Habis ‘Quiet Quitting’ Terbitlah ‘Loud Quitting’, Tren Baru yang Berbahaya

“Akhirnya Terbebas juga dari sini, fyuhhh!!” Begitulah bunyi Story Instagram “Cahya”, awal Desember lalu. Perempuan berusia 26 tahun itu sudah beberapa kali mengeluh dan bercerita kepadaku terkait beracunnya tempat ia bekerja.

Di sana, Cahya bekerja sebagai pegawai arsip yang menginput data-data klien bank. Ia mengeluh, perusahaan tak cukup transparan, memaksa ia bekerja hingga larut malam di akhir pekan tanpa upah layak, dan kontrak kerja yang sekadar tempelan karena kerap dilanggar perusahaan.

Mulanya, Cahya sendiri merasa ragu untuk berhenti kerja, setiap kali harus membayangkan sulitnya mendapat tempat kerja baru. Namun, karena semua keluhan Cahya terus direspons sepi oleh perusahaan, akhirnya ia menyerah.

Ia memutuskan mundur dan tak menyelesaikan tugas terakhirnya. Ia kesal dan kecewa setengah mati karena perusahaan dan atasan enggak bisa melindungi karyawan dan merugikannya.

Apa yang dialami oleh Cahya disebut dengan loud quitting. Istilah ini cukup populer akhir-akhir ini di lingkungan kerja. Menurut Forbes, loud quitting berpotensi lebih berbahaya dibandingkan quiet quitting. Lalu sebenarnya apa itu loud quitting?

Baca juga: Quiet Quitting: Kenapa Sedikit Kerja itu Bagus untukmu dan Bos

Perusahaan yang Toxic Menuntun Adanya Loud Quitting

Salah satu alasan Cahya mundur dari pekerjaannya adalah karena perusahaan dan atasan yang beracun (toksik). Mereka enggak pernah berterus terang tentang transparansi isi pekerjaan hingga mengabaikan kesejahteraan para pegawai.

Nihilnya transparansi itu kerap dikaitkan dengan istilah detoksifikasi budaya (cultural detox). Istilah tersebut datang dari dosen senior di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Amerika Serikat, Sloan Donald Sull.

Dalam laporan Kompas, Sull mengatakan, detoksifikasi budaya mengacu pada proses mengidentifikasi dan mengatasi subkultur beracun dalam perusahan. Biasanya budaya perusahaan toksik berasal dari perpaduan kepemimpinan yang keras dan norma-norma sosial yang enggak inklusif, tanpa penghargaan, enggak etis, dan kejam. Makanya budaya ini menjadi pendorong kuat banyak pegawai yang stres, kelelahan dan memilih mencari tempat kerja lain.

Faktor-faktor inilah yang membuat loud quitting menjadi tak terhindarkan, sama seperti yang dilakukan Cahya. Enggak heran jika akhirnya ia ajeg mengungkapkan kekecewaan dan kekesalan ketika keluar dari tempat kerjanya. Ini adalah strateginya agar perusahaan bisa menyadari alasan mengapa ia mengundurkan diri.

Baca juga: Ratusan Kali Melamar Kerja, Ditolak karena Gendut

Berbahaya untuk Kedua Belah Pihak

Jika enggak segera dicarikan solusi, tindakan yang dilakukan oleh loud quitters ini akan berdampak negatif bagi perusahaan. Dilansir dari Forbes, para karyawan ini mungkin akan keluar tanpa pemberitahuan, membuat keributan di depan umum, mengunggah komentar daring yang menghasut, menolak melakukan tugas yang diberikan, melakukan tindakan yang mengganggu, serta berpotensi menyabotase. Perilaku ini dapat menjadi risiko besar dalam perusahaan dan enggak boleh diabaikan begitu saja oleh para atasan.

