kantor berbudaya maskulin

Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Penulis: Kanti Pertiwi dan Riani Rachmawati

Kantor Berbudaya Maskulin – Pandemi COVID-19 yang mendera dunia saat ini telah berdampak pada seluruh sendi kehidupan, termasuk kehidupan para pekerja perempuan. Beberapa laporan dan studi menyoroti bagaimana pekerja perempuan di seluruh dunia semakin terbebani selama pandemi karena mereka kini harus menyelesaikan pekerjaannya sambil melakoni peran-perannya sebagai ibu rumah tangga.

Riset yang sedang penulis pertama (Kanti Pertiwi) lakukan menunjukkan kondisi yang serupa juga dialami oleh pekerja perempuan di Indonesia. Pengumpulan data berlangsung sejak Juni hingga Agustus 2020 dengan melibatkan total 96 perempuan pekerja kantoran yang berusia antara 20 dan 50 tahun.

Hasil wawancara dan penelusuran dalam riset tersebut menunjukkan bahwa perempuan pekerja menghadapi beban mental yang cukup berat selama pandemi. Kondisi tersebut bertambah buruk pada perempuan yang bekerja di kantor yang mengedepankan perspektif laki-laki dan sering mengabaikan kebutuhan perempuan. Kami menyebutnya sebagai organisasi maskulin.

Kantor Berbudaya Maskulin: Beban Mental Bertambah

Hampir setengah populasi Indonesia adalah perempuan, namun tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia masih rendah yaitu 53 persen pada 2019. Artinya, dari seluruh perempuan usia produktif, hanya setengahnya yang bekerja. Hampir 40 persen pekerja perempuan bekerja di sektor formal termasuk di dalamnya pekerja kantoran.

Riset yang penulis pertama lakukan terhadap pekerja perempuan kantoran menunjukkan mayoritas responden riset mengakui bahwa beban mental mereka bertambah selama pandemi. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan kantor sambil mendampingi anak belajar dari rumah pada siang hari.

Belum lagi berurusan dengan tugas-tugas rumah tangga yang biasa mereka pikul. Situasi konflik dan emosi-emosi negatif dan menjadi hal yang jamak dirasakan perempuan.

Pada malam hari, beberapa perempuan mengaku harus begadang hingga larut untuk memenuhi permintaan atasan yang sejak munculnya pandemi semakin tidak mengenal batas waktu.

Bekerja dari rumah kini artinya bekerja kapan saja di mana saja nyaris tanpa henti. Hal ini diperparah dengan asumsi bahwa pekerja banyak yang tidak produktif dan bermalas-malasan ketika bekerja dari rumah selama pandemi.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Ketiadaan ruang kerja khusus di rumah serta keterbatasan gawai dan akses internet turut membuat kondisi semakin rumit. Kebijakan memberikan opsi kepada ibu yang punya anak di bawah lima tahun untuk bekerja dari rumah tapi tidak untuk para bapak, malah semakin menambah beban para perempuan.

Namun, meski dengan beban mental yang bertambah, tingkat kebahagiaan perempuan cukup baik. Mayoritas perempuan mengakui bahwa mereka cukup bahagia bisa bekerja dari rumah selama pandemi karena adanya kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah.

Kebersamaan bersama anak berkontribusi besar dalam membangun pengalaman positif bagi perempuan terutama bagi mereka yang bekerja di kota besar seperti Jakarta. Kebanyakan pekerja perempuan kantoran di Jakarta harus menghabiskan banyak waktu untuk melaju.

Temuan yang terkesan kontradiktif tersebut menggarisbawahi pentingnya memahami pengalaman subjektif perempuan misalnya terkait bagaimana mereka menilai karier dan peranan mereka di keluarga.

Sebagian perempuan memandang bahwa beban tambahan tersebut bukan sesuatu yang menjadi masalah karena hal tersebut sejalan dengan ideologi gender tradisional yang mengajarkan bahwa laki-laki seharusnya berperan sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengelola rumah tangga. Sementara, sebagian perempuan lainnya melihat pentingnya menegosiasikan pembagian tugas dan mempertanyakan ideologi tersebut.

Tekanan dari Kantor yang Maskulin

Beban perempuan semakin berat ketika mereka harus bekerja untuk organisasi, perusahaan, atau kantor berbudaya maskulin. Di sana, alat ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meski dalam kondisi wabah.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Perempuan tak jarang berada dalam situasi terjepit antara harus melakukan pekerjaan yang datang, di saat ia juga harus berperan sebagai istri dan ibu di keluarga. Mereka juga dituntut selalu tampil prima di layar daring dan mempertahankan identitas profesional tertentu, dan harus mampu melakoni berbagai tugas sekaligus pada saat yang bersamaan.

Para perempuan juga mengeluhkan adanya mekanisme pengawasan yang berlebihan dan melanggar batas-batas privasi dan kemanusiaan selama bekerja dari rumah. Para pekerja, baik perempuan maupun laki-laki, harus mengisi kehadiran secara daring dan mengaktifkan kamera untuk menunjukkan lokasi real-time mereka. Sedikit saja kendala teknis dapat berakibat pada dipotongnya penghasilan.

Studi terdahulu mengungkap bagaimana keberadaan organisasi maskulin dan praktik-praktik represifnya pada pekerja perempuan tidak dapat dilepaskan dari warisan kolonialisme yang berdampak pada lingkungan kerja yang tidak ramah perempuan.

