5 Tokoh Perempuan yang Aktif Angkat Isu Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak lebih besar bagi perempuan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini karena secara proporsional banyak perempuan miskin yang lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam.

Secara konkret, perempuan lebih terlibat dalam perubahan sosial karena bertanggung jawab dalam urusan domestik. Sehingga, langkanya persediaan air, gagal panen, maupun minimnya keanekaragaman hayati lebih berpengaruh kepada mereka.

Belum lagi di sejumlah negara berkembang, perempuan memiliki peran utama mengumpulkan bahan bakar tradisional yang letaknya jauh dari rumah, yang secara otomatis menghambat mereka dalam melakukan aktivitas lain termasuk bekerja, menekuni keterampilan, maupun istirahat .

Oleh karena itu, Conference of Parties (COP) kembali diselenggarakan untuk ke-26 kalinya di Glasgow, Skotlandia. Konvensi ini penting dilakukan untuk menciptakan berbagai kebijakan dan langkah strategis, supaya suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat C pada 2100. 

Sebagai warga dunia, kita perlu memperhatikan isu perubahan iklim ini karena dampaknya memengaruhi kelangsungan hidup kita, mulai dari cuaca ekstrem, kenaikan curah hujan, tingginya air laut, sampai munculnya gelombang panas.

Terlepas dari ajang COP26, kita dapat meniru aksi lima tokoh perempuan inspiratif berikut ini, yang telah aktif memperjuangkan perlawanan terhadap perubahan iklim.

1. Christiana Figueres

Sejak 1995, perempuan lulusan Swarthmore College dan London School of Economics ini aktif terlibat dalam perbincangan perubahan iklim. Ia mendirikan Center for Sustainable Development, organisasi nirlaba di AS yang didedikasikan untuk partisipasi negara-negara Amerika Latin dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di lembaga tersebut, ia menjabat selama delapan tahun sebagai executive director. Dalam UNFCCC, Figueres juga berperan sebagai perunding dari 1995 hingga 2010.

Kemudian pada 2015, ia berhasil menyatukan pemerintah, aktivis, perusahaan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan beberapa kelompok lainnya yang berselisih, untuk menyusun Perjanjian Paris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius—bahkan diupayakan pada 1,5 derajat C, serta memperkuat kemampuan negara-negara dalam menangani dampak perubahan iklim.

Instagram @cfigueres

Selain itu, diplomat asal Kosta Rika ini mengusulkan, keahlian perusahaan gas dan minyak dalam menangkap dan menyimpan siklus karbon biologis dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan seperti deforestasi.

“Ini tentang bergerak untuk kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dengan kondisi kesehatan, perkotaan, dan transportasi lebih baik, serta kondisi investasi yang lebih aman,” ujarnya kepada CNN soal perjuangan melawan perubahan iklim.

2. Patricia Espinosa

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim lainnya ialah Patricia Espinosa. Perempuan inspiratif ini menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di UNFCCC sejak 2016 ini adalah sosok yang memelopori Perjanjian Cancun, yang menyalurkan dana 100 miliar dolar AS untuk perubahan iklim di negara berkembang.

Pada 2001 dan 2002, Espinosa menjabat sebagai Duta Besar Meksiko untuk Jerman. Ia juga berperan sebagai Menteri Luar Negeri Meksiko dari 2006 sampai 2012. Selama berkarier, ia kerap membawa beberapa isu dalam hubungan internasional seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. 

Twitter @PEspinosaC

Selama menjadi representasi Meksiko dalam hubungan bilateral dan organisasi internasional di New York, Wina, dan Jenewa, ia terlibat aktif sebagai pemimpin dalam mengatasi tantangan global dalam perubahan iklim dan konsekuensinya.

Perempuan asal Meksiko ini memaparkan beberapa hal kunci yang dibutuhkan agar agenda COP26 tercapai. Pertama, pemenuhan janji, yakni negara-negara harus menguatkan kesepakatan yang telah dibuat, seperti pendanaan iklim oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Kedua, menyelesaikan perjanjian. Menurutnya, Perjanjian Paris harus diselesaikan dan dilaksanakan karena negosiasi tentang pedoman operasinya telah berlangsung selama lima tahun, dan Espinosa menganggap sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.

Ketiga, meningkatkan ambisi. Negara-negara harus menetapkan dan membuat aksi dari pandangannya dalam mitigasi perubahan iklim, beradaptasi, dan mendanai transformasi menuju masa depan yang netral karbon.

Keempat, bersikap inklusif karena krisis iklim ini terjadi pada masyarakat dunia sehingga harus diselesaikan bersama. Maka itu, tidak ada pendapat maupun solusi tentang perubahan iklim yang layak ditinggalkan.

3. Mikaela Loach

Sebagai mahasiswa kedokteran di University of Edinburgh, Loach memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat gerakan iklim lebih inklusif di media sosial. Ia mengambil fokus irisan antara krisis iklim dan isu hak asasi manusia, seperti penganiayaan orang-orang migran dan supremasi kulit putih.

Selain itu, ia juga mengadvokasi keadilan lingkungan, keadilan rasial, hak-hak pengungsi, dan isu sustainability. Oleh karena itu, ia membantu pengikutnya di Instagram untuk berhenti mengenakan fast fashion karena hal itu berkaitan dengan isu rasial dan iklim.

Menurut Loach, fesyen tidak dapat dikaitkan dengan pemberdayaan apabila hanya sang pemakai saja yang merasa nyaman dan senang dengan harga yang ditawarkan, sedangkan para pembuat pakaian justru tertindas akibat eksploitasi tenaga kerja.

 Instagram @mikaelaloach

Tak hanya aktif di media sosial, pada 2019, perempuan kelahiran Jamaika ini bergabung dengan Extinction Rebellion, sebuah gerakan lingkungan global yang menggunakan pemberontakan tanpa kekerasan. Extinction Rebellion bertujuan untuk mendesak pemerintah menghindari masa kritis dalam sistem iklim, risiko keruntuhan sosial dan ekologis, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

“Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah atau siapa pun untuk membuat perubahan iklim. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita adalah diri sendiri, dengan bergabung bersama gerakan iklim dan ikut menciptakan perubahan,” katanya dilansir Vogue.

Kepeduliannya terhadap lingkungan itu membuat Loach dinominasikan dalam Global Citizen Prize: UK’s Hero Award pada 2020. Tak heran bila ia dipandang sebagai salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif di bidang lingkungan dan perubahan iklim.

4. Sunita Narain

Perempuan yang berprofesi sebagai peneliti kebijakan lingkungan sejak 1982 ini merupakan direktur jenderal di lembaga penelitian independen Centre for Science and Environment (CSE). Bersama koleganya, ia terlibat dalam mitigasi polusi udara.

Pada 2005, Narain mengepalai Tiger Task Force atas arahan Perdana Menteri India, untuk mengembangkan rencana aksi konservasi di negara tersebut setelah harimau di Sariska dinyatakan sudah tidak ada.

Pada tahun yang sama, ia meraih Stockholm Water Prize—penghargaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan air. Penghargaan tersebut diberikan atas kerjanya dalam panen air hujan, dan pengaruh kebijakannya dalam membangun paradigma pengelolaan air berbasis komunitas.

Twitter @sunitanar

Narain juga meraih beberapa penghargaan lain, seperti Raja-Lakshmi pada 2009 dari Sri Raja-Lakshmi Foundation di Chennai, India, dan Padma Shri pada 2005 yang diberikan oleh pemerintah India.

Kini, ia mengkhawatirkan suara minoritas di negara-negara Global South akan ditenggelamkan dalam dialog perubahan iklim. Ia memandang, pembicaraan seputar perubahan iklim harus lebih inklusif. “Setiap orang berhak atas pembangunan, artinya juga berhak atas energi bersih,” tuturnya dikutip dari TIME.

5. Kotchakorn Voraakhom

Saat masih anak-anak, Voraakhom terbiasa bermain air banjir di Bangkok, Thailand. Keluarganya pun sempat tidak memiliki rumah akibat bencana alam tersebut, dan hal itu membuatnya menginginkan perubahan untuk keluarga dan komunitasnya. Dari situ ia berpikir, jika melibatkan lebih banyak rumput dalam pembangunan, hal tersebut akan mengurangi kerusakan akibat beton.

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim ini dinobatkan sebagai salah satu arsitek terbaik di Thailand yang mendorong perubahan sosial. Ia membangun arsitektur firma, Landprocess, dan merancang Centennial Park. Taman seluas 45 ribu meter persegi itu bukan sekadar untuk rekreasi atau keindahan tata kota, melainkan ruang penyimpanan air hujan dan menyelamatkan jalanan di sekitarnya dari banjir saat hujan lebat.

“Ini bukan perkara menghilangkan banjir atau solusi rekayasa membangun bendungan besar, tetapi bagaimana kita hidup berdampingan dengan air,” ucap salah satu TED Fellow ini kepada CNN.

Instagram @kotch_voraakhom

Dengan profesinya itu, pada 2017, Voraakhom yang merupakan lulusan Chulalongkorn University dan Harvard University juga mendirikan Porous City Network (PCN), sebuah perusahaan sosial arsitektur lanskap, untuk meningkatkan ketahanan perkotaan di Bangkok terhadap perubahan iklim, terutama banjir.

