Guru hapus stereotip gender

Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Di banyak bidang pekerjaan, mulai dari pendidikan, sains dan teknologi, kesehatan, birokrasi, hingga macam-macam industri, perempuan masih kerap tertinggal dari laki-laki dalam hal kepemimpinan.

Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya bagaimana pendidikan mengenai peran gender dan kepemimpinan ditanamkan oleh masyarakat sejak seseorang masih kanak-kanak.

Keluarga adalah Pendidik Pertama

Sebagai unit terkecil masyarakat dan terdekat bagi seorang anak, keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran penting dalam menanamkan pendidikan mengenai peran gender yang setara; bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama bisa punya cita-cita atau terjun dan memimpin di bidang apa pun.

Pendidikan mengenai peran gender ini dapat diterapkan orang tua mulai dari hal-hal sederhana sesuai kemampuan kognitif anak pada usianya. Misalnya terkait mainan, sikap kritis orang tua untuk tidak langsung membedakan mana mainan untuk laki-laki (seperti robot, mobil, bola) dan mainan untuk perempuan (boneka, alat masak, alat dandan) berpengaruh terhadap persepsi anak mengenai apa yang wajar dan tak wajar dilakukan orang-orang berjenis kelamin sama dengannya.

Demikian juga terkait peminatan terhadap bidang tertentu. Menurut penulis Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that’s Dividing the Workplace, Kim Elsesser, orang tua atau guru kerap menyetir anak untuk masuk atau tidak masuk ke bidang tertentu sesuai stereotip gender yang ada.

“Anak laki-laki misalnya, lebih didorong dibanding perempuan untuk menguasai bidang sains dan Matematika, bidang yang menghasilkan uang lebih banyak,” kata Elsesser dalam Forbes.

Dorongan dan kesempatan lebih besar bagi laki-laki untuk menguasai bidang-bidang tertentu dan lantas mendatangkan penghasilan lebih tinggi tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa laki-lakilah yang kelak memimpin keluarga dan menjadi pencari nafkah utama.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

“Karena itu, laki-laki akan diutamakan dalam pendidikan. Jika sebuah keluarga memiliki dana yang terbatas, maka keluarga tersebut akan mengutamakan anak laki-laki untuk melanjukan pendidikan ke perguruan tinggi karena dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya,” kata Niken Savitri, pengajar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum dan Gender Indonesia, seperti dikutip dalam laman Pusat Informasi Pembelajaran Unpar.

Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya kebutuhan, banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau sama seperti pasangannya, terjun banyak ke ranah publik. Hal seperti ini perlu dipandang sebagai hal yang wajar alih-alih sesuatu yang harus disalahkan dari perempuan.

Bahkan menurut Nadia Sarah, seorang entrepreneur dan founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, terjunnya perempuan di dunia profesional bisa menjadi hal positif dalam mendidik anak.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

Dalam interaksi sehari-hari pun, berbagai hal yang dikaitkan dengan sifat perempuan atau laki-laki ideal dapat dikritisi kembali dalam keluarga untuk menggeser stereotip gender dan mendukung kepemimpinan perempuan. Sebagai contoh, sifat ambisius yang dirasa wajar dipunyai laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, dalam wawancara dengan Magdalene untuk podcast “How Women Lead”.

Peran Guru Hapus Stereotip Gender dalam Kepemimpinan Anak Perempuan

Sebagaimana orang tua, guru juga dapat mendorong kepemimpinan anak perempuan lewat berbagai contoh dan respons dalam keseharian.

Dalam tulisan bertajuk “How schools can encourage girls to be leaders – from day one” di situs Ark, Kepala Deputi bidang Pengajaran, Pembelajaran, dan Kurikulum di Ark Greenwich Free School, Inggris Laura Yandell menjabarkan hasil risetnya mengenai kepemimpinan di kalangan siswi. Salah satu hal menarik dari temuannya adalah pendapat para siswi yang merasa jarang menemukan perempuan pemimpin, terlebih sebagai kepala sekolah perempuan.

Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia

“Ini mendorong mereka merasa bahwa menjadi pemimpin adalah suatu tantangan bagi perempuan dan akhirnya mereka berkecil hati untuk bisa seperti itu kelak,” tulis Yandell.

Tidak hanya di Inggris, situasi kepala sekolah perempuan yang lebih sedikit juga ditemukan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Dalam studi yang dilakukan peneliti dari INOVASI, program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk meningkatkan hasil belajar siswa, meski kinerja guru perempuan mengungguli guru laki-laki, hanya 30 persen perempuan di SD dan 13 persen di madrasah yang menjabat kepala sekolah.

Mengubah representasi macam ini tentu tidak mudah dan sebentar. Namun, para pendidik di sekolah tetap dapat mendorong kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan lewat cara mereka berinteraksi dengan murid dan menyampaikan konten-konten pelajaran.

Dalam sebuah tulisan di Magdalene, seorang guru menceritakan pengalamannya melihat murid yang menerapkan stereotip gender dalam kesehariannya. Contohnya tentang anggapan anak laki-laki tidak boleh menangis. Alih-alih langsung menegur dan mencekoki muridnya dengan materi kesetaraan gender yang rumit, sang guru memilih pendekatan berdialog dengan bahasa yang mudah mereka terima. Ia menyatakan bahwa menangis adalah hal yang normal dan sehat bagi setiap orang sehingga menangis bagi laki-laki bukan pertanda ia lemah.

“Sebagai guru, saya percaya bahwa kita [para guru] punya peran penting dalam mendidik para murid di luar hal akademis. Bila hal-hal seksis seperti ini tetap dibiarkan, itu akan mendorong masalah lebih besar yang kita hadapi sekarang yakni patriarki,” tulisnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Sementara terkait konten pelajaran, Niken dari Unpar mengatakan, kerap kali guru meneruskan materi berstereotip gender yang dibentuk masyarakat dan ini perlu direkonstruksi.

“Di sekolah dasar, misalnya, ditanamkan pola: ibulah yang pergi ke pasar sedangkan ayah pergi ke kantor. Pilihan jurusan di universitas atau kepanitiaan mahasiswa juga (biasanya perempuan menjadi seksi konsumsi sedangkan laki-laki di bagian logistik) tidak terlepas dari konstruksi masyarakat atas gender,” kata Niken.

“Karena gender merupakan konstruksi budaya, maka pandangan tentang gender yang bias harusnya bisa direkonstruksi. Di sinilah pendidikan berperan sangat besar untuk mengubah pola dan persepsi tersebut.”

Upaya lain yang dapat dilakukan guru hapus stereotip gender adalah dengan menyoroti kontribusi-kontribusi penting para perempuan di berbagai spektrum akademis, serta menyebutkan tokoh-tokoh perempuan pemimpin dari mancanegara yang patut jadi panutan. Dengan melakukan ini, para guru bisa membantu murid-muridnya mematahkan persepsi negatif tentang perempuan dan anak perempuan dalam kepemimpinan.

