kesetaraan gender di kantor

Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Perempuan yang masuk ke ranah kerja sudah bukan hal yang asing di Indonesia, namun perempuan masih dihadapkan dengan stigma tidak bisa bekerja seefektif seperti laki-laki karena dibebani tugas-tugas rumah tangga. Selain itu, perempuan juga masih menghadapi diskriminasi berlandaskan nilai patriarkal, seperti kesulitan mencapai posisi kepemimpinan karena dinilai sebagai ranah laki-laki, hingga tidak menerima insentif finansial tambahan akibat dianggap bukan pencari nafkah utama atau kepala rumah tangga.

“Ada perbedaan kesempatan perjalanan karier karena masih banyak yang diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Alasannya karena dinilai kurang produktif, fokus, dan harus mengurus anak dan keluarga,” ujar Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE), pada Women Lead Forum 2021 (7/4), yang diadakan oleh Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia.

Maya menambahkan, kesenjangan gender juga masih ditunjukkan dengan kurangnya representasi perempuan dalam posisi pemimpin senior di sebuah perusahaan.

“Angka perempuan menduduki posisi CEO kurang dari 5 persen, padahal perempuan lulusan perguruan tinggi mencapai 57 persen. Ketika masuk kerja angka menjadi 47 persen, dan terus turun mencapai 20 persen ketika masuk level middle management,” ujarnya.

Meski demikian, menurut hasil riset The Business Case for Women in Business and Management In Indonesia (2020), yang dilakukan oleh IBCWE, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dan Investing in Women, 77 persen perusahaan di Indonesia sangat setuju dengan keberagaman gender di tempat kerja karena mampu memperbaiki performa bisnis. Persentase tersebut menjadi yang paling tinggi di Asia dan wilayah Pasifik.

Agar tercipta ruang kerja profesional yang setara, menurut Maya, komitmen kesetaraan gender di kantor akan memberikan ruang ramah perempuan harus dimulai dari posisi paling atas sebuah perusahaan atau top to bottom.

“Pemimpin perusahaan kemudian harus mengkomunikasikan kepada pekerja dan manajemen. Karena ada juga CEO dukung perempuan tapi level manajemen tidak mendukung, jadi tidak mengalir ke bawah,” ujarnya.

Baca juga: Marta Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Cara Perusahaan Indonesia Dukung Pemimpin Perempuan di Tempat Kerja agar Terciptanya Kesetaraan Gender

Suzy Hutomo, Executive Chairperson dan Owner The Body Shop Indonesia, mengatakan, pihaknya membuka lebar kesempatan agar perempuan bisa terus berkarier hingga posisi pemimpin. The Body Shop juga hanya merekrut calon pekerja yang terlepas belenggu nilai  patriarkal dan tidak mendiskriminasi perempuan, ujarnya.

“Dalam jajaran board director, dari delapan orang ada empat perempuan, termasuk saya. Kami sangat mempersilakan perempuan menjadi direktur karena fokus pada gender balance,” kata Suzy.

Ia mengatakan, isu perempuan di level pemimpin senior tidak lepas dari isu sistemis. Karenanya, perusahaan harus memperhatikan pertimbangan lain yang dimiliki perempuan untuk menerima dan menolak posisi pemimpin. Misalnya, seorang perempuan yang menolak pindah ke daerah lain untuk menduduki posisi direktur karena keluarga.

“Itu juga pilihan dia dan kita harus menghargai itu,” kara Suzy.

CEO Citi Indonesia, Batara Sianturi mengatakan, kesetaraan gender di kantor atau tempat kerja untuk Citi secara global berangsur-angsur baik. Jika pada 2007 hanya Citi di tiga negara yang memiliki country head perempuan, sekarang ini jabatan tersebut telah diisi perempuan di lebih dari 20 negara.

Dalam Citi Indonesia sendiri ada 57 persen pekerja perempuan dan 43 persen laki-laki, ujarnya. Meskipun begitu, Batara memiliki fokus pencapaian tersendiri agar perempuan di posisi senior, seperti vice president, senior vice president, director, dan managing director mencapai 53,6 persen tahun ini, naik dari 52,8 persen pada tahun sebelumnya. Upaya peningkatan tersebut merupakan bentuk nyata agar kesetaraan gender di kantor terlembagakan dalam sebuah perusahaan, ujarnya.

“Kita ingin memberikan diversity, inclusivity, dan equity. Kalau ada yang bicara perempuan kurang dari laki-laki itu perlu dihapuskan. Jadi ini harus terlembagakan agar tidak dipandang sebagai tokenisme perempuan di posisi strategis,” ujarnya.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

Aturan Kerja yang Fleksibel Dukung Perempuan Berkarier

Maya mengatakan banyak perusahaan yang telah mengupayakan ruang setara dalam ranah profesional, melalui kebijakan. Namun, implementasinya masih belum maksimal karena ketidaktahuan personil perusahaan atas kebijakan tersebut atau dinilai masih kurang penting, ujarnya.

Selain itu, upaya kesetaraan gender di kantor yang dilakukan masih sering melupakan pengalaman berbeda  yang dimiliki perempuan dengan laki-laki, sehingga berpengaruh pada keputusan mereka mengambil posisi strategis dalam ruang kerja, kata Maya. 

Ia mengatakan, ketika kesempatan menduduki posisi pemimipin yang setara hadir, perempuan cenderung mempertimbangkan apakah dirinya telah memenuhi kriteria seorang pemimpin. Dan jika merasa tidak memenuhi syarat, maka ia akan mempertimbangkan lagi kesempatan itu. Hal ini menunjukkan, perempuan lebih perfeksionis karena sering dituntut untuk mampu multitasking, ujar Maya.

“Menurut saya, penting perusahaan menyadari beban psikologis perempuan akibat cara kita dibesarkan. Karena equal opportunity saja tidak cukup, harus ada affirmative action. Harus proaktif dalam mendukung perempuan naik ke level atas,” ujarnya.

Batara mengatakan, rasa ragu untuk mengambil posisi pemimpin juga dipengaruhi dari generasi seseorang berasal. Generasi milenial dan Z merasa lebih percaya diri dan tidak ragu mengambil kesempatan pemimpin karena menilai itu sebagai hak dan juga dibesarkan dengan cara pandang yang lebih setara. Hal tersebut berbanding terbalik dengan generasi X yang harus didukung oleh kebijakan perusahaan yang proaktif, ujarnya.

“Generasi X mungkin masih tradisional dan konservatif dalam memandang sesuatu, maka kebijakan setara lebih bermanfaat untuk mereka. Generasi milenial dan Z langsung go for it saja. Mereka lebih muda, mengglobal, dan itu kultur mereka,” tambahnya.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Selain affirmative action, Maya menilai regulasi untuk mencegah kekerasan berbasis gender, kekerasan rumah tangga, dan pelecehan seksual harus diberlakukan. Suzy mengatakan dalam sebuah organisasi atau perusahaan besar perlu dilakukan pendekatan dan survei agar mengetahui apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual. Selain itu, edukasi tentang apa itu kekerasan dan pelecehan seksual menjadi penting.

“Kadang ada yang menjadi korban, merasa tidak nyaman, tapi tidak tahu itu pelecehan dan harus bertindak atau melapor ke mana,” ujar Suzy.

Menurut Maya, regulasi lain yang perlu diimplementasikan adalah aturan lebih fleksibel dalam pembagian tugas kerja atau flexible work arrangements policy yang mendukung perempuan menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kariernya.

