kesetaraan gender di kantor

Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Perempuan yang masuk ke ranah kerja sudah bukan hal yang asing di Indonesia, namun perempuan masih dihadapkan dengan stigma tidak bisa bekerja seefektif seperti laki-laki karena dibebani tugas-tugas rumah tangga. Selain itu, perempuan juga masih menghadapi diskriminasi berlandaskan nilai patriarkal, seperti kesulitan mencapai posisi kepemimpinan karena dinilai sebagai ranah laki-laki, hingga tidak menerima insentif finansial tambahan akibat dianggap bukan pencari nafkah utama atau kepala rumah tangga.

“Ada perbedaan kesempatan perjalanan karier karena masih banyak yang diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Alasannya karena dinilai kurang produktif, fokus, dan harus mengurus anak dan keluarga,” ujar Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE), pada Women Lead Forum 2021 (7/4), yang diadakan oleh Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia.

Maya menambahkan, kesenjangan gender juga masih ditunjukkan dengan kurangnya representasi perempuan dalam posisi pemimpin senior di sebuah perusahaan.

“Angka perempuan menduduki posisi CEO kurang dari 5 persen, padahal perempuan lulusan perguruan tinggi mencapai 57 persen. Ketika masuk kerja angka menjadi 47 persen, dan terus turun mencapai 20 persen ketika masuk level middle management,” ujarnya.

Meski demikian, menurut hasil riset The Business Case for Women in Business and Management In Indonesia (2020), yang dilakukan oleh IBCWE, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Investing in Women, 77 persen perusahaan di Indonesia sangat setuju dengan keberagaman gender di tempat kerja karena mampu memperbaiki performa bisnis. Persentase tersebut menjadi yang paling tinggi di Asia dan wilayah Pasifik.

Agar tercipta ruang kerja profesional yang setara, menurut Maya, komitmen kesetaraan gender di kantor akan memberikan ruang ramah perempuan harus dimulai dari posisi paling atas sebuah perusahaan atau top to bottom.

“Pemimpin perusahaan kemudian harus mengkomunikasikan kepada pekerja dan manajemen. Karena ada juga CEO dukung perempuan tapi level manajemen tidak mendukung, jadi tidak mengalir ke bawah,” ujarnya.

Baca juga: Marta Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Cara Perusahaan Indonesia Dukung Pemimpin Perempuan di Tempat Kerja agar Terciptanya Kesetaraan Gender

Suzy Hutomo, Executive Chairperson dan Owner The Body Shop Indonesia, mengatakan, pihaknya membuka lebar kesempatan agar perempuan bisa terus berkarier hingga posisi pemimpin. The Body Shop juga hanya merekrut calon pekerja yang terlepas belenggu nilai  patriarkal dan tidak mendiskriminasi perempuan, ujarnya.

“Dalam jajaran board director, dari delapan orang ada empat perempuan, termasuk saya. Kami sangat mempersilakan perempuan menjadi direktur karena fokus pada gender balance,” kata Suzy.

Ia mengatakan, isu perempuan di level pemimpin senior tidak lepas dari isu sistemis. Karenanya, perusahaan harus memperhatikan pertimbangan lain yang dimiliki perempuan untuk menerima dan menolak posisi pemimpin. Misalnya, seorang perempuan yang menolak pindah ke daerah lain untuk menduduki posisi direktur karena keluarga.

“Itu juga pilihan dia dan kita harus menghargai itu,” kara Suzy.

CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi mengatakan, kesetaraan gender di kantor atau tempat kerja untuk Citi secara global berangsur-angsur baik. Jika pada 2007 hanya Citi di tiga negara yang memiliki country head perempuan, sekarang ini jabatan tersebut telah diisi perempuan di lebih dari 20 negara.

Dalam Citi Indonesia sendiri ada 57 persen pekerja perempuan dan 43 persen laki-laki, ujarnya. Meskipun begitu, Batara memiliki fokus pencapaian tersendiri agar perempuan di posisi senior, seperti vice president, senior vice president, director, dan managing director mencapai 53,6 persen tahun ini, naik dari 52,8 persen pada tahun sebelumnya. Upaya peningkatan tersebut merupakan bentuk nyata agar kesetaraan gender di kantor terlembagakan dalam sebuah perusahaan, ujarnya.

“Kita ingin memberikan diversity, inclusivity, dan equity. Kalau ada yang bicara perempuan kurang dari laki-laki itu perlu dihapuskan. Jadi ini harus terlembagakan agar tidak dipandang sebagai tokenisme perempuan di posisi strategis,” ujarnya.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

Aturan Kerja yang Fleksibel Dukung Perempuan Berkarier

Maya mengatakan banyak perusahaan yang telah mengupayakan ruang setara dalam ranah profesional, melalui kebijakan. Namun, implementasinya masih belum maksimal karena ketidaktahuan personil perusahaan atas kebijakan tersebut atau dinilai masih kurang penting, ujarnya.

Selain itu, upaya kesetaraan gender di kantor yang dilakukan masih sering melupakan pengalaman berbeda  yang dimiliki perempuan dengan laki-laki, sehingga berpengaruh pada keputusan mereka mengambil posisi strategis dalam ruang kerja, kata Maya. 

Ia mengatakan, ketika kesempatan menduduki posisi pemimipin yang setara hadir, perempuan cenderung mempertimbangkan apakah dirinya telah memenuhi kriteria seorang pemimpin. Dan jika merasa tidak memenuhi syarat, maka ia akan mempertimbangkan lagi kesempatan itu. Hal ini menunjukkan, perempuan lebih perfeksionis karena sering dituntut untuk mampu multitasking, ujar Maya.

“Menurut saya, penting perusahaan menyadari beban psikologis perempuan akibat cara kita dibesarkan. Karena equal opportunity saja tidak cukup, harus ada affirmative action. Harus proaktif dalam mendukung perempuan naik ke level atas,” ujarnya.

Batara mengatakan, rasa ragu untuk mengambil posisi pemimpin juga dipengaruhi dari generasi seseorang berasal. Generasi milenial dan Z merasa lebih percaya diri dan tidak ragu mengambil kesempatan pemimpin karena menilai itu sebagai hak dan juga dibesarkan dengan cara pandang yang lebih setara. Hal tersebut berbanding terbalik dengan generasi X yang harus didukung oleh kebijakan perusahaan yang proaktif, ujarnya.

“Generasi X mungkin masih tradisional dan konservatif dalam memandang sesuatu, maka kebijakan setara lebih bermanfaat untuk mereka. Generasi milenial dan Z langsung go for it saja. Mereka lebih muda, mengglobal, dan itu kultur mereka,” tambahnya.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Selain affirmative action, Maya menilai regulasi untuk mencegah kekerasan berbasis gender, kekerasan rumah tangga, dan pelecehan seksual harus diberlakukan. Suzy mengatakan dalam sebuah organisasi atau perusahaan besar perlu dilakukan pendekatan dan survei agar mengetahui apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual. Selain itu, edukasi tentang apa itu kekerasan dan pelecehan seksual menjadi penting.