Selain itu, penting pula bagi guru untuk mengajak murid untuk mengkritik pola pikir kaku di sekolah serta menantang ekspektasi sosial yang meminggirkan peran perempuan di bidang-bidang tertentu. Yandell mencontohkan, dalam cerita tentang Marie Curie, ilmuwan peraih Nobel bidang Kimia dan Fisika, kerap digambarkan bahwa capaiannya adalah hal langka dan “tidak normal” didapatkan seorang perempuan.

“Perempuan panutan seperti Marie Curie yang dipelajari oleh para siswi dikenal sebagai pemberontak dan mereka mencapai sesuatu karena mereka tidak mengikuti ekspektasi sosial. Ini sangat berbeda dengan banyak pelajaran di sekolah yang sangat mendorong para murid untuk selalu mengikuti aturan dan ekspektasi sosial,” ungkap Yandell.

Read More
Martha Christina Tiahahu

Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Perang selalu identik dengan kerusuhan, nyawa yang berjatuhan, serta kesedihan. Namun bila perang itu adalah bagian dari perjuangan meraih kemerdekaan, maka pengorbanan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, biarpun nyawa yang akan jadi taruhannya. Para Pahlawan Nasional Indonesia dahulu tidak ragu untuk berkorban dan terus berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan.

Salah satu pahlawan perempuan Indonesia yang sudah berani untuk berjuang dan ikut berperang merebut kemerdekaan adalah Martha Christina Tiahahu, remaja perempuan pemberani dari Maluku Tengah, yang sudah ditahbiskan sebagai Pahlawan Nasional termuda di Indonesia. Martha dari masih remaja sudah ikut berjuang memerangi penjajah Belanda. 

Biografi Martha Christina Tiahahu

Cerita pejuangan pahlawan perempuan ini di mulai saat berusia sekitar 17 tahun, Martha Tiahahu dengan gagah berani ikut berperang melawan para penjajah di dalam medan pertempuran. Perempuan yang lahir ditanggal 4 Januari  1800 di Kampung Abubu, Maluku Tengah ini merupakan anak perempuan tertua dari seorang Kapitan yang bernama Paulus Tiahahu, pemimpin pasukan rakyat di wilayah Maluku.

Baca Juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Biarpun masih sangat belia, ia diketahui sangat baik oleh para pejuang serta rakyat, malah para tentara musuh tahu kalau Martha ini merupakan perempuan muda yang sangat berani dan sangat memperjuangkan cita-citanya. Martha pun mendapat panggilan Srikandi dari wilayah Maluku.

Dengan rambut yang tergerai panjang, dihiasi kain ikat kepala dengan rona merah, Martha berjuang bersama sang ayah yang pegang senjata untuk mengusir para pasukan Belanda yang berada di Nusa Laut atau Saparua.

Pada waktu yang sama, Pattimura juga sedang berjuang memerangi dominasi pasukan Belanda yang ada di wilayah Saparua. Peperangan di Saparua meluas ke wilayah Nusa Laut serta daerah sekitarnya.

Peran Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu juga punya peranan dalam perang yang terjadi di wilayah Saparua, lebih tepatnya di Desa Ouw, Maluku Tengah dalam mengusir tentara penjajah.

Di tengah kebrutalan peperangan tersebut, sosok Martha memberikan semangat juang buat para tentara Nusa Laut buat melawan para penjajah. Teriakan semangat Martha sudah berhasil menaikkan semangat buat para perempuan yang ikut menemani kaum laki-laki di wilayah perang. Di waktu ini lah Belanda melawan langsung para perempuan militan yang ikut berperang.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Pada pertarungan tersebut, pemimpin pasukan Belanda yang bernama Richemont, berhasil dibunuh oleh tentara Martha Cristina Tiahahu. Dari segala sudut, para tentara Nusa Laut berhasil mengepung Belanda, dan teriakan mereka memecah udara serta membuat rasa takut pasukan Belanda.

Pemimpin mereka ditaklukkan membuat para pasukan penjajah jadi makin keras dalam memberikan serangan kepada rakyat Maluku. Pada tanggal 12 Januari 1817, komandan Belanda yang baru, Vermeulen Kringer, memerintahkan serangan umum terhadap tentara rakyat Indonesia. Peperangan yang sengit tidak bisa dihindari. Banyak korban yang gugur dari kedua kubu. Sampai satu titik saat tentara rakyat membalas serangan Belanda dengan lemparan batu, Tentara Belanda jadi sadar bahwa persediaan amunisi tentara rakyat sudah habis.

Kringer memberikan perintah untuk memberikan serangan lagi dengan bayonet terhunus. Tentara rakyat pun harus mundur dan berlindung di dalam hutan. Akhirnya seluruh wilayah Ulath serta Ouw harus menerima kekalahan, semua daerah dibakar dan dijarah.

Martha Christina Tiahahu dengan ayahnya serta para pejuang yang lain ditangkap dan digiring ke kapal Belanda, yaitu Eversten. Di dalam Eversten, para pejuang ini, yang berasal dari wilayah Tenggara berjumpa dengan sosok Pattimura serta tawanan yang lain.

Mereka diselidiki dan akhirnya diberikan vonis. Karena tergolong masih anak-anak, Martha akhirnya dilepas. Namun ayahnya yang bernama Paulus Tiahahu tetap diberikan vonis yaitu hukuman mati.

Pada bulan Desember tahun 1817, Martha dengan pejuang lain ditangkap lagi dan dikirim ke Pulau Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di kebun kopi. Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, tetap terjadi perlawanan terhadap tentara Belanda di dalam kapal Eversten.

Akhir Hayat Martha

Dalam kapal, kesehatan fisik Martha makin menurun, ia tidak mau makan serta minum obat. Akhirnya pada 2 Januari 1818, setelah melewati Sulawesi Selatan, Martha kemudian mengembuskan nafas terakhir. Jenazahnya diberikan sebuah penghormatan terakhir secara militer tepat di perairan Banda.

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Indonesia Beserta Asalnya yang Perlu Kamu Ketahui

Nama Martha Christina Tiahahu akhirnya ditetapkan sebagai sosok Pahlawan Nasional Indonesia pada 20 Mei 1969, lewat Surat Keputusan Presiden.

Read More

Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

“Tujuan saya untuk masa depan perempuan dalam bisnis adalah tidak ada lagi istilah ‘perempuan dalam bisnis‘,” kata pengusaha Dian Wulandari.

Dian adalah pendiri Instellar, inkubator teknologi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan untuk menjalankan bisnis dan wirausaha sosial. Sebelum memulai perusahaan konsultan dan inkubator teknologi, dia mengambil cuti tidak berbayar setiap tahun selama beberapa bulan. Dia pergi ke daerah-daerah di Indonesia untuk membantu bisnis kecil yang mencoba memberi pengaruh pada komunitas mereka.

“Saya bertemu banyak bisnis yang menginspirasi,” kata Dian.

Dia menemukan bahwa hidupnya “lebih bermakna” ketika dia bekerja dengan bisnis-bisnis kecil ini. Sayangnya, dia masih harus membayar tagihan. Di Instellar, sekarang dia menghabiskan waktunya membantu perempuan mengembangkan bisnis mereka dan membantu wirausaha sosial menghasilkan keuntungan sehingga mereka dapat terus membantu memecahkan masalah.

