Apa itu ‘Power Harassment’, Kekerasan yang Dinormalisasi di Dunia Kerja

apa itu power harassment di jepang

Kentarō Momose adalah laki-laki pekerja kantoran berusia 26 tahun. Ia pindah ke Tokyo untuk mengejar mimpinya bekerja di biro periklanan dan membuat kampanye atau iklan. Sayangnya, ambisi tersebut perlahan pudar ketika ia mendapatkan atasan yang gila kuasa.

Selama bekerja di kantor, Momose jarang diapresiasi. Sebaliknya ia lebih sering dikritik, dimarahi, bahkan dipermalukan di depan kolega kantornya. Momose juga kerap dibebankan pekerjaan yang tak sesuai dengan jobdesk-nya tanpa dibantu sama sekali. Alhasil, kesehatan mental Momose menurun tajam.

Ia stres berat. Dia jadi mudah panik dan paranoid. Perutnya sering sakit dan kepalanya bisa mendadak pusing tiap tertekan. Menyadari keadaan semakin memburuk, Momose mengajukan surat pengunduran diri. Tindakan yang buat dirinya sendiri dianggap sebagai aksi heroik.

Saat pindah ke perusahaan lain, Momose khawatir bos barunya Shirasaki juga akan membuat hidupnya sengsara. Beruntung, sikap Shirasaki berbanding terbalik dengan bos lama. Untuk pertama kalinya, Momose bisa menikmati bekerja dan menemukan kembali ambisi serta mimpinya yang terkubur.

Baca Juga: Perempuan Melawan Kekerasan

Mengenal Power Harassment

Pengalaman Momose di atas adalah sedikit cuplikan dari anime terbaru dari Studio Aniplex yang secara global ditayangkan layanan streaming berbayar Crunchyroll. Apa yang dialami Momose di kantor lamanya adalah bentuk kekerasan. Di Jepang jenis kekerasan ini dikenal dengan istilah khusus, yaitu pawa-hara atau power harassment.

Dikutip dari penelitian yang diterbitkan Journal of Asia-Pacific Study Universitas Waseda pada 2014, istilah power harassment pertama kali dicetuskan psikolog sosial Okada Yasuko pada 2003. Okada menjelaskan power harassment adalah pelecehan dan penindasan di tempat kerja yang dilakukan oleh mereka si pemilik kekuasaan lebih besar, kepada orang yang berpangkat lebih rendah.

Power harassment sendiri dapat terjadi dalam berbagai bentuk, dari pelecehan verbal hingga penyerangan fisik. Dikutip dari laman website Littler Mendelson P.C, firma hukum Amerika Serikat yang berfokus pada hukum perburuhan dan ketenagakerjaan, power harassment bisa terdiri dari:

  1. Pelecehan verbal, contohnya dengan membuat komentar yang menghina, mencaci maki, atau meremehkan
  2. Intimidasi, contohnya dengan membuat gerakan mengancam atau menggunakan suara tinggi
  3. Isolasi, contohnya mencegah seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan
  4. Tuduhan palsu
  5. Penghinaan di depan umum
  6. Penyerangan fisik atau pemukulan
  7. Pembalasan dendam, contohnya dengan memecat atau menurunkan pangkat karyawan yang mengeluhkan ia mengalami power harassment
  8. Manipulasi halus dan penggunaan wewenang, contohnya dengan memaksa seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai atau menciptakan lingkungan yang mengancam atau tidak bersahabat

Walaupun power harassment dipopulerkan di Jepang, nyatanya itu terjadi di berbagai daerah lainnya. Dalam penelitian yang sama, penulis Glenda S. Roberts menyatakan power harassment adalah kekerasan yang umum ditemui di dunia kerja manapun. Di Perancis misalnya, power harassment punya istilahnya sendiri, yaitu harcèlement morale.

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin

Kekerasan yang Dinormalisasi

Power harassment bisa dibilang jadi praktik kekerasan yang dinormalisasi.  Mengutip dari penelitian Okada berbahasa Jepang yang diterbitkan pada 2003, Roberts bilang, normalisasi ini terjadi karena di dunia kerja masih menerapkan hirearki rantai perintah (chain of command) dari atasan ke bawahan. Sehingga, itu rentan memicu penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang.

Okada juga mencatat, dari kasus-kasus yang masuk ke hotline pawa-hara, pekerja tetap lebih rentan mengalami power harassment dibandingkan mereka yang bekerja sendiri atau freelance. Ini karena mereka ada dalam posisi tidak dapat melarikan diri dan harus berada di tempat kerja sepanjang hari. Karena itu, ia beralasan, power harassment kemungkinan besar terjadi di tempat yang relatif tertutup dan di antara orang-orang yang memiliki hubungan yang stabil.