“Buktinya saat pandemi dan semua harus kerja fleksibel ternyata kita bisa melakukan itu, ini sangat membantu perempuan,” katanya.

Read More

Women Lead Forum 2021: Kebijakan Kesetaraan Gender Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Kesetaraan gender tidak berpengaruh pada perekonomian negara? Itu salah besar. Seorang ekonom mengatakan bahwa Indonesia berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen, jika melakukan penyesuaian kebijakan soal kesetaraan gender di sektor ekonomi pada masa pandemi ini.

Hal ini berkaitan dengan adanya kesenjangan gender dalam sektor perekonomian dan peningkatan beban kerja perempuan selama masa pandemi, ujar Diahhadi Setyonaluri, Gender and Social Inclusion Economist dari PROSPERA, lembaga kemitraan Indonesia dan Australia di bidang pertumbuhan ekonomi.

Ia mengatakan, jika tidak melakukan perubahan apa pun, Indonesia berpotensi mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi hampir 2 persen.

“Sebenarnya ada peningkatan kondisi pendidikan perempuan. Semakin banyak perempuan yang lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan-jurusan technology, engingeering, and mathematics. Tapi kalau tidak ada upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan gender, ini potensinya akan jadi sia-sia untuk negara,ujar Diahhadi, Rabu (7/4).

Ia berbicara dalam panel pertama Women Lead Forum 2021 #KantorDukungPerempuan, sebuah webinar dua hari yang diselenggarakan oleh Magdalene dan didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia.

Diahhadi mengatakan, perempuan masih memiliki hambatan di pasar kerja, akibat pengaruh norma sosial yang mengakar dan menuntut mereka untuk mengerjakan jauh lebih banyak pekerjaan domestik ketimbang laki-laki.

“Apalagi ada sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dan ibu lebih banyak mendampingi anaknya. Akses perempuan terhadap pekerjaan yang layak, pendidikan, dan pengembangan usaha itu jadi lebih minim daripada laki-laki,” tambahnya.

Ia mengatakan, sebenarnya ada sedikit peningkatan partisipasi ekonomi perempuan di Indonesia, meski secara total masih tertinggal dari negara-negara lain. Sayangnya, peningkatan partisipasi itu tidak terjadi di seluruh wilayah.

“Di Jabodetabek, tingkat partisipasi kerja perempuan justru mengalami penurunan. Selain itu, sebagian besar perempuan bekerja pada sektor-sektor jasa, sehingga mereka sangat rentan kehilangan pekerjaan,” ujar Diahhadi.

Baca juga: RUU PKS dan Dampaknya Bagi Iklim Kerja Perusahaan

Membangun Perusahaan yang Ramah Perempuan

Wulan Tilaar, Direktur Martha Tilaar Spa, mengatakan salah satu upayanya untuk meminimalisasi dampak kesenjangan ekonomi akibat ketidaksetaraan gender adalah dengan membangun perusahaan yang ramah perempuan, baik dari segi kebijakan maupun program-programnya. Apalagi, sebagian besar pekerja di perusahaan adalah perempuan, tambahnya.

“Kami telah memberikan berbagai pelatihan untuk para pekerja, mulai dari pelatihan hard skill seperti kemampuan melakukan perawatan spa, sampai pelatihan soft skill seperti komunikasi, literasi finansial, serta manajemen waktu dan skill,” ujarnya dalam panel yang sama.

“Pelatihan-pelatihan tersebut fokus kepada para terapismuda, usia 18-19 tahun, agar mereka bisa memiliki bekal untuk berkembang di dunia kerja,” ia menambahkan.

Menurut Wulan, dari pengetahuan-pengetahuan sederhana itu, mereka bisa menata kehidupan sehari-harinya.

“Mereka bilang, ‘akhirnya, saya tahu apa bedanya apa yang saya butuhkan dan apa yang saya inginkan. Jadi enggak boros lagi. Yang biasanya tiap gajian beli sepatu, baju, sekarang ditabung’,” ujarnya.

Wulan menambahkan, perusahaannya juga memiliki program pusat pelatihan yang aktif merekrut perempuan-perempuan muda di Indonesia. Para perempuan itu kemudian diberikan pelatihan gratis selama tiga sampai enam bulan mengenai cara-cara melakukan perawatan di salon. Setelah lulus, mereka akan dipekerjakan di seluruh Marta Tilaar Spa di dalam mau pun luar negeri, ujarnya.

“Ada juga program pelatihan pemberdayaan 1000 perempuan di komunitas tepi hutan di wilayah Jambi, Mojokerto, dan Kalimantan. Kami berikan mereka pelatihan pengenalan tanaman-tanaman lokal yang punya potensi dijadikan komoditas supaya bisa jadi sumber penghasilan. Kami juga merekrut delapan orang spa therapist,” tambah Wulan.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Peran Pemerintah untuk Tingkatkan Kebijakan Kesetaraan Gender

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Muhammad Ihsan mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan dua aturan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan gender di sektor perekonomian ini.

Aturan-aturan tersebut adalah Peraturan Menteri (Permen) PPPA Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penyediaan Saran Kerja yang Responsif Gender dan Peduli Anak di Tempat Kerja serta Permen PPPA No. 1/2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Tempat Kerja. Rumah ini disediakan untuk para pekerja yang menghadapi kekerasan dan diskriminasi.

“Kita terkadang mengabaikan hambatan-hambatan struktural yang dialami perempuan. Di satu sisi ia bekerja, di sisi lain dilema muncul ketika dia sudah berkeluarga karena harus mengurus anaknya. Akhirnya banyak perempuan yang resign. Kita harus mengidentifikasi hambatan apa yang membuat mereka sampai resign,” kata Ihsan.

“Apa yang bisa KemenPPPA lakukan adalah memastikan kebijakan-kebijakan yang ada terimplementasikan dengan baik dalam perusahaan, melakukan advokasi pada kementerian-kementerian yang telah menguatkan kebijakan untuk merespons kesetaraan gender, dan memberi rumah perlindungan bagi perempuan pekerja,” tambahnya.

Baca juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Ihsan menambahkan, saat ini KemenPPPA juga tengah menggarap Rancangan Undang-undang Kesetaraan Gender (RUU KG) untuk memperkuat landasan legalitas pengarusutamaan gender di Indonesia. Hal itu juga merupakan realisasi dari Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Meski begitu, Ihsan menilai instruksi tersebut sangat lemah secara struktur peraturan karena hanya mengatur lembaga eksekutif.

“UU KG nanti akan mengatur pengarusutamaan gender bagi lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, serta bagaimana dunia usaha dan lembaga masyarakat mendukung terwujudnya kesetaraan gender sesuai fungsi lembaga masing-masing,” ujarnya.

Read More
women lead forum

Women Lead Forum 2021 Digelar untuk Dukung Karier, Kepemimpinan Perempuan

Magdalene, didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia, dan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menggelar acara Women Lead Forum 2021 #KantorDukungPerempuan. Acara yang diselenggarakan secara daring ini diadakan pada 7 dan 8 April 2021, mulai pukul 13.30 WIB.

Inisiatif penyelenggaraan Women Lead Forum 2021 tidak lepas dari temuan studi dan fakta di lapangan bahwa perempuan masih menemukan berbagai kendala klasik kendati secara struktural, banyak dari mereka yang sudah dapat memasuki dunia kerja dengan lebih mudah.