Proses kolonialisme turut menyebarkan paham patriarki yang mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan. Kolonialisme yang berkelindan dengan kapitalisme berkontribusi pada praktik kerja yang meminggirkan perempuan.

Kolonialisme juga menciptakan kelas-kelas di antara pekerja perempuan itu sendiri. Hal ini membuat ada sebagian perempuan yang menikmati penghasilan dan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Sementara, perempuan-perempuan yang dikategorikan sebagai pekerja dengan keterampilan rendah seperti para pekerja pabrik cenderung bernasib sebaliknya.

Perlunya Regulasi

Indonesia adalah salah satu negara yang paling ketat mengatur ketenagakerjaan melalui ratifikasi 19 konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Perlindungan terhadap pekerja perempuan diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, hak-hak perempuan untuk hamil, mendapatkan cuti melahirkan, cuti keguguran, dan menyusui diatur.

Baca juga: Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah

Namun sayangnya, selama pandemi pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan peraturan yang mengikat mengenai kondisi kerja, baik di sektor swasta maupun di sektor pemerintah sendiri, apalagi khusus mengatur tentang pekerja perempuan.

Peraturan yang dikeluarkan selama ini hanya terkait tentang gaji dan jaminan sosial buruh saat pandemi. Sementara, kebijakan terkait kesehatan dan kondisi kerja pekerja selama COVID-19 tidak diatur dengan tegas, hanya berbentuk surat edaran dan sangat terbatas pelaksanaannya karena bergantung pada perusahaan atau pengusahanya. Akibatnya banyak hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi, terlebih para pekerja perempuan.

Untuk mengatasinya, peran serikat pekerja perlu dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja pada masa krisis. Namun, struktur serikat pekerja yang saat ini masih didominasi laki-laki. Karena itu, perempuan harus lebih aktif dalam kegiatan dan kepengurusan serikat pekerja untuk menyampaikan aspirasinya. Jika organisasi tempat perempuan bekerja belum memiliki serikat pekerja, maka mereka harus memulainya.

Pada tataran pembuat kebijakan, pemerintah harus membuat aturan yang bisa mengubah praktik-praktik ketenagakerjaan yang maskulin menjadi lebih peka terhadap berbagai isu yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong lebih banyak studi yang lebih fokus pada isu gender di kantor berbudaya maskulin. Dengan adanya studi yang komprehensif, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang berbasis bukti untuk melindungi pekerja perempuan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Kanti Pertiwi adalah pengajar bidang Organisation Studies, Universitas Indonesia. Riani Rachmawati adalah pengajar bidang Hubungan Industrial dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Universitas Indonesia.

Read More

‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Penulis: Siti Parhani

Serial Unbelievable (2019) di Neflix, yang diangkat dari kisah nyata, memperlihatkan bagaimana nilai-nilai feminin dalam kepemimpinan memberikan hasil yang berbeda saat menangani kasus pemerkosaan berantai. Dalam memecahkan kasus yang pelik karena tidak adanya barang bukti, detektif laki-laki digambarkan cenderung cepat mengambil kesimpulan dan malah menyalahkan korban berbohong, sampai akhirnya korban dipaksa mengaku dirinya tidak diperkosa dan bahwa laporannya adalah palsu.

Sementara itu, ketika kasus tersebut diambil alih oleh detektif perempuan, mereka berempati, jujur, dan percaya pada korban. Kemudian mereka memilih berkolaborasi dengan sesama detektif perempuan yang sedang menangani kasus serupa, hingga akhirnya kasus itu bisa terungkap dan si pemerkosa diciduk lalu mendekam di penjara.

Ini sebuah contoh kecil dan anekdotal, namun beresonansi dengan situasi di kehidupan nyata. Hal ini tidak hanya menyangkut penanganan kekerasan seksual, tapi mengenai kepemimpinan perempuan. Bagaimana nilai-nilai feminin itu penting dalam kepemimpinan yang efektif.

Dalam penggalan cerita itu terlihat jelas bagaimana penanganan kasus bisa berujung sangat berbeda ketika mengedepankan empati, kolaborasi, dan kesabaran—sifat-sifat yang secara umum dikaitkan dengan perempuan, atau sifat-sifat “feminin”. Hal ini bertolak belakang dengan sikap arogan, tidak berempati, dan langsung memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan mendalam, yang dianggap sebagai sifat-sifat “maskulin”.

Perbedaan penanganan masalah dan hasilnya ketika menggunakan sifat-sifat tersebut mendorong John Gerzema dan Michael D’Antonio dari Amerika Serikat melakukan survei soal ini, yang hasilnya kemudian menjadi buku berjudul The Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule the Future (2013).

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Gerzema adalah CEO dari firma penelitian dan pemasaran The Harris Poll, yang berfokus pada ilmu sosial, sementara D’Antonio adalah penulis dan jurnalis. Pada 2010, keduanya merilis hasil penelitian di puluhan negara tentang krisis ekonomi global 2008 yang berjudul Spend Shift. Mereka menemukan fakta bahwa keberhasilan sebagian besar pebisnis, pemimpin, dan creator dunia dalam menangani krisis adalah karena menjalankan nilai-nilai yang secara luas dianggap feminin itu tadi. Padahal sebagian besar responden yang mereka teliti adalah laki-laki.