Sedangkan Gallup, perusahaan konsultasi manajemen kinerja asal Amerika Serikat mengatakan tindakan dari loud quitters juga berdampak pada reputasi, budaya serta produktivitas dalam perusahaan. Hal ini mencakup berkurangnya tingkat produktivitas karyawan, distraksi-distraksi, peningkatan turnover, hilangnya talenta terbaik, dan beban kerja meningkat bagi mereka yang tetap bekerja.

Lalu bagi karyawan yang memilih loud quitting, juga memiliki dampak buruk. Salah satunya, hubungan buruk dengan perusahaan sebelumnya akan merugikan ketika ingin mencari pekerjaan baru. Apalagi jika atasan memiliki pengaruh besar dan bisa memasukkan nama karyawan tersebut ke dalam blacklist-nya. Mereka disebut-sebut akan kesulitan untuk mendapat surat rekomendasi baik dari perusahaan tempat ia melakukan loud quitting.

Maka dari itu meski loud quitting cukup bisa membuat sebuah perusahaan berefleksi, namun alangkah baiknya kita masih ingin mencari pekerjaan untuk mempertimbangkan tindakan ini.

Baca juga: Ciri Lingkungan Kerja yang Sehat: Produktif dan Karyawan yang Sejahtera

Yang Bisa Dilakukan

Satu faktor penting yang menjadi banyaknya terjadi loud quitting karena lingkungan dan atasan yang toksik. Sull menawarkan beberapa cara yang bisa diambil oleh atasan untuk mulai memproses detoksifikasi budaya di perusahaan mereka.

Pertama, dengan menghitung detoksifikasi agar tetap menjadi agenda tim teratas. Contohnya, pemimpin bisa menjelaskan manfaat-manfaat apa saja dari lingkungan dan budaya kerja yang sehat, agar semua karyawan bisa mengetahuinya.

Kedua, melaporkan secara transparan kemajuan dan kekurangan pekerjaan juga berpotensi membentuk budaya kerja yang sehat.

Ketiga, pemimpin atau atasan perlu memberikan contoh baik yang mereka harapkan dari para karyawan.

Keempat, pemimpin sama sekali enggak boleh mengabaikan saran dan pesan yang dibuat oleh karyawan. Ketika mereka ingin menilai kinerja budaya perusahaan.

Selain itu yang paling penting adalah pemimpin harus bisa memprioritaskan kesejahteraan para pekerjanya. Pun, mereka harus bisa menunjukkan apresiasi bagi siapa saja yang melakukan pekerjaan dengan baik. Dengan ini, karyawan akan merasa dihargai dan diakui kinerjanya. Hal ini pun akan membuat baik perusahaan dan para karyawan bisa menciptakan lingkungan kerja yang sehat bersama-sama.

Read More

Polusi Udara DKI Jakarta Kian Buruk, WFH Bisa Jadi Jalan Ninjanya

Beberapa waktu belakangan ini, topik tentang polusi udara di Jakarta ramai diperbincangkan. Bukan tanpa alasan, polusi udah di ibu kota kian buruk setiap harinya.

Bahkan menurut aplikasi dari perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir, Jakarta berkali-kali menduduki peringkat pertama untuk tingkat kualitas udara paling buruk di seluruh dunia. Contohnya pada tanggal 8 Agustus dan 3 September yang lalu.

Baca juga: Tidak Bisa Tidak, Kita Harus ‘WFH’ Sekarang

Faktor yang Menyebabkan Polusi Udara Jakarta

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan polusi ini kian buruk di Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui siaran persnya pada (14/8) membagikan beberapa penyebabnya. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Sigit Reliantoro menjelaskan sektor transportasi menjadi penyumbang 44 persen sumber pencemar, diikuti sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersial satu persen.

Sigit juga menambahkan, menurut kajian ahli Prof. Puji Lestari bahwa akan ada beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kualitas udara ini. Studi tersebut nantinya akan dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun sekarang fokus utamanya pulau Jawa, karena wilayah ini memiliki potensi tinggi dalam pencemaran udara.

