kepemimpinan perempuan

Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Kepemimpinan Perempuan – “Setelah 35 tahun berkarier di politik Islandia, saya menyimpulkan bahwa perempuan umumnya lebih baik dari pada laki-laki dalam memastikan keadilan di masyarakat. Dunia akan menjadi lebih baik jika jumlah perempuan dan laki-laki dalam memimpin setara. Kebenaran teori tersebut saya buktikan di tahun 2009, ketika saya menjadi perdana menteri Islandia yang sedang menghadapi masa kekacauan ekonomi yang sangat parah.”

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Johanna Sigurdardotti, mantan perdana menteri Islandia yang berperan besar dalam pemulihan ekonomi negara tersebut, menyusul krisis finansial terburuk pada 2008.

Dalam tulisannya yang berjudul Give Women a Chance, and They Will Change The World di The New York Times, Sigurdardotti menggambarkan betapa buruknya situasi yang harus ia hadapi saat krisis ekonomi melanda Islandia. Sebagian besar orang kehilangan tabungan mereka. Utang tanggungan keluarga meningkat hingga proporsi yang tidak terkendali. Tingkat penggangguran naik drastis dari 2,5 persen ke angka 7,1 persen hanya dalam jangka waktu lima bulan. Perekonomian negara yang disebut The Land of Fire and Ice itu semakin meradang dengan inflasi yang mencapai 11,6 persen. Sebagai negara kecil dengan populasi hanya 330.000 orang, Islandia pada waktu itu berada di ambang kebangkrutan.

Malapetaka finansial tersebut dimulai sejak liberalisasi ekonomi Islandia pada 1990-an. Waktu itu, Islandia yang bergantung pada pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan mulai beralih pada sektor manufaktur, jasa, dan pariwisata. Pada 1994, Islandia memutuskan bergabung dengan European Economic Area (EEA), yang ternyata cukup mempengaruhi peningkatan ekonomi negara itu secara signifikan. Pada 2003, dunia perbankan berubah setelah mantan Perdana Menteri Davio Oddson yang sekaligus merangkap Gubernur Bank Sentral Islandia melakukan privatisasi tiga bank milik negara yaitu Lansbanki, Glitnie, dan Kaupthing.

Bank-bank tersebut awalnya meraup sukses besar dan membuka cabang-cabang baru di Inggris, Belanda, dan Jerman. Proses tersebut membuat pasar domestik Islandia semakin melejit, sampai Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Islandia di tahun 2007 menyentuh angka US$21.294 miliar. Islandia kemudian dinobatkan oleh PBB sebagai tempat terbaik untuk hidup di tahun tersebut.

Semua pencapaian itu sirna seketika saat krisis finansial global melanda pada 2008, yang dipicu kredit macet di pasar global. Islandia yang mengandalkan sektor perbankan langsung mengalami dampak besar karena pemasukan bank terbesar berasal dari pinjaman jangka pendek. Dalam waktu singkat ketiga bank tersebut dinyatakan bangkrut dan segera di nasionalisasi oleh pemerintah Islandia.

Saat pemerintah sedang kalang kabut, lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) menawarkan dana talangan, tentunya dengan bunga yang tinggi. Geir Haarde, Perdana Menteri Islandia saat itu, tak berpikir panjang dan langsung menyetujui proposal IMF. Rakyat Islandia tidak tinggal diam. Mereka menggelar aksi protes dengan turun ke jalan membawa panci dan alat-alat masak lainnya, menuntut pemerintah untuk mundur. Peristiwa ini dinamai dengan “Revolusi Panci” dan berhasil membuat Geir Haarde mungundurkan diri.

Pemerintah Islandia berbenah. Mereka tidak ingin lagi dipimpin oleh laki-laki sembrono yang tamak dan hanya mementingkan keuntungan pendapatan negara, sementara kesejahteraan rakyat dan kesenjangan sosial yang harusnya diprioritaskan luput dari perhatian.

Read More
kepemimpinan perempuan di organisasi

Mengapa Keberagaman dalam Kepemimpinan di Organisasi itu Penting

Keberagaman dalam Kepemimpinan – Di berbagai bidang pekerjaan, kendati partisipasi perempuan telah meningkat dari waktu ke waktu, persentase mereka yang menjadi pemimpin masih jauh di bawah laki-laki.

Di bidang pendidikan, misalnya, para peneliti dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) menyatakan bahwa dari total sekitar 1,4 juta guru SD di Indonesia, hampir satu juta di antaranya adalah perempuan, atau hampir 70 persen. Namun ketika berbicara soal perempuan kepala sekolah, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya bahkan kurang dari 20 persen.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Berikutnya, di bidang kesehatan. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), kendati perempuan mendominasi jumlah tenaga kesehatan, khususnya profesi perawat, hanya sedikit dari mereka yang menduduki posisi pemimpin dalam sistem kesehatan.