Keduanya melihat bahwa orang-orang yang beradaptasi dengan masa-masa kelam karena krisis ekonomi global 2008 lebih pragmatis dalam menjalani hidup, dan kurang mengejar “status” atau “jabatan”. Orang-orang ini sering disebut sebagai Silent Generation, yang menggapai kebahagiaan tanpa standar-standar umum soal kekayaan, jabatan, maupun koleksi properti.

Dalam Spend Shift disebutkan pula bahwa anak-anak muda sekarang ini lebih mengagumi tipe-tipe orang seperti Silent Generation itu karena fleksibilitas mereka. Gerzema dan D’Antonio kemudian mulai memikirkan kemungkinan bahwa nilai-nilai feminin, yang sering kali dianggap bukan karakteristik unggul dan bahkan menghambat keberhasilan kepemimpinan, justru merupakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin laki-laki maupun perempuan di masa depan.

Fakta tersebut kemudian mendorong mereka untuk memperdalam penelitiannya, dengan melakukan survei kepada 54 ribu orang yang terdiri dari CEO, pemimpin negara, diplomat, ilmuwan, pendidik, pemimpin militer, dan pebisnis di 13 negara lintas benua Amerika, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia.

Selama dua tahun, Gerzema dan D’Antonio tidak hanya bertanya tentang aspek kesuksesan secara angka kepada orang-orang yang mereka temui. Mereka juga meneliti, apa yang membuat dunia menjadi lebih berarti dan membuat orang-orang bahagia selama proses pemulihan seusai krisis ekonomi.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Dari responden tersebut, hampir 86 persen orang merasa terlalu banyak kekuatan ada di tangan institusi besar dan korporasi. Sebanyak 74 persen merasa dunia semakin tidak adil dan 51 persen responden menghawatirkan masa depan anak-anak mereka kelak.

Hasil survei dan analisis ini membuat Gerzema dan D’Antonio sampai pada sebuah kesadaran bahwa dunia memang sedang mengalami kecemasan tentang kepemimpinan.

Lahirlah The Athena Doctrine, yang kemudian langsung masuk ke daftar buku terlaris oleh The New York Times pada 2012. Buku ini berhasil menjabarkan apa itu nilai-nilai maskulin dan feminin secara lebih ilmiah dan nyata karena menekankan pada data.

Athenasendiri diambil dari nama dewi Yunani, yang disebut sebagai pemimpin yang mempunyai sifat empati, fleksibel, dan bijak, serta berintegritas, tegas, dan percaya diri namun tidak melupakan kewajiban untuk merangkul sesama.

Nilai-nilai feminin, yang sering kali dianggap bukan karakteristik unggul dan bahkan menghambat keberhasilan kepemimpinan, justru merupakan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin laki-laki maupun perempuan di masa depan.

Buku Athena Doctrine Serta Kekecewaan pada “Kepemimpinan Maskulin”

Di tengah krisis karena pandemi seperti sekarang, dengan anjloknya perekonomian, pekerja banyak yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja), dan sejumlah bisnis yang gulung tikar, kita masih sering disuguhi pemberitaan tentang para pemimpin yang korupsi, terlibat skandal pelecehan seksual, atau mengeluarkan pernyataan tidak berfaedah.

Isu-isu kepemimpinan laki-laki yang arogan ini menjadi subjek survei The Athena Doctrine. Hampir 57 persen orang dewasa, menurut buku itu, mengatakan tidak puas dengan kinerja pemimpin laki-laki di negaranya. Dan yang paling menarik 59 persen generasi Milenial secara keseluruhan tidak puas dengan kepemimpinan laki-laki.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Generasi Milenial cukup penting disebutkan di sini, karena generasi ini tumbuh dengan lingkungan yang lebih terbuka, toleran, dan tidak selalu terpaku pada peran gender normatif. Mereka lebih cenderung mengapresiasi nilai feminitas sebagai kemampuan, serta menerima kepemimpinan perempuan di masyarakat. Gerzema dan D’Antonio menemukan bahwa generasi ini lebih tertarik membangun koneksi dan komunitas dibandingkan menumpuk uang dan meraih jabatan.

“Hampir 66 persen orang dewasa menjawab jika dunia akan lebih baik jika laki-laki mempunyai pola pikir seperti perempuan. Sebanyak 63 persen laki-laki setuju, dan 65 persen generasi Milenial juga setuju,” tulis Gerzema.

Hasil survei di setiap negara sebagian besar setuju bahwa nilai-nilai feminin lebih berkorelasi dengan kebahagiaan. Para responden percaya, salah satu kunci menghadapi kondisi “new normal” pasca-pandemi adalah nilai kesabaran, loyalitas, dan fleksibilitas.

Gerzema dan D’Antonio percaya bahwa model kepemimpinan yang lebih ekspresif, lebih terbuka dan jujur dalam mengekspresikan perasaan serta emosinya, serta menghadirkan solusi dalam perspektif yang beragam, lebih diharapkan oleh masyarakat. Saat tengah menghadapi krisis misalnya, banyak pihak yang lebih ingin terkoneksi dengan pemimpin secara personal dan saling menguatkan satu sama lain. Hal ini lebih diinginkan daripada pemimpin yang menyembunyikan agendanya dan mengedepankan ideologinya sendiri–karakteristik yang sering diasosiasikan dengan nilai maskulin.

Siti Parhani merupakan reporter Magdalene. Bisa dipanggil Hani. Mempunyai cita-cita utopis bisa hidup di mana latar belakang manusia tidak jadi pertimbangan untuk menjalani hidup.

