newsroom ramah perempuan

Dari Fisik Sampai Kinerja, Jurnalis Perempuan Hadapi Tuntutan Tinggi

Jurnalis Fifi Aleyda Yahya mengatakan ia menghadapi tantangan dan tekanan ketika pertama kali bekerja di MetroTV sebagai pembawa acara perempuan.

“Muncul di televisi harus siap dikritik. Bukan hanya soal pertanyaan yang dibawakan, tapi dari penampilan pun dinilai setiap saat,” kata Fifi dalam diskusi virtual @america bertajuk Women’s Leadership in Broadcast Journalism, yang dihelat pada Hari Perempuan Internasional (8/3).

Tekanan yang dirasakan perempuan dalam dunia jurnalistik pun dibahas oleh Heather Variava, Deputy Chief of Mission dari Kedutaan Besar AS di Indonesia yang dulunya merupakan wartawan koran di AS. Variava bercerita bahwa sebagai seorang jurnalis, sering kali ia menjadi satu-satunya perempuan dalam ruangan.

“Kadang-kadang, hal tersebut membuat saya merasa terintimidasi,” kata Heather.

Ia memaparkan data dari International Women’s Media Foundation (IWMF) yang menunjukkan bahwa perempuan menempati kurang dari setengah pekerjaan media di dunia, padahal lebih dari setengah mahasiswa jurnalisme di seluruh dunia adalah perempuan. Lebih lanjut, jurnalis perempuan pada umumnya rentan menerima serangan offline maupun online, mulai dari ujaran kebencian hingga pelecehan seksual.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Apakah Perempuan Selalu Harus Memilih?

Tantangan selanjutnya yang ia hadapi adalah pilihan perempuan untuk berkarier di dunia jurnalistik yang masih menjadi hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi kepada Fifi yang kini merupakan seorang ibu dan juga Kepala Divisi Corporate Communication MetroTV. Ia mengatakan bahwa orang-orang di sekitarnya sering mempertanyakan komitmen Fifi terhadap keluarga maupun pekerjaan.

“Dari keluarga ada yang bilang, ‘Aduh, enggak kasihan ya, itu anaknya masih bayi ditinggal liputan, ditinggal kerja sampai malam, atau bangun pagi-pagi, jam 3 sudah berangkat.’ Saya jadi berpikir, apakah yang saya lakukan ini benar? Apa saya ibu yang baik?” ujarnya.

Fifi berkata bahwa isu tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang harus jurnalis perempuan hadapi. Meskipun begitu, ia tidak berhenti bertanya-tanya, “Memangnya tidak bisa terus menjadi jurnalis? Tapi, saya juga ingin tetap menjadi istri dan ibu. Memang kenapa sih, saya harus memilih?’” lanjutnya.

Desi Anwar, jurnalis senior dan Direktur CNN Indonesia TV, mengatakan, perempuan di dunia media dan jurnalistik selalu dituntut untuk memilih antara dunia kerja maupun keluarga.

“Pada satu titik, jurnalis perempuan harus menjawab pertanyaan yang tidak harus dijawab rekan lelaki mereka, seperti ‘Apakah saya harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kalau sudah berkeluarga? Apakah saya akan dianggap bukan ibu yang baik kalau kerja terlalu lama di kantor?’” kata Desi dalam diskusi virtual yang sama.

Bagi Desi, pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan banyaknya hal yang harus para perempuan korbankan ketika memasuki dunia jurnalistik.

“Mungkin pada akhirnya, di semua jenis pekerjaan, ini adalah pilihan: ‘Apakah saya bersedia memiliki waktu kerja seperti ini? Apakah saya siap dengan keterbatasan waktu kerja ini?’ Semua berujung kepada pilihan-pilihan itu. Dan sayangnya, perempuan lah yang harus lebih sering menanyakan hal-hal itu dibandingkan laki-laki,” ujar Desi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa

Pentingnya Kantor Media Dukung Jurnalis Perempuan

Diskusi virtual @america spesial Hari Perempuan Internasional ini menunjukkan bahwa masih banyak batasan, norma, dan bias yang mengharuskan perempuan untuk berjuang lebih keras dibandingkan laki-laki dalam menjadi jurnalis.

Namun di sisi lain, ketiga narasumber di atas merupakan contoh perempuan yang berhasil menerobos glass ceiling dan menjadi pemimpin di medianya masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya harapan bagi para perempuan untuk mengikuti jejak mereka di masa depan.

Dari segi demografi sendiri, Desi menekankan bahwa Indonesia termasuk yang memiliki banyak jurnalis perempuan, terutama di dunia siaran. Ia juga meyakinkan peserta diskusi bahwa posisi senior di media-media Indonesia kini malah banyak diduduki perempuan.

“Media broadcast merupakan lingkungan yang cukup kondusif dan suportif bagi perempuan untuk menonjol. Buktinya, jurnalis-jurnalis senior dan prominen di Indonesia sekarang rata-rata adalah perempuan,” ujar Desi.

Peningkatan ini telah Desi lihat sejak awal ia memulai kariernya di RCTI pada tahun 1990. Pada saat itu, RCTI adalah stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.

“Belum ada redaksi ketika saya mulai kerja di sana, hanya ada beberapa orang,” kata Desi.

“Saya merupakan salah satu yang mendirikan newsroom, dan saya juga pembawa acara pertama di RCTI. Banyak fase trial and error pada saat itu karena saya kurang tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya sambil terkekeh.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Desi beralih ke MetroTV, Fifi Aleyda Yahya menjadi salah satu pembawa acara yang ada di bawah pimpinannya. Fifi mengawali kariernya di TVRI setelah lulus kuliah.

“Setelah itu saya menikah, hamil empat bulan, dan masuk ke MetroTV,” kata Fifi.

“Dari situ, terasa betapa pentingnya lingkungan kerja yang mendukung kondisi saya [sebagai perempuan],” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Read More

Azizah Assattari dan Persepsi terhadap Perempuan di Dunia Game

Jika ada anak yang sangat senang main game, mungkin orang tua jangan apriori dulu dan melarangnya. Karena kegilaan main game sampai mengurung diri di kamar ternyata telah mendorong Azizah Assattari untuk menciptakan game yang disukai sampai mancanegara, dan mendirikan perusahaan pengembang permainan.

Tak hanya itu, sebagai perempuan gamer dan game developer, Azizah Assattari juga telah berkontribusi dalam memberikan keragaman karakter perempuan dalam permainan. Karakter Suri dalam Ghost Parade, permainan keluaran Lentera Nusantara Studio yang didirikan Azizah adalah hasil riset Azizah mendalam dan memakan waktu lama.

“Nama panjangnya Suri Utari Dirgadewi, yang artinya reinkarnasi dewi kehidupan. Ada dua nama dewi di dalamnya, yaitu Dewi Sri dan Dewi Durga,” kata Azizah Assattari, dalam wawancara dengan podcast FTW Media.

“Suri Utari itu maksudnya Bhatari Sri, Dewi Sri. Dirgadewi itu Bhatari Durga. Soalnya dari hasil riset saya, sebenarnya Dewi Sri dan Dewi Durga itu satu orang. Jadi ketika dunia sudah memasuki fase Kaliyuga, istilahnya akhir era dunia manusia lah, seluruh kitab akan ditarik ke langit. Dan di situ lah dewi kehidupan dan dewi kematian terlahir kembali jadi satu orang—jadi manusia,” ujar perempuan berusia 32 tahun itu.

Makna di balik nama tersebut memang menggambarkan karakternya: Suri adalah anak SD berambut keriting dan berkulit gelap, yang berteman dengan manusia dan juga hantu yang menghuni hutan suaka. Sebagai karakter anak perempuan indigo, ia dicintai oleh yang hidup dan yang mati.

Ghost Parade menjadi game yang mendunia sejak dirilis tahun 2019. Berkat kepopulerannya di negara-negara Asia hingga Eropa, permainan ini diadaptasi ke dalam serial komik yang terbit Februari lalu.

Azizah Assattari bermain game ghost parade
Ghost Parade

Detail dalam karakter Suri mencerminkan pentingnya konsep dan gambaran perempuan di dunia game. Menurut Azizah Assattari, penggambaran karakter perempuan dalam game telah mengalami perkembangan pesat. Apabila dulu mereka sering terlalu diseksualisasi dengan lekukan tubuh dan pakaian terbuka, kini aspek itu telah berkurang; representasi perempuan pun lebih beragam.

Namun, itu tidak membuat pekerjaan Azizah Assattari lebih mudah. Masih banyak tuntutan untuk karakter perempuan agar jadi sesempurna mungkin, lebih dari karakter laki-lakinya.

Di luar layar game, perempuan pemain dan pencipta game pun masih mengalami seksisme dan pelecehan di ruang kerja. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Azizah; tidak hanya dalam membuktikan dirinya sendiri, tetapi juga dalam membujuk perempuan lainnya untuk ikut berkarya di ranah multimedia. Berikut ringkasan perbincangan Azizah Assattari, yang berbasis di Bandung, dengan Redaktur Pelaksana Magdalene, Hera Diani.

Magdalene: Bisa diceritakan, apa yang mendorong Azizah untuk mendirikan Lentera Nusantara?

Aku kan dulu ngajar di bidang multimedia, games, animation, dan bergabung dalam riset juga, seperti dulu di Microsoft Innovation Center. Games itu memang my natural passion. Dari kecil memang sukanya main games, menonton animasi, dan bermimpi menciptakan dunia sendiri. Tapi masalahnya, ada titik di mana aku merasa bahwa Indonesia itu ada masanya kita tidak dianggap sama sekali, bahkan sebagai konsumen. Bahkan tahun 2011 pun belum.

Sebelumnya aku mengajar di ITB dan di Binus Internasional, bidangnya juga sama, media interaktif, game, teknologi, dan animasi. Keduanya adalah benchmark university di Indonesia. Tapi di situ pun ada titik aku enggak puas. Rasanya itu semua masih sebatas wacana. Setiap ada riset di lab, itu kayak produk yang belum sampai. Belum benar-benar produk jadi yang dimainkan banyak orang.

Lalu ada mahasiswaku, dia bukan dari kampus yang kayak gimana, itu salah satu kampus yang aku diminta untuk mengajar. Tapi he’s bright dan kita sama-sama suka main game. Dan pada satu titik dia bilang, “Ibu tuh pernah enggak sih sebenarnya bikin game? Yang beneran, kayak Ubisoft dan lain-lain.” Ya sudah kuajak dia kerja bareng bikin game setelah tugas akhirnya beres. Aku akhirnya keluar dari ranah akademis dengan membawa prototipeyang waktu itu sempat dibuat.

Itu tuh baru resmi jalan tahun 2015 akhir, dan kita baru mencoba. Kita brainstorming terus dan lihat mana game yang lebih cepat diserap market. Kita coba tes aja Ghost Parade, salah satu konsep game kita. Cara ngetes-nya harus dimainkan banyak orang. Kebetulan waktu itu ada pameran Anime Festival Asia di Singapura, jadi game-nya kita coding tiga hari sebelum berangkat. Nekat aja masukin ke Steam. Ternyata di Singapura booth kecil kita malah heboh dan ramai banget, padahal cuma 3×3. Orang yang main itu betul-betul sudah kayak mengantre sembako. Ada yang hari pertama datang sendiri, hari kedua bawa suaminya, dan hari ketiga bawa suami dan anak.

Azizah Assattari
Azizah Assattari

Apa yang menarik mereka sampai mengantre begitu? Apa daya tariknya?

Indonesian culture, that’s for sure!

Jadi Ghost Parade ini dibuat dengan konsep yang mewakili semua mitologi Indonesia dalam satu platform. Karakternya itu anak SD, yang mewakili anak Indonesia, dan dia punya kemampuan indigo. Mythical things kan Indonesia banget tuh. Dia juga bisa berteman dengan 101 hantu, yang semuanya menghuni hutan suaka dan wujud-wujudnya mewakili banyak budaya Indonesia.

Aku menjalani riset terhadap budaya Indonesia dan mitologi tuh sudah cukup lama. Supernatural beings, mythological things, ghosts… mereka itu sebenarnya representasi bagaimana manusia berpikir pada satu era. Nah, hantu-hantu itu mewakili fase trauma kemanusiaan yang dilewati satu era dan tidak terjawab. Jadi aku melihat, pantas Indonesia masalahnya banyak, lihat saja, hantunya banyak.

Baca juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik

Banyak baggage ya, haha.

Iya, hantu tuh semacam sebuah ketakutan, tabu, trauma yang tidak terjawab.

Jadi dengan game ini, I want to heal my country first. I want them to be proud of their culture. Karena setiap hantu itu menampilkan entitas budayanya, entah itu dari bagaimana cara dia mati, visualnya, namanya, eranya, kapan dia muncul. Ketika kita sudah berhasil membuat hantu itu lucu dan menertawakannya, itu kita sudah bisa menertawakan ketakutan kita. Dan kita akhirnya belajar mengenal satu sama lain. Kan itu prinsip negara kita: Bhinneka Tunggal Ika.

Sebenarnya kalau kita duduk di kelas dan sebelah kita kulitnya putih, gelap, rambutnya ikal lurus, dan sebagainya, itu harusnya biasa saja. Tapi di dunia kita, keberagaman budaya malah menjadi salah satu masalah terbesar saat ini. Dan di sini yang jadi korban, sama seperti saat aku meneliti tentang hantu di seluruh dunia, adalah perempuan. Hantu pun yang paling banyak adalah perempuan.

Read More
Dr. Ines Atmosukarto

Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Ines Atmosukarto menolak dipanggil “doktor” dan meminta disebut sebagai “mbak” saja. Padahal panggilan doktor itu merupakan penghormatan kami kepada perempuan ilmuwan hebat yang sangat rendah hati tersebut.

Ines Atmosukarto adalah peneliti vaksin dan doktor di bidang Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Adelaide Australia, tempat ia menempuh pendidikan S1 sampai S3. Ia kini menjadi CEO perusahaan Australia, Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan teknologi vaksin, objek yang menjadi pusat perhatian seluruh dunia saat ini.

Ines Atmosukarto merupakan perempuan ilmuwan Indonesia pertama, dan satu dari lima ilmuwan dunia yang menerima UNESCO L’Oreal Fellowship for Women in Science pada 2004. Ketertarikannya pada sains didapat dari keluarga yang berlatar belakang sains.

“Baik bapak, ibu, dan kakek dari pihak ibu, pendidikan mereka semua memang berbasis sains. Dari sejak kecil saya dan adik-adik saya juga dididik untuk melihat segalanya dengan fakta, ilmu pasti. Jadi, mungkin itulah kenapa saya akhirnya ke bidang sains,” kata Ines Atmosukarto, dalam wawancara untuk podcast “Magdalene’s Mind” (8/3).

Kini, dengan semakin luasnya dan cepatnya persebaran informasi mengenai vaksin, Ines pun ikut turun tangan dalam mengedukasi masyarakat.

“Kita membutuhkan lebih banyak suara yang bisa menyampaikan informasi ilmiah terkini dengan cara yang mudah dipahami,” kata Ines Atmosukarto mengenai vaksin dalam episode podcast

Inisiatif ini datang dari kesadaran Ines bahwa ilmuwan seperti dirinya masih harus belajar banyak, terutama mengenai ranah sosial di mana wacana tentang COVID-19, penyakit, dan vaksin masih terus mengalir.

Usahanya di bidang sains pun tidak berhenti di situ, Ines Atmosukarto juga memulai program-program fellowship dengan L’Oreal untuk perempuan muda Indonesia. Bagaimana pandangan Ines mengenai minimnya partisipasi perempuan di dunia penelitian dan sains pada umumnya? Berikut kutipan obrolan Dr. Ines bersama Devi Asmarani dan Hera Diani di episode bonus “Magdalene’s Mind” ini.

Magdalene: Sebagai ilmuwan yang telah lama bekerja di bidang teknologi pengembangan vaksin, bisa dijelaskan proses pembuatan vaksin itu bagaimana? Dan berapa lama prosesnya hingga vaksin itu siap digunakan?

Dr. Ines Atmosukarto: Secara tradisional, proses pengembangan vaksin itu sebenarnya membutuhkan waktu yang lama, sekitar 10 hingga 15 tahun. Vaksin untuk pandemi ini memegang rekor waktu pengembangan tercepat, sekitar 12 bulan. Hal tersebut dapat terjadi karena investasi yang besar dari berbagai pihak, yang mempercepat waktu pengembangan serta tahapan pengujian.

Dari sudut pandang seorang peneliti, ketika mencari dukungan dan kerja sama dari perusahaan farmasi, vaksin itu bukan produk yang dianggap menarik. Karena pada dasarnya, vaksin selalu diusahakan untuk dijual dengan harga murah agar cakupannya luas. Vaksin juga produk pencegahan yang dengan sekali pakai diharapkan penggunanya akan sembuh. Jadi dari sudut pandang model bisnis, sebenarnya ini bukan produk yang bagus untuk perusahaan.

Menurut Dr. Ines Atmosukarto Tantangan terbesar dalam bekerja di start-up biotek adalah meyakinkan investor bahwa berinvestasi di bidang vaksin itu penting. Jadi, secara tidak langsung, pandemi ini turut membantu meyakinkan mereka betapa pentingnya vaksin.

Read More
Jurnalis perempuan

10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ketika kita membaca daftar jurnalis ternama atau bersejarah dari mancanegara di berbagai artikel atau buku, biasanya hanya sedikit jurnalis perempuan yang disebutkan. Padahal, tidak sedikit jurnalis perempuan yang berkontribusi terhadap perkembangan dunia jurnalistik di seluruh dunia. Usaha mereka untuk membantu kelompok minoritas dan memperjuangkan kebebasan berpendapat dapat kita telusuri jejaknya dari abad ke abad.

Dalam dunia jurnalistik yang patriarkal sejak awal perkembangannya, perempuan mesti berusaha keras untuk mencari ruang agar bisa bersuara dan didengar. Sering kali, mereka yang memperoleh posisi strategis di bidang jurnalistik mendapatkan perlawanan keras, pelecehan, hingga penindasan. Para jurnalis perempuan pun kadang dipandang tidak cukup mampu untuk meliput berita-berita “berat” seperti politik dan perang.

Namun, setelah melalui perjuangan di berbagai belahan dunia, perlahan jurnalis perempuan membuktikan bahwa peran mereka terlalu besar dan penting untuk dikucilkan.

Berikut ini kami rangkum sejumlah nama jurnalis perempuan terkemuka dunia yang perlu kamu ketahui.

1. Anne-Marguerite Petit du Noyer

Perempuan asal Perancis ini merupakan salah satu jurnalis perempuan tersohor pada abad ke-18. Berbeda dari kebanyakan jurnalis perempuan lainnya pada masa itu, du Noyer tidak berasal dari sektor percetakan.

Lahir dalam keluarga Protestan pada tahun 1663, du Noyer menjadi seorang Katolik ketika kaum Huguenots (Protestan) dipersekusi. Namun, pada akhirnya ia kembali menjadi seorang Protestan dan diusir dari Perancis karena hal tersebut.

Ia mulai menulis dalam surat kabar mingguan Quintessence of News mengenai Perjanjian Utrecht antara Inggris dan Spanyol (1713-1715) yang mengakhiri perang Spanyol. Hasil laporannya sangat diapresiasi dan sejak itu, ia dikenal oleh masyarakat umum.

Sosok dan sepak terjang du Noyer yang terukir dalam sejarah menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi perempuan lainnya dalam menulis tentang kontroversi-kontroversi penting di sekitar mereka. Laporan yang mereka kirim ke surat kabar pada tahun-tahun berikutnya tidak lepas dari semangat du Noyer dalam mengungkap skandal yang patut untuk diketahui masyarakat setempat.

Baca juga: 7 Tokoh Perempuan yang Berperan dalam Proklamasi Kemerdekaan

2. Jurnalis Perempuan Hebat: Maria Ilnicka

Maria Ilnicka adalah seorang penyair, novelis, penerjemah, dan juga jurnalis asal Polandia. Ia dikenal karena partisipasinya dalam pemberontakan melawan Kekaisaran Rusia yang menduduki negaranya pada awal 1860an.

Maria Ilnicka bertindak sebagai juru arsip Polish National Government selama Pemberontakan Januari yang dilakukan Polandia pada tahun 1863. Dua tahun kemudian, ia menjadi pemimpin redaksi jurnal mingguan untuk perempuan bernama Bluszczu.

Ia dikenal sebagai sosok yang mendukung pendidikan untuk seluruh rakyat. Setelah dirinya, jurnalis-jurnalis perempuan lain bermunculan dan meneruskan perjuangannya tersebut hingga saat ini.

3. Jurnalis Perempuan Jepang Pertama: Hani Motoko

Berbicara mengenai pengaruh dan upaya para jurnalis dalam bidang pendidikan, pengaruh Hani Motoko juga tidak dapat dilewatkan. Hani Motoko adalah jurnalis perempuan pertama di Jepang dan juga pelopor pengembangan pendidikan untuk perempuan negata itu. Kariernya berlangsung selama lebih dari setengah abad, dari akhir masa Kekaisaran Meiji hingga pertengahan abad ke-20.

Pendidikan untuk perempuan masih merupakan subjek kontroversial pada Zaman Meiji. Pandangan pemerintahan terhadap perempuan pada masa itu dinyatakan dalam slogan “istri yang baik, ibu yang bijak”. Edukasi yang diperoleh perempuan hanya terbatas dalam aspek “kewanitaan” dan persiapan untuk menikah, berbeda dengan laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan kepala rumah tangga.

Motoko meniti karier dari penyunting naskah hingga reporter dan penulis editorial Hochi Shinbun pada tahun 1897, di saat surat kabar lain hanya membolehkan perempuan menulis perihal rumah tangga. Melihat sekolah negeri terus mengajarkan perempuan untuk menjadi sosok yang tunduk dan patuh, ia bersama sejumlah pendidik lain pun mendirikan Jiyu Gakuen, sebuahsekolah khusus perempuan.

Di sekolah tersebut, Hani Motoko dan kawan-kawan mengajarkan individualisme bagi perempuan dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pengurus finansial dalam keluarga. Nilai kebebasan, harga diri, dan kemerdekaan terus digaungkan Motoko di sepanjang kariernya sebagai jurnalis dan pengajar.

4. Jovita Idár

Jurnalis perempuan yang tercatat dalam sejarah tidak hanya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan semata. Jovita Idár adalah jurnalis Meksiko-Amerika yang dikenal karena jerih payahnya dalam melindungi hak-hak kaum minoritas.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Lahir di Laredo, Texas, pada tahun 1885, Idár mulai meniti karier di surat kabar milik ayahnya, La Crónica, yang mengecam dan melawan penganiayaan terhadap orang Meksiko-Amerika. Ia pun kerap menulis tentang rasisme di Meksiko dan turut mendukung revolusi yang mulai berkembang di sana. Idár juga menjadi presiden organisasi perempuan Meksiko bernama La Liga Femenil Mexicanista yang menawarkan pendidikan gratis kepada anak-anak Meksiko.

Selama berlangsungnya Revolusi Meksiko pada tahun 1913, ia pergi ke Meksiko untuk merawat korban luka-luka. Tetapi, Idár kembali ke AS pada tahun berikutnya untuk mengambil alih La Crónica dan terus berkampanye mengangkat isu kehidupan kaum Meksiko-Amerika yang buruk. Idár pun tidak henti-hentinya mengadvokasikan hak-hak perempuan, terutama ketika ia menduduki posisi dalam Partai Demokrat di Texas.

5. Peggy Hull

Peggy Hull sebenarnya adalah nama pena yang singkat milik Henrietta Eleanor Goodnough Deuell, jurnalis perempuan pertama yang diakreditasi secara resmi oleh Departemen Perang Amerika Serikat.

Awalnya, Hull menulis di berbagai surat kabar, seperti Honolulu Star di Hawaii, Cleveland Plain Dealer di Ohio, atau Junction City Daily di Kansas, tempat ia tumbuh besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memasuki ranah berita militer. Ia terjun meliput Perang Dunia I dan II.

Dalam meliput kedua perang tersebut, Hull melintasi berbagai kontinen dan negara dari Perancis hingga Siberia. Kariernya sebagai jurnalis perang dan tulisan yang ia hasilkan lantas membuatnya memperoleh penghargaan Angkatan Laut Amerika Serikat. Kesuksesannya pun menunjukkan bahwa perempuan mampu meliput topik peperangan yang sering dianggap tidak layak bagi mereka.

6. Minna Lewinson

Tumbuh dan besar di New York City, Minna Lewinson mengenyam pendidikan jurnalisme di Barnard College, Columbia University. Dari situ, ia bekerja sebagai reporter di berbagai publikasi seperti Daily Investment News dan Women’s Wear Daily. Ia juga merupakan jurnalis perempuan pertama yang direkrut oleh The Wall Street Journal pada tahun 1918.

Lewinson adalah jurnalis perempuan pertama yang memenangi Penghargaan Pulitzer untuk jurnalisme pada tahun 1918, bersama Henry Beetle Hough. Penghargaan tersebut mereka terima setelah menulis sejarah surat kabar.

Lewinson pun menjadi pembuka gerbang untuk jurnalis-jurnalis perempuan selanjutnya untuk memenangi penghargaan ini. Meski begitu, kategori sejarah surat kabar hanya pernah diberikan kepada Lewinson dan sejak itu tidak pernah ada lagi.

7. Munira Thabit

Munira Thabit adalah perempuan asal Mesir dan merupakan salah satu jurnalis perempuan yang merintis perjuangan meraih kesetaraan gender. Thabit mengawali kariernya sebagai pengacara di Mesir dan menjadi perempuan pertama di ranah tersebut. Namun, karena banyaknya halangan terhadap partisipasi perempuan di ranah pengadilan Mesir, ia berpindah haluan ke jurnalisme.

Thabit selalu mengutarakan bahwa perempuan berhak untuk memperoleh kesetaraan di ruang kerja, pendidikan, bahkan lingkup keluarga. Ia menerbitkan surat kabar mingguan bernama al-Amal pada tahun 1926 dengan slogan “Surat Kabar yang Melindungi Hak Politik Perempuan”. Meskipun ia mendapat perlawanan dari para tokoh agama dan aparat pemerintah, Thabit tidak berhenti dan terus menulis beragam artikel mengenai hak-hak perempuan.

Di tingkat internasional, Munira Thabit telah dipandang sebagai jurnalis terbaik Mesir pada masanya. Ia menjadi perwakilan Mesir di konferensi jurnalisme internasional di Jerman, partisipan di Egyptian Feminist Union (EFU), dan turut mendirikan Perserikatan Jurnalis Mesir.

Memoarnya yang berjudul A Revolution in the Ivory Tower: My Memories of Twenty Years of Struggle for Women’s Political Rights berisi komentar-komentar politik yang telah ia tulis di sepanjang kariernya.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

8. Frances FitzGerald

Tulisan jurnalis lepas Frances FitzGerald mengenai Perang Vietnam adalah salah satu bukti perempuan bisa menelurkan karya yang diakui dunia internasional. Berkat karya non-fiksinya yang bertajuk Fire in the Lake: The Vietnamese and the Americans in Vietnam, FitzGerald diganjar Penghargaan Pulitzer pada 1973. Tulisannya itu disebut sebagai salah satu analisis terbaik mengenai keadaan di Vietnam.

Tumbuh besar di New York City, FitzGerald lulus dengan magna cum laude dari Radcliffe College pada tahun 1962. Ia memulai karier jurnalistiknya di majalah New York Herald Tribune sebelum akhirnya pergi ke Vietnam sebagai jurnalis lepas dan menghabiskan waktu selama 16 bulan di sana.

FitzGerald pun mempelajari budaya serta sejarah Vietnam dan Cina sedalam mungkin. Jika para jurnalis laki-laki melaporkan aksi eksplosif peperangan yang sedang terjadi di sana, ia lebih berfokus kepada dampak perang tersebut terhadap kondisi politik dan masyarakat Vietnam Selatan.

FitzGerald dianggap berhasil memandang perang dengan perspektif alternatif telah menunjukkan pentingnya peran perempuan di berbagai ranah jurnalistik.

9. Christiane Amanpour

Christiane Amanpour adalah jurnalis Inggris yang merupakan salah satu koresponden perang ternama di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Pemberitaannya dapat kita temui di program-program CNN, ABC, dan PBS.

Amanpour dibesarkan di Tehran hingga umur 11 tahun sebelum kembali ke Inggris, tempat kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikannya di University of Rhode Island, Amerika Serikat, dan setelah lulus pada tahun 1983, ia memperoleh pekerjaan pertamanya di CNN sebagai asisten untuk ruang redaksi berita internasional.

Ketika Perang Teluk Persia pecah pada tahun 1990, Amanpour mulai dikenal sebagai reporter yang meliput konflik dengan baik. Ia disebut dapat menarasikan kebiadaban perang dan kejinya suatu konflik ke khalayak umum. Amanpour meliput invasi Irak ke Kuwait, kedatangan Amerika Serikat, dan setelahnya berlanjut ke pemberontakan Kurdi.

Begitu andalnya Amanpour meliput di medan perang, hingga kini namanya dipakai dalam program serial CNN dan PBS sebagai pembawa acara di kedua saluran TV tersebut.

10. Jurnalis Perempuan Asal Filipina: Maria Ressa

Nama dan profil Maria Ressa muncul pada majalah TIME edisi Person of the Year tahun 2018. Ia disebut sebagai salah satu jurnalis yang tidak henti melawan berita sesat atau hoaks. Upaya Ressa dalam memperjuangkan kebebasan pers pun bukan kisah yang asing lagi.

Maria Ressa merupakan jurnalis Filipina yang telah meniti kariernya di berbagai belahan dunia: menjadi reporter investigasi Asia untuk CNN, pemimpin divisi berita di ABS-CBN, menulis untuk The Wall Street Journal, dan mengajar di Princeton University. Ia kemudian mendirikan bisa dibilang adalah Rappler, media berita online yang didirikannya pada tahun 2012.

Di bawah kepemimpinannya, kritik terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengenai kebijakan-kebijakannya mengisi laman media berita tersebut. Karena sosoknya yang vokal tersebut, Ressa bahkan sempat beberapa kali ditangkap.

Rappler kini telah meraih berbagai macam penghargaan dan menjadi salah satu portal berita terbesar di Filipina.

11. Jurnalis Perempuan Indonesia: Roehana Koeddoes

Roehana Koeddoes Lahir di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1884, Roehana Koeddoes merupakan figur seorang pejuang intelektual yang dipanggil sebagai Wartawati Pertama Indonesia dan pelopor Pers Indonesia.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme


Hidup di era yang sama dengan R.A Kartini di mana pada waktu itu kaum perempuan masih tidak bisa mendapatkan pendidikan formal, Roehana beruntung karena punya sosok ayah yang mau mengajarinya banyak hal dari ia kecil, terutama dalam soal membaca, menulis, dan berbahasa.

Sejak ia kecil sudah banyak membaca buku-buku, Roehana tumbuh dewasa dengan pemikiran yang semakin hari semakin tajam, apalagi mengenai politik dan sadar pada isu-isu emansipasi, satu hal yang mendapat tentangan keras tidak cuma dari pemerintah Belanda, tapi juga kaidah agama serta budaya setempat.

Merasa tidak puas cuma berhasil membuat sekolah keterampilan buat perempuan Indonesia, Roehana pun membuat surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912, yang faktanya ternyata surat kabar yang ia bangun merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang dipimpin, dijalankan, dan ditujukan untuk kaum perempuan.

Dengan isu nasionalisme dan emansipasi perempuan dalam soal pendidikan, Roehana mengemban tugas sebagai pemimpin redaksi yang ikut dibantu oleh sosok Zubaidah Ratna Djuwita. Tak cuma jadi tempat untuk berpendapat para perempuan di Sumatra Barat, Sunting Melayu yang terbit seminggu sekali dan bertahan terbit sampai 9 tahun juga menerima tulisan dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Selain Sunting Melayu, Roehana juga pernah menjadi pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak di Medan serta surat kabar Radio dan Cahaya Sumatera di Padang. Karena jasanya yang besar dalam dunia jurnalistik, edukasi, dan politik, Roehana yang wafat pada tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta pun dianugerahi Bintang Jasa Utama oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2007 yang lalu.

Kisah-kisah sepuluh jurnalis perempuan ini tentu tidak cukup untuk menggambarkan kiprah dan prestasi jurnalis perempuan  di seluruh dunia. Namun, daftar ini dapat menjadi awal kita untuk menghargai perjuangan perempuan di dunia jurnalistik!

Read More

Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Dalam bidang jurnalistik, perjalanan untuk mewujudkan kesetaraan gender masih panjang. Hal ini dinyatakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tepat setahun lalu, pada peringatan Hari Perempuan Internasional dalam diskusi bertajuk “Mengevaluasi Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Apakah Sudah Setara”. Dalam diskusi tersebut, dikatakan bahwa jurnalis perempuan Indonesia hanya sekitar 30 hingga 35 persen dari total jurnalis profesional yang ada.

Dari segi jumlah, jurnalis perempuan memang masih kalah unggul dibanding laki-laki. Akan tetapi, kiprah mereka di dunia jurnalistik tidak bisa dianggap remeh. Dalam catatan sejarah, beberapa jurnalis perempuan telah menunjukkan kontribusinya dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa. Selain itu, ada pula dari mereka yang tidak gentar berpartisipasi dalam kritik terhadap pemerintah selama Orde Baru, dan berdedikasi dalam pekerjaannya hingga menduduki posisi-posisi penting di redaksi.

Berikut ini rekam jejak sejumlah jurnalis perempuan di Indonesia yang perlu kita ketahui untuk memahami seberapa signifikannya peran jurnalis perempuan.

Peran Jurnalis Perempuan Era Pra-Kemerdekaan

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, berbagai surat kabar berbahasa Indonesia telah muncul dan beredar di masyarakat. Surat kabar ternama seperti Bintang Timoer, Bintang Barat, Sinar Matahari, hingga Suara Asia terbit sebagai usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi, yang sering luput dari pengetahuan umum adalah keberadaan surat kabar Sunting Melayu yang didirikan oleh Rohana Kudus, salah satu pahlawan nasional Indonesia kita.

Terbit di Padang pada tahun 1912, Sunting Melayu merupakan surat kabar yang memuat tulisan-tulisan perempuan dan yang keseluruhan redaksinya dipegang oleh perempuan. Menurut Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, pergerakan kemajuan kaum perempuan di Indonesia semakin melesat berkat gagasan-gagasan Rohana dan perempuan lainnya dalam surat kabar tersebut.

Aspek yang patut digarisbawahi dari isi Sunting Melayu, menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dalam Seabad Pers Perempuan, adalah ketidakgentaran Rohana dalam menulis berita politik. Di bawah pengawasan pemerintahan kolonial, ia menulis bagaimana perempuan berhak mengikuti gerakan politik bersama para laki-laki dalam melawan penjajah.

Rohana pun turut menyadur tulisan-tulisan di luar Sunting Melayu tentang nasib perempuan di negara lain untuk menunjukkan kondisi dan keadaan mereka kepada seluruh masyarakat Indonesia, laki-laki maupun perempuan.

Apabila kita berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan peran S.K. Trimurti dan Ani Idrus. Berkat rekam jejak mereka, peran jurnalis perempuan terhadap kemajuan bangsa tidak terbantahkan lagi.

S. K. Trimurti, yang pada akhirnya menjabat sebagai Menteri Ketenagakerjaan pertama, merupakan seorang guru dan jurnalis yang gencar menggaungkan pesan anti-kolonial dalam pidato, ajaran, dan tulisan-tulisannya. Karya-karyanya mendorong Trimurti berkali-kali dipenjara oleh pemerintah Belanda dan Jepang.