PCN bekerja sama dengan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan tantangan iklim, seperti mengubah permukaan hardscape yang kurang dimanfaatkan, menjadi ruang hijau publik yang permeabel. Voraakhom menerima beasiswa dari Echoing Green dan Equity Initiative berkat inovasinya.

Read More

Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bekerja di sebuah agensi membuat “Kania” (22) tidak percaya diri dengan profesi dia dan gaji yang dia terima. Berulang kali ia membandingkan diri dengan anggota keluarga yang dinilainya lebih terpandang.

“Kakak pertama saya karyawan swasta di perusahaan tambang dan yang kedua seorang dokter, sedangkan Papa bekerja sebagai direktur keuangan di perusahaan teknologi informasi swasta. Jadi, gaji saya enggak ada 10 persennya gaji mereka,” ujarnya kepada Magdalene (25/10).

Selain terbebani akibat membandingkan profesi dirinya dengan anggota keluarganya, Kania sendiri masih memiliki cara berpikir generasi terdahulu yang menganggap pekerjaannya baru dianggap bonafide apabila menjadi karyawan di perusahaan besar dan ternama.

Pengalaman serupa pun dirasakan Laras, (23), seorang kreator konten di perusahaan startup, sewaktu magang di perusahaan tersebut. Saat itu, ia digaji per hari dan pekerjaannya mengharuskannya lebih sering ke kantor. Sementara, rekan kerjanya yang work from home menerima upah lebih tinggi.

“Bukan membandingkan pekerjaan saya, tapi ke kantor kan perlu ongkos dan uang makan, sementara gaji saya lebih kecil. Rasanya jadi enggak adil,” katanya. 

Setelah menjadi karyawan tetap, Laras pernah iri karena melihat orang lain yang pekerjaannya dapat dilakukan dengan fleksibel tanpa harus ke kantor.

“Mereka bisa menyimpan ongkosnya untuk kerja dari Bali sekaligus have fun, sedangkan saya harus mengeluarkan sebagian gaji untuk ongkos, uang makan, dan bayar cicilan. Bahkan, untuk kasih ke orang tua aja masih sedikit,” ujar Laras.

Sebetulnya, wajar apabila kita merasa insecure tentang pekerjaan dan penghasilan, terlebih jika baru bekerja untuk pertama kali. Pun banyak konten di media sosial dan warganet yang mematok gaji setinggi mungkin sebagai standar hidup sejahtera, dengan anggapan setiap orang memiliki kebutuhan sama.

Untuk mengatasi persoalan ini, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan agar lebih percaya diri dengan profesi maupun penghasilan kamu. 

1. Perlunya Budgeting

Budgeting atau mengatur anggaran pribadi merupakan salah satu kunci dalam mengelola keuangan agar penghasilan dapat disalurkan sesuai kebutuhan. Di media sosial, ada banyak cara yang disarankan oleh ahli keuangan, influencer, maupun warganet yang berbekal dari pengalamannya.

Salah satu caranya adalah membagi penghasilan ke dalam beberapa pos kebutuhan, dan menentukan persentase berdasarkan skala prioritas. Namun, persentase itu tidak dapat dipukul rata ke setiap orang karena perbedaan penghasilan dan pengeluaran. 

Certified Financial Planner, Annisa Steviani mengatakan, “Ada yang bilang kalau single, seharusnya 50 persen gajinya bisa ditabung. Padahal, yang paling tahu tentang gaji dan kebutuhan kan diri sendiri. Jadi, tidak bisa dibuat standar,” ujarnya pada Magdalene (26/10).

Menurut Annisa, yang penting dilakukan adalah mencatat pengeluaran dan penghasilan untuk melihat kebutuhan apa yang jumlahnya bisa dikurangi dan ditambahkan ke tabungan.

“Kalau misalnya orang lain bilang nabung sebaiknya tidak pakai uang sisa, menurutku enggak bisa. Ada yang melakukannya di awal, padahal uangnya belum tentu sisa. Ternyata, di akhir bulan uangnya enggak mencukupi untuk pengeluaran. Nabung itu kan penghasilan dikurangi pengeluaran,” tuturnya.

Jika demikian, artinya penghasilan belum cukup dan seseorang perlu ebih realistis dalam budgeting.

2. Belajar Merasa Cukup

David Ning, seorang ahli keuangan pribadi dan blogger finansial asal AS yang mendirikan situs MoneyNing, mengatakan dalam situsnya, membandingkan diri dengan orang lain selalu membuat seseorang merasa kurang, dan cenderung mengejar hal-hal lain yang dilihat sebagai sebuah ketertinggalan.

Maka itu, merasa cukup memiliki peran penting untuk mencapai ketenangan dalam hidup, sehingga kita memahami kebutuhan dan keinginan, bukan berdasarkan anggapan rumput tetangga terlihat lebih hijau.

“Ketika kita sudah mengontrol diri dengan baik, ada faktor eksternal yang bikin kita lagi-lagi mempertanyakan kondisi finansial. Contohnya saja, keluarga yang suka bertanya ‘kapan beli mobil?’ setelah melihat seorang kenalan melakukannya, padahal kita enggak butuh,” jelasnya.

Selain itu, Annisa menuturkan, menghabiskan uang untuk menuruti emosi sesaat merupakan hal lain yang membuat seseorang sulit merasa cukup dengan penghasilan.

Pada sebagian orang, menghabiskan uang menjadi pelampiasan emosi yang dirasakan, misalnya dengan membeli sesuatu atas pencapaian berkedok self-reward, menghibur diri dengan belanja online, atau menenangkan pikiran dengan jajan makanan. Disadari atau tidak, saat melakukan itu, mereka hanya menginginkan perasaan senang yang dirasakan sesaat, atau chasing pleasure.

“Uang itu jumlahnya pasti, enggak bisa dikaitkan dengan emosi manusia yang selalu berubah. Kalau begini, artinya perlu refleksi diri,” ucapnya.

3. Pekerjaan dan Gaji Tidak Mendefinisikan Diri

Tak dimungkiri, setiap bertemu seseorang, sering kali kita dapat pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” atau “Jabatanmu apa?”.

Pada saat tertentu, kalimat yang umumnya ditujukan untuk mengetahui kabar terkini atau latar belakang, malah menjadi tekanan bagi yang memilih hidup biasa-biasa saja, maupun belum mencapai titik tujuan.

Selain itu, sebagian orang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian di pekerjaan, tingginya jabatan, atau jumlah saldo di rekening bank. Tentu sah-sah saja, tetapi secara tidak langsung, identitas diri mereka dikaitkan dengan penghasilan, sehingga mereka terjebak dalam pekerjaannya.

Satu hal yang perlu kita perhatikan, menginvestasikan sebagian besar waktu dan energi untuk berkarier membuat batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi kabur. 

Anne Wilson, profesor psikologi di Wilfrid Laurier University, Kanada menjelaskan, keadaan psikologis ini merupakan enmeshment, atau jeratan, dan menyebabkan krisis identitas ketika pindah atau keluar dari pekerjaan.

“Jika keberhargaan diri terikat dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang dialami akan berdampak langsung dengan harga diri,” katanya kepada BBC. Nantinya, hal ini berpengaruh pada kesehatan mental karena dapat memicu depresi, kecemasan, dan penggunaan obat terlarang.

Maka itu, kita perlu menyadari bahwa pekerjaan adalah salah satu bagian dalam diri, bukan menggambarkan nilai diri secara keseluruhan, sekalipun pekerjaannya diidamkan atau dinikmati. Dengan begitu, kita bisa lebih percaya diri dengan profesi kita.

4. Melakukan Pekerjaan Sampingan Jika Dibutuhkan

Selain pekerjaan utama, sebagian anak muda menganggap penting memiliki pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup, memiliki uang jajan tambahan, ataupun tabungan.

Laras mengamini hal tersebut mengingat mahalnya cicilan rumah dan ia memerlukan pekerjaan untuk membahagiakan diri sendiri. Sementara, Kania ingin melakukannya untuk memenuhi passion-nya, yakni menulis, selain menambah penghasilan bulanan yang nilainyq sedikit lebih tinggi dari UMR Jakarta.

Terkait pekerjaan sampingan, Annisa menuturkan, hal tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan mengejar penghasilan orang lain yang nominalnya lebih besar.

“Pertama, kita harus tahu, uang dari penghasilan utama ini cukup atau enggak. Kalau merasa perlu tambahan untuk menghidupi keluarga, ambil kesempatan itu. Yang penting, selisih antara penghasilan dan pengeluarannya cukup memenuhi kebutuhan hidup,” jelasnya.

5. Mencari Tahu Arti Kesuksesan dan Tujuan Hidup

Setiap orang memiliki arti kesuksesan dan tujuan hidupnya masing-masing yang belum tentu diorientasikan dengan uang. Oleh karena itu, lihat ke dalam diri dan ketahui apa definisi kesuksesan, yang ingin dicapai lebih, mengapa hal tersebut dianggap penting, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapainya.

Dengan demikian, kita dapat melihat apakah pekerjaan saat ini adalah salah satu langkah yang membawa diri pada titik tersebut, dan memperkirakan nominal yang diperlukan. Namun, memang tak dimungkiri, terlepas dari apa pun tujuan hidup seseorang, uang memiliki peran dalam prosesnya.

Maka itu, Annisa menyarankan, apabila modalnya masih kecil, lebih baik tidak melakukan investasi pada benda, lembaga, atau pemodal yang dianggap berharga, melainkan kemampuan diri.