Pencemaran udara ini pun menjadi ancaman dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Dilansir dari website resmi Kementerian Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan enam besar penyakit akibat polusi udara ini, yaitu pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkolosis, kanker paru dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

Dikutip dari VOA Indonesia, polusi udara di Jabodetabek berakibat meningkatkan kasus ISPA. Pada periode Januari hingga Juli tahun ini saja, sudah ada 100 ribu kasus di wilayah tersebut. Menyikapi hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk Komite Respirologi dan Dampak Polusi Udara. Komite rencananya akan memiliki empat strategis, deteksi, penurunan risiko kesehatan, pengendalian emisi maupun debu, dan juga adaptasi.

Kemenkes menambahkan, kualitas udara di wilayah DKI Jakarta akan terus dipantau keadaannya. Puskesmas dan rumah sakit akan dilengkapi dengan peralatan deteksi polusi udara. Kemenkes juga akan mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dan terkait data-data polutan di aplikasi Satu Sehat.

Terkait masalah ini pemerintah pun mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi polusi ini. salah satunya dengan bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Menurut BBC Indonesia, kebijakan WFH ini akan diwajibkan kepada aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta terlebih dahulu, mengingat tingginya polusi udara di ibu kota.

Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih

Keuntungan WFH yang Perlu Kamu Tahu

WFH pun memiliki beberapa keuntungan jika dilakukan pada keadaan Jakarta yang kualitas udaranya buruk saat ini. Diambil dari Flex Jobs, berikut beberapa keuntungan WFH bagi pekerja:

1.  Mengurangi Stres dan Biaya Perjalanan

Lewat kerja dari rumah, pekerja bisa mengurangi stres karena perjalanan harian ke kantor. Mereka tak perlu lagi menghadapi kemacetan lalu lintas dan desak-desakan di transportasi umum. Hari-hari mereka akan menjadi lebih tenang sejenak dan terhindar dari stres yang tak perlu. Biaya untuk transportasi yang habis sehari-harinya bisa dialokasikan untuk hal yang lain. Mungkin untuk ditabung atau dibelanjakan untuk barang yang berguna.

2.  Fleksibilitas Waktu dan Lokasi

Salah satu keuntungan yang paling sering dicari dari WFH sendiri, waktu dan lokasi yang fleksibel. Banyak orang menganggap inilah yang mereka cari selama melakukan WFH. Para pekerja pun bisa mengatur jadwal kerja dan tempat yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan pribadinya.

Mereka bisa menyesuaikan pekerjaannya dengan ritme kehidupan pribadi, seperti mengurus keluarga selama ini jarang dilakukan, menjalan hobi yang disuka hingga berlibur tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama. Karena kamu juga bisa menerapkan work from anywhere atau WFA.

3.  Keseimbangan dalam Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan

WFH memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Orang-orang biasa menamainya work-life balance. Fleksibilitas waktu dan lokasi tadi memungkinkan bisa lebih dekat dengan keluarga.

Pekerja dapat dengan leluasa dekat dengan orang-orang tercintanya dan menghabiskan waktu lebih banyak, tanpa harus mengorbankan tanggung jawab pekerjaan.

4.   Lingkungan Kerja yang Lebih Nyaman

Selain waktu dan lokasi yang fleksibel, pekerja bisa menciptakan suasana kerja sesuai kebutuhan. Mereka dapat mengatur ruang kerjanya sesuai kenyamanan. Hal ini memungkinkan konsentrasi yang dikeluarkan lebih tinggi dan produktivitas dalam kerja bisa lebih banyak. Karena pekerja merasa lebih santai dan nyaman dalam lingkungan yang mereka sukai.

5.  Kepuasan Kerja Menjadi Meningkat

Banyaknya fleksibilitas yang didapatkan para pekerja, membuat mereka akan lebih merasa dihargai dan diizinkan memegang kendali atas pekerjaannya. Kemandirian dan kepercayaan diri dari perusahaan kepada mereka akan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Tak hanya itu motivasi kerja akan semakin berkembang karena mereka akan memberikan yang terbaik.