Kendala-kendala tersebut disinggung oleh Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah dalam keynote speech yang disampaikannya dalam Women Lead Forum 2021. Ia memaparkan bermacam kondisi ketimpangan gender yang masih ditemukan di kalangan pekerja Indonesia, mulai dari ketimpangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), kesenjangan upah, hingga perlakuan diskriminatif berbasis gender.

Pernyataan Ida ini berangkat dari hasil studi, salah satunya dari survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Juli 2020, yang menyatakan bahwa perempuan pekerja di Indonesia masih menerima upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, tidak sampai 50 persen perempuan bekerja sebagai profesional dan hanya 30 persen dari mereka yang mencapai posisi manajer.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Women Lead Forum Soroti Hambatan Perempuan Pekerja

Hambatan yang dihadap perempuan pekerja dipengaruhi beragam faktor, mulai dari budaya hingga sistem, fasilitas, dan kebijakan yang diterapkan di kantor-kantor.

“Hambatan [yang dihadapi pekerja perempuan] ini disebabkan oleh beban ganda, seksisme, dan stereotip dalam masyarakat, diskriminasi berbasis gender, hingga pelecehan seksual. Hambatan ini tidak hanya berdampak pada mereka secara individu dan keluarganya, tetapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia,” terang Ida.

Di samping itu, Ida juga menyoroti bagaimana pandemi COVID-19 membawa tambahan beban tersendiri bagi pekerja perempuan. Mereka yang mengemban peran gender tradisional untuk mengurus tugas domestik kerap kewalahan ketika harus membagi waktu dan tenaga untuk bekerja dari rumah serta membantu anak sekolah dari rumah. Tidak jarang tekanan yang terjadi selama pandemi juga mendatangkan kekerasan dalam rumah tangga dari pasangan bagi perempuan.

Sementara itu, pemimpin redaksi Magdalene, Devi Asmarani berkomentar bahwa hambatan-hambatan yang dihadapi pekerja perempuan telah membatasi kesempatan mereka dalam memaksimalkan potensinya. Kendati sudah ada kebijakan-kebijakan yang mendukung pekerja perempuan, dalam realitasnya implementasi kebijakan tersebut belum optimal.

“Perusahaan memiliki andil besar untuk mengubah situasi ini. Karena itu Women Lead Forum 2021 ini kami tujukan untuk menyatukan para pembuat kebijakan di pemerintahan, legislasi maupun di perusahaan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka, agar ada pembelajaran dan tercipta sinergi yang kuat untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja,” ujar Devi.

women lead forum

Berangkat dari permasalahan ini, Women Lead Forum 2021 mengadakan empat diskusi panel yang menghadirkan berbagai narasumber kompeten dari pemerintah, sektor swasta, serta organisasi internasional. Adapun empat topik diskusi yang diangkat ialah “Antara Tanggung Jawab Rumah Tangga dan Kesempatan Kerja”; “Peran Perusahaan Mendukung Kesetaraan Gender di Tempat Kerja”; “Normalisasi Kesetaraan Gender lewat Media”; dan “Mendukung Kepemimpinan Perempuan: Kebijakan dan Perubahan Norma”.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Dukung Perempuan Berkarier, Jadi Pemimpin di Tempat Kerja

Women Lead Forum 2021 Angkat Isu Kepemimpinan Perempuan

Women Lead Forum 2021 menjadi acara puncak dalam rangkaian program Magdalene mendukung kepemimpinan dan karier perempuan. Sejak September 2020, Magdalene telah menerbitkan berbagai artikel terkait kehidupan perempuan pekerja dan upaya mendukung kepemimpinan perempuan melalui microsite womenlead.magdalene.co, podcast How Women Lead dan FTW Media, dan berbagai konten di media sosial.

Women Lead Forum 2021 dibuka dengan pidato dari Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox.

“Memajukan perempuan dalam kepemimpinan dipandang sebagai salah satu pendorong utama kesetaraan gender. Kami tahu bahwa pemimpin perempuan juga lebih cenderung mendukung kesetaraan gender. Namun demikian, meningkatkan keterwakilan perempuan dalam posisi kepemimpinan tetap menjadi tantangan di seluruh dunia,” papar Cox.

Untuk itu, Australia merasa bangga bisa bergandengan tangan dengan Indonesia dalam perjalanan memperkuat keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan, dan mencapai kesetaraan gender yang lebih baik di tempat kerja.”

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Terkait perempuan di posisi kepemimpinan, Ida juga menyatakan bahwa ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan bersama. Sebagai contoh, di sektor aparatur sipil negara(ASN) yang mencapai 4,1 juta, 52 persennya adalah perempuan. Akan tetapi jumlah yang menduduki jabatan struktural relatif sedikit. Di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang.

Kampanye #KantorDukungPerempuan Lewat Instagram

Di samping diskusi panel tersebut, dalam acara ini juga diumumkan para pemenang kompetisi video #KantorDukungPerempuan yang diadakan Magdalene di Instagram. Kompetisi ini telah diikuti oleh sekitar 100 peserta, di mana mereka sebagai pekerja menyatakan dengan bangga bagaimana kantor masing-masing mendukung pekerja perempuan.

“Harapan kami, kebijakan dan best practices yang kuat dapat direplikasi oleh tempat kerja lainnya,” ujar Devi.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Selain itu, terdapat pula berbagai acara lain seperti bincang-bincang inspiratif dengan perempuan wirausaha muda serta pertunjukan stand up comedy oleh Sakdiyah Ma’ruf dan Ligwina Hananto.

Women Lead Forum 2021 juga terselenggara berkat dukungan Citi Indonesia, Martha Tilaar Group, Women in Mining (WIME), The Body Shop Indonesia, Nipplets, WeWaw, Industrial Organizational Club, dan Go Works.

Read More
Manel masih sering terjadi sekarang in

Laman Berisi Basis Data Narasumber Perempuan Hilangkan Alasan ‘Manel’

Semakin tidak ada lagi alasan untuk panel laki-laki atau all male panel (manel) karena sebuah laman berisi profil tokoh-tokoh perempuan yang kompeten dalam berbagai bidang baru saja diluncurkan.

Fenomena ‘manel’ atau ‘all male panels’ adalah munculnya otoritas atau dominasi kaum pria sebagai koresponden, baik untuk pewartaan media, konferensi ataupun seminar. Keadaan ini akhirnya membuat perspektif kaum pria jadi lebih mendominasi produksi pengetahuan, dan dalam banyak sisi mendatangkan masalah tersendiri.

Organisasi kemanusiaan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) meluncurkan WomenUnlimited.id, yang dibuat karena hanya sedikit tokoh perempuan yang dijadikan narasumber dalam berbagai pemberitaan di media. Aktivis perempuan dan Direktur Eksekutif Yayasan Hivos, Tunggal Pawestri mengatakan, ada banyak sekali perempuan yang kompeten di berbagai bidang, tapi tidak banyak diketahui orang-orang.

Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia

Terlebih pada masa pandemi ini, banyak acara virtual seperti webinar yang diselenggarakan, tapi semua pembicara yang dihadirkan adalah laki-laki, ujarnya.

“Saya sering dimintai rekomendasi nama-nama perempuan yang ahli dalam bidang tertentu. Mereka sering mengeluh, sulit menemukan perempuan yang bisa bicara untuk sebuah isu. Apalagi bidang-bidang yang maskulin, seperti arsitektur, tata ruang, dan tata kota,” ujarnya dalam acara virtual “Peluncuran WomenUnlimited.id: Situs Data Narasumber Perempuan” (25/3).

