Ketimpangan penghasilan ternyata bukan satu-satunya momok perempuan dalam dunia kerja. Faktanya, mereka juga memiliki perbedaan tekanan yang bersumber pada time stress — perasaan memiliki banyak hal yang perlu dilakukan dalam waktu terbatas. Alhasil, lebih banyak perempuan mengalami burnout.
Pernyataan ini didukung penelitian oleh Ashley Whillans dkk., peneliti asal Harvard Business School dan FIsher College of Business, AS, dalam “Extension request avoidance predicts greater time stress among women” (2021). Dari lima ribu partisipan, mereka menemukan perempuan cenderung merasa memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan waktu terbatas.
Walaupun demikian, bukan berarti perempuan rela meminta perpanjangan waktu pengerjaan ataupun membagi beban kerja kepada koleganya. Mereka mengkhawatirkan perilakunya membebani pekerja lain, atau menerima hukuman dari atasan. Terlepas dari tanggung jawabnya, di kantor perempuan turut berinisiatif melakukan aktivitas nonformal secara sukarela, maupun atas dasar permintaan orang lain.
Whillans dkk. mendeskripsikan fenomena ini sebagai epidemi sosial yang mengganggu produktivitas, kesehatan fisik, dan kesejahteraan emosional. Pasalnya, perempuan menganggap dirinya kurang kompeten dibandingkan laki-laki, apabila meminta waktu tambahan untuk melakukan pekerjaannya.
Sementara, berdasarkan Health and Safety Exclusive (HSE)—lembaga publik non departemen asal Inggris yang menjamin kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan pekerja—perempuan di usia 35-54 tahun mengalami stres akibat pekerjaan 50 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Penyebabnya adalah kualitas lingkungan pekerjaan yang lebih rendah bagi perempuan, berkaca pada upah yang lebih rendah, jam kerja yang tidak fleksibel, merasa insecure dengan pekerjaannya, dan minimnya potensi perkembangan karier.
Namun, faktor lain penyumbang time stress pada perempuan ialah banyaknya peran yang harus dilakukan, sebagai istri, ibu, anak yang merawat orang tuanya, hingga breadwinner (pencari nafkah).
Selain itu, penyebab lainnya adalah emotional labor, yaitu mengesampingkan perasaan atau emosi yang sesungguhnya demi tuntutan pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk menampilkan kinerja baik di antara tekanan pekerjaan, dengan mengontrol emosi dan memberikan sugesti pada diri bahwa menikmati realitas yang ada. Atau berpura-pura menampilkan emosi positif dengan berusaha tenang, mengutamakan empati, dan mengekspresikan optimisme, dibandingkan perasaan sebenarnya.
Sebagai dampaknya, mengacu pada laporan Gender and Stress dari American Psychological Association, muncul gejala fisik dan emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan keinginan untuk menangis. Celakanya, persentase gejala ini lebih besar dialami perempuan daripada laki-laki.
Baca Juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim
Perempuan Sebagai Pelaku Utama Pekerjaan Domestik
Membicarakan pekerjaan domestik rasanya tidak lepas dari figur perempuan sebagai pelakon utama, meskipun tak sedikit laki-laki yang juga melakukannya. Dalam The Second Shift: Working Families and the Revolution at Home (2012) oleh Arlie Hochschild dan Anne Machung disebutkan, di AS, peran perempuan sebagai manajer rumah tangga lebih banyak menyita waktu dibandingkan laki-laki.
Rata-rata pekerja perempuan heteroseksual yang berumah tangga, menghabiskan delapan jam lebih banyak setiap minggunya untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengasuh anak. Ditambah selama pandemi, ketimpangan gender itu meningkat secara substansial.
Menurut Laura Giurge dkk., peneliti yang berafiliasi dengan instansi pendidikan seperti London Business School dan Harvard University, perempuan di seluruh dunia memiliki lima jam tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya sekaligus mengasuh anak.
Maria (37), seorang pekerja swasta sekaligus ibu dua anak misalnya. Saat work from home, ia harus mendampingi putranya yang duduk di kelas empat SD untuk sekolah daring, dan ikut mempelajari materi yang diberikan wali kelas untuk kembali menerangkan kepada anaknya, sekaligus membantu proses pengerjaan pekerjaan rumah.
