Lian Gogali

Lian Gogali: Suara dari Perempuan Poso

Merlian “Lian” Gogali merupakan aktivis yang berfokus  membangun perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah, dengan memberdayakan perempuan di daerah yang pernah dilanda konflik mematikan tersebut. 

Baca Juga: Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Lian lahir di Taliwan, Poso pada 28 April 1978. Saat konflik Poso pecah pada akhir dekade 1990an dan awal 2000, ia sedang melanjutkan pendidikan masternya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia terpukul melihat dampak konflik pada masyarakat, terutama perempuan. 

Podcast tentang Tips Membangun Koneksi dan Kolaborasi ala Lian Gogali

Dari pengalaman tersebut, Lian pun bertekad untuk mencari tahu apa penyebab konflik tersebut. Ia melakukan penelitian untuk tesisnya dan mewawancarai perempuan dan anak-anak di Poso. Setiap komunitas ia tanyai dan ia perhatikan bagaimana mereka berinteraksi. Dari situ Lian menemukan bahwa para perempuan Poso turut andil dalam menciptakan perdamaian  antar komunitas. 

Setelah menyelesaikan tesisnya, Lian bekerja di beberapa lembaga swadaya masyarakat hingga akhirnya ia mendirikan Institut Mosintuwu pada 2010. Dalam wawancara bersama dengan podcast Indonesia, How Women Lead, Lian mengatakan fokus dari Mosintuwu Institute adalah emansipasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat Poso, melalui pemberdayaan perempuan dan anak.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Agar berjalan dengan lancar, Lian menggunakan metode dengan konteks lokal agar kurikulum sekolah pembaharu desa dari Mosintuwu Institute bisa relevan dengan perempuan Poso. Di sinilah Lian mulai memahami betapa membangun koneksi dengan warga lokal sangat penting untuk kemajuan desa. 

Membangun Koneksi dengan Menjadi Pendengar Aktif

Selama mengembangkan Mosintuwu Institute, Lian banyak mendapatkan pelajaran ketika berbincang dengan perempuan-perempuan Poso. Salah satunya adalah mengenai pentingnya mendengarkan secara aktif saat kita berbicara dengan orang lain. Menurut Lian,  mendengarkan berarti memberi ruang bagi orang terutama perempuan, untuk bersuara. 

Bagi Lian, mendengarkan itu bukan hanya upaya satu orang saja, tetapi dua orang yang memiliki kemauan untuk memahami hidup sehari-hari antara satu sama lain. Lian mengatakan, mendengarkan merupakan prinsip dasar dalam berkomunikasi.

Baca Juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

“Apalagi kalau kita mendengarkan cerita perempuan, itu seperti radio, padat sekali frekuensinya. Nah, untuk mendapatkan saluran yang tepat, kita perlu berhati-hati karena lapisannya banyak. Sering kali apa yang dibicarakan perempuan itu malah bukan suara mereka,” ujar Lian kepada How Women Lead

Suara perempuan sering kali tidak terdengar, menurutnya, karena mereka mengadopsi suara-suara di sekitar mereka yang sebagian besar adalah laki-laki. Padahal, Lian melihat bahwa perempuan memiliki suaranya sendiri serta memiliki cara berpikir sendiri. 

“Nah, di sekolah ini pelajaran paling pertama adalah belajar mendengarkan. Sebab mendengarkan itu sulit, soalnya semua orang ingin bercerita,” kata Lian. 

Lian Gogali: Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Membangun Koneksi

Sebelum kita menyadari pentingnya mendengarkan secara teliti dan tekun apa yang ingin lawan bicara kita sampaikan, Lian menyadari ada beberapa pilihan bahasa atau slogan yang digunakan oleh lawan bicara kita, dan kita perlu memahami pilihan bahasa tersebut.

“Misalnya, kata damai. Ketika berbicara tentang damai, damai yang mereka bicarakan itu adalah damai yang ditawarkan kepada mereka untuk mereka mini sebagai keyakinan mereka. Kita perlu memeriksa betul konsep bahasa yang digunakan oleh perempuannya, apakah memang benar konsep tersebut benar-benar apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Lian.

Baca Juga: Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Menurutnya, penggunaan bahasa yang dekat dengan lawan bicara kita adalah salah satu jalan terbaik dalam membangun koneksi. Berdasarkan pengamatan Lian, selama ini pemerintah gagal terhubung dengan masyarakat sebab menggunakan bahasa yang tidak memiliki akar emosional dengan masyarakat.

“Apalagi kalau berkaitan dengan kebijakan nasional, yang paling dekat itu ngomongin soal social distancing saja, ini orang-orang desa bakal bertanya, loh itu apa? Apalagi kalau penjelasannya panjang dengan bahasa Indonesia. Itu yang membuat masyarakat memahaminya berbeda dengan yang kita tawarkan,” ujarnya.

Dari hasil pengamatan itu,  Lian pun jadi paham bahwa penggunaan bahasa lokal itu sangat penting dalam penyampaian informasi-informasi untuk warga desa.

Membangun Koneksi dan Memberdayakan Perempuan Poso

Berkat inisiatif yang dilakukan oleh Lian Gogali, saat ini banyak perempuan-perempuan Poso yang terbantu. Sekolah Perempuan dari Institut Mosintuwu tidak hanya mengajarkan cara mendengarkan yang baik, tapi juga bagaimana menguatkan ekonomi solidaritas antar perempuan. Hal ini Lian lakukan sebab ia ingin perempuan Poso mandiri secara ekonomi. 

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

“Ketika dipraktikkan di lapangan, dia enggak bisa sendirian. Mereka perlu juga bekerja bersama-sama. Salah satu contohnya pasar Salukaya yang didirikan oleh ibu-ibu di sekolah perempuan. Jadi kemampuan yang diajarkan di sekolah perempuan harus dapat menjawab konteks daerah tersebut. Dari sini terlihat ini ah pentingnya untuk berkolaborasi dengan semua pihak,” kata Lian

Read More
Perempuan dalam Periklanan

5 Hal yang Perlu di Pahami Soal Potret Perempuan dalam Periklanan Indonesia

Semua perusahaan berlomba-lomba membuat iklan yang menarik untuk menarik perhatian masyarakat agar produk mereka dikonsumsi dan meraup untung. Untuk membuat iklan, kita memang perlu mengetahui siapa target pasar kita. Nah, untuk meraih target pasar yang dituju, para pembuat iklan kerap kali terjebak dalam stereotip gender bahkan seksisme.

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Masih banyak iklan yang melanggengkan stereotip negatif terutama untuk perempuan. Dalam iklan-iklan bumbu dapur, misalnya, skenario umumnya adalah penggambaran perempuan dengan peran ibu yang sedang sibuk memasak dan terkadang suaminya muncul setelah pulang kerja, kemudian mencicipi makanan dengan gembira.

Dalam iklan produk rumah, misalnya cairan pembersih, perempuan juga tampil lebih banyak, hanya lagi-lagi dengan peran ibu yang sedang mencuci atau menjemur pakaian. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut tentang isu ini, kamu dengarkan podcast FTW Media yang secara lengkap mengupas isu perempuan dalam periklanan.

Memang enggak ada perubahan sampai sekarang? Ada sih, tapi iklan-iklan yang menantang atau meruntuhkan stereotip gender negatif masih sangat sedikit. Contohnya di tataran global adalah ketika Gilette, perusahaan pembuat pisau cukur, mengeluarkan iklan dengan jargon “The Best Men Can Be”, menggantikan jargon sebelumnya, “The Best a Man Can Get”. Iklan baru tersebut menggambarkan tentang bullying dan toxic masculinity, dan bagaimana bahwa laki-laki bisa lebih baik dari itu. Iklan ini banyak mendapat pujian, meski ada cemoohan tentunya. Satu hal yang pasti, perusahaan bisa kok membuat iklan yang keren sekaligus juga memutus stereotip negatif gender dalam masyarakat.  

Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang isu-isu terkait gender dalam periklanan. 

1. Perempuan dalam Iklan dan Karakter Ibu yang Mendominasi

Skenario iklan bumbu dapur atau iklan produk pembersih rumah tangga sering kali menampilkan  dengan karakter ibu yang tengah melakukan kerja domestik. Pun saat ada suami di rumah, biasanya sang suami cuma jadi tim hore saja, atau diperlihatkan sedang akan berangkat atau pulang kerja. Ini menguatkan peran gender normatif bahwa tugas-tugas rumah tangga hanya menjadi tugas seorang ibu.

Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Ketika pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia dan mengubah hidup kita secara drastis, iklan pun juga memperlihatkan perubahan itu. Tapi, lihat saja dalam iklan sebuah susu untuk anak terkenal, di situ lagi-lagi ditampilkan sang ibu, yang menemani anak sekolah online. Lantas, di mana sang ayah? 

Ini juga yang menjadi pertanyaan semua orang ketika melihat gambar legendaris di kotak biskuit Khong Guan yang cuma memperlihatkan ibu dan anak-anaknya. 

2. Karakter Laki-laki Selalu Digambarkan Tidak Paham Soal Urusan Rumah

Mengenai peran ayah di skenario periklanan, sebuah episode podcast Indonesia FTW Media juga membahas hal ini bersama dengan Aliansi laki-laki Baru, sebuah gerakan laki-laki untuk mendukung kesetaraan gender. Fauzan dari komunitas tersebut mengatakan, walaupun sudah ada perempuan yang digambarkan sebagai perempuan pekerja, namun tetap saja skenario perempuan yang mengambil keputusan masih minim.  

“Ini juga terjadi dengan peran laki-laki yang cuma digambarkan sebagai suami yang mencicipi masakan istrinya, atau bahkan nonton di saat istrinya lagi mencuci, ini sangat melanggengkan nilai-nilai patriarki dan sudah enggak relevan dengan masa kini,” ujarnya. 

Baca Juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Menurut Fauzan, peran sosial itu tidak ditentukan dari jenis kelamin, tetapi kemampuan si manusia. Faktanya, baik laki-laki dan perempuan peran mereka dapat dipertukarkan  sesuai dengan kebutuhannya.

“Saya merasa enggak terwakili dalam iklan-iklan yang berada di media, sebab ya skenario tersebut sudah enggak relevan dengan masa kini. Seharusnya penggambaran peran perempuan dan laki-laki sangat cair,” katanya.  