Read More
mitos soal perempuan

Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Kerja

Mitos Soal Perempuan – Pada akhir Juli lalu, sejumlah dokter perempuan memublikasikan foto mereka berbikini di media sosialnya dengan tagar #MedBikini. Foto-foto tersebut diunggah sebagai reaksi atas sebuah riset yang dirilis baru-baru ini di Journal of Vascular Surgery.

Dalam jurnal yang dibuat oleh para peneliti laki-laki tersebut, dinyatakan bahwa konten media sosial tak profesional seorang dokter bisa memengaruhi pilihan pasien terhadap dokter, rumah sakit, dan fasilitas medis yang hendak mereka akses. Salah satu konten tak profesional yang dinyatakan dalam riset tersebut adalah memakai pakaian dalam, kostum Halloween, dan pose provokatif dalam balutan baju renang atau bikini.  

Dilansir The Independent, sederet dokter perempuan membantah hal tersebut dan merasa memakai bikini adalah hal normal yang bisa dilakukan siapa saja, apalagi jika sedang berlibur. Salah satu di antara mereka menyatakan pula, “Ini [memakai bikini] tidak membuatku tak profesional atau tidak sepandai atau sesimpatik kolega laki-lakiku”. Seiring kecaman di media sosial, editor jurnal tersebut pun meminta maaf karena memublikasikan riset yang dianggap seksis oleh banyak orang tersebut.

Pandangan perempuan tidak profesional bila menunjukkan sejumlah konten media sosial seperti kasus tadi, serta berbagai anggapan atau mitos soal perempuan di dunia kerja tidak jarang menjadi hambatan untuk mereka berkarier atau menempati posisi lebih tinggi di kantornya. Ketika perempuan menunjukkan kepercayaan diri dan bertindak mengatur rekan kerjanya yang lain sebagai bagian dari pekerjaannya, ia sering dicap bossy, resek, atau cerewet, tetapi tidak demikian dengan laki-laki.

Hal ini terlihat dari cerita Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia mengenai pengalaman putrinya di tempat kerja.

Baca juga: Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

“Anak saya cerita, ‘saya dibilang bossy sama temen-temen, jadi ya sudahlah, saya enggak mau lagi menggerakkan temen-temen, ngatur-ngatur seperti ini’. Padahal, dia punya jiwa kepemimpinan. Coba kalau itu anak laki-laki yang begitu, anggapannya ‘wah ini nih, calon pemimpin masa depan’. Itu anggapan dari kecil yang mesti kita dobrak,” ujar Dini.

Berikut ini adalah beberapa mitos atau generalisasi keliru lainnya soal perempuan di dunia profesional.

Karier Nomor Dua Setelah Rumah Tangga dan Anak

Ada perempuan yang memang menganggap karier nomor dua setelah rumah tangga dan anak, dan itu sah-sah saja. Tetapi malangnya, contoh-contoh dari perempuan yang mendahulukan keluarga menjadi bahan generalisasi untuk semua perempuan di dunia karier. Kenyataannya, perempuan juga bisa sama level dedikasinya dengan laki-laki di pekerjaan, sama-sama bisa berorientasi pada kariernya. Seiring dengan itu, dari segi kualitas dan kuantitas kerja yang dihasilkan pun juga bisa setara.

Ketika ada perempuan yang menonjol kariernya, orang-orang justru mengomentari masalah pribadinya, alih-alih berfokus pada pencapaiannya di pekerjaan. Misalnya, Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women (IBCWE) Maya Juwita pernah ditanya perihal status pernikahannya.

Saya kan memang belum menikah. Lalu saya ditanya, belum menikah? Nanti keburu expired, loh. Saya merasa seperti sekaleng kornet, ada expiry date-nya. Oke memang jam biologisnya ada, tapi apakah nilai keperempuanan saya berkurang hanya karena saya memutuskan tidak punya anak? Enggak lah,” kata Maya.

Anggapan perempuan akan lebih mendahulukan keluarganya juga sering menghambat mereka untuk mendapat kesempatan promosi atau kerja di tempat jauh. Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena ada perempuan yang punya dukungan di rumah tangga, baik dari pasangan atau support system lain, sehingga berkarier dan mengejar capaian-capaian di dalamnya bisa beriringan dengan menjalankan rumah tangga. 

Read More
Gaya Kepemimpinan Feminis

Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Ditulis oleh Patresia Kirnandita
Ilustrasi oleh Karina Tungari

Kendati banyak bermunculan pemimpin-pemimpin perempuan, omongan negatif mengenai mereka masih kerap ditemukan dibanding hal-hal positif yang ditangkap dari gaya kepemimpinan feminis. Namun bagi beberapa orang yang kami wawancarai, dipimpin oleh seorang perempuan mendatangkan beberapa keuntungan.

“Rezky”, seorang karyawan swasta, misalnya, mengatakan lebih suka dipimpin oleh bos perempuan karena efisiensi mereka.

“Di tempat gue bekerja sekarang, bos gue perempuan, manajer-manajernya mayoritas juga perempuan. Gue melihat, pemimpin perempuan itu lebih terukur dan terarah, dan gue suka yang terukur dan terarah,” kata Rezky.

Sementara menurut “Roland” yang bekerja di lembaga non-pemerintah, pemimpin perempuan sebagaimana yang ia temui cenderung lebih mumpuni dibandingkan laki-laki karena biasa menghadapi stigma dan menerobos batasan-batasan tradisional masyarakat.

