunggal

Menurut data BPS, pada 2020 ada sekitar 50,70 juta perempuan pekerja di atas usia 15 tahun. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 49,40 juta orang. Untuk semakin mendorong partisipasi perempuan di ruang kerja, Nurasiah mengatakan perlu didorong advokasi oleh tokoh kunci, seperti pengusaha, media, figur keagamaan, dan orang-orang yang berpengaruh dalam pembentukan kebijakan. 

“Untuk menciptakan masyarakat perempuan bekerja perlu memberikan akses terbuka terhadap pandangan agama yang mendukung perempuan bekerja. Karenanya, kampanye bersama sangat diperlukan. Pengakuan sosial dan politik bahwa perempuan mengalami beban rangkap, dan kebijakan agar laki-laki dan perempuan melakukan pengasuhan,” tambahnya. 

Sementara Devi berpendapat, di media sendiri perlu lebih banyak representasi perempuan di posisi pengambil keputusan agar berdampak pada konten di media. Akan tetapi, perlu digarisbawahi, meski ada perempuan di jajaran eksekutif tidak serta-merta menjamin media itu akan sensitif gender. Pasalnya, tidak semua memiliki pemahaman itu dan paham kesetaraan gender. 

“Kita harus memperkuat perspektif gender ini sebab di ruang redaksi juga terbentur dengan editor yang belum sensitif gender. Selain itu, tugas kita sebagai konsumen untuk berhenti membaca dan membeli. Kekuatan konsumen ini yang luput disorot dan bisa mengajak masyarakat untuk memperkuat hal ini,” kata Devi. 

Untuk ibu tunggal, Ajeng mengatakan, dukungan dari support system, seperti teman, tetangga, dan keluarga menjadi sangat penting agar ibu tunggal dapat terus berkiprah di ruang profesional. Pasalnya, kadang ibu tunggal tidak hanya mencari pekerjaan untuk anaknya, tetapi anggota keluarganya yang lain, seperti orang tua maupun saudara. 

“Yang paling penting dari rumahnya sendiri, punya support system dan menjaga di rumah. Misalnya, oke ibunya bekerja, anaknya (dijaga) sama tante atau kakek dan neneknya,” ujarnya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Read More
miskonsepsi tentang kodrat perempuan

Tidak Bekerja sampai Bukan Pemimpin, 4 Miskonsepsi Kodrat Perempuan

Ketika melemparkan pertanyaan apa kodrat perempuan, jawabannya sering kali tidak lepas dari anggapan yang mendomestifikasi perannya, seperti perempuan ditakdirkan untuk di rumah saja. Pandangan tersebut juga semakin menjamur dengan ajaran ultrakonservatif yang beredar di dunia maya. Perempuan yang kemudian melakukan sesuatu di luar rumah, seperti bekerja, dianggap melanggar norma. 

Meski demikian, tanggapan semacam itu sudah sering dipatahkan. Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Kajian Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta mengatakan, kodrat dipahami sebagai hal biologis, seperti menstruasi, hamil, dan melahirkan. Sedangkan hal yang berkaitan dengan urusan domestik, seperti membuat kopi dan menyapu bukan kodrat, ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu. 

Karenanya, perempuan bebas berkiprah di ruang profesional dan memulai karier. Selain itu, pemerintah juga memiliki misi membangun kesetaraan gender untuk mencapai poin kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Tujuan tersebut bisa dicapai dengan meningkatkan peran perempuan di ruang kerja

Akan tetapi, miskonsepsi tentang kodrat perempuan kerap menghambat kiprah di ruang profesional. Berikut empat kesalahpahaman itu dan penjelasannya:

1. Kodrat Perempuan: Sumur, Kasur, dan Dapur

Anggapan tugas perempuan hanya berkisar pada sumur, kasur, dan, dapur merupakan miskonsepsi kodrat perempuan yang dilanggengkan budaya patriarki. Karenanya, perempuan yang ingin mengambil peran lain akan dinilai menyimpang. Selain itu, kelompok konservatif agama menyebutnya sebagai bentuk perusakan nilai keluarga akibat feminisme. Sementara feminisme ingin menunjukkan ruang domestik adalah milik semua orang dan perempuan mempunyai hak untuk memilih peran yang diinginkannya. 

Menurut Nurul Bahrul Ulum, seorang feminis muslim yang mengadvokasikan hak perempuan, kodrat tidak berkaitan dengan konstruksi sosial, seperti peran gender dan tugas domestik.  “Sumur, dapur, dan kasur itu konstruksi sosial, artinya bisa dipertukarkan dan bisa diubah tergantung situasinya,” ujar Nurul dalam sesi Instagram live Magdalene, Bisik Kamis ‘Bicara Feminisme dan Agama Bisakah Seirama” (10/3). 

Regional Director Ashoka Southeast Asia Nani Zulminarni juga mengatakan, pembagian tugas domestik yang adil pun dan membebaskan perempuan pekerja dari beban ganda akan membuka peluang lebih besar untuk perempuan berkarier. 

“Ranah publik dan domestik sama-sama menjadi tanggung jawab pasangan, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan perempuan bisa semakin produktif,” kata Nani dalam webinar ‘Chose to Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja’, Maret lalu. 

2. Kodrat Perempuan yang Tidak Boleh Bekerja

Miskonsepsi kodrat tentang perempuan dilarang bekerja juga menjadi hal utama yang menghambat perempuan berkompetisi di ranah profesional dan mengetahui potensinya. Tidak jarang juga pendapat ‘wanita fitrahnya di rumah. Jika dia suka keluyuran dan betah di luar rumah, berarti dia sudah keluar dari fitrahnya’ digaungkan untuk menghalangi perempuan berkarier.

Selain itu, ada juga yang menilai perempuan pekerja sangat terikat dengan hal duniawi dan egois karena bekerja untuk nilai materiil. Hasilnya, mereka yang memutuskan untuk bekerja dilabeli sebagai perempuan yang melanggar perintah Tuhan. 

Meski demikian, dalam ajaran agama disebutkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, Iklilah MD Fajriyah mengatakan, semakin besar cakupan kemanfaatan seseorang, maka derajat kebaikannya akan lebih tinggi. 

“Kalau kita melihat bahwa bagaimana hukum perempuan bekerja di dalam Islam, saya dalam posisi meyakini bahwa bekerja itu bukan hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan namun dianjurkan karena merujuk pada hadis tadi,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu. 

Meski demikian, bukan berarti ibu rumah tangga rendah derajatnya karena mereka memberi manfaat bagi keluarganya. Selain itu, perlu dipahami juga poin kritis menghalangi perempuan untuk memiliki kemandirian finansial adalah bentuk kekerasan. Karenanya, ketika ada pilihan untuk tidak bekerja dilakukan tanpa paksaan, keinginan sendiri, dan tidak merugikan bagi semua yang terlibat. 

3. Perempuan Bukan Seorang Pemimpin

Ketika perempuan mulai berkancah di ranah profesional mereka kerap terbentur oleh prasangka perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena terlalu emosional, sehingga sulit mengambil keputusan secara logis. Tanggapan semacam itu juga yang menegaskan bukan kodrat perempuan menjadi pemimpin. 

Hal tersebut juga terus langgeng karena ranah kerja belum ramah akan kesetaraan gender. Belum lagi dibumbui dengan ungkapan bahwa perempuan tidak akan fokus bekerja karena mereka harus mengurus rumah tangga. 

Meski demikian, kemampuan kepemimpinan seseorang tidak bergantung pada jenis kelamin dan gendernya. Selain itu juga dibutuhkan ruang kerja inklusif yang mendukung keberagaman, dan aturan fleksibel untuk perempuan dengan peran ganda di ruang domestik dan profesional. 

Selain itu, jika perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang dicap ‘feminin’, seperti lembut, komunikatif, dan berempati, bukan sesuatu yang buruk. Merujuk pada buku Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future oleh John Gerzema dan Michael D’Antonio, tipe kepemimpinan feminin lebih efektif untuk mencapai kesuksesan. 

Keduanya menekankan, model kepemimpinan itu lebih diharapkan daripada karakteristik yang sering dicap maskulin karena mengutamakan koneksi antar pekerja dan pemimpin, lebih terbuka, serta jujur dalam menyampaikan perspektif beragam untuk menemukan solusi. 

4. Perempuan Harus Menikah dan Menjadi Ibu

Pernikahan dan menjadi ibu sering dibingkai sebagai perjalanan terakhir yang harus dilakukan perempuan. Setelah memutuskan untuk menikah dan menjadi ibu lalu dibenturkan dengan pernyataan untuk tidak melanjutkan kerja. Pasalnya, sebagai ibu dan istri harus mengurus dan berbakti pada keluarga dengan tinggal di rumah. 

Meski demikian, tidak semua perempuan menikah dan menjadi ibu. Beberapa perempuan yang menikah juga tidak memiliki anak, childfree menjadi salah satu alasannya. Konsep kodrat yang berkaitan dengan hal biologis, seperti melahirkan pun menjadi pilihan, sama halnya dengan menikah atau tidak. 

Mengutip Ann Oakley, feminis asal Inggris, miskonsepsi kodrat perempuan menjadi ibu berakar dari konsep motherhood bahwa semua perempuan harus menjadi ibu karena dilahirkan dengan naluri keibuan. Oakley sendiri berpendapat konsep naluri ibu tidak ada. 

Oakley juga mengatakan ada asumsi ibu biologis yang paling dibutuhkan anak, akan tetapi ibu sosial juga bisa memberikan kasih sayang kepada anak. Selain itu, anak membutuhkan collective mothering, orang dewasa terlibat dalam proses pertumbuhan anak tanpa memandang gendernya.

Ketika perempuan juga telah berkeluarga, tetap menjadi haknya memilih untuk lanjut bekerja atau tidak. Perempuan bebas memilih peran, menjadi ibu, pekerja, atau keduanya. Masalah terletak ketika masyarakat mengotak-ngotakkan dan menyalahkan peran yang mereka pilih. Selain itu, ketika menjalankan perannya perlu kantor yang menyediakan hak perempuan serta dukungan keluarga agar perempuan tidak sendiri menanggung beban ganda. 