Karena itu, ia merasa lebih di bawah tekanan, sekali pun waktu tidurnya masih terhitung cukup, yakni tujuh jam.
Namun, hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan yang berperan sebagai ibu. Pada dasarnya, perempuan memiliki banyak area persaingan, seperti penampilan, kualitas hubungan pertemanan, dan pekerjaan yang dihasilkan. Dalam berbagai aspek tersebut, terdapat potensi kegagalan yang akan dialami. Karenanya, muncul keraguan, kritik pada diri sendiri, serta rendahnya kepercayaan diri pada perempuan.
Baca Juga: Bagaimana Kamu Bisa Mati Karena Kerja Berlebihan?
Cara Perempuan Merespons Time Stress dan Mengatasinya
Sebenarnya, laki-laki dan perempuan memiliki respons serupa dengan laki-laki, yakni rentan terhadap hormon kortisol dan adrenalin. Namun, perempuan juga mengeluarkan lebih banyak hormon oksitosin dari kelenjar pituitari yang membantu mengurangi produksi kortisol dan adrenalin, mengurangi efek berbahaya.
Mengutip WebMD, artinya hormon oksitosin mampu menciptakan kepribadian lebih rileks, dan secara otomatis, hal tersebut menjadi perlindungan diri perempuan.
Sementara secara karakteristik psikologis, laki-laki memiliki mode fight-or-flight, sedangkan perempuan tend-and-befriend. Dalam mode tersebut, perempuan cenderung merawat orang-orang di sekitarnya dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Menurut Shelley Taylor, profesor psikologi di University of California Los Angeles (UCLA), AS, hal itu dikarenakan perempuan memiliki harapan hidup lebih besar.
“Sistem tend-and-befriend melindungi perempuan dari efek dari stres yang merusak,” ujar Taylor kepada WebMD.
Dalam hasil penelitian Domestic Stress and Well-Being of Employed Women: Interplay Between Demands and Decision Control at Home” (2006), akademisi asal Israel, Talma Kushnir dan Samuel Melamed memberikan contoh lain, yaitu membentuk kelompok sosial bersama perempuan lain sebagai support system.
Baca Juga: Mendukung Sesama Pekerja Perempuan Penting, Ini Alasannya
Kemudian, mereka yang juga berperan sebagai ibu akan melindungi diri sendiri dan anak-anaknya lewat perilaku pengasuhan, sebagai respons terhadap situasi yang menyebabkan stres. Respons tersebut dilakukan atas kelekatan pada otak sehingga mengarah ke perilaku pengasuhan dan afiliasi.
Untuk mengatasi time stress, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, perempuan perlu memberanikan diri meminta perpanjangan tenggat waktu ketika jam kerjanya fleksibel. Kedua, self-care penting dilakukan sesederhana tidur cukup, diet sehat, dan berolahraga. Selain itu, pemicu stres seperti melakukan pekerjaan kantor dan tanggung jawab di rumah juga perlu disesuaikan.
Ketiga, mengenal pemicu stres secara spesifik, karena di dalam pekerjaan pun terdapat berbagai aspek. Misalnya beban kerja dan perilaku kolega atau atasan, keduanya hal berbeda dan memiliki cara mengatasinya masing-masing.
Yang terakhir, mencari validasi dari dalam diri untuk memahami emosi yang dirasakan itu sah, dan perlu ditanamkan, tidak apa-apa jika merasa tidak baik-baik saja. Apabila sulit dilakukan, terdapat beberapa opsi untuk melatih diri, seperti mengenal kelebihan dan kekurangan dalam diri, secara sadar menaruh perhatian pada situasi saat ini, atau membaca buku self-help.
Sementara bagi perusahaan, Whillans dkk. menyarankan manajer secara rutin mengecek kondisi pekerjanya yang terlihat sedang stres. Apabila memungkinkan, mereka dapat menawarkan perpanjangan waktu pekerjaannya untuk membantu kesehatan mentalnya.
Dengan demikian, pekerja perempuan akan merasa dimengerti dan kesehatan mereka adalah yang utama. Pun mereka memahami bahwa bukan sebuah permasalahan, apabila mereka membutuhkan waktu lebih lama dalam menyelesaikan pekerjaan.