“Jadi mereka cenderung punya sifat berani mengambil risiko, tapi juga di satu sisi mempertimbangkan dengan baik langkahnya. Hati-hati dan lebih detail. Mereka bisa sangat tegas, tapi juga mengayomi dan sensitif. Ini kualitas yang langka kita temukan di pemimpin laki-laki. Kepemimpinan perempuan itu lebih kolaboratif dan konstruktif,” jelas Roland.

Senada dengan dua orang ini, “Selfi” pun merasa pemimpin perempuan lebih cenderung membangun kesadaran kolektif yang mendorong orang bersama-sama bertindak demi kebaikan diri sendiri dan semua oran,g dibanding berfokus pada keinginan mendominasi atau memaksakan kehendak.

“Ini terlihat saat saya dipimpin mulai oleh mama saya sendiri, ketua OSIS saya, sampai ketua yayasan saya sekarang. Mereka bisa menyeimbangkan antara kinerja profesional dan urusan personal,” ucap perempuan yang berprofesi sebagai wartawan ini.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia soal Kepemimpinan Perempuan

Ia menambahkan, sekalipun ada teman-temannya yang menilai bosnya galak dan agak demanding, ia masih bisa melihat sisi positif dari gaya kepemimpinan bosnya yaitu punya kepedulian yang tinggi.

Gaya Kepemimpinan Feminis

Dari cerita-cerita para pegawai ini, kita dapat menangkap sejumlah sifat yang dilekatkan dengan gaya kepemimpinan feminis yang membuat mereka lebih senang berada di bawah komandonya. Namun, selain sifat-sifat feminin, kita juga perlu mengenal gaya kepemimpinan feminis yang bisa mendatangkan banyak keuntungan dalam kehidupan berorganisasi.

Jika ditilik dari definisinya, ada bermacam-macam pendapat mengenai kepemimpinan feminis. Akademisi dan aktivis India, Srilatha Batliwala, dalam tulisannya “Feminist Leadership for Social Transformation: Clearing the Conceptual World” tahun 2010 merangkum beberapa definisi sejumlah feminis mengenai hal ini.

Beberapa di antaranya adalah bahwa kepemimpinan feminis memiliki agenda untuk membangun penilaian diri perempuan untuk memperkuat kepemimpinannya, juga agenda untuk membekali perempuan dengan kemampuan, sumber daya, dan akses untuk mengambil keputusan sehingga mereka bisa punya kekuatan untuk membuat perubahan dalam komunitasnya.

Pengalaman Vice Chairwoman PT Martha Tilaar Group, Wulan Tilaar menunjukkan hal ini. Ia menyatakan bahwa perusahaannya memikirkan bagaimana industri kecantikan bisa membawa dampak positif bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi para perempuan agar mereka bisa mandiri dan percaya diri. Caranya adalah dengan membekali mereka dengan seperangkat kemampuan tertentu yang menurut Wulan merupakan senjata bagi para perempuan tersebut.

Read More
kepemimpinan perempuan

Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan – “Setelah 35 tahun berkarier di politik Islandia, saya menyimpulkan bahwa perempuan umumnya lebih baik dari pada laki-laki dalam memastikan keadilan di masyarakat. Dunia akan menjadi lebih baik jika jumlah perempuan dan laki-laki dalam memimpin setara. Kebenaran teori tersebut saya buktikan di tahun 2009, ketika saya menjadi perdana menteri Islandia yang sedang menghadapi masa kekacauan ekonomi yang sangat parah.”

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Johanna Sigurdardotti, mantan perdana menteri Islandia yang berperan besar dalam pemulihan ekonomi negara tersebut, menyusul krisis finansial terburuk pada 2008.

Dalam tulisannya yang berjudul Give Women a Chance, and They Will Change The World di The New York Times, Sigurdardotti menggambarkan betapa buruknya situasi yang harus ia hadapi saat krisis ekonomi melanda Islandia. Sebagian besar orang kehilangan tabungan mereka. Utang tanggungan keluarga meningkat hingga proporsi yang tidak terkendali. Tingkat penggangguran naik drastis dari 2,5 persen ke angka 7,1 persen hanya dalam jangka waktu lima bulan. Perekonomian negara yang disebut The Land of Fire and Ice itu semakin meradang dengan inflasi yang mencapai 11,6 persen. Sebagai negara kecil dengan populasi hanya 330.000 orang, Islandia pada waktu itu berada di ambang kebangkrutan.

Malapetaka finansial tersebut dimulai sejak liberalisasi ekonomi Islandia pada 1990-an. Waktu itu, Islandia yang bergantung pada pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan mulai beralih pada sektor manufaktur, jasa, dan pariwisata. Pada 1994, Islandia memutuskan bergabung dengan European Economic Area (EEA), yang ternyata cukup mempengaruhi peningkatan ekonomi negara itu secara signifikan. Pada 2003, dunia perbankan berubah setelah mantan Perdana Menteri Davio Oddson yang sekaligus merangkap Gubernur Bank Sentral Islandia melakukan privatisasi tiga bank milik negara yaitu Lansbanki, Glitnie, dan Kaupthing.

Bank-bank tersebut awalnya meraup sukses besar dan membuka cabang-cabang baru di Inggris, Belanda, dan Jerman. Proses tersebut membuat pasar domestik Islandia semakin melejit, sampai Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Islandia di tahun 2007 menyentuh angka US$21.294 miliar. Islandia kemudian dinobatkan oleh PBB sebagai tempat terbaik untuk hidup di tahun tersebut.