Read More

Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya?

generasi kutu loncat Selama dua dekade terakhir, generasi milenial sering disorot sebagai generasi yang gemar job hopping atau berpindah tempat kerja dalam waktu singkat, berkisar satu hingga dua tahun. Karenanya, generasi tersebut dinilai tidak loyal, tidak mampu berkomitmen pada satu perusahaan, dan suka bertindak semena-mena. Generasi milenial yang dicap gemar job hopping berbanding terbalik dengan generasi baby boomers yang cenderung bekerja di satu perusahaan selama puluhan tahun. 

Meski demikian, “Melissa”, seorang social media specialist di organisasi non-pemerintah, tidak setuju jika generasinya dicap buruk akibat job hopping ini. Ia mengatakan perlu melihat situasi dari perspektif generasi milenial untuk mengetahui alasan menjadi job hopper

Perempuan berusia 25 tahun itu mengatakan, salah satu penyebabnya mencari perusahaan yang bisa membantu seseorang terus mengembangkan kemampuannya dalam bidang yang ia tekuni. Untuk Melissa perusahaan yang mampu menawarkan perkembangan keahlian dari segi dunia digital. Melissa sendiri telah bekerja di tiga perusahaan berbeda sejak kali pertama memasuki dunia kerja profesional pada 2019. 

“Jika ada kantor yang bisa provide perkembangan pengetahuan dan kemampuan saya, ya kenapa tidak? Walaupun pada akhirnya saya lelah karena harus memegang banyak hal. Tapi, mumpung saya masih usia muda, sekalian saja deh lelahnya. Biar nanti kalau sudah matang saya bisa tahu kemampuan saya di mana,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.

Namun, faktor lain yang ia tekankan berupa beban kerja yang berlebihan berujung pada eksploitasi pekerja. Melissa mencontohkannya dengan kerja media sosial, seperti membuat konten, maintenance media sosial, dan memperhatikan perilaku target perusahaan untuk marketing digital yang tidak bisa dipegang satu atau dua orang saja. Karenanya, ia menegaskan ketika responsnya untuk mengundurkan diri bukan menandakan generasi millennial lemah, tapi menolak praktik kerja yang buruk. 

“Kerja digital dan media sosial itu luas dan tidak bisa dipegang satu orang saja. Jadi mengapa saat ini banyak yang pindah karena tidak dimungkiri ada eksploitasi di mana saja,”

“Ini juga yang mungkin harus dipahami, kalau jobdesk atau tugasnya banyak dia burn out dan resign atau job hopping. (Ini) bukan tidak bertanggung jawab atau mentalnya melempem,” tandas Melissa. 

Apakah Milenial Generasi Kutu Loncat?

Dewasa ini generasi milenial menguasai sebagian besar usia produktif. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 69,38 juta orang atau 25,87 persen generasi milenial produktif. Sedangkan Generasi X sebanyak 58,65 juta pang atau 21,88 persen. Sejatinya, penduduk terbanyak diduduki oleh Generasi Z dengan 74,93 juta orang, 27,94 persen. Meski demikian, rentang usia delapan hingga 24 tahun membuat belum semua Generasi Z berada di usia produktif. 

Pakar Sumber Daya Manusia, Floribertus mengatakan di dunia kerja, generasi milenial menawarkan ide-ide kreatif, mampu menyederhanakan tugas yang dinilai sulit, dan mengerjakan sesuatu dengan semangat karena dianggap bernilai. Selain itu, sebagai generasi yang lahir dan tumbuh besar dengan perkembangan digital, keahlian teknologi yang dimilikinya pun menjadi keunggulan untuk perusahaan. 

“Dari segi teknologi (milenial) memang lebih mudah dibanding generasi sebelumnya. Tapi, itu bisa menjadi cara untuk memfasilitasi generasi sebelumnya yang gagap teknologi. Kekurangannya, cara dan gaya berkomunikasi mereka yang masih bisa dibimbing,” ujarnya pada Magdalene November lalu. 

Meski demikian, tambah Floribertus, kemudahan yang ditawarkan dunia digital membuat generasi milenial terbiasa dengan segala sesuatu yang mudah dan instan. Hal tersebut pula yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Karena hal itu juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang dinilai sulit, maka akan mencari tantangan baru atau tempat yang bisa memberikan kemudahan tersebut, ujarnya. 

Dilansir dari Liputan6, pada 2016 Faridah Lim, Country Manager JobStreet.com Indonesia mengatakan, riset yang dilakukan perusahaannya menunjukkan 65,8 persen generasi milenial dari 3.500 responden akan pindah kerja kurang dari satu tahun. 

Senada dengan itu, di tahun yang sama Jakpat, layanan survei dan riset berbasis online di Indonesia menunjukkan, ada 875 dari total 1.376 responden usia 24-45 tahun mengaku telah job hopping.Sekitar 78,51 persen di antara jumlah tersebut pernah menjadi job hopper sebanyak tiga kali. Durasi kerja di satu perusahaan sebelum akhirnya pindah ke perusahaan lain. Alasan menjadi ‘kutu loncat’ sebanyak 70,74 persen karena mencari upah lebih tinggi, 55,89 persen untuk meningkatkan karier, da 49,83 persen karena ruang kerja yang dinilai sudah tidak kondusif. 

Penelitian serupa juga dilakukan di AS. Laporan What Employees Expect in 2021 oleh Institute for Business Value (IBM) dengan 14.000 responden. Hasil risetnya menunjukkan satu dari lima pekerja berganti pekerjaan pada 2020. Pekerja yang menjadi job hopper tersebut 33 persen dari generasi z dan 25 persen generasi milenial sebanyak 25 persen. Hal yang tidak jauh berbeda juga pada 2021 dengan lebih dari satu di antara empat pekerja berencana untuk berpindah. Selain itu, 60 persen telah berganti pekerjaan pada Januari lalu. 

Senada dengan itu, lima tahun yang lalu, laporan How Millennials Want to Work and Live dari  Gallup, sebuah badan riset global, menemukan 21 persen generasi milenial di AS berganti pekerjaan tiga kali lebih atau tiga kali lebih banyak dibanding generasi non-milenial. 

Krisis ekonomi the great recession pada 2007 hingga 2009 sering disebut sebagai salah satu penyebab yang melatarbelakanginya. Sementara itu, saat ini AS juga sedang dalam masa The Great Resignation atau pengunduran diri besar-besaran karena kondisi kerja yang tidak memadai, burnout, dan situasi pandemi COVID-19. 

Meski demikian, pada 2017, Pew Research Centre meluncurkan temuan bahwa job hopping tidak hanya dilakukan generasi milenial. Pada 2016, generasi milenial kelahiran 1981 sampai 1998 rata-rata bekerja di perusahaan yang sama selama 13 bulan atau sekitar 63,4 persen. Sedangkan, sejumlah 59,9 persen generasi x dengan usia sama di tahun 2000 yang bertahan di perusahaan sama selama durasi tersebut. Berpindah tempat kerja pun tidak menjadi satu hal yang dilakukan generasi milenial, tetapi orang muda yang mencari pelbagai kesempatan kerja di tempat lain.  

Senada dengan itu, Floribertus mengatakan generasi milenial tidak bisa digeneralisir semua melakukan job hopping karena respons setiap orang akan berbeda-beda. Jika ada yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya, orang lain bisa saja mengambil pilihan berbeda.

“Jadi tidak bisa digeneralisir ada yang milenial, tapi old soul. (Dampak pada karier) juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin, (kemampuan) adaptif, dan deliverable. Jadi karier yang cepat juga bergantung pada masing-masing orang, tidak bisa digeneralisir,” ujarnya. 

Ingin Kerja dan Hidup Pribadi yang Berimbang

Job hopper kerap dinilai sebagai red flag di dunia profesional karena perpindahannya yang cepat. Dalam laporan yang sama IBM menyebutkan, alih-alih keinginan finansial yang mendorong berpindah pekerjaan, generasi milenial lebih menginginkan karier dan kehidupan pribadi yang seimbang berada di posisi tertinggi sebanyak 51 persen. Selain itu, kesempatan untuk meningkatkan karier sebanyak 43 persen, kompensasi dan keuntungan pekerjaan dengan 41 persen, dan nilai serta etika pemberi kerja dengan jumlah yang sama. 

IBM menuliskan, cara agar perusahaan secara proaktif memahami apa yang dianggap penting dalam karier pekerjanya. Selain itu membangun budaya belajar dan apresiasi atas perkembangan pekerja dan empati pada pekerja terkait kesehatan fisik, mental, dan finansial. Sementara untuk pekerja agar terus belajar, tidak berkompromi atas kesehatan dan nilai yang dimilikinya, dan mengadvokasikan keinginan kepada perusahaan untuk proses komunikasi yang transparan. 

Senada dengan hal itu, Melissa mengatakan, kantor juga perlu inklusif dengan kebijakan yang ramah perempuan agar kebutuhan pekerja terpenuhi. Selain itu, perusahaan profit maupun non-profit perlu melakukan evaluasi agar menciptakan ruang kerja tidak eksploitatif, waktu kerja berimbang, dan budaya kantor yang sehat. 

“Kantor ideal harus punya aturan tertulis dan benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang berpihak dan ramah pada perempuan dan anak,” ujarnya. 

Sementara Floribertus mengatakan, perusahaan juga perlu memahami tentang kebutuhan pekerja dan menciptakan ruang yang aman. Meski demikian, jangan sampai tujuan menciptakan ruang inklusif untuk semua orang hanya menjadi semacam janji atau lip service saja, sedangkan kantor belum bisa memfasilitasi hal itu. Selain itu, definisi inklusif masing-masing perusahaan akan berbeda dan perlu didefinisikan secara jelas dan melakukan pendekatan yang berbeda pula, seperti diskusi tentang kebutuhan dan kebijakan. 

“Namun kembali lagi apakah kebutuhan itu bisa terfasilitasi, seperti yang menerapkan keuntungan fleksibel. Kalau bicara tentang organisasi tidak hanya memikirkan kepentingan satu kelompok dan sangat bervariasi. Selain itu, butuh waktu untuk proses negosiasi yang tidak mudah. Jadi akhirnya kita yang menyesuaikan diri juga (dengan perusahaan),” ujarnya. 

Read More

5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Girlboss, gaslight, dan gatekeep. Bagi generasi milenial, kalimat itu kerap digunakan untuk perempuan di posisi strategis yang cara memimpinnya justru membawa kerugian untuk orang lain. Dari situasi itu, perkara menjadi pemimpin perempuan memang tidak ada habisnya. Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan diri sebagai tegas akan menerima cemoohan sebagai terlalu kolot. Karenanya, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah. 

Meskipun begitu, perempuan pemimpin tidak seharusnya takut menunjukkan sifat yang dikategorikan sebagai feminin, lembut, dan berempati. Pasalnya, kepemimpinan dengan tipe feminin dinilai lebih efektif untuk mencapai kesuksesan. John Gerzema dan Michael D’Antonio dalam bukunya Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future menyampaikan hal yang senada. 

Gerzema da D’Antonio menemukan fakta pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai ‘feminin’, seperti empati, kolaborasi, dan kesabaran dapat menangani krisis dengan lebih baik. Alih-alih menganggap karakteristik tersebut sebagai kelemahan karena segala hal yang berkaitan dengan perempuan, sebaiknya dirayakan sebagai kelebihan. 

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Efektivitas gaya kepemimpinan tersebut dapat dilihat dari cara menangani kasus pandemi COVID-19 di negara yang dipimpin perempuan. Misalnya, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern. Dia disorot media dunia karena menangani situasi pandemi dengan cepat dan melakukan pendekatan penuh empati. Singkatnya, ia menjadi pemimpin yang diidolakan. Gaya kepemimpinan seperti itu tentunya ikut diadopsi dalam karya budaya populer. Jacqueline Carlyle dari serial The Bold Type, misalnya, seorang pemimpin redaksi majalah yang perhatian, empatik, dan siap membantu karyawan dan penulis yang dibimbingnya. 

Meskipun tipe kepemimpinan seperti itu memang sudah sangat sering diidamkan sampai diadopsi ke layar kaca, gaya kepemimpinan yang maskulin menjadi tipe yang lebih sering ‘populer’. Dalam podcast  Bye Kepemimpinan Macho! Saras Dewi, dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, minat pada gaya kepemimpinan maskulin menjadi kontras karena  sudah terbukti gagal. 

“Kepemimpinan maskulin masih dianut karena masyarakat dalam memahami ekonomi, politik, dan budaya berlomba-lomba untuk berkompetisi dan menguasai yang satu di atas lainnya. Berlomba-lomba untuk mendominasi,” ujarnya. 

Psikolog Alice H. Eagly dan Blair T. Johnson dalam beberapa penelitian mereka juga menyebutkan gaya kepemimpinan maskulin menunjukkan sikap transaksional yang autokrat atau setiap keputusan menjadi mutlak. Gaya kepemimpinan yang berbanding terbalik dengan kepemimpinan feminin yang pendekatannya lebih demokratis dan mendorong perubahan. 

Kegagalan efektivitas tipe kepemimpinan maskulin pun juga dilihat dari cara menangani situasi pandemi dengan penuh hambatan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, misalnya, media menyebutnya menggunakan gaya kepemimpinan hyper-masculine dalam menangani situasi pandemi. Karenanya, upaya mitigasi penting dalam mencegah penyebaran virus mengalami keterlambatan, seperti lockdown dan penyuluhan mengenakan masker yang tertunda. Tipe maskulin itu juga ada dalam masa kepresidenan Donald Trump yang penuh kontroversi. 

Tipe tersebut tentunya tidak melulu pada laki-laki di posisi strategis.Contoh yang paling dekat dengan tipe kepemimpinan tersebut ialah Sophia Amoruso, pionir dari istilah Girlboss itu sendiri. Walaupun digadang-gadang sebagai inovasi dari dan untuk perempuan, tetap saja pendekatannya tidak inklusif dan cenderung membawa kerugian. Pasalnya, Amoruso juga tersandung skandal karena karyawannya menuduh tidak memiliki rasa empati dan eksploitatif. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Di era yang sangat menjunjung tinggi political correctness dan tidak ragu menyudutkan hal-hal dinilai ‘menyimpang’, penggambaran tokoh publik atau perempuan di posisi strategis yang ‘adil’ menjadi hal yang terus diidamkan. Harapan tersebut pun kemudian diadaptasi di karya-karya sinema. Namun, tidak semua perempuan pemimpin di budaya populer memiliki kualitas tersebut. Ada kalanya perempuan pemimpin di karya sinema mengadopsi gaya kepemimpinan maskulin yang tentunya membawa mereka ke arah kegagalan, seperti:

  1. Hope Haddon (‘Sex Education’)

Kepala sekolah baru untuk Moordale Secondary dalam serial Sex Education mulanya mengemban citra sebagai karakter pemimpin perempuan yang ingin mengubah cara pandang ‘buruk’ orang lain soal sekolahnya. Selain itu, dia berjanji akan bersifat inklusif bagi semua siswa yang memiliki ekspresi gender yang beragam. Namun, itu semua semacam kedok karena Hope sebenarnya ingin mengkotakkan semua orang dalam konsep rigid dan biner dengan gaya kepemimpinannya yang kolot. Bisa dibilang dia cukup fasis. 

Hope memang ‘berjanji’ akan mendengarkan apa usulan dan saran dari siswa agar peraturan sekolah tidak timpang. Namun, itu hanya bualan semata karena ujung-ujungnya hanya pendapat darinya yang harus diaminkan. Semua hal yang diusung Hope sifatnya mutlak, tidak heran jika semua siswa jadi pemberontak. Gaya kepemimpinan Hope memang sangat maskulin, otoriter, tidak berempati, dan cenderung merugikan sesama perempuan. Hal ini pun yang membuat dia gagal menjadi kepala sekolah. 

Sumber: Netflix
  1. Dolores Umbridge (‘Harry Potter’)

Guru praktik ilmu hitam di sekolah sihir Hogwarts ini memang karakter fiksi yang dibenci sepanjang sejarah. Pasalnya, dia selalu menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak berbahaya, terlebih lagi dengan pakaiannya yang konstan warna merah jambu. Namun, diam-diam dia rela melakukan apa saja, termasuk menyakiti siswanya secara fisik, hanya untuk mendapatkan informasi yang diinginkannya. Situasi pun semakin parah ketika Umbridge menduduki posisi kepala sekolah dan menyingkirkan Dumbledore. Dia semakin otoriter bahkan melakukan ‘penyisiran’ untuk mencari siswa yang melawan. 

Umbridge sebenarnya tidak sekadar ‘jahat’ dan licik saja, tapi juga menginternalisasi karakteristik buruk kepemimpinan maskulin, menutup telinga atas pendapat orang lain. Dia bahkan lebih buruk dari Voldemort karena keinginannya untuk kekuasan bukan yang utama, tapi membawa kekerasan untuk mereka yang ingin perubahan inklusif di dunia sihir. 

Sumber: Wikipedia.org

Baca juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

  1. Choi Myung-hee (‘Vincenzo’)

Karakter pemimpin perempuan yang diperankan Kim Yeo-jin ini seorang mantan jaksa yang memang problematik karena sangat korup. Dia kemudian pindah ke firma hukum Wusang sebagai senior partner dan semakin berbahaya.  Dia tampak tidak memiliki hati karena tega membunuh orang tanpa ada rasa bersalah. Semua demi mencapai hal yang dia inginkan. Singkatnya Choi Myung-hee adalah orang yang ambisius tapi sangat toksik. Dalam drama Vincenzo, dia tampak sengaja dibuat maskulin dengan penampilan yang ‘jauh’ dari perempuan. Hal itu pun menambah kesan dia memang sosok yang tamak, kolot, dan fasis ketika berinteraksi dengan orang lain bahkan untuk mencapai satu tujuan. 

Sumber: TVN
  1. Cersei Lannister (‘Game of Thrones’)

Layaknya semua orang yang terlahir di klan Lannister, Cersei tentu saja memiliki sifat arogan. Sebagai pemimpin, terlebih lagi perempuan, arogansi itu tampaknya bekerja karena dia menjadi tidak tersentuh. Bahkan dengan mudahnya ia merencanakan kematian suaminya si raja Westeros , Robert Baratheon secara diam-diam. 

Dia bisa disebut sebagai karakter perempuan pemimpin yang kuat dalam serial Game of Thrones karena membuktikan dia adalah pemain gim politik kerajaan yang tidak bisa dipandang enteng. Orang-orang pun menakutinya karena itu. Namun, karena arogansi, sikapnya yang keras kepala, anti kritik, menolak nasihat orang lain, dan sangat otoriter Cersei secara tidak langsung membunuh kariernya sebagai ratu yang menguasai Kings Landing. Sifat-sifat kepemimpinan maskulin itu yang menamatkannya. 

Sumber: gameofthrone.fandom.com
  1. Baroness Von Hellman (‘Cruella’)

Dalam film Cruella, kita tentu berpikir karakter pemimpin perempuan, Cruella De Vil adalah karakternya yang antagonis. Apalagi kita sudah mengenal Cruella yang keji karena tega membuat anjing dalmatian sebagai mantel. Namun, sekejinya Cruella, Baroness Von Hellman jauh lebih jahat. Selain sosialita dengan status bangsawan, Baroness memiliki bisnis fesyen. Selain itu, juga terkenal sebagai desainer ternama. Namun dia sangat arogan, tidak memiliki empati pada karyawannya, dan sangat anti kritik. Dia adalah mimpi buruk untuk semua orang. Sifatnya itu juga memenuhi semua kriteria gaya kepemimpinan maskulin yang membawanya pada kegagalan. 