3. Pembagian Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Lanskap Periklanan Indonesia

Sebetulnya, sudah banyak penelitian yang memotret isu perempuan dalam periklanan. Salah satunya dilakukan oleh Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Dalam perbincangan dengan podcast FTW Media, Liestianingsih mengatakan bahwa secara keseluruhan, dari tahun ke tahun, periklanan tidak banyak perubahan. 

“Kita bisa lihat di produk-produk kecantikan, sabun, produk dapur, itu masih didominasi oleh peran perempuan, perempuan pun bukan perempuan pekerja, tapi ibu rumah tangga. Jadi masih tidak banyak berubah,” kata Liestianingsih. 

Ia menambahkan, jika produk tersebut ditujukan kepada target pasar laki-laki, skenarionya banyak berputar di peran laki-laki ranah profesional di ranah publik. 

Temuan lain dari Liestianingsih adalah, untuk produk sabun kewanitaan, perempuan masih tetap digambarkan di posisi submisif dengan tugas memuaskan suami secara seksual.

4. Standar Kecantikan Mustahil di Periklanan

Periklanan juga menguatkan standar kecantikan normatif dan toksik dalam masyarakat. Ini berakibat buruk terutama pada anak dan remaja perempuan. Lebih lengkap tentang hal ini dapat disimak di podcast FTW Media episode (Un)filter Me

Iklan-iklan produk perawatan kulit dan kecantikan masih menampilkan standar kecantikan warisan kolonial. Misalnya, bagaimana pernyataan “aku ingin cantik natural” dalam iklan-iklan itu adalah agar kulit cerah dan lebih putih. Iklan-iklan produk pemutih kulit ini yang masih marak juga tidak menghormati keragaman kulit perempuan, dan dengan jahatnya menyatakan dengan implisit bahwa “kamu tidak akan dicintai kalau kulitmu tidak putih.”

5. Iklan-iklan Keren yang Tampilkan Kesetaraan Gender 

Kabar baiknya, sedikit-sedikit ada iklan yang muncul dan sedikit membongkar stereotip gender. Salah satunya iklan ABC tentang kampanye suami sejati. Iklan tersebut pada intinya mengajak para suami untuk lebih banyak terlibat di dapur. 

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Kampanye ini didasari penelitian Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 75 persen pekerjaan rumah tangga  dibagi antara suami dan istri. Namun untuk urusan memasak, hanya 3 dari 10 suami saja yang membantu istri di dapur. 

Read More

‘Raya and The Last Dragon’: Pesan Kolaborasi dalam Kepemimpinan Perempuan

Disney baru-baru ini menambah satu karya dalam daftar film animasi pahlawan perempuannya: Raya and The Last Dragon. Film berdurasi 107 menit yang dirilis pada awal Maret lalu di bioskop dan Disney+ ini mengangkat sosok pahlawan dari Asia Tenggara bernama Raya.

Seperti berbagai film pahlawan perempuan Disney sebelumnya, Raya and The Last Dragon mengundang dua reaksi dari para penonton. Sebagian dari mereka mengapresiasi inisiatif Disney mengangkat cerita folklor dari Asia Tenggara serta melibatkan orang-orang keturunan Asia sebagai pengisi suara tokoh-tokoh utama dan penulis ceritanya (Adele Lim seorang Malaysia-Amerika dan Qui Nguyen seorang Vietnam-Amerika).

Namun, sebagian lainnya mengkritik film tersebut karena kurang representatif kehidupan perempuan Asia Tenggara, sekadar mencomot unsur-unsur dari berbagai negara Asia Tenggara dan mencampur-adukkannya, hingga pengisi suaranya yang kebanyakan justru berasal dari Asia Timur.

Raya and The Last Dragon mengisahkan petualangan Raya (Kelly Marie Tran), putri pemimpin Negeri Hati yang berupaya menyatukan lima negeri (Negeri Hati, Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor) untuk melawan kekuatan jahat pembawa wabah bernama Druuns.

Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena masing-masing negeri—yang mulanya memang bersatu di bawah nama Kumandra—punya ambisi untuk mengungguli negeri lainnya dan mengamankan negerinya sendiri. Negeri Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor hendak merebut permata naga, yang merupakan harta berharga penyelamat seluruh dunia dari ancaman Druuns, dari tangan Negeri Hati.

Namun, alih-alih satu negeri berhasil mendapatkan permatanya secara utuh, kekacauan justru muncul hingga menyebabkan petaka besar. Tidak ada jalan lain, Raya pun mencari sang Naga Terakhir bernama Sisu (Awkwafina) untuk membantunya menyelamatkan dunia.

Di tengah misinya itu, ia harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk yang berhubungan dengan masalah kepercayaan dan pengkhianatan.

Isu Kepercayaan dalam Film Raya and The Last Dragon

Ada dialog menarik antara Raya dan Sisu, bahwa orang-orang dari negeri lain tidak pantas dipercaya. Sikap ini tumbuh dan menetap dalam diri Raya ketika ia melihat sendiri kepercayaan yang ditunjukkan sang ayah, Benja, kepada negeri lain dalam rangka mempersatukan semua negeri, dikhianati hingga akhirnya Raya kehilangan ayahnya.

“Kepercayaan membuat dunia ini hancur,” kata Raya.

“Bukankah ketidakpercayaan yang justru membuat diri hancur?” ujar Sisu.

Dalam dunia yang berorientasi pada kompetisi, tidak jarang kepercayaan yang diberikan satu pihak disalahgunakan pihak lain demi mendapat keuntungan sendiri. Bukan hal yang langka bila kita mendengar pekerja-pekerja di suatu perusahaan saling sikut, menusuk dari belakang, hanya untuk mendapatkan posisi tinggi yang mereka inginkan atau privilese lainnya.

Di dunia usaha, masalah ketidakpercayaan ini bisa berkaitan dengan konsep “silo mentality”. Oleh Forbes, konsep ini dideskripsikan sebagai cara pikir suatu departemen, divisi, atau sektor yang tidak mau membagikan informasi kepada pihak lain dalam perusahaan yang sama. Silo mentality diasosiasikan dengan kurangnya kerja sama serta produktivitas yang lebih rendah.

Bagi orang-orang yang memilih berkompetisi dan tidak mudah percaya seperti Raya pada awalnya, sikap mereka ini menjadi tameng dalam menghadapi serangan-serangan tidak terduga. Namun, ketidakpercayaan yang terus menerus dipupuk menjadi benteng kokoh yang pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri.

Ini terlihat dari pengalaman Raya yang ujung-ujungnya harus mengatasi tantangan dengan perkelahian karena merasa sekitarnya adalah musuh yang mesti diwaspadai. Di sini, sekilas kita bisa melihat bagaimana Raya masih memakai cara pikir maskulin bahwa untuk bisa mencapai tujuan tertentu, kita harus mengalahkan pihak lain. Menang telak atau tidak sama sekali.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Jika ditarik ke konteks lebih luas lagi, benteng kokoh ini juga membuat kita kehilangan kesempatan untuk menemukan hal-hal baru, termasuk cara pandang yang memengaruhi sikap dan tindakan kita atas sesuatu.

Pesan tentang Menjadi Rentan

Sisu yang memberi perspektif berbeda kepada Raya. Naga biru ini menawarkan pemikiran bahwa kita bisa loh, mencapai tujuan kita melalui kerja sama dengan pihak lain. Mungkin saja, loh, saat kita bersatu, justru kita punya kekuatan lebih untuk menuntaskan misi kita.

Seratus delapan puluh derajat dari Raya, Sisu justru senantiasa mengupayakan jalan damai saat mereka berhadapan dengan pemimpin-pemimpin negeri lain. Raya memandang ini konyol, tetapi pada akhirnya, jalan yang dipilih Sisu inilah yang menyelamatkan mereka.

“Cara mendapat kepercayaan adalah dengan percaya lebih dulu,” demikian pesan dalam film itu.

Memang, memberikan kepercayaan membuat kita lebih rentan. Tapi dari Raya and The Last Dragon, kita menangkap pesan bahwa tidak apa-apa menjadi rentan, mendapat serangan, karena setelah itu kita akan menjadi lebih tangguh dan memetik banyak pelajaran dari situasi itu. Kita juga bisa mendapat atau mengalami hal positif di luar ekspektasi dengan menjadi rentan.

Raya and The Last Dragon Ajarkan Pentingnya Kolaborasi dalam Kepemimpinan

Memberi kepercayaan adalah kunci penting yang ditunjukkan oleh Raya dalam memimpin suatu misi. Dengan melakukan hal ini, ia membuka jalan untuk berkolaborasi dengan negeri-negeri lain hingga akhirnya mereka dapat mengalahkan Druun.

Jika ditilik lebih jauh, kolaborasi adalah salah satu aspek yang terkandung dalam gaya kepemimpinan feminis. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti, gaya kepemimpinan ini tidak eksklusif ditunjukkan oleh perempuan, tetapi bisa juga oleh laki-laki.

“Kita bisa mengambil hal-hal positif dari sifat-sifat feminin yang mementingkan kolaborasi, bukan zero sum games (yang satu menang, yang lain kalah). Lebih ke long term thinking, ada fleksibilitas, menggunakan empati,” ujar Dini.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Ada berbagai alasan mengapa kolaborasi penting diterapkan dalam kepemimpinan seseorang. Salah satunya ialah dengan melibatkan orang dari beragam latar belakang serta pemikiran, gagasan atau solusi-solusi kreatif lebih dimungkinkan untuk muncul. Kolaborasi juga memungkinkan beragam sudut pandang dalam melihat suatu masalah, sehingga kemungkinan pemimpin luput memperhatikannya sampai akhirnya memunculkan masalah baru bisa tereduksi.

Selain itu, satu pemimpin tentu saja tidak memiliki seluruh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu misi atau pekerjaan. Ia akan membutuhkan orang-orang lain yang punya macam-macam kompetensi untuk melengkapi dirinya hingga akhirnya misi dapat terselesaikan.

Ini ditunjukkan dalam Raya and The Dragon: Begitu besarnya kekuatan Druuns, Raya tidak akan sanggup menanganinya sendiri. Ia bahkan mesti “kalah” sejenak dan mempercayakan pesaing-yang-kemudian-jadi-sekutunya, Namaari (Gemma Chan) dari Negeri Taring, untuk mengatasi masalah yang belum dapat ia selesaikan.