Dengan mempelajari hal baru dan mengambil kursus atau sertifikasi, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas diri. Hal tersebut justru membuka kesempatan baru untuk memiliki penghasilan tambahan.

“Nantinya, penghasilan yang lebih dari cukup akan memudahkan kita mencapai tujuan, karena tabungan dan hasil kerja keras akan terlihat realistis,” terangnya.

Read More

Maria Ressa: Penegak Kebebasan Pers Filipina, Peraih Nobel Perdamaian 2021

“Saya sangat bersyukur dan terhormat karena jurnalis mendapatkan perhatian, artinya komite menunjukkan jurnalis menerima serangan. Mungkin masa depan kita akan bergantung pada seberapa baik kita bekerja.” 

Kata-kata ini diungkapkan Maria Ressa jurnalis Filipina kepada Al Jazeera, setelah meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 pada 8 Oktober lalu. Bersama Dmitry Andreyevich Muratov, Ressa memenangkan penghargaan tersebut karena upayanya melindungi kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat demokrasi dan perdamaian. Dengan berani ia menyoroti perihal penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme di Filipina.

Berprofesi sebagai jurnalis selama puluhan tahun, perempuan berusia 58 tahun itu menyatakan kehadiran teknologi membuat platform berita kehilangan kekuatannya dalam melakukan gatekeeping. Situasi ini membuat fakta menjadi diperdebatkan di ruang publik, sehingga batas antara fakta dan kebohongan menjadi kabur.

Kepada CNN, Ressa mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pemilihan presiden Filipina pada 2022. Ia menyampaikan, jika platform yang menyampaikan berita bias terhadap fakta, integritas pemilu dipertanyakan karena yang disebarkan adalah kebohongan dan kebencian.

“Filipina tidak akan keluar dari situasi ini apabila fakta, penalaran berdasarkan bukti, dan realitas bersama tidak didapatkan,” ujarnya, menggambarkan situasi negaranya yang akan semakin terpecah.

Baca Juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban

Mendapat Ancaman Karena Mengkritik Pemerintah

Berawal dari sebuah laman Facebook bernama MovePH pada Agustus 2011, Ressa mendirikan Rappler pada Januari 2012 bersama sekelompok jurnalis lainnya. Mengutip Sydney Morning Herald, Founder dan Senior Editor Rappler, Chay Hofileña mengatakan, mereka melihat jurnalisme dan media sosial berpotensi membentuk perubahan sosial.

Lewat platform berita, mereka ingin menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, isu-isu misoginis, menyelidiki pengusaha ternama di Filipina, perang narkoba oleh Presiden Rodrigo Duterte, dan kampanye pembunuhan yang merenggut 20.000 nyawa.

Pada Oktober 2016, Maria Ressa jurnalis Filipina memublikasikan sebuah artikel berjudul “Propaganda war: Weaponizing the internet” di situs Rappler. Artikel ini menyoroti Duterte dan pendukungnya yang mengerahkan pasukan untuk mengintimidasi oposisi, menyebarkan disinformasi di internet, dan membungkam kritik. Artikel tersebut dianggap mendiskreditkan pemerintah, dan banyak komentar yang menyerang jurnalis atau media yang memublikasikannya.

Sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak menurut We Are Social, masyarakat Filipina menggunakan media sosial sebagai alat propaganda, sehingga disinformasi tumbuh dengan cepat. 

Dari peliputan tersebut, banyak yang mempertanyakan kredibilitas Ressa sebagai seorang jurnalis. Ada yang menuduhnya berbohong dan mengatakan informasi yang disampaikan dalam artikel tersebut tidak akurat. Lebih dari itu, ia menerima lebih dari 2000 sumpah serapah di Facebook pada 2017. Penyerang itu menjulukinya dengan istilah-istilah kotor, hingga diancam akan mati, ditangkap, dan dipenjarakan. Bahkan, seorang laki-laki menyumpahinya diperkosa hingga mati. 

Serangan itu tak hanya dilakukan oleh pendukung Duterte, sang presiden pun melakukan aksinya dengan menyebut Rappler dimiliki oleh Amerika Serikat, didanai oleh Central Intelligence Agency (CIA), dan media yang menyebarkan berita palsu. Dari serangan yang terjadi, jelas tampak bahwa kebebasan pers di Filipina terancam.

Dilansir The Guardian, persoalan tersebut membuat Securities and Exchange Commission (SEC), sebuah lembaga pemerintah Filipina yang bertanggung jawab mengatur industri sekuritas, mencabut surat izin Rappler. Namun, saat kasus tersebut dibawa ke pengadilan banding, disebutkan kasusnya tidak berdasar sehingga dikembalikan ke SEC.

Baca Juga: Mengenal Jia Ling, Sutradara Perempuan Tiongkok yang Sedang Meroket

Ditangkap Akibat Pencemaran Nama Baik

Pada Oktober 2017, Wilfredo Keng menuntut Ressa dan Reynaldo Santos, karena Rappler mempublikasikan artikel penyuapan Keng ke Hakim Agung Renato Corona. Sebetulnya artikel itu dipublikasikan pada 2012, sebelum Benigno Aquino III menandatangani UU tindakan pencemaran nama baik di dunia maya.Namun, karena ada kesalahan pengejaan, Rappler menerbitkan kembali artikel tersebut pada 2014, dan karena pada saat itu UU tindak pencemaran nama baik di internet sudah disahkan, Departemen Kehakiman menilai kasusnya dapat dilanjutkan. 

Dari kasus tersebut, Ressa baru dinyatakan bersalah pada 15 Juni 2020. Menurut hakim, Rappler tidak memberikan bukti bahwa mereka memverifikasi tuduhan kejahatan, jadi mereka dianggap mengabaikan kebenaran informasi tersebut.

Persatuan Jurnalis Nasional Filipina menilai keputusan hakim bisa membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun, juru bicara kepresidenan Harry Roque, meminta media menghargai keputusan pengadilan itu. Ia juga meyakinkan ke publik bahwa keputusan ini tidak berpengaruh ke komitmen Duterte tentang kebebasan pers.

Baca Juga: Nurul Bahrul Ulum Dakwah di Medsos Lawan Tafsir Tak Ramah Perempuan

Terlepas dari kasus pencemaran nama baik, sejak 2018 Ressa dan Rappler juga menghadapi 10 kasus investigasi lainnya, seperti penuduhan kepemilikan asing ilegal, dan penyelidikan atas pengembalian pajak.

Menanggapi persoalan ini, komunitas internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Reporters Without Borders, justru menilai perkara ini melibatkan politik.

Deputy Director Asia Division Human Rights Watch, Phil Robertson mengatakan dalam situs organisasi tersebut, vonis terhadap Ressa mencerminkan pemerintahan yang manipulatif karena menyerang kekritisan media yang menyuarakan kondisi negara. Ia mengkhawatirkan kasus ini memicu kebebasan pers di negara lain yang sebelumnya telah membebaskan media dalam peliputannya dan mengutamakan demokrasi.

Read More
Diskriminasi Perempuan Pekerja ‘Event’, Bukti Negara Absen

Diskriminasi Perempuan Pekerja ‘Event’, Bukti Negara Absen

Awal September lalu, Putu Dessy Fridayanthi, Master Ceremony (MC) perempuan, menerima diskriminasi usai dilarang tampil di acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, hanya karena ia perempuan. Itu bukan kali pertama, sebab berdasarkan kronologis yang diceritakannya di Instagram story, peristiwa tersebut sudah berulang selama tiga tahun terakhir.

Selain Dessy, beberapa perempuan lainnya yang pernah bekerja di sebuah acara maupun event organizer, mengalami hal serupa.

Gita, 28, periset di perguruan tinggi negeri menceritakan pengalamannya kepada Magdalene pada (22/9). “Gara-gara perawakan dan gaya saya maskulin, juga bersuara berat, saya sering dimanfaatkan atasan untuk mengurus hal-hal teknis kalau ada event,” tuturnya.

Bukan hanya itu, Gita pun mengalami pelecehan berupa catcalling, ketika mengawasi pemasangan panggung pada tengah malam hari.

Sementara “Anggun”, 22, pekerja swasta di sebuah perusahaan event mengalami diskriminasi berupa perbedaan pembagian pekerjaan, antara laki-laki dan perempuan.

“Perempuan enggak pernah in charge sebagai kru yang running event, padahal kita punya pengalaman yang cukup bagus lho. Otomatis ini ngaruh ke gaji perempuan,ceritanya.

Terlepas dari kapabilitas perempuan untuk melakukan berbagai tanggung jawab tersebut, ini jelas berkaitan dengan pola pikir diskriminatif dan bias gender. Masih banyak pihak menganggap orang-orang berpenampilan macho, lebih kuat dalam melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih. Sementara perempuan yang “lemah gemulai” terjebak di ruang gerak yang terbatas.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya 

Kurangnya Implementasi UU Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Meskipun Indonesia telah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, atau Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), pelaksanaannya masih belum maksimal. Ini juga yang menyebabkan para perempuan pekerja di bidang event masih mengalami diskriminasi.