Pada akhir 2019, peneliti dari Universitas Airlangga melakukan riset terhadap 352 pejabat publik yang bekerja di organisasi dinas kesehatan di dua provinsi. Ia menemukan bahwa meskipun perempuan dan laki-laki tenaga kesehatan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan yang jenjang kariernya terhenti sampai tingkat kepala seksi saja. Sementara, pemimpin laki-laki bisa melangkah sampai level kepala bidang hingga kepala dinas.

Tidak hanya itu, jika melihat dari sisi pemerintahan, pemimpin perempuan setingkat menteri masih kalah jauh jumlahnya dibanding laki-laki. Sampai sekarang, setidaknya Indonesia telah memiliki 20 orang menteri kesehatan, tetapi hanya empat di antaranya yang perempuan.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Dalam laporan Women in Business 2020 yang dirilis Grant Thornton International, firma akunting dan pajak internasional, disebutkan bahwa Indonesia menempati urutan keempat dalam jumlah perempuan di posisi manajemen senior dengan angka 37 persen. Hal ini dipandang sebagian pihak sebagai suatu prestasi dalam mewujudkan kesetaraan gender di tempat kerja.

Namun, Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia yang bergerak di bidang pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan, persentase tersebut dikatakan terlalu optimistis. Ia memandang, di level teratas pemimpin perusahaan, hanya sekitar lima persen perempuan yang menyandang jabatan seperti direktur atau komisaris.  

Adanya budaya yang menempatkan tanggung jawab lebih besar kepada perempuan untuk urusan rumah tangga menjadi kendala yang kerap kali menghambat perempuan menjadi seorang pemimpin atau mencapai level tinggi dalam tangga kariernya.

Selain itu, sekalipun seorang pekerja perempuan masih lajang dan mendapat tawaran posisi karier lebih tinggi, banyak orang tua yang merasa khawatir atau enggan bila anaknya ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumah sehingga kesempatan itu akan dilewatkannya. 

Read More

Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Pemimpin Perempuan Kendalikan Covid-19 – Walaupun menjadi salah satu contoh negara yang dapat mengendalikan penyebaran virus corona (COVID-19), Selandia Baru tetap tidak melonggarkan kewaspadaan mereka. Dilansir dari media The Guardian, dalam pidatonya minggu lalu, Perdana Menteri Jacinda Ardern mendesak masyarakat agar tidak berpuas diri dengan keadaan saat ini, dan tetap waspada dengan kemungkinan gelombang baru pandemi COVID-19.

Sudah hampir dua bulan negara itu tidak memiliki kasus baru. Menurut data Kementerian Kesehatan Selandia Baru, per 22 Juli 2020, jumlah total kasus terkonfirmasi mencapai 1.555 kasus, pasien sembuh 1.506 orang, dan pasien meninggal adalah 22 orang.

Sejak awal menangani pandemi, Ardern merupakan salah satu pemimpin negara yang secara sigap memberlakukan pembatasan sosial yang ketat, bersamaan dengan pemberlakuan tes massal, ,dan yang terpenting adalah keterbukaan komunikasi publik secara reguler.

Dalam menangani pandemi virus corona bukan hanya cepat menanggapi situasi dunia, setiap menyampaikan informasi kepada publik, kepemimpinan Jacinda Ardern selalu memperlihatkan empati dan kasih sayang. Dalam salah satu pidato publiknya, Ardern juga berkomunikasi kepada anak-anak dengan memberikan analogi peri gigi dan kelinci paskah sebagai pekerja penting yang saat ini harus di rumah saja karena COVID-19.

Selain Selandia Baru, Taiwan juga merupakan negara super sigap dalam penanganan kasus COVID-19. Dibantu oleh Wakil Presiden Taiwan, Chen Chien Jen,  yang juga seorang epidemiolog, kepemimpinan Presiden Tsai Ing Wen secara  drastis menekan kasus COVID-19 di Taiwan. Sampai 22 Juli 2020, kasus positif di Taiwan mencapai 455 kasus, dengan pasien sembuh sebanyak 440 orang dan total kematian tujuh kasus.

Tentu saja respons seperti ini tidak muncul secara spontan. Mengutip The Conversation,  kesigapan Taiwan menghadapi krisis ini merupakan pembelajaran dari penanganan kasus wabah SARS pada tahun 2002. Pemerintah Taiwan secara cepat mengontrol perbatasan mereka dan mengimplementasikan 124 tindakan untuk mencegah penyebaran COVID-19.  

Ardern dan Tsai Ing Wen merupakan dua contoh pemimpin perempuan yang berhasil menavigasi negaranya mengarungi COVID-19. Negara-negara lain adalah Jerman, Denmark, Finlandia, dan Norwegia, yang semuanya dipimpin oleh perempuan. Mereka tidak hanya mengandalkan kebijakan berbasis sains saja, tetapi juga bersikap kolaboratif dan penuh empati dalam penanganan krisis ini.