Semua pencapaian itu sirna seketika saat krisis finansial global melanda pada 2008, yang dipicu kredit macet di pasar global. Islandia yang mengandalkan sektor perbankan langsung mengalami dampak besar karena pemasukan bank terbesar berasal dari pinjaman jangka pendek. Dalam waktu singkat ketiga bank tersebut dinyatakan bangkrut dan segera di nasionalisasi oleh pemerintah Islandia.

Saat pemerintah sedang kalang kabut, lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menawarkan dana talangan, tentunya dengan bunga yang tinggi. Geir Haarde, Perdana Menteri Islandia saat itu, tak berpikir panjang dan langsung menyetujui proposal IMF. Rakyat Islandia tidak tinggal diam. Mereka menggelar aksi protes dengan turun ke jalan membawa panci dan alat-alat masak lainnya, menuntut pemerintah untuk mundur. Peristiwa ini dinamai dengan “Revolusi Panci” dan berhasil membuat Geir Haarde mungundurkan diri.

Pemerintah Islandia berbenah. Mereka tidak ingin lagi dipimpin oleh laki-laki sembrono yang tamak dan hanya mementingkan keuntungan pendapatan negara, sementara kesejahteraan rakyat dan kesenjangan sosial yang harusnya diprioritaskan luput dari perhatian.

Read More
kepemimpinan perempuan di organisasi

Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

Keberagaman dalam Kepemimpinan – Di berbagai bidang pekerjaan, kendati partisipasi perempuan telah meningkat dari waktu ke waktu, persentase mereka yang menjadi pemimpin masih jauh di bawah laki-laki.

Di bidang pendidikan, misalnya, para peneliti dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menyatakan bahwa dari total sekitar 1,4 juta guru SD di Indonesia, hampir satu juta di antaranya adalah perempuan, atau hampir 70 persen. Namun ketika berbicara soal perempuan kepala sekolah, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya bahkan kurang dari 20 persen.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Berikutnya, di bidang kesehatan. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), kendati perempuan mendominasi jumlah tenaga kesehatan, khususnya profesi perawat, hanya sedikit dari mereka yang menduduki posisi pemimpin dalam sistem kesehatan.

Pada akhir 2019, peneliti dari Universitas Airlangga melakukan riset terhadap 352 pejabat publik yang bekerja di organisasi dinas kesehatan di dua provinsi. Ia menemukan bahwa meskipun perempuan dan laki-laki tenaga kesehatan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan yang jenjang kariernya terhenti sampai tingkat kepala seksi saja. Sementara, pemimpin laki-laki bisa melangkah sampai level kepala bidang hingga kepala dinas.

Tidak hanya itu, jika melihat dari sisi pemerintahan, pemimpin perempuan setingkat menteri masih kalah jauh jumlahnya dibanding laki-laki. Sampai sekarang, setidaknya Indonesia telah memiliki 20 orang menteri kesehatan, tetapi hanya empat di antaranya yang perempuan.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Dalam laporan Women in Business 2020 yang dirilis Grant Thornton International, firma akunting dan pajak internasional, disebutkan bahwa Indonesia menempati urutan keempat dalam jumlah perempuan di posisi manajemen senior dengan angka 37 persen. Hal ini dipandang sebagian pihak sebagai suatu prestasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di tempat kerja.

Namun, Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia yang bergerak di bidang pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan, persentase tersebut dikatakan terlalu optimistis. Ia memandang, di level teratas pemimpin perusahaan, hanya sekitar lima persen perempuan yang menyandang jabatan seperti direktur atau komisaris.  

Adanya budaya yang menempatkan tanggung jawab lebih besar kepada perempuan untuk urusan rumah tangga menjadi kendala yang kerap kali menghambat perempuan menjadi seorang pemimpin atau mencapai level tinggi dalam tangga kariernya.

Selain itu, sekalipun seorang pekerja perempuan masih lajang dan mendapat tawaran posisi karier lebih tinggi, banyak orang tua yang merasa khawatir atau enggan bila anaknya ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumah sehingga kesempatan itu akan dilewatkannya. 

Read More

Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Pemimpin Perempuan Kendalikan Covid-19 – Walaupun menjadi salah satu contoh negara yang dapat mengendalikan penyebaran virus corona (COVID-19), Selandia Baru tetap tidak melonggarkan kewaspadaan mereka. Dilansir dari media The Guardian, dalam pidatonya minggu lalu, Perdana Menteri Jacinda Ardern mendesak masyarakat agar tidak berpuas diri dengan keadaan saat ini, dan tetap waspada dengan kemungkinan gelombang baru pandemi COVID-19.

Sudah hampir dua bulan negara itu tidak memiliki kasus baru. Menurut data Kementerian Kesehatan Selandia Baru, per 22 Juli 2020, jumlah total kasus terkonfirmasi mencapai 1.555 kasus, pasien sembuh 1.506 orang, dan pasien meninggal adalah 22 orang.

Sejak awal menangani pandemi, Ardern merupakan salah satu pemimpin negara yang secara sigap memberlakukan pembatasan sosial yang ketat, bersamaan dengan pemberlakuan tes massal, ,dan yang terpenting adalah keterbukaan komunikasi publik secara reguler.

Dalam menangani pandemi virus corona bukan hanya cepat menanggapi situasi dunia, setiap menyampaikan informasi kepada publik, kepemimpinan Jacinda Ardern selalu memperlihatkan empati dan kasih sayang. Dalam salah satu pidato publiknya, Ardern juga berkomunikasi kepada anak-anak dengan memberikan analogi peri gigi dan kelinci paskah sebagai pekerja penting yang saat ini harus di rumah saja karena COVID-19.