“Kadang ada yang menjadi korban, merasa tidak nyaman, tapi tidak tahu itu pelecehan dan harus bertindak atau melapor ke mana,” ujar Suzy.

Menurut Maya, regulasi lain yang perlu diimplementasikan adalah aturan lebih fleksibel dalam pembagian tugas kerja atau flexible work arrangements policy yang mendukung perempuan menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kariernya.

“Buktinya saat pandemi dan semua harus kerja fleksibel ternyata kita bisa melakukan itu, ini sangat membantu perempuan,” katanya.

Read More

Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Ketika Nyoman Anjani mencalonkan diri sebagai Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2013, ia adalah calon perempuan satu-satunya. Sejumlah pihak kemudian melancarkan oposisi karena mereka menganggap perempuan tidak seharusnya memimpin.

“Jadi pemilihan umumnya berlangsung cukup sengit persaingannya karena ada beberapa kalangan yang berpandangan seperti itu,” kata Nyoman, yang sekarang menjadi peneliti bidang manufaktur di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA).

Meski menghadapi situasi seperti itu, Nyoman mengatakan mahasiswa ITB cenderung berpikiran terbuka sehingga ia terpilih secara adil dan demokratis.

“Untuk calon lainnya, beliau menerima kekalahan dengan lapang dada ketika saya terpilih. Ketika masa pemerintahan Kabinet KM ITB sudah berjalan, para mahasiswa ITB cenderung lebih ​open minded​ dan menjalani masa kepengurusan tersebut bersama-sama,” kata Nyoman.

Ia mengatakan bahwa peran perempuan khususnya pemimpin di organisasi sangat signifikan dalam menyeimbangkan pengambilan keputusan.

“Perempuan akan memberi keseimbangan dalam proses analisis suatu masalah karena memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki,” ujarnya. 

Senada dengan Nyoman, Putri Indy Shafarina, Presiden Girl Up di Universitas Padjadjaran, sebuah gerakan pemberdayaan perempuan di kampus-kampus Indonesia, mengatakan, perempuan pemimpin mampu memperjuangkan kebutuhan perempuan secara maksimal. Misalnya, membuat peraturan anti-kekerasan seksual di tingkat universitas hingga dukungan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 

“Perempuan dalam posisi d​ecision making​ juga mampu mengambil keputusan dan kebijakan yang lebih inklusif,” ujarnya kepada Magdalene.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi

Studi berjudul ​Why We Lead: Reflections of Female Student Government Presidents ​(2010) oleh Jennifer M. Miles, akademisi bidang pendidikan di University of Arkansas, AS, menyatakan posisi kepemimpinan dalam organisasi kampus mengasah kemampuan dalam menjadi delegasi atau representatif sebuah institusi.

Sementara itu, hambatan yang dialami mengacu pada kesulitan dalam manajemen waktu, memisahkan hubungan personal serta profesional ketika bekerja dengan teman, dan memenuhi ekspektasi maupun menyelesaikan masalah sesama mahasiswa. 

Shafarina berpendapat, tantangan lain yang dihadapi  perempuan pemimpin berkaitan dengan bias gender.

“Perempuan dipandang sebelah mata, dipertanyakan kompetensinya, dianggap tidak kompeten (tidak seperti laki-laki) dan dianggap terlalu emosional sehingga tidak tegas dalam mengambil keputusan,” ujar mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi tersebut. 

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Stigma yang dilekatkan pada perempuan tersebut mampu berdampak pada tingkat kepercayaan anggota suatu organisasi. Ia mengatakan, cara untuk menyikapi pandangan negatif tersebut dengan membuktikan bahwa perempuan juga berkompeten, bahkan tidak kalah dari laki-laki dan gender tidak bisa menjadi tolak ukur penilaian kompetensi seseorang menjadi pemimpin. 

Jadi Perempuan Pemimpin di Organisasi Kampus Bantu dalam Karier 

Shafarina mengatakan, karakter kepemimpinan di ranah universitas berbeda dengan yang terjadi di ranah sekolah, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), karena mahasiswa memiliki pemahaman politik lebih besar. Selain itu, pemahaman mahasiswa perempuan di posisi strategis akan hambatan karena bias gender mampu membantu mereka untuk menjadi lebih kuat ketika mengambil posisi tersebut di ranah kerja, ujarnya.

“Kesempatan untuk jadi perempuan pemimpin adalah hal yang tidak bisa didapatkan semua orang. Adanya kesempatan langka itu mampu membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang meningkat ketika menapaki karier profesional,” jelasnya. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin bisa memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan.”

Selaras dengan pendapat tersebut, penelitian bertajuk ​Am I A Leader? Female Students Leadership Identity Development​ (2018) oleh Brenda L. McKenzie, akademisi dari Vanderbilt University, AS, yang berfokus pada isu kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi menyatakan, salah satu upaya yang diinginkan perguruan tinggi adalah membangun mahasiswa untuk mampu menjadi pemimpin. Kemampuan tersebut sangat penting untuk mahasiswa perempuan agar mereka mengetahui tantangan kepemimpinan yang akan dihadapi setelah menapaki jenjang yang lebih jauh dari perguruan tinggi. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin mampu memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan,” tulis McKenzie. 

Melengkapi pernyataan tersebut, Miles dari University of Arkansas menuliskan dalam studinya, “Ketika mahasiswa menjadi pemimpin di ranah universitas mereka mempelajari keahlian yang akan membantu kehidupan profesional dan personal mereka. Mahasiswa pemimpin harus belajar berinteraksi dengan orang lain, menjadi representatif, dan berinteraksi atau bekerja sama dengan banyak orang. Pemimpin ini juga bertanggung jawab dalam keberlanjutan organisasi mereka.”

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mentor untuk Kepemimpinan Perempuan

Judy Nagai, Assistant Vice President of Development di University of The Pacific dalam penelitiannya Maximizing The Effectiveness of Women’s Undergraduate Leadership Programs Through Intentional Outreach menyatakan pendidik memiliki peran penting dalam mendorong perempuan jadi pemimpin. Tanggung jawab menjadi mentor tersebut dapat dilakukan dengan program pengembangan kepemimpinan yang memberikan pemberdayaan untuk perempuan. 

McKenzie juga menyatakan, dalam mengidentifikasi pemimpin, mahasiswa cenderung melihat figur publik seperti presiden, selebriti, atau sosok yang memiliki kharisma, ketegasan, dan dihormati. Dalam ranah pendidikan, sosok pemimpin tersebut dapat berupa sesama teman atau ketua organisasi tertentu dan tokoh pendidik. 