Perempuan memiliki tempat di dunia bisnis, tetapi persepsi masyarakat dan kepercayaan diri perempuan dapat menahan mereka untuk mengembangkan bisnis mereka sendiri. Beberapa masalah yang dihadapi perempuan bukanlah hambatan kasatmata sehingga tidak mudah untuk diamati atau diperbaiki. Bahkan, sering kali hambatan tersebut berakar pada keyakinan tentang diri mereka sendiri.

Akses Pengetahuan dan Hambatan Sosial Perempuan Pemimpin Bisnis

Credit Suisse Research Institute merilis studi tahun 2019 tentang perempuan dalam bisnis yang menemukan bahwa selama dekade terakhir, keragaman gender dalam kepemimpinan telah meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen. Meskipun keadaan mungkin terlihat lebih baik daripada dua dekade lalu, jumlah perempuan dalam manajemen eksekutif tidak meningkat pesat, dan penelitian masih menunjukkan bahwa memiliki anak memberikan efek negatif pada karier perempuan.

Melalui kiprahnya di Instellar, Dian mengamati bahwa sebagian besar bisnis menghadapi masalah yang sama: Mereka mencari pendanaan dan berusaha untuk mengelola tenaga kerja yang lebih besar. Tetapi, para perempuan pemimpin bisnis terkadang menghadapi hambatan yang mungkin khusus untuk mereka, termasuk akses ke pengetahuan dan kepercayaan diri.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

“Akses ilmu pengetahuan sulit diukur karena umumnya perempuan bisa bersekolah dan mengenyam pendidikan di sini,” kata Dian.

Tetapi pelatihan, acara kantor, dan konferensi yang diselenggarakan jauh dari tempat mereka tidak selalu mudah untuk diakses. Jika para perempuan tinggal di luar kota dan memiliki keluarga, banyak dari mereka yang mungkin tidak dapat meninggalkan semuanya dan pergi begitu saja untuk berkarier.

“Ada hambatan sosial dan budaya yang lebih dalam serta persepsi tentang peran perempuan dari masyarakat. Persepsi negatif ini menghalangi upaya perempuan untuk meningkatkan bisnis mereka,” ujar Dian.

Masalah Kepercayaan Diri Perempuan Pemimpin Bisnis

Hambatan kedua perempuan adalah kepercayaan diri, termasuk kepercayaan pada produk , pencapaian, dan kemampuan mereka untuk menyampaikan gagasan kepada investor dan pelanggan.

Meilisa Sanjaya adalah salah satu pendiri dan kepala product and user experience di Shooper. Aplikasi ini memungkinkan orang untuk membuat daftar belanja bahan makanan dan kemudian merekomendasikan supermarket yang memiliki bahan-bahan tersebut dengan harga terendah. Meilisa bertanggung jawab untuk mencocokkan rencana produk dan tujuan bisnis untuk aplikasi tersebut.

Meilisa adalah seseorang yang terkesan kalem, tetapi dia piawai memimpin tim teknis di Shooper untuk menciptakan pengalaman dan perjalanan bagi penggunanya. Awalnya, dia gugup, bingung, dan takut saat terjun di dunia bisnis, di mana perempuan masih dipandang sebelah mata.

“Pak Oka, selaku CEO, mempercayai saya sepenuhnya untuk membuat produk ini berhasil. Inilah cara saya mendapatkan kepercayaan pada produk. Saya yakin produk kami bisa bermanfaat bagi banyak orang,” ujarnya.

Kepercayaannya pada produk yang diiringi dukungan dari timnyalah yang membuat Meilisa merasa nyaman di tempat kerjanya.

Baca juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Meilisa mengaku masih harus menghadapi tantangan kepercayaan diri. “Saya juga perlu terus belajar,” ujarnya. Ia terkadang merasa masih  belum terbiasa berbicara di depan umum dan tidak tahu apa yang orang pikirkan tentang dia.

Sementara, Dian mengatakan bahwa melalui seminar-seminarnya, dirinya menemukan bahwa beberapa perempuan kesulitan mencatatkan pencapaiannya. Dia sering harus mengingatkan mereka bahwa “itu bukan menyombongkan diri jika hal tersebut adalah fakta”. Jaringan yang dan keluarga yang mendukung adalah hal penting, katanya.

“Saya tidak merasa terlalu percaya diri, tapi saya beruntung datang dari keluarga yang mendukung saya dan pendidikan saya.”

Persepsi terhadap Perempuan Pebisnis

Dian mengakui ada persepsi tertentu terhadap perempuan dalam bisnis: “Perempuan selalu ditanya bagaimana cara kamu melakukannya? Bagaimana kamu bekerja dan tetap menjaga keluargamu? Tidak ada yang bertanya kepada laki-laki bagaimana mereka menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadinya. Kenapa tidak? Keseimbangan penting bagi semua orang.”

Namun meski ada bias pribadi, investor tidak perlu melihat gender saat memilih untuk berinvestasi, katanya. Hal yang lebih patut disoroti adalah keuntungan dan produk yang menarik bagi investor, jadi kepercayaan pada produk juga penting.

Bahkan menurut Dian, terkadang investor senang berinvestasi pada perempuan karena terbukti lebih bisa diandalkan dan mencapai targetnya.

Terlepas dari tantangan soal kepercayaan diri, Meilisa percaya bahwa perempuan dalam bisnis dapat menjadi pemimpin dan pembuat perubahan.

“Kadang-kadang kamu memang harus mencoba dan jika kamu gagal, kamu belajar dahulu dan kemudian memperbaiki diri,” tambahnya.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.

Nieve Walton adalah jurnalis mahasiswa dan pemagang di Magdalene. Dia suka mempelajari hal-hal baru, bertemu orang baru, dan minum cokelat panas di hari-hari yang dingin.

Read More
Tenaga Kesehatan Dokter Perawat Perempuan Tersisih

Tenaga Kesehatan Perempuan Banyak, Namun Masih Tersisihkan

Bidang kesehatan merupakan salah satu sektor pekerjaan yang identik dengan perempuan. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, menunjukkan dua per tiga sumber daya manusia di sektor kesehatan global adalah perempuan, dan 90 persennya adalah perawat.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah tenaga medis pada 2019 mencapai 1.244.162 orang, dengan persentase perempuan lebih dari 70 persen. Profesi yang didominasi oleh perempuan adalah dokter umum, ahli gizi, dokter spesialis anak, perawat, bidan, dan bantuan tenaga kesehatan lainnya.

Kendati jumlah perempuan unggul di sektor kesehatan, namun hal itu tidak diikuti dengan jumlah kenaikan pemimpin perempuan yang ada di posisi atas (top position). Sejak Indonesia merdeka misalnya, dari 20 menteri kesehatan yang pernah menjabat, hanya empat di antaranya yang merupakan perempuan. Jika melihat data dari Kementerian Kesehatan, walaupun jumlah dokter umum didominasi oleh perempuan, tapi angka dokter perempuan yang melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan menjadi dokter spesialis hanya 12.324. Berbeda jauh dengan laki-laki yang mencapai 17.268 orang.

Baca juga: Kisah Perawat COVID-19: 30 Tahun Bekerja, Hadapi Ketakutan yang Berbeda

Di tengah pandemi saat ini, dengan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan penanganan wabah COVID-19, masih belum terlihat representasi perempuan sebagai pemimpin. Bahkan, dalam pembentukan gugus tugas tingkat nasional pada Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi tidak melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Padahal, selain perempuan merupakan pihak paling rentan karena pandemi, perawat yang bertugas menangani pasien terpapar COVID-19 juga didominasi oleh perempuan yang harus meninggalkan keluarganya.

Di ranah global, dalam laporannya WHO juga menyebutkan bahwa, tak hanya terjadi ketimpangan gender dalam persentase pemimpin perempuan di sektor kesehatan. Tenaga kesehatan perempuan  juga mendapatkan upah 28 persen lebih rendah dibanding laki-laki. Mereka lebih banyak menghadapi hambatan dan kesulitan diangkat menjadi pegawai tetap maupun naik jabatan. Hal ini menjadi bukti bahwa perempuan di bidang kesehatan masih dinomorduakan.

Dua Sisi Mata Uang Perempuan di Bidang Kesehatan

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, Dumilah Ayuningtyas mengatakan, posisi perempuan di bidang kesehatan itu seperti dua sisi mata uang. Stereotip gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih penyayang dan memiliki empati sosial yang besar membuat mereka diarahkan untuk bekerja di bidang kesehatan. Namun di sisi lain, budaya patriarkal yang masih kuat di masyarakat juga menjadi hambatan perempuan untuk bisa naik ke posisi atas.

“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan.”

“Perempuan itu identik dengan caring, empati, responsiveness. Budaya di masyarakat kita juga kan kalau kerja di tambang dan perminyakan itu dianggap maskulin, jadinya diarahkan buat laki-laki. Tapi meski sudah dominan di bidang tertentu, perempuan kadang punya hambatan dari dalam, yang enggak kelihatan,” ujar Dumilah kepada Magdalene.

Senada dengan Dumilah, Ade W. Prastyani, peneliti dari Center for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada, menulis dalam artikelnya di The Conversation bahwa peran gender tradisional yang dilekatkan pada perempuan sangat berpengaruh pada karier mereka di dunia kesehatan. Menurutnya, jalur karier tenaga medis perempuan setelah pendidikan dan kewajiban dinas dipengaruhi oleh tuntutan sosial, termasuk besarnya peran gender yang mereka hadapi. Tenaga kesehatan perempuan cenderung tidak bisa begitu bebas memilih lokasi tempat kerja. Apalagi jika lokasinya terpencil dan jauh dari keluarga, tulisnya.

Hal itu cukup disayangkan karena masalah disparitas atau tidak meratanya jumlah tenaga kesehatan di Indonesia merupakan persoalan yang sudah ada sejak dulu. Pemerintah pun terus berupaya melakukan program-program pemerataan tenaga medis, dengan jalan mengirimkan mereka bertugas ke daerah terpencil.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Tenaga Kesehatan Perempuan Terhalang Peran Gender Normatif

Sejak 2015, pemerintah mengadakan program Nusantara Sehat (NS) yang telah mengirim lebih dari 700 tenaga kesehatan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Berbagai aspek kerja para tenaga dan alumnus di program NS itu menjadi salah satu subjek penelitian Ade. Ia menemukan bahwa peran gender merupakan salah satu faktor yang membatasi persepsi karier tenaga kesehatan perempuan di dunia profesional. Banyak di antara mereka yang memutuskan tidak melanjutkan penugasan di daerah terpencil karena alasan personal.

“Program NS ini berdurasi dua tahun. Setelahnya bisa dilanjutkan untuk penugasan secara individu. Namun dari hampir semua tenaga kesehatan NS yang kami wawancarai, faktor keluarga dan persepsi peran gender mendominasi narasi mereka akan perjalanan karier. Keputusan mengenai lokasi kerja mereka selalu diwarnai pertimbangan kuat untuk mendapatkan persetujuan keluarga,” tulis Ade.

Ketiadaan dukungan keluarga serta tuntutan peran gender normatif terhadap perempuan itu, menurut Ade, mempersulit perempuan menapaki jenjang karier yang lebih atas di bidang kesehatan. Padahal, tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, gizi, kefarmasian, dan teknisi laboratorium kesehatan yang didominasi perempuan adalah profesi kesehatan dengan disparitas distribusi yang besar di kawasan urban pedesaan/terpencil di Indonesia.  

“Salah satu perempuan alumnus program NS yang berprofesi teknisi laboratorium yang kami wawancara, misalnya, harus mengurungkan niatnya untuk bekerja lagi di bawah program NS individu karena larangan orang tuanya. Ibunya memintanya memprioritaskan menikah,” ia menambahkan.

Jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan.

Kesempatan Naik Jabatan Lebih Besar untuk Tenaga Kesehatan Laki-Laki

Selain hambatan personal karena keluarga dan budaya, Dumilah menilai bahwa sistem birokrasi di sektor kesehatan sekarang ini masih belum melihat minimnya keterwakilan perempuan di posisi atas sebagai suatu masalah. Akibatnya, belum ada ruang yang cukup untuk mendorong agar perempuan lebih berani.

 “Banyak kasus yang kadang perempuannya itu tidak siap [untuk ditugaskan]. Padahal, mereka sama-sama kompeten dan punya kapasitas,” ujar Dumilah.

Sistem di lembaga kesehatan yang tidak begitu mendorong perempuan untuk naik ke posisi atas juga ditemukan oleh akademisi Universitas Airlangga, Nuzulul Kusuma Putri, dalam penelitiannya yang bertajuk “Gender segregation of health workforce in the community healthcare setting” (2018). Nuzulul melakukan studi kasus pada 352 pejabat publik dalam organisasi kesehatan dua provinsi. Ia menemukan bahwa walaupun pekerja perempuan memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang sama, banyak pemimpin perempuan di bidang kesehatan terhenti pada tingkat kepemimpinan setingkat kepala seksi.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Sementara pemimpin laki-laki memiliki kesempatan yang lebih besar untuk naik ke posisi jabatan lebih tinggi setingkat kepala bidang hingga kepala dinas, tulis Nuzulul.

“Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh adanya stereotip gender pada sistem kesehatan,” tambahnya.

Dumilah mengatakan, jika pemerintah mau melihat isu ini sebagai permasalahan serius, maka politik afirmasi yang sudah diberlakukan di bidang politik bisa jadi pertimbangan untuk diberlakukan juga di bidang kesehatan. Hal itu, terutama dalam hal pemilihan kepemimpinan, agar perempuan lebih berani maju, ujarnya.

“Harus ada political will dulu kalau pemerintah mau membenahi isu ini. Sekarang ini kan cuman istilahnya ‘dijatahkan’, kesannya itu perempuan sudah diatur porsinya, kalau enggak ada jatah ya sudah dilupakan,” kata Dumilah.