Manel Masih Sering Terjadi di Ruang Akademis

“Saat ini, basis data WomenUnlimited memang belum lengkap. Ada sekitar 200 nama yang sudah kami terima. Targetnya tahun ini bisa mengumpulkan 500 nama. Sehingga butuh kerja sama dari pihak lain, tidak bisa dikerjakan sendiri,” ia menambahkan.

Dina Afrianty, peneliti dari La Trobe Law School Australia, mengatakan bahwa manel juga kerap terjadi di ruang akademis, termasuk di kampus, sebagai buah dari budaya patriarki yang berpadu dengan budaya hierarki dan senioritas. Jumlah dosen perempuan yang lebih sedikit daripada dosen laki-laki kemudian kerap dijadikan alasan akan manel, ujar Dina.

“Padahal sudah banyak sekali perempuan akademisi yang kompeten dan setara dengan laki-laki. Kehadiran mereka justru bermanfaat dan bisa menyuarakan perspektif-perspektif yang berbeda,” ia menambahkan.

“Masih jauh untutk mewujudkan kampus jadi tempat yang tidak mendiskriminasi perempuan.Tapi platform seperti WomenUnlimited.id ini adalah salah saut upaya yang bisa digunakan oleh seluruh lapisan.”

Dina juga mengatakan, salah satu cara yang bisa dilakukan perempuan akademisi untuk bisa berkembang di tengah sistem yang tidak mendukung ini adalah dengan membuat diri kita terlihat, membangun jejaring, dan mengisi forum-forum di ruang publik. Dengan begitu, profil para perempuan akademisi pun akan tersebar, mulai dikenal, dan bisa menjadi role model bagi perempuan-perempuan lainnya.

Baca juga: Tidak untuk ‘Manel’, Ya untuk Kesetaraan Gender!

Narasumber Perempuan Memperkaya Diskusi

Jamshed M. Kazi dari United Nation Women (UN Women) Indonesia, mengatakan, sebuah percakapan atau diskusi akan menjadi lebih kaya bila perempuan dari berbagai latar belakang keilmuwan dan kelompok turut terlibat di dalamnya. Ia mengatakan, menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam berbagai acara dan urusan akan mempengaruhi perkembangan karier para perempuan.

“Ketika kita menyelenggarakan acara, sering kali kita bersikeras agar pembicara yang hadir haruslah pemimpin tertinggi perusahaan. Tapi, kalau kita melakukan itu, kita menghilangkan kemungkinan adanya perempuan untuk hadir, karena di posisi-posisi tinggi itu jumlah perempuan masih sedikit,” ujar Jamshed.

“Kita bisa membuat acara dengan berfokus pada topik apa yang dibahas. Misalnya, kalau topiknya perdagangan, tidak perlu CEO dari perusahaan yang hadir. Kalau ada perempuan-perempuan yang kompeten, ya mereka yang dibawa masuk, selama mereka punya kepakaran di bidang tersebut,” tambahnya.

Minimnya representasi perempuan juga terjadi di media massa, baik dari segi konten-kontennya yang melanggengkan serangkaian stereotip terhadap perempuan, maupun sistem di dalam ruang redaksi yang tidak mengakomodasi kesempatan perempuan untuk menduduki posisi pembuat kebijakan, ujar redaktur senior harian Kompas, Ninuk Pambudy.

“Sesuatu yang muncul media katanya merepresentasikan budaya masyarakatnya. Saya tidak 100 persen setuju, karena media sebenarnya bisa berperan jauh daripada itu. Media bisa mengambil peran untuk menggambarkan perempuan dengan lebih baik,” ujarnya.

Baca juga: 5 Hal yang Tidak Media Massa Katakan Soal Representasi Perempuan

Melihat tidak representatifnya sosok dan peran perempuan dalam ruang publik, perempuan adat sekaligus aktivis muda asal suku Dayak, Kalimantan, Olvy Tumbelaka, menginisiasi pembentukan ruang-ruang belajar bagi para perempuan Dayak. Bersama teman-temannya, Olvy berusaha memberikan pengetahuan dasar sekaligus memberikan semangat kesetaraan bagi para perempuan di daerahnya.

“Setelah ikut ruang belajar, ada banyak teman perempuan yang bersikeras untuk hadir di musyawarah-musyawarah desa kalau mereka dilarang. Di setiap kampung juga ada beberapa perempuan yang berusaha mengambil alih kepemimpinan di kampung,” ujarnya.

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Read More
ciri ciri bos idola

Women Lead Forum 2021: Dukung Perempuan Berkarier, Jadi Pemimpin di Tempat Kerja

Peluang bagi perempuan untuk terjun ke dunia profesional semakin terbuka saat ini, namun berbagai kendala yang menjegal mereka menaiki tangga karier dan menjadi pemimpin di beragam industri masih kerap ditemukan.

Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Juli 2020 menemukan, perempuan pekerja di Indonesia menerima upah 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, tidak sampai 50 persen perempuan bekerja sebagai profesional dan hanya 30 persen dari mereka yang mencapai posisi manajer, menurut survei yang sama.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Perempuan juga masih sering menghadapi masalah lain terkait gendernya, mulai dari diskriminasi dan seksisme, hingga pelecehan seksual. Hambatan lain adalah norma sosial dan budaya yang tidak mendukung perempuan berkarier dan menjadi pemimpin, serta tidak adanya kebijakan dan fasilitas memadai bagi perempuan pekerja, terlebih yang sudah berkeluarga. Di sebagian perusahaan, bahkan hak-hak dasar perempuan seperti hak cuti haid atau melahirkan masih diabaikan.  

Berangkat dari masalah perempuan dalam berkarier dan ketimpangan gender dalam kepemimpinan, Magdalene bekerja sama dengan Indonesian Business Coalition for Women Empowement (IBCWE) menggelar Women Lead Forum 2021, yang berlangsung pada 7 dan 8 April 2021 secara online. Acara ini didukung sepenuhnya oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia.

Women Lead Forum 2021 akan dibuka dengan pidato dari Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox dan keynote speech dari Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah.

Acara ini menghadirkan serangkaian diskusi panel bersama 12 narasumber kompeten dari pihak pemerintah, sektor swasta, serta organisasi internasional.  

Ada empat topik terkait perempuan di dunia kerja yang akan dibahas: Antara Tanggung Jawab Rumah Tangga dan Kesempatan Kerja; Peran Perusahaan Mendukung Kesetaraan Gender di Tempat Kerja; Normalisasi Kesetaraan Gender lewat Media; dan Mendukung Kepemimpinan Perempuan: Kebijakan dan Perubahan Norma.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Selain diskusi panel, ada sesi bincang-bincang inspiratif bersama perempuan wirausaha muda, serta pertunjukan stand up comedy dari Sakdiyah Ma’ruf dan Ligwina Hananto. Women Lead Forum 2021 juga akan mengumumkan pemenang kompetisi video #KantorDukungPerempuan yang diselenggarakan Magdalene di Instagram.

Acara ini juga terselenggara berkat dukungan Citi Indonesia, Martha Tilaar Group, Women in Mining (WIME), The Body Shop Indonesia, Nipplets, WeWaw, Industrial Organizational Club, dan Go Works.

