Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

perempuan gig worker

Klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tekanan ekonomi lebih membebani pekerja perempuan, tampaknya bukan pesan kosong. Buktinya, sektor bisnis paling banyak yang terdampak pandemi, diisi oleh para pekerja perempuan. Menurut catatan CNN Indonesia, 40 persen pekerja perempuan, seperti asisten rumah tangga, restoran, perhotelan, hingga akomodasi jadi jauh lebih miskin belakangan. Oleh The New York Times, ini disebut shecession, sebuah kondisi di mana kemerosotan pendapatan ekonomi lebih banyak dialami perempuan, berbeda dengan mancession 2008 di Amerika yang menimpa mayoritas lelaki

Jika sudah begini, perempuan pun terpaksa untuk pontang-panting bertahan hidup. Untungnya, kemajuan teknologi internet sedikit banyak mempermudah akses perempuan untuk memperoleh pendapatan. Tak heran jika kemudian istilah gig economy muncul sebagai ekses kemajuan tersebut. Dalam gig economy, perempuan bisa mencicipi lapangan kerja beragam, mulai dari mitra ojek online, kurir jasa pengiriman, dan kerja kontrak independen lainnya.

Baca Juga: Biru Terong Initiative: Berdayakan Perempuan, Picu Perubahan Sosial Lewat Video

Gig Worker Berawal dari Tuntutan

Bekerja sebagai gig worker menjadi satu-satunya pilihan bagi Natalia (40), seorang pengantar jasa titip makanan UMKM di Jakarta. Ia memilih tempat makan yang terkenal melalui Instagram @darihalte_kehalte. Mulanya, pekerjaan tersebut dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Namun, setelah seminggu tidak menerima penghasilan dari jasa ojek online-nya hingga diputus mitra, ia memutuskan untuk fokus bekerja sebagai jasa titip.

“Saya sudah mempromosikan jasa titip ini sejak 2 bulan sebelum pandemi, cuma sama sekali nggak ada yang pernah beli. Di hari saya putus mitra, kok ya Tuhan kasih jalan, langsung banyak pesanannya,” cerita Natalia.

Pekerjaan ini membuka berbagai peluang baginya. Kini ibu dua anak itu memiliki banyak pelanggan yang sering meminta tolong untuk mengantarkan paket, berbelanja ke pasar, sampai mencari 30 kaleng susu beruang yang sedang langka.

Berbeda dengan Natalia yang bekerja untuk menafkahi keluarga, Citra (30) seorang pedagang kue basah yang menjajakan dagangannya di Instagram @jajanan_salamah, memiliki tujuan berbeda dalam melakukan pekerjaannya. 

“Sebenarnya uang yang diberikan suami sudah cukup, tetapi sebagai perempuan kita harus tetap punya uang pegangan. Hitung-hitung ya penghasilan tambahan sekaligus menutupi kekurangan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan,” tuturnya. 

Ia memberlakukan sistem pre-order setiap minggunya dan memilih untuk mengantar pesanan secara langsung ke stasiun terdekat pelanggannya.

“Kalau pelanggan tinggalnya di Cilebut, saya naik Transjakarta lalu lanjut KRL. Nanti di Stasiun Cilebut baru saya pesankan ojek online untuk mengantar pesanan,” ujarnya. Citra mengaku memilih untuk mengantar langsung lantaran ingin mempertahankan kualitas kue sehingga ongkos produksinya di atas rata-rata.

“Setidaknya saya bantu mengurangi pengeluaran konsumen dengan cara seperti itu,” jelasnya.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Suka dan Duka

Selama 18 bulan terakhir, pekerjaan Natalia dalam layanan jasa titip mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Bahkan, ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan baginya.

“Waktu itu saya pasrah banget karena harus bayar uang semesteran anak. Eh, selama 3 hari berturut-turut ada pesanan dari Kementerian, seenggaknya sudah bisa membayarkan Rp700 ribu. Enggak lama, ada seseorang yang pesan makanan di Muara Karang, akhirnya saya ambil dengan perjanjian belanja ongkir Rp75 ribu untuk antar sampai Ragunan. Pas pelanggan ini ambil pesanannya, dia kasih uang Rp400 ribu. Jadi kuliah anak saya lunas dibayar sama pelanggan tersebut. Itu saya langsung duduk dan menangis di depan rumah orang,” cerita Natalia.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Nasib berbeda dialami Citra yang justru memikirkan ketidakpastian di masa pandemi ini. Ia mempertimbangkan kehidupannya tidak bisa terus menerus bergantung dengan usaha kue, terlebih selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Keadaan ini membuatnya harus menghentikan pekerjaannya untuk sementara waktu. Keputusan itu diambil karena pekerjaannya yang mengharuskan untuk berbelanja ke pasar hingga mengantar pesanan, sehingga terlalu berisiko untuk kesehatan.

“Sekarang saya mau fokus ikut CPNS tahun ini. Syukur-syukur kalau nanti lolos, uangnya bisa memperluas usaha dan mempekerjakan orang lain. Jadinya kan bisa sekalian memberdayakan perempuan,” ucapnya menaruh harapan.

Baca Juga: ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan

Masa Depan Gig Worker di Tangan Perempuan

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hyperwallet pada 2017, 61% perempuan gig workers di Amerika Serikat ingin menjadikan pekerjaannya sebagai karier full-time. Gig work pun dinilai lebih fleksibel, dapat memiliki work life balance yang baik, dan berpotensi mendapatkan pendapatan yang lebih besar serta setara dengan laki-laki.

Terkait lapangan kerja bagi gig worker ini turut dibahas dalam penelitian Katherine Lim dkk. berjudul “Independent Contractors in the U.S.: New Trends from 15 years of Administrative Tax Data” (2019). Mereka menunjukkan kemungkinan adanya pergeseran struktural yang luas di pasar tenaga kerja, terutama bagi perempuan yang diwakili oleh tren pertumbuhan untuk kontraktor independen.

Dengan bekerja sebagai gig worker, perempuan memiliki independensi dan kebebasan dalam menentukan pekerjaan, sehingga dapat menyesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya di dalam keluarga.