“Perlu diakui ada banyak perkembangan yang diupayakan pemerintah untuk menghapus diskriminasi, seperti keberadaan UU KDRT dan UU Perkawinan Anak, itu kan contoh produk perundang-undangan yang berpihak pada perspektif gender,” tutur Ketua Yayasan Kalyanamitra dan anggota CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), Listyowati, dalam wawancara bersama Magdalene pada (23/9).

Namun, menurutnya kondisi Indonesia memprihatinkan karena masih terdapat program UU yang sangat bias gender dan mendiskriminasikan perempuan, misalnya Peraturan Daerah (Perda) Syariah.

Menjadi kewajiban negara untuk menegakkan dan menyamakan perspektif kesetaraan gender, agar para stakeholders maupun pihak swasta seperti penyelenggara atau perusahaan event, dapat berpartisipasi menghapus diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

“Kalau negara ikut dan punya kebijakan jelas terhadap kesetaraan gender, pasti tujuan itu bisa tercapai. Seandainya negara saja tidak berperan dan tidak punya ketegasan, perempuan akan mengalami diskriminasi secara terus menerus,” terangnya.

Ia menambahkan, sulit bagi masyarakat sendiri untuk mendorong pihak swasta agar memenuhi hak perempuan.

Pun kondisi saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Alasannya, di berbagai bidang seperti politik, kesehatan, seksualitas, pendidikan, dan desa masih banyak terjadi.

Sebagaimana tertulis dalam laporan CWGI, yang dipublikasikan dalam situs Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) untuk Dialog Konstruktif pada Oktober mendatang, tidak ada peraturan nasional untuk menghentikan kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja, sehingga mereka yang menjadi korban tidak dapat menuntut haknya.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Selain itu, Listyowati menuturkan tantangan CWGI dalam menerapkan perlindungan dan pemajuan hak perempuan pekerja, seperti tidak ada kejelasan negara untuk melaksanakan komitmennya membangun perspektif dan kesetaraan gender, serta memenuhi hak perempuan pekerja.

Hal ini berhubungan dengan pihak swasta, dan membicarakan pekerja, artinya berkaitan dengan mereka.

“Kita melihat pihak swasta masih melakukan kekerasan, untuk melakukan gender mainstreaming pun masih sulit. Lalu mereka hanya mendengarkan negara, sedangkan negaranya malah tunduk terhadap hal tersebut. Bagaimana enggak rumit?” katanya.

Ciptakan Ruang Kerja Inklusif dan Kondusif

Terdapat empat indikator yang perlu diterapkan untuk menciptakan ruang kerja inklusif dan kondusif bagi perempuan, yaitu tidak membedakan kesempatan, akses, kontrol dan manfaat, serta partisipasi.

Dari keempat indikator tersebut akan diimplementasikan dalam tahap perekrutan pekerja, penempatan pekerjaan, pembagian tanggung jawab kerja, pemberian upah, serta perlindungan hak dan jaminan, sebagaimana tertera dalam Pasal 11 CEDAW.

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

“Hak kesehatan reproduksi perempuan juga perlu diperhatikan karena memiliki kekhususan, misalnya memberikan cuti hamil, haid, lalu kesempatan menyusui atau memerah ASI di ruang laktasi yang bersih dan higienis,” ujar Listyowati.

Menurutnya, penting bagi perempuan bersikap kritis sebelum memutuskan bekerja di sebuah perusahaan. “Kita harus paham jenis pekerjaan, hak dan kewajiban, serta kejelasan kontrak kerjanya seperti apa. Supaya ada kejelasan tentang lingkungan kerjanya,” jelasnya.

Yang disayangkan, perempuan kurang memperhatikan hal-hal tersebut karena membutuhkan pekerjaan dan mengutamakan menerima penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bersedia melakukan apa pun pekerjaannya. Secara sepihak, tentu ini menguntungkan perusahaan.

Kemudian, para pekerja perempuan yang berjuang menuntut haknya di tempat kerja, dapat membentuk komunitas untuk mengekspresikan kebutuhannya. Dari sini, mereka memiliki pengaruh cukup besar dan memiliki potensi didengarkan oleh para petinggi perusahaan.

Sebenarnya, ini tak hanya kewajiban pekerja perempuan, tetapi seluruh lapisan masyarakat berperan untuk tetap saling mengedukasi isu ketidakadilan gender.

“Ini kewajiban bersama untuk meningkatkan kapasitas terhadap masyarakat, khususnya perempuan, agar paham dan kritis tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang harus dilawan,” ucapnya.

Read More
Adelle Odelia Tanuri co founder rahasia gadis

Komunitas Rahasia Gadis Aktif Edukasi dan Dorong Perempuan Muda Jadi Berdaya

Freedom is the meaning of girls empowerment. Freedom from and freedom to. Perempuan bebas dari kecemasan, insecurity, dan segala bentuk perbudakan. Perempuan juga bebas untuk memimpin, menjalani, dan mencapai impian mereka,” ujar co-founder Komunitas Rahasia Gadis, Adelle Odelia Tanuri (24), dalam wawancara bersama Magdalene pada (25/8).

Mendefinisikan diri sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda yang memiliki empati, mempraktikkan self-love, dan mengapresiasi keberagaman, Rahasia Gadis mengawali perjalanannya pada 2014. Mereka secara aktif membagikan tips ringan seputar kebutuhan perempuan di Instagram.

Seiring berjalannya waktu, para co-founder Rahasia Gadis, Adelle dan Dhika Himawan (25), menyadari adanya kapabilitas untuk membentuk komunitas. Hal ini berawal dari para perempuan muda yang hampir setiap hari menceritakan permasalahannya lewat “Confession Room” di situsnya.

Baca Juga: Sebuah Usaha Mendobrak Stigma, Cerita 3 Komunitas

Oleh karena itu, mereka bertekad untuk mengembangkan dan mempererat komunitas perempuan muda di Indonesia lewat Instagram @rahasiagadis.

“I think this is more than an Instagram page. Kekuatan Rahasia Gadis lebih dari itu. Kami bisa membantu perempuan muda untuk lebih teredukasi dan memahami kekuatannya, serta harga diri mereka sebagai perempuan,” kata Dhika.

Strategi Rahasia Gadis dalam Memberdayakan Perempuan Muda

Dalam mencapai kebebasan sebagaimana didefinisikan oleh Adelle, perempuan muda di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan seperti melupakan harga diri, belum mengetahui haknya sebagai perempuan, dan terfokus pada keterbatasan sehingga belum mengenal kekuatannya. Dari situ, Rahasia Gadis berusaha mendorong pemberdayaan perempuan.

Salah satu caranya, tim Rahasia Gadis membagikan cerita hidup mereka untuk menginspirasi komunitasnya, meskipun mereka masih dalam proses membuka diri.

“Awalnya saya lebih suka di balik layar, then we realized the power of storytelling, baik itu menginspirasi orang lain maupun bikin perasaan kita lega. It’s such a struggle for us to share a story,” cerita Dhika.  Ia sendiri membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk menceritakan pengalaman panic attack-nya lewat Instagram Rahasia Gadis.

Sementara menurut Adelle, membagikan ceritanya menjadi salah satu proses healing.

“Perjuangan dan kesulitan kita itu jadi sumber kekuatan orang lain, karena mereka merasa enggak sendirian ada di posisi yang sedang dialami,” tuturnya.

Baca Juga: Solidaritas Perempuan Bentuk Ekosistem Pendukung untuk Perempuan Pengusaha

Sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda yang mendorong anggotanya untuk mengembangkan potensi diri, Rahasia Gadis turut mengedukasi lewat konten interaktif di Instagram. Mereka memperkenalkan isu kekerasan seksual, kepemimpinan perempuan, self-love, dan arti menjadi seorang perempuan.

Dikutip dari Kompas.com, pada Maret lalu, dalam peluncuran kampanye virtual “Stand Up Against Street Harassment”, Hollaback! Jakarta menggagaskan metode 5D untuk membantu korban pelecehan seksual, baik bagi saksi maupun korban. Metode 5D yang dimaksud terdiri dari dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan

Menurut Dhika, dalam metode 5D ini terdapat substansi yang belum dijelaskan di dalamnya.

“Di metode itu udah dipaparkan secara jelas tentang langkah-langkahnya, tapi ada sesuatu yang hilang, yaitu penjelasan tentang apa itu pelecehan seksual. How can we act against something when we don’t know what sexual harassment is?” ujarnya.

Lebih lanjut Dhika memaparkan, sampai saat ini masih banyak perempuan yang belum mengenal pelecehan seksual, consent, haknya sebagai individu di masyarakat, dan perlindungan hukum untuk mereka. 

“Ada banyak media dan key opinion leader yang angkat suara tentang pemberdayaan dan mengedukasi perempuan, tapi mereka belum mendefinisikan hak kita sebagai perempuan, dan itu jauh lebih penting sebelum mengajarkan mereka cara bertindak.”

Oleh karena itu, Rahasia Gadis mengedukasi mulai dari latar belakang suatu isu dan permasalahan untuk membantu pemahaman para perempuan muda.

“Dengan mengenal dasar-dasarnya, nantinya mereka bisa bertindak sendiri tanpa kita ajarkan,” sambungnya.

“There are still needs to be a lot of education in Indonesia. Dan, tidak hanya Rahasia Gadis yang berusaha, tapi semua pihak termasuk laki-laki, media, dan pemegang kebijakan.”