Pendaftaran dapat dilakukan lewat bit.ly/WomenLeadForum2021, dan informasi terkait jadwal acara dapat dilihat di akun Instagram Magdalene.

Read More
Dr. Ines Atmosukarto

Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Ines Atmosukarto menolak dipanggil “doktor” dan meminta disebut sebagai “mbak” saja. Padahal panggilan doktor itu merupakan penghormatan kami kepada perempuan ilmuwan hebat yang sangat rendah hati tersebut.

Ines Atmosukarto adalah peneliti vaksin dan doktor di bidang Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Adelaide Australia, tempat ia menempuh pendidikan S1 sampai S3. Ia kini menjadi CEO perusahaan Australia, Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan teknologi vaksin, objek yang menjadi pusat perhatian seluruh dunia saat ini.

Ines Atmosukarto merupakan perempuan ilmuwan Indonesia pertama, dan satu dari lima ilmuwan dunia yang menerima UNESCO L’Oreal Fellowship for Women in Science pada 2004. Ketertarikannya pada sains didapat dari keluarga yang berlatar belakang sains.

“Baik bapak, ibu, dan kakek dari pihak ibu, pendidikan mereka semua memang berbasis sains. Dari sejak kecil saya dan adik-adik saya juga dididik untuk melihat segalanya dengan fakta, ilmu pasti. Jadi, mungkin itulah kenapa saya akhirnya ke bidang sains,” kata Ines Atmosukarto, dalam wawancara untuk podcast “Magdalene’s Mind” (8/3).

Kini, dengan semakin luasnya dan cepatnya persebaran informasi mengenai vaksin, Ines pun ikut turun tangan dalam mengedukasi masyarakat.

“Kita membutuhkan lebih banyak suara yang bisa menyampaikan informasi ilmiah terkini dengan cara yang mudah dipahami,” kata Ines Atmosukarto mengenai vaksin dalam episode podcast

Inisiatif ini datang dari kesadaran Ines bahwa ilmuwan seperti dirinya masih harus belajar banyak, terutama mengenai ranah sosial di mana wacana tentang COVID-19, penyakit, dan vaksin masih terus mengalir.

Usahanya di bidang sains pun tidak berhenti di situ, Ines Atmosukarto juga memulai program-program fellowship dengan L’Oreal untuk perempuan muda Indonesia. Bagaimana pandangan Ines mengenai minimnya partisipasi perempuan di dunia penelitian dan sains pada umumnya? Berikut kutipan obrolan Dr. Ines bersama Devi Asmarani dan Hera Diani di episode bonus “Magdalene’s Mind” ini.

Magdalene: Sebagai ilmuwan yang telah lama bekerja di bidang teknologi pengembangan vaksin, bisa dijelaskan proses pembuatan vaksin itu bagaimana? Dan berapa lama prosesnya hingga vaksin itu siap digunakan?

Dr. Ines Atmosukarto: Secara tradisional, proses pengembangan vaksin itu sebenarnya membutuhkan waktu yang lama, sekitar 10 hingga 15 tahun. Vaksin untuk pandemi ini memegang rekor waktu pengembangan tercepat, sekitar 12 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena investasi yang besar dari berbagai pihak, yang mempercepat waktu pengembangan serta tahapan pengujian.

Dari sudut pandang seorang peneliti, ketika mencari dukungan dan kerja sama dari perusahaan farmasi, vaksin itu bukan produk yang dianggap menarik. Karena pada dasarnya, vaksin selalu diusahakan untuk dijual dengan harga murah agar cakupannya luas. Vaksin juga produk pencegahan yang dengan sekali pakai diharapkan penggunanya akan sembuh. Jadi dari sudut pandang model bisnis, sebenarnya ini bukan produk yang bagus untuk perusahaan.

Menurut Dr. Ines Atmosukarto Tantangan terbesar dalam bekerja di start-up biotek adalah meyakinkan investor bahwa berinvestasi di bidang vaksin itu penting. Jadi, secara tidak langsung, pandemi ini turut membantu meyakinkan mereka betapa pentingnya vaksin.

Read More
newsroom ramah perempuan

Jumlah Bukan Jaminan, ‘Newsroom’ Ramah Perempuan Masih Angan-angan

Seorang jurnalis televisi di Australia, Virginia Haussegger, pernah melayangkan kritik sekaligus protes di tempat kerjanya pada 2005 karena dirinya hanya ditugasi liputan isu-isu kecil, sementara kolega laki-lakinya selalu diberikan liputan yang lebih menantang dan “berat”, seperti politik dan isu-isu internasional.

Kritik Haussegger ini diabaikan oleh sang atasan—ia disuruh diam, tidak protes, dan kembali bekerja. Beberapa jam kemudian, Haussegger bahkan mendapati sebuah penis besar berbahan karet berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya.

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Apa yang Haussegger lakukan untuk merespons kejadian itu? Ia pergi ke ruangan sang atasan sambil menempelkan penis karet itu di kepalanya.

“Lihat, saya juga punya (penis). Apa sekarang saya sudah bisa mendapatkan tugas liputan di luar negeri?” ujarnya.

Kisah Haussegger itu dikisahkan Louise North dalam penelitiannya yang berjudul ‘Rejecting the ‘F-word’: How feminism and feminists are understood in the newsroom’ (2009). Selain kisah Haussegger, penelitian ini juga menyoroti bagaimana diskriminasi gender bekerja secara lebih lanjut di dalam ruang redaksi atau newsroom sehingga menimbulkan kesempatan kerja yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan jurnalis.

Salah seorang responden penelitian ini mengatakan, semua editor di media tempatnya bekerja atau newsroom adalah laki-laki. Mereka juga selalu memberikan liputan politik kepada laki-laki, sementara perempuan hanya diberikan liputan ringan dan gaya hidup populer. Padahal, kultur di kebanyakan media menganggap liputan politik sebagai topik yang lebih baik, potensial, dan menantang ketimbang liputan gaya hidup. Sehingga, para laki-laki jurnalis lah yang memiliki kesempatan untuk dipromosikan lebih cepat dan mudah.

Hal itu terdengar kontradiktif dengan jargon-jargon yang umum kita dengar di keseharian bahwa perempuan dan laki-laki sudah memiliki kesempatan yang sama di tempat kerja. Khususnya dalam dunia jurnalisme, kini banyak pihak mengatakan bahwa jurnalis bukan lagi sebuah profesi maskulin, karena sudah banyak melibatkan pekerja perempuan.

Tapi apakah kuantitas itu bisa mengakomodasi realita yang ada dalam seluruh aspeknya?

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Representasi di Level Kepemimpinan Minim

Data dari “Laporan Global dalam Status Perempuan di Media” yang diinisiasi International Women’s Media Foundation (2011) menunjukkan, ada 690 orang atau sekitar 45,5 persen perempuan jurnalis di delapan perusahaan media di Perancis. Sementara jumlah laki-laki jurnalis mencapai 826 orang atau setara 54,5 persen.

Secara kuantitas, kondisinya mungkin tidak terlalu timpang. Namun temuan Carolyn M. Byerly, profesor komunikasi gender dari Howard University, AS, yang juga merupakan peneliti dari laporan ini,  mengatakan representasi perempuan sangatlah minim di level manajemen ke atas, dan hal ini menunjukkan adanya glass-ceiling bagi para perempuan jurnalis di Prancis.

