Perubahan iklim berdampak lebih besar bagi perempuan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini karena secara proporsional banyak perempuan miskin yang lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam.
Secara konkret, perempuan lebih terlibat dalam perubahan sosial karena bertanggung jawab dalam urusan domestik. Sehingga, langkanya persediaan air, gagal panen, maupun minimnya keanekaragaman hayati lebih berpengaruh kepada mereka.
Belum lagi di sejumlah negara berkembang, perempuan memiliki peran utama mengumpulkan bahan bakar tradisional yang letaknya jauh dari rumah, yang secara otomatis menghambat mereka dalam melakukan aktivitas lain termasuk bekerja, menekuni keterampilan, maupun istirahat .
Oleh karena itu, Conference of Parties (COP) kembali diselenggarakan untuk ke-26 kalinya di Glasgow, Skotlandia. Konvensi ini penting dilakukan untuk menciptakan berbagai kebijakan dan langkah strategis, supaya suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat C pada 2100.
Sebagai warga dunia, kita perlu memperhatikan isu perubahan iklim ini karena dampaknya memengaruhi kelangsungan hidup kita, mulai dari cuaca ekstrem, kenaikan curah hujan, tingginya air laut, sampai munculnya gelombang panas.
Terlepas dari ajang COP26, kita dapat meniru aksi lima tokoh perempuan inspiratif berikut ini, yang telah aktif memperjuangkan perlawanan terhadap perubahan iklim.
1. Christiana Figueres
Sejak 1995, perempuan lulusan Swarthmore College dan London School of Economics ini aktif terlibat dalam perbincangan perubahan iklim. Ia mendirikan Center for Sustainable Development, organisasi nirlaba di AS yang didedikasikan untuk partisipasi negara-negara Amerika Latin dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di lembaga tersebut, ia menjabat selama delapan tahun sebagai executive director. Dalam UNFCCC, Figueres juga berperan sebagai perunding dari 1995 hingga 2010.
Kemudian pada 2015, ia berhasil menyatukan pemerintah, aktivis, perusahaan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan beberapa kelompok lainnya yang berselisih, untuk menyusun Perjanjian Paris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius—bahkan diupayakan pada 1,5 derajat C, serta memperkuat kemampuan negara-negara dalam menangani dampak perubahan iklim.
Selain itu, diplomat asal Kosta Rika ini mengusulkan, keahlian perusahaan gas dan minyak dalam menangkap dan menyimpan siklus karbon biologis dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan seperti deforestasi.
“Ini tentang bergerak untuk kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dengan kondisi kesehatan, perkotaan, dan transportasi lebih baik, serta kondisi investasi yang lebih aman,” ujarnya kepada CNN soal perjuangan melawan perubahan iklim.
2. Patricia Espinosa
Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim lainnya ialah Patricia Espinosa. Perempuan inspiratif ini menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di UNFCCC sejak 2016 ini adalah sosok yang memelopori Perjanjian Cancun, yang menyalurkan dana 100 miliar dolar AS untuk perubahan iklim di negara berkembang.
Pada 2001 dan 2002, Espinosa menjabat sebagai Duta Besar Meksiko untuk Jerman. Ia juga berperan sebagai Menteri Luar Negeri Meksiko dari 2006 sampai 2012. Selama berkarier, ia kerap membawa beberapa isu dalam hubungan internasional seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia.
Selama menjadi representasi Meksiko dalam hubungan bilateral dan organisasi internasional di New York, Wina, dan Jenewa, ia terlibat aktif sebagai pemimpin dalam mengatasi tantangan global dalam perubahan iklim dan konsekuensinya.
Perempuan asal Meksiko ini memaparkan beberapa hal kunci yang dibutuhkan agar agenda COP26 tercapai. Pertama, pemenuhan janji, yakni negara-negara harus menguatkan kesepakatan yang telah dibuat, seperti pendanaan iklim oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Kedua, menyelesaikan perjanjian. Menurutnya, Perjanjian Paris harus diselesaikan dan dilaksanakan karena negosiasi tentang pedoman operasinya telah berlangsung selama lima tahun, dan Espinosa menganggap sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.
Ketiga, meningkatkan ambisi. Negara-negara harus menetapkan dan membuat aksi dari pandangannya dalam mitigasi perubahan iklim, beradaptasi, dan mendanai transformasi menuju masa depan yang netral karbon.
Keempat, bersikap inklusif karena krisis iklim ini terjadi pada masyarakat dunia sehingga harus diselesaikan bersama. Maka itu, tidak ada pendapat maupun solusi tentang perubahan iklim yang layak ditinggalkan.