Disambut Antusiasme Tinggi Perempuan Muda 

Adelle percaya, Rahasia Gadis sebagai komunitas pemberdayaan perempuan muda bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab untuk mendorong kemajuan anggotanya. Mereka juga menekankan pentingnya para perempuan muda yang sudah teredukasi dan berdaya untuk menjadi support system di lingkungannya. Maka itu, Rahasia Gadis mengusung gagasan “Dari Gadis Ke Gadis” sebagai kampanye mereka.

Untuk melatih kepemimpinan perempuan muda, Rahasia Gadis membentuk RG Club yang mendorong anggota komunitasnya untuk menjadi pemimpin, membangun relasi, dan saling mendukung dalam mengekspresikan diri. 

Terdapat beberapa tema RG Club yang dapat diusung setiap klub, seperti women’s health, love and relationship, mental health, skincare and beauty, dan content. Para club leaders pun menerima training setiap bulan untuk membangun klubnya.

Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

Rahasia Gadis memilih sistem klub untuk membangun komunitas virtual secara luas.  “Dari sini, baik leaders maupun anggota klubnya bisa saling belajar dan mendukung satu sama lain,” jelas Adelle.

Selain itu, terdapat program “Mission Power”, yakni training virtual dengan cakupan kemampuan, pengetahuan, cara menjaga kesehatan mental, dan membentuk batasan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Program ini digelar berdasarkan cerita perempuan muda yang kurang percaya diri atau insecure, dan mendapat tekanan dari luar.

Adelle menjelaskan, ada antusiasme tinggi dari perempuan muda untuk berpartisipasi dalam Mission Power. Ini terlihat dari jumlah partisipannya yang mencapai lebih dari 1000 orang. “Ini kan artinya mereka punya kebutuhan dan ketertarikan untuk jadi pemimpin,” katanya.

Dalam menyusun program-programnya, komunitas pemberdayaan perempuan muda ini selalu membuat kegiatan berdasarkan kebutuhan para perempuan muda yang diketahui lewat survei, focus group discussion, dan obrolan dengan anggota komunitasnya.

Sampai sekarang, jumlah anggota komunitas Rahasia Gadis mencapai puluhan ribu dan tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan para perempuan muda memiliki kesadaran dan keberanian untuk keluar dari zona nyamannya, merealisasikan cita-cita mereka, sekaligus mendukung sesama perempuan.“Ada perwakilan anggota kami di setiap provinsi, bahkan sampai Papua dan Nusa Tenggara Timur. Maka itu, kami percaya pada kekuatan komunitas dan kami punya value merayakan keberagaman. Walaupun berbeda latar belakang, semua bisa bergabung,” tutup Adelle.

Read More
perempuan pekerja sektor digital

Para Perempuan yang Tergilas Teknologi Digital

Pesatnya perkembangan teknologi meninggalkan jenis-jenis pekerjaan yang tidak lagi relevan. Hal ini berdampak bagi perempuan yang hingga saat ini menghadapi kesenjangan teknologi digital.

Dalam peluncuran dan diskusi publik Jurnal Perempuan berjudul “Perempuan Pekerja di Tengah Krisis dan Perubahan Teknologi” (24/8), dunia kerja mengalami perubahan drastis sejak pandemi COVID-19 pada Maret 2020, karena pekerjaan harus bertransformasi ke digital. Maka itu, perempuan dituntut memiliki kecakapan mengakses teknologi digital yang sifatnya seperti keberlangsungan hidup.

Pada diskusi tersebut, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, menceritakan bagaimana trainer perempuan di perusahaannya harus beradaptasi dengan teknologi.

Trainer kami berusia 71 tahun. Akibat pandemi, seluruh aktivitas training beralih ke online, tapi beliau mau belajar menggunakan teknologi, bahkan media sosial untuk hal positif dan kreatif,” katanya.

Maya melihat kemampuan adaptasi itu sebagai penerapan sifat feminin perempuan secara natural.

Namun, tidak semua perempuan dapat beradaptasi mengikuti perubahan teknologi. Ada banyak pembatasan yang dibuat oleh lingkungan sosial, hanya karena seseorang berjenis kelamin perempuan.

Misalnya di industri Science Technology Engineering Math (STEM) yang minim mempekerjakan perempuan sebagai teknisi, karena pekerja laki-laki tidak tega jika perempuan melakukan pekerjaan berbahaya seperti memanjat tower. Niat baik tersebut justru salah satu musuh terbesar kesetaraan gender, karena “menghalangi” perempuan dengan alasan keamanan.

“Padahal, kalau tidak aman untuk perempuan, artinya juga tidak aman untuk laki-laki,” ucap Maya menanggapi peristiwa tersebut.

Baca Juga: Keterasingan Perempuan dalam Transformasi Digital

Keterampilan Perempuan Mengakses Teknologi Digital

Di era globalisasi, penting bagi setiap orang memiliki kemampuan mengakses teknologi, terlebih di masa pandemi karena sebagian besar fasilitas dan kebutuhan dapat dijangkau secara daring, mulai dari informasi kesehatan, transaksi perbankan, pembelian makanan dan obat-obatan, hingga sertifikat vaksin.

Namun, jumlah perempuan yang mengakses internet lebih sedikit ketimbang laki-laki. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 menunjukkan sejumlah 48,57 persen perempuan menggunakan internet, sementara laki-laki mendominasi dengan 51,43 persen.

Jika melihat Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya, mungkin kita mempertanyakan hasil survei tersebut, tetapi kita perlu memperhatikan perempuan yang menetap di desa atau kota-kota kecil. Ada pengaruh kondisi sosial ekonomi, letak geografis, kesenjangan upah, norma sosial, dan minimnya pengetahuan yang membatasi ruang gerak perempuan dalam mengakses teknologi digital.

Dalam budaya patriarki, kebanyakan perempuan berperan dalam mengurus pekerjaan domestik, sehingga sedikit yang mampu memanfaatkan teknologi. Menurut  Maya, ini pun terjadi dalam dunia usaha, ketika teknologi menjadi hal merepotkan karena rendahnya digital fluency—kemampuan menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi digital secara efektif dan efisienpada perempuan.

Mengutip situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, I Gusti Bintang Darmawati mengatakan, perempuan dapat diberdayakan dalam kewirausahaan berperspektif gender perempuan. Dari situ, akan ada peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi dan potensi kewirausahaan perempuan yang mengimbangi kemampuannya menggunakan teknologi digital.

Akan tetapi, pemanfaatan teknologi digital pun masih sebatas media sosial, merujuk pada survei APJII pada 2017 yang menunjukkan persentase pengguna media sosial sejumlah 87,13 persen. Ditambah etika warganet Indonesia yang masih kurang, melihat hasil survei Microsoft tentang tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang 2020, ketika Indonesia menduduki posisi 29 dari 32 negara yang disurvei dalam laporan Digital Civility Index (DCI).

Padahal, penting bagi perempuan untuk melek teknologi dan berwawasan luas. Dengan demikian, perempuan dapat saling memberdayakan, menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas lewat pengasuhan anak, dan turut mengedukasi keluarga serta orang-orang di lingkungannya dalam mengoptimalkan penggunaan internet.

Baca Juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Work From Home Membawa Keuntungan bagi Perempuan Pekerja

Penerapan flexible working selama pandemiatau dikenal dengan work from home (WFH), memberikan keuntungan bagi perempuan karena dapat multitasking, mengingat adanya beban ganda yang dijalani, yaitu perannya sebagai pekerja sekaligus melakukan pekerjaan domestik.

IBCWE telah menerapkan sistem ini sejak 2017, meskipun tanggapan para pengusaha nasional sangat skeptis, karena mereka menilai seseorang melaksanakan pekerjaan, ketika melihat secara langsung. 

Walaupun demikian, berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh IBCWE pada 2020, terkait efektivitas pelaksanaan work from home. “Sebanyak 60 persen responden perempuan menilai bekerja dari rumah lebih efektif. Ini memudahkan mereka dalam mengurus berbagai keperluan,” ujar Maya, mengingat kini perempuan juga berperan sebagai guru ketika mendampingi anak-anaknya sekolah dari rumah.

Dari survei tersebut, kita melihat bagaimana perempuan sebetulnya terbiasa membagi pikirannya dan melakukan beberapa aktivitas dalam suatu waktu, misalnya menyempatkan diri di sela-sela rapat untuk memastikan anak-anaknya sudah makan siang dan mengerjakan tugas sekolah.

Baca Juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Sayangnya, tidak semua perempuan mampu bertahan berjuang menjalani tiga peran sekaligus; pekerja, mengurus keluarga, dan melakukan pekerjaan domestik. Apabila dilihat dari perspektif dunia usaha, banyak perempuan pekerja di bidang manufaktur justru mengundurkan diri. Mereka mengalami kesulitan dalam melakukan kewajibannya.

“Hampir lima ribu pekerja perempuan di salah satu anggota kami memilih resign,” tutur Maya. Ia menceritakan salah satu keluhan mereka ialah meminta pasangannya membantu anak saat sekolah di rumah, supaya sang ibu dapat tetap bekerja.

Selain itu, menurunnya kesehatan mental akibat jam bekerja yang tidak teratur dan cenderung bekerja lebih lama turut menjadi perhatian, lantaran mengaburkan batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Read More
Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor

Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor

Alih-alih menerima dukungan emosional dari masyarakat, ibu tunggal justru menghadapi stigma perempuan penggoda yang melekat pada dirinya. Seolah-olah tanggung jawab mencari nafkah sekaligus membesarkan anak belum cukup berat untuk dipikul.