Shafarina mengatakan, jika dosen mendukung dan menyelipkan pesan kesetaraan gender maupun pemberdayaan dalam kurikulum, hal itu bisa menjadi faktor pendorong untuk perempuan mengambil peran strategis di ranah kampus.

“Selain itu, jika universitas memiliki rektor maupun Dekan perempuan, itu menjadi sebuah kemajuan dan bisa mengakomodasi kepentingan sesama perempuan,” ujarnya.

Read More

Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Nama Nyoman Anjani menjadi satu dari segelintir perempuan yang berkiprah di dunia STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Di industri tersebut, perempuan memang masih jauh kalah dari segi jumlah dibanding laki-laki karena STEM kerap diidentikkan dengan maskulinitas.

Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menyebut hanya ada 30 persen perempuan di bidang STEM dan 29,3 persen untuk perempuan peneliti secara global. Sementara di Asia, jumlah perempuan di bidang STEM hanya mencapai 18 persen.

Nyoman Anjani adalah seorang  peneliti bidang manufaktur di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA), badan riset kolaborasi antara Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia. Di tengah kesibukannya sebagai peneliti, Nyoman juga merintis beberapa bisnis di bidang manufaktur consumer goods di Indonesia.

Sebelum berkarier, alumni program studi Teknik Mesin ITB ini pernah menjabat sebagai Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) ITB periode 2013-2014. Saat ini, Nyoman sedang mengejar gelar MS, Magister Sains untuk Rekayasa dan Manajemen Bisnis di MIT.

Nyoman menekankan pentingnya peran perempuan di bidang STEM kendati mereka sering kali diremehkan oleh kolega maupun masyarakat yang lebih luas.

“Representasi perempuan penting karena mampu menyeimbangkan proses pengambilan keputusan, kerja sama dalam organisasi, dan analisis untuk suatu masalah. Sebab, perempuan memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki,” ujar perempuan berusia 32 tahun tersebut.

Dalam wawancara dengan Magdalene, Nyoman membagikan lebih lanjut cerita dan perspektifnya tentang perempuan di dunia STEM. Berikut rangkuman hasil wawancara tersebut.

Magdalene:  Mengapa Nyoman tertarik mengambil jurusan Teknik Mesin di ITB?

Ketika saya SMA, saya sudah bercita-cita untuk masuk Teknik Mesin ITB. Pemikirannya waktu itu sangat sederhana. Saya ingin memajukan industri manufacturing di Indonesia karena ayah saya selalu bilang, kalau Indonesia mau maju, industrinya juga harus maju.

Saya lalu memikirkan industri manufacturing karena di masa depan, semuanya dibuat oleh pabrik. Maka dari itu saya memilih Teknik Mesin. Saat itu juga saya berpikir bahwa jurusan Teknik Mesin bisa diterima kerja di bidang apa pun karena pasti membutuhkan seorang engineer. Itu pemikiran saya saat SMA, sangat simpel.

Baca juga: Panutan, Kesempatan di Tempat Kerja Dorong Lebih Banyak Perempuan dalam STEM

Saat masuk di jurusan tersebut, apakah Nyoman sempat menerima komentar negatif?

Kalau komentar negatif tidak ada. Pada dasarnya, orang cenderung amazed atau kagum, anak perempuan mau masuk Teknik Mesin. Waktu itu, angkatan saya (2009) totalnya 140 orang, perempuannya cuma enam orang. Zaman sekarang, sudah lebih banyak ya, perempuan di Teknik Mesin. Jadi, waktu itu, orang cenderung ke arah kaget anak perempuan berani masuk Teknik Mesin.

Sebagai perempuan apakah ada tantangan yang Nyoman alami selama berkuliah di jurusan itu?

Tantangan terbesar, sih, bersaing dengan laki-laki karena mereka mayoritas dan memang pintar juga. Otomatis, yang perempuan harus lebih rajin belajar, lalu harus bisa beradaptasi lebih baik.

Tapi kalau dari segi lingkungan, perempuan sangat dihargai, apalagi di jurusan yang mayoritasnya laki-laki. Jadi, perempuan sangat dilindungi oleh teman-teman laki-laki. Kalau tantangan fisik tidak ada, lebih ke mentalitas bagaimana kita bisa at par  atau memiliki kemampuan yang setara dengan teman kita yang laki-laki.

Saat Nyoman menjabat sebagai K3M ITB, apakah ada yang memberikan omongan negatif?

Waktu itu lebih karena ada pandangan orang-orang yang tidak setuju perempuan menjadi pemimpin di organisasi yang tinggi. Karena itulah, persaingan dalam pemilihan umum (pemilu)-nya sempat berjalan cukup sengit.

Saya terpilih lewat proses pemilu yang memakan waktu empat bulan, sementara standarnya hanya dua bulan untuk pemilihan. Tapi, banyak tantangan dan hal-hal menarik terjadi saat proses pemilu.

Baca juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Pada dasarnya, mahasiswa ITB cenderung lebih open minded, jadi ketika saya sudah terpilih secara demokratis, pemilu by voting dan semua mahasiswa memiliki hak suara, semua orang harus menaati peraturan dan bekerja sama.

Saat saya memimpin pun, saya memilih kepengurusan yang mewakili segala pihak, mewakili segala aspek rumpun mahasiswa yang ada di kampus.

Di ITB juga ada Femme in STEM yang visinya mempromosikan kontribusi dan representasi perempuan di bidang STEM. Apa pendapat Nyoman tentang hal itu?

Saya sangat mendukung perempuan Indonesia masuk ke dunia STEM yang didominasi laki-laki. Saya juga sangat mendukung perempuan agar lebih banyak berani mengambil jurusan STEM. Saya yakin, gerakan Femme in STEM ini bisa menginspirasi banyak perempuan yang masih duduk di bangku SMA agar mau mendaftar jurusan STEM.

Apakah pengalaman memimpin saat kuliah berpengaruh pada karier profesional Nyoman sebagai pengusaha?

Menurut saya, selain bekal akademik, yang terpenting adalah bekal organisasi karena di kampus, kehidupan di organisasi benar-benar membekali kita untuk memiliki soft skill yang lebih kuat. Contohnya, soal bekerja sama dalam tim dan cara berkomunikasi. Malah, soft skill itu yang banyak membantu saya di dunia pekerjaan dulu sebelum saya kuliah S2, bahkan sampai sekarang saya mencoba berwirausaha.

Jadi ada skill komunikasi, berpikir kritis, problem solving dan networking. Dengan networking luas yang dibangun sejak mahasiswa, kita cenderung lebih mudah untuk membaur di lingkungan baru atau mencari teman. Dengan networking juga, orang yang kita kenal bisa membantu ketika mengalami kesulitan di lapangan.