Di tingkat manajemen puncak, dari kelapa divisi keuangan sampai dewan direksi, hanya ada 33,3 persen perempuan. Keikutsertaan para perempuan dalam level pengambilan keputusan tertinggi, seperti dewan pengurus, juga sangat kecil, yaitu 16,7 persen.

Byerly juga mengatakan bahwa angka ini menunjukkan perempuan tidak mungkin bisa memberikan pengaruh besar dalam urusan keuangan perusahaan, serta pengambilan keputusan tingkat eksekutif lainnya.

Perempuan memang mendominasi dalam urusan desain, wardrobe, keuangan, administrasi, dan penjualan. Tapi mereka tidak memainkan peranan penting di level jabatan yang terlibat langsung dengan produksi dan kerja jurnalistik, termasuk pengumpulan berita.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam penelitiannya yang berjudul “Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia” (2012). Dari total 189 orang perempuan jurnalis yang diteliti, hanya 11 di antaranya yang menduduki jabatan sebagai pengambil kebijakan redaksi, yaitu satu orang pemimpin redaksi, satu orang editor, satu orang kepala seksi program, tiga orang produser, dan lima orang redaktur.

AJI mengungkap, perusahaan media di Indonesia juga belum memperhatikan kondisi kerja para perempuan jurnalis, karena tidak memberikan waktu istirahat bagi perempuan yang sedang menyusui, tidak menyediakan ruang laktasi, dan cuti haid.

Hal itu tentu tidak terlepas dari berbagai bias, stigma, dan prasangka yang melekat pada diri perempuan pekerja, hingga melahirkan banyak tantangan dan hambatan. Seperti beban ganda antara pekerjaan domestik dan pekerjaan di kantor, maupun antara tuntutan menjadi pribadi yang ramah dan submisif serta tuntutan untuk bisa survive di kultur perusahaan yang keras dan maskulin, absennya kebijakan yang bisa merealisasikan hak-hak mereka (cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, ruang laktasi, dan sebagainya), sampai perlakuan atasan dan kolega yang seksis dan kerap melecehkan mereka.

Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia

Diskriminasi dan Pemisahan Gender di dalam Newsroom

Temuan Observatory of Press Profession and the Observatory of Audiovisual Profession and Qualifications (2011) di Perancis menunjukkan, perempuan lebih banyak menempati berbagai posisi tidak tetap di perusahaan media, seperti pekerja lepas dan pekerja kontrak.

Hal ini membuat kesenjangan gender terlihat dari upah mereka lebih rendah ketimbang para laki-laki jurnalis, dengan selisih 4.082 euro per bulan. Situasi ini juga diperburuk oleh fakta bahwa pekerja perempuan lebih sering dan rentan keluar dari bursa tenaga kerja, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi ketimbang laki-laki ketika mereka memiliki anak.

Di perusahaan media juga terdapat pemisahan vertikal dan horizontal antar gender. Pemisahan vertikal mencakup pemisahan-pemisahan yang bertingkat, seperti perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, serta representasi perempuan yang jauh lebih sedikit ketimbang laki-laki di jenjang dan posisi karier yang krusial.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Riset AJI pada 2012 tadi juga menemukan bahwa walau tidak ada perbedaan gaji dan fasilitas yang diterima perempuan dan laki-laki, tapi para perempuan jurnalis kerap mengalami diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan selama bekerja. Sebanyak 6,59 persen jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dan 14,81 persen mengalami pelecehan.

Diskriminasi umumnya didapatkan perempuan jurnalis ketika meliput di kepolisian. Menurut riset AJI, mereka kerap dipandang sebelah mata karena peliputan di kepolisian dianggap hanya untuk laki-laki.

Dari sinilah ketidak setaraan yang struktural bermula dan terus-menerus dilestarikan, hingga membuat industri media yang seharusnya mengakomodasi keberagaman tak ubahnya kebanyakan sektor publik yang menjadi boy’s club.

Baca Juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

“Akibatnya, meski bisa disimpulkan bahwa kehadiran perempuan di ruang redaksi atau newsroom terbukti mendorong dihasilkannya konten-konten berita yang mewakili suara perempuan, dampak itu terbatas karena dominasi subjek berita laki-laki yang bertahan di luar dan di dalam perusahaan media,” kata Eugenie Saitta dalam penelitiannya yang berjudul “France: A Nuanced Feminization of Journalism” (2011).

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Read More
pelecehan seksual dalam industri film

Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

Salah satu tantangan di lingkungan kerja terkait dalam industri film adalah pelecehan seksual dan kurangnya pemahaman mengenai perilaku seperti apa yang termasuk dalam tindak pelecehan seksual. Banyak yang masih mengira candaan yang merendahkan tubuh (body shaming), atau merendahkan gender (termasuk catcalling) belum termasuk pelecehan seksual dengan dalih, “Kan belum ada kontak fisik?”.

Namun, kontak fisik seperti merangkul/menyentuh (lazimnya kru perempuan) dengan dalih ekspresi keakraban padahal tidak disukai dan dianggap mengganggu, masih dianggap wajar. Jenis pelanggaran yang dianggap “enteng” semacam ini masih kerap terjadi di lingkup kerja terkait produksi film yang termasuk pelecehan seksual dalam industri film.

Berulangnya tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam industri film telah mendorong sejumlah pegiat perfilman pada 2019 untuk meluncurkan inisiatif “Sinematik Gak Harus Toxic”, yang membuka kotak aduan pelecehan dan atau kekerasan seksual di lingkungan komunitas dan kegiatan perfilman.

“Tujuan dari kampanye ini adalah menghapuskan dan mencegah terulangnya tindak pelecehan dan atau kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan komunitas film dan atau kegiatan perfilman, baik yang baru terjadi maupun yang sudah terjadi bertahun-tahun silam,” tulis mereka dalam keterangan resmi.

Sayangnya, tindak pelecehan seksual itu terus berlangsung. Awal tahun 2020, aktris Mian Tiara menulis sebuah utas di Twitter yang mengisahkan kronologi pelecehan seksual terhadapnya oleh aktor senior “Burhan”. Ia menyatakan bahwa cukup lama cerita itu ia simpan karena tidak mau mengacaukan proses syuting yang sedang berjalan. Ia kemudian berbicara kepada salah satu pemain, kemudian para sutradara dan produser yang sesama perempuan. Burhan sendiri malah tersinggung dan menampik pengakuan Tiara.

Pernyataan Tiara mendorong aktris Hannah Al Rashid dan editor film Aline Jusria untuk berbagi pengalaman mereka menghadapi pelecehan seksual dari orang yang sama. Sejumlah teman Aline juga mengisahkan pengalaman serupa, baik oleh pelaku yang sama ataupun berbeda. Tapi rata-rata para pekerja film ini enggan melaporkan atau bercerita soal pelecehan yang dialami, mungkin akibat kemunculan kesadaran akan pelecehan seksual yang terlambat di Indonesia.

Baca juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Read More
Nawal El Saadawi tutup usia

Nawal El Saadawi Aktivis Perempuan Legendaris dari Mesir

Aktivis perempuan terkemuka dari Mesir, Nawal El Saadawi, yang buah pikirannya telah menginspirasi dan memengaruhi banyak feminis di dunia, tutup usia pada Minggu, 21 Maret 2021. Semasa hidupnya, ia mengabdikan diri pada perjuangan membela hak perempuan, selain sebagai psikiater dan ahli kesehatan masyarakat.  