Baca juga: Kerja Remote Makin Populer, Apa Kelebihan dan Kekurangannya?

Dengan adanya informasi-informasi mengenai keuntungan WFH ini, setidaknya bisa membuat pemerintah menerapkan peraturan ini meluas ke sektor swasta. Pakar ekonomi transportasi dan energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto dalam tanggapannya melalui The Conversation mengatakan pemerintah bisa merumuskan kebijakan ini bersama pihak sektor swasta. Tujuannya untuk mencari tahu sektor mana saja yang memungkinkan pegawainya untuk bekerja dari rumah.

Joko juga meyakini pekerjaan sejumlah sektor ekonomi bisa berjalan tanpa adanya kewajiban untuk datang ke kantor. Karena, mereka sudah melalui dan cukup terbiasa dengan kebijakan pembatasan pergerakan yang sudah berlangsung saat pandemi covid-19.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Read More

Islam Menjawab: Bekerja adalah Hak Semua Bangsa Termasuk Perempuan

Laki-laki memang selalu dianggap sebagai pencari nafkah utama. Pandangan agama dan sosial selalu menomorsatukan laki-laki dalam bekerja. Karena itu perempuan yang bekerja sering dibilang tak pantas untuk mencari nafkah, orang-orang bilang bahwa ini bukanlah hak dan tanggung jawab seorang perempuan.

“Dalam banyak ayat-ayat alquran, bahwa islam itu memandang perempuan sama dengan laki-laki. Al-Qur’an turun pada masyarakat2 patriarki dan penafsirnya patriarki, maka tak heran jika penafsirannya masih patriarkis,” ujar K.H. Jamaluddin Mohammad, Peneliti Senior Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).

Di sepanjang bulan Agustus hingga September 2020, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) bersama dengan Investing in Women melakukan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di empat wilayah urban, Bandung, Bekasi, Depok dan Jakarta. Bertujuan untuk melihat bagaimana penerimaan perempuan bekerja yang terdapat di masing-masing wilayah.

Sampel yang dilakukan terdiri dari 600 responden yang dibagi menjadi 150 responden per lokasi wilayah. Dengan rentang umur dari 18 tahun hingga 40 tahun. Para responden ini juga dibagi menjadi tiga kelompok, tidak bekerja, bekerja dari rumah atau paruh waktu <35 jam per minggu dan bekerja di luar rumah atau paruh waktu >35 jam perminggu.

Baca juga: Kenapa Perempuan Dianggap Sebagai Pencari Nafkah Tambahan Saja?

Hasil survei pun disampaikan melalui Seminar Nasional dengan tajuk “Bagaimana Agama Menyapa Perempuan: Maqashid Syariah Lin Nisa sebagai Inovasi Pendekatan Keagamaan untuk Mendukung Perempuan Bekerja” pada Rabu, 29 Maret 2023, di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta. Seminar Nasional ini sekaligus memperingati Hari Perempuan Internasional.

Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Perempuan Bekerja

Dari survei yang dilakukan Rumah KitaB ada beberapa faktor yang memengaruhi penerimaan perempuan bekerja. Ada faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor kemoderatan pandangan agama dan faktor sosialisasi atau interaksi sosial. Faktor-faktor ini diukur dengan menggunakan 11 variabel, di antaranya adalah pendapatan responden, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, dan jumlah investasi.

Untuk faktor pendidikan, perempuan dianggap memiliki pendidikan yang relatif baik dari laki-laki. Tapi capaian di Bekasi justru menunjukkan pendidikan laki-laki dan perempuan sama-sama rendah. Sedangkan untuk kondisi pendidikan yang lebih baik dipegang oleh Bandung dan Depok.