“Representasi perempuan penting karena mampu menyeimbangkan proses pengambilan keputusan, kerja sama dalam organisasi, dan analisis untuk suatu masalah. Sebab, perempuan memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki.”

Dalam dunia penelitian, apa saja tantangan yang Nyoman hadapi?

Kebetulan penelitian saya tentang manufacturing di Indonesia. Nah,lagi-lagi dunia manufakturmasuk bidang STEM, di mana mayoritas praktisi industri adalah laki-laki. Tantangannya menjadi researcher di dunia STEM yang seperti ini bagi perempuan adalah kita harus punya mentalitas yang lebih kuat, lebih berani.

Selain itu, harus punya critical thinking dan logic yang kuat untuk menganalisis masalah. Lalu, kita harus bisa memberikan solusi yang tepat untuk lingkungan kita di industri tersebut.

Terakhir adalah tantangan soal bagaimana perempuan membawa diri dengan baik ketika bekerja, bertingkah laku, mengutarakan pendapat, agar dia bisa didengar oleh koleganya yang kebanyakan laki-laki dan bisa saja orang itu posisinya lebih tinggi. Itu tantangan terbesar untuk menjadi researcher atau praktisioner di bidang STEM.

Ketika perempuan berkarier, selalu ada pandangan miring tentang perempuan yang ambisius. Apakah Nyoman pernah menerima komentar seperti itu?

Orang Indonesia cenderung tidak ada yang bicara frontal di depan orangnya. Tapi, pasti ada yang beranggapan seperti itu. Untuk menanggapinya, kita fokus pada apa yang mau kita kerjakan saja.

Menurut saya, pendapat yang paling harus didengarkan adalah pendapat orang tua. Jadi, selama orang lain atau orang asing berpendapat, kita ambil pesan yang baik. Kalau negatif, ya sudah, didengarkan dan tidak dimasukin ke hati.

Pokoknya, yang selalu menjadi patokan kita adalah nasihat dari orang tua. Selanjutnya fokus saja pada cita-cita yang mau kita capai, karena dari cita-cita itu, ada niat dan tujuan kenapa mau melakukannya. Jangan lupa juga untuk selalu komunikasikan hal itu ke orang tua.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Dari jawaban tadi, sepertinya orang tua punya porsi besar dalam banyak hal bagi Nyoman. Bagaimana Nyoman memandang peran mereka dalam perjalanan karier?

Keluarga memang support system terdekat kita. Jadi menurut saya, setiap keputusan yang saya buat harus dikomunikasikan [kepada mereka]. Sebelum menikah, saya selalu mengomunikasikannya dengan orang tua. Sekarang setelah menikah, saya harus mengomunikasikannya dengan suami. Saya pikir, itu hal yang sangat penting, berkomunikasi dengan orang terdekat kita dan selalu jujur dengan apa yang ingin kita lakukan.

Keluarga akan menjadi supporting system dan back up system kita, jadi kalau ada apa-apa kembalinya akan ke keluarga lagi.

Selama ini, orang tua mendukung karier dan pendidikan saya dengan cara mendoakan, itu yang paling simpel. Suami dan orang tua menjadi tempat mendengarkan dan berkeluh kesah. Mereka pendukung terbesar saya dalam menjalankan posisi apa pun, baik soal pekerjaan atau sekolah.

Apa pesan yang ingin Nyoman sampaikan kepada perempuan yang berkuliah atau berkarier di bidang STEM dan penelitian, atau yang menjadi pemimpin dalam bidang itu?

Menurut saya, pertama yang pasti kita harus terus belajar. Ketika teman-teman baru masuk dunia kampus, harus punya curiosity untuk belajar hal-hal yang baru. Jangan cuma stuck dengan materi yang diberikan dosen. Banyak membaca, explore, terutama yang terkait STEM dan hal-hal yang berkembang di luar negeri.

Kedua, kita harus lebih rajin. Orang yang ambisius itu memiliki disiplin yang sangat tinggi karena mereka pekerja keras. Karena itu, mereka bisa meraih sesuatu lebih banyak dibanding orang lain.

Terakhir, kita harus selalu punya goal yang ingin dicapai dengan lebih baik dan termotivasi untuk berusaha lebih keras.

Read More
orang tua ajarkan kepemimpinan

Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Sebuah video bertajuk “If You Have A Daughter, You Need To See This” menampilkan seorang ibu dan anak perempuan yang berdiri di depan rak buku. Mulanya mereka menyingkirkan tiga buku yang tidak memiliki karakter laki-laki di dalamnya. Lalu menyingkirkan buku yang tidak memiliki karakter perempuan, kali ini dengan jumlah lebih banyak karena total keseluruhan yang tersingkirkan mencapai 76 buku. Mereka kemudian menyingkirkan buku yang di dalamnya perempuan tidak berbicara, jumlah buku yang disisihkan sudah 141. Ketika mereka menyingkirkan buku dengan kategori perempuan tak berdaya yang menunggu pangeran, rak tersebut nyaris kosong.

Video berdurasi tiga menit yang diproduksi Rebel Girls, perusahaan digital dan penerbit buku anak-anak yang fokus pada pemberdayaan perempuan, tersebut menunjukkan pesan kesenjangan representasi dan kentalnya stereotip perempuan tak berdaya dalam buku.

Penelitian Gender Representation in Children’s Books: A Critical Review of Empirical Studies (2014) oleh tiga sosiolog Pakistan—Hazir Ullah, Johar Ali, dan Arab Naz, menyatakan buku anak atau buku pelajaran sekolah sarat akan stereotip peran gender. Selain itu, ada juga kesenjangan dalam ilustrasi dan teks karena mayoritas merepresentasikan laki-laki. Penyebab kedua hal tersebut tentu tidak lepas dari normalisasi seksisme di masyarakat. 

Baca juga: 4 Cara Mendidik Anak Perempuan Sejak Dini Untuk Jadi Pemimpin

Selain itu, sebuah studi di Inggris oleh Susan Wilbraham, psikolog dari University of Cumbria, dan Elizabeth Caldwell, akademisi di School of Art, Design, and Architecture, University of Huddersfield, menemukan bahwa representasi perempuan juga tiga kali lebih rendah dalam buku sains. Mereka menyatakan hal tersebut memperpanjang stereotip sains sebagai bidang untuk laki-laki.

Minimnya representasi dan konsep peran yang sempit itu mampu mengecilkan cakupan aspirasi dan pengetahuan atas besarnya kapasitas hingga potensi yang bisa dilakukan anak perempuan. Dalam penelitian sosiolog dari Pakistan tersebut, ketika buku pelajaran anak terus menyampaikan pesan yang bias gender, tentu memberi efek berkepanjangan yang memengaruhi pikiran sadar dan bawah sadar mereka. Pemahaman ini menjadi penting terutama dalam buku sebagai medium efektif untuk mengajarkan anak tentang konsep-konsep sosial yang ada di dunia.

