Polusi Udara DKI Jakarta Kian Buruk, WFH Bisa Jadi Jalan Ninjanya

Beberapa waktu belakangan ini, topik tentang polusi udara di Jakarta ramai diperbincangkan. Bukan tanpa alasan, polusi udah di ibu kota kian buruk setiap harinya.

Bahkan menurut aplikasi dari perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir, Jakarta berkali-kali menduduki peringkat pertama untuk tingkat kualitas udara paling buruk di seluruh dunia. Contohnya pada tanggal 8 Agustus dan 3 September yang lalu.

Baca juga: Tidak Bisa Tidak, Kita Harus ‘WFH’ Sekarang

Faktor yang Menyebabkan Polusi Udara Jakarta

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan polusi ini kian buruk di Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui siaran persnya pada (14/8) membagikan beberapa penyebabnya. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Sigit Reliantoro menjelaskan sektor transportasi menjadi penyumbang 44 persen sumber pencemar, diikuti sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersial satu persen.

Sigit juga menambahkan, menurut kajian ahli Prof. Puji Lestari bahwa akan ada beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kualitas udara ini. Studi tersebut nantinya akan dilakukan untuk seluruh wilayah Indonesia. Namun sekarang fokus utamanya pulau Jawa, karena wilayah ini memiliki potensi tinggi dalam pencemaran udara.

Pencemaran udara ini pun menjadi ancaman dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Dilansir dari website resmi Kementerian Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan enam besar penyakit akibat polusi udara ini, yaitu pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkolosis, kanker paru dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

Dikutip dari VOA Indonesia, polusi udara di Jabodetabek berakibat meningkatkan kasus ISPA. Pada periode Januari hingga Juli tahun ini saja, sudah ada 100 ribu kasus di wilayah tersebut. Menyikapi hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk Komite Respirologi dan Dampak Polusi Udara. Komite rencananya akan memiliki empat strategis, deteksi, penurunan risiko kesehatan, pengendalian emisi maupun debu, dan juga adaptasi.

Kemenkes menambahkan, kualitas udara di wilayah DKI Jakarta akan terus dipantau keadaannya. Puskesmas dan rumah sakit akan dilengkapi dengan peralatan deteksi polusi udara. Kemenkes juga akan mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dan terkait data-data polutan di aplikasi Satu Sehat.

Terkait masalah ini pemerintah pun mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi polusi ini. salah satunya dengan bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Menurut BBC Indonesia, kebijakan WFH ini akan diwajibkan kepada aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta terlebih dahulu, mengingat tingginya polusi udara di ibu kota.

Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih

Keuntungan WFH yang Perlu Kamu Tahu

WFH pun memiliki beberapa keuntungan jika dilakukan pada keadaan Jakarta yang kualitas udaranya buruk saat ini. Diambil dari Flex Jobs, berikut beberapa keuntungan WFH bagi pekerja:

1.  Mengurangi Stres dan Biaya Perjalanan

Lewat kerja dari rumah, pekerja bisa mengurangi stres karena perjalanan harian ke kantor. Mereka tak perlu lagi menghadapi kemacetan lalu lintas dan desak-desakan di transportasi umum. Hari-hari mereka akan menjadi lebih tenang sejenak dan terhindar dari stres yang tak perlu. Biaya untuk transportasi yang habis sehari-harinya bisa dialokasikan untuk hal yang lain. Mungkin untuk ditabung atau dibelanjakan untuk barang yang berguna.

2.  Fleksibilitas Waktu dan Lokasi

Salah satu keuntungan yang paling sering dicari dari WFH sendiri, waktu dan lokasi yang fleksibel. Banyak orang menganggap inilah yang mereka cari selama melakukan WFH. Para pekerja pun bisa mengatur jadwal kerja dan tempat yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan pribadinya.

Mereka bisa menyesuaikan pekerjaannya dengan ritme kehidupan pribadi, seperti mengurus keluarga selama ini jarang dilakukan, menjalan hobi yang disuka hingga berlibur tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama. Karena kamu juga bisa menerapkan work from anywhere atau WFA.

3.  Keseimbangan dalam Kehidupan Pribadi dan Pekerjaan

WFH memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk menyeimbangkan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Orang-orang biasa menamainya work-life balance. Fleksibilitas waktu dan lokasi tadi memungkinkan bisa lebih dekat dengan keluarga.

Pekerja dapat dengan leluasa dekat dengan orang-orang tercintanya dan menghabiskan waktu lebih banyak, tanpa harus mengorbankan tanggung jawab pekerjaan.

4.   Lingkungan Kerja yang Lebih Nyaman

Selain waktu dan lokasi yang fleksibel, pekerja bisa menciptakan suasana kerja sesuai kebutuhan. Mereka dapat mengatur ruang kerjanya sesuai kenyamanan. Hal ini memungkinkan konsentrasi yang dikeluarkan lebih tinggi dan produktivitas dalam kerja bisa lebih banyak. Karena pekerja merasa lebih santai dan nyaman dalam lingkungan yang mereka sukai.

5.  Kepuasan Kerja Menjadi Meningkat

Banyaknya fleksibilitas yang didapatkan para pekerja, membuat mereka akan lebih merasa dihargai dan diizinkan memegang kendali atas pekerjaannya. Kemandirian dan kepercayaan diri dari perusahaan kepada mereka akan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Tak hanya itu motivasi kerja akan semakin berkembang karena mereka akan memberikan yang terbaik.

Baca juga: Kerja Remote Makin Populer, Apa Kelebihan dan Kekurangannya?

Dengan adanya informasi-informasi mengenai keuntungan WFH ini, setidaknya bisa membuat pemerintah menerapkan peraturan ini meluas ke sektor swasta. Pakar ekonomi transportasi dan energi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto dalam tanggapannya melalui The Conversation mengatakan pemerintah bisa merumuskan kebijakan ini bersama pihak sektor swasta. Tujuannya untuk mencari tahu sektor mana saja yang memungkinkan pegawainya untuk bekerja dari rumah.

Joko juga meyakini pekerjaan sejumlah sektor ekonomi bisa berjalan tanpa adanya kewajiban untuk datang ke kantor. Karena, mereka sudah melalui dan cukup terbiasa dengan kebijakan pembatasan pergerakan yang sudah berlangsung saat pandemi covid-19.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari