Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Dalam bidang jurnalistik, perjalanan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih panjang. Hal ini dinyatakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tepat setahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan Internasional dalam diskusi bertajuk “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara”. Dalam diskusi tersebut, dikatakan bahwa jurnalis perempuan Indonesia hanya sekitar 30 hingga 35 persen dari total jurnalis profesional yang ada.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan memang masih kalah unggul dibanding laki-laki. Akan tetapi, kiprah mereka di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Dalam catatan sejarah, beberapa jurnalis perempuan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Selain itu, ada pula dari mereka yang tidak gentar berpartisipasi dalam kritik terhadap pemerintah selama Orde Baru, dan berdedikasi dalam pekerjaannya hingga menduduki posisi-posisi penting di redaksi.

Berikut ini rekam jejak sejumlah jurnalis perempuan di Indonesia yang perlu kita ketahui untuk memahami seberapa signifikannya peran jurnalis perempuan.

Peran Jurnalis Perempuan Era Pra-Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, berbagai surat kabar berbahasa Indonesia telah muncul dan beredar di masyarakat. Surat kabar ternama seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Sinar Matahari, hingga Suara Asia terbit sebagai usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, yang sering luput dari pengetahuan umum adalah keberadaan surat kabar Sunting Melayu yang didirikan oleh Rohana Kudus, salah satu pahlawan nasional Indonesia kita.

Terbit di Padang pada tahun 1912, Sunting Melayu merupakan surat kabar yang memuat tulisan-tulisan perempuan dan yang keseluruhan redaksinya dipegang oleh perempuan. Menurut Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, pergerakan kemajuan kaum perempuan di Indonesia semakin melesat berkat gagasan-gagasan Rohana dan perempuan lainnya dalam surat kabar tersebut.

Aspek yang patut digarisbawahi dari isi Sunting Melayu, menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Seabad Pers Perempuan, adalah ketidakgentaran Rohana dalam menulis berita politik. Di bawah pengawasan pemerintahan kolonial, ia menulis bagaimana perempuan berhak mengikuti gerakan politik bersama para laki-laki dalam melawan penjajah.

Rohana pun turut menyadur tulisan-tulisan di luar Sunting Melayu tentang nasib perempuan di negara lain untuk menunjukkan kondisi dan keadaan mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.

Apabila kita berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran S.K. Trimurti dan Ani Idrus. Berkat rekam jejak mereka, peran jurnalis perempuan terhadap kemajuan bangsa tidak terbantahkan lagi.

S. K. Trimurti, yang pada akhirnya menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pertama, merupakan seorang guru dan jurnalis yang gencar menggaungkan pesan anti-kolonial dalam pidato, ajaran, dan tulisan-tulisannya. Karya-karyanya mendorong Trimurti berkali-kali dipenjara oleh pemerintah Belanda dan Jepang.

Dalam tulisan Ipong Jazimah di Jurnal Sejarah dan Budaya, terlihat bahwa pada masa itu masih sangat tabu bagi perempuan untuk mengikuti aktivitas politik. Namun, Trimurti bersikeras masuk Partindo pada tahun 1933 demi mempelajari politik, dan tidak lama kemudian ia pun mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia untuk memberikan pembelajaran politik kepada perempuan lainnya.

Sementara itu, pemikiran Ani Idrus mengenai perempuan modern juga sama pentingnya. Tulisan-tulisan Ani Idrus, menurut Suriani dalam Jurnal Humanisma, berisi pernyataan bahwa perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ani Idrus banyak membahas norma-norma serta stigma di masyarakat yang membatasi perempuan, seperti yang terlihat dari posisinya sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di Pewarta Deli. Menyusul modernitas yang tumbuh dari Politik Etis pemerintah Belanda, Ani Idrus mengingatkan masyarakat Indonesia, terutama para perempuan, untuk menyesuaikan diri dan tidak melepaskan budaya Timur sepenuhnya.

“Kita (perempuan) harus maju, modern, tetapi modern yang tidak merusakkan,” ujarnya.

Di samping ketiga nama ini, masih ada jurnalis-jurnalis perempuan ternama lainnya yang turut membangun kesadaran bangsa, seperti Siti Soendari dan Herawati Diah.

Kiprah Jurnalis Perempuan Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, berkembangnya industri media yang menguntungkan dunia jurnalistik juga disertai dengan ancaman terhadap kebebasan pers, terutama di zaman Orde Baru.

Pada saat itu, S.K. Trimurti masih ada di garda depan dan ikut menandatangani naskah Petisi 50 yang berisi kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sementara itu, Ani Idrus menjadi penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Adapun Linda Tangdiala menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi yang membawahi setidaknya 30 jurnalis perempuan di Harian Bisnis Indonesia. Selain itu, ada juga peran Yuli Ismartono yang tidak berhenti meliput di wilayah peperangan untuk Tempo sebelum akhirnya rezim Orde Baru membredel majalah tersebut pada tahun 1993.

Baca juga: Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Usaha para jurnalis perempuan di sepanjang sejarah Indonesia pun menjadi acuan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah dengan semangat juang yang sama di era reformasi. Rekam jejak jurnalis-jurnalis perempuan Indonesia yang ditorehkan sejak dahulu telah diteruskan dan dapat dilihat pada sosok-sosok seperti Maria Hartiningsih, Fransisca Ria Susanti, dan Hermien Y. Kleden.

Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia

Kini, semakin banyak jurnalis perempuan yang kita temui di media sehari-hari. Namun, tantangan yang mereka hadapi tetap sama. Data yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen dalam pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hak-hak yang seharusnya mereka miliki di ruang kerja belum terpenuhi.

Gaji jurnalis perempuan masih di bawah standar Upah Layak Jurnalis di tiap kota. Masih banyak perusahaan yang belum memberikan cuti haid; bahkan di beberapa daerah, perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan. Di samping itu, ruang khusus menyusui juga belum banyak ditemukan.

Terlepas dari meningkatnya rasio perempuan yang menjadi jurnalis, hanya enam persen dari mereka yang dapat menduduki jabatan tinggi atau posisi pengambil keputusan di ruang redaksi. Masalah ini belum berubah dalam riset Stellarosa dan Silaban dalam Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis pada tahun 2018, yang menambahkan bahwa isu pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan masih sering diabaikan.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini memberikan pendapat senada dengan hasil riset tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan AJI tahun lalu, ia mengatakan bahwa salah satu rekan jurnalisnya bahkan dilecehkan oleh aparat negara.

“Saat dia liputan demo, [dia] dikejar-kejar dan dilecehkan,” kata Endah seperti dikutip dari Suara.com.

Di samping itu, Endah mengungkapkan pula bahwa jurnalis perempuan yang sudah berkeluarga sering kali dipindahkan ke bagian soft news seperti gaya hidup dan busana alih-alih politik atau hukum. Pasalnya, divisi-divisi yang terakhir disebutkan itu dianggap lebih “berat” bagi mereka.

“[Jurnalis perempuan] dipindahkan bukan karena kapabilitas, tapi karena sudah punya anak,” ujar Endah.

Data di atas merupakan pekerjaan rumah negara; pekerjaan rumah yang belum selesai bertahun-tahun lamanya. Untungnya, organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) telah terbentuk untuk membantu kebutuhan perempuan di dunia jurnalistik.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Masih sulit untuk mengetahui kapan perubahan signifikan akan terjadi. Namun, setidaknya setiap usaha menunjukkan bahwa semangat perjuangan Rohana dan kawan-kawan perempuannya tetap ada dan semakin menguat.

Radhiyya Indra, dengan buku Murakami di tangan, Maya Deren di laptop, Velvet Underground di telinga, dan album K-Pop di rak buku, menghabiskan waktunya dengan menulis hingga sakit kepala.

Read More
Dewi Sartika

Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884, Raden Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh emansipasi dan perintis pendidikan bagi kaum perempuan. Atas jasanya tersebut, pada 1966 (hampir dua dasawarsa setelah mangkatnya pada 1947) ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Ia adalah salah satu dari 15 perempuan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional (sementara di kategori tersebut sudah ada 176 laki-laki yang diakui).

Di dalam berbagai buku teks pelajaran masa kini, kisah hidupnya digariskan sebagai tokoh pendidikan. Memang, ia telah berjasa dengan mendirikan Sekolah Isteri/ Sekolah Kautamaan Isteri di Bandung pada 1904, yang kemudian tersebar di banyak tempat hingga pada 1912 sudah ada sembilan sekolah. Di kemudian hari, sekolah ini dikenal sebagai sekolah Dewi Sartika.

Namun, ada beberapa segi dari pemikiran dan tindakannya yang masih belum banyak kita kenal. Salah satu yang utama adalah pengamatannya tentang buruh perempuan.

Pahlawan Perempuan yang Sadar Isu Ekonomi Politik

Pada 1914, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyusun laporan umum tentang kedudukan perempuan di tanah jajahan. Hal ini adalah bagian dari Politik Etis yang dilancarkan sejak 1901.

Laporan tersebut memuat pendapat dari sembilan perempuan yang dianggap terdidik, yakni Raden Ajoe Soerio Hadikoesoemo (Raden Ajeng Sunarti, adik Kartini), Raden Ajoe Ario Sosrio Soegianto, Oemi Kalsoem (istri Mas Soepardi), Raden Adjeng Karlina, Raden Adjeng Amirati (putri Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI), Raden Adjeng Martini (putri Raden Mas Singowigoeno, Bupati Lumajang), Nyonya Djarisah (seorang bidan di Bandung), Raden Dewi Sartika, dan Raden Ajoe Siti Soendari.  

Baca juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Masalah yang mereka bahas umumnya terkait tentang poligami dan pernikahan anak. Ini membuktikan bahwa kedua masalah tersebut memang sudah lama jadi perhatian dan keprihatinan kaum perempuan (hingga hari ini juga).

Berbeda dari delapan perempuan lainnya, Dewi Sartika tidak hanya membahas kedua masalah tersebut saja. Ia juga menyatakan pendapatnya tentang kondisi buruh perempuan pada masa itu. Dewi Sartika menjadi satu-satunya tokoh yang berani menyuarakan isu buruh perempuan.

Ukuran perempuan terdidik pada masa itu adalah bisa baca-tulis dan menuangkan pikirannya dalam bahasa Belanda (seperti Kartini). Namun, Dewi Sartika melampaui itu: Ia sadar isu ekonomi politik tanah jajahan.

Dewi Sartika tampak mengerti betul perubahan ekonomi politik masa itu. Ia paham ada kekuatan besar yang mendorong perubahan di tanah jajahan. Bukan hanya Politik Etis yang digaung-gaungkan membawa “terang di tanah jajahan”, tetapi juga kekuatan modal yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan dari hierarki tertinggi hingga terendah di Hindia Belanda.

Pada dasawarsa pertama abad ke-20, setelah berakhirnya masa tanam paksa, keran ekonomi tanah jajahan dibuka sehingga mulai masuk sistem ekonomi bebas. Modal-modal asing masuk dalam bentuk pabrik dan perkebunan swasta. Mereka membutuhkan banyak buruh.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Berbeda dari sistem tanam paksa yang tidak mengenal pengupahan, dalam sistem ekonomi bebas ini, buruh memperoleh upah. Banyak petani laki-laki yang kehilangan tanahnya mulai bekerja sebagai buruh dengan upah seadanya. Pabrik dan perkebunan membutuhkan banyak buruh sehingga perempuan mulai diperkerjakan sebagai buruh upahan.

Tiga Isu Utama Buruh Perempuan Masa Kolonial

Berdasarkan pemahaman ekonomi politiknya, ada tiga hal utama yang diangkat Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan. Pertama, soal kesenjangan upah. Buruh perempuan tidak memperoleh upah yang sama seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama. Sebagaimana dikatakannya:

Hendaknya janganlah dilupakan perempuan kita dari ‘golongan jelata’ yang tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, dan yang mesti mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai buruh di banyak pabrik dan perkebunan. Sebagai seorang perempuan, hati saya rasanya tersayat, bahwa para perempuan tersebut, meskipun melakukan pekerjaan yang sama seperti buruh laki-laki, yang juga tidak memperoleh pelatihan ketrampilan, ternyata menerima upah yang lebih sedikit daripada buruh laki-laki.  

Pengamatan Dewi Sartika tentang kesenjangan upah buruh perempuan sungguh jitu. Hal ini baru teratasi lewat hukum setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 100 (1951) tentang Upah Setara, atas desakan Gerwani pada 1958. Meski demikian, sampai sekarang kesenjangan upah masih dialami buruh perempuan di semua sektor lapangan kerja.  

Kedua, soal hak cuti hamil. Buruh perempuan pada masa itu tidak memperoleh hak cuti hamil. Jika sakit, sekalipun karena usai melahirkan, buruh perempuan mesti kembali kerja seperti semula. Menurut Dewi Sartika:

Tampaknya sampai sekarang tidak pernah diperhatikan bahwa sesudah melahirkan diperlukan waktu istirahat, buruh perempuan juga harus hidup, sehingga berdasarkan keadilan adalah wajar ia memperoleh tunjangan keuangan selama waktu istirahat tersebut yang sekurang-kurangnya tiga puluh hari.

Bagi kita yang hidup di abad ke-21 ini, hak cuti hamil sudah dianggap lumrah dan merupakan bagian dari hak-hak reproduksi sebagai perempuan. Kiranya Dewi Sartika adalah orang pertama yang mengangkat wacana tersebut–dan bahkan, menyatakan bahwa buruh perempuan harus tetap “memperoleh tunjangan keuangan” selama cuti hamil, tak terkecuali.  

Baca juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Ketiga, soal perlakuan yang tidak adil di tempat kerja. Pada masa itu, perempuan mengalami perlakuan tidak adil tidak hanya di rumah atau ranah privat, tetapi juga di lapangan kehidupan sosial, terlebih bagi mereka yang bekerja. Dewi Sartika berpendapat,

Sebagai perempuan yang sehat jasmaniah bekerja di pabrik dan perkebunan, mereka menerima upah yang rendah, kemungkinan akan hilang pekerjaannya tersebut karena mengalami sakit alamiah seperti saat melahirkan dan lain sebagainya, dan juga tidak diperlakukan adil seperti buruh laki-laki, meski melakukan pekerjaan yang sama – itu semua tidak akan menjadikan mereka tertarik untuk membanting tulang sebagai buruh di pabrik dan perkebunan lebih lanjut.  

Buruh perempuan yang bekerja di pabrik dan perkebunan kerap diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Menjadi buruh upahan justru tidak serta-merta membebaskan perempuan seperti yang dijanjikan oleh kaum liberal terdidik Belanda. Malah, buruh perempuan mengorbankan kesehatan jasmaninya.

Karena itu, menurut Dewi Sartika, perempuan perlu mendapatkan pelatihan keterampilan agar bisa berkarya bebas menjadi dirinya sendiri. Inilah dasar mengapa ia mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.  

Dewi Sartika Kritisi Patriarki dan Kapitalisme

Tiga masalah utama yang disebut oleh Dewi Sartika dalam menyuarakan isu buruh perempuan pada masa itu memang, sayangnya, masih tetap menjadi masalah utama bagi kita yang hidup seratus tahun kemudian. Ini bukti bahwa masalah-masalah tersebut adalah masalah ekonomi politik dalam kapitalisme, baik dalam sistem kolonialisme maupun dalam sistem globalisasi masa kini. Pengamatan Dewi Sartika sudah sangat tajam, dan ini bisa menjadi dasar pengamatan bagi kita juga di masa kini.

Kartini boleh jadi dianggap mewakili suara perempuan yang tertindas budaya patriarki pada masanya, tapi Dewi Sartika lebih mengerti suara perempuan yang tertindas dalam budaya patriarki dan sekaligus kapitalisme dalam sistem kolonialisme pada awal abad ke-20.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kartini bisa dibilang feminis pertama dari tanah Jawa, tapi Dewi Sartika lebih punya perspektif ekonomi politik soal peran gender perempuan, dan paham masalah-masalah konkret buruh perempuan. Boleh jadi, kiprah Dewi Sartika ini diperkecil dalam sejarah kolonial (dan juga sejarah Orde Baru) karena kesadarannya akan isu ekonomi politik ini, dan sebagian menganggap pemikirannya lebih “berbahaya” daripada pemikiran Kartini.

Sudah saatnya kita perlu melihat kiprah Dewi Sartika dalam terang sejarah yang lebih mendalam.  Ia adalah yang pertama dan menjadi pelopor bagi kita untuk lebih kritis menyoroti masalah ekonomi politik yang bersinggungan dengan kehidupan perempuan.

Jafar Suryomenggolo adalah penerima LITRI Translation Grant 2018 atas terjemahan beberapa cerpen karya buruh migran dalam kumcer At A Moment’s Notice (NIAS Press, 2019). Saat ini ia bermukim di Paris, Perancis.

Read More
Herawati Sudoyo Ilmuwan Perempuan

Herawati Sudoyo Bicara Soal Tantangan Menjadi Ilmuwan Perempuan

Salah satu ilmuwan perempuan yang ikut andil dalam penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia adalah Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Lembaga Eijkman untuk Bidang Penelitian Fundamental. Sejak awal pandemi, keberadaannya di deretan Tim Pakar Medis Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menjadi sangat penting. Namun, dalam mencapai posisinya saat ini, Herawati mengalami banyak tantangan menjadi seorang ilmuwan perempuan. 

Baca Juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Berbicara dalam Podcast Indonesia  soal tantangan sebagai Ilmuwan Perempuan 

Dalam sebuah podcast Indonesia How Women Lead, Herawati menceritakan perjalanannya menjadi seorang ilmuwan perempuan dan bagaimana ia berkecimpung dalam keilmuan biologi molekuler yang saat itu terbilang bidang baru.