Hal ini dihadapi oleh Devina (37). Saat bekerja sebagai account executive di perusahaan konstruksi, ia menerima ketidakadilan dari lingkungan kerjanya. Kejadian itu terjadi pada 2014, berawal dari HRD Manager-nya yang menempel daftar seluruh nama karyawan untuk medical check up. Sayangnya, status pernikahan turut dicantumkan di sana.

“Setelah daftar itu ditempel, sekantor jadi heboh dan sikap mereka berubah. Sebenarnya saya enggak mengingkari status janda atau ibu tunggal, tapi kan enggak perlu diumumkan ke semua orang,” tuturnya pada Magdalene, (3/8).

Sejak hari itu, banyak rekan kerjanya yang menggoda dan mengirimkan pesan di BlackBerry Messenger tengah malam, bahkan ia berhenti diajak makan siang bersama.

Devina mengatakan, ia dapat menghiraukan rekan kerja yang posisinya setara, tapi tidak dengan atasannya. “Atasan saya berusaha melakukan pendekatan, padahal dia sudah beristri. Awalnya saya menghindar, lalu saya tanya maunya apa, dia bilang ingin jadikan saya istri kedua. Ya saya menolak,” ceritanya, yang kemudian dibebani pekerjaan dari atasan tersebut hingga mengganggu kehidupan pribadinya.

Ibu dengan satu anak yang saat itu masih balita ini diminta mengurus proyek besar. Situasi itu memaksanya menangani proyek secara langsung bersama atasannya, bahkan kebanyakan rapat diminta di atas jam kantor. Alasan dari atasannya, yakni klien yang menentukan jadwal dan demi perkembangan karier Devina. 

Baca Juga: Sebuah Usaha Mendobrak Stigma, Cerita 3 Komunitas

Mengingat pekerjaannya saat itu, Devina menilai rekan kerja menganggapnya sebagai “paket komplet”, lantaran status pernikahan dan posisinya yang menuntut berpenampilan menarik dengan pakaian mini, makeup tebal, serta kepribadian akrab dengan semua orang.

“Rekan-rekan juga terlihat enggak suka dengan saya. Atasan saya itu loyal ke karyawan, tapi sejak tahu saya ibu tunggal, dia berhenti bersikap loyal ke yang lain. Mereka pikir dia hanya fokus ke saya, mungkin itu membuat mereka iri, jengkel, dan mengambil kesimpulan sendiri kalau saya godain dia,” ucap perempuan yang kini bekerja sebagai wirausaha. Ia menjelaskan, justru atasannya senang menghampiri mejanya.

Merujuk survei terhadap 7.500 karyawan penuh waktu oleh Gallup, sebuah perusahaan analisis dan penasihat di AS, perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dialami Devina merupakan alasan utama burnout dialami para pekerja.

Ketidakadilan ini termasuk bias, pilih kasih, menerima perlakuan buruk dari rekan kerja, hingga pemberian kompensasi yang tidak adil dan kebijakan perusahaan. Ikatan psikologis yang membuat pekerjaan bermakna akan rusak, ketika karyawan tidak memercayai rekan kerja dan atasannya.

Oleh karena itu, Devina memutuskan undur diri setelah mencoba bertahan selama setahun sejak kejadian tersebut. Hingga dia angkat kaki dari kantor sampai sekarang, tak pernah ada “maaf” dari HRD Manager atas kekeliruannya.

Perbedaan Perilaku pada Ibu dan Ayah Tunggal

Dalam keseharian, kita bisa melihat adanya bias perilaku masyarakat terhadap ibu dan ayah tunggal. Hal ini diutarakan oleh Marriage & Family Therapist dan Professor of Human Development and Family Science, Amanda Haire dan Christie McGeorge, dalam penelitian berjudul “Negative Perceptions of Never-Married Custodial Single Mothers and Single Fathers: Applications of a Gender Analysis for Family Therapists”.

Ayah tunggal dianggap memiliki sikap mengagumkan, karena memilih menghadapi tantangan dalam mengasuh anak sekaligus menyeimbangkan dating life. Sementara ibu tunggal diasumsikan harus mengasuh anak sebagai tanggung jawab atas perbuatan dan karakternya yang buruk sebagai individu, seperti kehamilan tidak diinginkan atau gagal mempertahankan hubungan.

Baca Juga: Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Bias tersebut turut dialami oleh Devina. Rekan kerjanya justru bersimpati dengan seorang ayah tunggal di divisinya.

“Dia tidak dianggap sebagai seseorang “berbahaya”, bahkan mereka bersikap baik dengannya. Terkadang, rekan-rekan perempuan memberikan makan siang dan menanyakan kabar anaknya,” ujar Devina.

“Kami sama-sama orang tua tunggal, bekerja di divisi Marketing, berpenampilan menarik karena tuntutan pekerjaan, dan bersikap humble. Tapi kenapa mereka enggak bisa memperlakukan saya seperti bapak itu?”

Sebagai masyarakat, kita memiliki peran dalam menghapus pandangan tersebut, karena baik ibu dan ayah tunggal memiliki kesulitannya dalam mengasuh anak. Tak hanya stigma pada ibu tunggal, pemikiran parenting pada perempuan bersifat natural dibandingkan laki-laki, secara tidak langsung telah meremehkan kemampuan mereka.

Pentingnya Dukungan Perusahaan

Perusahaan memiliki peran dalam menciptakan safe space untuk seluruh pekerjanya tanpa terkecuali, dan perlu membuat budaya kerja inklusif. Mengutip Harvard Business Review, perusahaan sebaiknya mempertimbangkan pemberian kompensasi terhadap orang tua tunggal, jika mereka diharapkan bekerja atau menghadiri acara kerja di luar jam kerja. Ini dikarenakan mereka perlu memberikan perhatian tambahan dalam mengatur pekerjaan.

Saat bekerja di perusahaan India selama dua tahun, Devina justru mengalaminya.  Atasannya meminta ia mengecek dokumen selama 1 jam setelah jam pulang kantor, ia pun menerima upah tambahan sebesar 30 persen dari upah bulanan.

Baca Juga: Ibu Tunggal dan Pencarian Cinta Kedua

Selain itu, ia merasa perusahaan lebih toleran terhadap perannya sebagai ibu tunggal. “Terkadang saya datang agak terlambat dan atasan saya bisa memaklumi, katanya urusan saya lebih banyak daripada pekerja perempuan lainnya,” ucapnya.

Bagi Devina, perusahaan dapat memberikan dukungan pada ibu tunggal sesederhana memperlakukan mereka seperti pekerja lainnya.

“Kami enggak minta diperlakukan khusus, minimal perlakukan seperti pekerja lainnya. Dukungan juga enggak harus berwujud materi, dengan kata-kata dan perhatian sudah cukup,” ujarnya.

Ia berharap tidak ada perusahaan lain yang mengumumkan status pernikahan ke semua orang, sebagaimana dialaminya. “Setiap ibu tunggal kesiapannya berbeda, ada yang bersedia memberi tahu dan enggak, tergantung proses healing masing-masing. Jangan sampai kejadian itu membuat ibu tunggal semakin terpukul,” tutupnya.

Read More
perempuan gig worker

Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tekanan ekonomi lebih membebani pekerja perempuan, tampaknya bukan pesan kosong. Buktinya, sektor bisnis paling banyak yang terdampak pandemi, diisi oleh para pekerja perempuan. Menurut catatan CNN Indonesia, 40 persen pekerja perempuan, seperti asisten rumah tangga, restoran, perhotelan, hingga akomodasi jadi jauh lebih miskin belakangan. Oleh The New York Times, ini disebut shecession, sebuah kondisi di mana kemerosotan pendapatan ekonomi lebih banyak dialami perempuan, berbeda dengan mancession 2008 di Amerika yang menimpa mayoritas lelaki

Jika sudah begini, perempuan pun terpaksa untuk pontang-panting bertahan hidup. Untungnya, kemajuan teknologi internet sedikit banyak mempermudah akses perempuan untuk memperoleh pendapatan. Tak heran jika kemudian istilah gig economy muncul sebagai ekses kemajuan tersebut. Dalam gig economy, perempuan bisa mencicipi lapangan kerja beragam, mulai dari mitra ojek online, kurir jasa pengiriman, dan kerja kontrak independen lainnya.

Baca Juga: Biru Terong Initiative: Berdayakan Perempuan, Picu Perubahan Sosial Lewat Video

Gig Worker Berawal dari Tuntutan

Bekerja sebagai gig worker menjadi satu-satunya pilihan bagi Natalia (40), seorang pengantar jasa titip makanan UMKM di Jakarta. Ia memilih tempat makan yang terkenal melalui Instagram @darihalte_kehalte. Mulanya, pekerjaan tersebut dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Namun, setelah seminggu tidak menerima penghasilan dari jasa ojek online-nya hingga diputus mitra, ia memutuskan untuk fokus bekerja sebagai jasa titip.

“Saya sudah mempromosikan jasa titip ini sejak 2 bulan sebelum pandemi, cuma sama sekali nggak ada yang pernah beli. Di hari saya putus mitra, kok ya Tuhan kasih jalan, langsung banyak pesanannya,” cerita Natalia.