Bagi sebagian orang, mengesampingkan kompetisi dan menjajal kolaborasi barangkali bukanlah hal yang gampang dilakukan, apalagi bila mereka sudah terbiasa dijejali doktrin harus selalu jadi pemenang atas yang lainnya. Tapi kita perlu meneladani Raya. Terlepas dari segala keraguan dan trauma pengkhianatan yang dimilikinya, ia memilih, “Biar saya jadi yang pertama memulainya [percaya pada orang lain]”.  

Read More
Jurnalis perempuan

10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ketika kita membaca daftar jurnalis ternama atau bersejarah dari mancanegara di berbagai artikel atau buku, biasanya hanya sedikit jurnalis perempuan yang disebutkan. Padahal, tidak sedikit jurnalis perempuan yang berkontribusi terhadap perkembangan dunia jurnalistik di seluruh dunia. Usaha mereka untuk membantu kelompok minoritas dan memperjuangkan kebebasan berpendapat dapat kita telusuri jejaknya dari abad ke abad.

Dalam dunia jurnalistik yang patriarkal sejak awal perkembangannya, perempuan mesti berusaha keras untuk mencari ruang agar bisa bersuara dan didengar. Sering kali, mereka yang memperoleh posisi strategis di bidang jurnalistik mendapatkan perlawanan keras, pelecehan, hingga penindasan. Para jurnalis perempuan pun kadang dipandang tidak cukup mampu untuk meliput berita-berita “berat” seperti politik dan perang.

Namun, setelah melalui perjuangan di berbagai belahan dunia, perlahan jurnalis perempuan membuktikan bahwa peran mereka terlalu besar dan penting untuk dikucilkan.

Berikut ini kami rangkum sejumlah nama jurnalis perempuan terkemuka dunia yang perlu kamu ketahui.

1. Anne-Marguerite Petit du Noyer

Perempuan asal Perancis ini merupakan salah satu jurnalis perempuan tersohor pada abad ke-18. Berbeda dari kebanyakan jurnalis perempuan lainnya pada masa itu, du Noyer tidak berasal dari sektor percetakan.

Lahir dalam keluarga Protestan pada tahun 1663, du Noyer menjadi seorang Katolik ketika kaum Huguenots (Protestan) dipersekusi. Namun, pada akhirnya ia kembali menjadi seorang Protestan dan diusir dari Perancis karena hal tersebut.

Ia mulai menulis dalam surat kabar mingguan Quintessence of News mengenai Perjanjian Utrecht antara Inggris dan Spanyol (1713-1715) yang mengakhiri perang Spanyol. Hasil laporannya sangat diapresiasi dan sejak itu, ia dikenal oleh masyarakat umum.

Sosok dan sepak terjang du Noyer yang terukir dalam sejarah menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi perempuan lainnya dalam menulis tentang kontroversi-kontroversi penting di sekitar mereka. Laporan yang mereka kirim ke surat kabar pada tahun-tahun berikutnya tidak lepas dari semangat du Noyer dalam mengungkap skandal yang patut untuk diketahui masyarakat setempat.

Baca juga: 7 Tokoh Perempuan yang Berperan dalam Proklamasi Kemerdekaan

2. Jurnalis Perempuan Hebat: Maria Ilnicka

Maria Ilnicka adalah seorang penyair, novelis, penerjemah, dan juga jurnalis asal Polandia. Ia dikenal karena partisipasinya dalam pemberontakan melawan Kekaisaran Rusia yang menduduki negaranya pada awal 1860an.

Maria Ilnicka bertindak sebagai juru arsip Polish National Government selama Pemberontakan Januari yang dilakukan Polandia pada tahun 1863. Dua tahun kemudian, ia menjadi pemimpin redaksi jurnal mingguan untuk perempuan bernama Bluszczu.

Ia dikenal sebagai sosok yang mendukung pendidikan untuk seluruh rakyat. Setelah dirinya, jurnalis-jurnalis perempuan lain bermunculan dan meneruskan perjuangannya tersebut hingga saat ini.

3. Jurnalis Perempuan Jepang Pertama: Hani Motoko

Berbicara mengenai pengaruh dan upaya para jurnalis dalam bidang pendidikan, pengaruh Hani Motoko juga tidak dapat dilewatkan. Hani Motoko adalah jurnalis perempuan pertama di Jepang dan juga pelopor pengembangan pendidikan untuk perempuan negata itu. Kariernya berlangsung selama lebih dari setengah abad, dari akhir masa Kekaisaran Meiji hingga pertengahan abad ke-20.

Pendidikan untuk perempuan masih merupakan subjek kontroversial pada Zaman Meiji. Pandangan pemerintahan terhadap perempuan pada masa itu dinyatakan dalam slogan “istri yang baik, ibu yang bijak”. Edukasi yang diperoleh perempuan hanya terbatas dalam aspek “kewanitaan” dan persiapan untuk menikah, berbeda dengan laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan kepala rumah tangga.

Motoko meniti karier dari penyunting naskah hingga reporter dan penulis editorial Hochi Shinbun pada tahun 1897, di saat surat kabar lain hanya membolehkan perempuan menulis perihal rumah tangga. Melihat sekolah negeri terus mengajarkan perempuan untuk menjadi sosok yang tunduk dan patuh, ia bersama sejumlah pendidik lain pun mendirikan Jiyu Gakuen, sebuahsekolah khusus perempuan.

Di sekolah tersebut, Hani Motoko dan kawan-kawan mengajarkan individualisme bagi perempuan dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pengurus finansial dalam keluarga. Nilai kebebasan, harga diri, dan kemerdekaan terus digaungkan Motoko di sepanjang kariernya sebagai jurnalis dan pengajar.

4. Jovita Idár

Jurnalis perempuan yang tercatat dalam sejarah tidak hanya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan semata. Jovita Idár adalah jurnalis Meksiko-Amerika yang dikenal karena jerih payahnya dalam melindungi hak-hak kaum minoritas.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Lahir di Laredo, Texas, pada tahun 1885, Idár mulai meniti karier di surat kabar milik ayahnya, La Crónica, yang mengecam dan melawan penganiayaan terhadap orang Meksiko-Amerika. Ia pun kerap menulis tentang rasisme di Meksiko dan turut mendukung revolusi yang mulai berkembang di sana. Idár juga menjadi presiden organisasi perempuan Meksiko bernama La Liga Femenil Mexicanista yang menawarkan pendidikan gratis kepada anak-anak Meksiko.

Selama berlangsungnya Revolusi Meksiko pada tahun 1913, ia pergi ke Meksiko untuk merawat korban luka-luka. Tetapi, Idár kembali ke AS pada tahun berikutnya untuk mengambil alih La Crónica dan terus berkampanye mengangkat isu kehidupan kaum Meksiko-Amerika yang buruk. Idár pun tidak henti-hentinya mengadvokasikan hak-hak perempuan, terutama ketika ia menduduki posisi dalam Partai Demokrat di Texas.

5. Peggy Hull

Peggy Hull sebenarnya adalah nama pena yang singkat milik Henrietta Eleanor Goodnough Deuell, jurnalis perempuan pertama yang diakreditasi secara resmi oleh Departemen Perang Amerika Serikat.

Awalnya, Hull menulis di berbagai surat kabar, seperti Honolulu Star di Hawaii, Cleveland Plain Dealer di Ohio, atau Junction City Daily di Kansas, tempat ia tumbuh besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memasuki ranah berita militer. Ia terjun meliput Perang Dunia I dan II.

Dalam meliput kedua perang tersebut, Hull melintasi berbagai kontinen dan negara dari Perancis hingga Siberia. Kariernya sebagai jurnalis perang dan tulisan yang ia hasilkan lantas membuatnya memperoleh penghargaan Angkatan Laut Amerika Serikat. Kesuksesannya pun menunjukkan bahwa perempuan mampu meliput topik peperangan yang sering dianggap tidak layak bagi mereka.

6. Minna Lewinson

Tumbuh dan besar di New York City, Minna Lewinson mengenyam pendidikan jurnalisme di Barnard College, Columbia University. Dari situ, ia bekerja sebagai reporter di berbagai publikasi seperti Daily Investment News dan Women’s Wear Daily. Ia juga merupakan jurnalis perempuan pertama yang direkrut oleh The Wall Street Journal pada tahun 1918.

Lewinson adalah jurnalis perempuan pertama yang memenangi Penghargaan Pulitzer untuk jurnalisme pada tahun 1918, bersama Henry Beetle Hough. Penghargaan tersebut mereka terima setelah menulis sejarah surat kabar.

Lewinson pun menjadi pembuka gerbang untuk jurnalis-jurnalis perempuan selanjutnya untuk memenangi penghargaan ini. Meski begitu, kategori sejarah surat kabar hanya pernah diberikan kepada Lewinson dan sejak itu tidak pernah ada lagi.

7. Munira Thabit

Munira Thabit adalah perempuan asal Mesir dan merupakan salah satu jurnalis perempuan yang merintis perjuangan meraih kesetaraan gender. Thabit mengawali kariernya sebagai pengacara di Mesir dan menjadi perempuan pertama di ranah tersebut. Namun, karena banyaknya halangan terhadap partisipasi perempuan di ranah pengadilan Mesir, ia berpindah haluan ke jurnalisme.

Thabit selalu mengutarakan bahwa perempuan berhak untuk memperoleh kesetaraan di ruang kerja, pendidikan, bahkan lingkup keluarga. Ia menerbitkan surat kabar mingguan bernama al-Amal pada tahun 1926 dengan slogan “Surat Kabar yang Melindungi Hak Politik Perempuan”. Meskipun ia mendapat perlawanan dari para tokoh agama dan aparat pemerintah, Thabit tidak berhenti dan terus menulis beragam artikel mengenai hak-hak perempuan.

Di tingkat internasional, Munira Thabit telah dipandang sebagai jurnalis terbaik Mesir pada masanya. Ia menjadi perwakilan Mesir di konferensi jurnalisme internasional di Jerman, partisipan di Egyptian Feminist Union (EFU), dan turut mendirikan Perserikatan Jurnalis Mesir.

Memoarnya yang berjudul A Revolution in the Ivory Tower: My Memories of Twenty Years of Struggle for Women’s Political Rights berisi komentar-komentar politik yang telah ia tulis di sepanjang kariernya.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

8. Frances FitzGerald

Tulisan jurnalis lepas Frances FitzGerald mengenai Perang Vietnam adalah salah satu bukti perempuan bisa menelurkan karya yang diakui dunia internasional. Berkat karya non-fiksinya yang bertajuk Fire in the Lake: The Vietnamese and the Americans in Vietnam, FitzGerald diganjar Penghargaan Pulitzer pada 1973. Tulisannya itu disebut sebagai salah satu analisis terbaik mengenai keadaan di Vietnam.