Sumber: DinesyPlus
Read More

Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Saya punya kesamaan dengan Jenna Rink versi 13 tahun dalam film Hollywood 13 Going 30, yakni memiliki impian menjadi perempuan sukses di usia 30-an. Bedanya, saya tidak bisa ‘mengintip’ masa depan untuk melihat apakah saya sudah sukses di umur itu seperti Jenna. Dalam film, dirinya versi 30 tahun adalah perempuan pemimpin sukses dan berdikari. Jika dilabelinya dengan istilah populer saat ini, dia adalah seorang girl boss

Namun, kesuksesan Jenna juga memiliki sisi gelap karena nyatanya dia menggunakan cara manipulatif untuk mencapai posisinya. Situasinya itu selaras dengan istilah girl boss, yang dalam satu sisi meninggikan perempuan, tapi di saat bersamaan bukan pemberdayaan yang baik.

Perempuan yang bekerja keras, visioner, dan memiliki agensi memang sudah ada sejak dulu, tapi melabeli mereka dengan girlboss bisa dibilang baru. Istilah itu kali pertama muncul pada 2014 lewat memoir #Girlboss karya pebisnis perempuan Sophia Amoruso. Pemilik Nasty Gal, bisnis pakaian untuk perempuan muda itu mengatakan, kunci agar perempuan meraih kesuksesan ialah dengan hustle culture atau menjadi perempuan yang bekerja keras untuk berada di posisi atas. Pesan dari Amoruso tersebut awalnya disambut baik karena banyak perempuan yang merasa terinspirasi dan divalidasi kerja kerasnya. Selain itu, pesannya menunjukkan dukungan pada perempuan yang bekerja mencapai posisi strategis. 

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Namun istilah girl boss, buku dan gerakannya, juga dikritik karena memberikan kekuatan yang elitis dan tidak inklusif untuk semua perempuan. Alih-alih menjatuhkan sistem yang merugikan perempuan di tempat kerja bersama-sama, girl boss menyampaikan simbol sukses adalah mendaki sistem yang menyakiti perempuan di ranah kerja tanpa niat untuk menghancurkannya. 

Mengutip sebuah artikel dari The Atlantic yang ditulis Amanda Mull, sistem yang mengeksploitasi perempuan tidak berubah. Perempuan yang memotori hal ini dengan membentuk kembali struktur berbahaya yang diwujudkan laki-laki. 

Pendapat bahwa girl boss tidak sepenuhnya aksi yang mengangkat perempuan semakin diperkuat dengan mantan pekerja Nasty Gal yang menuntut dan melaporkan Amoruso sebagai pemimpin eksploitatif, menciptakan ruang kerja yang toksik, hingga memutus kontrak kerja secara sepihak karena alasan kehamilan. 

Feminis Casira Copes untuk media The Pink menyatakan, girl boss bukan gerakan pemberdayaan perempuan karena bergerak di bawah struktur kapitalisme yang melabeli dirinya sebagai feminisme. Girl boss mendefinisikan dirinya sebagai aksi dari dan untuk perempuan tanpa menyadari dampak bahaya yang diberikannya. 

“Feminisme girl boss tergolong dalam aksi neoliberalisme. Ia mengajak perempuan untuk mengambil alih kapitalisme dan mambuatnya bekerja untuk mereka,” tulis Copes. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Reputasi Jelek ‘Girlboss’

Kritik tentang budaya girl boss memang tidak ada hentinya. Media The Boar menyatakan girl boss mengomodifikasi feminisme seutuhnya untuk bisnis. Belum lagi media Refinery29 yang menuliskan girl boss mengecilkan perempuan dengan pilihan kata ‘girl’ karena laki-laki yang memimpin tidak mungkin disebut boy boss. Singkatnya, girl boss disebut sebagai kuda Troya seksis karena dari luar tampak mengangkat perempuan, tetapi menolak agensi mereka untuk menjadi perempuan pemimpin yang ‘dewasa’. 

Senada dengan tanggapan itu, dikutip dari Vox, Alexandra Solomon, akademisi gender di Northwestern University mengatakan, label bos perempuan korporasi memberikan perempuan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan untuk orang-orang di sekitar mereka, tetapi kata ‘girl’ juga menunjukkan aspek dan sistem tradisional yang secara historis ‘mengerdilkan’ perempuan. 

Redupnya minat terhadap girl boss juga berkaca pada naik-turunnya gerakan menguatkan perempuan di ranah kerja, Lean In. Gerakan itu dipelopori Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer dari Facebook lewat bukunya Lean In: Women, Work, and the Will To Lead

Sama dengan #Girlboss, Lean in menyampaikan pesan bahwa perempuan bisa mendapatkan karier sukses dan hidup pribadi yang berimbang dengan menjadi perempuan yang bekerja keras. Pesan itu kemudian dinilai hidup dalam gelembung dan tidak melihat realitas atau mempertimbangkan upaya dan tantangan khusus yang dihadapi ibu bekerja. Michelle Obama pun mengatakan lean in bukan resep mujarab perempuan bisa mendapatkan semuanya karena kadang hal itu tidak bisa bekerja dalam situasi tertentu. 

Copes berpendapat, tidak semua gebrakan dari perempuan paham seutuhnya tentang perjuangan atau tujuan keadilan untuk terbebas dari eksploitasi yang sarat nilai patriarki atau kapitalisme. Feminisme pun bukan gerakan individu, melainkan aksi bersama yang inklusif terhadap pengalaman perempuan dengan tujuan untuk menguatkan. 

Baca juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim

‘Girl Bossdi Media Sosial

Girl boss sudah mendapatkan reputasi buruk. Serial Girlboss yang diangkat dari buku Amoruso juga mendapat tanggapan yang beragam dan dibatalkan Netflix setelah musim pertama. 

Di media sosial, perkara bos perempuan korporasi juga menjadi bahan bulan-bulanan atau meme dengan kata-kata gaslight, gatekeep, dan girl boss. Istilah perempuan sukses juga mengindikasikan seseorang dengan kuasa yang melakukan kebohongan, diskriminasi, dan mengeksploitasi. Candaan tersebut juga memiliki nilai sarkastik yang dimaksudkan untuk menghibur. 

Tidak jarang juga tiga kata itu disebut sebagai versi baru dari Live, Love, Laugh yang menunjukkan semangat positif palsu, kemudian mendapatkan pasangannya manipulate, mansplain, dan malewife (laki-laki yang bertolak belakang dengan stereotip bos perempuan korporasi sebagai perempuan ambisius). Dalam budaya internet, media Vox  menyatakan, jika girl boss direduksi sebagai bahan candaan dan mengejek pelaku korporat eksploitatif, maka bos perempuan korporasi kehilangan kekuatan untuk menyakiti orang lain. 

Perubahan pemaknaan itu juga ada dalam tren media sosial yang menyebut perempuan fiktif, seperti Vanessa Doofenshmirtz dari kartun Phineas and Ferb, Santana Lopez dari Glee, dan Senju Kawaragi dari Tokyo Revengers sebagai girl boss karena kuat, berdaya, dan memiliki agensi. 

Jika bos perempuan korporasi dilepaskan seutuhnya dari pemahaman Amoruso yang ingin merebut patriarki atau kapitalisme untuk dirinya tanpa mengubah sistem, kemudian mengarahkannya menjadi gerakan inklusif untuk perempuan di ranah kerja, Perempuan jadi pemimpin bisa dipandang dengan cara baru. 

Diumpamakan dalam film The Devil Wears Prada, girl boss bisa menjadi Miranda Priestly, pemimpin perempuan yang melakukan gaslight dan gatekeep. Tetapi, jika dimaknai sebagai semangat pekerja perempuan, asistennya Andrea Sachs juga bisa menjadi girl boss karena memiliki ambisi untuk menjadi jurnalis yang baik, walaupun sempat terjebak di lingkar industri fashion toksik. 

Read More

Mengenal Adora, Perempuan Kunci di Balik Kesuksesan BTS

Adora – Saat debut delapan tahun lalu, grup idola BTS identik dengan lagu dan konsep hip-hop yang membuat mereka sedikit berbeda dari boyband lainnya. Berasal dari agensi kecil, mereka harus bersaing dengan berbagai grup idola baru menarik lainnya yang debut setiap bulan. BTS pun mesti menemukan strategi untuk membesarkan nama mereka. 

Pada 2015, mereka merilis The Most Beautiful Moment in Life,Pt.1 dan 2 dengan galeri musik yang lebih beragam, seperti genre pop, EDM, dan R&B, tanpa menghilangkan identitas sebagai grup bergenre hip-hop. Lagu-lagu dari kedua album tersebut melejitkan nama mereka di industri K-pop. Namun, pada 2016 dengan album Wings yang juga memiliki genre beragam, kepopuleran BTS meledak dan mendapatkan pengakuan dari industri musik global. 

Salah satu produser yang ikut berkontribusi untuk kesuksesan itu ialah Adora, komponis musik perempuan pertama BigHit Entertainment yang sekarang dikenal sebagai HYBE Labels. Adora yang bernama asli Park Soo-hyun juga ikut memproduseri, menulis, dan menjadi backing vocal, untuk beberapa lagu populer BTS, seperti “Spring Day”, “Not Today”, “Seesaw”, dan “Anpanman” yang menjadi kesukaan penggemar BTS, ARMY, sampai publik umum di Korea Selatan. 

Perempuan berusia 23 tahun itu membawa warnanya sendiri ke dalam lagu-lagu BTS dengan teknik harmonisasi vokal yang membuat musik menjadi lebih lembut, misalnya “Euphoria”, lagu solo oleh anggota BTS, Jungkook. Selain itu, kemampuan Adora dalam memproduseri lagu juga berbeda dengan komposer HYBE yang mayoritas laki-laki. 

Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

Jika Pdogg, produser musik andalan HYBE, identik dengan lagu upbeat dengan tempo yang cepat, sedangkan Slow Rabbit yang sedikit melankolik dengan tempo lambat, Adora bak bunglon yang bisa beradaptasi semua tempo musik. Contohnya, “Epiphany”, sebuah lagu balada yang dinyanyikan Jin dari BTS, “Moonlight” dari proyek solo hip-hop dari Suga, dan  “134340” yang mencampurkan R&B, hip-hop, dan ritme musik salsa.

Oleh karena itu, Adora memanen penggemarnya sendiri di antara ARMY, yang juga antusias atas representasi perempuan di balik musik BTS. Meskipun begitu, Adora tetap menjadi enigma atau sosok yang misterius yang bekerja di balik layar dan hanya menunjukkan sekilas tentang kehidupan pribadi lewat akun Instagram miliknya.

Baca juga: Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Adora Hampir Jadi Idola K-pop

Adora memiliki hak cipta atas 32 lagu yang dicatat oleh Korea Music Copyright Association (KOMCA), di antaranya 21 lagu BTS, sembilan dari TXT, satu lagu dari Gfriend saat masih di bawah naungan HYBE, dan satu untuk boyband, ToppDogg, yang berganti nama menjadi Xeno-T. 

Sebelum menjadi produser dan penulis lagu, Adora sudah terjun ke dunia musik sebagai trainee K-pop di K Entertainment dan direncanakan debut bersama girl group The Ark. Meskipun begitu, sebelum grup idola tersebut debut pada 2015, Adora keluar tanpa alasan yang diketahui oleh publik. 

Pada 2016, ia kemudian mengikuti audisi “2016 Next New Creator” oleh BigHit yang sedang mencari produser musik. Walaupun tidak menjadi idola K-pop, Adora tetap bekerja di industri itu dengan tugas yang berbeda. 

Sumber: BigHit Music

Belum lama ini, HYBE juga memperkenalkan dua wajah baru untuk bergabung dalam tim komponis musik, Kim Chorong sebagai sound engineer dan Summergal di posisi digital editor. Adora, Kim, dan Summergal memang tidak sendiri sebagai perempuan di skena produser musik K-pop, ada Kenzie, komponis dan penulis lagu di bawah naungan SM Entertainment, yang menciptakan musik untuk Girls’ Generation, Red Velvet, hingga Twice dari agensi JYP Entertainment.

Selain itu, ada Kim Eana yang memiliki lebih dari 300 lagu yang tercatat di KOMCA, penyanyi solo IU dan Suran yang menulis lagunya sendiri. Ada juga idola K-pop yang aktif dalam menciptakan lagu untuk grupnya, seperti Soyeon dari (G)I-DLE, LE anggota girl group EXID, dan keempat anggota MAMAMOO. Kehadiran perempuan di balik layar serta idola yang memiliki agensi dan kendali atas musik mereka menjadi angin segar karena memberikan lagu yang diciptakan lewat sudut pandang perempuan atau female gaze. 

Sayangnya, nama-nama produser dan komposer perempuan itu belum cukup untuk menghapuskan ketidaksetaraan gender yang sistemik, terutama karena industri tersebut masih sarat seksisme, sering mengobjektifikasi, dan mengeksploitasi perempuan. Apalagi di tengah masyarakat Korea Selatan yang masih menolak gerakan feminisme karena disamaratakan dengan misandry atau kebencian terhadap laki-laki. 

Baca juga: Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

Produser Musik Perempuan Masih Minim

Secara umum, representasi perempuan di kursi produser musik juga masih minim. Dalam laporan Inclusion in the Recording Studio? oleh USC Annenberg Inclusion Initiative, sebuah studi tahunan tentang musik menyebutkan, bahwa profesi sebagai produser juga masih didominasi laki-laki.

adora
Sumber: BigHit Music

Jumlah perempuan produser musik untuk lagu dalam daftar HOT 100 Billboard tahun lalu hanya mencapai 2 persen. Sementara itu, untuk tahun 2012, 2015, 2017, 2018-2020 secara kolektif, produser perempuan hanya mencapai 2,6 persen. Skalanya ialah 38 produser laki-laki dibanding satu produser perempuan. Sedangkan untuk penulis lagu perempuan selama 2020 hanya mencapai 12,9 persen. Laporan itu menunjukkan bahwa representasi perempuan menjadi isu krusial untuk mencapai kesetaraan. 

Begitu pula di industri K-pop, representasi perempuan produser juga masih dibutuhkan walaupun sudah ada beberapa nama yang dikenal publik. HYBE yang mayoritas dipegang oleh laki-laki juga perlahan-lahan membuka jalan untuk inklusivitas perempuan di industri musik, seperti membajak Min Hee-jin untuk menjadi Chief Brand Officer-nya. Namun, kehadiran “Adora-adora” lainnya yang bisa menetapkan nama mereka di industri karena kemampuan menciptakan lagu juga semakin ditunggu oleh penggemar K-pop, yang terkenal melek isu sosial atau woke.  

Read More
Min Hee-jin, Otak Kreatif Industri K-pop yang Jarang di Sorot

Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Grup idola Korea Selatan, f(x) dan Red Velvet, selalu memiliki visualisasi konsep album yang khas, unik, dan membuat mereka menonjol dari grup lain. Pink Tape (2013), album kedua f(x), memiliki video konsep berjudul Pink Tape Art Film yang ganjil tapi lucu, dengan filter gambar jadul yang menonjolkan karakteristik eksentrik grup tersebut. Album Red Velvet pada 2018, Perfect Velvet, bertema film horor Amerika tahun 80an dan 90an tapi dibuat ngepop dengan warna mencolok—awal mula ditetapkannya konsep mistis sebagai milik mereka. 

Otak di balik kedua konsep kreatif itu adalah Min Hee-jin, yang sekarang menjadi Chief Brand Officer (CBO) HYBE Entertainment atau yang dulu dikenal sebagai BigHit Entertainment, perusahaan yang menaungi boyband nomor satu di dunia, BTS. 

Sebelum termasuk dalam jajaran eksekutif di grup perusahaan tersebut, Hee-jin adalah Direktur Kreatif di SM Entertainment, salah satu dari tiga besar perusahaan dalam industri K-pop. Ia mulai bekerja di agensi yang menaungi grup idola Girls Generation itu sejak 2002 sebagai anggota tim kreatif. Namun, butuh waktu tujuh tahun hingga Min Hee-jin diberi keleluasaan kreatif untuk menangani album-album idola SM Entertainment. 

Baca juga: Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan   

Awalnya, ia ditugaskan untuk menggarap visualisasi lagu Sorry Sorry (2009) milik Super Junior dan Gee (2010) dari Girls Generation, yang membuat nama keduanya semakin meledak. Sejak kesuksesan itu, Min Hee-jin diberi tugas-tugas yang lebih banyak, seperti memimpin tim untuk konsep visual album dan promosi untuk f(x)  SHINEE, EXO, dan Red Velvet. 

Selama di agensi itu, Min Hee-jin juga menunjukkan dirinya adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan karena menjadi pionir konsep visual dan visual directing di industri K-pop. 

Min Hee-jin Jadi Satu-satunya Perempuan di Antara Eksekutif Laki-laki

Min Hee-jin jadi Satu-satunya Perempuan di Antara Eksekutif Laki-laki

Setelah hampir dua dekade bekerja di SM Entertainment, Min Hee-jin, yang kini berusia 42 tahun, dibajak oleh HYBE Entertainment pada 2019. Mengutip media Korea Selatan, Tech M, Min Hee-jin menjadi satu-satunya perempuan di jajaran eksekutif di antara empat agensi hiburan terbesar Korea Selatan, SM, YG, JYP, dan BigHit Entertainment, yang berpenghasilan tinggi. 

Dikabarkan penghasilan Min Hee-jin mencapai KRW 527 juta atau sekitar Rp6.7 miliar setahun, alias Rp560 juta perbulan. Jumlah itu juga didasari pertimbangan profesionalisme, kepemimpinan, dan kontribusinya pada perusahaan. 

Meskipun begitu, fakta bahwa ia menjadi satu-satunya perempuan yang menduduki jabatan eksekutif mengukuhkan bahwa masih sedikit perempuan di posisi strategis dalam suatu perusahaan. 

Media daring Korea JoongAng Daily, yang mengutip studi yang diluncurkan organisasi pekerja, The Federation of Korean Industries, Maret lalu, menulis bahwa memang ada peningkatan perempuan di posisi CEO, dari 2,8 persen pada 2015 menjadi 3,6 persen setahun kemudian.  

Meski demikian, jumlah keseluruhan masih sangat kecil dibandingkan laki-laki. Dari total 2.716 CEO di Korea Selatan, hanya ada 75 perempuan pada 2015. Sementara itu, pada 2019 terdapat 115 perempuan CEO di antara 3.187 total CEO secara keseluruhan. 

Baca juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Situasi yang mirip terjadi pada perempuan eksekutif di jabatan tinggi. Di antara 24.628 eksekutif, hanya ada 727 perempuan pada 2015. Sedangkan pada 2019, ada 1.314 eksekutif perempuan di antara 30.000 total eksekutif. 

Min Hee-jin memang tidak sendiri menjadi perempuan di jajaran direksi industri K-pop, misalnya Hwang Bo-kyung yang menjadi CEO YG Entertainment pada 2019 dan Kim Sun-hye, CEO dan pendiri Blockberry Creative, agensi grup idola Loona. 

Namun, melihat besarnya diskriminasi terhadap idola perempuan, penolakan gerakan feminisme di Korea Selatan, dan minimnya jumlah perempuan pemimpin, perjalanan untuk kesetaraan di ruang profesional industri hiburan masih panjang. 