Faktor ekonomi juga menunjukkan bahwa kondisi perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki. Kecuali di Bekasi, dimana menjadi lokasi dengan ekonomi terendah. Depok menjadi daerah yang memiliki faktor ekonomi terbaik.

Faktor kemoderatan pandangan agama yang dimaksud dalam survei ini diukur dari cara pandang responden terhadap sejumlah pertanyaan. Seperti pandangan agama responden terkait izin suami, kewajiban istri mengurus rumah tangga dan konsep kepala keluarga. Ditarik kesimpulan bahwa perempuan jauh lebih moderat dibandingkan laki-laki di keempat lokasi. Bekasi menunjukkan kondisi terendah, menandakan wilayah paling konservatif.

Baca juga: Perempuan di Simpang Jalan: Pilih Bekerja atau IRT?

Sedangkan untuk faktor sosialisasi atau interaksi sosial dihitung dengan indikator seberapa banyak perempuan bekerja di dalam keluarga inti, keluarga pasangan dan keluarga besar. Survei mengatakan bahwa perempuan lebih tersosialisasi tentang bekerja dibandingkan laki-laki di keempat lokasi.

Kriteria Pekerjaan Ideal bagi Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki dan perempuan masing-masing pasti memiliki pemahaman yang berbeda tentang pekerjaan ideal. Mereka memiliki kriterianya masing-masing. Hal ini juga ditemukan melalui survei ini dimana responden laki-laki dan perempuan ditanya terkait isu tersebut.

Responden laki-laki lajang mengatakan bahwa pekerjaan ideal bagi mereka adalah lingkungan kerja yang aman dan nyaman, sesuai dengan pendidikan dan gaji tinggi. Laki-laki yang sudah berkeluarga menambah satu kriteria tambahan yang penting untuk dipertimbangkan, yaitu sesuai dengan ketentuan syariat agama. Mereka juga memandang pekerjaan ideal bagi perempuan baik lajang maupun berkeluarga dengan tiga kriteria. Lingkungan kerja aman dan nyaman, sesuai syariat dan tidak terlalu jauh dari rumah atau tempat tinggal. Ketiganya menjadi hal yang penting.

Pandangan yang diutarakan oleh responden perempuan juga hampir sama dengan para laki-laki tadi. Responden perempuan menambahkan fleksibilitas pekerjaan dan jam kerja menjadi faktor tambahan yang perempuan berkeluarga perlu pertimbangkan. Untuk perempuan lajang selain lingkungan kerja yang aman dan nyaman serta sesuai syariat atau agama, juga penting untuk sesuai dengan pendidikan.

Tapi bagi responden perempuan dan laki-laki, kesesuaian pendidikan dan gaji yang diterima tinggi bukanlah faktor penentu pekerjaan ideal bagi perempuan bekerja.

Hambatan yang Dilalui Perempuan untuk Bekerja

Perempuan yang bekerja sering dianggap tidak pantas apalagi ketika mereka sudah berkeluarga. Anggapan perempuan sebagai sumber fitnah sering dijadikan alasan utama. Padahal laki-laki dan perempuan berpotensi menjadi fitnah satu sama lain. Jadi tidak dapat menjadi landasan melarang perempuan untuk bekerja. Perempuan bukan sumber fitnah.

Apalagi untuk perempuan yang sudah berkeluarga pandangannya akan berbeda dibandingkan dengan perempuan lajang. Ada batasan-batasan yang mereka peroleh. Seperti pembatasan tergantung pada toleransi suami, mertua, dan orang tua. Semakin besar toleran dalam menerima perempuan bekerja, semakin besar adaptasi dalam menyetujui peran gender laki-laki atau suami dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak. Walaupun masih terbilang sulit untuk melibatkan laki-laki dalam urusan domestik.

Selain itu perempuan sering dianggap tidak pantas menjalani peran sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga meskipun ia menjadi satu-satunya pencari nafkah. Mereka selalu dianggap sebagai pencari nafkah tambahan walau jumlahnya lebih besar dari suami atau satu-satunya sumber penghasilan.