Buku Perempuan Pemimpin Masih Minim

Jika melihat produk budaya populer untuk anak perempuan, temanya sulit lepas dari kategori cerita dongeng tentang tuan putri yang menunggu seorang pangeran untuk membebaskannya dari masalah. Bahkan menanggalkan jati dirinya untuk laki-laki. Pesan yang disampaikan juga menggarisbawahi posisi dalam kepemimpinan cenderung dipegang laki-laki atau seorang pangeran.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

Belakangan ada film Frozen yang mengedepankan persaudaraan dan kepemimpinan. Namun, Elsa harus mengalami perjalanan emosional panjang sebelum disambut sebagai pemimpin yang rasional.

Roosie Setiawan, pendiri komunitas literasi untuk anak, Reading Bugs dan Read Aloud Indonesia, mengatakan tema buku anak masih jarang menampilkan kepemimpinan perempuan secara eksplisit. Tapi kisah pahlawan perempuan atau guru yang heroik sudah banyak. Umumnya buku anak di Indonesia membawa tema perkenalan kegiatan sehari-hari, permasalahan anak, hingga cerita rakyat yang direkonstruksi ulang dengan kacamata anak.

“Referensi buku menampilkan leadership juga menjadi tantangan buat kami karena variasi buku juga belum terlalu luas dan mulai bagus sepuluh sampai lima tahun terakhir,” ujar Roosie kepada Magdalene (4/2).

Meski demikian, ia berpendapat representasi perempuan dalam posisi pemimpin di cerita anak juga sangat penting karena mampu menambah pengetahuan dan menjadi rujukan panutan untuk anak. Ia mengatakan jika anak bersentuhan dengan buku yang melanggengkan stereotip hanya laki-laki yang bisa memimpin, tentu akan mempengaruhi pikiran anak tentang konsep kepemimpinan.

“Karena ketika membacakan buku kita tidak sekedar menyelesaikannya. Ada proses diskusi, tanya jawab, dan perkenalan konsep atau kosa kata. Hal itu juga kunci dalam memberikan pemahaman pada anak,” ujar Roosie.

Salah satu cara untuk memberikan pesan pemberdayaan perempuan adalah dengan memperkaya koleksi buku dengan tema tokoh perempuan yang berani dan berjiwa kepemimpinan.

Minat Baca Anak Soal Perempuan Pemimpin

Roosie menyatakan di Indonesia ada kesulitan dalam mencari buku cerita untuk anak laki-laki karena mayoritas penulis buku anak adalah perempuan.

“Kami juga melihat anak laki-laki sedikit tidak suka membaca dibanding perempuan. Secara studi juga ada tentang perbedaan kegemaran membaca laki-laki dan perempuan itu,” ujarnya.

Studi Do Boys and Girls Have Different Reading Habits (2011) oleh organisasi negara-negara kaya dunia, Organization For Economic Co-Operation and Development (OECD) menemukan bahwa secara global, 52 persen laki-laki dan 73 persen perempuan menyatakan membaca untuk bersenang-senang.

Di Austria, Luxembourg, Belanda, dan Liechtenstein, kurang dari 40 persen laki-laki yang membaca sebagai kesenangan. Sementara di negara seperti Indonesia, Albania, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Thailand, 90 persen untuk perempuan dan 80 persen laki-laki.

Roosie mengatakan, inisiator gerakan literasi anak juga didominasi perempuan.

“Di Indonesia, seolah-olah membaca buku adalah tugas ibu bukan ayah. Terbukti juga ketika membuat program dan pelatihan, 99 persen yang berminat dan hadir adalah ibu. Baik untuk literasi dini dan literasi keluarga, penggeraknya masih perempuan,” ujarnya.

Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender Untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan dengan Cara Membaca Nyaring Bantu Tingkatkan Minat Baca Anak

Rosie mengatakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memberikan pesan pemberdayaan perempuan adalah melihat kembali koleksi buku bacaan anak dan memperkaya tema tokoh perempuan yang berani dan berjiwa kepemimpinan. Dengan demikian, anak bisa menjelajahi lebih jauh tentang apa saja yang bisa dilakukan seorang perempuan.

Selain itu, Roosie, yang aktif mendorong teknik membaca nyaring (read aloud), merekomendasikan menggabungkan teknik tersebut dengan buku tentang kepemimpinan perempuan.

“Dengan teknik membaca nyaring anak lebih mudah memahami karena jika dia tidak paham sesuatu, akan langsung bertanya. Apalagi jika topiknya tentang leadership, anak akan lebih mudah paham tentang itu,” ujarnya.

“Yang dibangun dari teknik ini juga adalah kemauan membaca, dia (anak) mencari jalannya sendiri untuk bisa membaca karena ketika membacakan buku dengan nyaring dia juga belajar,” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

7 Rekomendasi Drama Korea dan Serial TV Soal Perempuan Pemimpin

Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) adalah salah satu tokoh perempuan pemimpin dalam budaya populer yang paling digemari untuk kategori serial televisi. Ibu para naga dari serial Game of Thrones ini dikagumi sebagai pemimpin yang pro-rakyat kecil yang berjanji untuk memusnahkan dinamika penindasan dari masyarakat berprivilese kepada yang lemah. Meskipun begitu, beberapa episode terakhir dari serial tersebut mengundang banyak kekecewaan dari penonton akibat pilihan yang dibuat karakter Clarke, yaitu memusnahkan Kings Landing.

Mengutip The Washington Post dalam “Game of Thrones, Daenerys Targaryen Faces a Sexist Double Bind  Like So Many Female Leaders”, sebelum mengambil keputusan itu, Targaryen mengalami double bind, istilah untuk menjelaskan peristiwa cibiran yang diterima perempuan saat mengadopsi “karakteristik tradisional seorang pemimpin” karena bias gender.

Jika perempuan pemimpin menunjukkan sisi “maskulin” dalam kepemimpinan akan diberi cap agresif dan terlalu ambisius. Sedangkan jika mengambil jalan “lebih lembut” akan dinilai tidak efektif untuk posisi tersebut.

Mengutip Christina Fattore, akademisi dari West Virginia University Eberly College of Arts and Sciences, dalam Gender Affects Leadership Style on Game of Thrones, Especially Daenerys Targaryen’s, Says Political Scientist: “Daenerys tidak menjadi seorang anti-feminis ketika menggunakan berbagai cara untuk merebut ‘The Iron Throne’. Melainkan, ia sama saja seperti pemimpin lainnya dengan berbagai strategi untuk meraih kesuksesan”.

Selain Targaryen, dari serial televisi Barat hingga drama Korea (drakor), banyak sosok perempuan dengan pengalaman berbeda saat menjadi pemimpin. Berikut tujuh rekomendasi drakor dan serial televisi dengan karakter perempuan pemimpin.