Read More

Primadona dalam Arsitektur Masih Laki-laki

Primadona dalam Arsitektur – Setengah penduduk dunia adalah perempuan, namun di banyak bidang profesi, perempuan masih menjadi minoritas. Tidak terkecuali dalam arsitektur.

Martha Thorne, Direktur Eksekutif Pritzker, penghargaan setara Nobel dalam bidang arsitektur, mengatakan bahwa profesi arsitek masih sangat konservatif dan resisten terhadap perubahan karena arsitek selalu melihat ke “belakang”, bukan ke depan. Dia menyoroti kultur pengkultusan individu-individu tertentu, yang cemerlang dan dianggap seniman, yang membuat arsitektur seperti sebuah cult. Dalam lingkar yang rapat dan tersentral inilah, toleransi yang sangat besar diberikan kepada individu cemerlang tadi, terkait sikap dan keputusan-keputusan desain mereka.

Kekaguman berlebihan ini melahirkan hierarki; ada yang kastanya lebih tinggi dari yang lainnya. Ada satu individu sempurna yang menjadi pusat orbit dari arsitek-arsitek lain yang “lebih tidak cemerlang”. Dan dalam sistem kasta inilah lahir dominasi, eksploitasi, dan akhirnya menubuh menjadi patriarki.

Dennis Scott Brown, menulis sebuah esai penting di tahun 1975 yang menyebut arsitektur sebagai “boy’s club” dan menyamakannya dengan praktik otoriter. Dan dia berkeyakinan bahwa ini terkait erat dengan pengkultusan individu cemerlang tadi, yang dalam tulisannya disebut sebagai “star system.” Saat ini mungkin kita mengenalnya dengan sebutan starchitect. Dia menjelaskan secara lugas:

“Mengapa arsitek suka menciptakan ‘idola’? Karena, menurutku, arsitektur berurusan dengan sesuatu yang tak terukur. Arsitektur memang perpaduan seni dan ilmu pengetahuan, namun arsitek menyandarkan penilaian kompetensi mereka berdasarkan pendapat rekan sejawat mereka (peer review). Dan kriteria-kriteria yang dipakai sering kali adalah kriteria yang ‘pincang’ jika tidak bisa dikatakan ‘tak mungkin didefinisikan’. Ketika berhadapan dengan hal-hal tak terukur seperti ini, kita sering kali jadi lebih mudah percaya pada ‘sihir’. Sama seperti sebelum teknologi navigasi ditemukan, orang-orang memakai patung perempuan cantik pada haluan kapal sebagai panduan arah; dan arsitek memilih untuk percaya pada ‘guru-guru’ mereka dalam mengarungi samudra desain yang tak terukur dan tanpa aturan yang jelas ini. Para ‘guru’ ini selalu hadir dalam sosok ‘bapak” […]. Aku curiga, bagi para arsitek ini tidak mungkin ada sosok ‘Ibu Arsitek’ atau ‘Guru Pop’ dalam arsitektur. Primadona dalam arsitektur hanyalah laki-laki.”

Baca juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Read More
kepala sekolah perempuan

Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

Perempuan mendominasi jumlah guru sekolah dasar di Indonesia. Dari total sekitar 1,4 juta guru SD, hampir satu juta  di antaranya adalah perempuan—proporsinya mencapai hampir 70 persen. Meski demikian, hanya sepertiga SD yang memiliki kepala sekolah perempuan. Di madrasah, jumlahnya lebih sedikit lagi dibandingkan di SD, yakni kurang dari 20 persen.

Ketimpangan ini tidak hanya mengindikasikan ketidaksetaraan gender, tapi juga menunjukkan bahwa banyak sekolah di Indonesia yang berpotensi kehilangan manfaat dari kepemimpinan efektif kepala sekolah perempuan dan juga dari lingkungan belajar yang cenderung lebih baik.

Sebuah survei yang dilakukan oleh INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, menunjukkan hal ini. Pada tahun 2018, INOVASI melakukan survei di 16 kabupaten dan satu kota di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara dan Jawa Timur. Kami menyurvei 567 guru dan 199 kepala sekolah dan melakukan analisis data, serta menguji hubungan antarvariabel.

Salah satu temuan survei kami adalah, guru perempuan cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Kepala sekolah perempuan juga cenderung mempunyai manajemen sekolah yang lebih baik dan membangun lingkungan belajar yang lebih kondusif. Namun, kami menemukan juga bahwa guru perempuan cenderung lebih lama mendapatkan kesempatan menjadi kepala sekolah.

Di Beberapa Aspek, Kinerja Pendidik Perempuan Lebih Baik dari Laki-Laki…

Kinerja guru dan skor literasi rata-rata berdasarkan gender (INOVASI).