Baca juga: Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Pentingnya Pahami ‘Mubadalah’

Perempuan berkeluarga dipandang tidak dapat diandalkan komitmen dan keterampilannya. Mereka pun selalu menjadi tenaga cadangan atau pilihan kedua di bawah laki-laki. Dianggap emosional karena tidak bisa membedakan peran sebagai ibu rumah tangga dan menjadi perempuan yang bekerja.

“Masalah budaya juga menjadi masalah utama menghambat perempuan bekerja ini. Mereka selalu ditanya untuk memilih kantor atau anak-anak. Pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan kepada laki-laki. Akibatnya kesempatan berkarier di posisi yang lebih tinggi sulit sekali bagi perempuan,” ujar Iim Fahima Jachja, Founder @queensridersindonesia, hadir dalam Seminar Nasional pada Rabu (29/3).

Juga ada dimensi kelas yang menjadi penghambat dari perempuan untuk bekerja tersebut. Selalu dilihat dari kelas mana mereka, menengah ke atas, menengah dan menengah ke bawah.

“Perempuan makin miskin makin bawah kelasnya, maka makin impossible buat mereka untuk bekerja. Tapi realitas perempuan menengah atas bekerja berbeda dengan perempuan menengah ke bawah, alasannya bukan karena faktor ekonomi tapi presentasi aktualisasi, dan juga lingkungan, ungkap Indrasari Tjandraningsih, Peneliti AKATIGA dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan yang juga hadir dalam Seminar Nasional ini.

Kebanyakan perempuan yang ada di kelas rendah sering mendapat pekerjaan dengan upah rendah. Mereka juga rentan terhadap pelecehan seksual. Menurut Indrasari, kasus ini sering terjadi pada buruh pabrik. Banyak kasus yang membuat perempuan pekerja buruh pabrik ini ‘rela’ dilecehkan, ‘rela’ direndahkan hanya untuk tetap bekerja. Biasanya karena terlilit faktor ekonomi.

Meningkatkan Partisipasi Perempuan Pekerja

Perempuan menerima Amanah untuk hamil, melahirkan (peran reproduksi biologis), dan menanggung peran sosial untuk merawat dan mengasuh anak (reproduksi sosial). Al-Qur’an menyebutkan peran dan beban itu sangat berat dan berisiko (wahnan ‘ala wahnin). Oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan dukungan dari pasangan, keluarga, masyarakat dan perusahaan perlindungan dalam menjalankan reproduksi biologis dan reproduksi sosialnya dengan mengakui keberadaan kedua beban atau peran itu.

Namun kedua peran itu tidak boleh menghalanginya untuk bekerja karena bekerja adalah haknya. Hal yang harus diupayakan adalah tersedianya jaminan keamanan dan kenyamanan berupa aturan atau Undang-undang yang dapat menjamin mereka dalam menjalankan kedua peran itu tanpa kehilangan haknya untuk bekerja.

Pada kenyataannya, bekerja bukan hanya soal kebutuhan ekonomi melainkan juga soal mengasah kemampuan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Maka itu perlu banyak dukungan bagi perempuan untuk bekerja. Menyediakan sarana dan prasarana yang mumpuni juga baik dalam menunjang semangat mereka untuk bekerja.

Contohnya kebijakan yang mengharuskan tempat kerja atau perusahaan untuk memudahkan perempuan dan laki-laki untuk melakukan kerja pengasuhan ketika bekerja. Seperti adanya tempat penitipan anak di tempat kerja atau ruangan khusus untuk menyusui.

Selain itu mempermudah perempuan dalam mengakses transportasi agar bagi mereka para ibu bisa membawa anak ketika ingin bekerja. Ketersediaan dan transparansi informasi, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Mengangkat pengalaman perempuan sebagai latar belakang untuk dijadikan kebijakan. Hal-hal ini mengadvokasi hak perempuan dalam bekerja. Advokasi ini bisa meningkatkan partisipasi perempuan pekerja.