Sebetulnya, sejak kecil Herawati  Herawati memang menyukai dunia sains, tapi ia sebetulnya lebih menyukai bidang arsitektur dan desain interior. Namun, ia kemudian didorong keluarga untuk lebih memilih bidang medis dan Herawati akhirnya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Setelah mendapat gelar dokter, Herawati, yang saat itu bekerja di bagian biologi, Fakultas Kedokteran UI, merasa perlu melanjutkan studinya di dunia pendidikan. Ketika ia menempuh studi doktoral di Departemen Biochemistry Monash University pada 1990, untuk pertama kalinya ia jatuh hati dengan cabang ilmu baru yaitu biologi molekuler.

Podcast Indonesia Tentang Tantangan Sebagai Ilmuwan Perempuan

Biologi molekuler adalah cabang ilmu yang mempelajari keunikan makhluk hidup melalui bagian paling kecil, yaitu DNA dan RNA. Saat mempelajari ilmu ini, Herawati merasa benar-benar dibentuk dan berkembang secara optimal, dan ia merasa ini lah jalan untuknya. Namun, ketika menekuni keilmuan baru ini, ada tantangan yang dihadapi oleh Herawati. 

Baca Juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

“Bekerja di bidang yang baru ini membuat saya tidak memiliki panutan. Pada saat itu, orang banyak yang menganggap penelitian itu enggak penting,” ujar Herawati dalam wawancara bersama How Women Lead. 

Ilmuwan Perempuan Herawati Sudoyo Berjasa dalam Identifikasi Tersangka Bom Bunuh Diri Kedubes Australia

Salah satu pencapaian terbesar Herawati adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia pada 2004. Pada saat itu, Kepolisian Republik Indonesia ditantang untuk mengidentifikasi secara cepat siapa pelaku di balik bom bunuh diri ini.

Tragedi itu menewaskan 10 korban dan  melukai lebih dari 180 orang. Pelaku bom bunuh diri tersebut menggunakan mobil boks untuk mengangkut bom. Mobil tersebut hancur total dan tidak ada bagian badan yang memungkinkan untuk diidentifikasi menggunakan metode konvensional seperti sidik jari, gigi, hingga pengenalan wajah. 

Karenanya, identifikasi DNA-lah jawabannya. DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid, sebuah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti berisi tentang informasi-informasi dari orang tua.

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Setelah metode ditentukan, untuk membedakan mana pelaku dan korban, tim identifikasi mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan bagian-bagian kecil dari tubuh dengan basis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi keberadaan pelaku. Pelaku yang pasti dekat dengan bom, serpihan tubuhnya akan terlontar lebih jauh daripada korban.

Teknik yang dikembangkan oleh tim Herawati dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) ternyata terbukti ampuh. Jaringan tubuh dari tempat-tempat jauh memiliki profil yang sama dengan profil DNA keluarga yang dicurigai. Dalam waktu kurang dari dua minggu, tim Eijkman dan Polri berhasil mengidentifikasi pelaku. 

Herawati Sudoyo dan Beban Ganda Perempuan 

Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Herawati mengatakan, tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana ia bekerja dan meraih gelar doktornya sembari tetap mengurus anak. Ketika bersekolah di Australia, ia harus membawa kedua anaknya ke kampus. Saat itu ia mengambil gelar doktor di satu lab yang pada saat itu merupakan salah satu empat lab di dunia yang mengerjakan topik doktoralnya. 

“Saat itu yang saya rasakan benar-benar sangat kompetitif. Kita diminta untuk benar-benar berkonsentrasi pada pekerjaan. Tetapi di saat yang sama saya pun perlu mengurus anak. Kita harus belajar sendiri bagaimana berbagi konsentrasi pada pekerjaan kita. Saya menjalankan itu selama empat tahun,” ujar Herawati

Herawati “Kantor Perlu Dukung Ilmuwan Perempuan untuk Berkarier”

Dari pengalamannya itu, Herawati banyak sekali mendapat pengalaman dan bagaimana ia harus bersikap dalam memimpin anak buahnya. Ia paham bagaimana perjuangan-perjuangan ilmuwan perempuan untuk meraih posisinya dan terus berkarier.

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Ketika pertama kali memulai karier, banyak ilmuwan perempuan yang ia kenal mengundurkan diri dan memilih untuk mengurus keluarga. Hal ini menurutnya dapat diatasi dengan adanya dukungan dari kantor tempat ilmuwan tersebut bekerja.

“Ilmuwan perempuan harus di dukung dari luar serta dari dalam, yaitu keluarganya sendiri. Kalau itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi dia. Sebab di dalam dunia yang masih konservatif ini, walaupun perempuan memiliki karier tinggi ya tetap harus ingat tempatnya. Itu kata-kata yang dipakai untuk saya,” kata Herawati.  

Read More

Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Ketika Nyoman Anjani mencalonkan diri sebagai Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2013, ia adalah calon perempuan satu-satunya. Sejumlah pihak kemudian melancarkan oposisi karena mereka menganggap perempuan tidak seharusnya memimpin.

“Jadi pemilihan umumnya berlangsung cukup sengit persaingannya karena ada beberapa kalangan yang berpandangan seperti itu,” kata Nyoman, yang sekarang menjadi peneliti bidang manufaktur di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA).

Meski menghadapi situasi seperti itu, Nyoman mengatakan mahasiswa ITB cenderung berpikiran terbuka sehingga ia terpilih secara adil dan demokratis.

“Untuk calon lainnya, beliau menerima kekalahan dengan lapang dada ketika saya terpilih. Ketika masa pemerintahan Kabinet KM ITB sudah berjalan, para mahasiswa ITB cenderung lebih ​open minded​ dan menjalani masa kepengurusan tersebut bersama-sama,” kata Nyoman.

Ia mengatakan bahwa peran perempuan khususnya pemimpin di organisasi sangat signifikan dalam menyeimbangkan pengambilan keputusan.

“Perempuan akan memberi keseimbangan dalam proses analisis suatu masalah karena memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki,” ujarnya. 

Senada dengan Nyoman, Putri Indy Shafarina, Presiden Girl Up di Universitas Padjadjaran, sebuah gerakan pemberdayaan perempuan di kampus-kampus Indonesia, mengatakan, perempuan pemimpin mampu memperjuangkan kebutuhan perempuan secara maksimal. Misalnya, membuat peraturan anti-kekerasan seksual di tingkat universitas hingga dukungan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 

“Perempuan dalam posisi d​ecision making​ juga mampu mengambil keputusan dan kebijakan yang lebih inklusif,” ujarnya kepada Magdalene.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Organisasi

Studi berjudul ​Why We Lead: Reflections of Female Student Government Presidents ​(2010) oleh Jennifer M. Miles, akademisi bidang pendidikan di University of Arkansas, AS, menyatakan posisi kepemimpinan dalam organisasi kampus mengasah kemampuan dalam menjadi delegasi atau representatif sebuah institusi.

Sementara itu, hambatan yang dialami mengacu pada kesulitan dalam manajemen waktu, memisahkan hubungan personal serta profesional ketika bekerja dengan teman, dan memenuhi ekspektasi maupun menyelesaikan masalah sesama mahasiswa. 

Shafarina berpendapat, tantangan lain yang dihadapi  perempuan pemimpin berkaitan dengan bias gender.

“Perempuan dipandang sebelah mata, dipertanyakan kompetensinya, dianggap tidak kompeten (tidak seperti laki-laki) dan dianggap terlalu emosional sehingga tidak tegas dalam mengambil keputusan,” ujar mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi tersebut. 

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Stigma yang dilekatkan pada perempuan tersebut mampu berdampak pada tingkat kepercayaan anggota suatu organisasi. Ia mengatakan, cara untuk menyikapi pandangan negatif tersebut dengan membuktikan bahwa perempuan juga berkompeten, bahkan tidak kalah dari laki-laki dan gender tidak bisa menjadi tolak ukur penilaian kompetensi seseorang menjadi pemimpin. 

Jadi Perempuan Pemimpin di Organisasi Kampus Bantu dalam Karier 

Shafarina mengatakan, karakter kepemimpinan di ranah universitas berbeda dengan yang terjadi di ranah sekolah, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), karena mahasiswa memiliki pemahaman politik lebih besar. Selain itu, pemahaman mahasiswa perempuan di posisi strategis akan hambatan karena bias gender mampu membantu mereka untuk menjadi lebih kuat ketika mengambil posisi tersebut di ranah kerja, ujarnya.

“Kesempatan untuk jadi perempuan pemimpin adalah hal yang tidak bisa didapatkan semua orang. Adanya kesempatan langka itu mampu membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang meningkat ketika menapaki karier profesional,” jelasnya. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin bisa memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan.”

Selaras dengan pendapat tersebut, penelitian bertajuk ​Am I A Leader? Female Students Leadership Identity Development​ (2018) oleh Brenda L. McKenzie, akademisi dari Vanderbilt University, AS, yang berfokus pada isu kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi menyatakan, salah satu upaya yang diinginkan perguruan tinggi adalah membangun mahasiswa untuk mampu menjadi pemimpin. Kemampuan tersebut sangat penting untuk mahasiswa perempuan agar mereka mengetahui tantangan kepemimpinan yang akan dihadapi setelah menapaki jenjang yang lebih jauh dari perguruan tinggi. 