Baca juga: Perempuan Banyak Hadapi Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

1. Brooklyn Nine-nine (2013 – )

Brooklyn Nine-nine

Amy Santiago (Melissa Fumero) adalah seorang detektif yang teliti, teratur, dan cerdas dalam menyelesaikan kasus. Sejak awal Santiago selalu menginginkan pengakuan dari kaptennya, Raymond Holt (Andre Braugher) dan ingin menjadi sersan untuk memimpin tim kepolisiannya sendiri. Dengan dukungan orang terdekat dan rekan kerjanya, Santiago berhasil menjadi sersan. Namun, ia menghadapi tantangan baru dan harus memikirkan cara menjadi pemimpin baik dan bekerja dengan orang-orang baru.

2. Empire (2015-2020)

Serial TV pemimpin perempuan  Empire (2015-2020)

Drama televisi ini mengisahkan tentang keluarga pemilik perusahaan musik Empire Entertainment. Pemeran utama memang CEO perusahaan, Lucious Lyon (Terrence Howard), tapi Cookie Lyon (Taraji P. Henson), mantan istri Lyon, merebut perhatian karena sosoknya yang tangguh danblak-blakan. Serial ini melibatkan plot tentang skandal narkoba yang membuat karakter Henson dipenjara. Setelah bebas, Cookie mencoba kembali menyatukan keluarganya dan mendirikan perusahaan rekamannya sendiri, Lyon Dynasty. Namun, pada akhirnya dia kembali ke perusahaan Empire sebagai CEO.

Baca juga: Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan

3. Serial TV Tentang Perempuan Pemimpin: The Crown (2016 – )

Serial TV tentang perempuan pemimpin ini yang diadaptasi dari kehidupan Ratu Elizabeth II serta peristiwa historis kerajaan Inggris menampilkan bagaimana sang Ratu menjadi perwajahan negara. Dua musim pertama, Ratu Elizabeth diperankan oleh Claire Foy, sementara musim ketiga dan keempat diperankan Olivia Colman. Serial menceritakan mulai dari Elizabeth naik tahta menjadi Ratu Kerajaan Inggris pada 1952 hingga isu personal, seperti pernikahan Pangeran Charles (Josh O’Connor) dengan Lady Diana Spencer (Emma Corin). The Crown juga menampilkan tokoh perempuan pemimpin Inggris lainnya, Margaret Thatcher yang diperankan Gillian Anderson.

4. Hotel del Luna (2019)

Aktris dan penyanyi IU memerankan Jang Man-Wol, pemilik Hotel del Luna, penginapan untuk para arwah yang masih memiliki urusan di bumi. Jang Man-Wol bukan arwah maupun manusia, ia menjadi pemilik hotel karena jiwanya harus membayar dosa-dosa besar yang pernah dilakukannya. Tokoh yang diperankan IU matre, cuek, dan penuh prasangka terhadap orang atau situasi tertentu. Namun, perlahan-lahan ia mulai berubah, meskipun tidak drastis, dengan bantuan manajer hotel, Koo Chan-Sung, seorang manusia. Drama ini mengisahkan petualangan mereka dalam membantu arwah menyelesaikan urusan duniawi agar bisa pergi ke akhirat dengan tenang.

5. Drakor Tentang Pemimpin Perempuan: Search WWW (2019)

Drama Korea Search WWW menampilkan tiga tokoh perempuan kuat, Bae Ta-mi, Cha Hyeon, dan Song Ga-kyeong, yang bekerja di perusahaan web portal terkemuka. Karakter utama Bae Ta-mi, pemimpin perusahaan Unicorn menarik perhatian banyak orang karena  perilakunya yang kompetitif dan ambisius. Namun, akibat perselisihan di kantornya, Bae Ta-Mi pindah ke perusahaan saingan, Barro. Drama ini tentu saja memiliki bumbu-bumbu romantis antara Bae Ta-Mi dan Park Mo-Gun, seorang komposer musik.

Baca juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

6. Rekomendasi Serial TV Soal Perempuan Pemimpin: Crash Landing on You (2019-2020)

Rekomendasi Serial TV Soal Perempuan Pemimpin: Crash Landing on You

Crash Landing on You ini sangat hit sejak akhir 2019 hingga memasuki 2020. Drama Korea ini adalah tentang kisah romantis pengusaha muda Yoon Se-ri dan kapten tentara Korea Utara Ri Jeong-Hyeok, yang bertemu saat Yoon Se-ri tanpa sengaja terdampar di Korut. Selain tentang mereka berdua, drama ini juga bercerita tentang upaya yang dilakukan Yoon Se-ri pulang ke rumahnya dan pergulatan mengambil kembali posisinya sebagai pemilik perusahaannya, Se-ri’s Choice.

7. Drakor dengan Tema Perempuan Pemimpin: Start-Up (2020)

Start-Up terkenal dengan perang cinta segitiga antara Seo Dal-mi (Bae Suzy), Han Ji-pyeong (Kim Seon-ho), dan Nam Do-san (Nam Joo-hyuk). Namun, perjalanan Seo Dal-mi sebagai perempuan muda ambisius yang bermimpi untuk membangun perusahaannya sendiri menjadi plot cerita yang tidak kalah saing. Seo Dal-mi juga digambarkan sebagai pemimpin yang mendahulukan kepentingan tim dan tidak takut kritik. Berkat kerja keras, fokus, dan berpendirian teguh untuk mencapai keinginannya, ia mampu menjadi CEO Samsan Tech dan Cheonmyeong Company. 

Read More

10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Riset Women Leaders in Series & Movies: How Women Succeed as Characters and as (Fictional) Leaders oleh badan riset internasional, Latitude+Lumiere, menemukan bahwa karakter perempuan pemimpin seperti Daenaery (Game of Thrones) dan Margaret Thatcher (The Iron Lady) dinilai sebagai sosok yang kuat dan inspiratif. 

Penelitian yang melibatkan 150 responden laki-laki dan perempuan berusia 18 hingga 55 tahun tersebut juga menemukan bahwa karakter perempuan pemimpin memiliki kualitas kecerdasan tinggi, selera humor, dan tegas dalam memilih keputusan saat berhadapan dengan masalah. Hal itu dirujuk pada karakter Shuri (Black Panther) dan Queen Elizabeth II (The Crown).

Meskipun begitu, riset itu menemukan bahwa  41 persen responden perempuan tidak setuju representasi kepemimpinan sudah akurat, karena tantangan yang dihadapi perempuan pemimpin lebih kompleks dan sistemis. Beberapa karakter memang menginspirasi, tapi sangat sulit dibayangkan di dunia nyata.

