Pentingnya Mentor dalam Mengembangkan Karier

Ada kecemasan yang tergambar jelas dari pesan Hanny di ponsel saya siang itu. Tanpa basa basi, saya menawarkan untuk meneleponnya setelah jam kerja usai.

“Kak, aku kehilangan mentorku, dia baru aja resign. Aku enggak tahu harus apa. Aku jadi kehilangan arah banget sekarang,” kata suara di ujung telepon.

Sebagai lulusan baru yang baru terjun di bidang pemasaran digital, apa yang Hanny rasakan terbilang valid. Belum lagi ia bekerja sebagai tim, sehingga segala keputusan yang ia ambil otomatis akan berpengaruh pada timnya sendiri.

“Ada mentor yang ngebuat aku lebih secure karena aku tahu bisa bertanya pada siapa, tapi sekarang aku jadi bingung sendiri,” curhatnya.

Hanny tidak sendiri. Shinta, 27, penerjemah dan telah berganti pekerjaan sebanyak tiga kali, menyadari bagaimana ketidakhadiran mentor sangat berpengaruh pada kinerjanya di kantor. Tidak jarang, ketidakhadiran mentor pun juga berpengaruh pada kepercayaan dirinya selama mengambil keputusan.

“Tiap masuk ke pekerjaan baru itu awal-awal pasti nge-blank banget. Makanya pas aku enggak ada mentor, aku merasakan banget lost sendirian. Enggak ada yang bisa ngasih aku feedback. Aku juga enggak tahu pekerjaanku sudah benar atau belum, hasilnya sudah maksimal atau belum.”

Baca Juga: ‘Servant Leadership’ dan Pentingnya Jadi Bos yang Membumi

Pentingnya Mentor di Dunia Kerja

Courtney Templin, Presiden JB Training Solutions dalam wawancaranya di SHRM mengungkapkan, setiap orang yang memulai karier mereka biasanya masih belum memiliki arah dan tujuan yang jelas. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin mereka tanyakan tanpa tahu siapa yang bisa menjawabnya dengan baik.

“Hal inilah yang sering kali membuat individu terjebak dalam keadaan yang menghambatnya meraih kesuksesan. Karenanya, kehadiran seorang mentor benar-benar tak ternilai harganya,” ungkap dia.

Mentor dalam hal ini pun tidak selalu seorang supervisor kita. Mereka bisa jadi kolega satu tim, senior, atau bahkan seorang yang sebelumnya hanya kita kenal lewat relasi profesional saja. Oleh karena itu, jelas sekali ada perbedaan antara pemahaman kita mengenai mentor secara umum dan mentor karier.

Dilansir dari Indeed, mentor pada umumnya adalah seseorang yang memberikan bimbingan kepada orang lain melalui pengalaman dengan cara menawarkan nasihat, membangun kepercayaan diri, dan mendengarkan serta menanggapi pertanyaan dan kekhawatiran.

Dalam arti profesional, mentor juga harus menunjukkan atribut yang diperlukan untuk berhasil dalam industri atau bidang tertentu. Mereka ada untuk memberikan bimbingan kepada seseorang yang baru memulai bidang baru, menjelajahi jalur karier berbeda, atau hanya ingin sukses di posisi mereka saat ini.

Mereka pula yang dapat memberikan wawasan tentang situasi profesional tertentu, taktik negosiasi, peluang, dan tujuan jalur karier. Tidak sedikit pula, mentor juga dapat menjadi support system yang mampu memberikan dukungan secara emosional. Karenanya, mereka haruslah punya kapabilitas untuk menyadari kebutuhan orang yang mereka bimbing, otentik, dan dapat diandalkan.

Hal inilah yang dialami Iwip, 27, software engineer yang diwawancara Magdalene. Sebagai lulusan Sastra Jepang yang tidak memiliki basis keterampilan sains dan teknologi, utamanya coding, punya mentor sangat membantunya.

“Mereka yang pertama kali mengajarkan aku (keterampilan kerja) dari 0. Bahkan setelah lima tahun bekerja di bidang ini, aku masih membutuhkan mentor. Mereka tidak hanya memberikan ilmu-ilmu penting tapi juga nasihat, feedback, dan berbagi pengalaman selama bekerja. Ini secara enggak langsung membentuk keterampilan dan menentukan arah kita bekerja,” ujarnya.

Senada dengan Iwip, “Renata”, jurnalis berusia 21 tahun juga mengungkapkan bagaimana sosok mentor sangat berpengaruh dalam kariernya. Tak hanya mampu membimbingnya dalam penulisan artikel sehari-hari, mentor juga berpengaruh dalam mengembangkan keterampilan menulis dan membangun sudut pandang. Ia kini bahkan telah mantap menetapkan arah kariernya berkat sang mentor.

“Mentor ngebantu aku banget dalam perkembangan skill dan karier aku, karena dia provide apa yang kita butuhkan, dan terbuka ngasih feedback. Bahkan ketika belum genap satu tahun bekerja, kehadiran mentor jelas membuat aku tumbuh. I’ve grown a lot, dari segi skill misalnya aku jadi tau ke depannya gimana. Seandainya aku mau stay di media, aku mau stay di media kaya apa. Jadi terbentuk gitu tujuanku,” ungkapnya.

Baca Juga: ‘Love-Hate Relationship’ dengan Pekerjaan, Haruskah Karyawan Bertahan?

Tips Cara Mencari Mentor

Lulusan baru atau tidak, mentor nyatanya sangat dibutuhkan di dunia kerja dan memberikan efek positif dalam karier. Dilansir dari Harvard Business Review, program pendampingan formal untuk CEO pada 2015, sebanyak 84 persen mengatakan mentor telah membantu mereka lebih cepat menguasai keterampilan dan 69 persen bilang, mentor membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik dalam pekerjaan.

Sayangnya tidak semua orang memiliki pebimbing selama karier mereka. Hal ini misalnya bisa dilihat dari survei yang dilakukan Olivet Nazarene University pada 2019 yang menyatakan, lebih dari 4 dari 10 pekerja AS (44 persen) melaporkan, mereka tidak pernah memiliki mentor yang secara signifikan memengaruhi karier mereka. Oleh karena itu, penting untuk kita membangun strategi karier dengan mencari mentor jika memang sampai detik ini kita belum memilikinya.

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mengidentifikasi beberapa kualitas mentor. Dilansir dari The Balance Careers, setidaknya ada tiga kualitas yang harus dimiliki mentor.

Baca Juga:Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Pertama, pengalaman. Carilah mentor yang telah berkembang dalam bidang karier mereka sendiri. Mereka ini nantinya yang akan membantumu memberikan wawasan tentang situasi profesional tertentu, taktik negosiasi, serta peluang karier.

Kedua, kompatibilitas. Carilah pebimbing yang memiliki visi dan nilai yang sama denganmu. Dengan begitu, kamu bisa lebih nyaman bertukar pikiran dan bertanya tanpa merasa tertekan atau terbebani.

Ketiga, kepedulian. Meskipun hubungan mentor dan mentee adalah hubungan dua arah. Sebagai mentee, kamu akan mendapatkan banyak nilai darinya. Pastikan untuk mencari orang yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga.

Hal selanjutnya yang harus kita lakukan adalah mengikuti beberapa tips, seperti dibagikan Indeed berikut:

1.   Jika kamu baru atau sedang berganti karier, cobalah meneliti bidang pekerjaanmu terlebih dahulu dan cari tahu tentang orang-orang top yang sudah berpengalaman di dalamnya. Pelajari apa yang kamu bisa ketahui tentang latar belakang, pendidikan, dan minat mereka.

2.   Buatlah daftar orang-orang yang tampaknya cocok dengan kita dan tujuan kariermu berdasarkan tiga kualitas di atas. Ingatlah untuk mencari mentor dari manapun yang kamu bisa. Gunakan koneksi semaksimal mungkin.

3.   Mulailah menghubungi orang-orang di daftarmu. Kamu bisa mengirimkan mereka email yang sopan dan formal, atau menghubungi mereka melalui kontak yang sudah kamu dapatkan. Perkenalkan diri kamu dan berbagilah sedikit tentang apa yang kamu kagumi tentang orang tersebut, rincian tentang di mana kamu berada dalam karier, dan beberapa perspektif tentang mengapa orang ini akan menjadi pebimbing yang baik untukmu.

4.   Cobalah untuk menjalin hubungan dengan mereka dan kenali kepribadian mereka. Jika ternyata kamu tidak merasa nyaman atau cocok dengan mereka, coba mulai lagi dari tahap awal dan jangan menyerah.

Read More
Perempuan yang Tetap Aktif Bekerja Walau Menopause

Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Keputusan aktris Angelina Jolie mengangkat rahimnya di umur 42 tahun yang membuatnya mengalami menopause dini, patut kita apresiasi. Jolie membuka ruang diskusi publik soal menopause sebagai bagian dari pengalaman “normal” perempuan. 

Tidak hanya Angelina Jolie, Whoopi Goldberg aktris sekaligus komedian di AS pada 2006 berbicara secara terbuka tentang pengalaman menopause-nya. Buat Goldberg, momen menopause justru jadi tonggak baru hidupnya sebagai perempuan. “It’s wonderful and liberating. All of a sudden I don’t mind saying to people, ‘You know what? Get out of my life. You’re not right for me.”

Kehadiran figur publik macam Jolie dan Goldberg dalam hal ini pun menjadi sangat penting untuk mematahkan stigma perempuan menopause. Sebagai informasi, masyarakat kerap melabeli perempuan menopause sebagai pihak tak berdaya, tak sanggup bekerja secara produktif, orang tua.

Dalam penelitian Silence, Stigma, and Shame A Postmodern Analysis of Distress During Menopause Stigma (2010), Marcianna Nosek, Holly Powell Kennedy, Maria Gudmundsdottir memaparkan stigma seputar menopause yang lekat sekali dengan histeria, ketidakmampuan perempuan untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari, dan rasa malu karena penuaan. 

Perempuan dan Gejala Perimenopause

Setiap perempuan yang mengalami menopause akan melewati sebuah periode transisi, disebut dengan perimenopause. Dilansir dari Hallo Sehat, sebagian perempuan yang berusia sekitar 40 tahun akan merasakan gejala dari masa transisi ini, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang mengalami hal tersebut bahkan di usia 30-an.