Baca Juga: Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Ia banyak sekali menulis tentang isu perempuan dalam Islam dan sangat menaruh perhatian terhadap praktik sunat perempuan dalam masyarakat Mesir, yang juga ia alami. 

El Saadawi adalah penulis produktif, telah menghasilkan lebih dari 55 buku yang mengangkat isu gender dalam masyarakat yang konservatif. Bukunya yang paling berpengaruh dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia adalah Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) pada 1975.

Profil Penulis Feminis Mesir Nawal El Saadawi 

Nawal El Saadawi lahir pada 27 Oktober 1931 di sebuah desa bernama Kafr Tahla dan merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. 

Pada tahun 1955 ia lulus sebagai dokter dari Universitas Kairo. Di tahun itu juga El Saadawi menikah dengan Ahmad Helmi yang ia kenal saat kuliah. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang anak bernama Mona Helmi. 

El Saadawi tak hanya mendedikasikan pengetahuannya di dalam dunia kedokteran untuk pelayanan kesehatan, namun juga untuk menyoroti masalah kesehatan perempuan secara fisik dan psikologis yang disebabkan oleh budaya opresif yang mereka terima, seperti patriarki dan opresi kelas. 

Baca Juga: Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

Ia mengamati secara langsung bagaimana opresi terhadap perempuan sangat memengaruhi kesehatan fisik dan psikologis mereka saat ia membuka praktik di kampung halamannya. Saat itu, salah seorang pasiennya mengalami kekerasan domestik dan ia mencoba untuk melindungi pasiennya tersebut. Setelah kejadian tersebut ia dipanggil pulang ke Kairo dan menjadi seorang direktur di Kementerian Kesehatan Masyarakat. 

Merupakan Penulis Kontroversial mengenai Feminisme

El Saadawi punya ciri feminisme yang sangat terbuka. Dia menulis soal topik-topik kontroversial di Mesir, termasuk isu poligami serta sunat pada perempuan.

Karena kritis pada pemerintah, ia sempat dipenjara, dan juga mengalami persekusi baik dari pihak pemerintah dan kelompok Islamis. Itu sebabnya pada tahun 1993, El Saadawi menempuh pendidikan di Universitas Duke, North Carolina, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi pengajar di sana selama tiga tahun. Ia juga menjadi pengajar di University of Washington. 

Tidak hanya di dua universitas itu saja, Saadawi juga memegang posisi seperti Universitas Kairo, Harvard, Yale, Columbia, Sorbonne, dan universitas bergengsi lainnya. 

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ia kemudian kembali ke Mesir dan memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2005. Tetapi rencana itu batal, terhalang oleh persyaratan yang super ketat untuk calon-calon baru. 

Buku-bukunya yang kritis sudah berhasil diterbitkan ke dalam banyak bahasa dan juga menjadi rujukan untuk para feminis Barat, termasuk kawannya, Gloria Steinem. Ia juga mengkritik kebijakan yang dianut para pemimpin negara seperti penyerangan mantan Presiden AS, George W. Bush ke Irak dan Afghanistan.

Karier Nawal El Saadawi sebagai Penulis dan Aktivis Pembela Hak Perempuan

Saat bekerja di Kementerian Kesehatan, pada tahun 1972, Saadawi menerbitkan sebuah buku berjudul Women and Sex yang mengonfrontasi serta mengontekstualisasi berbagai agresi terhadap tubuh perempuan, salah satunya praktik sunat perempuan. Buku ini menjadi salah satu fondasi gerakan feminisme gelombang kedua. Namun buku ini membuat Saadawi dipecat dari Kementerian Kesehatan.

Baca Juga: Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan dalam Pelantikan Presiden Amerika Joe Biden dan Kamala Harris

Setelah ia kehilangan posisinya di Kementerian dan Asosiasi Kesehatan Mesir, ia bekerja di Fakultas Kedokteran Ain Shams University pada 1973 hingga 1976. Pada 1979 hingga 1980, ia ditunjuk menjadi Penasihat PBB untuk program berkaitan dengan isu perempuan di Afrika dan Timur Tengah.

Tantangan Saadawi sebagai Aktivis Pembela Hak Perempuan 

Dari banyak advokasi yang ia jalankan dan sikap kritisnya terhadap pemerintah Mesir yang opresif saat itu, Saadawi dipenjara pada tahun 1981 Saadawi oleh Presiden  Mesir Anwar Sadat. Ia ditahan di penjara Qanatir.  

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Meski tubuhnya dipenjara, semangatnya untuk membela hak-hak perempuan tidak pernah padam. Ia dilarang memegang pensil atau alat tulis lainnya, tetapi ia tetap menuangkan pemikiran-pemikirannya pada kertas tisu toilet menggunakan pinsil alis. Ia dibebaskan tiga bulan kemudian dan pada tahun 1982 mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab. 

Fase ini menjadi salah satu basis dari memoarnya yang berjudul Memoirs from the Women’s Prison. Sembilan tahun sebelum ia dipenjara, ia pernah berkontak dengan salah satu tahanan di sana dan kontak ini menjadi sebuah inspirasi dari novel Woman at Point Zero

Read More
lingkungan kerja toksik

Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Pada Februari lalu, aktor Charisma Carpenter, salah satu pemeran serial 1990-an populer Buffy the Vampire Slayer dan Angel, mengungkapkan perilaku abusive dan tidak profesional sutradara kedua serial yang dibintanginya tersebut, Joss Whedon.

Dilansir Vulture, Carpenter menyatakan lewat Twitter bahwa ia menerima berbagai perlakuan buruk dari Whedon saat syuting, terutama ketika ia sedang hamil. Carpenter menyebut Whedon bersikap pasif agresif terus menerus, serta kerap merendahkan orang-orang yang bekerja dengannya. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa Whedon sering pilih kasih, mengadu domba orang, dan membuat mereka berkompetisi untuk mendapatkan perhatian dan persetujuannya.

“Dia [Whedon] bertanya apakah saya bisa ‘menyimpannya’ [soal kehamilan saya] dan secara manipulatif menggunakan keperempuanan dan kepercayaan saya untuk menyerang saya. Dia kemudian menyerang karakter saya, menghina agama yang saya anut, menuding saya menyabotase serialnya, dan secara tidak hormat memecat saya begitu saya melahirkan,” papar Carpenter.

Testimoni Carpenter ini muncul setelah pertengahan tahun lalu aktor Ray Fisher, pemeran Cyborg dalam film Justice League (2017) yang juga disutradarai Whedon, mengungkapkan hal serupa. Juga melalui Twitter, Fisher menyebut Whedon menjijikkan, abusive, tidak profesional, sama sekali tidak bisa diterima.

Ia melanjutkan, perilaku Whedon semacam ini “difasilitasi” oleh mantan co-president produksi Warner Bros, Jon Berg dan mantan DC Entertainment president and chief creative officer, Geoff Johns. Pada Oktober 2020 dalam wawancara dengan Forbes, Fisher menyebut para eksekutif di studio tersebut terang-terangan melakukan percakapan rasis saat memproduksi film superhero itu.