Tumbuh besar di New York City, FitzGerald lulus dengan magna cum laude dari Radcliffe College pada tahun 1962. Ia memulai karier jurnalistiknya di majalah New York Herald Tribune sebelum akhirnya pergi ke Vietnam sebagai jurnalis lepas dan menghabiskan waktu selama 16 bulan di sana.

FitzGerald pun mempelajari budaya serta sejarah Vietnam dan Cina sedalam mungkin. Jika para jurnalis laki-laki melaporkan aksi eksplosif peperangan yang sedang terjadi di sana, ia lebih berfokus kepada dampak perang tersebut terhadap kondisi politik dan masyarakat Vietnam Selatan.

FitzGerald dianggap berhasil memandang perang dengan perspektif alternatif telah menunjukkan pentingnya peran perempuan di berbagai ranah jurnalistik.

9. Christiane Amanpour

Christiane Amanpour adalah jurnalis Inggris yang merupakan salah satu koresponden perang ternama di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Pemberitaannya dapat kita temui di program-program CNN, ABC, dan PBS.

Amanpour dibesarkan di Tehran hingga umur 11 tahun sebelum kembali ke Inggris, tempat kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikannya di University of Rhode Island, Amerika Serikat, dan setelah lulus pada tahun 1983, ia memperoleh pekerjaan pertamanya di CNN sebagai asisten untuk ruang redaksi berita internasional.

Ketika Perang Teluk Persia pecah pada tahun 1990, Amanpour mulai dikenal sebagai reporter yang meliput konflik dengan baik. Ia disebut dapat menarasikan kebiadaban perang dan kejinya suatu konflik ke khalayak umum. Amanpour meliput invasi Irak ke Kuwait, kedatangan Amerika Serikat, dan setelahnya berlanjut ke pemberontakan Kurdi.

Begitu andalnya Amanpour meliput di medan perang, hingga kini namanya dipakai dalam program serial CNN dan PBS sebagai pembawa acara di kedua saluran TV tersebut.

10. Jurnalis Perempuan Asal Filipina: Maria Ressa

Nama dan profil Maria Ressa muncul pada majalah TIME edisi Person of the Year tahun 2018. Ia disebut sebagai salah satu jurnalis yang tidak henti melawan berita sesat atau hoaks. Upaya Ressa dalam memperjuangkan kebebasan pers pun bukan kisah yang asing lagi.

Maria Ressa merupakan jurnalis Filipina yang telah meniti kariernya di berbagai belahan dunia: menjadi reporter investigasi Asia untuk CNN, pemimpin divisi berita di ABS-CBN, menulis untuk The Wall Street Journal, dan mengajar di Princeton University. Ia kemudian mendirikan bisa dibilang adalah Rappler, media berita online yang didirikannya pada tahun 2012.

Di bawah kepemimpinannya, kritik terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengenai kebijakan-kebijakannya mengisi laman media berita tersebut. Karena sosoknya yang vokal tersebut, Ressa bahkan sempat beberapa kali ditangkap.

Rappler kini telah meraih berbagai macam penghargaan dan menjadi salah satu portal berita terbesar di Filipina.

11. Jurnalis Perempuan Indonesia: Roehana Koeddoes

Roehana Koeddoes Lahir di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1884, Roehana Koeddoes merupakan figur seorang pejuang intelektual yang dipanggil sebagai Wartawati Pertama Indonesia dan pelopor Pers Indonesia.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme


Hidup di era yang sama dengan R.A Kartini di mana pada waktu itu kaum perempuan masih tidak bisa mendapatkan pendidikan formal, Roehana beruntung karena punya sosok ayah yang mau mengajarinya banyak hal dari ia kecil, terutama dalam soal membaca, menulis, dan berbahasa.

Sejak ia kecil sudah banyak membaca buku-buku, Roehana tumbuh dewasa dengan pemikiran yang semakin hari semakin tajam, apalagi mengenai politik dan sadar pada isu-isu emansipasi, satu hal yang mendapat tentangan keras tidak cuma dari pemerintah Belanda, tapi juga kaidah agama serta budaya setempat.

Merasa tidak puas cuma berhasil membuat sekolah keterampilan buat perempuan Indonesia, Roehana pun membuat surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912, yang faktanya ternyata surat kabar yang ia bangun merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang dipimpin, dijalankan, dan ditujukan untuk kaum perempuan.

Dengan isu nasionalisme dan emansipasi perempuan dalam soal pendidikan, Roehana mengemban tugas sebagai pemimpin redaksi yang ikut dibantu oleh sosok Zubaidah Ratna Djuwita. Tak cuma jadi tempat untuk berpendapat para perempuan di Sumatra Barat, Sunting Melayu yang terbit seminggu sekali dan bertahan terbit sampai 9 tahun juga menerima tulisan dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Selain Sunting Melayu, Roehana juga pernah menjadi pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak di Medan serta surat kabar Radio dan Cahaya Sumatera di Padang. Karena jasanya yang besar dalam dunia jurnalistik, edukasi, dan politik, Roehana yang wafat pada tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta pun dianugerahi Bintang Jasa Utama oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2007 yang lalu.

Kisah-kisah sepuluh jurnalis perempuan ini tentu tidak cukup untuk menggambarkan kiprah dan prestasi jurnalis perempuan  di seluruh dunia. Namun, daftar ini dapat menjadi awal kita untuk menghargai perjuangan perempuan di dunia jurnalistik!

Read More
Manel masih sering terjadi sekarang in

Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati mendorong perusahaan tempat kerja agar memastikan kesetaraan gender di berbagai ranah, termasuk di ranah pemangku kepentingan.

Karyawan perempuan merupakan aset yang berharga, ujarnya, karena bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan, dalam hal reputasi, citra, sampai peningkatan keuntungan.

“Walaupun saat ini kita sudah mencapai berbagai kemajuan dalam kesetaraan, gender, tapi perjuangan kita masih jauh dari kata selesai. Perjuangan kesetaraan gender ini hanya dapat kita menangkan bila kita sudah berhasil membangun kesadaran dalam benak semua pihak tentang pentingnya memberdayakan perempuan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ‘Women in Action: Unleashing The Power Within in Challenging Times’ yang diselenggarakan oleh Citi Indonesia Women’s Network (18/3).

“Pemberdayaan perempuan bukan hanya kepentingan perempuan saja, tetapi juga kepentingan semua pihak,” ia menambahkan.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Legal Counsel Citi Indonesia serta Co-Chairwoman Citi Indonesia Women’s Network (IWN), Vera Sihombing, mengatakan bahwa salah satu kunci agar perusahaan bisa tetap beradaptasi pada masa pandemi yang menantang ini adalah dengan mewujudkan berbagai kegiatan dan kebijakan yang meningkatkan profesionalitas para karyawan perempuan.

Selain soal kompetensi di kantor, hal lain yang juga tak boleh luput dari perhatian perusahaan adalah kualitas kerja dan kenyamanan para karyawan perempuan, ujarnya.

“Perempuan merupakan pilar kemajuan perusahaan. Jadi perusahaan harus memberikan mereka kesempatan aktualisasi dii untuk mencapai pencapaian yang maksimal di kantor,” ujar Vera.

“Hal-hal seperti menyediakan fasilitas ruang laktasi serta inisiatif pendampingan atau mentoring bagi perempuan itu penting untuk meningkatkan kualitas kerja karyawan perempuan. Apalagi, lebih dari 50 peren karyawan di Citi Indonesia adalah perempuan, termasuk di jajaran direksi,” ia menambahkan.

Vera juga mengatakan, salah satu hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk membangun iklim kerja yang ramah perempuan adalah dengan memberikan para karyawan perempuannya kesempatan besar untuk meningkatkan jenjang karier dan mengembangkan potensi diri.

Representasi juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitas kerja perempuan di perusahaan. Oleh karena itu, penting bagi setiap perusahaan untuk mengedepankan diversitas dan inklusivitas, baik dari segi karyawannya, maupun sistem kerjanya.

Baca juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Inklusivitas Perusahaan Berdampak pada Kesempatan Kerja Perempuan

CEO Citigroup Jane mengatakan, ia bisa menjadi perempuan pertama yang menduduki pucuk pimpinan dari sebuah bank global, selain karena mengembangkan talenta diri dengan maksimal, juga karena perusahaannya selalu menargetkan inklusivitas sebagai salah satu kunci keberhasilan perusahaan, terutama dukungan pada para karyawan perempuannya.

Merasakan besarnya dampak baik tersebut pada perkembangan diri dan kariernya, Fraser mengatakan, ia pun selalu berkomitmen menciptakan kebijakan dan iklim perusahaan yang ramah pada perempuan.

“Kami menargetkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan pada level manajer dan direktur di Citi sebesar 40 persen secara global pada akhir tahun 2021,” ujarnya.

Selain meningkatkan kenyamanan kerja, menurut Chief Public Policy and Government Relations Gojek Group, Dyan Shinto Nugroho, inklusivitas dalam perusahaan yang ramah perempuan memberikan sumbangan besar untuk memperkaya ide dan pengambilan keputusan perusahaan. Hal ini berperan penting sebagai langkah adaptasi perusahaan di masa-masa menantang seperti ini.

“Ini mendukung budaya perusahaan yang kolaboratif dan mendorong terciptanya lebih banyak solusi yang inovatif,” ujarnya.

Menteri KPPPA Bintang mendorong perempuan agar berani mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan.

“Jangan ragu lakukan apa yang kita anggap benar. Percayalah, perempuan boleh bermimpi untuk dirinya dan meraih mimpinya,” Ujarnya.

Baca juga: February Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Anggota Dewan Direksi Indonesia Investment Authority (INA), Marita Alisjahbana mengatakan, menjadi diri sendiri adalah hal penting yang harus dilakukan perempuan dalam bekerja maupun dalam keseharian.

“Lakukan segala sesuatu sebaik-baiknya. Jangan pernah memberikan sesuatu kurang dari apa yang terbaik yang kita bisa berikan. Itu prinsip saya menjalani kehidupan di dunia profesional,” ujarnya.