Gejala-gejala yang lumrah terjadi pada perempuan dalam masa transisi ini antara lain, hot flashes (rasa panas pada wajah dan tubuh), gangguan tidur, gangguan mood, menurunnya libido, hingga vagina menjadi lebih kering. Perlu diketahui, kemungkinan setiap perempuan akan mengalaminya pada usia yang berbeda, dengan periode dan gejala yang tentunya berbeda satu dengan lainnya. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pengalaman unik perimenopause misalnya dapat dilihat dari tiga cerita perempuan bernama Joesy (53), Fitri (54), dan “Netty” (53). Dalam wawancara bersama Magdalene (2/11), Joesy misalnya mengungkapkan, selama perimenopause, ia mengalami gejala-gejala seperti hot flashes dan gangguan tidur. Rasa panas yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya ini membuatnya cukup risi sampai-sampai ia harus berkali-kali mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

“Gerah, sih. Terasa aneh gitu ya, mungkin suhu tubuh kali ya. Rasanya gerah, ganti kaos itu satu malam bisa 5 sampai 6 kali saking gerahnya.”

Joesy menambahkan, selama mengalami perimenopause, ia juga sempat pergi ke dokter. Hal ini karena selama perimenopause, ia mengalami gangguan tidur hebat. Ia bahkan baru bisa tidur setelah Subuh. Segala macam cara ia lakukan agar ia bisa tidur lelap, namun usahanya kerap sia-sia. Gangguan tidurnya ini tentunya sangat memengaruhi aktivitasnya sehari-hari apalagi ia mengalaminya lumayan lama, sekitar 1 bulan.

Senada dengan Joesy, Fitri juga sempat mengalami hot flashes selama perimenopause. Namun, hot flashes yang dialaminya tidak separah Joesy yang sampai harus berganti pakaian berkali-kali. Ia pun tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Gejala yang paling Fitri rasakan selama perimenopause lebih mengarah kepada gangguan mood.

“Secara emosi jadi lebih sensitif, moody. Kok tiba-tiba sedih ya, tapi kadang-kadang pingin marah-marah. Cuma sebentar, nanti ilang lagi. Kadang tanpa sebab gitu. Kok sedih, ya? Kenapa ya? Terus jadi gampang banget tersinggung. Mungkin orang lain bisa sampai depresi tapi saya enggak, sih,” tuturnya kepada Magdalene (2/11).

Berbeda dengan Fitri maupun Joesy yang mengalami gejala fisik, Netty tidak mengalami gejala fisik apa-apa. Selama perimenopause, Netty lebih mengalami gangguan emosi sama seperti Fitri.

“Fisik aku enggak ngerasain sakit, lemes, enggak juga. Susah tidur juga enggak. Namun, aku ngalamin tiba-tiba sedih, pingin nangis, ngeliat apa pingin nangis. Di kereta liat hujan pingin nangis, kayanya sedih banget, aku ngalamin itu. Sampai mahasiswaku menyuruhku dengar lagu aja kalau sedang di kereta biar enggak melamun terus sedih gitu,” curhatnya kepada Magdalene (3/11).

Kendati ketiganya mengalami gejala perimenopause yang tidak mengenakkan dan sekarang telah mengalami fase menopause, ketiganya sepakat ini semua bukanlah sesuatu yang negatif dan harus distigmatisasi. Pasalnya, pengalaman ketubuhan unik perempuan ini merupakan sebuah fase yang harus dihadapi setiap perempuan. 

Joesy misalnya mengatakan, menopause adalah proses alami yang memang harus dilalui setiap perempuan layaknya menstruasi. Pada kenyataannya memang hal ini tidak bisa kita kendalikan. Namun, menurut Joesy selama kita dapat berpikir positif mengenai proses alami tubuh ini dan mencari informasi atau pengetahuan yang tepat soal menopause, kita tidak perlu khawatir.

Fitri menambahkan, menopause sendiri membawanya pada sebuah kebahagiaan tidak ternilai harganya secara spiritualitas dan mental. 

“Saya justru pas menopause tuh seneng karena saya bisa puasa pol, enggak usah bayar-bayar utang puasa, bisa salat terus. Setelah menopause, saya juga justru merasa lebih mencintai diri saya sendiri. Saya misalnya jadi lebih rajin merawat diri sendiri, lebih memperhatikan diri sendiri fisik atau mental, jadi punya banyak waktu untuk diri sendiri.”

Perempuan Lawan Stigma Menopause dengan Aktif Bekerja

Survei 2019 yang dilakukan oleh Bupa, perusahaan asuransi kesehatan, memperkirakan hampir 900.000 perempuan di Inggris telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena gejala yang terkait dengan menopause. Hal ini pun tentunya berdampak langsung pada produktivitas perempuan dan status mereka sendiri di tempat kerja. Belum lagi ditambah minimnya perhatian dan pengertian dari lingkungan sekitar utamanya laki-laki atas pengalaman ketubuhan unik perempuan ini.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Namun, di tengah segala stigma dan kendala yang dialami oleh perempuan yang mengalami menopause, Joesy, Fitri, dan Netty membuktikan menopause bukan sebuah halangan atau alasan untuk tetap aktif bekerja. Joesy misalnya adalah seorang penulis profesional. Selama menopause, ia lebih banyak menulis buku. Buku yang ia tulis adalah tulisan yang berisi ilmu dan pengalaman dari karyawan perusahaan atau BUMN yang hendak pensiun. Perusahaan atau BUMN terkait nantinya akan mengundangnya datang dan membuatkan kontrak kerja untuknya. Dari sinilah Joesy nantinya menyusun sebuah buku yang berisi arsip ilmu dan pengetahuan karyawan terkait yang akan digunakan untuk generasi mendatang.

Sama halnya dengan Joesy, Fitri yang merupakan seorang menopause kerap aktif bekerja. Sebagai pendiri, pemilik, dan guru dari sebuah tempat les bimbel di daerah Depok, jadwal Fitri bisa dibilang cukup padat. Ia bisa mengajar dari pagi hari, istirahat di siang hari, dan lanjut mengajar dari jam 1 atau jam 2 hingga jam setengah 6 sore. Apalagi semenjak pandemi, ia bisa saja dihubungi oleh muridnya di luar jam les. Tidak hanya mengajar, di tengah kesibukannya ia Fitri pun masih semangat berjualan. Jika ia sedang tidak ada jadwal mengajar, ia biasanya sibuk di dapur, memasak makanan dari pesanan kue, zuppa soup, atau macaroni schotel yang ia terima.

Netty pun sama. Menurutnya menopause bukanlah halangan berarti baginya untuk tetap aktif bekerja. Sebagai seorang dosen senior yang sudah mengajar selama 30 tahun di universitas swasta, jadwal mengajar Netty bisa dibilang luar biasa padat. Ia mengajar mahasiswa S1 hingga S2 dan masih suka diberikan tugas oleh profesor oleh kampusnya. Walau sudah disibukkan dengan urusan mengajar dan kampus, sama halnya dengan Fitri yang “tidak bisa diam”, Netty masih memberikan pelatihan kepada orang lain yang menginginkan jasa pengajarannya seputar ilmu komputer.  

Terkait stigma tak produktif ini, ketiganya angkat bicara.

“Produktivitas itu kan enggak tergantung dari kegiatan fisik juga tapi tergantung dari kemauan kita melakukan sesuatu. Menopause itu enggak hanya berpengaruh pada fisik tapi mental juga, jadi tergantung kita manage-nya gimana. Kalau capek atau merasa sedang enggak enak ya istirahat aja dulu, enggak apa-apa. Nanti baru balik lagi,” tutur Fitri.

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Senada dengan Fitri, Joesy bilang, jika memang kita merasa dalam periode tersebut tidak bisa produktif, sebenarnya tak masalah. Jangan menyalahkan diri kita sendiri atas sebuah proses alami yang dialami oleh kita. Menurut Joesy yang terpenting adalah ketika periode itu telah usai, kita harus bisa bangkit lagi. Jangan menjadikan menopause dan gejala-gejala perimenopause sebagai alasan bagi kita untuk tidak menjadi produktif. Semakin produktif, umumnya kesehatan mental makin terjaga.

Pada akhirnya, menopause dan perimenopause adalah sebuah siklus yang memang harus dilalui oleh setiap perempuan. Baik Joesy, Fitri, atau Netty setuju, pengetahuan dan informasi akurat soal pengalaman ketubuhan ini penting. Tidak hanya bagi perempuan untuk menekan rasa khawatir berlebihan, tapi juga agar mereka lebih mudah menjalani siklus ini dengan baik. 

Read More

‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak?

Sebagai perempuan pekerja, saya mendambakan film karya sineas Indonesia yang menampilkan karakter pemimpin perempuan nan berdaya dan mandiri. Saya pun menelusuri film-film yang diproduksi oleh para sineas Tanah Air dari 2014 hingga 2021. Hasilnya tak banyak. Sebagian di antaranya adalah Kapan Kawin (2015), Susah Sinyal (2017), Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018), Twivortiare (2019), serta Devil on Top (2021).

Film-film tersebut saya pilih karena menampilkan karakter pemimpin perempuan di dalamnya. Selain menyusuri keberadaan mereka, saya juga menganalisis bagaimana sineas film merepresentasikan karakter bos perempuan. Kemampuan sineas Indonesia dalam merepresentasikan girl boss ini penting dijadikan sebagai tolak ukur bagi saya untuk mengetahui apakah mereka sudah bersedia meruntuhkan berbagai stereotip negatif yang kerap dilekatkan pada para bos perempuan, yang kerap beresonansi dengan pelbagai ketidakadikan gender.

Sterotip negatif mengenai girl boss sendiri memang sedang kencang-kencangnya digaungkan sejak 2014. Tepatnya ketika pebisnis Sophia Amoruso lewat memoir #Girlboss rilis. Alexandra Solomon, profesor dalam bidang gender dan peran gender di Northwestern University, mengatakan kepada Vox, istilah girl boss yang kita kenal sekarang adalah bentuk dari seksisme yang terinternalisasi. Ini menekankan pada stereotip negatif bos perempuan yang menjadi sosok yang dibenci banyak orang. Kendati perempuan, gaya kepemimpinan mereka dicitrakan sangat maskulin yang menekankan pada agresi karena berusaha untuk mendobrak dunia yang didominasi lelaki.

