Islam Menjawab: Bekerja adalah Hak Semua Bangsa Termasuk Perempuan

Laki-laki memang selalu dianggap sebagai pencari nafkah utama. Pandangan agama dan sosial selalu menomorsatukan laki-laki dalam bekerja. Karena itu perempuan yang bekerja sering dibilang tak pantas untuk mencari nafkah, orang-orang bilang bahwa ini bukanlah hak dan tanggung jawab seorang perempuan.

“Dalam banyak ayat-ayat alquran, bahwa islam itu memandang perempuan sama dengan laki-laki. Al-Qur’an turun pada masyarakat2 patriarki dan penafsirnya patriarki, maka tak heran jika penafsirannya masih patriarkis,” ujar K.H. Jamaluddin Mohammad, Peneliti Senior Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).

Di sepanjang bulan Agustus hingga September 2020, Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) bersama dengan Investing in Women melakukan penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di empat wilayah urban, Bandung, Bekasi, Depok dan Jakarta. Bertujuan untuk melihat bagaimana penerimaan perempuan bekerja yang terdapat di masing-masing wilayah.

Sampel yang dilakukan terdiri dari 600 responden yang dibagi menjadi 150 responden per lokasi wilayah. Dengan rentang umur dari 18 tahun hingga 40 tahun. Para responden ini juga dibagi menjadi tiga kelompok, tidak bekerja, bekerja dari rumah atau paruh waktu <35 jam per minggu dan bekerja di luar rumah atau paruh waktu >35 jam perminggu.

Baca juga: Kenapa Perempuan Dianggap Sebagai Pencari Nafkah Tambahan Saja?

Hasil survei pun disampaikan melalui Seminar Nasional dengan tajuk “Bagaimana Agama Menyapa Perempuan: Maqashid Syariah Lin Nisa sebagai Inovasi Pendekatan Keagamaan untuk Mendukung Perempuan Bekerja” pada Rabu, 29 Maret 2023, di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta. Seminar Nasional ini sekaligus memperingati Hari Perempuan Internasional.

Faktor yang Memengaruhi Penerimaan Perempuan Bekerja

Dari survei yang dilakukan Rumah KitaB ada beberapa faktor yang memengaruhi penerimaan perempuan bekerja. Ada faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor kemoderatan pandangan agama dan faktor sosialisasi atau interaksi sosial. Faktor-faktor ini diukur dengan menggunakan 11 variabel, di antaranya adalah pendapatan responden, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, dan jumlah investasi.

Untuk faktor pendidikan, perempuan dianggap memiliki pendidikan yang relatif baik dari laki-laki. Tapi capaian di Bekasi justru menunjukkan pendidikan laki-laki dan perempuan sama-sama rendah. Sedangkan untuk kondisi pendidikan yang lebih baik dipegang oleh Bandung dan Depok.

Faktor ekonomi juga menunjukkan bahwa kondisi perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki. Kecuali di Bekasi, dimana menjadi lokasi dengan ekonomi terendah. Depok menjadi daerah yang memiliki faktor ekonomi terbaik.

Faktor kemoderatan pandangan agama yang dimaksud dalam survei ini diukur dari cara pandang responden terhadap sejumlah pertanyaan. Seperti pandangan agama responden terkait izin suami, kewajiban istri mengurus rumah tangga dan konsep kepala keluarga. Ditarik kesimpulan bahwa perempuan jauh lebih moderat dibandingkan laki-laki di keempat lokasi. Bekasi menunjukkan kondisi terendah, menandakan wilayah paling konservatif.

Baca juga: Perempuan di Simpang Jalan: Pilih Bekerja atau IRT?

Sedangkan untuk faktor sosialisasi atau interaksi sosial dihitung dengan indikator seberapa banyak perempuan bekerja di dalam keluarga inti, keluarga pasangan dan keluarga besar. Survei mengatakan bahwa perempuan lebih tersosialisasi tentang bekerja dibandingkan laki-laki di keempat lokasi.

Kriteria Pekerjaan Ideal bagi Laki-laki dan Perempuan

Laki-laki dan perempuan masing-masing pasti memiliki pemahaman yang berbeda tentang pekerjaan ideal. Mereka memiliki kriterianya masing-masing. Hal ini juga ditemukan melalui survei ini dimana responden laki-laki dan perempuan ditanya terkait isu tersebut.

Responden laki-laki lajang mengatakan bahwa pekerjaan ideal bagi mereka adalah lingkungan kerja yang aman dan nyaman, sesuai dengan pendidikan dan gaji tinggi. Laki-laki yang sudah berkeluarga menambah satu kriteria tambahan yang penting untuk dipertimbangkan, yaitu sesuai dengan ketentuan syariat agama. Mereka juga memandang pekerjaan ideal bagi perempuan baik lajang maupun berkeluarga dengan tiga kriteria. Lingkungan kerja aman dan nyaman, sesuai syariat dan tidak terlalu jauh dari rumah atau tempat tinggal. Ketiganya menjadi hal yang penting.

Pandangan yang diutarakan oleh responden perempuan juga hampir sama dengan para laki-laki tadi. Responden perempuan menambahkan fleksibilitas pekerjaan dan jam kerja menjadi faktor tambahan yang perempuan berkeluarga perlu pertimbangkan. Untuk perempuan lajang selain lingkungan kerja yang aman dan nyaman serta sesuai syariat atau agama, juga penting untuk sesuai dengan pendidikan.

Tapi bagi responden perempuan dan laki-laki, kesesuaian pendidikan dan gaji yang diterima tinggi bukanlah faktor penentu pekerjaan ideal bagi perempuan bekerja.