Sekarang juga sudah banyak tokoh agama dan public figure baik laki-laki maupun perempuan yang bersuara untuk mendukung perempuan bekerja. Media massa serta media sosial sudah mulai banyak menampilkan narasi-narasi positif terkait perempuan bekerja.

Read More

Ratusan Kali Melamar Kerja, Ditolak karena Gendut

Saat masih kuliah, aku selalu berpikir untuk cepat-cepat lulus. Bayangan akan menjadi perempuan mandiri secara finansial, bisa sekolah lagi dengan uang sendiri selalu berputar-putar di kepalaku. Namun, kenyataan memang tak seindah harapan, Ferguso. Selepas lulus di 2018, aku harus jatuh bangun cuma demi mendapatkan satu pekerjaan.

Kendati telah melamar kerja kesana kemari, pekerjaan belum juga aku dapat. Mulanya, aku memang melamar di tempat prestisius, maklum idealisme dan gengsi sebagai fresh graduate masih kuat. Setelah melamar ke lebih dari seratus perusahaan tapi nihil, aku cuma bisa berdoa, “Enggak apa-apa pekerjaan apa saja selama halal dan aku bisa segera mandiri.” Namun, menurunkan ekspektasi pun tak cukup. Aku masih belum mendapat pekerjaan.

Puluhan kali menjalani wawancara, puluhan kali pula menerima surat penolakan. Puluhan kali menjalani psikotes, sampai-sampai aku hafal di luar kepala soal-soal yang biasanya diujikan. Perusahaan perbankan, tambang, e-commerce, makanan dan minuman, media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua aku jajal.

Dari semua lamaran dan wawancara yang pernah aku rasakan, ada beberapa yang cukup membekas bahkan membuat level ketidakpercayaan diriku naik berlipat-lipat. Aku ditolak karena perkara berat badan.

Baca juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Diskriminasi Kerja Gara-gara Berat Badan

Ceritanya, saat itu aku melamar dua pekerjaan di kota tempat aku tinggal. Perusahaannya bagus, setidaknya mereka memberikan gaji dan kesejahteraan layak untuk karyawannya, itu yang aku dengar.

Aku datang dengan percaya diri karena yakin kemampuanku berorganisasi, rekam jejakku selama kuliah cukup pas dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Aku juga makin yakin karena pegawai di perusahaan itu bilang, perkara fisik yang good looking tak jadi pertimbangan untuk diterima di perusahaan tersebut.

Betul juga, usai mengirimkan berkas, aku dipanggil untuk interview. Salah seorang yang mewawancarai aku adalah lelaki paruh baya. Ia lantas memandangiku dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan template: Meremehkan dan menganggapku jelek karena berat badanku. Aku paham soal ini karena beberapa kali ditolak dengan alasan serupa.

Meskipun aku merasa gugup, aku tetap menjalani wawancara dengan maksimal. Namun, sesuai dugaan, aku ditolak lagi. Belakangan aku baru tahu, mereka yang baru terpilih, ternyata punya badan yang tinggi semampai. Nyaris tak ada perempuan dengan fisik besar yang diterima. Aku kesal. Lalu untuk apa dari awal mereka woro-woro kalau dalam rekrutmen kerja, fisik tak jadi ukuran?

Masalahnya, hal semacam ini tidak hanya sekali terjadi, aku sudah mengalaminya berulang-ulang. Aku pun berpikir, “Apa perempuan gendut memang tidak seharusnya bekerja ya?”

Ternyata keraguanku itu memang telah terbukti. Di Inggris, dalam riset Stuart Flint, doktor Psikologi dari Universitas Leeds dan rekan-rekannya, bertajuk Obesity Discrimination in the Recruitment Process: “You’re Not Hired!” (2016), sejak 2000-an memang telah terjadi peningkatan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap mereka yang bertubuh gemuk (obesitas). Dalam hal ini, sejumlah lembaga berkontribusi pada pengembangan dan pemeliharaan sikap anti-gemuk, khususnya media, seperti televisi atau koran. Biasanya media ini menggunakan framing bahwa gemuk itu tidak cantik, atau gemuk itu tak ideal.