Baca Juga: Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Berikut ini adalah temuan saya usai menonton kelima film Indonesia soal girlboss di atas.

Benarkah Film Indonesia Mampu Merepresentasikan Girl Boss?

Saya dan mungkin banyak perempuan di Indonesia sependapat, kami sudah muak sekali dengan stereotip negatif bos perempuan yang dilanggengkan di masyarakat. Stereotip mendasar dari bos perempuan itu tak jauh-jauh dari karakter bossy, secara emosional manipulatif karena suka gaslighting, melakukan abuse of power, dan tentunya bitchy. Stereotip negatif ini sudah begitu melekat pada bos perempuan sampai-sampai di kehidupan nyata sendiri, seseorang bisa langsung mengalami keringat dingin jika mengetahui atasan barunya perempuan.

Film Kapan Kawin (2015)

Stereotip negatif yang seharusnya diruntuhkan sayangnya justru kembali dilanggengkan utamanya dalam film Devil on Top (2021) yang disutradarai Anggy Umbara. Sejak awal film ini dimulai pun penonton sudah disuguhkan dengan adegan di mana semua orang di kantor takut dengan sosok bos perempuan mereka bernama Sarah. Ketika Sarah masuk kantor, suasana kantor menjadi tegang. Mereka semua heboh menyusun bangku, duduk rapi di meja kerja masing-masing agar tidak kena omel sang bos.

Angga, karakter laki-laki utama yang ketika itu telat datang rapat bersama Sarah pun kena damprat. Di dalam adegan yang sama, Sarah bahkan marah-marah kepada Boni, salah satu karyawan yang menyiapkan kopi Sarah. Sarah marah karena Boni menyiapkan kopi kepada Sarah dengan takaran gula sebanyak dua setengah sendok, padahal Sarah biasanya hanya minum kopi dengan gula setengah sendok saja.

Adegan di mana Sarah adalah bos yang sangat menyebalkan pun berulang kali ditampilkan di layar. Ia digambarkan sebagai bos perempuan yang suka marah-marah, gaslighting, dan tentunya hobi menekan karyawannya. Ia bahkan tidak segan memecat karyawannya dengan cara disidang di depan karyawan-karyawan lain tanpa memberikan kesempatan karyawan tersebut untuk mengubah perilakunya yang baru saja ia lakukan satu kali. Ia juga kerap menyuruh karyawannya yang jelas merupakan manifestasi dari power abuse. Sifat Sarah ini membuat karyawan-karyawannya sangat stress dan membencinya sampai titik di mana Angga dan ketiga teman satu gengnya berencana untuk menjatuhkan Sarah dari posisinya tersebut.

Devil on Top/DisneyHotstar

Kendati Sarah adalah bos yang menyebalkan di kantor, dalam film ini latar belakangnya makin lama terkuak. Ia dipaksa bekerja di sini oleh Pak Firman–sosok yang juga melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Sarah bertahan karena ia masih harus menghidupi anaknya yang mempunyai sindrom Williams. Namun, dari penceritaan latar belakang ini, saya justru jadi bertanya-tanya tentang intensi penulis naskah, Anggy Umbara dan Rayhan Dharmawan.

Baca Juga: Bos perempuan dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Penulis naskah tidak hanya melanggengkan stereotipe negatif bos perempuan, tetapi mereka seakan-akan menjustifikasi perilaku toksik Sarah sebagai seorang atasan dengan menyetir penonton untuk bersimpati dan memaafkan perilakunya. Hal ini jelas berbahaya, karena mau bagaimana pun latar belakang kehidupan seseorang tidak bisa menjadi alat justifikasi seseorang untuk bersikap tidak adil dan toksik terhadap orang lain.

Harapan dan Lubang Besar

Setelah menonton Devil on Top, timbul sebuah kekhawatiran mendalam mengenai representasi perempuan di budaya populer. Saya khawatir film-film yang mengangkat karakter perempuan girlboss ini justru berperan dalam melanggengkan ketidakadilan gender melalui stereotip negatif. Namun, untungnya setelah saya menonton empat film Indonesia lain, saya menemukan ada upaya dari para sineas Indonesia untuk menggambarkan karakter perempuan girl boss yang berdaya dan mandiri dengan representasi lebih baik yang perlahan mampu meruntuhkan stereotip negatif sebelumnya.

Girl boss ditampilkan sebagai karakter perempuan berdaya yang bertanggung jawab, tegas dengan gaya kepemimpinan perempuan, seperti kolaboratif, komunikatif, fleksibel, sabar, dan empatik. Tidak jarang beberapa perempuan dalam keempat film ini digambarkan dekat dengan kolega dan karyawan-karyawan yang ia pimpin. Dalam film Kapan Kawin (2015) yang disutradarai oleh Ody C, misalnya Dinda, General Manager di sebuah hotel bintang empat adalah seorang yang tidak pernah melakukan abuse of power, bossy, dan bitchy. Meski jadi atasan, ia sigap dan sebisa mungkin membantu pekerjaan karyawannya, yang sebenarnya bukan bagian dari job desk miliknya (dari memindahkan meja klien sampe nolongin orang tenggelam). Ia tidak pernah melimpahkan tanggung jawab kepada karyawannya secara semena-mena.

Baca Juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Begitu pula dengan karakter Ellen di Susah Sinyal (2017). Ia adalah seorang ibu tunggal dan  pengacara yang membuat firma hukumnya sendiri bersama koleganya, Iwan. Selama bekerja ia menekankan pada kolaborasi bersama tim kecilnya. Ia juga tidak pernah melakukan abuse of power, hal ini bisa dilihat dari bagaimana ia bahkan tidak enak hati pada teman satu timnya jika ia tidak bisa menghadiri pengadilan atau mengambil cuti liburan bersama dengan putrinya, Kiara.

Sosok bos perempuan yang egaliter juga terlihat dalam sosok Milly di Milli & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018). Sebagai seseorang yang menggantikan posisi suaminya sebagai kepala pabrik yang dimiliki ayahnya, Milly bisa dibilang bos perempuan yang jauh dari stereotip negatif. Layaknya Ellen, kepemimpinannya dilakukan atas dasar kerjasama tanpa ada relasi timpang. Ia sangat dekat dengan karyawan-karyawannya bahkan dalam beberapa adegan dia sering bergurau dengan karyawannya seperti bersama dengan Yongki yang nantinya akan menjadi pengganti Milly. Sedangkan Alexa dalam Twivortiare (2018) walaupun tidak begitu banyak dibahas mengenai gaya kepemimpinannya, ia adalah seorang Vice President yang dapat diandalkan. Ia juga dekat dengan koleganya, Ryan berbeda dengan karakter Sarah yang benar-benar menjadi karakter antagonis di mana tidak ada seorang pun yang dekat dengan dirinya.

Milli & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018)/IMBD

Representasi cukup positif dari bos perempuan dalam keempat film ini tentu menjadi angin segar bagi perempuan, termasuk saya yang sudah lama mendambakan representasi perempuan di budaya populer. Namun, sayangnya, film-film ini masih belum memiliki fokus khusus terhadap cerita bos perempuan dalam pergulatannya dalam dunia kerja. Keempat film ini masih terfokus pada cerita romansa dengan sentuhan humor dan drama. Porsi adegan yang memperlihatkan bagaimana perempuan bekerja dan memperlihatkan gaya kepemimpinannya masih bisa dibilang cukup minim. 

Hal ini tidak lain karena karakter bos perempuan hanya dijadikan sebagai plot pelengkap saja atau pemanis yang memperlihatkan “Oh ternyata ada juga lho bos perempuan yang tidak bossy dan bitchy”. Untuk hal itu, sineas Indonesia pada kenyataannya masih memiliki PR besar untuk dapat memproduksi film dengan fokus cerita mengenai bos perempuan dengan segala gaya kepemimpinan dan kendalanya sebagai perempuan dalam menjalankan suatu perusahaan.

Read More

Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pada 15 September lalu, Twitter sedang dihebohkan dengan rekrutmen kerja yang sarat akan unsur pelecehan seksual. Rekrutmen tersebut diunggah oleh akun Twitter @AREAJULID hasil curhatan sender yang tengah mencoba melamar kerja di KSP Mitra Niaga. Dalam proses pendaftaran, ia harus mengisi data diri di Formulir Pendaftaran Calon Pegawai melalui Google Form.

“Bagi kalian semua terutama cewek, tetap harus waspada sama lowongan kerja ya, jangan sampai kaya aku yang kegocek di web tempat loker, taunya malah balasan emailnya suruh isi form begini,” tulis sender pada caption unggahannya.

Pertanyaan tak pantas, seperti “Apakah masih virgin?”, “Ukuran bra berapa” wajib dijawab oleh calon pelamar. Tak hanya itu, ia bahkan diminta mengirimkan foto memakai blazer dengan dalaman tanktop dan foto memakai hem putih dengan dua kancing atas dilepas. Pelamar juga disuruh membayar untuk bisa melanjutkan proses rekrutmen kerja di perusahaan tersebut. Sontak pertanyaan dan syarat yang diajukan oleh perusahaan itu membuat warganet geram. Banyak dari mereka yang akhirnya langsung memberikan himbauan bagi para perempuan yang hendak melamar kerja untuk tidak terjebak dalam rekrutmen kerja bodong seperti ini.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Perempuan Menjadi Korban Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Dunia Kerja

Beruntung, karena kesigapan dari sender yang langsung dapat mengidentifikasi adanya unsur pelecehan seksual dari rekrutmen kerja tersebut, banyak perempuan lain yang akhirnya terhindar dari modus rekrutmen serupa. Meski begitu, sayangnya pelecehan seksual yang berkedok rekrutmen kerja seperti kasus di atas bisa dibilang hanya bagian dari lapisan atas gunung es saja. Nyatanya, perempuan masih terbilang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual dalam dunia kerja.

Hal ini misalnya hampir terjadi pada Annisa dan teman sesama perempuan pelamar kerja lainnya. Annisa membagikan kisahnya pada akun instagram pribadi yang diunggah kembali akun Line @iCampusIndonesia pada 2018 silam. Annisa mengaku melamar sebuah lowongan pekerjaan melalui email yang ia dapat dari koran ternama di Indonesia. Tidak berselang lama, ia dihubungi perusahaan untuk datang ke kantor apartemen dalam rangka melanjutkan proses rekrutmen kerja.