Read More
Anne Patricia Sutanto

Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Sudah satu tahun dunia menghadapi situasi yang sangat berbeda akibat dari pandemi COVID-19. Banyak aspek kehidupan manusia yang berubah mulai dari mobilitas yang dibatasi, termasuk kehidupan para pekerja. Ketika Covid-19 merebak di seluruh dunia, tentu saja salah satu sektor paling terdampak oleh virus ini adalah sektor bisnis. 

Di Indonesia sendiri, pada tahun lalu Presiden Joko Widodo sempat menyampaikan pertumbuhan ekonomi I dan kuartal II 2020 berada di angka minus 5,32 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memperkirakan ekonomi nasional berada di kisaran nol persen sampai minus 2 persen pada kuartal III. 

Baca Juga: Pebisnis Perempuan Grace Tahir dan Passion di Bidang Kesehatan

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu bisnis di Indonesia ketar-ketir, namun, ada salah satu perusahaan dari sektor garmen yang bertahan dan berhasil beradaptasi dalam situasi pandemi yaitu, PT Pan Brothers Tbk .

Di saat pandemi, perusahaan garmen ini justru mencatatkan penjualan sebesar US$326 juta sepanjang semester I 2020, naik 15 persen dari US$284 juta pada semester I tahun 2019. 

Salah satu tokoh yang berperan penting dalam berkembangnya perusahaan Pan Brothers ini kala pandemi adalah Anne Patricia Sutanto, Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk. Dalam wawancara bersama podcast How Women Lead, Anne menceritakan salah satu keberhasilan Pan Brothers dalam menghadapi pandemi ini adalah kemampuan beradaptasi dan juga fleksibilitas perusahaan. Kedua sifat ini merupakan bagian dari ciri sifat kepemimpinan feminin yang juga sudah dijelaskan dalam episode podcast How Women Lead The Athena Doctrine.

Adaptasi Menjadi Modalitas PT. Pan Brothers Hadapi Pandemi

Perjalanan Anne selama malang melintang di dunia bisnis memang penuh dengan adaptasi, pelajaran yang ia ambil untuk bertahan dalam pandemi. Berbeda dari sektor lain yang memang mungkin bisa menerapkan kebijakan work from home, pabrik agak sulit menerapkan hal itu secara penuh.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

“Tidak semua bagian bisa melakukan work from home. Kita tetap meyakini bahwa kerja kita semua tetap sehat dan melalui protokol COVID-19 dan pencegahannya, itu yang kita jalani saat ini,” kata Anne. 

Ketika COVID-19 merebak di Cina, Anne sudah mengantisipasi bahwa hal ini pasti akan berdampak pada sektor bisnis, namun Anne tidak menyangka bahwa skalanya akan sebesar itu. Saat itu, perusahaan langsung berinisiatif untuk menerapkan protokol kesehatan dengan mengukur temperatur dan mewajibkan pemakaian masker walaupun di luar pabrik belum ada kewajiban itu. 

“Karena kita ini perusahaan garmen, kita mulailah dengan membuat masker untuk orang-orang kita sendiri untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang kita. Ya untuk proteksi kerjalah. Itu di awal Maret. Eh, tiba-tiba banyak teman-teman yang minta dibuatkan,” kata Anne.

Dari situ perusahaan itu melihat ini sebagai peluang karena permintaan yang tinggi. Mereka pun mulai memasok ke bagian retail Pan Brothers, tidak hanya masker untuk dewasa tapi juga masker untuk anak-anak. 

Profil Anne Patricia Sutanto 

Anne Patricia Sutanto tidak berniat untuk bergelut dalam dunia bisnis. Saat remaja, ia lebih tertarik dalam bidang hukum dan bertekad masuk sekolah hukum di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Namun, sang ayah menyarankan Anne untuk sekolah ke Amerika Serikat. 

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

“Saya berpikir ingin jadi bio-technologist karena ayah saya itu founder dari PT Kayu Lapis Indonesia. Ternyata paling cocok untuk jadi  bio-technologist itu, S1-nya either harus teknik kimia, kimia atau biologi. Dari situ saya memutuskan untuk mengambil teknik kimia,” ujar Anne pada How Women Lead.  

Di Amerika, ia bersekolah di University of Southern Californiia (USC) di tahun 1990. Ketika menginjak semester 2, ayahnya mengalami stroke. Akibatnya, perusahaan harus dijalankan oleh anak-anaknya, namun saat itu kakak Anne tidak bersedia.

“Saya ngomong ke Ayah, saya akan coba untuk melanjutkan (bisnis), tetapi saya mau lulus terlebih dahulu. Setelah itu, saya langsung ketemu rektor saya dan menyampaikan kalau saya ingin cepat lulus. Saya akhirnya dibuatkan program khusus dengan syarat GPA saya harus di atas 3,” ujar Anne.

Pada tahun 1992 Anne lulus kuliah dan sesuai dengan janjinya pada sang ayah, ia pun langsung bekerja di Kayu Lapis. Ia langsung menghadapi tantangan karena dianggap tidak memiliki latar belakang bisnis. 

“Saat itu om saya kurang menerima (keterlibatan saya) karena sebab itu. Ditambah lagi ia menganggap, saya ini perempuan, tahu apa soal bisnis laki-laki. Padahal saat itu saya menikmati pekerjaan saya yang harus ke lapangan seperti ke Kalimantan, Papua,” ujarnya.

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Dari situ Anne berpikir mungkin memang ilmunya memang masih minim dan ia memutuskan untuk mengambil program MBA di bidang finance di AS selama satu tahun. Setelah lulus ia kembali ke Kayu Lapis, namun ternyata pamannya tetap tidak menerima Anne. Ia pun didepak keluar di pertengahan 1996, dan ia pindah ke tempat lain.

“Saat itu saat saya mau dipanggil interview, paman saya dari pihak Ibu, yang memiliki PT Batik Keris, Pak Handirman, bilang ‘kamu bantu saya saja untuk mengakuisisi PT Pan Brothers’,” kenang Anne. 

Awalnya Anne memang sedikit enggan sebab tidak ingin menghadapi situasi kerumitan hubungan keluarga yang sama seperti di Kayu Lapis. Namun, sang paman menjanjikan akan memperlakukan Anne sama dengan pegawainya yang lain, dan ia akan membimbing Anne langsung.

Baca Juga: 11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

“Dia bilang, satu hal yang enggak boleh saya lakukan adalah mengadu ke ibu saya. Saya memang tidak pernah komplain, tapi jujur selama enam bulan itu, I have to say it’s the most painful experiences karena dari pagi sampai malam, pagi sampai malam, ngikutin dia, detailin due diligence Pan Brothers dan sebagainya,” kata Anne. 

Namun pengalaman itu menempa Anne, mematangkan kemampuannya dalam berbisnis dan beradaptasi dengan segala situasi sampai sekarang.

Read More

Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Biarpun sekarang ini memang sudah lebih modern, diskriminasi gender masih sering ditemui. Tempat yang lumayan sering ada kasus diskriminasi gender adalah di tempat kerja.

diskriminasi gender adalah merupakan bentuk ketidakadilan dengan adanya perbedaan sikap serta perlakuan kepada sesama manusia yang cuma dilihat dari jenis kelamin. Kalau kita membahas diskriminasi gender di tempat kerja akan searah dengan Tema Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) pada tahun sebelumnya. Tema HAKTP pada tahun 2019 adalah menghentikan Kekerasan berbasis Gender di Dunia Kerja.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Akan tetapi memang, perempuan punya peran berarti dalam perekonomian dunia. Mereka bisa dibilang merupakan tokoh sentral di dalam keluarga yang menentukan serta mengatur alur finansial rumah tangga. Namun terbebas dari mengatur keuangan dalam keluarga, perempuan masih diperlakukan ‘kurang’ di lingkungan kerja pria di kantor atau dunia kerja. Berikut beberapa isu yang masih sering muncul mengenai diskriminasi gender, yang masih menghantui perempuan di tempat kerja.

1. Gaji Perempuan yang Tidak Sama

gaji perempuan berbeda dengan pria

Data dari Institute for Women’s Policy Research, perempuan mendapatkan 49 sen dibandingkan dengan setiap $ 1 yang pria peroleh. Kalian mungkin masih berfikir kalau ini bisa saja disebabkan karena perempuan di berikan cuti hamil. Tetapi ada hasil penelitian lain, data baru ini memperhitungkan para pekerja paruh waktu serta perempuan yang sudah mengambil cuti dari pekerjaan.

Biarpun sudah memperhitungkan hal-hal tersebut, pendapatan perempuan masih terasa lebih kecil. Untuk mampu mengurangi perbedaan ini, para ahli mengatakan supaya ada kebijakan baru dibuat, termasuk cuti orang tua yang dibayar lebih banyak, support untuk perawatan anak, serta kebijakan lain yang mendukung keluarga.

2. Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Masih Sering Didapati

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Halangan yang sering dihadapi banyak perempuan di dunia kerja adalah pelecehan seksual. Memang masih sangat sedikit yang diketahui, mengenai berapa banyak perempuan yang mengalami jenis penindasan semacam ini.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Survei pernah dilakukan pada bulan Januari tahun 2018 oleh Stop Street Harassment, yang akhirnya mendapati 38 persen perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, serta 81 persen mengadukan telah mengalami beberapa motif pelecehan seksual dalam hidup mereka, seperti serangan secara verbal dan fisik.

3. Contoh Diskriminasi Gender di Tempat Kerja: Perempuan Lebih Jarang Mendapatkan Promosi Dibanding Pria

Contoh Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Biarpun punya jenjang pendidikan lebih tinggi dibanding pria serta punya pengalaman hampir setengah dari angkatan kerja, perempuan dipromosikan di tempat kerja jauh lebih sedikit daripada laki-laki. 

Kalian mungkin sudah tahu kalau perempuan yang jadi CEO kurang dari 5 persen. Perempuan kulit berwarna bahkan lebih buruk, karena mereka tidak ditemui dalam list Fortune 500.

4. Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja: Rasisme

Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Diambil dari website AsYouSow, ras sepertinya punya peran penting dalam bagaimana perempuan diperlakukan dan diberi bayaran di tempat kerja. Upah yang didapatkan oleh perempuan sangat beragam tergantung dari ras serta etnisnya.