Kami menemukan bahwa guru perempuan pada umumnya lebih apresiatif terhadap hasil kerja siswa dan lebih proaktif dalam menggunakan media belajar (seperti kartu kata, buku besar, dan balok). Sebuah studi lain menemukan bahwa guru perempuan lebih jarang absen dibandingkan guru laki-laki.

Guru perempuan juga cenderung untuk memperoleh skor tes literasi lebih tinggi—walau temuan ini masih bersifat sementara.

Kami juga menemukan bahwa kepala sekolah perempuan tampaknya lebih baik dalam beberapa aspek terkait manajemen sekolah. Sebagai contoh, kami mengobservasi bahwa kepala sekolah perempuan cenderung mengalokasikan lebih banyak dana untuk pengembangan kapasitas guru, kegiatan belajar siswa, dan pengelolaan perpustakaan. Di sisi lain, kepala sekolah laki-laki lebih condong mengalokasikan dana untuk gaji guru honorer, pembelian perlengkapan multimedia, dan biaya operasional lainnya.

Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa lebih banyak guru yang kepala sekolahnya perempuan puas dengan kinerja kepala sekolah (84 persen), dibandingkan mereka yang memiliki kepala sekolah laki-laki (74 persen).

Hasil-hasil penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih efektif dalam hal kepemimpinan instruksional, yang kemudian berkontribusi positif pada hasil belajar siswa.

Kepala sekolah perempuan pada umumnya juga lebih efektif dalam hal menentukan misi sekolah, mengorganisasi program sekolah, dan membangun hubungan yang saling mendukung dengan guru dan siswa. Mereka juga pada umumnya lebih suka menggunakan gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan fokus pada tugas.

Baca juga: Wahai Suami, Karier Istrimu Bukan Hanya Soal Materi

Read More
Kepemimpinan Jacinda Ardern

Meneladani Kepemimpinan Jacinda Ardern di Tengah Pandemi

Kepemimpinan Jacinda Ardern – Bayangkan, jika Anda bisa, bagaimana rasanya mengambil keputusan yang berdampak pada nasib ribuan orang. Jika Anda salah mengambil keputusan, atau menunda mengambil keputusan, mereka akan mati.

Keputusan Anda berdampak pada penghidupan ribuan orang, mengakibatkan disrupsi ekonomi yang besar, PHK massal, dan tutupnya usaha-usaha. Bayangkan Anda harus bertindak cepat tanpa memiliki kepastian penuh apakah keputusan tersebut akan sesuai dengan hasil yang Anda harapkan.

Sekarang, bayangkan pula jika mengubah keputusan Anda tersebut menjadi tindakan yang efektif bergantung pada dukungan jutaan orang.

Ya, Anda memiliki kewenangan untuk memaksa. Namun, kesuksesan atau kegagalan bergantung pada mayoritas orang memilih untuk mengikuti kepemimpinan Anda—meskipun itu berarti perubahan yang mendadak, meresahkan, dan tidak pernah dilakukan sebelumnya pada kehidupan sehari-hari mereka. Ini adalah realitas pahit yang dihadapi para pemimpin politik di seluruh dunia dalam merespons COVID-19.

Sebagai seseorang yang meneliti dan mengajar kepemimpinan—dan juga pernah bekerja sebagai pejabat publik senior baik di bawah pemerintahan Partai Nasional maupun Buruh Selandia Baru—saya berargumen bahwa Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memberikan teladan bagi banyak politikus Barat dalam kepemimpinan di tengah krisis.

Tiga Keahlian Berkomunikasi yang Diperlukan Semua Pemimpin

Dalam menilai respons kesehatan masyarakat Selandia Baru, warga seharusnya mendengarkan para epidemiolog seperti Profesor Michael Baker dari University Otago. Pada 3 April, Baker mengatakan Selandia Baru memiliki “karantina wilayah yang paling tegas dan kuat di dunia saat ini”, dan  Selandia Baru adalah “yang paling menonjol sebagai satu-satunya negara Barat yang memiliki tujuan mengeliminasi” COVID-19.

Namun, bagaimana kita bisa menilai kepemimpinan Jacinda Ardern dalam membuat keputusan yang sulit tersebut? Kita bisa mulai dengan penelitian profesor Amerika Serikat Jacqueline dan Milton Mayfield terkait komunikasi kepemimpinan yang efektif.

Model yang Mayfield kembangkan berdasarkan penelitian yang menekankan “pengarahan”, “pembangunan makna”, dan “empati” sebagai tiga hal kunci yang seorang pemimpin harus berikan untuk memotivasi para pengikutnya agar mereka memberikan yang terbaik.

Baca juga: #SetaraituNyata: Mendorong Kepemimpinan Perempuan, Mengakhiri Ketimpangan Gender

Read More