Read More

Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan seksual di tempat kerja bukanlah hal langka yang kita dengar. Tetapi, sering kali korban-korbannya tidak melaporkan pelecehan yang mereka alami pada saat kejadian.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di Australia (AHRC) pada 2018 mengenai pelecehan seksual di Australia menemukan bahwa sebagian besar pelecehan seksual terjadi di tempat kerja. Sebagai contoh, di industri media dan telekomunikasi, 81 persen pekerjanya dilaporkan mengalami pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir.

Sementara, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewan Balai Perdagangan Victoria (VTHC) di tahun 2016 menemukan sebesar 64 persen responden perempuan pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya.

Di Australia, sebagian besar pelecehan seksual di tempat kerja tidak dilaporkan. Survei AHRC menemukan bahwa hanya 17 persen orang yang pernah mengalami pelecehan seksual membuat pengaduan resmi.

Mengapa Korban Pelecehan Seksual di Kantor Tak Melapor?

Mereka yang mengalami pelecehan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa menyatakan bahwa mereka merasa hal tersebut akan dilihat sebagai reaksi yang berlebihan. Beberapa juga melihat bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk diam.

Sebuah survei pada tahun 2017 terhadap pekerja di industri media dan seni menemukan bahwa sebagian besar orang enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena takut melukai karier mereka. Studi VTHC menemukan 19 persen dari perempuan yang pernah mengalami pelecehan meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa tidak aman di tempat kerja. Dengan kata lain, mereka lebih suka meninggalkan tempat kerja yang berisiko daripada mengambil langkah-langkah untuk memastikan kasus pelecehan tidak terjadi lagi.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh mereka yang menyaksikan untuk menghentikan pelecehan seksual. Hampir 70 persen mereka yang menyaksikan terjadinya pelecehan atau mereka yang sadar akan pelecehan tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pelecehan tersebut atau mengurangi dampak negatif yang dihasilkan.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan

Akar Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Maraknya pelecehan seksual di tempat kerja menunjukkan sebuah budaya di mana kekerasan berbasis gender telah dianggap sebagai suatu hal yang normal. Hal ini juga tentunya menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidaksetaraan gender baik di tempat kerja maupun secara umum.

Ketidaksetaraan gender di tempat kerja mencerminkan bahwa hal tersebut ada dan nyata di masyarakat. Sikap dan perilaku seksis yang mengarah kepada kekerasan di luar pekerjaan tidak berhenti sebatas gerbang pabrik atau pintu keluar kantor.

Our Watch, sebuah badan nasional Australia yang bergerak di pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan gender berada di tengah-tengah berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan Australia di rumah mereka, dalam hubungan personal mereka dan di dalam komunitas yang lebih luas.

Riset yang dilakukan oleh Our Watch mendokumentasikan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan:

  • Normalisasi kekerasan terhadap perempuan;
  • Kontrol pria terhadap pengambilan keputusan dan batasan untuk independensi perempuan;
  • Konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas;
  • Rasa tidak hormat terhadap perempuan; dan
  • Hubungan teman sebaya pria yang menekankan agresi. Pemicu ini tercermin dalam struktur dan budaya tempat kerja.

Dalam sebuah artikel ilmiah yang saya tulis bersama kolega saya, Sally Weller dan Tom Barnes, kami berpendapat bahwa peraturan di tempat kerja yang dirancang untuk melindungi perempuan tidak efektif karena peraturan tersebut gagal menjawab masalah ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan.

Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan termasuk juga ketidaksetaraan upah berbasis gender, kerugian, dan diskriminasi karena tanggung jawab perempuan untuk merawat keluarganya, dan sebagai korban kekerasan berbasis gender.

Pada akhirnya, ketidaksetaraan ini merusak kapasitas perempuan untuk mengajukan keluhan, merampas hak pilihan dan suara mereka dan menciptakan rasa tidak aman. Tanpa kapasitas untuk mengajukan keluhan dan menuntut hak-hak mereka, hak-hak ini tidak dapat terealisasi. Karena itu, setiap strategi yang dirancang untuk mengakhiri pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan gender di tempat kerja harus membahas struktur dan budaya ketidaksetaraan dan seksisme yang ada.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Bagaimana Mengatasi Pelecehan Seksual di Tempat Kerja?

Langkah pertama yang penting adalah pengakuan perusahaan bahwa ada masalah ketidaksetaraan gender di kantor mereka. Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terdokumentasi, akan sangat membantu jika pengusaha memulai dengan mengakui bahwa kekerasan gender mungkin ada di organisasi mereka.

Penerimaan ini akan mempromosikan pendekatan proaktif untuk mengatasi faktor-faktor yang mendorong kekerasan daripada pendekatan reaktif saat ini yang melihat mereka menangani keluhan ketika korban maju. Mengubah peraturan di tempat kerja untuk memastikan bahwa organisasi memiliki tugas untuk menghilangkan risiko kekerasan gender akan memperkuat ini. Namun, perubahan struktur, perilaku dan sikap yang mendorong ketimpangan juga penting.

Gerakan serikat buruh Victoria telah mengembangkan strategi yang komprehensif untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Program mereka berfokus pada, salah satunya adalah, penerapan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan gender.

Pertama-tama, mereka memasukkan masalah kekerasan berbasis gender ke bidang kesehatan dan keselamatan, mewajibkan WorkSafe–semacam BPJS di Victoria, Australia–untuk menjadi lebih aktif mengidentifikasi dan memberantas risiko terjadinya kekerasan berbasis gender.

Kedua, serikat buruh Victoria membangun jalur pengaduan kolektif pelecehan seksual dan kekerasan gender ke hadapan komisi pekerja yang adil melalui penjaminan hak-hak mereka dalam perjanjian bersama.

Akhirnya, serikat buruh Victoria juga membahas seksisme dan meningkatkan kapasitas gerakan serikat pekerja untuk proaktif dalam ruang ini dengan mengadopsi program pendidikan komprehensif untuk perwakilan kesehatan dan keselamatan, delegasi serikat pekerja dan pejabat serikat pekerja.

Sistem hukum untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja bergantung pada pengaduan orang-orang yang telah mengalami pelecehan. Jika mereka tetap enggan melapor, tidak akan ada banyak perubahan. Untuk perubahan nyata, kita harus mengatasi penyebab mendasar pelecehan seksual dan kekerasan gender yaitu masalah ketidaksetaraan gender.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.Lisa Heap adalah Adjunct Professor di Institute of Religion, Politics and Society, Australian Catholic University. Ia juga merupakan anggota Dewan Menteri Pemerintah Victoria untuk Kesetaraan perempuan. Antara 2015 dan Januari 2018 Lisa memimpin unit Hak dan Keselamatan perempuan di Victorian Trades Hall Council (VTHC). Saat ini ia adalah kandidat Phd di RMIT University.