Pekerjaan ini membuka berbagai peluang baginya. Kini ibu dua anak itu memiliki banyak pelanggan yang sering meminta tolong untuk mengantarkan paket, berbelanja ke pasar, sampai mencari 30 kaleng susu beruang yang sedang langka.

Berbeda dengan Natalia yang bekerja untuk menafkahi keluarga, Citra (30) seorang pedagang kue basah yang menjajakan dagangannya di Instagram @jajanan_salamah, memiliki tujuan berbeda dalam melakukan pekerjaannya. 

“Sebenarnya uang yang diberikan suami sudah cukup, tetapi sebagai perempuan kita harus tetap punya uang pegangan. Hitung-hitung ya penghasilan tambahan sekaligus menutupi kekurangan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan,” tuturnya. 

Ia memberlakukan sistem pre-order setiap minggunya dan memilih untuk mengantar pesanan secara langsung ke stasiun terdekat pelanggannya.

“Kalau pelanggan tinggalnya di Cilebut, saya naik Transjakarta lalu lanjut KRL. Nanti di Stasiun Cilebut baru saya pesankan ojek online untuk mengantar pesanan,” ujarnya. Citra mengaku memilih untuk mengantar langsung lantaran ingin mempertahankan kualitas kue sehingga ongkos produksinya di atas rata-rata.

“Setidaknya saya bantu mengurangi pengeluaran konsumen dengan cara seperti itu,” jelasnya.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Suka dan Duka

Selama 18 bulan terakhir, pekerjaan Natalia dalam layanan jasa titip mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Bahkan, ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan baginya.

“Waktu itu saya pasrah banget karena harus bayar uang semesteran anak. Eh, selama 3 hari berturut-turut ada pesanan dari Kementerian, seenggaknya sudah bisa membayarkan Rp700 ribu. Enggak lama, ada seseorang yang pesan makanan di Muara Karang, akhirnya saya ambil dengan perjanjian belanja ongkir Rp75 ribu untuk antar sampai Ragunan. Pas pelanggan ini ambil pesanannya, dia kasih uang Rp400 ribu. Jadi kuliah anak saya lunas dibayar sama pelanggan tersebut. Itu saya langsung duduk dan menangis di depan rumah orang,” cerita Natalia.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Nasib berbeda dialami Citra yang justru memikirkan ketidakpastian di masa pandemi ini. Ia mempertimbangkan kehidupannya tidak bisa terus menerus bergantung dengan usaha kue, terlebih selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Keadaan ini membuatnya harus menghentikan pekerjaannya untuk sementara waktu. Keputusan itu diambil karena pekerjaannya yang mengharuskan untuk berbelanja ke pasar hingga mengantar pesanan, sehingga terlalu berisiko untuk kesehatan.

“Sekarang saya mau fokus ikut CPNS tahun ini. Syukur-syukur kalau nanti lolos, uangnya bisa memperluas usaha dan mempekerjakan orang lain. Jadinya kan bisa sekalian memberdayakan perempuan,” ucapnya menaruh harapan.

Baca Juga: ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan

Masa Depan Gig Worker di Tangan Perempuan

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hyperwallet pada 2017, 61% perempuan gig workers di Amerika Serikat ingin menjadikan pekerjaannya sebagai karier full-time. Gig work pun dinilai lebih fleksibel, dapat memiliki work life balance yang baik, dan berpotensi mendapatkan pendapatan yang lebih besar serta setara dengan laki-laki.

Terkait lapangan kerja bagi gig worker ini turut dibahas dalam penelitian Katherine Lim dkk. berjudul “Independent Contractors in the U.S.: New Trends from 15 years of Administrative Tax Data” (2019). Mereka menunjukkan kemungkinan adanya pergeseran struktural yang luas di pasar tenaga kerja, terutama bagi perempuan yang diwakili oleh tren pertumbuhan untuk kontraktor independen.

Dengan bekerja sebagai gig worker, perempuan memiliki independensi dan kebebasan dalam menentukan pekerjaan, sehingga dapat menyesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya di dalam keluarga.

Read More

5 Karakter Netflix yang Merepresentasikan Realitas Ibu Bekerja

Nestapa rasanya saat mendengar omongan tetangga dan kerabat yang menilai karakter ibu bekerja sebagai sosok yang kurang menyayangi anaknya, hanya karena mereka memutuskan untuk kembali berkarier. Situasi ini membuat perempuan pekerja seolah dihadapkan pada pilihan antara keluarga dan pekerjaan, lantas dianggap lebih mencintai kariernya dibandingkan sang buah hati. Padahal, setiap ibu pasti ingin hadir untuk anak-anaknya pada setiap kesempatan.

Tak hanya memperlihatkan kapabilitas perempuan dengan karier mereka yang melesat, sebagai sebuah medium, berbagai serial televisi mencoba merepresentasikan realitas yang dihadapi ibu bekerja melalui karakternya. Mulai dari kesulitan mereka untuk memahami anak, bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan mereka, hingga rela mengorbankan kehidupannya sendiri.

Berikut lima karakter dalam serial Netflix yang menggambarkan realitas ibu bekerja, sekaligus menjadi pengingat bagi kita untuk lebih mengapresiasi peran ibu dalam hidup sehari-hari.

(Spoiler alert)

1. Kate Mularkey – Firefly Lane

Dalam proses perceraiannya, Kate Mularkey (Sarah Chalke) mencoba untuk kembali bekerja di dunia jurnalisme. Walaupun berhasil kembali bekerja di sebuah majalah, perjalanan karakter ibu pekerja ini untuk memperoleh posisinya tidaklah mudah karena ia sudah tidak bekerja selama satu dekade terakhir. Selain itu, ia hampir melewatkan proses wawancara lantaran harus menjemput putrinya yang berulah di sekolah karena sedang melewati fase pemberontakan akibat perceraian orang tuanya.

Kate pun harus bekerja di bawah kepemimpinan seorang editor yang sangat mementingkan penampilan. Terlebih lagi, ia dimanfaatkan untuk mewawancarai Tully Hart (Katherine Heigl), seorang presenter ternama sekaligus sahabatnya, secara eksklusif.

Sumber: IMBD

Di tengah rumitnya kehidupan Kate sebagai individu, Firefly Lane menunjukkan kompleksnya realitas seorang ibu yang berusaha memberikan segalanya untuk seorang anak, mulai dari mengupayakan kehadirannya, menjalin hubungan baik dengan mantan suami, hingga kembali bekerja untuk mencari nafkah. Meskipun tak berjalan mulus, Kate tetap mencoba untuk memahami putrinya dan menunjukkan bahwa putrinya tersebut adalah prioritasnya.

Baca Juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu

2. Jen Harding – Dead To Me

Setelah kematian sang suami, Jen Harding (Christina Applegate) harus berperan sebagai ibu tunggal untuk kedua anaknya. Kesehariannya semakin sulit untuk dijalani karena perempuan yang bekerja sebagai agen real estate di California ini masih dalam tahap kesedihan dan terus menyelidiki sosok yang membunuh suaminya dalam insiden tabrak lari. Belum lagi, ia harus menghadapi karakteristik para klien yang membuatnya harus menahan diri saat emosinya tak stabil.

Karakter Jen menampilkan bagaimana seorang ibu harus bersikap tegar di depan keluarganya, meskipun sebenarnya ia membutuhkan ruang untuk berkabung. Ditambah lagi, ia tidak memiliki teman bercerita sebelum bergabung dengan support group, yang akhirnya mempertemukannya dengan Judy Hale (Linda Cardellini).

Dalam menjalani peran sebagai ibu, Jen harus berurusan dengan tingkah laku putra sulungnya, Charlie, yang menginjak usia remaja. Ia terlibat dalam pengedaran narkoba, membawa senjata tersembunyi, pergi meninggalkan rumah, hingga mengendarai mobil tanpa SIM dan tanpa seizin Jen. 

Melalui serial ini, kita juga diingatkan untuk sebisa mungkin bersedia menjadi pendengar bagi orang-orang terdekat yang membutuhkan dukungan dan perhatian agar mereka tidak merasa sendirian.

Baca Juga: Seruan Agar Perempuan Berkarya Jangan Kecilkan Perempuan Tak Berdaya

Sumber: Netflix

3. Kang Hye-soo – Marriage Contract

Dalam drama Korea Marriage Contract, Kang Hye-soo (Uee) berjuang untuk merawat anaknya sekaligus membayar utang suaminya yang telah meninggal. Untuk menanggungnya dan memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja di restoran milik Han Ji-hoon (Lee Seo-jin) yang merupakan seorang konglomerat. Nahasnya, Hye-soo menderita tumor otak yang tak bisa dioperasi. Hal ini membuatnya memikirkan masa depan anaknya.

Kemudian, ia mengetahui bahwa ibu dari atasannya itu membutuhkan transplantasi hati. Ji-hoon pun berencana untuk menikahi si pendonor secara kontrak agar prosesnya terjadi secara legal. Oleh karena itu, Hye-soo menawarkan diri untuk menikahi Ji-hoon dengan sebuah imbalan, yakni menerima sejumlah uang yang cukup untuk menafkahi anaknya hingga dewasa agar ia tak perlu khawatir jika meninggal akibat penyakitnya.