Dalam tulisan Ipong Jazimah di Jurnal Sejarah dan Budaya, terlihat bahwa pada masa itu masih sangat tabu bagi perempuan untuk mengikuti aktivitas politik. Namun, Trimurti bersikeras masuk Partindo pada tahun 1933 demi mempelajari politik, dan tidak lama kemudian ia pun mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia untuk memberikan pembelajaran politik kepada perempuan lainnya.

Sementara itu, pemikiran Ani Idrus mengenai perempuan modern juga sama pentingnya. Tulisan-tulisan Ani Idrus, menurut Suriani dalam Jurnal Humanisma, berisi pernyataan bahwa perempuan tidak lagi bisa dipandang sebelah mata.

Ani Idrus banyak membahas norma-norma serta stigma di masyarakat yang membatasi perempuan, seperti yang terlihat dari posisinya sebagai satu-satunya jurnalis perempuan di Pewarta Deli. Menyusul modernitas yang tumbuh dari Politik Etis pemerintah Belanda, Ani Idrus mengingatkan masyarakat Indonesia, terutama para perempuan, untuk menyesuaikan diri dan tidak melepaskan budaya Timur sepenuhnya.

“Kita (perempuan) harus maju, modern, tetapi modern yang tidak merusakkan,” ujarnya.

Di samping ketiga nama ini, masih ada jurnalis-jurnalis perempuan ternama lainnya yang turut membangun kesadaran bangsa, seperti Siti Soendari dan Herawati Diah.

Kiprah Jurnalis Perempuan Pasca-kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan, berkembangnya industri media yang menguntungkan dunia jurnalistik juga disertai dengan ancaman terhadap kebebasan pers, terutama di zaman Orde Baru.

Pada saat itu, S.K. Trimurti masih ada di garda depan dan ikut menandatangani naskah Petisi 50 yang berisi kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Sementara itu, Ani Idrus menjadi penasihat Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia. Adapun Linda Tangdiala menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi yang membawahi setidaknya 30 jurnalis perempuan di Harian Bisnis Indonesia. Selain itu, ada juga peran Yuli Ismartono yang tidak berhenti meliput di wilayah peperangan untuk Tempo sebelum akhirnya rezim Orde Baru membredel majalah tersebut pada tahun 1993.

Baca juga: Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Usaha para jurnalis perempuan di sepanjang sejarah Indonesia pun menjadi acuan bagi perempuan lainnya untuk berkiprah dengan semangat juang yang sama di era reformasi. Rekam jejak jurnalis-jurnalis perempuan Indonesia yang ditorehkan sejak dahulu telah diteruskan dan dapat dilihat pada sosok-sosok seperti Maria Hartiningsih, Fransisca Ria Susanti, dan Hermien Y. Kleden.

Tantangan Jurnalis Perempuan Indonesia

Kini, semakin banyak jurnalis perempuan yang kita temui di media sehari-hari. Namun, tantangan yang mereka hadapi tetap sama. Data yang diperoleh Aliansi Jurnalis Independen dalam pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hak-hak yang seharusnya mereka miliki di ruang kerja belum terpenuhi.

Gaji jurnalis perempuan masih di bawah standar Upah Layak Jurnalis di tiap kota. Masih banyak perusahaan yang belum memberikan cuti haid; bahkan di beberapa daerah, perusahaan tidak memberikan cuti melahirkan. Di samping itu, ruang khusus menyusui juga belum banyak ditemukan.

Terlepas dari meningkatnya rasio perempuan yang menjadi jurnalis, hanya enam persen dari mereka yang dapat menduduki jabatan tinggi atau posisi pengambil keputusan di ruang redaksi. Masalah ini belum berubah dalam riset Stellarosa dan Silaban dalam Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis pada tahun 2018, yang menambahkan bahwa isu pelecehan seksual terhadap jurnalis perempuan masih sering diabaikan.

Ketua Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal Endah Lismartini memberikan pendapat senada dengan hasil riset tersebut. Dalam diskusi yang diselenggarakan AJI tahun lalu, ia mengatakan bahwa salah satu rekan jurnalisnya bahkan dilecehkan oleh aparat negara.

“Saat dia liputan demo, [dia] dikejar-kejar dan dilecehkan,” kata Endah seperti dikutip dari Suara.com.

Di samping itu, Endah mengungkapkan pula bahwa jurnalis perempuan yang sudah berkeluarga sering kali dipindahkan ke bagian soft news seperti gaya hidup dan busana alih-alih politik atau hukum. Pasalnya, divisi-divisi yang terakhir disebutkan itu dianggap lebih “berat” bagi mereka.

“[Jurnalis perempuan] dipindahkan bukan karena kapabilitas, tapi karena sudah punya anak,” ujar Endah.

Data di atas merupakan pekerjaan rumah negara; pekerjaan rumah yang belum selesai bertahun-tahun lamanya. Untungnya, organisasi seperti Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) telah terbentuk untuk membantu kebutuhan perempuan di dunia jurnalistik.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Masih sulit untuk mengetahui kapan perubahan signifikan akan terjadi. Namun, setidaknya setiap usaha menunjukkan bahwa semangat perjuangan Rohana dan kawan-kawan perempuannya tetap ada dan semakin menguat.

Radhiyya Indra, dengan buku Murakami di tangan, Maya Deren di laptop, Velvet Underground di telinga, dan album K-Pop di rak buku, menghabiskan waktunya dengan menulis hingga sakit kepala.

Read More