3. Mikaela Loach
Sebagai mahasiswa kedokteran di University of Edinburgh, Loach memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat gerakan iklim lebih inklusif di media sosial. Ia mengambil fokus irisan antara krisis iklim dan isu hak asasi manusia, seperti penganiayaan orang-orang migran dan supremasi kulit putih.
Selain itu, ia juga mengadvokasi keadilan lingkungan, keadilan rasial, hak-hak pengungsi, dan isu sustainability. Oleh karena itu, ia membantu pengikutnya di Instagram untuk berhenti mengenakan fast fashion karena hal itu berkaitan dengan isu rasial dan iklim.
Menurut Loach, fesyen tidak dapat dikaitkan dengan pemberdayaan apabila hanya sang pemakai saja yang merasa nyaman dan senang dengan harga yang ditawarkan, sedangkan para pembuat pakaian justru tertindas akibat eksploitasi tenaga kerja.
Tak hanya aktif di media sosial, pada 2019, perempuan kelahiran Jamaika ini bergabung dengan Extinction Rebellion, sebuah gerakan lingkungan global yang menggunakan pemberontakan tanpa kekerasan. Extinction Rebellion bertujuan untuk mendesak pemerintah menghindari masa kritis dalam sistem iklim, risiko keruntuhan sosial dan ekologis, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
“Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah atau siapa pun untuk membuat perubahan iklim. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita adalah diri sendiri, dengan bergabung bersama gerakan iklim dan ikut menciptakan perubahan,” katanya dilansir Vogue.
Kepeduliannya terhadap lingkungan itu membuat Loach dinominasikan dalam Global Citizen Prize: UK’s Hero Award pada 2020. Tak heran bila ia dipandang sebagai salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif di bidang lingkungan dan perubahan iklim.
4. Sunita Narain
Perempuan yang berprofesi sebagai peneliti kebijakan lingkungan sejak 1982 ini merupakan direktur jenderal di lembaga penelitian independen Centre for Science and Environment (CSE). Bersama koleganya, ia terlibat dalam mitigasi polusi udara.
Pada 2005, Narain mengepalai Tiger Task Force atas arahan Perdana Menteri India, untuk mengembangkan rencana aksi konservasi di negara tersebut setelah harimau di Sariska dinyatakan sudah tidak ada.
Pada tahun yang sama, ia meraih Stockholm Water Prize—penghargaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan air. Penghargaan tersebut diberikan atas kerjanya dalam panen air hujan, dan pengaruh kebijakannya dalam membangun paradigma pengelolaan air berbasis komunitas.
Narain juga meraih beberapa penghargaan lain, seperti Raja-Lakshmi pada 2009 dari Sri Raja-Lakshmi Foundation di Chennai, India, dan Padma Shri pada 2005 yang diberikan oleh pemerintah India.
Kini, ia mengkhawatirkan suara minoritas di negara-negara Global South akan ditenggelamkan dalam dialog perubahan iklim. Ia memandang, pembicaraan seputar perubahan iklim harus lebih inklusif. “Setiap orang berhak atas pembangunan, artinya juga berhak atas energi bersih,” tuturnya dikutip dari TIME.
5. Kotchakorn Voraakhom
Saat masih anak-anak, Voraakhom terbiasa bermain air banjir di Bangkok, Thailand. Keluarganya pun sempat tidak memiliki rumah akibat bencana alam tersebut, dan hal itu membuatnya menginginkan perubahan untuk keluarga dan komunitasnya. Dari situ ia berpikir, jika melibatkan lebih banyak rumput dalam pembangunan, hal tersebut akan mengurangi kerusakan akibat beton.
Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim ini dinobatkan sebagai salah satu arsitek terbaik di Thailand yang mendorong perubahan sosial. Ia membangun arsitektur firma, Landprocess, dan merancang Centennial Park. Taman seluas 45 ribu meter persegi itu bukan sekadar untuk rekreasi atau keindahan tata kota, melainkan ruang penyimpanan air hujan dan menyelamatkan jalanan di sekitarnya dari banjir saat hujan lebat.
“Ini bukan perkara menghilangkan banjir atau solusi rekayasa membangun bendungan besar, tetapi bagaimana kita hidup berdampingan dengan air,” ucap salah satu TED Fellow ini kepada CNN.
Dengan profesinya itu, pada 2017, Voraakhom yang merupakan lulusan Chulalongkorn University dan Harvard University juga mendirikan Porous City Network (PCN), sebuah perusahaan sosial arsitektur lanskap, untuk meningkatkan ketahanan perkotaan di Bangkok terhadap perubahan iklim, terutama banjir.
PCN bekerja sama dengan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan tantangan iklim, seperti mengubah permukaan hardscape yang kurang dimanfaatkan, menjadi ruang hijau publik yang permeabel. Voraakhom menerima beasiswa dari Echoing Green dan Equity Initiative berkat inovasinya.