“Menanamkan dan membantu mahasiswa perempuan mengidentifikasi diri sebagai pemimpin mampu memotivasi mereka untuk mencari posisi pemimpin di ranah kerja maupun masyarakat, sekaligus mengubah persepsi tentang kapabilitas perempuan pemimpin dan demografi pekerjaan perempuan,” tulis McKenzie. 

Melengkapi pernyataan tersebut, Miles dari University of Arkansas menuliskan dalam studinya, “Ketika mahasiswa menjadi pemimpin di ranah universitas mereka mempelajari keahlian yang akan membantu kehidupan profesional dan personal mereka. Mahasiswa pemimpin harus belajar berinteraksi dengan orang lain, menjadi representatif, dan berinteraksi atau bekerja sama dengan banyak orang. Pemimpin ini juga bertanggung jawab dalam keberlanjutan organisasi mereka.”

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mentor untuk Kepemimpinan Perempuan

Judy Nagai, Assistant Vice President of Development di University of The Pacific dalam penelitiannya Maximizing The Effectiveness of Women’s Undergraduate Leadership Programs Through Intentional Outreach menyatakan pendidik memiliki peran penting dalam mendorong perempuan jadi pemimpin. Tanggung jawab menjadi mentor tersebut dapat dilakukan dengan program pengembangan kepemimpinan yang memberikan pemberdayaan untuk perempuan. 

McKenzie juga menyatakan, dalam mengidentifikasi pemimpin, mahasiswa cenderung melihat figur publik seperti presiden, selebriti, atau sosok yang memiliki kharisma, ketegasan, dan dihormati. Dalam ranah pendidikan, sosok pemimpin tersebut dapat berupa sesama teman atau ketua organisasi tertentu dan tokoh pendidik. 

Shafarina mengatakan, jika dosen mendukung dan menyelipkan pesan kesetaraan gender maupun pemberdayaan dalam kurikulum, hal itu bisa menjadi faktor pendorong untuk perempuan mengambil peran strategis di ranah kampus.

“Selain itu, jika universitas memiliki rektor maupun Dekan perempuan, itu menjadi sebuah kemajuan dan bisa mengakomodasi kepentingan sesama perempuan,” ujarnya.

Read More

Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Secara global, dibutuhkan sekitar 99,5 tahun untuk mencapai kesetaraan gender secara optimal. Hal ini dinyatakan World Economic Forum (WEF) berdasarkan data Global Gender Gap Report 2020 yang mereka kumpulkan dari 153 negara.

Perjalanan panjang mewujudkan kesetaraan gender diakibatkan masih besarnya kesenjangan gender di berbagai subindeks. Dalam penelitian WEF, ditemukan bahwa kesenjangan gender paling terlihat pada subindeks Politik dan Ekonomi. Tercatat hanya 24,7 persen kesenjangan gender yang bisa tertutupi pada subindeks ini dengan hanya hanya 25 persen dari 35.127 kursi global ditempati oleh perempuan, dan hanya 21 persen dari 3.343 menteri perempuan. Bahkan di beberapa negara, perempuan tidak terwakili sama sekali.

Kesenjangan gender juga masih terjadi pada subindeks Kesempatan dan Partisipasi Ekonomi Berusaha. Dalam subindeks ini, tercatat hanya 55 persen perempuan yang bekerja di pasar tenaga kerja, dengan hanya 36 persen dari mereka yang menjabat manajer senior sektor swasta dan pejabat sektor publik.  Hal ini diperparah dengan adanya lebih dari 50 persen kesenjangan upah.

Dari indeks secara keseluruhan (Politik, Ekonomi, Pendidikan, dan Kesehatan), Indonesia menempati posisi 85. Keterwakilan perempuan di parlemen menurun (17,4 persen turun dari 19,8 persen), begitu juga di kabinet (24 persen, turun dari 26 persen). Di samping itu, partisipasi angkatan kerja perempuan masih cenderung stagnan, yaitu 54 persen dengan hanya 40,1 persen perempuan yang menduduki posisi strategis dan posisi yang membutuhkan tenaga profesional.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Budaya Patriarki, Tantangan Utama Atasi Kesenjangan Gender

Dalam diskusi bertajuk “Pemimpin Perempuan: Mengapa Penting?” yang diselenggarakan oleh Jalastoria Indonesia pada Jumat (26/21), Nur Aini, Ketua Serikat Sindikasi yang menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa hal yang menjadi tantangan utama dalam merealisasikan kesetaraan gender di Indonesia adalah karena masih mengakarnya budaya patriarki di masyarakat. Hal ini melanggengkan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki.

“Budaya patriarki inilah masalahnya, [lingkungan kerja] masih maskulin, kepemimpinan perempuan masih dipertanyakan,” ujar Nur Aini.

“Pertanyaan bagaimana perempuan membagi waktu ke keluarga, lalu bagaimana jika mereka hamil, bagaimana nanti kalau harus rapat sampai malam, pertanyaan-pertanyaan yang kerap diajukan kepada perempuan ini sebenarnya tidak bersifat substansial dan tidak pernah dipertanyakan kepada laki-laki.”

Menambahkan pendapat Nur Aini, Masruchah, Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan dan Dewan Pengawas Indonesian Feminist Lawyer Club mengatakan bahwa kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan di ranah domestik masih menjadi tantangan besar yang sulit dikikis.

“Di hadapan publik, masyarakat meyakini bahwa rumah urusan perempuan. Hal ini terlihat dari bagaimana UU Perkawinan juga secara jelas membagi peran gender perempuan dan laki-laki, bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, dan perempuan adalah seorang ibu rumah tangga,” kata Masruchah.

Menurutnya, konstruksi sosial ini memiliki sumbangsih besar pada pemberian beban sepihak dan ekspektasi berlebihan kepada perempuan.

“Dalam pandangan publik, sering kali perempuan itu diharuskan lebih sukses dua kali lipat dari laki-laki. Mereka harus bisa sukses dalam mengurus keluarganya, dan mereka harus bisa sukses juga di ruang publik, dari situ perempuan baru dianggap layak menjadi pemimpin,” imbuh Masruchah.

Hak Pekerja Perempuan Terabaikan

Di samping itu, tantangan lain yang menghambat penurunan kesenjangan gender di Indonesia ialah masih disepelekannya hak-hak perempuan sebagai pekerja

“Hak-hak pekerja perempuan masih banyak yang belum dipenuhi. Misalnya, saya bekerja di Tempo sejak 2008, tapi status saya masih kontrak. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan sudah jelas batasnya [status kerja kontrak] tiga tahun,” papar Perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas dalam diskusi tersebut.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

“Posisi sebagai pekerja kontrak, kontributor, atau koresponden membuat pekerja tidak diberikan gaji tetap, dan tidak punya cuti haid atau melahirkan. Ukuran batasan jam kerja juga enggak ada. Mau kamu sedang hamil atau sedang haid, ya kalau kamu enggak kerja, kamu enggak akan dapat gaji,” Ika menambahkan.

Tidak hanya hak khusus perempuan dan status kerja yang tidak pasti saja yang masih menyandung perempuan pekerja. Ika mengatakan bahwa bagi jurnalis perempuan, ketidakadilan dan kekerasan gender yang mereka alami lebih berlapis. Mereka juga rentan mengalami kekerasan seksual dalam meliput atau dalam perjalanan meliput berita. Hambatan-hambatan seperti inilah yang membuat jurnalis perempuan lebih sedikit.

“Kalaupun ada biasanya hanya bertahan sampai lima tahun bekerja. Kalau sudah menikah dan punya anak, mereka pasti akan berhenti sebagai jurnalis,” kata Ika.

Hal ini kemudian berdampak pada miminmya perempuan menjabat di posisi struktural. Posisi perempuan di dalam media pun terlihat seperti piramida, semakin ke atas jumlah mereka semakin sedikit.

Affirmative Action Solusi Kesenjangan Gender

Salah satu jalan mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di ruang publik adalah dengan membuat affirmative action. Hal ini merupakan kebijakan khusus untuk meningkatkan representasi kelompok termarginalkan seperti perempuan.

Menurut Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, seharusnya affirmative action tatarannya tidak hanya terfokus pada tataran legislatif, tetapi juga di ranah ranah lainnya.

“Butuh ada evaluasi gerakan perempuan dalam affirmative action. Dengan begitu, jika kita berbicara mengenai bagaimana caranya memosisikan perempuan dalam posisi-posisi strategis, kita bisa beralih dari birokrasi ke lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, bahkan private sector,” kata Mike.

Ia berpendapat, upayamembuat affirmative action di luar ranah legislatif juga mampu mendorong penghentian anggapan keliru mengenai keadilan dan kesetaraan gender secara lebih luas. Di tubuh pemerintahan dan badan negara saja, isu gender masih kerap dipandang sebagai persoalan tunggal perempuan semata, bukan kepentingan bersama.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Mendorong Perempuan Menjadi Pemimpin

Nur Aini mengatakan bahwa affirmative action di lintas sektor dapat dimulai dengan hal termudah, yaitu dengan mendorong kepercayaan diri perempuan dan meyakinkan mereka bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin. Hal ini perlu dibarengi  dengan memberikan kesempatan pada perempuan untuk menduduki posisi strategis.