Selain Selandia Baru, Taiwan juga merupakan negara super sigap dalam penanganan kasus COVID-19. Dibantu oleh Wakil Presiden Taiwan, Chen Chien Jen,  yang juga seorang epidemiolog, kepemimpinan Presiden Tsai Ing Wen secara  drastis menekan kasus COVID-19 di Taiwan. Sampai 22 Juli 2020, kasus positif di Taiwan mencapai 455 kasus, dengan pasien sembuh sebanyak 440 orang dan total kematian tujuh kasus.

Tentu saja respons seperti ini tidak muncul secara spontan. Mengutip The Conversation,  kesigapan Taiwan menghadapi krisis ini merupakan pembelajaran dari penanganan kasus wabah SARS pada tahun 2002. Pemerintah Taiwan secara cepat mengontrol perbatasan mereka dan mengimplementasikan 124 tindakan untuk mencegah penyebaran COVID-19.  

Ardern dan Tsai Ing Wen merupakan dua contoh pemimpin perempuan yang berhasil menavigasi negaranya mengarungi COVID-19. Negara-negara lain adalah Jerman, Denmark, Finlandia, dan Norwegia, yang semuanya dipimpin oleh perempuan. Mereka tidak hanya mengandalkan kebijakan berbasis sains saja, tetapi juga bersikap kolaboratif dan penuh empati dalam penanganan krisis ini.

Read More

Primadona dalam Arsitektur Masih Laki-laki

Primadona dalam Arsitektur – Setengah penduduk dunia adalah perempuan, namun di banyak bidang profesi, perempuan masih menjadi minoritas. Tidak terkecuali dalam arsitektur.

Martha Thorne, Direktur Eksekutif Pritzker, penghargaan setara Nobel dalam bidang arsitektur, mengatakan bahwa profesi arsitek masih sangat konservatif dan resisten terhadap perubahan karena arsitek selalu melihat ke “belakang”, bukan ke depan. Dia menyoroti kultur pengkultusan individu-individu tertentu, yang cemerlang dan dianggap seniman, yang membuat arsitektur seperti sebuah cult. Dalam lingkar yang rapat dan tersentral inilah, toleransi yang sangat besar diberikan kepada individu cemerlang tadi, terkait sikap dan keputusan-keputusan desain mereka.

Kekaguman berlebihan ini melahirkan hierarki; ada yang kastanya lebih tinggi dari yang lainnya. Ada satu individu sempurna yang menjadi pusat orbit dari arsitek-arsitek lain yang “lebih tidak cemerlang”. Dan dalam sistem kasta inilah lahir dominasi, eksploitasi, dan akhirnya menubuh menjadi patriarki.

Dennis Scott Brown, menulis sebuah esai penting di tahun 1975 yang menyebut arsitektur sebagai “boy’s club” dan menyamakannya dengan praktik otoriter. Dan dia berkeyakinan bahwa ini terkait erat dengan pengkultusan individu cemerlang tadi, yang dalam tulisannya disebut sebagai “star system.” Saat ini mungkin kita mengenalnya dengan sebutan starchitect. Dia menjelaskan secara lugas:

“Mengapa arsitek suka menciptakan ‘idola’? Karena, menurutku, arsitektur berurusan dengan sesuatu yang tak terukur. Arsitektur memang perpaduan seni dan ilmu pengetahuan, namun arsitek menyandarkan penilaian kompetensi mereka berdasarkan pendapat rekan sejawat mereka (peer review). Dan kriteria-kriteria yang dipakai sering kali adalah kriteria yang ‘pincang’ jika tidak bisa dikatakan ‘tak mungkin didefinisikan’. Ketika berhadapan dengan hal-hal tak terukur seperti ini, kita sering kali jadi lebih mudah percaya pada ‘sihir’. Sama seperti sebelum teknologi navigasi ditemukan, orang-orang memakai patung perempuan cantik pada haluan kapal sebagai panduan arah; dan arsitek memilih untuk percaya pada ‘guru-guru’ mereka dalam mengarungi samudra desain yang tak terukur dan tanpa aturan yang jelas ini. Para ‘guru’ ini selalu hadir dalam sosok ‘bapak” […]. Aku curiga, bagi para arsitek ini tidak mungkin ada sosok ‘Ibu Arsitek’ atau ‘Guru Pop’ dalam arsitektur. Primadona dalam arsitektur hanyalah laki-laki.”

Baca juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Read More
kepala sekolah perempuan

Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Perempuan mendominasi jumlah guru sekolah dasar di Indonesia. Dari total sekitar 1,4 juta guru SD, hampir satu juta  di antaranya adalah perempuan—proporsinya mencapai hampir 70 persen. Meski demikian, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya lebih sedikit lagi dibandingkan di SD, yakni kurang dari 20 persen.

Ketimpangan ini tidak hanya mengindikasikan ketidaksetaraan gender, tapi juga menunjukkan bahwa banyak sekolah di Indonesia yang berpotensi kehilangan manfaat dari kepemimpinan efektif kepala sekolah perempuan dan juga dari lingkungan belajar yang cenderung lebih baik.

Sebuah survei yang dilakukan oleh INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, menunjukkan hal ini. Pada tahun 2018, INOVASI melakukan survei di 16 kabupaten dan satu kota di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara dan Jawa Timur. Kami menyurvei 567 guru dan 199 kepala sekolah dan melakukan analisis data, serta menguji hubungan antarvariabel.