Konseptor Grup Idola Perempuan Terbaru HYBE

Di posisinya yang sekarang, Min Hee-jin juga bertanggung jawab untuk menciptakan grup idola perempuan untuk HYBE Entertainment, yang selama ini baru mencetak boyband dan penyanyi solo perempuan.

Saat masih disebut sebagai BigHit Entertainment, perusahaan itu memang sempat membuat grup idola perempuan, GLAM, pada 2012. Sayangnya grup tersebut tidak berhasil sukses karena rumor anggotanya, Trinity, adalah sasaeng atau penggemar obsesif Leeteuk dari Super Junior. Selain itu, ada juga skandal pemerasan anggota lain bernama Dahee yang melibatkan aktor papan atas Lee Byung Hun.

Pada tahun 2015, grup tersebut bubar mengikuti kabar Dahee yang masuk penjara akibat kasus pemerasan tersebut. Sejak saat itu, BigHit tidak lagi memiliki grup idola perempuan dan hanya grup laki-laki, seperti BTS dan TXT. 

Kabar bahwa Min Hee-jin yang bertanggung jawab atas grup baru agensi itu secara umum disambut baik, mengingat kreativitasnya yang tergambar dalam visualisasi konsep grup yang pernah ia pegang. 

Baca juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Misalnya, album 4 Walls (2015) dari f(x) kemudian menjadi salah satu album favorit penggemar K-pop karena membawa nuansa baru untuk girlband itu. Selain itu, Min Hee-jin juga yang mendorong perubahan logo boyband EXO menjadi lebih menarik. 

Kehadiran Min Hee-jin di agensi tersebut menawarkan berbagai potensi konsep visual yang artsy. Selain itu, kemampuannya yang sudah diakui semakin mengukuhkan posisinya dan  HYBE Entertainment sebagai pemain besar di industri K-pop.

Read More
perempuan berkarier

Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Pemerintah menyatakan bahwa capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia telah mengalami peningkatan. Indeks ini merupakan parameter kesetaraan gender yang diukur dari sumbangan pendapatan perempuan melalui keterlibatan dalam parlemen, pengambilan keputusan, jabatan sebagai tenaga profesional, hingga ekonomi, mengalami peningkatan. Pada 2019 angka IDG mencapai 75,24, sementara pada 2020, IDG kita ada di angka 68,15.

Meskipun demikian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan bahwa angka tersebut merefleksikan belum ada partisipasi maksimal dan aktif dari perempuan dalam bidang politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi secara spesifik.

“Ini disayangkan karena perempuan adalah setengah dari potensi bangsa sesungguhnya, termasuk potensi ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2020, angkatan kerja perempuan hanya mencapai 53,15 persen, sementara laki-laki 82,4 persen,” ujarnya dalam webinar “Choose To Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja”, (24/3). Webinar yang diselenggarakan Rumah KitaB tersebut bertujuan untuk mendorong lebih banyak perempuan muslimah untuk terjun dalam ranah profesional.

Ia menambahkan, peran perempuan dalam membangun kesetaraan gender di masyarakat sangat penting untuk mencapai poin kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini menjadi fokus pemerintah untuk memajukan negara.

“Dunia sudah tidak menghendaki praktik eksklusivisme masyarakat. Masa depan adalah masyarakat demokratis, terbuka bekerja sama dengan setara,” ujar Bintang.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes menyatakan, selama masa pandemi COVID-19, perempuan bekerja mengalami banyak tantangan karena harus mengandung beban kerja ganda sekaligus. Beban ganda tersebut ialah tanggung jawab ekonomi sebagai pekerja dan seorang ibu.

“Perempuan juga merasa terhambat karena ada peran pengasuhan yang timpang. Ini menjadi tantangan bersama untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif gender,” ujarnya.

Sinta Nuriyah Wahid, Ibu Negara Republik Indonesia keempat, juga mengatakan pemerintah harus responsif pada perubahan untuk kesetaraan gender karena perempuan merupakan bagian kekuatan suatu keluarga.

“Untuk itu, hubungan pemerintah dengan masyarakat, sektor usaha, serta pandangan keagamaan harus ikut mendukung pilihan hidup perempuan, seperti masuk ke ranah kerja,” kata Sinta.

Meski demikian, masih banyak tantangan dan hambatan yang dialami perempuan untuk masuk dan ketika berada dunia profesional, tambahnya. Berikut ini empat hal yang menjadi penyebab perempuan sulit berkiprah di ranah profesional.

Baca juga: Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

1. Patriarki Timbulkan Stigma Pada Perempuan ingin Berkarier dan Pekerja

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat terus menjadi penyebab akses pendidikan dan informasi yang dimiliki perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Paham konservatif sarat nilai patriarki yang mencari legitimasi dalam nilai keagamaan telah mempersempit kiprah perempuan di ranah kerja.

Nani  Zulminarni, Regional Director Ashoka Southeast Asia mengatakan, untuk mendorong peran perempuan dalam berbagai sektor ranah profesional, nilai patriarki yang menyebabkan stigma perempuan berkarier atau pekerja sebagai individu yang tidak benar, melawan kodrat, dan tidak ideal untuk masuk surga, harus dilawan.

“Jika perempuan berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam ekonomi, maka gross domestic product (GDP) global akan meningkat 26 persen tahun 2025,” ujarnya.

Nilai patriarki ini juga menghambat perempuan untuk berkarier dan mengetahui potensi yang dimilikinya untuk menduduki posisi strategis dalam suatu perusahaan.

“Hanya 12 persen perempuan yang sadar bahwa dia ingin menjadi CEO. Selebihnya baru sadar bahwa dia hebat dan luas biasa ketika ada orang lain yang mengatakannya. Perempuan tidak sadar akan potensinya karena selalu dicekoki sebagai sosok yang tidak mampu,” terang Nani.

Pada 2019, hasil riset ValueChampion, sebuah badan riset dan analisis data asal Singapura, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara paling berbahaya untuk perempuan di Asia Pasifik setelah India. Diar Zukhrufah, seorang penulis untuk Communicaption, sebuah agensi konten digital, mengatakan masyarakat dengan paham nilai patriarkal akan menggunakan alasan Indonesia sebagai lingkungan tidak aman agar perempuan tidak bekerja.

“Kenapa perempuan harus merasa tidak aman di ruang publik? Padahal, yang salah bukan perempuan yang harus bekerja. Ini menjadi satu tantangan yang harus kita jawab,” kata Diar.

Savic Ali, pendiri Islami.co, situs yang berfokus pada isu toleransi dan kedamaian, mengatakan bahwa nilai patriarki menjadi isu struktural yang mengglobal. Untuk masyarakat Indonesia, nilai patriarki tersebut bersinggungan erat dengan ajaran keagamaan.

“Patriarki adalah masalah peradaban bukan untuk satu bangsa. Dalam konteks Indonesia, masyarakat religius Indonesia menganggap agama sangat penting sehingga banyak urusan yang merujuk pada agama,” ujar Savic.

Baca juga: Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

2. Pembagian Tugas Domestik yang Timpang

Sinta Nuriyah mengatakan, peluang perempuan untuk berkarier dan ikut berkompetisi di ranah kerja kini memang sudah lebih besar. Meski demikian, perempuan masih terhalang oleh ketimpangan pembagian tugas domestik yang menyebabkan mereka kesulitan mengembangkan profesionalitas atau keahlian.

Jika perempuan tidak didukung oleh keluarga dalam menanggung beban rumah tangga, ia akan sulit mengakses kesempatan mengembangkan dirinya. Perempuan sulit menggunakan waktu terbatas yang ia miliki untuk meningkatkan kualitas dan etos kerja mereka, imbuh Sinta.

“Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan untuk perempuan. Pintu kerja akan tertutup kembali karena tenaga kerja perempuan tidak memiliki kualifikasi yang memadai akibat peran gender dan tugas domestik yang timpang,” jelas Sinta.

Nani mengatakan, ketimpangan dalam pembagian tanggung jawab domestik dan peran gender tidak lepas dari relasi kuasa dalam keluarga.

“Durasi kerja perempuan di ranah domestik tiga kali lebih lama dibanding laki-laki. Sedihnya, peran itu dianggap ‘bukan bekerja’,” ujarnya.

Anggapan bahwa tugas domestik hanya menjadi tanggung jawab perempuan menjadi basis kelompok fundamentalis untuk melanggengkan status quo. Selain itu, hal tersebut juga memberi stigma bagi perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak berperan, ujar Nani.

Ia menambahkan, pembagian tugas yang adil memberikan perempuan untuk mencari tahu tentang kemampuannya, berkontribusi di ranah publik, dan tetap bisa bertanggung jawab di rumah.

“Ranah publik dan domestik sama-sama menjadi tanggung jawab pasangan, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan perempuan bisa semakin produktif,” kata Nani.

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer” Soal Lingkungan Kerja Toksik

3. Terpapar Ajaran Ultrakonservatif di Internet

Nilai-nilai agama berperan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut hasil survei PEW Research Centre tahun 2008 hingga 2017, The Age Gap in Religion Around The World, 93 persen masyarakat muslim Indonesia menilai peran agama sangat penting. Angka tersebut naik menjadi 94 persen pada 2019.

Di era digital seperti sekarang, perempuan akan menelusuri internet untuk mencari informasi tentang pandangan agama terhadap perempuan yang bekerja. Savic mengatakan, perempuan yang mencari informasi tentang dalil agama lebih sering terpapar ajaran ultrakonservatif di media.

Ajaran tersebut memang tidak pro-kekerasan dan menghakimi kelompok lain. Namun, tetap mengandung pandangan konservatif yang menekankan bahwa perempuan seharusnya hanya di rumah.

“Jadi kalau mencari di Google soal hukum perempuan bekerja, yang muncul di halaman pertama adalah ajaran ultrakonservatif. Perempuan menjadi ragu untuk bekerja,” kata Savic.

Menurutnya, ajaran ultrakonservatif yang dangkal mulai bebas bermunculan di Indonesia sejak era reformasi.