Setelah sampai di alamat tersebut, ia diminta menunggu di lobi dan bertemu dengan perempuan lain. Tidak disangka ternyata perempuan tersebut baru saja menjalani proses rekrutmen dari perusahaan yang sama dengannya. Perempuan yang ia temui ini pun langsung menyuruh Annisa untuk pulang dan tidak lanjut proses rekrutmennya. Usut punya usut, perempuan tersebut mengalami pelecehan seksual selama proses wawancara berlangsung. Selama 3 jam proses wawancara, perempuan tersebut ditanyai hal tidak senonoh oleh pewawancara dan dilecehkan oleh laki-laki perekrut kerja. Ia bahkan ditawari keringanan ganti rugi kursi sebesar Rp1,8 juta karena dituduh merusakkan kursi dengan menjadi pacarnya.

Pengalaman serupa terjadi pada 11 perempuan yang menjadi korban penipuan rekrutmen kerja yang berujung pada kekerasan seksual pada Agustus 2020. Pelaku bernama Suherman, supir angkot mengaku sebagai HRD tim kesehatan. Ia memasang iklan lowongan kerja di akun Facebook palsu. Dari iklan lowongan kerja ini, banyak perempuan yang kemudian tertarik ingin mendaftar.

Baca Juga:Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Mengutip pernyataan AKBP M Yoris Marzuki dari Kapolres Cimahi melalui Intisari online.com, dalam rekrutmen palsu ini, Suherman meminta korban membayar uang administrasi senilai  Rp1,5 juta sebagai biaya administrasi dan berfoto tanpa busana dengan alasan untuk tes kesehatan. Aksi Suherman ini dilakukan sejak Februari 2020 dan berujung pada pemerkosaan.  Sebanyak empat perempuan diperkosa olehnya dengan cara diancam. Ia mengancam para korban akan menyebarkan foto tanpa busana yang telah mereka kirim ke internet jika tidak mau menuruti kemauannya berhubungan seks. Beraksi hampir selama lima bulan, Suherman akhirnya ditangkap di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat.

Apa yang dilakukan oleh Suherman pada perempuan korban adalah bukti nyata bagaimana rentannya perempuan sebagai korban pelecehan dan kekerasan seksual dalam proses rekrutmen kerja.

Dikutip dari laman firma hukum Lipsky Lowe asal Amerika Serikat, pelecehan dan kekerasan seksual dalam proses rekrutmen kerja dibagi menjadi dua bentuk, pelecehan seksual Quid Pro Quo (Quid Pro Quo Sexual Harassment) dan lingkungan kerja yang tidak bersahabat (Hostile Work Environment).

Quid Pro Quo Sexual Harassment mengacu pada pelecehan seksual yang dapat berujung kekerasan seksual yang terjadi dalam proses rekrutmen kerja. Dalam hal ini tawaran pekerjaan mungkin didasarkan pada persetujuan pelamar untuk melakukan tindakan seksual tertentu, misalnya berciuman, menyentuh, hubungan seksual. Jika pelamar tidak melakukan tindakan seksual tertentu yang diminta oleh perekrut kerja umumnya, pelamar kerja akan diancam. Sedangkan Hostile Work Environment mengacu pada pengalaman proses perekrutan di mana pelamar kerja mengalami perilaku verbal atau visual fisik yang tidak diinginkan yang bersifat seksual yang menciptakan suasana yang membuat pelamar kerja tidak nyaman atau cemas berlebih. Misalnya perekrut kerja membuat isyarat atau komentar bermuatan seksual tentang tubuh pelamar kerja.

Baca Juga:Jika Kantor Abai dengan Kekerasan Seksual, Apa yang Bisa Dilakukan?

Absennya Perlindungan Hukum bagi Perempuan Pelamar Kerja

Pertanyaannya, berapa banyak perempuan pelamar kerja yang telah menjadi korban sejauh ini? Dalam laporan PSBB (Pelecehan Seksual Bukan Bercanda) dari Never Okay Project, ditemukan, sepanjang 2018 hingga 2020 terbukti ada sebesar 5,98% pelecehan seksual terjadi sejak awal hubungan kerja terjalin atau saat proses rekrutmen kerja.

Berdasarkan data yang terkumpul,kekerasan dan pelecehan seksual  di dunia kerja kerap terjadi secara berulang, sehingga 1 kasus bisa mencakup beberapa jenis bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Selain itu, pada beberapa kasus ditemukan, kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan bertahap di mana pelaku memulai dengan tindakan pelecehan yang biasanya sudah dinormalisasi, termasuk pelecehan seksual verbal, pelecehan seksual isyarat, dan lain-lain. Tindakan pelecehan yang dinormalisasi ini lalu meningkat ke tindakan dengan spektrum yang lebih berbahaya, seperti pelecehan seksual fisik dan pemerkosaan.

Sebanyak 52 kasus pelecehan dan kekerasan seksual dalam dunia kerja juga tercatat dalam laporan Never Okay Project  yang dilaporkan ke kepolisian. Sayangnya hanya ada 1 kasus di mana pelaku akhirnya divonis penjar,a sementara ada 1 kasus dengan pelaku yang divonis bebas, dan 1 kasus lain di mana korban divonis penjara. Lalu, terdapat 7 kasus yang tidak teridentifikasi kelanjutannya.

Dari data di atas maka dapat dilihat bagaimana pemerintah masih punya PR besar dalam memberikan ruang aman bagi perempuan pekerja. Selama ini, perempuan utamanya perempuan pelamar kerja tidak mendapatkan jaminan perlindungan hukum atas kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Dikutip dalam laporan singkat Urgensi Ratifikasi Konvensi ILO Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang dikeluarkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, rentannya perempuan menjadi korban karena pengaturan larangan dan sanksi kekerasan dan pelecehan seksual dalam hukum pidana baik hukum pidana khusus dan umum (termasuk di dalamnya pengaturan pidana dalam UU Ketenagakerjaan) telah ada, namun terbatas jenis dan cakupannya.

Sementara di KUHP, tidak diatur secara spesifik tentang kekerasan yang terjadi di wilayah mana, sepanjang  itu terjadi di Indonesia. Pun, dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada pengaturan sanksi dan perlindungan hak perempuan terhadap tindak kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.

Dikarenakan absennya perlindungan hukum yang diberikan negara pada perempuan pekerja, meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menjadi sangat penting. Kerangka Konvensi ILO 190 mendefinisikan pekerja dan tempat kerja secara luas. Dikutip langsung dalam dokumen itu, tepatnya Pasal 2 ayat 1, konvensi ini melindungi pekerja dan orang lain di dunia kerja termasuk pencari dan pelamar kerja. Dalam ayat 2 dilanjutkan, konvensi ini juga berlaku untuk semua sektor, baik swasta maupun publik, baik di perekonomian formal maupun informal, di daerah perkotaan perdesaan.

Pada Pasal 3 ditegaskan, konvensi berlaku untuk pelecehan dan kekerasan di dunia kerja yang terjadi dalam perjalanan, terkait dengan atau timbul dari pekerjaan. Misalnya saja selama perjalanan, pelatihan, acara atau kegiatan sosial yang terkait dengan pekerjaan atau melalui komunikasi terkait pekerjaan, termasuk yang dimungkinkan oleh teknologi informasi dan komunikasi.

Dilansir dari Parapuan, Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR), PhD, periset, aktivis, dan dosen Universitas Gadjah Mada dalam seminar daring Stop Kekerasan di Dunia Kerja pada (29/6) menyatakan, ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 bisa selaras dengan pengesahan RUU PKS sebagai bentuk perlindungan untuk para pekerja di dunia kerja. Dengan begitu, perempuan akan mendapatkan perlindungan hukum menyeluruh dari negara.

Read More
Atlet Paralimpiade

Nasib Atlet Paralimpiade Dianaktirikan oleh Publik dan Media

Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah, atlet paralimpiade baru saja mencetak sejarah bagi Indonesia usai memborong emas Paralimpiade Tokyo 2020. Pada laga final yang digelar di Yoyogi National Stadium, (4/9), keduanya membungkam jagoan asal Tiongkok Cheng Hefang dan Ma HuiHui dengan dua set langsung. Medali emas yang mereka dapatkan sendiri adalah kado pertama untuk Indonesia sejak Paralimpiade Arnhem 1980 di Belanda. Sebuah kemenangan yang akhirnya kita dapatkan kembali setelah puasa selama empat dekade. 

Sayangnya, di tengah gemilangnya prestasi atlet paralimpiade, apresiasi dari publik dan media masih terbilang minim. Buktinya, kemenangan atlet paralimpiade ini bahkan tidak masuk dalam jajaran atas trending Twitter di Indonesia. Berbeda ketika kemenangan Greysia dan Apriani sebelumnya, yang bertengger di trending topic dunia.

Banyak sekali para pengusaha kaya, influencer, pengurus klub, dan para pejabat ikut mengapresiasi prestasi Greysia dan Apriani. Hadiah pun meluncur untuk keduanya. Tak tanggung-tanggung, sejumlah politisi tak tahu malu juga meresponsnya dengan memasang wajah atlet perempuan itu, bersebelahan dengan potret narsis masing-masing. Sebelas dua belas, media pun juga memberitakan kemenangan kedua perempuan ini dengan luar biasa meriah. Pada (3/8) saja misalnya, koran Kompas mempersembahkan satu halaman penuh untuk foto Greysia-Apriyani dengan judul dicetak besar:  “Terima Kasih Greysia/Apriyani”. Kita tentu tak bisa menemukan itu di koran yang sama, usai kemenangan kemenangan Leani/ Khalimatus.

Dalam wawancaranya bersama Kumparan saat bersiap bertanding di 2018 Asian Para Games, Leani sendiri mengungkapkan bagaimana publikasi terhadap atlet-atlet difabel masih dirasa kurang. Leani bahkan mengatakan ada rasa iri yang timbul ketika melihat publikasi atlet normal.

“Publikasi untuk atlet Para Games, kita masih kadang merasa ngiri sama-sama atlet yang di Asian Games. Padahal kita sama”, tuturnya.

Leani menambahkan, betapa minimnya pemberitaan mengenai atlet-atlet difabel, berpengaruh pada pengakuan prestasi mereka di depan publik. Hal ini terlihat dari masih asingnya ia di mata masyarakat daerahnya sendiri, Riau. Tidak jarang bahkan ia diajak ngobrol oleh orang lain yang tidak menyadari bahwa yang ia ajak bicara adalah atlet difabel pembawa emas untuk Indonesia.