Sementara itu, hasil penelitian gabungan Plan International dan Geena Davis Institute on Gender and Media, Rewrite Herstory juga menunjukkan representasi perempuan pemimpin di sinema masih minim dibandingkan laki-laki. Walaupun representasi masih sedikit, berikut rekomendasi film tentang perempuan pemimpin yang patut ditonton.

Baca juga: Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan

1. Film Perempuan Pemimpin Paling Terkenal: Star Wars (1977)

Film Perempuan Pemimpin Leia Organa

Leia Organa (Carrie Fischer) adalah salah satu karakter film perempuan pemimpin paling menonjol dalam genre fiksi ilmiah dan budaya populer secara umum. Tidak hanya menjadi seorang putri, Organa juga seorang jenderal pemimpin untuk para pemberontak melawan serangan Empire dan Darth Vader. Dalam perjalanannya melawan tirani Empire, Organa kerap menyelamatkan dan membantu saudara kembarnya Luke Skywalker.

2. Film Tentang Kepemimpinan Perempuan: Norma Rae (1979)

Film Tentang Kepemimpinan Perempuan Norma Rae

Film tentang perempuan pemimpin ini yang disutradarai Martin Ritt ini terinspirasi dari Crystal Lee Sutton, aktivis serikat buruh di Amerika Serikat. Norma (Sally Field) bekerja di pabrik kapas dan menuntut keadilan untuk buruh yang kesehatannya menurun karena dieksploitasi. Manajemen pabrik juga mengeluarkan aturan rasialis yang untuk memecah belah solidaritas antar buruh. Melalui film ini, Field berhasil meraih Piala Oscar sebagai Aktris Terbaik pada 1980.

3. Alien (1979)

Ellen Ripley dalam film Alien

Ellen Ripley (Sigourney Weaver) disebut-sebut sebagai salah satu karakter perempuan paling tangguh dalam sinema. Dalam film genre fiksi ilmiah horor ini, Weaver berperan sebagai penasihat militer Korps Marinir yang melawan makhluk luar angkasa agresif di antariksa. Karakter Weaver lebih fokus dalam memusnahkan alien daripada membawanya pulang untuk dijadikan senjata, seperti permintaan atasannya.

4. Bandit Queen (1994)

Bandit Queen film perempuan pemimpin

Film ini terinspirasi dari kehidupan Phoolan Devi, pemimpin kelompok bandit untuk melawan laki-laki yang melakukan kekerasan seksual. Dalam Bandit Queen, diperlihatkan bagaimana Pholaan adalah korban pernikahan anak yang juga tersiksa karena kemiskinan struktural. Tumbuh dewasa, Phoolan menjadi korban pelecehan seksual dan diusir ketika menolak untuk dilecehkan. Ia kemudian membentuk kelompok sendiri dan dikenal sebagai pemimpin pemberani dan mengayomi anggotanya.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

5. Elizabeth (1998)

Film Elizabeth tahun1998

Ratu Elizabeth I adalah pemimpin perempuan ternama Kerajaan Inggris yang berjaya pada era Golden Age (1558-1603) seni dan literatur, seperti karya William Shakespeare. Film drama yang disutradarai Shekhar Kapur ini menceritakan masa-masa awal kepemimpinan Elizabeth I (Cate Blanchett) yang penuh lika-liku, seperti ancaman dari pihak yang tidak setuju dirinya menduduki takhta.

6. Erin Brokovich (2000)

Film Erin Brokovich Tahun 2000

Film tentang kepemimpinan yang didasarkan kisah nyata aktivis lingkungan hidup AS, Erin Brokovich, ini berhasil mengganjar pemerannya Julia Roberts dengan Piala Oscar. Brokovich adalah ibu tunggal yang bekerja sebagai sekretaris di firma hukum, yang berperan penting dalam investigasi kasus pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan perusahaan Pacific Gas and Electric Company.

7. Film Perempuan Feminis: Legally Blonde (2001)

Film Perempuan Feminis Legally Blonde

Karakter Elle Woods (Reese Whitherspoon) sangat dipuja penggemar budaya populer karena mematahkan stereotip dumb blondes atau perempuan rambut pirang bodoh. Film ini sungguh feminis karena menggambarkan keragaman karakter perempuan, kemandirian dalam hubungan, dan upaya melawan stereotip negatif, diskriminasi, dan pelecehan seksual.

Woods yang cerdas namun banyak diremehkan karena penampilannya, bertekad dan akhirnya masuk ke fakultas hukum Harvard untuk membuktikan bahwa dirinya mampu kepada mantan pacar yang seksis. Selama di Harvard, Woods juga membantu memecahkan kasus pembunuhan suami seorang instruktur kesehatan. 

Baca juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

8. Film Tentang Kepemimpinan: Whale Rider (2002)

Film tentang perempuan pemimpin whale rider

Film tentang perempuan pemimpin ini terinspirasi dari novel berjudul sama karya Witi Ihimaera, film ini mengisahkan tentang Pai, seorang anak perempuan yang mendobrak tradisi suku Maori di Selandia Baru. Menurut tradisi, hanya anak laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Pai memiliki saudara kembar laki-laki yang meninggal bersama ibunya saat dilahirkan. Anak perempuan itu memiliki hubungan yang kompleks dengan kakeknya, Koro. Hubungan antar keduanya juga menjadi poin utama Pai menuju posisi kepala suku Maori.

9. Hidden Figures (2016)

Film Hidden Figures tahun 2016

Film yang disutradarai Theodore Melfi ini didasarkan pada kisah nyata soal para perempuan dalam dunia sains yang kurang dianggap. Tiga perempuan kulit hitam—Katherine Johnson (Taraji P. Henson), Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), dan Mary Jackson (Janelle Monae) adalah ahli matematika serta insinyur yang berperan besar pada peluncuran roket NASA ke luar angkasa. Film ini juga mengangkat isu rasialisme dan suara perempuan yang dikecilkan di tempat kerja.

10. Film Perempuan Pemimpin: Little (2019)

movie tentang kepemimpinan little 2019

Aktris Issa Rae berperan sebagai April, asisten dari pemilik serta bos perusahaan teknologi terkemuka, Jordan Sanders (Regina Hall) yang sombong. Suatu hari, Sanders dikutuk menjadi anak berusia 13 tahun, tentu saja membuat asistennya April terkejut. Film drama-komedi ini menunjukkan cara keduanya bekerja sama agar perusahaan terus berjalan saat sang bos terjebak di tubuh anak kecil. Kutukan tersebut juga membuat karakter Hall mengubah perilakunya dan menghargai orang di sekitarnya.

Read More

Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Miranda Priestly yang diperankan Meryl Streep dalam film drama-komedi The Devil Wears Prada menjadi salah satu karakter perempuan pemimpin paling menonjol dalam budaya populer. Priestly, yang disebut-sebut terinspirasi dari Anna Wintour, editor majalah mode terkemuka Vogue, digambarkan sebagai bos perempuan yang pendapatnya sangat dituhankan di dunia mode. Satu kata dari Priestly mampu membuka atau membunuh karier seseorang.