“Harus diakui, sejak reformasi ada keterbukaan, masyarakat lebih beragam, namun terpecah belah. Diskursus tentang perempuan yang dulunya dikuasai negara menjadi dikuasai kelompok-kelompok agama. Akhirnya, ada keragaman pandangan terkait perempuan,” kata Savic.

Ia mengatakan, ajaran yang mengandung nilai ultakonservatif yang ditemukan di internet menjadi berbahaya jika pembaca tidak melihat situs atau artikel lain yang lebih moderat sebagai perbandingan.

“Umumnya ultrakonservatisme ini dari ajaran Salafi dan Wahabi. Menurut ulama ajaran-ajaran itu, perempuan sebaiknya di rumah saja. Kalau keluar, harus ditemani mahram karena di luar banyak fitnah, dan kehormatan perempuan akan terjaga kalau di rumah,” papar Savic.

4. Pemahaman Keagamaan yang Sempit dan Dangkal Hambat Perempuan Berkarier di Kantor

Pemahaman agama sempit dan dangkal atau ultrakonservatisme juga kerap ditemukan dalam dunia profesional yang dijalani perempuan. Savic menambahkan ajaran agama yang sempit tersebut diterima perempuan tidak hanya melalui internet, tetapi pada pengajian kantor.

Sinta Nuriyah mengatakan, ada sejumlah perempuan yang berhenti menjadi pekerja dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah.

“Ada di antara mereka [yang mengundurkan diri] yang telah menjabat di posisi strategis perusahaan. Mereka keluar karena alasan perintah agama dan mencari yang halal,” ujarnya.

Tidak hanya soal berhenti dari dunia kerja, menurut Savic, kuatnya pengaruh gerakan hijrah juga terlihat dari banyaknya narasi keagamaan yang mendorong perempuan untuk berjilbab, bahkan mengikuti standar tertentu dengan embel-embel “jilbab yang syar’i”. 

Sinta menyayangkan banyaknya perempuan yang masih terbelenggu tafsir agama tertentu yang membuat mereka mengorbankan pekerjaannya, padahal kesempatan bagi mereka sudah terbuka.

“Cara pandang seperti ini menutup pintu kesempatan perempuan berkarya dan mengembangkan diri yang juga merupakan bagian dari perintah agama,” kata Sinta.

Read More

Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

Rangkaian kegiatan Women Lead Forum 2021 yang berlangsung selama dua hari (7-8/4) mengupas lengkap tentang diskriminasi struktural yang dihadapi perempuan di ruang profesional, cara dukung perempuan duduk di posisi pengambil keputusan, peran media dalam kesetaraan gender, serta dampak partisipasi perempuan pada performa ekonomi negara dan perusahaan.

Webinar daring yang dihadiri hampir 700 peserta tersebut merupakan puncak dari program Women Lead dari Magdalene yang didukung Investing in Women, sebuah inisiatif pemerintah Australia, untuk mendukung perempuan pekerja dan mendorong terciptanya kesetraan gender di tempat kerja. Acara ini juga mengundang pembicara kompeten dari berbagai sektor, seperti pemerintah, swasta, dan organisasi internasional.

Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah partisipasi perempuan di ranah profesional terus meningkat, tetapi belum menunjukkan kesetaraan gender di tempat kerja. Perempuan pekerja masih bertemu dengan hambatan struktural yang disebabkan perilaku diskriminatif. beban ganda, seksisme, stereotip berbasis gender, dan pelecehan seksual.

“Ini tidak hanya berdampak secara individu dan keluarga, tapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia,” ujarnya dalam keynote speech yang memulai acara.

pemerintah dorong pemimpin perempuan
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah

Deputy Head of Mission at the Australian Embassy, H.E Allaster Cox mengatakan inisiatif ini sangat penting dalam mengubah cara pandang media dan masyarakat terhadap peran perempuan, laki-laki, dan mendukung kesetaraan gender. Hasil penelitian yang dilakukan Investing in Women menunjukkan apa yang dilihat dan didengar dari media mempengaruhi cara perempuan berpikir dan bersikap pada isu gender, ujarnya.

“Saya harap diskusi ini bisa mendorong wacana publik lebih luas tentang peran perempuan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi yang lebih besar. Mari dorong kesetaraan gender untuk bangkit lebih baik setelah pandemi COVID-19,” ujarnya pada Women Lead Forum 2021 (7/4).

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani mengatakan, perusahaan memiliki andil dalam mengubah situasi yang membatasi perempuan memaksimalkan potensi mereka itu.

“Karena itu, Women Lead Forum 2021 kami tujukan untuk menyatukan para pembuat kebijakan di pemerintahan, lembaga legislasi, maupun di perusahaan, untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka, agar ada pembelajaran dan tercipta sinergi yang kuat untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja,” ujarnya.

Kedutaan australia dorong perempuan pemimpin
Deputy Head of Mission at the Australian Embassy, H.E Allaster Cox

Baca juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Tantangan Perempuan Pekerja dan Pengusaha

Ida Swasti, pendiri dan CEO Nipplets, sebuah merek pakaian dalam, mengalami beberapa tantangan mulai dari kesulitan mencari tenaga kerja penjahit perempuan hingga komentar sarat kekerasan seksual dan kiriman dick pics lewat media sosial pribadi hingga milik Nipplets. Tidak hanya itu, ia menerima stigma hanya perempuan “tidak baik-baik” yang mau mengasosiasikan diri dengan lingerie.

Meski demikian, Ida tetap teguh dengan visi dan misinya menyampaikan bahwa perempuan tetap cantik apa adanya. Produk lingerie yang secara fungsional digunakan untuk diri sendiri akan menambah rasa percaya diri seorang perempuan, ujarnya.

“Nipplets juga menyampaikan bahwa lingerie bukan untuk kegiatan seksual, bisa untuk sehari-hari dan merasa cantik. Perempuan punya hak merasakan tubuhnya indah untuk dirinya sendiri,” tambah Ida dalam sesi bincang inspiratiif.

Untuk mendukung berbagai bentuk tubuh dan warna kulit perempuan, Nipplets meluncurkan kampanye Real People, Real Body sejak 2019. Kampanye tersebut didukung oleh pelanggan Nipplets yang menyampaikan butuh keragaman tubuh yang bisa dijadikan panutan. Melalui kampanye tersebut muse atau inspirasi Nipplets merupakan perempuan dengan bentuk tubuh yang beragam. Tidak jarang  mereka menerima komentar bernada body shaming yang digunakan untuk menyerang body positivity.

“Tapi kami mau membantah stigma tentang tubuh perempuan. Salah satu muse kami seorang perempuan 49 tahun yang juga seorang bodybuilder dan mau berotot juga tidak salah. Perempuan cantik dan menarik dengan tubuh apa adanya,” jelas Ida. 

Ida Swasti pengusaha perempuan
Ida Swasti, pendiri dan CEO Nipplets

Ida juga berpesan agar perempuan tidak takut dalam mengambil kesempatan untuk memulai suatu bisnis. Ia menambahkan edukasi untuk menghapuskan pandangan negatif untuk produk perempuan, khususnya lingerie harus diaplikasikan agar masyarakat tidak menganggapnya tabu.

“Jangan takut dan memikirkan negatifnya saja. Nikmati prosesnya, semua asal mau kerja keras dulu saja,” ujarnya.

Komika Sakdiyah Ma’ruf dan Ligwina Hananto yang tampil dalam sesi stand up comedy menyampaikan beberapa tantangan yang dihadapi perempuan pekerja.  Sakdiyah mengatakan kantor masih memiliki aturan yang mendiskriminasi produktivitas perempuan di ranah kerja karena belum memfasilitasi kebutuhan Ibu melahirkan secara maksimal.

“Perempuan bisa produktif dan maju asal bisa difasilitasi,” ujar Sakdiyah.

Ligwina menambahkan kurangnya pemimpin perempuan dipengaruhi minimnya sosok panutan. Masalah tersebut semakin memburuk dengan campur tangan kisah dongeng Disney yang memberikan representasi perempuan dari sudut pandang laki-laki.

“Kalau mau jadi pemimpin jangan biarkan role model ditulis laki-laki. Perempuan harus menulis cerita hidupnya sendiri,” ujarnya.

Komika Sakdiyah Ma’ruf dorong pemimpin perempuan
Komika Sakdiyah Ma’ruf

Baca juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

Kompetisi Kantor Dukung Perempuan Dorong Regulasi Kantor Lain

Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), juga juri kompetisi video  #KantorDukungPerempuan mengatakan melihat banyak organisasi dan perusahaan di Indonesia yang memberikan kebijakan ramah perempuan. Kompetisi tersebut merupakan satu bagian dari inisiatif Women Lead yang menyorot cara kantor mendukung perempuan dengan kebijakan yang setara.

“Menarik melihatnya (kebijakan kantor) dari perspektif karyawan dan bagaimana kebijakan tersebut menguntungkan dan dihargai” ujarnya.

“Ini juga bisa mendorong perusahaan memberikan kebijakan lain, bahwa regulasi ini diapresiasi. Ini juga menjadi suatu investasi karena memastikan kesejahteraan karyawannya, bisa bekerja lama dan produktif,” tambah Maya.

Ketiga pemenang dan pemenang pilihan pembaca kompetisi #KantorDukungPerempuan diumumkan pada hari kedua Women Lead Forum 2021. Para pemenang adalah Astridinar V. Elderia dari SOS Children’s Village Indonesia; Sisilya Fujiya dari BTPN; dan Elisabet Tening dari Radio Volare. Sementara pemenang pilihan pembaca adalah Dita Agustia dari The Body Shop Indonesia.

Astridinar mengatakan ia mengikuti kompetisi #KantorDukungPerempuan karena tertarik dengan isu kebijakan yang setara di ranah profesional.

“Selain itu kompetisi ini bisa menjadi cara edukasi sesama pekerja atau pengambil keputusan agar lebih mendukung perempuan di ranah kerja,” ujarnya kepada Magdalene (5/4).