Baca Juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Data yang didapatkan dari Institute for Women’s Policy Research menemukan bahwa perempuan Asia punya penghasilan tahunan rata-rata paling tinggi dan diberi kompensasi sebesar 46.000 USD. Perempuan berkulit putih pendaptan tahunanya sebesar 40.000 USD, sedangkan untuk perempuan asli Amerika serta Hispanik mendapatkan gaji paling kecil, cuma 28.000 USD sampai 31.000 USD rata-rata pertahunnya. Pendapatan juga sangat beragam bila dilihat dari ras jika disandingkan dengan apa yang didapatkan laki-laki.

5. Perempuan Segan Dalam Nego Gaji di Tempat Kerja

perempuan segan nego gaji

Perempuan masih sering takut dengan meminta gaji yang lebih tinggi dalam suatu pekerjaan. Bagi perempuan, perundingan gaji sering dipandang sebagai serakah atau putus asa, yang berujung pada rasa ragu untuk bernegosiasi waktu interview kerja.

Penelitian yang belum lama ini dari Glassdoor menemukan perempuan lebih jarang menegosiasikan gaji mereka dibanding pria. Dan infonya juga dari 70 persen perempuan menerima gaji yang ditawarkan tanpa negosiasi, sementara kalau untuk kaum pria cuma 52 persen yang melakukan hal yang sama.

Cara Mengatasi dan Menangani Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Cara Mengatasi Diskriminasi Gender di Tempat Kerja

Kamu pernah merasa sulit mencapai jenjang karier tinggi meskipun latar belakang pendidikan dan kompetensimu sama mumpuni dibanding pekerja lelaki? Bisa jadi kamu tengah mengalami diskriminasi, yakni sebuah kondisi tak ideal di mana kamu dinomorduakan hanya karena perusahaan tak mempercayaimu. Alasan ketidakpercayaan itu pun beragam, mulai dari perbedaan gender, beban ganda sebagai ibu di rumah, distigma sebagai sosok lemah, dan lainnya.

Ya, sehari-hari perempuan memang masih diperlakukan diskriminatif, termasuk di tempat kerja. Maraknya diskriminasi gender di lingkungan kerja ini, bahkan jadi tema global “16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” dua tahun silam.    

Untuk menghindari diskriminasi gender di lingkungan kerja, perusahaan bisa mulai menginisiasi kebijakan yang inklusif dan mendukung perempuan pekerja. Tujuannya agar pekerja perempuan mereka yang berbakat bisa diberdayakan untuk kemajuan kantor. 

Berikut adalah cara-cara lengkap yang bisa diupayakan untuk mengurangi diskriminasi gender di tempat kerja:

Peraturan Perusahaan yang Inklusif

Kebijakan inklusif singkatnya, mampu mengakomodasi dan menghargai keragaman karyawannya, sehingga mereka dapat berkontribusi secara penuh dan tanpa diskriminasi, serta mencapai pengalaman positif dalam pekerjaan. Dalam konteks ini, perbedaan perspektif, kepribadian, dan kemampuan tak jadi soal. Kebijakan yang inklusif ini mesti dikomunikasikan dan dijadikan landasan bersama di antara karyawan. 

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, menyusun kebijakan inklusif bisa meningkatkan tingkat kepuasan para pekerja dari pelbagai gender. Imbasnya, jika boleh meminjam logika untung rugi, perusahaan akan mendapatkan keuntungan lebih banyak. Semakin beragam latar belakang pekerja yang ada, semakin banyak juga inovasi yang muncul untuk memajukan perusahaan. 

Pemimpin Perusahaan Perlu Jadi Contoh Nyata 

Sebagai seorang pemimpin yang ingin menciptakan lingkungan ramah terhadap semua karyawan, terutama perempuan, mulailah dengan memberi contoh di awal. Pemimpin di sini mesti paham betapa pentingnya kesetaraan gender untuk semua orang. Ketika pemimpinnya sudah memberikan contoh yang baik, pekerja pun bakal nyaman bekerja. Bahkan, ketika ada pelanggaran kinerja, mereka jadi cenderung terbuka untuk membicarakan hal ini. 

Baca Juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Rayakan Perbedaan Karyawan

Setelah pemimpin memahami manfaat inklusi dan keragaman tempat kerja, perusahaan bisa mulai mencari ide-ide atau program yang dapat membangun indikator inklusivitas yang dimau. Misal, Kamu bisa membuat perayaan atau penghargaan keragaman dan inklusi di tempat kerja. Undang karyawan dengan latar belakang dan tradisi berbeda untuk unjuk gigi menampilkan keberagaman mereka.

Tak lupa, berikan penghargaan kepada partisipan agar dapat memacu motivasi yang lainnya untuk menerima perbedaan.

Buat Aturan Komprehensif untuk Mencegah Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Salah satu hal yang mendukung agar diskriminasi gender tak muncul di tempat kerja adalah memberi rasa aman bagi semua tanpa kecuali. Rasa aman itu salah satunya diwujudkan dengan membuat pedoman atau peraturan kekerasan seksual di lingkungan kerja.

Hal ini penting untuk dilakukan, agar korban bisa melaporkan kasusnya secara aman tanpa terintimidasi. Peraturan ini juga harus memiliki perspektif yang berpihak terhadap korban. Selain itu, perusahaan juga perlu membuat lembaga independen yang akan mengurus hal-hal ini serta yang paling utama adalah lembaga ini menjaga kerahasiaan identitas korban.

Baca Juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Jangan Menganggap Remeh Masalah Diskriminasi Gender 

Diskriminasi gender bentuknya sangat beragam, bahkan candaan bernada seksual pun juga termasuk dalam diskriminasi dan pelecehan seksual. Hal-hal kecil seperti ini seharusnya tidak lagi dinormalisasi dan karyawan perlu aktif menolong (active bystander) jika ada karyawan lain yang melakukan hal ini. 

Khususnya bagi departemen sumber daya manusia alias HRD, perlu ada itikad baik untuk langsung menyelidiki masalah yang terjadi dan mencari solusi paling tepat untuk mengatasi masalah.

Adakan Pelatihan Tentang Kesetaraan Gender 

Memang masih banyak orang yang belum paham tentang kesetaraan gender, dan tidak tahu kalau mereka sudah melakukan diskriminasi gender pada orang lain. Oleh sebabnya, penting untuk perusahaan untuk mengadakan pelatihan tentang apa itu kesetaraan gender dan mengatasi diskriminasi gender di tempat kerja. 

Read More
Cara menghilangkan jenuh kerja

Kalau Kamu Lelah Bekerja, Ambil Jeda Jangan Berhenti

Kamu mungkin akan memasuki masa-masa ketika pekerjaan terasa membosankan dan begitu-begitu saja. Melakukan kegiatan yang sama hingga kamu jumud, rutinitas pun tak membuatmu tertantang. Di titik itu lah hasrat untuk menyerah dan mengundurkan diri bolak-balik mampir ke kepala.

Apalagi di masa pandemi yang memasuki tahun kedua, rasa jenuh ini berlipat dua karena kita diharuskan tetap bertahan kerja jarak jauh atau bekerja dari rumah (work from home). Jam kerja tanpa batas, beban kerja yang tak habis-habis, juga beban domestik yang sekali-lagi ikut dipikirkan. Semua menambah berat.

Bosan dengan kegiatan monoton memang manusiawi, kita tidak perlu merasa bersalah karena merasakannya. Alih-alih mengeluhkan kondisi tersebut, tarik napas panjang dan beristirahatlah sejenak. Berikut ini beberapa hal lainnya yang bisa kamu lakukan untuk menghilangkan rasa jenuh dalam bekerja.

1. Cara Menghilangkan Jenuh Kerja dengan Istirahat Sejenak

Terlalu serius dan fokus bekerja seringkali membuatmu lupa untuk memberikan jeda atau istirahat pada dirimu. Padahal bekerja tanpa henti mesti badan dan pikiran menolak itu berbahaya buat kesehatan. Beberapa kali kamu mungkin merasa mentok untuk berpikir. Nah, kalau sudah seperti ini jangan dipaksakan ya. Lagipula beristirahat takkan membuatmu terlihat lemah, sebaliknya ini bukti bahwa kamu menyayangi diri sendiri.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Beristirahatlah setidaknya 10-15 menit. Kamu bisa keluar dari ruangan, menonton acara TV kesayangan, mendengar musik, melakukan peregangan, atau mungkin memejamkan mata sejenak.

2. Cari Tahu Penyebab Kamu Jenuh Bekerja

Kamu perlu mencari tahu apa yang bikin kamu jenuh dan lelah dengan pekerjaan. Mungkin dari sisi beban kerja kah? Jadwal yang padat? Atau rekan kerja yang mungkin tidak suportif. Ini wajib kita cari tahu, sebab jika kita sudah tahu apa sebabnya, kita jadi lebih mudah mengatasinya.

3. Selingi dengan Kegiatan yang Menyenangkan

Merasa jenuh dengan aktivitas yang itu-itu saja? Mungkin kamu butuh distraksi di sela-sela istirahat bekerja, loh. Kamu bisa mendengarkan musik yang bikin mood kamu semangat lagi. Kalau mendengarkan musik masih belum nendang, kamu bisa meninggalkan sebentar pekerjaanmu untuk bermain gim di ponsel.

Kamu juga bisa membaca buku favoritmu sebentar untuk mendistraksi otak agar tidak terlalu tegang. Pokoknya, lakukan hal-hal yang membuat kamu rileks.

4. Ubah Suasana Tempat Kerja

Bekerja dari rumah memang membuat sebagian dari kita jenuh bahkan kangen kembali ke kantor. Namun, sebaik-baiknya suasana tempat kerja, di tengah kondisi yang centang perenang ini, lebih aman bekerja dari rumah. Nah, bagi kamu yang kangen suasana kantor, mungkin bisa memulai mendekor ulang meja kerjamu di kamar.

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kamu bisa menambah dekorasi kecil dan menempel foto-foto di dinding. Kamu bisa juga menambah papan pengingat kecil untuk tugas-tugas yang akan kamu kerjakan. Selain membuat meja lebih rapi dan cantik, kamu juga bisa melihat apa saja tugas-tugas yang belum dikerjakan di papan pengingat itu. Apabila tempat kerja kalian sudah rapi dan cantik, pasti mood kalian dalam bekerja akan naik lagi.

5. Ubah Cara Pandangmu Terhadap Pekerjaan

Mengubah cara pandang kita menjadi lebih positif dan hadapi setiap tugas dan pekerjaan kantor dengan santai. Memang, kita tidak bisa membandingkan kesusahan sendiri dengan orang lain, tetapi di sisi lain kita tetap perlu bersyukur karena masih memiliki pekerjaan, apalagi dalam kondisi pandemi sekarang.

Dengan memiliki cara pandang yang agak positif, setidaknya kamu bisa mengurangi bebanmu di dalam hati.

6. Kurangi Lembur Cara Tepat Menghilangkan Jenuh Kerja

Dalam masa pandemi seperti ini, sebagian besar dari kita memiliki jam kerja yang lebih panjang dari yang biasanya. Rutinitas pun sontak berubah. Jika sebelum pandemi, kita harus bersiap-siap untuk bekerja, lalu berangkat ke kantor. Kini jam kerja dimulai lebih awal dan diakhiri lebih petang. Nah, hal ini juga yang membuat kita terkadang sudah berapa lama kita bekerja, dan tidak sadar kalau sudah berkali-kali kita lembur.

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Bekerja hingga larut malam memang tidak masalah jika dilakukan sesekali saja. Namun, ketika hal ini sudah memengaruhi pikiran dan fisik kamu sampai membuat lelah, maka jangan terlalu memaksakan diri dan hindari bekerja sampai larut malam. Gunakan libur akhir pekan kalian untuk benar-benar istirahat. Kalian bisa menonton film kesayangan atau mengobrol bersama anggota keluarga lain.

7. Curhat ke Rekan Kerja

Ketika sedang pandemi, kita memang jadi tidak bertemu dengan rekan kerja kita, dan ini membuat kita merasa jenuh. Kalian mungkin bisa ngobrol lewat video call dengan rekan kerja. Kalian bisa berbagi tips dan curhat tentang pekerjaan kalian. Ini sesekali perlu dilakukan, jangan cuma berada di depan layar laptop atau komputer saja.

8. Ingat Tujuan yang ingin Dicapai Saat Bekerja

Terkadang karena sudah lama bekerja kita jadi lupa apa sih tujuan kita untuk bekerja. Ini yang membuat kita jadi merasa jenuh dengan pekerjaan kita. Coba deh ingat-ingat lagi apa yang mau kamu capai. Kalau kamu memang lupa, kamu bisa banget membuat tujuan-tujuan baru yang mau kamu capai. Niscaya, ini bisa memotivasi kamu lagi. 

Baca Juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

9. Pekerjaan Jangan Jadi Beban Merupakan Cara menghilangkan Jenuh Kerja yang Efektif

Kadang-kadang kita mungkin kita beranggapan, bekerja itu cuma kewajiban untuk mencari nafkah, maka ujung-ujungnya kalian jadi sedikit tidak nyaman dan berat setiap harinya. Pemikiran seperti ini sebetulnya tidak bagus.

Jika kalian sering berpikiran seperti ini, tentunya ini bakal memengaruhi kinerjamu dan berujung stres sendirian. Bila kamu menjalani pekerjaan dengan santai dan hati ringan, maka rasa bosan juga bisa dikurangi.

10. Tidur yang Cukup

Cara menghilangkan jenuh kerja selanjutnya dengan tidur malam yang cukup. Jangan terlalu sering begadang biarpun itu urusan pekerjaan.

Lantaran begadang itu tidak baik untuk kesehatan. Selain buat pikiran jadi stres, begadang juga dapat membuat badan jadi lemas. Makanya, selalu atur jam tidur kamu dengan baik.

Tidur di malam hari itu bagusnya 6 sampai 8 jam, itu sangat bagus buat pikiran jadi fresh kembali. Yang perlu diingat, tidur jangan terlalu malam! Maksimal jam 10.00 atau 11.00 malam kalian sudah bisa tidur

11. Cari Pekerjaan Sesuai Passion Kalian

Ini memang susah dan jadi dilemma hampir semua orang. Pekerjaan sesuai passion kerap tak menjanjikan banyak cuan, tapi bekerja yang sama sekali di luar minat justru bikin keuangan berlipat. Nah, dengan kondisi kelelahan terus-menerus dan tak bisa lagi diusahakan, mungkin sudah saatnya kalian memikirkan untuk undur diri.

Baca Juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Namun, perlu diperhatikan, saat kamu memutuskan mundur, setidaknya sudah ada rencana cadangan yang dipikirkan.

Sekali lagi, bagaimanapun caramu menghilangkan jenuh dalam bekerja, lakukan demi kebahagiaan.

Read More

Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Dalam bidang jurnalistik, perjalanan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih panjang. Hal ini dinyatakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tepat setahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan Internasional dalam diskusi bertajuk “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara”. Dalam diskusi tersebut, dikatakan bahwa jurnalis perempuan Indonesia hanya sekitar 30 hingga 35 persen dari total jurnalis profesional yang ada.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan memang masih kalah unggul dibanding laki-laki. Akan tetapi, kiprah mereka di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Dalam catatan sejarah, beberapa jurnalis perempuan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Selain itu, ada pula dari mereka yang tidak gentar berpartisipasi dalam kritik terhadap pemerintah selama Orde Baru, dan berdedikasi dalam pekerjaannya hingga menduduki posisi-posisi penting di redaksi.

Berikut ini rekam jejak sejumlah jurnalis perempuan di Indonesia yang perlu kita ketahui untuk memahami seberapa signifikannya peran jurnalis perempuan.

Peran Jurnalis Perempuan Era Pra-Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, berbagai surat kabar berbahasa Indonesia telah muncul dan beredar di masyarakat. Surat kabar ternama seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Sinar Matahari, hingga Suara Asia terbit sebagai usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, yang sering luput dari pengetahuan umum adalah keberadaan surat kabar Sunting Melayu yang didirikan oleh Rohana Kudus, salah satu pahlawan nasional Indonesia kita.

Terbit di Padang pada tahun 1912, Sunting Melayu merupakan surat kabar yang memuat tulisan-tulisan perempuan dan yang keseluruhan redaksinya dipegang oleh perempuan. Menurut Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, pergerakan kemajuan kaum perempuan di Indonesia semakin melesat berkat gagasan-gagasan Rohana dan perempuan lainnya dalam surat kabar tersebut.

Aspek yang patut digarisbawahi dari isi Sunting Melayu, menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Seabad Pers Perempuan, adalah ketidakgentaran Rohana dalam menulis berita politik. Di bawah pengawasan pemerintahan kolonial, ia menulis bagaimana perempuan berhak mengikuti gerakan politik bersama para laki-laki dalam melawan penjajah.

Rohana pun turut menyadur tulisan-tulisan di luar Sunting Melayu tentang nasib perempuan di negara lain untuk menunjukkan kondisi dan keadaan mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.

Apabila kita berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran S.K. Trimurti dan Ani Idrus. Berkat rekam jejak mereka, peran jurnalis perempuan terhadap kemajuan bangsa tidak terbantahkan lagi.

S. K. Trimurti, yang pada akhirnya menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pertama, merupakan seorang guru dan jurnalis yang gencar menggaungkan pesan anti-kolonial dalam pidato, ajaran, dan tulisan-tulisannya. Karya-karyanya mendorong Trimurti berkali-kali dipenjara oleh pemerintah Belanda dan Jepang.

Dalam tulisan Ipong Jazimah di Jurnal Sejarah dan Budaya, terlihat bahwa pada masa itu masih sangat tabu bagi perempuan untuk mengikuti aktivitas politik. Namun, Trimurti bersikeras masuk Partindo pada tahun 1933 demi mempelajari politik, dan tidak lama kemudian ia pun mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia untuk memberikan pembelajaran politik kepada perempuan lainnya.

Sementara itu, pemikiran Ani Idrus mengenai perempuan modern juga sama pentingnya. Tulisan-tulisan Ani Idrus, menurut Suriani dalam Jurnal Humanisma, berisi pernyataan bahwa perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ani Idrus banyak membahas norma-norma serta stigma di masyarakat yang membatasi perempuan, seperti yang terlihat dari posisinya sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di Pewarta Deli. Menyusul modernitas yang tumbuh dari Politik Etis pemerintah Belanda, Ani Idrus mengingatkan masyarakat Indonesia, terutama para perempuan, untuk menyesuaikan diri dan tidak melepaskan budaya Timur sepenuhnya.

“Kita (perempuan) harus maju, modern, tetapi modern yang tidak merusakkan,” ujarnya.

Di samping ketiga nama ini, masih ada jurnalis-jurnalis perempuan ternama lainnya yang turut membangun kesadaran bangsa, seperti Siti Soendari dan Herawati Diah.

Kiprah Jurnalis Perempuan Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, berkembangnya industri media yang menguntungkan dunia jurnalistik juga disertai dengan ancaman terhadap kebebasan pers, terutama di zaman Orde Baru.

Pada saat itu, S.K. Trimurti masih ada di garda depan dan ikut menandatangani naskah Petisi 50 yang berisi kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sementara itu, Ani Idrus menjadi penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Adapun Linda Tangdiala menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi yang membawahi setidaknya 30 jurnalis perempuan di Harian Bisnis Indonesia. Selain itu, ada juga peran Yuli Ismartono yang tidak berhenti meliput di wilayah peperangan untuk Tempo sebelum akhirnya rezim Orde Baru membredel majalah tersebut pada tahun 1993.

Baca juga: Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Usaha para jurnalis perempuan di sepanjang sejarah Indonesia pun menjadi acuan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah dengan semangat juang yang sama di era reformasi. Rekam jejak jurnalis-jurnalis perempuan Indonesia yang ditorehkan sejak dahulu telah diteruskan dan dapat dilihat pada sosok-sosok seperti Maria Hartiningsih, Fransisca Ria Susanti, dan Hermien Y. Kleden.

Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia

Kini, semakin banyak jurnalis perempuan yang kita temui di media sehari-hari. Namun, tantangan yang mereka hadapi tetap sama. Data yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen dalam pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hak-hak yang seharusnya mereka miliki di ruang kerja belum terpenuhi.

Gaji jurnalis perempuan masih di bawah standar Upah Layak Jurnalis di tiap kota. Masih banyak perusahaan yang belum memberikan cuti haid; bahkan di beberapa daerah, perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan. Di samping itu, ruang khusus menyusui juga belum banyak ditemukan.