Read More

4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Sudah sepuluh bulan ini kantor media tempat “Laura” bekerja menerapkan sistem kerja dari rumah (work from home/WFH). Sistem kerja tersebut membawa tantangan tersendiri baginya, bukan karena ia harus bekerja ganda, mengurus anaknya yang masih balita sambil melakukan tugas-tugas kantor, tetapi juga karena situasi kerja yang membuatnya tidak nyaman semakin menjadi.

“Setiap minggu ada meeting lewat Zoom yang dihadiri sepuluh orang termasuk bos saya. Di setiap meeting itu, saya merasa tidak diberi banyak kesempatan untuk bicara atau memberi ide,” ujar ibu satu anak berusia 29 tahun itu.

“Tapi sebetulnya ini juga sudah terjadi sebelum pandemi dan WFH, waktu masih kerja di kantor,” ia menambahkan.

Laura mengisahkan bagaimana setiap ia mulai berbicara, ada saja kolega laki-lakinya yang memotong. Kalaupun ia berhasil mengungkapkan pendapatnya, mereka sering kali mengkritik atau bahkan meremehkan Laura.

“Misalnya waktu saya mengajukan diri untuk meliput satu isu untuk artikel investigasi. Teman cowok ada yang berkomentar liputan itu akan berat banget untuk saya, apalagi karena saya punya anak,” kata karyawati media daring ini.

Laura merasa aktualisasi dirinya terhambat di kantornya yang didominasi laki-laki tersebut. Semakin lama, ia merasa semakin kecil hati bisa banyak berkontribusi dan diapresiasi di sana.

“Kelihatan sekali perbedaan perlakuan terhadap saya dan kolega laki-laki. Setiap bicara saya malah dipotong atau tidak didengar. Kelihatannya seolah-olah saya enggak kontribusi apa-apa di meeting,” ujar Laura.

“Sementara, teman yang cowok sering banget dipuji karena rajin memberi ide. Padahal, salah satu ide yang dia ajukan itu hasil obrolan saya sama dia.”

Sempat terpikirkan olehnya untuk pindah tempat kerja. Tapi, Laura ragu apakah di tempat kerja lainnya situasi yang akan ia hadapi berbeda dengan kantornya sekarang.

Perempuan Tidak Didengarkan di Tempat Kerja dan Dampaknya

Pengalaman Laura ini senada dengan temuan survei dari Catalyst, sebuah lembaga nonprofit yang mendukung kepemimpinan perempuan di Amerika Serikat, yang dikutip dalam artikel di situs World Economic Forum. Sebanyak 45 persen perempuan pemimpin bisnis mengatakan bahwa sulit bagi perempuan untuk bisa bicara di tengah meeting virtual.

Selain itu, riset Catalyst tersebut juga menemukan satu dari lima perempuan merasa diabaikan oleh koleganya saat melakukan panggilan video, dan tiga dari lima karyawati merasa prospek mendapat promosi bagi mereka semakin buruk saat bekerja jarak jauh.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Lebih sedikitnya kesempatan berbicara bagi perempuan di dunia profesional tidak lepas dari anggapan miring terkait perempuan yang vokal.

“Kami telah melihat hal itu terjadi lagi dan lagi. Ketika seorang perempuan berbicara di konteks profesional, dia berada di situasi rentan. Entah dia tidak akan didengar atau dia dinilai terlalu agresif. Waktu laki-laki melakukan hal yang sama, banyak orang yang mengapresiasi idenya,” demikian pendapat Chief Operating Officer Facebook dan pendiri LeanIn.Org, Sheryl Sandberg dan profesor sekolah bisnis, Adam Grant dalam artikel opini mereka di The New York Times. 

Sandberg dan Grant mengutip riset-riset yang temuannya menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit berbicara dan lebih sering diinterupsi, serta dicecar idenya oleh koleganya yang lain. Lebih lanjut, ada pula riset yang mereka sebutkan menyatakan bahwa sementara laki-laki yang berbicara dipandang 10 persen lebih kompeten, perempuan yang melakukan hal yang sama dinilai 14 persen kurang kompeten.

Mendorong Perempuan Lebih Didengarkan

Untuk mengubah situasi di kantor seperti ini, baik para pekerja perempuan maupun pihak pimpinan perusahaan perlu membuat inisiatif-inisiatif. Dari sisi pimpinan perusahaan, Sandberg dan Grant menyarankan supaya mereka lebih berfokus pada ide-ide yang diusulkan dibanding siapa yang mengusulkannya. Dengan begini, peluang bagi perempuan untuk berkontribusi akan menjadi lebih besar.

Kesadaran untuk membuka ruang bagi pekerja perempuan juga harus lebih ditingkatkan oleh para pemimpin perusahaan. Selain itu, mereka juga perlu menekankan bahwa dalam rapat, para anggotanya tidak diperkenankan untuk menginterupsi siapa pun yang sedang berbicara.

Mantan Presiden AS Barack Obama pernah melakukannya saat ia baru menjabat, membuat kesepakatan bersama timnya untuk memberi kesempatan lebih banyak pada perempuan untuk berbicara dan tidak menolerir ‘mansplaining’.

Dalam jangka panjang, menurut Sandberg dan Grant, strategi yang bisa dilakukan untuk memperbesar ruang bicara bagi perempuan adalah meningkatkan jumlah perempuan di posisi pimpinan. Meningkatnya jumlah perempuan di berbagai posisi pekerjaan pada akhirnya memungkinkan terciptanya normalisasi perempuan berbicara di tengah rapat atau diskusi.

Lantas, apa yang bisa perempuan lakukan untuk mengurangi tindakan laki-laki menginterupsi atau membungkam mereka dalam rapat?

1. Sadari bahwa kita sedang diinterupsi dan itu hal yang tidak benar

Sering kali perempuan tidak sadar bahwa kolega laki-lakinya, entah dengan sengaja atau tidak, menghentikan upaya mereka berkontribusi dengan menyela omongannya. Selain itu, budaya di masyarakat juga kerap menekankan perempuan untuk lebih bersikap mengalah atau pasif dibanding laki-laki.

Langkah pertama untuk membuka ruang bicara lebih lebar bagi perempuan adalah dengan menyadari hal ini. Alih-alih mengamini norma gender yang mendorong perempuan menjadi pasif, kita perlu mendobrak pemikiran tersebut dan terus berusaha mengemukakan gagasan-gagasan kita di tengah rapat.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

2. Cara Hadapi Mansplaining Selanjutnya dengan Bersikap Lebih Asertif

Ketika kita diinterupsi oleh kolega laki-laki, kita tidak boleh lagi membiarkannya terjadi di kemudian hari. Konsultan pengembangan kepemimpinan dan penulis The Power of Presence and The Inspiration Code, Kristi Hedges menulis di Forbes, salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan cepat menanggapi si kolega laki-laki begitu ada tanda dia menginterupsi.

Sebagai contoh, kita bisa mengatakan kepadanya, “Bambang, saya hargai pendapatmu dan saya bisa menangani ini”, “Izinkan saya melanjutkan dulu dan kalau masih ada pertanyaan atau tanggapan, kita bisa bicarakan nanti”, atau “Komentarmu membuat saya penasaran, apakah akan membantu bila kamu mengetahui latar belakang saya?”.