“Selama ini suka mendengar dari teman di kantor lain karyawan perempuan didiskriminasi karena butuh cuti melahirkan, izin mengurus sekolah anak. Belum lagi ada isu pelecehan seksual, tetapi orang kantor malah memojokkan korban,”  ujar Astridinar, yang menjabat sebagai Public Relations and Communications Executive.

Kebijakan ramah perempuan yang diaplikasikan di kantornya berupa kemudahan cuti melahirkan selama tiga bulan dan hari pertama menstruasi, perlindungan dari aksi pelecehan seksual dengan sistem penanganan yang tegas, menjunjung kesetaraan agar perempuan mudah menduduki posisi strategis, jam kerja fleksibel, disediakan ruang istirahat untuk Ibu hamil dan menyusui, serta leluasa membawa anak saat kerja.

“Dengan kompetisi  ini saya bisa riset dan memberi masukan ke kantor tentang apa yang bisa diberikan untuk lebih mendukung pekerja perempuan,” tambah Astridinar.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Women Lead Forum 2021 Berikan Edukasi Kesetaraan

Bunga Manggiasih, manajer komunikasi Koalisi Seni yang juga mengikuti kompetisi video #KantorDukung Perempuan, mengatakan isu yang dibahas mampu menginspirasi pembuat kebijakan di perusahaan agar menciptakan regulasi yang dukung perempuan berkarya.

Ia menemukan beberapa poin menarik dari sesi diskusi hari kedua Women Lead Forum 2021, diantaranya: penggunaan kata “cantik” dalam berita yang mengobjektifikasi perempuan, kalimat “women are encouraged to apply” yang memberi perempuan keberanian terjun ke ranah kerja, dan konsep flexible working hours yang telah diterapkan di kantornya.

Bunga berharap sesama pekerja perempuan bisa terus mencari tahu tentang hak dan berani meminta pemenuhan hak tersebut ada manajemen perusahaan. Sementara itu, tempat-tempat kerja sebaiknya tidak sekadar mengikuti regulasi yang tercantum dalam undang-undang, tetapi berinisiatif lebih dari aturan itu, ujarnya.

“Kantor beri kebijakan yang membuat perempuan pekerja nyaman dan betah, sehingga mereka bisa menghasilkan kinerja yang baik. Investasi pada perempuan itu multiplier effect-nya banyak, sehingga perlu digenjot lagi,” ujar Bunga kepada Magdalene (8/4).

Pemenang Kompetisi #KantorDukungPerempuan

Sementara itu, Grasiana Cicilia, Human Resource dan General Affair Manager PT Mitra Inovasi Bisnis, mengatakan ia sengaja mengikuti rangkaian acara Women Lead Forum 2021 karena tertarik mengetahui lebih dalam tentang isu kesetaraan gender.

“Dengan mengikuti acara ini, saya mendapat banyak pengetahuan tentang isu kesetaraan dan empowerment perempuan khususnya di Indonesia,” ujarnya kepada Magdalene (8/4).

Kantornya sendiri telah menerapkan beberapa regulasi ramah perempuan, seperti memberikan waktu cuti menstruasi selama 1-2 hari atau sesuai kebutuhan. Selain itu sedang dalam proses pembangunan daycare untuk penitipan anak agar para Ibu bisa bekerja dengan nyaman.

“Sejauh ini (Women Lead Forum 2021) sudah bagus, semoga bisa diadakan secara reguler,” ujarnya.

Read More

Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

Kesetaraan gender di tempat kerja bisa dicapai salah satunya lewat kebijakan dan perubahan norma, termasuk soal perekrutan kepemimpinan. Astiti Sukatrilaksana, Head of Human Resource Unit UNDP Indonesia, mengatakan perusahaan perlu merekrut para pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada kelompok marginal atau rentan seperti perempuan.

“Pemimpin seperti itu dapat membangun lingkungan kerja yang saling menghormati antara rekan kerja yang memiliki gender yang berbeda, posisi/level, usia yang berbeda guna mengatasi ketidaksetaraan gender,” ujarnya dalam Women Lead Forum 2021 (8/4) yang diselenggarakan Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia.

Baca juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

UNDP Indonesia sendiri pada tahun 2020 menerima Gold Gender Equality Seal Certification, sebuah penghargaan dan pengakuan dari dunia usaha serta organisasi multilateral yang menyatakan bahwa program dan mesin penjalan UNDP di Indonesia telah mempromosikan kesetaraan gender.  

“Kami menggunakan topi non-diskriminatif dalam proses perekrutan, training, sampai penilaian kinerja. Kami tidak memberikan pelabelan gender untuk sebuah peran (kerja), maka di setiap lowongan memasukkan women are encourage to apply,” kata Astiti.

“Kami juga membangun mekanisme pencegahan terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan membuat kanal pelaporan khusus, membuat kegiatan-kegiatan pembelajaran gender untuk semua staf, serta tidak memperbolehkan adanya all male panel dalam semua kegiatan yang dilakukan UNDP,” ia menambahkan.

Selain itu, Astiti mengatakan penghitungan sistematis tentang progres kesetaraan gender di ruang kerja berguna untuk memantau perusahaan dalam membangun akuntabilitas, kepercayaan publik, kinerja profesional yang positif, dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia.

“Di manajemen itu ada pepatah klasik yang mengatakan, ‘You can’t manage what you can’t measure’.  Kalau kita tidak menggunakan sistem pengukuran secara sistematis, bagaimana kita bisa tahu kemajuan kita? Menurut saya , pengukuran sistematis seperti melalui proses sertifikasi gender, bukan hanya perlu dilakukan untuk lembaga yang bekerja di sektor pembangunan seperti UNDP, tetapi juga diperlukan untuk perusahaan-perusahaan publik atau swasta,” ujarnya.

“Dampaknya, akan terjadi produktivitas kerja yang baik dan keuntungan maksimal bagi perusahaan,” kata Astiti.

Hapus Stereotip Gender di Tempat Kerja

Membangun lingkungan profesional yang dukung kesetaraan gender tidak lepas dari upaya menanggalkan stereotip gender, misalnya bahwa perempuan hanya cocok di bidang administrasi atau finansial karena “lebih teliti”, ujar Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE). Selain itu, ruang yang menghargai kolega juga mencakup tidak membagikan tanggung jawab kerja berdasarkan diskriminasi usia.

Maya mengatakan, stereotip gender yang menyatakan perempuan tidak bisa masuk ke ranah kerja berat karena memiliki potensi cedera lebih besar harus dipertimbangkan ulang.

Baca juga: Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin

“Ini masalah keselamatan dan keamanan dalam bekerja, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Makanya untuk kerja berat ada alat, seperti forklift,” tambahnya.

Untuk mendorong perempuan dalam posisi strategis, ujar Maya, tidak bisa melihat hanya dari berapa total perempuan di ruang kerja. Namun, juga melihat jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen atau pengambil keputusan.

“Perempuan terkonsentrasi di level bawah, seperti operator. Begitu di level eksekusi kebijakan masih lebih banyak laki-laki dibanding perempuan,” ujarnya.

Maya mengatakan, upaya menambah dan menguatkan pemimpin perempuan dapat dilakukan dengan mendorong kebijakan kesetaraan gender yang dipotret secara lengkap, termasuk menghitung dan menimbang seberapa banyak representasi perempuan dalam posisi manajer.

Sementara untuk ranah pemerintah, Maya mengatakan perlu diberlakukan sistem pelaporan investasi dan bidang usaha dengan indikator pro kesetaraan gender yang lebih spesifik. Sistem ini berkaitan dengan apakah perusahaan memiliki perspektif gender dalam proses perekrutan pekerja.

“Ini untuk mendorong kepemimpinan perempuan yang bebas dari stigma, seperti bahwa kepemimpinan perempuan melanggar agama, bahwa perempuan emosional, dan budaya yang menghambat kiprah perempuan,” ujarnya.

Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Tokoh Publik Dorong Kampanye Kesetaraan Gender dengan Pemimpin Berpihak Perempuan

Menurut Maya, salah satu solusi lain untuk memudahkan perempuan di ruang kerja adalah dengan menerapkan tugas domestik yang setara dengan laki-laki karena hal itu tanggung jawab semua orang.

Ia juga mendorong cara agar laki-laki ikut menjunjung aksi kesetaraan gender dengan lead by example atau memberikan contoh mengenai pembagian tanggung jawab domestik. Kampanye atau aksi tersebut mampu mendorong banyak orang meninggalkan pandangan patriarkal, stigma, dan stereotip usang untuk ruang keluarga yang paham kesetaraan gender, ujar Maya.

“Saya ingin melihat Presiden Joko Widodo bersama Bu Iriana menyiapkan makanan, walaupun mungkin makanan mereka disiapkan dapur istana. Maksudnya, hal ini bisa mendorong orang lain atau lead by example,” kata Maya dalam panel Women Lead Forum 2021 (8/4).

Selain itu, tokoh publik tidak boleh meninggalkan komentar bernada seksis di media sosial, melakukan kampanye yang tidak mengatur cara perempuan berperilaku, dan terus menunjukkan contoh nyata pemimpin negara mendukung tugas domestik yang adil, ujarnya.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

“Jawaban saya tentang apa yang bisa dilakukan untuk mendukung kesetaraan ini sederhana, help your spouse at home,” kata Maya.

Ia menambahkan, cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mendukung kesetaraan gender ialah jangan mendorong regulasi yang menghambat kiprah perempuan di ranah kerja, seperti RUU Ketahanan Keluarga.

“Sudah bagus Presiden Joko Widodo ditunjuk oleh PBB beberapa tahun lalu sebagai duta He for She untuk kesetaraan gender. Namun, di sisi lain ada RUU yang mendorong perempuan kembali ke ranah domestik. Pendidikan anak dan mengurus keluarga menjadi tanggung jawab untuk perempuan saja,” ujarnya.

Read More