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

Dampak Besar Lingkungan Kerja Toksik

Kasus beberapa selebritas Hollywood ini hanya sebagian contoh kecil dari fenomena lingkungan kerja toksik yang dapat ditemukan di berbagai industri. Dalam banyak kasus, lingkungan kerja toksik sering ditoleransi dengan macam-macam alasan, seperti, memang begitulah kerasnya meniti karier; kalau ingin cepat dipromosikan atau bisa terus menerima gaji ikuti saja semua kemauan atasan; perilaku buruk yang ditemukan di kantor ini juga sama halnya dengan di kantor-kantor lain, jadi terima saja atau tinggalkan sama sekali; atau tidak ada aturan dan sanksi tegas soal tindakan apa yang tidak bisa diterima di lingkungan kerja.

Alasan-alasan yang sering dipakai tersebut pada akhirnya mendatangkan konsekuensi besar bagi korban perlakuan buruk seseorang di tempat kerja, baik rekan sejabatan atau sedivisi maupun bos atau pemilik perusahaan.

Dalam kasus Carpenter, perempuan itu mengaku mengalami masalah kesehatan fisik kronis dan kecemasan berlarut-larut. Sementara dalam testimoninya yang tertuang di artikel YourTango, Rachel Reed bercerita bahwa dirinya bahkan mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) karena bekerja dengan orang berperilaku agresif.

Di samping kedua masalah kesehatan ini, korban lingkungan kerja toksik juga dapat mengalami depresi atau sering kelelahan luar biasa dan jatuh sakit. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melakukan penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol.

Lingkungan kerja toksik juga berkontribusi terhadap perasaan mudah tersinggung yang dialami para pekerja. Lebih jauh lagi, jika mereka terus terpapar lingkungan semacam ini, produktivitas para pekerja bisa menurun seiring hilangnya motivasi mereka.

Bagi banyak penyintas kekerasan, termasuk yang terjadi di tempat kerja, baik kekerasan fisik, seksual, maupun emosional, tidak mudah untuk menceritakan kasusnya karena ada kemungkinan mereka tidak dipercaya, apalagi jika pelaku adalah orang yang lebih berkuasa. Lebih lanjut, mereka bisa terancam kehilangan pekerjaan atau bahkan berurusan dengan hukum dan direviktimisasi bila melaporkan pengalamannya.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Tanda-Tanda Lingkungan Kerja Toksik

Mengetahui bahayanya dampak lingkungan kerja toksik, kita perlu mengenali berbagai tanda-tandanya sehingga di kemudian hari kita bisa mengambil langkah tepat untuk menyikapinya. Berikut ini beberapa tandanya yang perlu kita waspadai.

1. Komunikasi yang Buruk dalam Perusahaan

Lingkungan kerja toksik tidak memiliki komunikasi yang terbuka atau sangat minim antara para pekerjanya. Di lingkungan seperti ini, sering kali tidak ada komunikasi jelas tentang proyek yang sedang dikerjakan bersama sehingga muncul potensi kesalahpahaman menerima dan menyebarkan pesan.

Komunikasi buruk juga melibatkan kegagalan pekerja untuk saling mendengarkan dan ketiadaan penghargaan atas suatu pekerjaan. Karena kurangnya komunikasi, kemungkinan pekerja untuk berkembang melalui tanggapan positif atau kritik menjadi terhambat.

Dalam relasi atasan-bawahan, komunikasi buruk menimbulkan halangan dalam kerja kolaborasi di suatu perusahaan. Tidak jarang bawahan menjadi enggan bertanya atau berpendapat ketika ia merasa pola komunikasi atasannya buruk.

2. Budaya ‘Nge-geng’ dan Bergosip Ciri Lingkungan Kerja Toksik

Budaya nge-geng juga bisa ditemukan di tempat kerja, yang mengucilkan pihak tertentu. Ini menjadi hal buruk dalam konteks kerja kolaborasi, di mana setiap pihak mesti dilibatkan.

Seiring dengan budaya nge-geng, lazim pula ditemukan budaya bergosip. Dalam konteks profesional, terlalu banyak gosip adalah tanda lingkungan kerja toksik, apalagi berkaitan dengan teman kerja kita atau kondisi perusahaan kita sendiri.

Hal ini bisa memunculkan kesalahpahaman atau favoritisme karena seseorang termakan gosip. Kalau ujungnya orang yang digosipkan tahu apa yang dibicarakan suatu kelompok, bisa terjadi konflik personal yang berdampak besar terhadap kinerja bersama yang dituntut oleh kantor.

Dalam relasi perusahaan-karyawan, gosip tidak benar soal perusahaan yang beredar malah bisa menjadi bumerang yang mengancam keberlangsungan kerja si karyawan sendiri.

3. Karyawan yang Keluar-Masuk Banyak atau Turn Over Tinggi

Kalau terlalu banyak karyawan yang keluar masuk perusahaan, kita patut curiga kalau lingkungan kerjanya punya tanda-tanda toksik. Terlebih lagi, jika mereka ternyata merasa jauh lebih baik bekerja di lingkungan yang baru.

Selain tawaran gaji dan pekerjaan lebih baik dari kantor berikutnya, seorang biasanya keluar karena ada sesuatu yang tidak beres dalam kantornya; entah berhubungan dengan komunikasi buruk tadi, teman yang menusuk dari belakang, persaingan atau politik kantor yang tidak sehat, kebijakan kantor kurang mendukung, bos yang tidak apresiatif, atau target kerja yang disetel tidak realistis dan tidak sepadan dengan upah.

4. Praktik Tidak Adil

Kalau kita menemukan adanya diskriminasi, baik terkait gender, ras, maupun latar belakang tertentu, ketiadaan kesempatan berpendapat, kesenjangan gaji di posisi sama, atau tidak ada pemenuhan hak karyawan (cuti sakit, hamil, izin keluarga meninggal, jam kerja wajar, tunjangan kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja) bisa dibilang lingkungan kerja kita toksik. Dalam hukum negara kita saja hal ini sudah diatur, jadi sepatutnya perusahaan kita juga mengikuti aturan yang ada.

Di lingkungan profesional maupun di luar itu, semua tindakan tersebut tidak bisa ditoleransi dan idealnya, kantor punya aturan tegas soal ini. Kalau ternyata pihak kantor tidak memilikinya, dan diam saja waktu diskriminasi terjadi, kita tidak perlu berlama-lama bertahan di perusahaan tersebut.

Kalau kita memaksakan bekerja di bawah lingkungan serba tidak adil, kita hanya akan mengemban beban bertumpuk-tumpuk yang berpengaruh buruk terhadap performa dan produktivitas kita seperti disebut sebelumnya. Kita pun tidak akan bisa berkembang selama sistem yang diterapkan di kantor tidak inklusif dan adil bagi semua pihak.

5. Kekerasan Diwajarkan

Tanda yang satu ini sudah jadi peringatan keras agar kita cepat-cepat meninggalkan lingkungan kerja toksik. Kita tidak perlu menoleransi apa pun bentuk kekerasan di kantor baik yang fisik, verbal, seksual, atau emosional.

Sebagian teman kantor yang suka melecehkan atau melontarkan candaan seksis, atau bos yang sering main fisik, mengeluarkan kata-kata kasar, mempermalukan karyawan di depan umum, dan tidak menghargai proses kerja adalah sebagian contoh bagaimana kekerasan diwajarkan di kantor.

Saat hal ini terjadi dan sangat mempengaruhi kita, kita berhak melapor ke perusahaan. Jika perusahaan masih mengabaikan, kita juga berhak lho mengurus ini lebih lanjut secara hukum. Siapa pun sudah sewajarnya dilindungi negara dari kekerasan, bukan?

Read More