3. Maju terus, Abaikan Interupsinya

Penulis buku Feminist Fight Club: An Office Survival Manual (For a Sexist Workplace) Jesssica Bennet menyarankan kepada perempuan untuk tidak ragu meneruskan pembicaraannya ketika terlihat upaya menginterupsi dari laki-laki.

“Tugasmu adalah menjadi tetap kuat dan terus berbicara. Usahakan jeda yang kamu buat sesebentar mungkin. Jaga momentum kamu. Tidak peduli bila dia [kolega laki-laki] melambaikan tangannya, menaikkan suaranya, bergelagat gelisah di kursinya, lakukanlah yang perlu kamu lakukan. Pura-pura tuli saja kalau kamu harus demikian; itu berguna membantumu menyampaikan gagasan. Kuncinya adalah mencegah dia berbicara sembari kamu bertingkah seolah orang yang paling santai di ruangan itu,” tulis Bennet dalam artikel “How to win against manterrupter” di Business Chicks.

4. Dukung Sesama Perempuan Berbicara Cara Hadapi Mansplaining yang Tepat

Dalam tulisannya yang lain di Time, Bennet menyarankan agar kita tidak ragu untuk mendukung sesama perempuan bila ide yang dia berikan bagus. Dengan demikian, kita akan mendapat efek timbal balik yang positif di kemudian hari selagi menunjukkan diri sebagai pekerja dalam tim yang baik.

Seiring dengan itu, saat menyadari ada kolega perempuan yang diinterupsi, biasakan diri untuk berusaha menyetopnya. Entah dengan menyenggolnya saat rapat, memberi kode untuk tidak memotong, atau bahkan secara gamblang berkata, “Tunggu, biarkan dia [si perempuan yang sedang berbicara] selesai dulu,” atau “Saya mau mendengarkan apa yang mau disampaikan Jess”. Kata-kata yang bisa kita gunakan saat itu bisa bermacam-macam. Yang terpenting adalah tidak diam saja ketika melihat perempuan diinterupsi dalam rapat.

Read More
kepemimpinan perempuan pada era kolonial

10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang telah berjasa memperjuangkan nasib negara ini. Tapi, yang jauh lebih banyak diperkenalkan, baik di instansi pendidikan (sekolah), dan instansi-instansi lainnya adalah pahalawan Indonesia yang berjenis kelamin laki-laki. Sedikitnya yang diperkenalkan, pasti lagi-lagi R. A. Kartini, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, dan Rasuna Said. Padahal, kalau dicermati lewat beragam literatur yang ada, ada banyak sekali nama pahlawan perempuan Indonesia yang belum kita ketahui dan jarang diperkenalkan.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Pahlawan nasional perempuan Indonesia itu tidak terbatas pada pahlawan yang berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajah ratusan tahun silam, tapi juga pahlawan yang berjasa di masa modern seperti sekarang ini. Perjuangan para pahlawan perempuan ini juga beragam, dimulai dari perjuangan fisik di medan perang, sampai perjuangan ideologi di bidang pendidikan, diplomasi, pengembangan komunitas, dan lain-lain. Tanpa jasa mereka, tentu saja kemerdekaan yang dicapai tidak akan seluas sekarang.

Berikut ini adalah daftar nama pahlawan perempuan Indonesia yang perlu kamu ketahui:

1. Pahlawan Perempuan Indonesia yang Terlupakan: Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu

kemudian ada Martha Christina Tiahahu, pejuang perempuan yang berasal Desa Abubu, Pulau Nusa Laut yang lahir pada tanggal 4 Januari 1800.

Waktu itu, saat baru menginjak umur 17 tahun, seorang Martha sudah percaya diri untuk mengangkat senjata untuk melawan para penjajah. Martha juga diketahui tidak pernah bolos dalam memberikan energi buat kaum perempuan untuk mendukung laki-laki saat di medan peperangan.

Dibalik perlawanannya selama masih remaja, Martha harus menetap dengan sang ayah yaitu Kapitan Paulus Tiahahu yang diberikan hukuman mati oleh tetara Belanda. Martha pun mulai terganggu kesehatan fisiknya serta mental, dan akhirnya Martha pun ditangkp bersama rekannya yang ada 39 orang. Lalu digiring ke Pulau Jawa dengan kapal Eversten untuk dijadikan pekerja paksa di kebun kopi.

Keadaan fisik Martha yang terus memburuk di dalam kapal. Kejadian ini diketahui karena ia tidak mau makan atau di beri obat. Sampai akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, Martha pun meninggal dan dikuburkan dengan diberikan penghormatan secara militer ke Laut Banda.

2. Laksamana Malahayati

nama pahlawan perempuan indonesia Laksamana Malahayati

Satu lagi nama pahlawan perempuan Indonesia asal Aceh, Keumalahayati. Malahayati termasuk perempuan kelahiran Aceh Besar pada tahun 1550. Dengan kegagahannya serta keberaniannya, Malahayati menjadi pemimpin buat dua ribu orang tentara Inong Balee atau para janda pahlawan yang sudah meninggal akibat perang.

Dengan ketabahan hatinya, pahlawan perempuan ini bersama pasukannya bertempur melawan kapal serta benteng pertahanan Belanda sekaligus berhasil membunuh Cornelis de Houtman yang terjadi pada tahun 1599 tepatnya tanggal 11 September. Karena keberaniannya tersebut, akhirnya Malahayati mendapatkan sebuah gelar Laksamana.

Akan tetapi, pada tahun 1615 Malahayati harus meninggal ketika sedang dalam sebuah misi yang harus melindungi Teluk Krueng Raya dari gempuran tetara Portugis yang dikepalai oleh Laksamana Alfonso De Castro.

3. Nama Pahlawan Perempuan Indonesia Berasal dari Jawa Tengah: Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang

Pahlawan perempuan yang berasal dari keturunan Sunan Kalijaga yaitu R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, atau biasa diketahui dengan nama Nyi Ageng Serang.

Perempuan yang lahir di tahun 1752 ini merupakan putri dari Natapraja yang merupakan seorang Pangeran dan ikut berperang melawan para penjajah bersama anggota keluarganya seperti kakak dan ayahnya. Seiring dengan keluarganya, ia terus bersemangat saat membela rakyat apa lagi waktu kematian kakaknya karena melindungi Pangeran Mangkubumi waktu berperang dengan Paku Buwono I yang didukung Belanda.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Meskipun sang ayah, kakak, serta sang suami akhirnya meninggal lebih dulu dalam perlawanannya, Nyi Ageng Serang dengan gagah tetap memimpin para pasukan yang masih ada pada usia 73 tahun.

Kegagahan serta kehebatan Nyi Ageng Serang juga mendapat pembenaran dari Pangeran Diponegoro karena sukses membuat strategi sampai dipercaya menjadi salah satu penasehatnya. Akan tetapi, sebelum perang Dipenoegoro usai, Nyi Ageng Serang harus menghembuskan napas terakhirnya diumur 76 tahun karena pandemi penyakit malaria yang diidapnya.