Keputusan yang diambil oleh Hye-soo menggambarkan ketulusan cinta seorang ibu terhadap anaknya dan bersedia melakukan apa saja untuk masa depan yang terjamin, meskipun jalan yang dipilih berisiko untuk nyawanya.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Kang Hye-soo karakter ibu bekerja dalam Marriage Contract
Sumber: MBC

4. Karakter Ibu Bekerja Choi Won-deok dalam Serial Start-Up

Sejak kedua orang tua Seo Dal-mi (Bae Suzy) bercerai dan sang ayah meninggal, Choi Won-deok (Kim Hae-sook) yang merupakan neneknya memberikan figur ibu untuk perempuan tersebut. Agar cucu kesayangannya tidak kesepian, ia rela berbohong sepanjang hidup dengan meminta Han Ji-pyeong (Kim Seon-ho) berperan sebagai teman penanya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Won-deok bekerja sekaligus memiliki sebuah gerai corn dog. Ia pun memutuskan untuk menjual gerainya agar Dal-mi dapat melanjutkan pendidikan, meski pada akhirnya cucunya itu memilih untuk keluar dan melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu untuk memberikan neneknya sebuah food truck.

Selelah apa pun Won-deok usai mencari nafkah dan mempersiapkan dagangan untuk keesokan harinya, ia selalu memberikan Dal-mi ruang untuk menceritakan keluh kesahnya. Dengan setia, Won-deok mendukung cucunya dalam merealisasikan ide dan mimpi-mimpinya, serta percaya akan kesuksesan yang akan diraih.

Karakter ibu bekerja Won-deok
Sumber: Neflix

Karakter Won-deok dalam drama Korea Start-Up merefleksikan bagaimana seorang ibu—dalam cerita ini nenek—akan bersikeras untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anaknya, dan memberikan dukungan yang tak melulu bersifat materi, tetapi juga moral. 

5. Georgia Miller – Ginny and Georgia

Dalam serial Netflix Ginny and Georgia, karakter Georgia Miller (Brianne Howey) tampaknya menjadi ibu idaman bagi setiap anak. Cara pendekatannya yang santai dan memosisikan diri sebagai teman dalam menyikapi kehidupan sosial anak sulungnya, Ginny Miller (Antonia Gentry), telah membangun kepercayaan di antara mereka. Bahkan, dengan mudahnya Ginny dapat menceritakan pengalaman mabuk pertamanya dan Georgia meminta agar mereka berdiskusi sebelum putrinya melakukan hubungan seks untuk pertama kali.

Walaupun demikian, masa remajanya yang kelam—saat ia dilecehkan dan harus berjuang untuk bertahan hidup—membuat Georgia bersikap protektif terhadap putrinya. Sesulit apa pun situasinya, Georgia berusaha untuk menghidupi dan melindungi Ginny, sekalipun ibu dari kekasihnya ingin mengambil hak asuh karena menilai dirinya belum siap menjadi orang tua.

GINNY & GEORGIA (L to R) DIESEL LA TORRACA as AUSTIN, BRIANNE HOWEY as GEORGIA, and ANTONIA GENTRY as GINNY in episode 101 of GINNY & GEORGIA Cr. COURTESY OF NETFLIX © 2020

Pengalamannya itu memotivasi Georgia untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia mengajak kedua anaknya hidup nomaden dan pindah ke Wellsbury, Massachusetts, kota tempat ia bekerja di kantor walikota. Pekerjaan itu didapatkannya berkat kecerdikannya dalam memberikan solusi atas sebuah permasalahan dalam diskusi orang tua.Sosok cool mom seperti yang direpresentasikan oleh Georgia tentunya kerap didambakan. Namun, caranya menyikapi kehidupan anak-anaknya kembali menarik kita untuk melihat latar belakangnya yang menjadi salah satu faktor dirinya bersikap demikian. Sama seperti para ibu lainnya, Georgia ingin memiliki keterikatan dengan anak-anaknya melalui caranya sendiri dan menjamin mereka menjalani kehidupan yang lebih baik.

Read More

Petani Perempuan di Garda Depan Industri Kopi

Urusan kopi, mulai dari penikmat, pebisnis, hingga petani, kerap dicap maskulin karena didominasi para lelaki. Bahkan, keterlibatan petani kopi perempuan tak otomatis membuat industri ini menjadi lebih setara. Pasalnya, mayoritas penentu keputusan, dari menentukan harga kopi sampai transaksi jual beli, masih dikontrol oleh laki-laki.

Untuk menggeser kesan maskulin di industri kopi, yang dibutuhkan adalah melibatkan perempuan lebih banyak serta menciptakan sistem yang adil untuk mereka. Dalam sebuah diskusi daring, peneliti dan spesialis gender World Agroforestry (ICRAF), Elok Mulyoutami menuturkan, kesetaraan gender dapat dihasilkan dalam sistem agroforestri kopi.

Sistem ini telah diterapkan dalam skala nasional dan internasional, dengan menanam pohon atau tanaman pelindung sesuai dengan jarak tanam yang diatur sedemikian rupa. Tujuannya untuk menggenjot produksi kopi sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.

Mengapa sistem agroforestri ini perlu diimplementasikan pada kopi? Karena para petani kopi hanya menikmati hasil panen sebanyak satu kali dalam setahun. Karenanya, tanaman yang digunakan sebagai alternatif pun bersifat komersial, seperti rempah-rempah, buah, dan sayur.

Dari situlah, kata Elok, diharapkan ada pembagian relasi yang adil antara lelaki dan perempuan.

“Misalnya dalam pembagian tugas dalam berkebun kopi, pembagian pendapatan, akses terhadap kehidupan rumah tangga, manajemen waktu, keuangan, pengambilan keputusan rumah tangga, serta akses untuk mendapatkan pembangunan kapasitas,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Intervensi Gender Mendesak dalam Pertanian Kopi

Berdasarkan data Lota Bertulfo dalam “The Conference Board of Canada” terkait peranan gender di industri kopi, sebagian besar tugas dalam produksi kopi masih dilakukan oleh petani laki-laki. Jika diperinci, kelompok ini mengerjakan sembilan rangkaian kerja, dari persiapan lahan, pembenihan, hingga penyimpanan. Sementara, tugas petani perempuan terbagi menjadi lima bagian, dari penanaman hingga pemilihan.

Dari pembagian itu saja sudah tampak ada perbedaan peran, di mana laki-laki lebih difokuskan untuk mengurus lahan. Intervensi gender di sini diperlukan sebagai salah satu langkah untuk menjembatani ketimpangan peran itu. 

ICRAF meneliti 125 responden pada September hingga Oktober 2020 di Kecamatan Dempo Tengah dan Dempo Utara dan terbukti, intervensi gender dalam sistem agroforestri kopi tidak berdampak negatif pada kualitas rumah tangga. Suami istri petani kopi justru jadi saling mendukung dan melengkapi. Namun, masih ada risiko ketidakseimbangan hubungan, mengingat lelaki masih dianggap sebagai kepala rumah tangga yang memegang kunci terakhir pengambilan keputusan.

Merespons ini, Do Ngoc Sy, Sustainability Manager Jacobs Douwe Egberts (JDE) menjelaskan, peran perempuan harus selalu ada dalam sistem rantai nilai kopi. 

“Jika diabaikan, maka kita akan kehilangan potensi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bagi keluarga petani secara keseluruhan,” ujarnya.

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Keterlibatan Petani Perempuan dalam Agroforestri Kopi

Berikutnya, kerja sama antara perempuan dan laki-laki dinilai mampu mengembangkan produktivitas usaha kopi. Hubungan ini didukung oleh S&D SUCDEN COFFEE sebagai green coffee merchant berskala global.

“S&D SUCDEN COFFEE telah bekerja sama dengan beberapa mitra dalam program peningkatan kapasitas praktik pertanian yang baik, bagi para petani, khususnya petani perempuan agar dapat membuka peluang bagi mereka dalam meningkatkan kapasitasnya,” ujar Veronika Semelkova, Sustainability Manager S&D SUCDEN COFFEE.

Sayangnya, sejauh ini keterlibatan perempuan dalam agroforestri kopi tergolong masih minim. Sartika Monalisa, Robusta Master Trainer Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) berujar, di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, hanya terdapat 20 persen kelompok petani perempuan dengan perwakilan tiga kelompok per desa. Padahal, petani perempuan memiliki pengaruh dalam kemajuan perekonomian keluarga. Mereka bisa melakukan sembilan pekerjaan laki-laki di kebun saat sedang dibutuhkan, sehingga produksi jalan terus dan pendapatan keluarga tetap stabil.

Lalu apa solusinya?

Dengan menyelenggarakan pelatihan yang tepat, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan perempuan cenderung mudah ditingkatkan. Mereka juga bisa memiliki kesadaran tentang kapabilitas diri agar terbentuk keinginan untuk terlibat.

Baca Juga: Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR

“Ada stigma di masyarakat kalau perempuan enggak perlu ikut pelatihan, lebih baik di rumah saja, sehingga mereka merasa tidak berhak mendapatkan kesempatan tersebut,” tutur Elok

Dengan memberikan ruang kontribusi lebih besar bagi perempuan, cakupan yang dibantu tak hanya sebatas perekonomian keluarga. Perempuan juga memiliki kemampuan lebih baik untuk berbagai pengetahuan secara detil kepada orang lain.

“Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan untuk berperan optimal sebagai aktor utama dalam menciptakan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan,” pungkas Elok.

Read More