Menurut dosen Ilmu Politik FISIP dan Pascasarjana Kajian Gender UI, Dr. Nur Iman Subono, mendorong kepercayaan diri perempuan ini begitu penting karena perempuan telah mengalami kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini dapat berupa mansplaining dalam ruang kerja, atau perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan aspirasi atau ide-idenya.

“Mendorong kepemimpinan perempuan sangat penting, karena sebelum mencapai substantive representation, number representation harus terpenuhi terlebih dahulu untuk membantu tercapainya kesetaraan dan keadilan gender,” kata Nur Iman.

Masruchah memandang, dibandingkan gaya kepemimpinan laki-laki, gaya kepemimpinan perempuan terbukti lebih berorientasi pada kesejahteraan bersama.

“Umumnya, model kepemimpinan perempuan baik di organisasi atau parlemen punya gaya transformasi, mencoba banyak mendengarkan, memberikan ruang baik bagi tim kerja mereka, basis sosialnya untuk mendialogkan. Sementara laki-laki, karena sejak kecil dilihat seorang individu yang super dan berdaya, sering kali ketika dia mempimpin cenderung hierarkis, dengan cara memerintah dan menugaskan seseorang,” papar Masruchah.

Selain itu ia menilai, pemimpin perempuan lebih banyak memberi motivasi pada tim kerjanya karena ia ingin maju bersama.

“Mereka yang biasanya memulai ruang berbagi, ruang mendengar. Laki-laki pada umumnya mau maju sendiri, ‘aku bisa lho’. Kalau perempuan tidak, perempuan bergerak secara perlahan namun pasti, ‘aku bisa melakukan perubahan-perubahan ini bersama-sama’,” ujarnya.

Read More
Titi Anggraini dukung perempuan berkarier

Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Titi Anggraini percaya bahwa salah satu kunci keberhasilan perempuan dalam kariernya adalah dengan adanya dukungan dari sesama perempuan itu sendiri. Perempuan kelahiran Palembang, 12 Oktober 1979 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia merupakan aktivis dan juga pengamat pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi, yang juga sanga tertarik pada isu perempuan dalam politik. 

Baca Juga: Gelap-Terang Rekam Jejak Aung San Suu Kyi dalam Politik Myanmar

Saat ini Titi Anggraini menjabat sebagai Dewan Pembina Organisasi Perkumpulan Pemilu untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem), setelah  10 tahun menjabat sebagai direktur eksekutif dari organisasi tersebut. Sejak di bangku perkuliahan, Titi memang memiliki minat terhadap isu pemilihan umum, dan sejak berkuliah ia sudah banyak terjun dan membantu dalam isu pemilu.  

Wawancara Titi Anggraini bersama How Women Lead Soal Perempuan dalam Politik

Dalam episode 5 podcast How Women Lead, Titi Anggraini banyak bercerita tentang pengalaman selama berkecimpung di dunia pemilu serta politik. Salah satu isu yang ia sorot adalah soal representasi perempuan dalam dunia politik.  Titi memahami bahwa ranah politik memang sangat maskulin dan masih belum ramah terhadap politisi perempuan. Banyak sekali tantangan yang dihadapi oleh perempuan, saat ia ingin terjun ke dalam ranah politik, mulai dari ongkos politik, pengetahuan soal politik, dan lain-lain. 

Awal Karier Titi Anggraini 

Awal karier Titi memang sudah fokus dalam isu pemilihan umum. Pada tahun 1999 ia menjadi anggota panitia pengawas pemilu tingkat pusat pada 1999, mewakili Universitas Indonesia. Saat itu panas diisi oleh orang-orang berlatar belakang dosen dan mahasiswa. 

Di tahun 2005, bersama dengan para tokoh besar lainnya, Titi Anggraini mendirikan organisasi Perludem yang berfokus pada isu pemilihan umum dan demokrasi. Tokoh lainnya yang berada di balik Perludem adalah Topo Santoso, Prof. Aswanto, Didik Supriyanto, serta Prof. Komarudin Hidayat. Saat itu Titi ditunjuk untuk menjadi sekretaris eksekutif. 

Baca Juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Namun, tentu saja dalam perjalanannya Perludem banyak mengalami hambatan, salah satunya karena orang-orang di balik Perludem memiliki kesibukan juga di luar organisasi. Pada 2008-2010, ketika Titi membantu Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) sebagai koordinator Tim Ahli, ia merasa bawa ia perlu membesarkan Perludem. Akhirnya setelah itu Titi diminta untuk fokus mengurus Perludem.  

Male Panel dan Kurangnya Representasi Perempuan dalam Politik

Semenjak mendalami isu pemilihan umum, Titi memang memberi perhatian pada isu perempuan dalam politik. Di periode 2019-2024 saja, dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya ada 118 anggota perempuan atau 20,52 persen. Memang jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya, jumlah ini bisa dibilang meningkat, tetapi tetap saja kuota perempuan yang seharusnya 30 persen atau yang sering kali kita sebut politik afirmasi masih belum terpenuhi. 

Peraturan ini sudah tertera jelas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Sering kali perempuan dilihat hanya sebagai syarat jenis kelamin dan mengabaikan kapasitas, potensi, dan perspektif perempuan. 

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Tidak hanya soal kuota 30 persen, dalam podcast How Women Lead, Titi juga bercerita soal keprihatinannya terhadap rekan-rekan yang mengabaikan pentingnya representasi perempuan dalam panel-panel diskusi soal pemilu. Yang paling ia ingat adalah salah satu pengalamannya dengan  Hadar Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang juga memiliki perhatian dengan isu inklusivitas ini. Saat itu, pak Hadar menghubungi Titi untuk menjadi narasumber, sebab panel tersebut lebih banyak narasumber laki-laki. 

“Saya sengaja mengundurkan diri agar mbak Titi bisa menjadi narasumber di forum itu,” ucap Hadar pada Titi kala itu. 

Pentingnya Sisterhood untuk Karier Perempuan dalam Politik 

Di dalam lingkup politik, Titi menyadari pentingnya dukungan dari sesama perempuan agar karier perempuan dalam politik tersebut berkembang. Inklusivitas menjadi salah satu hal penting di dalam politik, baik perempuan maupun laki-laki berhak masuk dalam ranah politik. 

Sifat-sifat seperti welas asih dan merawat atau nurture menjadi salah satu hal yang Titi pegang dalam mengembangkan Perludem. Sejak ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Perludem, Titi dikenal sebagai pemimpin perempuan yang berempati, dan peduli terhadap para koleganya. Titi juga selalu memberikan arahan serta mengajak seluruh teman-teman di Perludem untuk sama-sama mengembangkan Perludem. 

Titi merasakan betul bagaimana manfaat sisterhood dalam pengembangan kariernya. Ia mengakui bahwa penguatan di antara sesama perempuan itu sangat penting dalam berorganisasi. 

“Maka dari itu revitalisasi sisterhood itu jadi sangat penting buat saya, dalam arti untuk saling mengingatkan pada konsep integritas,  memberi ruang akses kepada sesama perempuan, tidak saling menjatuhkan, nah ini yang betul-betul harus dihadirkan,” ujar Titi Anggraini. 

Read More
andi depu pahlawan indonesia

Andi Depu Pilih Bercerai dengan Suami Demi Kemerdekaan Negeri

Andi Depu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia lewat Surat Keputusan Presiden yang diterbitkan pada 6 November 2018, menjelang peringatan Hari Pahlawan. 

Nama Andi Depu akhirnya terpilih menjadi salah satu nama pahlawan perempuan karena dianggap persisten dalam melawan dan membasmi penjajah Belanda yang ada di wilayah Tanah Mandar, Sulawesi Barat.

Andi Depu bersedia untuk keluar dari kerajaannya dan ikut berjuang bersama rakyatnya untuk mempertahankan daerah Tinambung pada waktu itu dari kekuasaan Belanda.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Akan tetapi perjuangannya itu tidak diperkenankan oleh sang suami, Andi Baso Pabiseang, yang malah pro dengan Belanda, sehingga mereka akhirnya memutuskan untuk bercerai.

Sosok Andi Depu lahir pada 1907 di Tinambung, yang sekarang ini menjadi wilayah Polewali Mandar. Ia merupakan seorang anak perempuan dari Raja Balanipa ke-50, yang bernama Laqju Kanna Idoro serta ibunya yang bernama Samaturu.

Andi Depu Bercerai dengan Suami untuk Perjuangkan Kemerdekaan

Andi Depu

Pada tahun 1923, Andi Depu menikah dengan seorang pria berdarah biru yang bernama Andi Baso Pabiseang. Ia sudah menjadi istri seorang bangsawan, seharusnya ia bisa lebih bersantai di rumah tempat tinggalnya. Namun Andi Depu tidak seperti itu; masih ada sesuatu hal yang tidak bisa berhenti dipikirkannya.