Sayangnya, dari kacamata sang asisten, Andy Sachs (Anne Hathaway), Priestly mencerminkan stereotip bos perempuan yang sadis, dan dia rela melakukan apa pun untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Meskipun begitu, ada satu kutipan dari Sachs yang menunjukkan kebenaran tentang perempuan di posisi pemimpin. Bahwa Priestly diberi label dragon lady oleh media berdasarkan kehidupan pribadinya dan kekejamannya, tapi situasi akan berbeda jika karakteristik Priestly dimiliki pemimpin laki-laki. Dalam fiksi maupun dunia nyata, seksisme terhadap perempuan di posisi pemimpin menjadi ancaman yang terus hadir.

Selain Priestly, ada sejumlah representasi sosok perempuan pemimpin dalam film layar lebar maupun televisi, baik yang terinspirasi dari tokoh di dunia nyata, seperti Margaret Thatcher—juga diperankan Streep dalam The Iron Lady—hingga karakter fiktif seperti Daenerys “Mother of Dragon” Targaryen (Emilia Clarke) dalam serial Game of Thrones.

Meskipun begitu, hasil riset gabungan Plan International dan Geena Davis Institute on Gender and Media, Rewrite Herstory (2019), menunjukkan bahwa jumlah karakter pemimpin laki-laki di layar kaca masih lebih banyak, yakni 42 persen, sementara perempuan 27 persen saja. Meski di sisi lain, pemimpin perempuan ditunjukkan lebih cerdas daripada laki-laki mencapai 81 persen banding 62 persen.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Laporan tersebut menganalisis 56 film terlaris tahun 2018 di 20 negara, termasuk Amerika Serikat, Peru, Uganda, Vietnam, dan Jepang. Laporan ini bahwa menemukan secara garis besar, jumlah karakter laki-laki melebihi jumlah perempuan dan juga memiliki dialog lebih banyak dibanding perempuan. Untuk kedua kategori tersebut, perbandingan mencapai 67 persen dan 33 persen.

Perempuan pemimpin jadi objek seksual

Jika karakter perempuan pemimpin muncul dalam film, mayoritas di antaranya berada di ranah domestik dan mengukuhkan stereotip perempuan sebagai caregivers dan laki-laki adalah kepala keluarga. Dalam ranah domestik ini pula perempuan terlihat sebagai pemimpin yang lebih baik, pekerja keras, dihormati, dan lebih disukai.

Namun, perempuan pemimpin juga digambarkan tidak seefektif pemimpin laki-laki, serta cenderung diobjektifikasi secara seksual melalui lensa kamera. Secara verbal, mereka juga lebih rentan menerima pelecehan seksual, digambarkan mengenakan pakaian terbuka (30 persen dibanding 7 persen laki-laki), bahkan dua kali lebih sering ditampilkan setengah telanjang dibanding tokoh bos laki-laki.

Sebelumnya, penelitian lain dari Geena Davis Institute on Gender and Media tentang karakter perempuan dalam film, Gender Bias Without Borders (2015), juga menunjukkan seksualisasi karakter perempuan terjadi dalam rentang usia 13 sampai 39 tahun. Mereka sering ditampilkan dengan pakaian seksi dan dalam takaran ekstrem, dengan setengah bahkan telanjang untuk dinilai cantik dan kurus. Sementara itu, perempuan dalam jenjang usia paruh baya lebih jarang diseksualisasi dibandingkan tokoh remaja maupun dewasa muda.

Baca juga: Mahalnya Biaya Perjalanan ke Kantor Bebani Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

“Usia muda dan kecantikan menjadi dua komponen penting dalam cara menampilkan perempuan dalam sinema. Fokus ini menjadi problematik karena memperhatikan bagaimana di ruang kerja persepsi kompetensi seseorang dikaitkan dengan aspek penampilan,” tulis laporan tersebut.

Melalui hasil analisis film dari Plan International dan Geena Davis Institute posisi kepemimpinan menjadi ranah yang didominasi laki-laki dan gagal menunjukkan dimensi perempuan dan pemimpin yang tidak lepas dari objektifikasi untuk male gaze.

Representasi media tentang perempuan pemimpin

Representasi perempuan sebagai objek seksual di media sudah menjadi pertarungan lama dan butuh dihentikan karena media memiliki pengaruh akan cara perempuan maupun anak perempuan memandang diri mereka. Selain itu, stereotip gender tipikal dan problematik yang direpresentasikan akan sangat berbahaya untuk ambisi perempuan. Hal tersebut mampu mencegah mereka berkiprah di ranah profesional serta memenuhi potensinya. 

“Menjadi sangat penting agar kita tidak lagi menciptakan cerita yang mengajarkan bahwa perempuan dan anak perempuan adalah masyarakat kelas kedua, tidak saat melihat seksisme di budaya kita yang ditampilkan begitu mengerikan,” ujar Geena Davis, aktor dan pendiri Geena Davis Institute on Gender and Media dalam laporan bersama Plan International.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Untuk memberikan representasi perempuan pemimpin berdaya dan tidak diseksualisasi, maka harus memberi lebih banyak visibilitas karakter perempuan maupun perempuan yang bekerja di balik layar perfilman untuk memperkaya narasi pemimpin perempuan.

Hasil riset dari Center for The Study of Women in Television and Film mengenai data statistik film dalam festival sepanjang 2019-2020, Woman Behind The Scenes, menyebutkan jika terdapat setidaknya satu sutradara perempuan, maka persentase kru produksi perempuan akan ikut tinggi. Dalam film dengan sutradara perempuan terdapat 73 persen penulis skenario perempuan dibandingkan 12 persen dalam film oleh laki-laki. Sama halnya dengan editor (43 persen banding 18 persen) dan sinematografer (27 persen banding 8 persen).

Mendukung urgensi hadirnya ruang perfilman yang lebih setara banyak digaungkan kampanye untuk mendukung representasi perempuan yang baik, seperti 4% Challenge, sebuah tantangan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja film perempuan. Selain itu, gerakan anti-kekerasan seksual dan mendukung ruang kerja tanpa diskriminasi, Time’s Up yang melahirkan kampanye Time’s Upx2 untuk mendorong perempuan menduduki kursi pemimpin di ranah yang kurang merepresentasikan mereka.

Mengutip ucapan Davis bersama The Guardian tentang media yang memberi gambaran positif tentang perempuan: “Menurut saya, kita tidak punya cukup banyak panutan perempuan di posisi penting untuk membentuk perubahan di dunia nyata, maka kita harus memilikinya dalam fiksi agar hidup meniru seni,” ujarnya.

Read More