Baca juga:  Profil Ni Nengah Widiasih yang Raih Medali Pertama di Paralimpiade Tokyo 2020

Jurnalis Tak Menganggapnya Isu Seksi

Dalam sebuah penelitian An Analysis of the Dissimilar Coverage of the 2002 Olympics and Paralympics: Frenzied Pack Journalism versus the Empty Press Room (2003) yang diterbitkan oleh Disability Studies Quarterly, Anne V. Golden dari Universitas Brigham Young, disebutkan alasan minimnya pemberitaan mengenai paralimpiade. 

Selama Olimpiade ada 9.000 reporter terakreditasi yang meliput 2.399 atlet, dengan rasio 3,75 reporter untuk setiap atlet. Angka ini belum termasuk ribuan reporter yang tidak terakreditasi yang juga datang untuk meliput kompetisi Olimpiade. Selama Paralympic Games, daftar akreditasi berisi 700 nama reporter, fotografer, staf berita televisi, dan teknisi terkait dengan 421 atlet Paralimpiade dengan rasio 1,66 reporter untuk setiap atlet. Dari sedikitnya jumlah reporter yang dikerahkan inilah, Golden kemudian melakukan wawancara mendalam. Dalam wawancaranya bersama 20 reporter, beberapa memvalidasi paralimpiade sebagai kompetisi, tetapi mengaku takkan meliputnya karena faktor penonton.

Pertimbangan nilai berita menurut mereka penting. Topik kemenangan atlet di Olimpiade misalnya lebih memenuhi nilai berita, utamanya di aspek kedekatan (proximity), keunggulan (prominence), dan dampak (impact). Tidak sedikit dari mereka menyatakan para atlet difabel ini “tidak menarik” untuk diliput karena tidak ada yang mengetahui mereka siapa, pun mereka bukanlah selebriti yang layak diangkat beritanya.  

Hal ini pun sejalan dengan temuan penelitian Framing the Paralympic Games: A Mixed-Methods Analysis of Spanish Media Coverage of the Beijing 2008 and London 2012 Paralympic Games (2018) oleh Josep Solves, Athanasios Pappous, Inmaculada Rius, Geoffery Zain Kohe. Penelitian mereka menemukan bagaimana proses editorial sangat berpengaruh dalam liputan berita seputar paralimpiade dengan pandangan editorial yang masih kurang inklusif. Melalui wawancara dengan 15 reporter, semua reporter menjelaskan bagaimana mereka menyarankan topik mengenai pemberitaan paralimpiade dan angle pemberitaan kepada manajer senior di pusat editorial mereka. Namun, pada akhirnya para manajer senior inilah yang memutuskan berita apa yang sebaiknya dipublikasikan.

Baca juga:  Stigma dan Fasilitas Tak Memadai Hambat Pekerja dengan Disabilitas

Kurangnya pemberitaan juga karena adanya anggapan paralimpiade bukan merupakan kompetisi sungguhan. Dua orang reporter Amerika dalam penelitian Golden misalnya mengatakan, bagaimana Olimpiade dan Paralimpiade adalah dua hal yang berbeda dengan level yang berbeda pula. Sehingga, menurut mereka sudah seharusnya Paralimpiade tidak mendapatkan porsi sama dalam pemberitaan. Beberapa reporter bahkan membandingkan Paralimpiade dengan WNBA (Women’s National Basketball Association) dan berbicara tentang keduanya sebagai olahraga yang tidak populer dan berisi pemain amatiran.

Diliput Tetapi Masih Memasang Stereotip

Dalam Paralympics and Its Athletes Through the Lens of the New York Times (2012), Tyndal  dan Gregor Wolbring mengungkapkan bagaimana pemberitaan seputar paralimpiade dan atlet difabel masih sangat lekat dengan stereotip yang sebenarnya meminggirkan mereka, yaitu superscrip.

Narasi ini membingkai atlet difabel sebagai masalah individu yang harus “diatasi” seseorang untuk mencapai kesuksesan. Atlet difabel digembar-gemborkan sebagai “pahlawan super” karena mereka mampu “mengatasi” kecacatan mereka untuk berpartisipasi dalam Paralimpiade. Media sering menggunakan kata “berpartisipasi” bukan “bersaing” ketika menggambarkan Paralimpiade.

Baca juga:Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Oleh karena itu, media seringkali menyajikan acara olahraga disabilitas sebagai cerita human-interest alih-alih kompetisi olahraga tingkat elit. Cerita human-interest menggambarkan disabilitas sebagai tragedi pribadi yang terjadi pada individu secara acak dan mengharuskan mereka untuk beradaptasi. Narasinya menekankan pada bagaimana atlet mengerahkan upaya “manusia super” untuk berhasil melampaui kekurangan dan mereka pantas mendapatkan belas kasihan kita. Selain itu narasi ini juga berkutat pada usaha mereka untuk beradaptasi di tengah keterbatasan.

Erin Pearson, mahasiswa PhD dan Laura Misener Associate Professor And Director, School of Kinesiology, Universitas Western mengungkapkan dalam artikel mereka di The Conversation, bagaimana merayakan atlet paralimpiade dengan narasi “mengatasi” kecacatan mereka untuk “berpartisipasi” dalam olahraga, daripada merayakannya sebagai atlet berkinerja tinggi sebenarnya merendahkan kinerja atletik mereka. Jenis narasi ini mengabadikan gagasan, setiap individu difabel dapat mengatasi kekurangannya jika mereka berusaha cukup keras. Hal ini tentu saja berdampak pada salah kaprah dalam penggambaran pengalaman atlet paralimpiade dan kehidupan sehari-hari orang-orang yang hidup dengan disabilitas yang sebenarnya berbeda.

Read More

‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

Sayaka Osakabe, 37 mengenang pengalaman pahitnya jadi korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Dalam wawancaranya dengan Reuters, 11 September 2014, perempuan Jepang itu mengaku mengalami keguguran tetapi terpaksa kembali bekerja sebagai tenaga kehumasan salah satu majalah dengan jam lembur tiap hari. Ia berharap atasannya meringankan beban kerjanya agar ia tidak akan keguguran lagi, tetapi si bos cuma menyarankan Osakabe untuk tidak perlu punya bayi selama dua hingga tiga tahun lagi.

Ketika akhirnya ia betulan hamil kedua kalinya dan bermaksud mengambil cuti, si bos bertandang ke rumah. Ternyata kedatangan atasannya ke rumah adalah untuk mendorong Osakabe mengundurkan diri dengan dalih ketidakhadirannya “menyebabkan masalah” di perusahaan. 

Apa yang dialami oleh Osakabe adalah fenomena gunung es dari problem diskriminasi gender dalam dunia kerja Jepang. Mengacu pada laporan Global Gender Gap 2021 yang disusun World Economic Forum, Jepang duduk di peringkat ke-120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender. Sejak 2006, mereka turun 40 peringkat. Di sektor swasta, jumlah manajer perempuan naik 7,8% pada 2019, tapi itu masih jauh dari target 30%, yang tenggatnya diam-diam diperpanjang pemerintah Jepang hingga 2030. Di bidang politik, jumlah anggota legislatif perempuan hanya 9,9% dari total anggota di majelis rendah Parlemen. Persentase itu menempatkan Jepang di peringkat ke-166 dari 193 negara. 

Baca juga:  Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Matahara, Kekerasan Perempuan Pekerja Jepang

Salah satu kegagalan pemerintah Jepang dalam menghapus diskriminasi gender tampak dari fenomena sosial matahara (マタハラ). Dikutip dari laman matahara.net, itu gabungan dari kata Bahasa Inggris “maternity” dan “harassment“. Matahara mengacu pada perlakuan tidak adil terhadap pekerja perempuan yang tengah hamil, melahirkan, dan pascamelahirkan. Penyebabnya paling sering karena ada kecemburuan dari para pekerja lain yang terpaksa menggantikan peran perempuan selama ia cuti hamil dan atau melahirkan.

Menurut hasil survei yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Buruh Jepang pada 2015, satu dari setiap lima (20,9%) perempuan pekerja di Jepang pernah mengalami matahara. Dengan kata lain, matahara adalah kekerasan gender yang rentan dialami perempuan manapun di tempat kerja.

Matahara mewujud dalam beberapa jenis tindakan, seperti perundungan, pelecehan kuasa (power harrasment), dan merumahkan paksa. Dalam perundungan, kalimat seperti “Kamu menyebabkan banyak masalah,” “Kamu sangat beruntung bisa ambil cuti,” dan “Kamu egois,” adalah yang paling jamak digunakan.

Matahara juga dilakukan oleh atasan perempuan pekerja melalui power harassment. Dengan otoritas di kantor, para atasan merasa mereka berhak mengontrol tubuh perempuan, termasuk meminta mereka menggugurkan kandungan atau tidak memberikan kelonggaran pekerjaan. Dalihnya, setiap orang harus bekerja semaksimal mungkin untuk perusahaan, tak peduli bagaimanapun kondisinya.

Jenis matahara terakhir berupa merumahkan pekerja secara paksa tanpa persetujuan mereka. Matahara.net mencatat, dari 170 keluhan yang muncul di Jepang sepanjang  2015, mayoritas adalah jenis matahara ini. 

Baca juga:  Jepang Belum Jadi Tempat Aman untuk Perempuan

Peran Gender Tradisional Jadi Dalang

Salah satu akar masalah matahara berasal dari peran gender tradisional yang masih menghantui masyarakat Jepang. Dalam artikel akademik Japanese Gender Role Expectations and Attitudes (2019) yang ditulis Melanie Belarmino dan Melinda R.Roberts dari Universitas Bridgewater State dinyatakan, pondasi pembagian peran masyarakat Jepang didasarkan oleh ide dari ajaran konfusianisme yang menempatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri sebagai peran utama hidup mereka.

Dari sinilah kemudian muncul istilah ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak. Ryousai kenbo yang diciptakan oleh Nakamura Masanao pada 1875, mewakili peran ideal perempuan yang pengaruhnya berlanjut hingga hari ini. Melalui ryousai kenbo , perempuan diharapkan menguasai keterampilan domestik, seperti menjahit, memasak, serta mengembangkan keterampilan moral dan intelektual untuk membesarkan anak-anak yang kuat dan cerdas demi bangsa.