Karena jangkauan media yang luas, stigmatisasi obesitas cepat menular ke berbagai bidang, seperti juri, profesional kesehatan, profesional pendidikan, transportasi umum, industri kecantikan, dan sebagainya.

Bahkan, penelitian yang Flint kutip dari Levine dan Schweitzer (2015) dan Schulte et al. (2007) menemukan, orang gendut dikaitkan dengan kompetensi yang rendah. Tak heran mereka biasanya menerima gaji awal yang lebih rendah, digolongkan sebagai karyawan kurang berkualitas, dan bekerja lebih lama daripada karyawan dengan berat badan normal.

Baca juga: Perempuan Kerja, Buat Apa?

Apa yang Bisa Dilakukan?

Karena tahu perkara mencari pekerjaan itu tak mudah untuk orang berbadan gemuk, saya sempat frustasi lama. Aku sampai di tahap enggan bertemu teman-teman sekolah. Banyak dari mereka mengundangku untuk datang ke pernikahan, tapi aku minder. Stres datang hingga aku mengalami menstruasi selama satu tahun lebih.

Siklus haid yang berkepanjangan ini sampai membuat mama berkali-kali membawa aku ke bidan dan dokter kandungan. Bidan ini pun memberikan obat yang awalnya untuk menghentikan pendarahan pada ibu hamil, tapi itu tidak mempan.

Stresku makin parah setelah papa sakit dan meninggal dunia. Ibarat dipukul palu godam berkali-kali di kepala, aku makin putus harapan. Rasa bersalah terus menghantuiku, karena tumpuan keluarga tak ada, sedangkan sebagai anak sulung, aku belum bisa melakukan apa-apa. Aku pengangguran gendut dan menyedihkan, pikirku saat itu. Diam-diam aku kerap menangis tiap malam.

Masih lekat di ingatanku kebiasaan papa yang membanggakanku di depan keluarga. Mungkin karena sejak masih kecil aku termasuk anak yang lumayan pintar. Mungkin harapannya aku akan selalu seperti itu.

Lama-lama, aku mulai sadar, enggak bisa terus bersedih hati seperti sekarang. Kata-kata mama yang menyuruhku sabar ini menjadi mantra untuk tetap kuat. Di titik inilah aku menganggap, yang bisa dilakukan ketika kamu kehilangan harapan usai ditolak kerja adalah mencari support system. Dalam hal ini, pendukung terbesar adalah orang tua dan keluargaku lainnya. Tak ada penghakiman, tak ada tekanan. Mereka mendukungku untuk maju, untuk bangun lagi saat jatuh, untuk tak berkecil hati.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada 2021, harapanku terjawab. Seorang teman kuliah menghubungi karena dia ingin liburan di kotaku. Dia pun bertanya sedang sibuk apa sekarang. Aku jawab kalau sedang mencari pekerjaan tapi belum ada hasil. Tiba-tiba dia menawarkanku sebuah pekerjaan sebagai asistennya di ibu kota.

Baca juga: Gendut dan Cantik, Setop ‘Fatshaming’ Perempuan Lain

Tanpa pikir panjang aku pun langsung mengiyakan tawarannya ini. Aku melompat-lompat saking girangnya. Aku pikir ini adalah awal yang baik untuk memulai kemandirian. Aku menulis, membuat konten media sosial, belajar banyak dengan teman-teman baru. Aku merasa sangat beruntung.

Meski begitu, kekesalan menerima diskriminasi saat rekrutmen kerja masih tetap menyala di kepalaku. Kapan ya, perusahaan bisa betul-betul bersifat inklusif, tak mendiskriminasi orang cuma perkara berat badan?

Read More