Salah satu temuan survei kami adalah, guru perempuan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Kepala sekolah perempuan juga cenderung mempunyai manajemen sekolah yang lebih baik dan membangun lingkungan belajar yang lebih kondusif. Namun, kami menemukan juga bahwa guru perempuan cenderung lebih lama mendapatkan kesempatan menjadi kepala sekolah.

Di Beberapa Aspek, Kinerja Pendidik Perempuan Lebih Baik dari Laki-Laki…

Kinerja guru dan skor literasi rata-rata berdasarkan gender (INOVASI).

Kami menemukan bahwa guru perempuan pada umumnya lebih apresiatif terhadap hasil kerja siswa dan lebih proaktif dalam menggunakan media belajar (seperti kartu kata, buku besar, dan balok). Sebuah studi lain menemukan bahwa guru perempuan lebih jarang absen dibandingkan guru laki-laki.

Guru perempuan juga cenderung untuk memperoleh skor tes literasi lebih tinggi—walau temuan ini masih bersifat sementara.

Kami juga menemukan bahwa kepala sekolah perempuan tampaknya lebih baik dalam beberapa aspek terkait manajemen sekolah. Sebagai contoh, kami mengobservasi bahwa kepala sekolah perempuan cenderung mengalokasikan lebih banyak dana untuk pengembangan kapasitas guru, kegiatan belajar siswa, dan pengelolaan perpustakaan. Di sisi lain, kepala sekolah laki-laki lebih condong mengalokasikan dana untuk gaji guru honorer, pembelian perlengkapan multimedia, dan biaya operasional lainnya.

Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa lebih banyak guru yang kepala sekolahnya perempuan puas dengan kinerja kepala sekolah (84 persen), dibandingkan mereka yang memiliki kepala sekolah laki-laki (74 persen).

Hasil-hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih efektif dalam hal kepemimpinan instruksional, yang kemudian berkontribusi positif pada hasil belajar siswa.

Kepala sekolah perempuan pada umumnya juga lebih efektif dalam hal menentukan misi sekolah, mengorganisasi program sekolah, dan membangun hubungan yang saling mendukung dengan guru dan siswa. Mereka juga pada umumnya lebih suka menggunakan gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan fokus pada tugas.

Baca juga: Wahai Suami, Karier Istrimu Bukan Hanya Soal Materi

Read More
Kepemimpinan Jacinda Ardern

Meneladani Kepemimpinan Jacinda Ardern di Tengah Pandemi

Kepemimpinan Jacinda Ardern – Bayangkan, jika Anda bisa, bagaimana rasanya mengambil keputusan yang berdampak pada nasib ribuan orang. Jika Anda salah mengambil keputusan, atau menunda mengambil keputusan, mereka akan mati.

Keputusan Anda berdampak pada penghidupan ribuan orang, mengakibatkan disrupsi ekonomi yang besar, PHK massal, dan tutupnya usaha-usaha. Bayangkan Anda harus bertindak cepat tanpa memiliki kepastian penuh apakah keputusan tersebut akan sesuai dengan hasil yang Anda harapkan.

Sekarang, bayangkan pula jika mengubah keputusan Anda tersebut menjadi tindakan yang efektif bergantung pada dukungan jutaan orang.

Ya, Anda memiliki kewenangan untuk memaksa. Namun, kesuksesan atau kegagalan bergantung pada mayoritas orang memilih untuk mengikuti kepemimpinan Anda—meskipun itu berarti perubahan yang mendadak, meresahkan, dan tidak pernah dilakukan sebelumnya pada kehidupan sehari-hari mereka. Ini adalah realitas pahit yang dihadapi para pemimpin politik di seluruh dunia dalam merespons COVID-19.

Sebagai seseorang yang meneliti dan mengajar kepemimpinan—dan juga pernah bekerja sebagai pejabat publik senior baik di bawah pemerintahan Partai Nasional maupun Buruh Selandia Baru—saya berargumen bahwa Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memberikan teladan bagi banyak politikus Barat dalam kepemimpinan di tengah krisis.

Tiga Keahlian Berkomunikasi yang Diperlukan Semua Pemimpin

Dalam menilai respons kesehatan masyarakat Selandia Baru, warga seharusnya mendengarkan para epidemiolog seperti Profesor Michael Baker dari University Otago. Pada 3 April, Baker mengatakan Selandia Baru memiliki “karantina wilayah yang paling tegas dan kuat di dunia saat ini”, dan  Selandia Baru adalah “yang paling menonjol sebagai satu-satunya negara Barat yang memiliki tujuan mengeliminasi” COVID-19.

Namun, bagaimana kita bisa menilai kepemimpinan Jacinda Ardern dalam membuat keputusan yang sulit tersebut? Kita bisa mulai dengan penelitian profesor Amerika Serikat Jacqueline dan Milton Mayfield terkait komunikasi kepemimpinan yang efektif.

Model yang Mayfield kembangkan berdasarkan penelitian yang menekankan “pengarahan”, “pembangunan makna”, dan “empati” sebagai tiga hal kunci yang seorang pemimpin harus berikan untuk memotivasi para pengikutnya agar mereka memberikan yang terbaik.

Baca juga: #SetaraituNyata: Mendorong Kepemimpinan Perempuan, Mengakhiri Ketimpangan Gender

Read More