Kumiko Fujimura-Fanselow, profesor pendidikan dan studi perempuan dari Toyo Eiwa dalam The Japanese Ideology of ‘Good Wives and Wise Mother (1991) menjelaskan, selama Perang Dunia II, ryousai kenbo diajarkan untuk mempromosikan kebijakan negara yang konservatif, nasionalistik, dan militeristik guna membantu mengembangkan ekonomi kapitalistik.

Dari akhir 1890-an hingga akhir Perang Dunia II, ryousai kenbo jadi semakin lazim ditemukan di media massa dan sekolah-sekolah putri negeri dan swasta tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat Jepang pun hingga sekarang menginternalisasi peran gender tradisional ini dengan pusat pembagian peran domestik perempuan dan peran publik laki-laki. Artinya, begitu seorang perempuan hamil atau memiliki anak, dia diharapkan meninggalkan pekerjaannya, tinggal di rumah, dan mendahulukan keluarganya. 

Baca juga: Serba Salah Jadi Ibu Pekerja Hari Ini

Laki-laki Rentan Alami Kekerasan Serupa

Matahara sebenarnya tak hanya berdampak pada perempuan, tapi juga pada laki-laki. Adalah patahara (パタハ) atau paternity harrasement, diskriminasi atas peran domestik yang dipilih bapak pekerja saat memutuskan ambil cuti paternal.

Glen Wood, warga negara asing yang bekerja di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities dalam Tokyo Weekender misalnya, menceritakan pengalamannya mengalami patahara. Ia secara bertahap didemosi kemudian dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer ekuitas setelah meminta cuti paternal. Dilucuti dari tanggung jawab manajerial dan dipaksa untuk melakukan tugas-tugas kasar, situasi ini pun mempengaruhi kesehatannya. Setelah mengambil cuti sakit, perusahaan menawarkan kontrak baru dengan penurunan gaji yang signifikan yang ia tolak. Setelah gajinya dihentikan, Wood berbicara kepada pers tapi justru dipecat.

Dari contoh ini, kita perlu awas bahwa hegemoni peran gender tradisional ini tak mengenal jenis kelamin, meskipun perempuan paling rentan. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan di Jepang tidak akan segan mendiskriminasi atau memecat karyawannya secara sepihak atas dalih efektivitas kinerja perusahaan.

Read More
Prof. Etin Anwar

Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Di tengah masyarakat patriarkal, masih relatif banyak orang yang melarang perempuan Muslim berkarier dengan dalih interpretasi agama. Apalagi sesudah menikah, masih ada perempuan yang justru dianjurkan untuk berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik saja, alih-alih bebas memilih sendiri.

Etin Anwar, profesor dari Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat dan penulis buku Feminisme Islam angkat bicara soal ini dalam Webinar bertajuk “Menjadi Wanita Karier dalam Islam”, (3/7).

Berikut kutipan penjelasan Etin Anwar dalam bincang-bincang yang dipandu oleh Hera Diani dari Magdalene tersebut.

Di Indonesia, bagaimana kondisi perempuan dalam dunia karier? Sudah cukup ideal kah kondisi itu menurut Prof. Etin Anwar?

“Untuk melihat sejauh mana baik atau tidaknya, kita bisa lihat melalui gender gap Indonesia yang berada di peringkat 85 menurut World Economic Forum. Dari sini, kita bisa melihat career choice atau career orientation di Indonesia yang masih sangat rendah. Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor [perempuan] juga masih sangat sedikit. 

Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya. Itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi. 

Era emansipasi ini adalah awal era promosi pendidikan di Indonesia. Perempuan mulai mengembangkan dan memperluas peran publik mereka dengan tokoh perempuan pionir di bidang pendidikan, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah. Dari sinilah perempuan yang tadinya tidak mengenyam pendidikan, dapat bersekolah karena dulu pendidikan hanya untuk Belanda dan kaum aristokrat saja. 

Kemudian, kita masuk ke dalam era asosiasi. Dalam era ini, terdapat ekspansi ruang publik perempuan yang cukup besar yang didorong melalui ajaran agama, seperti melalui fastabiqul khairat atau ajakan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Pada era ini, Budi Utomo dan Muhammadiyah menciptakan gerakan perempuannya sendiri, termasuk Putri Mardika dan Aisyiyah. Perempuan dalam era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan. 

Masuk ke era pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki pendidikan dan pilihan karier yang lebih beragam. Hasil era pembangunan sendiri bisa kita lihat dari banyaknya jumlah SD Inpres. Akan tetapi, meski bisa dibilang karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atau atas nama “kodrat”. Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma.

Lalu dalam era integrasi, promosi karier yang saya namakan Islamic sphere jadi area publik. Ini artinya, area publik berangsur-angsur berorientasi pada agama Islam atau Islamic oriented. Tahapan itu tidak lepas dari munculnya “hijau royo-royo”, yakni politik Pak Harto yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. Maka kemudian muncul lah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that

Era terakhir adalah proliferasi. Era ini mempromosikan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai ethical beings. Hubungan semaraknya pendidikan Islam serta integrasi kelompok sekuler dan Islam memicu kemunculan gerakan pembaharuan Islam yang dimotori tokoh-tokoh, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan lainnya. Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent.

Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai karier itu sendiri menurut Prof. Etin Anwar? Karena banyak sekali narasi agama yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Bagaimana cara kita meng-counter narasi semacam ini?

“Nah, narasi agama seperti itu siapa yang menarasikan? Seolah-olah narasi agama itu seragam dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian. Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat. Dari zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah-olah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us. 

Menurut saya, counter-nya adalah dengan memperbanyak orang yang memahami [berbagai interpretasi agama] karena saya mendukung kedewasaan orang untuk memilih dalam beragama. Kalau kita masih terus mengikuti indoktrinasi agama tertentu, enggak selesai-selesai perbincangan mengenai hak perempuan Muslim untuk bekerja. Sementara, masih banyak persoalan lain yang harus kita hadapi.

Lagipula, bagaimana pandangan Islam mengenai karier tidak semata-mata mengenai halal dan haram saja. Kita butuh lepas dari pembacaan Alquran yang bersifat hierarkis. Maksudnya, pembacaan yang cuma mengandalkan kacamata lelaki sebagai imam yang cenderung menganggap posisi mereka lebih tinggi dari perempuan.

Apa yang kita pahami mengenai pesan di dalam Alquran dan ajaran agama Islam itu sendiri adalah tentang mempertahankan relasi kuasa melalui ayat-ayat tertentu. Misalnya, [Surat] An-Nisa yang ditafsirkan banyak orang memberi pesan adanya kepemimpinan absolut laki-laki. Padahal, kita juga perlu memahami Alquran juga memberikan kesejajaran relasi gender. Misalnya, tentang keluarga sakinah mawadah wa rahmah dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, yang bisa kita lihat dalam Surat Ar-Rum ayat 21.

Lalu, bagaimana menurut Prof. Etin Anwar dengan dilema perempuan yang harus mempertimbangakan kariernya karena ada pemahaman agama bahwa perempuan harus patuh pada suami? Apakah perempuan tidak bisa lepas dari hegemoni pemikiran laki-laki sebagai imam?

Perempuan itu kebanyakan punya pertimbangan ya, jika ingin melanjutkan kariernya, terutama yang sudah berkeluarga. Biasanya mereka mau promosi jabatan pun harus menanyakan pendapat suami. Namun, harus diketahui Allah sangat menghendaki tiap makhluknya termasuk perempuan untuk mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin.”

Kesejajaran relasi di dalam Alquran juga bisa dilihat dari ayat Ati’ullaha Wa Ati’ur Rasul pada An-Nisa ayat 59 yang menegaskan bahwa ketaatan kita sebagai Muslim hanya pada Allah dan Rasul, bukan kepada laki-laki atau dalam relasi keluarga itu suami. 

Jadi, karier perlu dipahami sebagai wacana yang selalu bergerak dengan tujuan tunggal bahwa perempuan berperan di ruang publik adalah bentuk ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Ini juga bentuk usahha dirinya menyebar kebaikan dan manfaat bagi alam semesta, sebagai bagian dari misi manusia yang telah dijelaskan di dalam kitab suci.

Pertanyaan terakhir, karier disebutkan di awal sebagai produk kapitalisme dan kolonialisme. Apakah model tersebut sudah cukup Islami, atau kita hanya melanjutkan produk kapitalis saja?

Kata Shahab Ahmed dalam bukunya What is Islam, yang memberikan kita label Islam ya kita sendiri. Misalnya, karier saya sebagai guru saya katakan Islamic karena I think so. Sama halnya dengan terorisme, apakah itu Islamic? Kalau orang itu percaya itu Islamic, ya itu Islami. Jadi menurut Ahmed, agama Islam itu individualis bergantung pada masing-masing orang secara spesifik.

Betul, karier itu produk kapitalisme dan kolonialisme tetapi cara keluar dari lingkaran itu tak cukup dengan retorika agama saja, karena Allah menginginkan orang Islam itu kuat secara ekonomi. Dalam sejarah Islam pun, Rasul hijrah ke Madinah untuk memperjuangkan Islam dalam rangka apa? Dalam rangka livelihood. Ketika Nabi menyatukan Makkah dan Madinah, apakah enggak ada konsiderasi ekonomi? Tentu ada. 

Jadi kita enggak bisa melihatnya hitam-putih, we have to make it as Islamic. Balik lagi ke tujuannya, niatnya, Rasul ketika itu juga enggak berbicara dari haram atau halal, do and don’ts. Lebih fleksibel, kalo enggak ya Islam enggak akan mudah diterima.  

Jasmine Floretta V.D. adalah pecinta kucing garis keras yang gemar menghabiskan waktunya untuk membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Read More
Nissa Wargadipura

Nissa Wargadipura Pimpin Pesantren Ekologi, Dorong Pelestarian Lingkungan

Krisis lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian perempuan. Pasalnya, mereka merasakan betul dampaknya dalam keseharian. Dalam feminisme kemudian lahir aliran ekofeminisime yang menyoroti persoalan lingkungan dan kaitannya dengan permasalahan perempuan di berbagai tempat.

Adalah Nissa Wargadipura, seorang ekofeminis muslim yang teguh berjalan dalam perjuangannya di bidang pemulihan ekologi. Dia adalah pendiri dari dua sekolah ekologi di Indonesia, yakni Pesantren Ekologi Ath-Thariq di Garut, Jawa Barat, yang berdiri pada 2008, dan Sekolah Ekologi Indonesia di Aceh yang berdiri pada tahun 2018.