Hambatan yang Dilalui Perempuan untuk Bekerja

Perempuan yang bekerja sering dianggap tidak pantas apalagi ketika mereka sudah berkeluarga. Anggapan perempuan sebagai sumber fitnah sering dijadikan alasan utama. Padahal laki-laki dan perempuan berpotensi menjadi fitnah satu sama lain. Jadi tidak dapat menjadi landasan melarang perempuan untuk bekerja. Perempuan bukan sumber fitnah.

Apalagi untuk perempuan yang sudah berkeluarga pandangannya akan berbeda dibandingkan dengan perempuan lajang. Ada batasan-batasan yang mereka peroleh. Seperti pembatasan tergantung pada toleransi suami, mertua, dan orang tua. Semakin besar toleran dalam menerima perempuan bekerja, semakin besar adaptasi dalam menyetujui peran gender laki-laki atau suami dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak. Walaupun masih terbilang sulit untuk melibatkan laki-laki dalam urusan domestik.

Selain itu perempuan sering dianggap tidak pantas menjalani peran sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga meskipun ia menjadi satu-satunya pencari nafkah. Mereka selalu dianggap sebagai pencari nafkah tambahan walau jumlahnya lebih besar dari suami atau satu-satunya sumber penghasilan.

Baca juga: Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Pentingnya Pahami ‘Mubadalah’

Perempuan berkeluarga dipandang tidak dapat diandalkan komitmen dan keterampilannya. Mereka pun selalu menjadi tenaga cadangan atau pilihan kedua di bawah laki-laki. Dianggap emosional karena tidak bisa membedakan peran sebagai ibu rumah tangga dan menjadi perempuan yang bekerja.

“Masalah budaya juga menjadi masalah utama menghambat perempuan bekerja ini. Mereka selalu ditanya untuk memilih kantor atau anak-anak. Pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan kepada laki-laki. Akibatnya kesempatan berkarier di posisi yang lebih tinggi sulit sekali bagi perempuan,” ujar Iim Fahima Jachja, Founder @queensridersindonesia, hadir dalam Seminar Nasional pada Rabu (29/3).

Juga ada dimensi kelas yang menjadi penghambat dari perempuan untuk bekerja tersebut. Selalu dilihat dari kelas mana mereka, menengah ke atas, menengah dan menengah ke bawah.

“Perempuan makin miskin makin bawah kelasnya, maka makin impossible buat mereka untuk bekerja. Tapi realitas perempuan menengah atas bekerja berbeda dengan perempuan menengah ke bawah, alasannya bukan karena faktor ekonomi tapi presentasi aktualisasi, dan juga lingkungan, ungkap Indrasari Tjandraningsih, Peneliti AKATIGA dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan yang juga hadir dalam Seminar Nasional ini.

Kebanyakan perempuan yang ada di kelas rendah sering mendapat pekerjaan dengan upah rendah. Mereka juga rentan terhadap pelecehan seksual. Menurut Indrasari, kasus ini sering terjadi pada buruh pabrik. Banyak kasus yang membuat perempuan pekerja buruh pabrik ini ‘rela’ dilecehkan, ‘rela’ direndahkan hanya untuk tetap bekerja. Biasanya karena terlilit faktor ekonomi.

Meningkatkan Partisipasi Perempuan Pekerja

Perempuan menerima Amanah untuk hamil, melahirkan (peran reproduksi biologis), dan menanggung peran sosial untuk merawat dan mengasuh anak (reproduksi sosial). Al-Qur’an menyebutkan peran dan beban itu sangat berat dan berisiko (wahnan ‘ala wahnin). Oleh karena itu, perempuan harus mendapatkan dukungan dari pasangan, keluarga, masyarakat dan perusahaan perlindungan dalam menjalankan reproduksi biologis dan reproduksi sosialnya dengan mengakui keberadaan kedua beban atau peran itu.

Namun kedua peran itu tidak boleh menghalanginya untuk bekerja karena bekerja adalah haknya. Hal yang harus diupayakan adalah tersedianya jaminan keamanan dan kenyamanan berupa aturan atau Undang-undang yang dapat menjamin mereka dalam menjalankan kedua peran itu tanpa kehilangan haknya untuk bekerja.

Pada kenyataannya, bekerja bukan hanya soal kebutuhan ekonomi melainkan juga soal mengasah kemampuan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Maka itu perlu banyak dukungan bagi perempuan untuk bekerja. Menyediakan sarana dan prasarana yang mumpuni juga baik dalam menunjang semangat mereka untuk bekerja.

Contohnya kebijakan yang mengharuskan tempat kerja atau perusahaan untuk memudahkan perempuan dan laki-laki untuk melakukan kerja pengasuhan ketika bekerja. Seperti adanya tempat penitipan anak di tempat kerja atau ruangan khusus untuk menyusui.

Selain itu mempermudah perempuan dalam mengakses transportasi agar bagi mereka para ibu bisa membawa anak ketika ingin bekerja. Ketersediaan dan transparansi informasi, seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Mengangkat pengalaman perempuan sebagai latar belakang untuk dijadikan kebijakan. Hal-hal ini mengadvokasi hak perempuan dalam bekerja. Advokasi ini bisa meningkatkan partisipasi perempuan pekerja.

Sekarang juga sudah banyak tokoh agama dan public figure baik laki-laki maupun perempuan yang bersuara untuk mendukung perempuan bekerja. Media massa serta media sosial sudah mulai banyak menampilkan narasi-narasi positif terkait perempuan bekerja.