Terlepas dari meningkatnya rasio perempuan yang menjadi jurnalis, hanya enam persen dari mereka yang dapat menduduki jabatan tinggi atau posisi pengambil keputusan di ruang redaksi. Masalah ini belum berubah dalam riset Stellarosa dan Silaban dalam Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis pada tahun 2018, yang menambahkan bahwa isu pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan masih sering diabaikan.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini memberikan pendapat senada dengan hasil riset tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan AJI tahun lalu, ia mengatakan bahwa salah satu rekan jurnalisnya bahkan dilecehkan oleh aparat negara.

“Saat dia liputan demo, [dia] dikejar-kejar dan dilecehkan,” kata Endah seperti dikutip dari Suara.com.

Di samping itu, Endah mengungkapkan pula bahwa jurnalis perempuan yang sudah berkeluarga sering kali dipindahkan ke bagian soft news seperti gaya hidup dan busana alih-alih politik atau hukum. Pasalnya, divisi-divisi yang terakhir disebutkan itu dianggap lebih “berat” bagi mereka.

“[Jurnalis perempuan] dipindahkan bukan karena kapabilitas, tapi karena sudah punya anak,” ujar Endah.

Data di atas merupakan pekerjaan rumah negara; pekerjaan rumah yang belum selesai bertahun-tahun lamanya. Untungnya, organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) telah terbentuk untuk membantu kebutuhan perempuan di dunia jurnalistik.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Masih sulit untuk mengetahui kapan perubahan signifikan akan terjadi. Namun, setidaknya setiap usaha menunjukkan bahwa semangat perjuangan Rohana dan kawan-kawan perempuannya tetap ada dan semakin menguat.

Radhiyya Indra, dengan buku Murakami di tangan, Maya Deren di laptop, Velvet Underground di telinga, dan album K-Pop di rak buku, menghabiskan waktunya dengan menulis hingga sakit kepala.

Read More
Dewi Sartika

Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884, Raden Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh emansipasi dan perintis pendidikan bagi kaum perempuan. Atas jasanya tersebut, pada 1966 (hampir dua dasawarsa setelah mangkatnya pada 1947) ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Ia adalah salah satu dari 15 perempuan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional (sementara di kategori tersebut sudah ada 176 laki-laki yang diakui).

Di dalam berbagai buku teks pelajaran masa kini, kisah hidupnya digariskan sebagai tokoh pendidikan. Memang, ia telah berjasa dengan mendirikan Sekolah Isteri/ Sekolah Kautamaan Isteri di Bandung pada 1904, yang kemudian tersebar di banyak tempat hingga pada 1912 sudah ada sembilan sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dikenal sebagai sekolah Dewi Sartika.

Namun, ada beberapa segi dari pemikiran dan tindakannya yang masih belum banyak kita kenal. Salah satu yang utama adalah pengamatannya tentang buruh perempuan.

Pahlawan Perempuan yang Sadar Isu Ekonomi Politik

Pada 1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyusun laporan umum tentang kedudukan perempuan di tanah jajahan. Hal ini adalah bagian dari Politik Etis yang dilancarkan sejak 1901.

Laporan tersebut memuat pendapat dari sembilan perempuan yang dianggap terdidik, yakni Raden Ajoe Soerio Hadikoesoemo (Raden Ajeng Sunarti, adik Kartini), Raden Ajoe Ario Sosrio Soegianto, Oemi Kalsoem (istri Mas Soepardi), Raden Adjeng Karlina, Raden Adjeng Amirati (putri Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI), Raden Adjeng Martini (putri Raden Mas Singowigoeno, Bupati Lumajang), Nyonya Djarisah (seorang bidan di Bandung), Raden Dewi Sartika, dan Raden Ajoe Siti Soendari.  

Baca juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Masalah yang mereka bahas umumnya terkait tentang poligami dan pernikahan anak. Ini membuktikan bahwa kedua masalah tersebut memang sudah lama jadi perhatian dan keprihatinan kaum perempuan (hingga hari ini juga).

Berbeda dari delapan perempuan lainnya, Dewi Sartika tidak hanya membahas kedua masalah tersebut saja. Ia juga menyatakan pendapatnya tentang kondisi buruh perempuan pada masa itu. Dewi Sartika menjadi satu-satunya tokoh yang berani menyuarakan isu buruh perempuan.

Ukuran perempuan terdidik pada masa itu adalah bisa baca-tulis dan menuangkan pikirannya dalam bahasa Belanda (seperti Kartini). Namun, Dewi Sartika melampaui itu: Ia sadar isu ekonomi politik tanah jajahan.

Dewi Sartika tampak mengerti betul perubahan ekonomi politik masa itu. Ia paham ada kekuatan besar yang mendorong perubahan di tanah jajahan. Bukan hanya Politik Etis yang digaung-gaungkan membawa “terang di tanah jajahan”, tetapi juga kekuatan modal yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan dari hierarki tertinggi hingga terendah di Hindia Belanda.

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, setelah berakhirnya masa tanam paksa, keran ekonomi tanah jajahan dibuka sehingga mulai masuk sistem ekonomi bebas. Modal-modal asing masuk dalam bentuk pabrik dan perkebunan swasta. Mereka membutuhkan banyak buruh.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Berbeda dari sistem tanam paksa yang tidak mengenal pengupahan, dalam sistem ekonomi bebas ini, buruh memperoleh upah. Banyak petani laki-laki yang kehilangan tanahnya mulai bekerja sebagai buruh dengan upah seadanya. Pabrik dan perkebunan membutuhkan banyak buruh sehingga perempuan mulai diperkerjakan sebagai buruh upahan.

Tiga Isu Utama Buruh Perempuan Masa Kolonial

Berdasarkan pemahaman ekonomi politiknya, ada tiga hal utama yang diangkat Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan. Pertama, soal kesenjangan upah. Buruh perempuan tidak memperoleh upah yang sama seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama. Sebagaimana dikatakannya:

Hendaknya janganlah dilupakan perempuan kita dari ‘golongan jelata’ yang tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, dan yang mesti mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai buruh di banyak pabrik dan perkebunan. Sebagai seorang perempuan, hati saya rasanya tersayat, bahwa para perempuan tersebut, meskipun melakukan pekerjaan yang sama seperti buruh laki-laki, yang juga tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, ternyata menerima upah yang lebih sedikit daripada buruh laki-laki.  

Pengamatan Dewi Sartika tentang kesenjangan upah buruh perempuan sungguh jitu. Hal ini baru teratasi lewat hukum setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 100 (1951) tentang Upah Setara, atas desakan Gerwani pada 1958. Meski demikian, sampai sekarang kesenjangan upah masih dialami buruh perempuan di semua sektor lapangan kerja.  

Kedua, soal hak cuti hamil. Buruh perempuan pada masa itu tidak memperoleh hak cuti hamil. Jika sakit, sekalipun karena usai melahirkan, buruh perempuan mesti kembali kerja seperti semula. Menurut Dewi Sartika:

Tampaknya sampai sekarang tidak pernah diperhatikan bahwa sesudah melahirkan diperlukan waktu istirahat, buruh perempuan juga harus hidup, sehingga berdasarkan keadilan adalah wajar ia memperoleh tunjangan keuangan selama waktu istirahat tersebut yang sekurang-kurangnya tiga puluh hari.

Bagi kita yang hidup di abad ke-21 ini, hak cuti hamil sudah dianggap lumrah dan merupakan bagian dari hak-hak reproduksi sebagai perempuan. Kiranya Dewi Sartika adalah orang pertama yang mengangkat wacana tersebut–dan bahkan, menyatakan bahwa buruh perempuan harus tetap “memperoleh tunjangan keuangan” selama cuti hamil, tak terkecuali.  

Baca juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Ketiga, soal perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Pada masa itu, perempuan mengalami perlakuan tidak adil tidak hanya di rumah atau ranah privat, tetapi juga di lapangan kehidupan sosial, terlebih bagi mereka yang bekerja. Dewi Sartika berpendapat,

Sebagai perempuan yang sehat jasmaniah bekerja di pabrik dan perkebunan, mereka menerima upah yang rendah, kemungkinan akan hilang pekerjaannya tersebut karena mengalami sakit alamiah seperti saat melahirkan dan lain sebagainya, dan juga tidak diperlakukan adil seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama – itu semua tidak akan menjadikan mereka tertarik untuk membanting tulang sebagai buruh di pabrik dan perkebunan lebih lanjut.  

Buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perkebunan kerap diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Menjadi buruh upahan justru tidak serta-merta membebaskan perempuan seperti yang dijanjikan oleh kaum liberal terdidik Belanda. Malah, buruh perempuan mengorbankan kesehatan jasmaninya.

Karena itu, menurut Dewi Sartika, perempuan perlu mendapatkan pelatihan keterampilan agar bisa berkarya bebas menjadi dirinya sendiri. Inilah dasar mengapa ia mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.  

Dewi Sartika Kritisi Patriarki dan Kapitalisme

Tiga masalah utama yang disebut oleh Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan pada masa itu memang, sayangnya, masih tetap menjadi masalah utama bagi kita yang hidup seratus tahun kemudian. Ini bukti bahwa masalah-masalah tersebut adalah masalah ekonomi politik dalam kapitalisme, baik dalam sistem kolonialisme maupun dalam sistem globalisasi masa kini. Pengamatan Dewi Sartika sudah sangat tajam, dan ini bisa menjadi dasar pengamatan bagi kita juga di masa kini.

Kartini boleh jadi dianggap mewakili suara perempuan yang tertindas budaya patriarki pada masanya, tapi Dewi Sartika lebih mengerti suara perempuan yang tertindas dalam budaya patriarki dan sekaligus kapitalisme dalam sistem kolonialisme pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kartini bisa dibilang feminis pertama dari tanah Jawa, tapi Dewi Sartika lebih punya perspektif ekonomi politik soal peran gender perempuan, dan paham masalah-masalah konkret buruh perempuan. Boleh jadi, kiprah Dewi Sartika ini diperkecil dalam sejarah kolonial (dan juga sejarah Orde Baru) karena kesadarannya akan isu ekonomi politik ini, dan sebagian menganggap pemikirannya lebih “berbahaya” daripada pemikiran Kartini.

Sudah saatnya kita perlu melihat kiprah Dewi Sartika dalam terang sejarah yang lebih mendalam.  Ia adalah yang pertama dan menjadi pelopor bagi kita untuk lebih kritis menyoroti masalah ekonomi politik yang bersinggungan dengan kehidupan perempuan.

Jafar Suryomenggolo adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019). Saat ini ia bermukim di Paris, Perancis.

Read More