Dedikasi Nissa Wargadipura dalam pemulihan ekologi didukung oleh pengalaman dia yang sempat menjadi murid akademisi dan aktivis lingkungan dari India, Vandana Shiva di University of the Earth pada tahun 2016. Di samping itu, Nissa juga pernah melakukan pendampingan para petani semasa Revolusi Hijau yang diberlakukan pada masa Orde Baru.

Melalui acara Instagram Live Magdalene, Bisik Kamis (22/04) bertajuk “Beriman Tapi Mengapa Tidak Menjaga Lingkungan”yangdipandu oleh Tabayyun Pasinringi, Nissa Wargadipura membagikan berbagai pengalaman dan pandangannya mengenai pemulihan ekologi dan kaitannya dengan ajaran agama Islam.

Magdalene: Apa yang membuat Kak Nissa Wargadipura tertarik masuk ke isu lingkungan sampai berinisiatif membuat dua sekolah dengan tema ekologi?

Nissa Wargadipura: Jalan saya terlalu panjang untuk menceritakan sampai di sini. Berasal dari berbagai pengalaman saya, utamanya pada saat itu berawal dari konflik agraria, kemudian saya melihat bahwa di tataran petani, di tataran masyarakat Indonesia mulai ada sistem Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau ini adalah sebuah sistem yang sangat terlihat secara nyata telah melakukan kerusakan di wilayah ruang hidup kita. Contohnya penggunaan pestisida. Pergaulan saya melalui pendampingan petani-petani menemukan langsung dampak-dampak kerusakan ekologi dari Revolusi Hijau itu.

Kita melihat bahwa tanah yang kemudian menjadi gersang karena terlalu banyak pupuk, petani-petani juga banyak merugi juga karena sistem pertaniannya monokultur. Sementara, monokultur itu sebenarnya sangat merugikan sekali dalam sistem pertanian karena tidak memberikan perlindungan pada tanaman monokultur itu sendiri, sehingga rentan sekali gagal panen. Kerugian yang lain selain kegagalan panen adalah hilangnya keanekaragaman hayati.

Mulai dari sana, saya mendapatkan bukti-bukti nyata dari kerusakan Revolusi Hijau yang kemudian membuat saya akhirnya mencari jalan yang teguh di pemulihan ekologi.

Itu juga yang mendorong Kak Nissa Wargadipura membuat sekolah?

Iya, karena sekolah itu tempat orang belajar. Kenapa berbasis ekologi? Karena ekologi kan membicarakan soal ekosistem. Ekosistem sendiri membicarakan keanekaragaman hayati,  tumbuh-tumbuhan, sebuah fase di mana anak-anak tidak tahu bagaimana bentuknya kunang-kunang, tidak tahu bentuknya kupu-kupu, tidak tahu asal mulanya.

Saya punya kepentingan dengan anak-anak saya. Jadi panggilan saya mengenalkan berbagai macam tanaman, yang diturunkan dari ibu saya ke saya, harus turun lagi ke anak-anak saya.

Sekolah ekologi itu adalah tempat anak-anak secara terbuka, secara merdeka melakukan pembelajaran kontekstual. Dengan begitu, mereka dapat dengan baik mencari masalahnya sendiri.

Bagaimana contoh penerapan pemeliharaan lingkungan diterapkan di sekolah/pesantren Kak Nissa Wargadipura?

Di lingkungan pesantren, kami menumbuhkan berbagai macam tanaman dan menjaga supaya lingkungan tetap bersih. Karena jika lingkungan bersih, orang-orangnya akan sehat. Jika sampah berserakan di mana-mana, itu akan menimbulkan penyakit.

Sehubungan dengan itu, kami selalu memberitahukan tamu atau anak-anak santri sejak awal bahwa kami tidak menerima sampah plastik. Kalau mau berkunjung ke tempat kami, Anda harus menyiapkan tempat minum sendiri, piring sendiri, air disediakan oleh kami. Kalaupun Anda datang membawa plastik, mohon dibawa kembali plastiknya. Karena kami mengajarkan anak-anak santri bahwa jika plastik dan sampah tidak dibuang pada tempatnya, tidak diorganisasi dengan baik, maka itu akan menimbulkan sistem yang tidak terkendali dan kemudian menjadi kebiasaan-kebiasaan yang menurut kami sangat rentan. Kebiasaan-kebiasaan itu yang harus diurus oleh kami sebagai pelaku pengajar. Penting sekali dan sangat mendasar, karena lingkungan kita adalah citra kita, adalah karakter kita.

Read More

Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Secara global, dibutuhkan sekitar 99,5 tahun untuk mencapai kesetaraan gender secara optimal. Hal ini dinyatakan World Economic Forum (WEF) berdasarkan data Global Gender Gap Report 2020 yang mereka kumpulkan dari 153 negara.

Perjalanan panjang mewujudkan kesetaraan gender diakibatkan masih besarnya kesenjangan gender di berbagai subindeks. Dalam penelitian WEF, ditemukan bahwa kesenjangan gender paling terlihat pada subindeks Politik dan Ekonomi. Tercatat hanya 24,7 persen kesenjangan gender yang bisa tertutupi pada subindeks ini dengan hanya hanya 25 persen dari 35.127 kursi global ditempati oleh perempuan, dan hanya 21 persen dari 3.343 menteri perempuan. Bahkan di beberapa negara, perempuan tidak terwakili sama sekali.

Kesenjangan gender juga masih terjadi pada subindeks Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi Berusaha. Dalam subindeks ini, tercatat hanya 55 persen perempuan yang bekerja di pasar tenaga kerja, dengan hanya 36 persen dari mereka yang menjabat manajer senior sektor swasta dan pejabat sektor publik.  Hal ini diperparah dengan adanya lebih dari 50 persen kesenjangan upah.

Dari indeks secara keseluruhan (Politik, Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan), Indonesia menempati posisi 85. Keterwakilan perempuan di parlemen menurun (17,4 persen turun dari 19,8 persen), begitu juga di kabinet (24 persen, turun dari 26 persen). Di samping itu, partisipasi angkatan kerja perempuan masih cenderung stagnan, yaitu 54 persen dengan hanya 40,1 persen perempuan yang menduduki posisi strategis dan posisi yang membutuhkan tenaga profesional.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Budaya Patriarki, Tantangan Utama Atasi Kesenjangan Gender

Dalam diskusi bertajuk “Pemimpin Perempuan: Mengapa Penting?” yang diselenggarakan oleh Jalastoria Indonesia pada Jumat (26/21), Nur Aini, Ketua Serikat Sindikasi yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa hal yang menjadi tantangan utama dalam merealisasikan kesetaraan gender di Indonesia adalah karena masih mengakarnya budaya patriarki di masyarakat. Hal ini melanggengkan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki.

“Budaya patriarki inilah masalahnya, [lingkungan kerja] masih maskulin, kepemimpinan perempuan masih dipertanyakan,” ujar Nur Aini.

“Pertanyaan bagaimana perempuan membagi waktu ke keluarga, lalu bagaimana jika mereka hamil, bagaimana nanti kalau harus rapat sampai malam, pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan kepada perempuan ini sebenarnya tidak bersifat substansial dan tidak pernah dipertanyakan kepada laki-laki.”

Menambahkan pendapat Nur Aini, Masruchah, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan dan Dewan Pengawas Indonesian Feminist Lawyer Club mengatakan bahwa kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik masih menjadi tantangan besar yang sulit dikikis.

“Di hadapan publik, masyarakat meyakini bahwa rumah urusan perempuan. Hal ini terlihat dari bagaimana UU Perkawinan juga secara jelas membagi peran gender perempuan dan laki-laki, bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, dan perempuan adalah seorang ibu rumah tangga,” kata Masruchah.

Menurutnya, konstruksi sosial ini memiliki sumbangsih besar pada pemberian beban sepihak dan ekspektasi berlebihan kepada perempuan.

“Dalam pandangan publik, sering kali perempuan itu diharuskan lebih sukses dua kali lipat dari laki-laki. Mereka harus bisa sukses dalam mengurus keluarganya, dan mereka harus bisa sukses juga di ruang publik, dari situ perempuan baru dianggap layak menjadi pemimpin,” imbuh Masruchah.

Hak Pekerja Perempuan Terabaikan

Di samping itu, tantangan lain yang menghambat penurunan kesenjangan gender di Indonesia ialah masih disepelekannya hak-hak perempuan sebagai pekerja

“Hak-hak pekerja perempuan masih banyak yang belum dipenuhi. Misalnya, saya bekerja di Tempo sejak 2008, tapi status saya masih kontrak. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas batasnya [status kerja kontrak] tiga tahun,” papar Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas dalam diskusi tersebut.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

“Posisi sebagai pekerja kontrak, kontributor, atau koresponden membuat pekerja tidak diberikan gaji tetap, dan tidak punya cuti haid atau melahirkan. Ukuran batasan jam kerja juga enggak ada. Mau kamu sedang hamil atau sedang haid, ya kalau kamu enggak kerja, kamu enggak akan dapat gaji,” Ika menambahkan.

Tidak hanya hak khusus perempuan dan status kerja yang tidak pasti saja yang masih menyandung perempuan pekerja. Ika mengatakan bahwa bagi jurnalis perempuan, ketidakadilan dan kekerasan gender yang mereka alami lebih berlapis. Mereka juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam meliput atau dalam perjalanan meliput berita. Hambatan-hambatan seperti inilah yang membuat jurnalis perempuan lebih sedikit.

“Kalaupun ada biasanya hanya bertahan sampai lima tahun bekerja. Kalau sudah menikah dan punya anak, mereka pasti akan berhenti sebagai jurnalis,” kata Ika.

Hal ini kemudian berdampak pada miminmya perempuan menjabat di posisi struktural. Posisi perempuan di dalam media pun terlihat seperti piramida, semakin ke atas jumlah mereka semakin sedikit.

Affirmative Action Solusi Kesenjangan Gender

Salah satu jalan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang publik adalah dengan membuat affirmative action. Hal ini merupakan kebijakan khusus untuk meningkatkan representasi kelompok termarginalkan seperti perempuan.

Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, seharusnya affirmative action tatarannya tidak hanya terfokus pada tataran legislatif, tetapi juga di ranah ranah lainnya.

“Butuh ada evaluasi gerakan perempuan dalam affirmative action. Dengan begitu, jika kita berbicara mengenai bagaimana caranya memosisikan perempuan dalam posisi-posisi strategis, kita bisa beralih dari birokrasi ke lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, bahkan private sector,” kata Mike.

Ia berpendapat, upayamembuat affirmative action di luar ranah legislatif juga mampu mendorong penghentian anggapan keliru mengenai keadilan dan kesetaraan gender secara lebih luas. Di tubuh pemerintahan dan badan negara saja, isu gender masih kerap dipandang sebagai persoalan tunggal perempuan semata, bukan kepentingan bersama.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mendorong Perempuan Menjadi Pemimpin

Nur Aini mengatakan bahwa affirmative action di lintas sektor dapat dimulai dengan hal termudah, yaitu dengan mendorong kepercayaan diri perempuan dan meyakinkan mereka bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Hal ini perlu dibarengi  dengan memberikan kesempatan pada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Menurut dosen Ilmu Politik FISIP dan Pascasarjana Kajian Gender UI, Dr. Nur Iman Subono, mendorong kepercayaan diri perempuan ini begitu penting karena perempuan telah mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa mansplaining dalam ruang kerja, atau perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan aspirasi atau ide-idenya.

“Mendorong kepemimpinan perempuan sangat penting, karena sebelum mencapai substantive representation, number representation harus terpenuhi terlebih dahulu untuk membantu tercapainya kesetaraan dan keadilan gender,” kata Nur Iman.

Masruchah memandang, dibandingkan gaya kepemimpinan laki-laki, gaya kepemimpinan perempuan terbukti lebih berorientasi pada kesejahteraan bersama.

“Umumnya, model kepemimpinan perempuan baik di organisasi atau parlemen punya gaya transformasi, mencoba banyak mendengarkan, memberikan ruang baik bagi tim kerja mereka, basis sosialnya untuk mendialogkan. Sementara laki-laki, karena sejak kecil dilihat seorang individu yang super dan berdaya, sering kali ketika dia mempimpin cenderung hierarkis, dengan cara memerintah dan menugaskan seseorang,” papar Masruchah.

Selain itu ia menilai, pemimpin perempuan lebih banyak memberi motivasi pada tim kerjanya karena ia ingin maju bersama.

“Mereka yang biasanya memulai ruang berbagi, ruang mendengar. Laki-laki pada umumnya mau maju sendiri, ‘aku bisa lho’. Kalau perempuan tidak, perempuan bergerak secara perlahan namun pasti, ‘aku bisa melakukan perubahan-perubahan ini bersama-sama’,” ujarnya.

Read More
anak perempuan pemimpin

4 Cara Mendidik Anak Perempuan Sejak Dini Untuk Jadi Pemimpin

Sedari kecil, anak-anak perempuan Indonesia kerap dididik untuk menjadi seseorang yang nantinya akan menjadi pendamping laki-laki yang akan jadi pemimpin keluarganya sehingga mereka diajarkan untuk patuh dan kerap kali dibungkam suaranya. Dampak dari pola pendidikan kepada anak perempuan seperti ini menjadikan mereka sebagai sosok yang pasif atau pengikut alih-alih sebagai seorang pemimpin. Hal ini sangat berdampak pada keberhasilan pembangunan sumber daya manusia berkelanjutan di Indonesia.

Berdasarkan Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) pada 2019, dinyatakan bahwa Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, terendah ketiga se-ASEAN. Lebih lanjut, di dalam laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan UN Women per September 2020, dinyatakan bahwa perempuan Indonesia bahkan memiliki pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki dan perempuan hanya menempati seperempat dari pekerjaan manajerial dan penyelia yang bergaji tinggi.

Untuk memperbaiki situasi tersebut, diperlukan adanya perubahan mulai dari level terkecil masyarakat, yakni keluarga.  Para orang tua memiliki andil besar untuk mengajarkan anak-anak perempuannya untuk berani bermimpi akan menjadikan mereka sadar bahwa mereka berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Mereka pun perlu diyakinkan bahwa kesempatan untuk meraih beragam hal dapat terbuka sebagaimana hal ini dirasakan oleh anak-anak laki-laki.  

Bagaimana cara orang tua dapat mendidik anak perempuan untuk jadi pemimpin di kemudian hari

1. Bebaskan anak memilih mainannya

Hal pertama dan krusial yang dapat kita lakukan adalah menerapkan permainan bebas gender. Seperti dikatakan oleh feminis kelahiran Inggris, Ann Oakley, perempuan telah dibentuk sesuai dengan peran gendernya mulai dari pemberian mainan kepada mereka sejak kecil. Mereka diberikan boneka atau mainan masak-masakan dan dilarang memainkan mainan khusus laki-laki seperti mobil.

Dari sinilah sebenarnya anak perempuan sudah mulai menginternalisasi peran gender tradisional sesuai ekspektasi masyarakat. Maka dari itu, para orang tua dan orang dewasa perlu membebaskan anak dalam memilih mainan mereka sejak kecil. Ini bertujuan supaya mereka tidak terpaku pada pembagian peran gender kaku yang kelak menghambat mereka bercita-cita dan meraih kesempatan seperti yang dimiliki laki-laki.

2. Ceritakan tentang sosok-sosok perempuan pemimpin

Selain membebaskan mereka dalam memilih mainan sendiri, hal selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah dengan mulai memperkenalkan anak perempuan pada sosok-sosok perempuan pemimpin. Orang tua bisa menceritakan tentang tokoh-tokoh perempuan pemimpin yang berada dalam lingkungan keluarga, pesohor lokal maupun internasional, atau perempuan pahlawan.

Dibanding menceritakan tentang sosok-sosok putri dalam banyak dongeng yang menunggu laki-laki penyelamat hadir dalam hidupnya, anak perempuan dapat menyerap lebih banyak nilai positif yang mendorong kepemimpinan mereka kelak dari cerita tentang teladan tokoh perempuan tadi.

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Selain itu, dengan memperkenalkan mereka pada tokoh perempuan pemimpin, kita dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas dengan anak perempuan mengenai kepempimpinan itu sendiri. Dari sinilah kita dan anak akan mengeksplorasi lebih jauh definisi dari kepemimpinan perempuan.

Dengan demikian, kepemimpinan tidak lagi dilihat sebagai sebuah peran gender tertentu saja. Hal itu bisa dipandang sebagai suatu sikap yang kita ambil untuk menemukan jalan keluar atas suatu masalah dan menemukan kekuatan kita sendiri.

Kepemimpinan perempuan pun tidak hanya terbatas mengenai bagaimana perempuan menjadi seorang pemimpin.  Tetapi, hal ini juga tentang bagaimana seorang perempuan memanfaatkan nilai-nilai feminin–yang sering kali dipandang sebagai kelemahan oleh banyak orang–yang dimilikinya sebagai suatu kekuatan. Misalnya, terkait nilai empati yang bisa membuahkan hasil positif ketika seseorang bekerja sama dengan orang lain atau saat hendak mengakomodasi kebutuhan sesama gendernya atau orang-orang termarginalkan.

3. Ajari mereka untuk berani bersuara

Setelah mengajarkan anak perempuan tentang tokoh-tokoh perempuan pemimpin dan berdiskusi bersama mereka tentang kepemimpinan perempuan, hal yang kemudian yang dapat kita lakukan adalah mengajarkan mereka untuk berani bersuara.

Keberanian bersuara merupakan kemampuan pemimpin yang krusial. Hal ini dikarenakan kemampuan komunikasi yang baik akan menciptakan sosok pemimpin yang mampu mengubah dan mendorong perubahan di dalam hidupnya sendiri dan juga orang lain. Bagi anak perempuan, keberanian bersuara atau mengungkapkan pendapat penting diajarkan sejak kecil karena di banyak lingkungan kerja, suara perempuan masih sering disepelekan atau bahkan diinterupsi oleh bos atau rekan laki-laki hanya karena gender mereka. Padahal, gagasan mereka tidak kalah baik dibanding lawan jenisnya.

Jadi, ajari anak perempuan untuk berani dalam menyuarakan pendapatnya, apa pun itu. Apakah pendapat mereka bisa diterima atau tidak itu adalah urusan lain, namun yang terpenting adalah memberikan kesempatan bersuara agar mereka percaya diri untuk melakukan hal serupa di masyarakat nantinya. Berikan anak perempuan pengertian bahwa selama kita tidak berani bersuara atas diri kita sendiri, maka perubahan tidak akan pernah dapat dicapai, termasuk perubahan atas situasi tidak adil yang sering menimpa perempuan.

4. Dorong anak perempuan berpikir logis dan kritis

Membiasakan anak perempuan untuk berani bersuara adalah satu hal, tetapi yang tidak boleh dilepaskan dari pendidikan tersebut adalah melatih mereka untuk berpikir logis dan kritis dengan cara mendorong rasa ingin tahu mereka.

Melatih anak untuk berpikir logis dan kritis memang bukan hal mudah, apalagi dengan adanya budaya patriarkal di Indonesia yang mengajarkan anak perempuan untuk patuh dan menelan mentah-mentah ajaran orang dewasa, terutama laki-laki. Akan tetapi, hal ini tetap dapat diupayakan dengan cara mencoba menjawab setiap pertanyaan yang muncul dari rasa penasaran mereka. Bila kita tidak mampu menjawabnya, kita bisa mengajaknya bersama mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, internet, atau pendapat pakar dan orang berpengalaman.

Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Menjaga api keingintahuan anak penting karena hal tersebut akan menjadi motor penggerak mereka dalam mempelajari banyak hal baru. Mereka pun akhirnya akan terbuka untuk ide-ide dan cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Tidak hanya itu, dengan mendorong rasa ingin tahu mereka, anak-anak perempuan nantinya akan terbiasa untuk berpikir logis dan kritis menyangkut suatu kejadian atau situasi yang mereka alami sehingga mereka tidak akan serta merta membeo saja pada pernyataan mayoritas orang. Hal inilah yang nantinya dapat mendorong anak perempuan jadi pemimpin yang cekatan dan dapat mengambil keputusan atau solusi yang tepat karena logika berpikir mereka sudah terbentuk dengan baik.

Jasmine Floretta V.D adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI  dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.

Read More