Ia merasa sangat prihatin melihat rakyat yang ditindas oleh penjajah Belanda. Melihat keadaan di mana rakyat tidak punya kuasa, ia pergi dari istananya dan ikut bersama rakyat untuk mempertahankan wilayah Tinambung dari cengkeraman Belanda.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Waktu ikut berjuang di Tinambung, Andi Depu dapat bebas pergi berjuang ke mana pun tanpa ada prasangka sebagai pejuang karena ia adalah seorang perempuan. Akan tetapi, gerak-geriknya ini dikecam oleh sang suami karena lebih memihak kepada Belanda. Karena memiliki idealisme yang berbeda, pasangan ini pun akhirnya memutuskan untuk berpisah.

Setelah bercerai, Andi bersama dengan anak laki-lakinya yang bernama Andi Perenrengi, bergabung dalam pergerakan rakyat Mandar dalam melawan penjajah Belanda. Ia memilih menetap di rumah orang tuanya yang akhirnya dibuat sebagai markas pertahanan.

Ia pernah bersekolah di Volkschool dan sangat aktif di banyak organisasi. Ia juga merupakan pendukung utama organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) yang mendirikan cabang di wilayah Mandar pada 1940, sampai menjadi pelopor Fujinkai (tentara perempuan Jepang) di wilayah Mandar pada tahun 1944.

Andi Depu Menentang Penurunan Sang Saka Merah Putih

Selain menjadi pelopor di Jong Islamieten Bond, ia juga membuat organisasi KRIS Muda atau kepanjangan dari Kebangkitan Rahasia Islam Muda pada 21 Agustus 1945 yang berhasil menyebar ke sejumlah wilayah di luar Mandar. Karena organisasinya ini, ia sempat ditangkap oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada Desember 1946, meskipun akhirnya dibebaskan.

Kiprahnya yang paling terkenal adalah saat perang revolusi ia tidak mau menurunkan bendera merah putih yang berkibar di Istana Raja Balanipa di Tinambung pada 28 Oktober 1945. Pada waktu itu Andi Depu baru saja selesai melakukan salat dhuha.

Baca Juga: Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Para penjaga istana yang melihat pasukan Belanda sedang menurunkan bendera merah putih langsung memberikan info pada Andi Depu. Mendapatkan laporan tersebut, Andi Depu langsung pergi dari tempatnya dan bergegas berlari menuju tiang bendera sambil berteriak “Allahu Akbar” dan memeluk kuat tiang bendera.

Berada di tengah kumpulan tentara Belanda, Andi Depu berteriak dengan keras dalam bahasa Mandar: “Lumbangpai Batangngu, Muliai Pai Bakkeu, Anna Lumbango Bandera” yang berarti “Tidak masalah saya gugur, mayatku kalian langkahi, baru bendera ini bisa kau singkirkan”.

Langkahnya ini membuat para tentara istana serta warga Tinambung memaksa masuk kepungan Belanda dan berdiri memagari Andi Depu. Bisa dibilang sangat nekat, karena para tentara istana serta warga sekitar hanya memiliki senjata berupa keris dan tombak waktu mengerumuni prajurit Belanda.

Sebelumnya, para tentara istana itu mendapatkan perintah oleh Andi Depu untuk tidak membongkar bendera Merah Putih itu. Melihat ketahanan dari perjuangan rakyat Mandar yang dipimpin oleh Andi Depu, Belanda pun tidak berani menurunkan bendera tersebut.

Membantu Pembubaran NIT

Belanda yang punya pengaruh sangat hebat di Indonesia Bagian timur yang akhirnya Belanda bisa membuat sebuah negara boneka dengan nama Negara Indonesia Timur (NIT). NIT dibentuk dari sebuah konferansi yang diadakan di Malino serta Denpasar pada tahun 1946. Terbentuknya NIT akhirnya diikuti oleh pembentukan negara-negara bagian yang lainnya seperti Negara Sumatera Timur (NST), dan Negara Pasundan.

NIT sendiri awalnya langsung dijadikan dasar penerapan sistem federal oleh Belanda, yang berujung membantu Republik Indonesia (RI) untuk memperoleh pengakuan kedaulatan di tahun 1949 lewat sebuah badan yang dibuat oleh belanda yaitu Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO).

Sudah biasa ditangkap Belanda, Andi Depu serta pemimpin lain dari perjuangan rakyat Mandar akhirnya bebas sebelum penyerahan kedaulatan Indonesia secara menyeluruh pada akhir 1949 dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Setelah keluar dari penjara, ia juga ikut membantu pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT). Demonstrasi ia gelar di Polombangkeng pada 1950. Hal ini mengakibatkan ia ditangkap lagi oleh sisa-sisa orang-orang NIT selama kurang lebih 30 hari.

Karena langkahnya ini, ia kembali ditangkap oleh pemerintah NIT dan langsung dibawa ke penjara selama 30 hari lebih. Andi ditangkap di angkatan udara Penerbangan Mandai lalu dilepaskan kembali oleh pemerintah NIT.

Bebasnya Andi Depu dari penjara kemudian mendapat animo yang luar biasa dari rakyat dan di jalan yang menuju ke Tinambung. Animo dari warga tak terputus termasuk beberapa orang yang dulunya tergabung di KNIL juga ikut mengelu-elukannya.

Biarpun dengan kesehatan yang sudah memburuk akibat perlakuan selama di dalam penjara, tidak menghilangkan semangatnya dalam memberikan semangat dalam melawan penjajahan.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Setelah berhasil bebas yang kedua kali, ia kembali pergi ke Mandar karena diminta untuk menjadi pemimpin daerah yang dulunya merupakan Kerajaan Balanipa, dan kemudian berubah menjadi swapraja.

Andi Depu dipilih menjadi ketua Swapraja Balanipa. Amanah ini terus ia pegang sampai tahun 1956 sebelum akhirnya Andi mundur karena masalah kesehatan.

Bersama dengan keluarganya, Andi memutuskan untuk pindah dari Tinambung ke Makassar untuk mendapatkan pengobatan karena kesehatan fisiknya yang sudah menurun. 

Andi Depu mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pelamonia Makassar pada 18 Juni 1985. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang, Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk mengenang perjuangannya, sebuah monumen yang dibuat seperti sosok perempuan yang sedang memeluk tiang bendera merah putih sambil menunjuk ke depan dibuat di Kelurahan Tinambung, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar.

Read More
kepemimpinan feminin

Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

Gaya kepemimpinan yang secara umum dianggap baik adalah gaya kepemimpinan maskulin dan tegas. Hal ini juga karena posisi-posisi kepemimpinan masih diisi sebagian besar oleh laki-laki dengan gaya maskulin, sehingga kepercayaan umum adalah bahwa kepemimpinan yang tegas dan maskulin itu lebih efektif. Padahal pandangan semacam itu terbukti keliru. Salah satu podcast Indonesia berjudul How Women Lead memberikan pemaparan panjang soal ini.  

Apa itu Kepemimpinan Feminin? 

Dalam masyarakat, gaya kepemimpinan maskulin lebih akrab ditemui sehari-hari, padahal belum tentu lebih efektif dalam memimpin sebuah perusahaan, komunitas, atau gerakan. 

Berbeda dari kepemimpinan maskulin seperti yang kita lihat dari beberapa pemimpin dunia saat ini, kepemimpinan feminin memiliki ciri membangun penilaian diri perempuan untuk memperkokoh kepemimpinannya, serta membekali mereka dengan kemampuan, sumber daya, dan akses sehingga mereka dapat membuat sebuah perubahan untuk komunitasnya.

Baca Juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Selain itu, kepemimpinan feminin lebih berfokus pada redistribusi kekuasaan serta tanggung jawab. Tujuan lain dari gaya kepemimpinan ini alih-alih berfokus pada  kompetisi, ia lebih mengutamakan kerja sama dan membangun relasi, sehingga terbentuklah tim yang solid.

Gaya kepemimpinan feminin terbukti lebih efektif karena memiliki spektrum yang patut diseimbangkan. Sebagai seorang pemimpin yang baik, tentu saja dalam memimpin tidak boleh hanya terpatok dengan satu gaya saja. Seorang pemimpin perlu menyeimbangkan antara gaya feminin serta maskulinnya. 

Di kehidupan nyata, sudah banyak sekali contoh-contoh kasus kegagalan sebuah perusahaan, komunitas, bahkan satu negara akibat gaya kepemimpinan super maskulin. Contoh paling baru bisa kita lihat bagaimana kegagalan Amerika Serikat dan Brasil menangani pandemi COVID-19 ketika awal-awal virus tersebut menyebar. Nah sebelum ini, sebetulnya ada contoh nyata banget ini bagaimana kepemimpinan macho atau maskulin menghancurkan sebuah negara, yakni di Islandia.

Kebangkitan Ekonomi Islandia dengan Gaya Kepemimpinan Perempuan

Pada 2008, ketika seluruh dunia mengalami krisis ekonomi, Islandia menjadi salah satu negara yang paling terimbas krisis tersebut. Nilai tukar mata uang melemah, angka pengangguran melonjak, bahkan pasar sahamnya karam. Lebih parah lagi, tiga bank utama di negara tersebut, Kaupthing, Glitnir dan Landsbankinn dibiarkan gagal.

Dalam situasi yang sangat genting itu, ada satu perusahaan investasi yang tidak terkena imbas krisis keuangan besar itu, yakni Audur Capital. Padahal perusahaan ini baru saja setahun berdiri, dibentuk oleh dua orang perempuan, Halla Tómasdóttir dan Kristín Pétursdóttir. 

Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Ada empat kunci keberhasilan dari perusahaan tersebut dalam melewati krisis itu. Dalam Ted Talk di London, Tomasdottir menyampaikan bahwa pertama, kita harus menyadari risiko. Tomasdottir melihat ada perbedaan antara menghindari risiko, tidak mau mengambil risiko,  dan menyadari risiko yang akan dihadapi, yang berarti tidak ingin mengambil risiko yang belum sepenuhnya dipahami. 

Kedua, komunikasi publik yang baik. Tomasdottir mengatakan para pemimpin harus berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat soal aspek bagus dan aspek buruk dalam mengambil keputusan dan hasilnya. Hal ini penting dilakukan agar selamat dari krisis. 

Ketiga, kita boleh memikirkan laba tapi tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan. Tomasdottir mengatakan, buat apa mendapat laba tetapi merugikan kondisi sosial serta lingkungan. Ia juga mengatakan bahwa kita perlu melihat jangka panjang dan definisi laba yang lebih luas. 

Prinsip yang terakhir adalah modal emosional, yakni memotivasi, mendukung, dan berhubungan dengan orang-orang yang dia investasikan. Seperti yang ia katakan, “Ketika Anda hanya menginvestasikan uang, tidak banyak yang terjadi.”

Nilai-nilai yang disebutkan oleh Tomasdottir ini termasuk ke dalam gaya kepemimpinan feminin. 

Podcast Indonesia Membahas Gaya Kepemimpinan Feminin

Dalam salah satu episode podcast Indonesia  yang berjudul “Bye Kepemimpinan Macho!” salah satu narasumbernya yaitu dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, memaparkan mengapa kepemimpinan super maskulin masih saja dianut padahal jelas-jelas sudah terbukti banyak gagal.

Saras menjelaskan bahwa masyarakat dalam memahami ekonomi, politik,serta budaya lebih mengarah pada perlombaan untuk berkompetisi, menguasai satu di atas lainnya. Padahal seharusnya, alih-alih berkompetisi, kita perlu meniru cara kerja siklus yang mengandung kerja sama, saling menguntungkan, dan saling menciptakan kehidupan yang seimbang serta selaras. 

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Saras mencontohkan beberapa perjuangan perempuan Indonesia di basis akar rumput seperti perjuangan ibu-ibu Kendeng, dan gerakan menenun yang dilakukan Mama Aleta Baun.  

Dalam sejarahnya, perjuangan yang dilakukan oleh perempuan memang  dua kali lebih keras dari laki-laki dalam meraih posisi di dalam mengambil keputusan. Tidak hanya soal status pendidikan, lingkar keluarga, dan lain-lain, perempuan pun juga harus berjuang melawan segala macam prasangka bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk memimpin. 

Read More
rekan kerja di kantor

10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor

Menjaga relasi profesional di kantor memang gampang-gampang susah ketika dijalankan. Ada saja tantangan bahkan hambatan yang kita hadapi di kantor apalagi  kaitannya dengan rekan kerja di kantor. Mungkin ini pengalaman pertamamu bekerja, dan kamu bingung apa yang perlu kamu lakukan agar tetap profesional. Atau mungkin saja ini kantor keduamu setelah resign dari kantor lama yang super toksik. 

Perusahaan Inklusif serta Ramah Perempuan

Semua orang pasti mendambakan punya kantor yang ideal, di mana perusahaan menghormati hak-hak pekerjanya serta memiliki peraturan penanganan kekerasan seksual. Tapi, tentu saja enggak semua perusahaan bisa ideal seperti itu. 

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Berkaitan dengan kantor yang ideal, ini juga berhubungan dengan rekan kerjamu. Sia-sia juga punya kantor yang ideal, namun rekan kerjanya nyebelin, bahkan toksik.  Karena itu, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan waktu berinteraksi dengan rekan kerja.

Nah sebelum lanjut membaca tips dari kami, kamu juga bisa mampir ke salah satu podcast How Women Lead untuk mengetahui sejauh mana sih, perusahaan Indonesia menciptakan ruang yang inklusif untuk pekerjanya. 

Berikut ini beberapa hal yang jangan kamu katakan ke rekan kerjamu agar kehidupan kerjamu bisa damai. 

1. Rahasiakan Akun Media Sosial Kepada Rekan Kerja

Ini adalah hal pertama yang perlu kamu lakukan di kantor barumu. Please, jangan langsung bagikan akun sosial pribadi kamu ke rekan kerja. 

Loh, memang kenapa? Iya sih betul ada fitur Close Friend di Instagram, dan akun Twitter bisa digembok. Tapi, kami tetap menyarankan kamu untuk tidak melakukan hal tersebut. Media sosialmu adalah wilayah pribadi kamu, yang mending enggak kamu umbar-umbar dengan rekan kerja. 

2. Tidak Perlu Bawa-Bawa Pandangan Politik

Ini adalah hal klasik, tetapi sangat vital dalam menjaga relasi profesional. Kalian pasti punya satu atau dua orang teman yang ngomongin soal pandangan politik, lalu akhirnya berantem sendiri. Enggak cuma bikin geleng-geleng kepala, ini juga membuang-buang waktu dan tenaga. Alih-alih mendapat info dengan bertukar pendapat, eh ujung-ujungnya debat kusir enggak karuan. 

Baca Juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Boleh-boleh saja membicarakan politik. Tetapi, jangan sampai pandangan politik yang berbeda malah bikin kalian berantem dan berakibat pada kinerja tim yang turun. 

3. Dilarang Bertanya Jumlah Gaji Rekanmu

Kamu orangnya kepo atau ingin tahu banget? Ya jangan sampai bertanya soal gaji saja.

Memang sih, di titik tertentu obrolan soal gaji sesama pekerja ini bisa membuka mata kita juga soal kesenjangan upah antargender. Tapi kalau sebenarnya di kantormu enggak ada isu itu, obrolan soal gaji rekan kerja malah bisa memicu pertengkaran di antara kalian sendiri.  

Selain enggak sopan, pertanyaan ini juga supersensitif. Lagipula, buat apa juga kamu tahu gaji rekan kerjamu? Lebih baik fokus saja bagaimana cara mengembangkan kariermu agar kamu juga bisa mendapat kenaikan gaji. 

4. Stop Melempar Lelucon Seksis

Kamu suka ngelawak tetapi leluconmu malah bikin risi rekan kerja perempuan? Yuk, mulai berhenti melemparkan lelucon seksis. Lelucon seksis merupakan sebuah lelucon yang merendahkan gender tertentu.

Tidak hanya lelucon saja, kadang-kadang di grup kantor ada saja yang melempar stiker Whatsapp atau konten seksual yang bikin  kita risi. Bukannya dianggap lucu, kamu malah bisa dianggap sebagai orang yang super nyebelin dan enggak sensitif sama rekan kerja. 

5. Jangan Bertanya Umur Rekan Kerjamu

Pertanyaan soal umur ini bagi sebagian orang juga sangat sensitif. Pakar-pakar SDM mengatakan bahwa sebagai pekerja, sebaiknya kamu menghindari bertanya soal ini kepada rekan kerjamu. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Dia mungkin saja berpikir kamu sedang mempertanyakan otoritas atau kemampuannya, bahkan yang lebih buruk lagi ia menganggap kamu mendiskriminasi orang berdasarkan umur. 

6. Jangan Curhat Soal Hubungan Personal dengan Rekan Kerja

Hal lainnya yang enggak perlu kamu umbar ke rekan kerja adalah hubungan personal, entah itu dengan pacar, istri, suami, atau keluarga. Bisa jadi, dari curhatan itu malah tersebar informasi-informasi yang sebetulnya enggak mau kamu bagikan atau yang keliru ke orang banyak.

Jarang sekali curhatan soal hubungan personal berpengaruh baik terhadap citra profesionalmu atau mempererat hubungan antar pekerja di kantor. Jadi, sebaiknya kamu simpan saja hal itu untuk diri sendiri.

7. Jangan Memulai Kalimat dengan Kata “Kayaknya” Saat Berbicara dengan Rekan Kerja  

Nah, hal ini sering kita enggak sadari ketika kita menjawab pertanyaan dari rekan kerja. Ya untuk situasi-situasi tertentu boleh saja menggunakan kata ‘kayaknya’, tetapi hanya  jika kamu benar-benar enggak terlalu yakin. 

Baca Juga: 4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Ketika kamu menggunakan kata ‘kayaknya’, kamu bakal terlihat plin-plan atau enggak yakin di depan teman kerjamu. Akan lebih baik  kamu berbicara secara langsung dan straight to the point.

8. Jangan Menyebarkan Rumor dan Gosip dengan Rekan Kerja

Kamu mau memiliki banyak teman di kantor? Jangan menggunakan gosip buat mewujudkan hal itu. Selain itu perbuatan yang buruk, kamu bisa saja mencelakai rekan kerja yang kamu gosipkan. Belum lagi itu bisa berdampak pada kesehatan mental temanmu. Duh, pokoknya jangan. 