Dalam buku yang ia tulis bersama koleganya, Hiroshi Umezu pada 2003 dijelaskan, ketimpangan relasi kuasa antara atasan dan bawahan diperparah dengan beberapa faktor lain. Misalnya, kompetisi kerja global, generation gap, dan revolusi teknologi. Dalam hal generation gap, posisi atasan banyak dipegang oleh orang yang usianya lebih tua. Perbedaan pemahaman, etos kerja, serta kesadaran tentang hak pekerja antar generasi semakin memperparah kerentanan pekerja di level bawah yang umumnya datang dari generasi muda.

Hal lain yang perlu digarisbawahi dari power harassment adalah jenis kekerasan ini banyak dialami laki-laki. Namun, mereka juga yang kesulitan melaporkan kekerasan tersebut. Dalam wawancara bersama laki-laki pekerja kantoran bernama Sugimoto misalnya, ia dan kolega laki-lakinya kesulitan atau malu melaporkan power harassment. Sebab, ada anggapan laki-laki harus kuat banting. Ini adalah maskulinitas toksik yang sayangnya masih langgeng di dunia kerja. 

 “Kalau ada yang melaporkan ya mereka dianggap seperti laki-laki yang berkemauan lemah.” (Otoko no kuse ni konjou nashi),” kata Sugimoto.

Pengalaman Sugimoto ini setidaknya terefleksi dalam laporan International Labour Organization (ILO) pada 2022. Dalam laporan yang berjudul Experiences of violence and harassment at work: A global first survey, ILO menemukan, baik di negara-negara berpendapatan menengah ke atas maupun di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah, laki-laki lebih besar kemungkinan mengalami kekerasan dan pelecehan dalam kehidupan kerja mereka dibandingkan perempuan.

Lebih dari itu, secara global, laki-laki lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan fisik dan pelecehan di tempat kerja yang berulang dibandingkan perempuan. Dalam persentase, korban laki-laki cenderung telah mengalami kekerasan fisik dan pelecehan berkali-kali (55,7 persen) dibandingkan dengan korban perempuan (52,2 persen).

Kerentanan ini kemudian sama seperti yang diungkapkan Okada dalam penelitiannya soal generation gap juga lebih tinggi dialami oleh pekerja muda. Di seluruh dunia, kaum muda yang bekerja (usia 15-24 tahun) kemungkinan besar pernah mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja dalam lima tahun terakhir, dengan prevalensi sebesar 23,3 persen. Angka ini menurun seiring bertambahnya usia, dari 20,2 persen pada pekerja berusia 25–34 tahun menjadi 12,0 persen pada pekerja berusia 55 tahun ke atas.

Baca Juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker

Dengan kerentanan pekerja mengalami power harassment, ILO sendiri mencatat lebih dari satu dari lima (22,8 persen atau 743 juta) orang yang bekerja pernah mengalami setidaknya satu kekerasan dan pelecehan di tempat kerja selama masa kerja mereka, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Dalam rekomendasi, ILO misalnya mengatakan untuk mengeliminasi berbagai jenis kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, pencegahan pun menjadi penting. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan peningkatan kesadaran mengenai kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. 

Peningkatan kesadaran dan pengetahuan merupakan langkah awal dalam mengubah persepsi dan sikap yang melanggengkan atau membiarkan berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan, khususnya kekerasan dan pelecehan berbasis gender serta kekerasan dan pelecehan yang dimotivasi oleh diskriminasi.

Selain itu, peningkatan kapasitas lembaga-lembaga di semua tingkatan untuk melaksanakannya layanan pencegahan, remediasi dan dukungan yang efektif perlu didorong. Ini dilakukan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap keadilan dan memastikan adanya keadilan bagi para korban tidak dibiarkan sendirian saat mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.

Sejalan dengan Konvensi dan Rekomendasi ILO No. 190 No. 206, penguatan kapasitas organisasi pengusaha dan pekerja dirancang untuk menerapkan langkah-langkah efektif, serta menyediakan layanan dukungan kepada anggota. Itu juga termasuk meningkatkan mekanisme dan layanan penyelesaian sengketa untuk menangani kekerasan dan pelecehan secara tepat waktu dan responsif gender. 

Untuk level negara, pencegahan bisa dilakukan dengan memperkuat dan memperluas regulasi yang berfokus pada kesejahteraan pekerja.Hal ini dinilai ILO bisa secara efektif mencegah dan menangani kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk melalui manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). sistem kebijakan dan program K3, mekanisme tripartit dan sistem pengawasan ketenagakerjaan.