Jika kamu berkomentar negatif apalagi sampai menyebarkan gosip ke rekan kerjamu, kamu malah bakal dicap enggak baik atau lebih buruk dari orang yang kamu gosipkan. 

9. Dilarang Melakukan Kekerasan Seksual di Kantor

Baik laki-laki atau pun perempuan bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual. Saat bicara tentang kekerasan seksual, bukan berarti bentuknya hanya yang melibatkan kontak fisik saja, loh.

Sebelum ini kita sudah membahas soal lelucon seksis. Ini termasuk bentuk pelecehan seksual verbal yang menjadi bagian kekerasan seksual juga. Selain lelucon seksis, pelecehan seksual bisa berupa cat call atau komentar terhadap tubuh dan penampilan rekan kerja hingga mengarah ke hal mesum.

Baca Juga: Kerja Jarak Jauh Kian Populer, Tapi Potensi Stres Saat Melakukannya Juga Besar

Nah, ketika kita melanggengkan pelecehan seksual, kita sebenarnya juga sudah melanggengkan budaya pemerkosaan.

Penting buat kita untuk menyadari jamaknya hal ini di kantor. Selain memulai dari diri sendiri untuk enggak melakukan hal itu, kita pun harus selalu mengingatkan atau mencegah rekan kerja kita agar tidak melakukannya. 

10. Jangan Bertanya Soal Lowongan Kerja  

Kamu mau resign tetapi masih bingung belum mendapat pekerjaan baru? Sementok-mentoknya dirimu, please jangan bertanya soal lowongan tempat kerja lain kepada rekan kerjamu. Hal ini bisa banget membuat hubungan profesional kalian merenggang, dan bikin kinerja tim enggak maksimal. 

Read More

Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Buku pelajaran atau buku teks memegang peranan dalam mentransfer nilai-nilai dalam hidup bermasyarakat. Akan tetapi sayangnya, salah satu nilai yang penting ditanamkan kepada anak-anak sekolah yakni kesetaraan gender, masih sering luput dimasukkan ke dalam buku-buku tersebut.

Hal ini dikemukakan oleh Sugeng Ariyanto dalam jurnalnya yang bertajuk “A Portrait of Gender Bias in the Prescribed Indonesian ELT Textbook for Junior High School Students”(2013). Dalam penelitiannya terhadap buku teks bahasa Inggris yang dipakai anak sekolah, ia menemukan sejumlah gambar dan teks di sana yang masih mengusung stereotip gender dan peran gender tradisional. Contohnya, perempuan masih dilekatkan dengan peran mengurus keluarga atau urusan ke pasar, tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Selain itu, ada pula sejumlah sifat berdasarkan stereotip gender yang diperlihatkan dalam percakapan antara guru dan siswa-siswinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh M. Niaz Asadullah dan Kazi Md. Mukitul Islam dan diterbitkan di jurnal PLOS ONE (2018) sejalan dengan penelitian Sugeng. Dalam sebuah artikel di The Conversation, Asadullah menyatakan bahwa buku pelajaran di empat negara mayoritas Muslim (Malaysia, Pakistan, Bangladesh) masih kental dengan bias gender.

Asadullah dan Islam mengamati, dari indikator kualitatif seperti proporsi gender yang ditampilkan, buku pelajaran Indonesia cenderung lebih seimbang menampilkan laki-laki dan perempuan dalam konten tekstual dibanding buku di negara lain.  

Namun, dari indikator kualitatif mereka menilai penggambaran perempuan di buku pelajaran masih jauh dari setara. Dalam buku teks bahasa Inggris yang dipakai murid kelas 9 misalnya, karakter laki-laki masih mendominasi dalam hal bidang pekerjaan. Mereka digambarkan punya lebih beragam pekerjaan dibanding perempuan, serta menjalankan profesi yang erat dengan maskulinitas dan kekuatan seperti pemadam kebakaran atau raja.

Selain itu, ada banyak penekanan pada identitas perkawinan yang ditunjukkan oleh seringnya penggunaan istilah “Mrs.”, sementara dalam buku-buku di Malaysia dan Bangladesh, mayoritas tokoh perempuan disebut dengan “Miss”.  

Bias Gender dalam Buku Sains

Tidak hanya dalam buku teks bahasa Inggris seperti disebutkan dua penelitian di atas, bias gender juga tampak dalam buku sains anak.

Dalam sebuah penelitian di Inggris oleh Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell, yang menyoroti buku-buku sains bergambar untuk anak di dua perpustakaan publik, ditemukan bahwa secara umum, representasi perempuan dalam buku sains anak tiga kali lebih sedikit dibanding laki-laki.

Dari aspek foto dan ilustrasi di sana, khususnya di bidang fisika, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan. Sebanyak 87 persen gambar di buku fisika menunjukkan sosok laki-laki. Saat bicara tentang astronot pun, rujukan menyebut astronot masih kerap dihubungkan dengan laki-laki (“his”). Ketika menyinggung astronot perempuan, mereka tidak digambarkan punya kemampuan seperti halnya astronot laki-laki.

Baca juga: Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

“Tempat-tempat program pelatihan astronot NASA sangat kompetitif dengan ribuan lamaran setiap tahunya. Namun dalam buku [sains anak] tersebut, pelatihan, keahlian, dan pengetahuan perempuan tersebut tidak disinggung,” tulis Wilbraham dan Caldwell.

“Sebagai gantinya, keterangan gambar tersebut justru berbunyi ‘Dalam gravitasi 0, setiap hari adalah hari gaya rambut yang buruk’. Komentar seperti itu yang terfokus pada penampilan perempuan gagal menganggap serius kontribusi mereka.”

Dari hal seperti ini, muncul impresi bahwa sains adalah subjek untuk laki-laki dan kurang ada penghargaan bagi perempuan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).  Wilbraham dan Caldwell berpendapat, perempuan dalam buku sains sering digambarkan pasif, berstatus rendah, tidak terlatih, atau keberadaan mereka tidak diketahui sama sekali.

Dampak Bias Gender dalam Buku Teks

Bias gender dalam buku-buku teks atau konten edukasi untuk anak masih sering diwajarkan oleh banyak pihak, mulai dari guru, orang tua, hingga peserta didik sendiri. Padahal, hal tersebut berdampak negatif terhadap kesetaraan gender, tidak hanya di dunia pendidikan saja, tetapi sampai dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat bagi anak di masa depan.

Wilbraham dan Caldwell mengungkapkan, gambaran laki-laki dan perempuan berpengaruh terhadap harapan anak-anak tentang hal yang akan mereka dapatkan atau jalani di kemudian hari. Penggambaran tersebut mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok bagi tiap gender sehingga mereka terdorong untuk mengikuti stereotip karier gender yang berlaku.

Dalam buku panduan keluaran UNESCO berjudul Promoting Gender Equality through Textbooks (2009), dikatakan bahwa ada kaitan antara capaian anak perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki dan buku teks. Lewat konten yang masih bias dan penuh stereotip gender, ketimpangan gender dan diskriminasi dikuatkan.

Panduan UNESCO tersebut mencatat bahwa buku-buku teks tidak hanya berkontribusi pada penyebaran pengetahuan, tetapi juga memegang peran penting dalam mendidik anak tentang perilaku, norma, dan nilai sosial. Karena itu, buku-buku teks berperan sebagai alat pendidikan sekaligus perubahan sosial.  

Bagaimana Mendorong Perubahan?

Ada sejumlah aspek yang bisa diperhatikan untuk mengetahui apakah buku teks sudah menampilkan gambaran gender secara setara atu belum. Panduan UNESCO menyebutkan beberapa di antaranya seperti: Bagaimana pahlawan dan peran minor ditampilkan; fungsi sosial, keluarga, atau pekerjaan yang dijalankan laki-laki dan perempuan; atribut gender baik dari segi fisik maupun hal-hal yang dikenakan; sifat atau karakter gender; aktivitas yang dilakukan kedua gender; serta interaksi antarkarakter dalam buku teks.

Hal ini menjadi catatan penting bagi para pembuat buku teks anak berikutnya untuk membuat konten pendidikan anak yang lebih mengedepankan kesetaraan gender. Cerita dari sosok-sosok perempuan panutan di berbagai bidang pekerjaan menjadi salah satu hal yang dapat dimasukkan dalam buku-buku teks. Lewat teladan seperti itu, anak-anak dapat belajar bahwa segala peluang kerja atau melakukan sesuatu terbuka baik untuk laki-laki maupun perempuan. Terlebih untuk siswi, mereka dapat terdorong untuk mempunyai cita-cita dan capaian yang sama seperti tokoh-tokoh perempuan panutan tersebut.  

Baca juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan  

Bukan tugas para penulis buku teks saja untuk menanamkan pendidikan yang lebih setara gender. Para guru dan orang tua perlu berpartisipasi aktif untuk mendorong inklusivitas gender dalam mendidik anak. Ketika ada buku teks yang masih mempertahankan stereotip gender dalam konten visual maupun verbalnya, mereka perlu lebih aktif dan kritis menyikapi hal tersebut sehingga anak juga terlatih untuk tidak hanya mengikuti apa yang tergambar di sana.

Read More