4. Nama Pahlawan Perempuan Indonesia dari Jawa Barat: Maria Walanda Maramis

Maria Walanda Maramis

Jika Kartini serta Dewi Sartika merupakan pahlawan perempuan dari Jawa Barat, ada pula pahlawan emansipasi perempuan dari Minahasa yaitu Maria Walanda Maramis. Perempuan yang lahir pada tanggal 1 Desember 1872 ini juga berjuang dalam membebaskan perempuan dari kurangnya pendidikan.

Setelah pernah bersekolah di Melayu di Maumbi, lebih tepatnya di wilayah Minahasa Utara, selama 3 tahun dan tidak bisa meneruskan bangku pendidikan ke level yang lebih lagi, Maria akhirnya memutuskan untuk membikin semacam lembaga yang kasih nama yaitu Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau kalau di singkat menjadi PIKAT, dengan tujuan untuk mengembangkan pendidikan buat para kaum perempuan.

Lewat PIKAT, perempuan pribumi mendapatkan dasar dari berbagai ilmu buat berumah tangga misalnya masak, menjahit, mengasuh bayi, dan yang lain. semasa ia hidup, Maria sibuk bekerja di PIKAT sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 22 April 1924.

5. Pahlawan Nasional Perempuan Berhijab: Rasuna Said

nama pahlawan perempuan indonesia Rasuna Said

Perempuan yang lahir di Jakarta bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau lebih populer dengan panggilan Rasuna Said juga merupakan seorang pejuang perempuan yang berjuang untuk persamaan hak perempuan dengan laki-laki.

Menurut Rasuna Said, kaum perempuan tidak cuma didapat dari hasil mendirikan sekolah, tetapi juga dapat berjuang ke dalam politik. Rasuna Said pun terus bekerja serta berjuang dengan membuat pidato politik saat membela negara.

Akan tetapi saat pidatonya yang melawan pemerintah Belanda, dia dikenakan Speek Delict Law, yaitu peraturan atau hukum yang berasal dari Belanda buat orang yang berpidato atau berbicara memusuhi Belanda. Rasuna Said akhirnya dibekuk bersama dengan temannya, Rasimah Ismail, lalu di jatuhi hukuman penjara di daerah semarang pada tahun 1932.

Indonesia akhirnya bisa merebut kemerdekaan pada tahun 1945, Rasuna Said langsung aktif menjadi Dewan Perwakilan Sumatra untuk menjadi wakil rakyat Sumatra Barat dan pernah dijadikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat atau DPR RIS.

Rasuna Said juga pernah menjabat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 2 November 1965 karena ia mengidap penyakit kanker darah.

6. Nama Pahlawan Perempuan Indonesia Berasal dari Sulawesi: Andi Depu

Andi Depu

Terakhir yang kita bahas adalah Andi Depu, merupakan seorang perempuan yang punya nama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa yang juga seorang pahlawan perempuan berasal dari Tinambung, Sulawesi Barat.

Karena keberanian serta kekuatannya, seorang Andi Depu sukses mempertahankan daerahnya dari gempuran Belanda. Tidak sampai situ saja, Andi Depu juga dengan gagah berhasil menaikan bendera Merah Putih waktu tentara Jepang menyerbu Mandar waktu tahun 1942.

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Kegigihan seorang Andi Depu yang bisa kita jadikan contoh ini kemudian diberikan sebuah tanda Bintang Mahaputra Tingkat 4 dari Pak Soekarno langsung. Dan juga, Pak Jokowi juga memberikan sebuah gelar Pahlawan Nasional buatnya serta 5 tokoh bangsa yang lain tertuang pada dektrit Presiden Republik Indonesia Nomor 123 pada tahun 2018 mengenai pemberian Gelar Pahlawan Nasional.

7. Opu Daeng Risaju

Opu Daeng Risaju

Opu Daeng Risaju merupakan salah satu anggota Partai Sarekat Islam yang sangat berberpengaruh, khususnya di Sulawesi Selatan. Dia menjadi anggota PSII cabang Pare-Pare, lalu mendirikan dan memimpin PSII cabang Palopo pada tahun 1930. Dia aktif menjadi seorang perempuan yang melawan penjajahan dengan cara modern, yaitu dengan gencar memperkenalkan ide tentang kemerdekaan bangsa Indonesia ke kerabat dan tetangga-tetangganya.

Ketidak sukaan Belanda pada upaya Opu Daeng Risaju ini membuat dirinya ditangkap selama 12 bulan dengan tuduhan bahwa ia telah menghasut rakyat.  Pada tahun 1933, ia kembali ditangkap karena gerakan-gerakannya dianggap semakin membahayakan. Ia divonis kerja paksa selama 14 bulan. Tak berhenti sampai di situ, perjuangan Opu Daeng Risaju masih berlanjut sampai masa penjajahan Jepang, di mana ia mempengaruhi pembentukan cabang PSII di berbagai wilayah lain.

8. Sri Mangunsarkoro

Sri Mangunsarkoro

Sri Mangunsarkoro merupakan ketua pertama dari organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Sri Mangusarkoro berhasil menjadikan Perwari sebagai organisasi yang vokal memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pernikahan dengan pendekatan liberal-feminis.

Perwari memfokuskan perjuangan untuk mewujudkan terciptanya regulasi yang mengatur keadilan bagi perempuan di dalam pernikahan, seperti mendorong adanya ketentuan monogami, usia minimal pernikahan, kesetaraan ketentuan dalam perceraian, hak milik dan warisan, serta hak dan kewajiban suami dan istri dalam pernikahan. Di bawah pimpinan Sri Mangunsarkoro juga Perwari gencar melakukan forum publik, mengadakan petisi, demonstrasi di jalanan, dan delegasi dengan pemerintah untuk melancarkan agenda mereka.

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Sebelum menjadi ketua Perwari, Sri Mangunsarkoro sudah aktif menginisiasi dan mengetuai berbagao gerakan dan organisasi perempuan. Seperti memimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga, ketua Keputrian Jong Java pada 1920, ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta pada tahun 1935, sampai ketua Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI).

9. Soewarni Pringgodigdo

nama pahlawan perempuan indonesia Soewarni Pringgodigdo

Soewarni Pringgodigdo merupakan pendiri organisasi perempuan sekuler yang progresif bernama Isteri Sedar. Soewarni berhasil membawa Isteri Sedar menjadi organisasi perempuan yang secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis.

Lewat majalah terbitan organisasi itu yang bernama Sedar, Soewarni gencar menyampaikan kritik dan perlawanannya terhadap ketidak setaraan gender, poligami, pentingnya kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik. Soewarni yang sangat membenci poligami sempat mendapat penilaian buruk dari berbagai golongan, sampai dicibir karena dianggap terlalu galak. Tapi ia tetap konsisten memperjuangkan ideologinya tersebut melalui berbagai medium.

10. Maria Ulfah Santoso

nama pahlawan perempuan indonesia Maria Ulfah Santoso

Lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911, Maria Ulfah Santoso adalah perempuan pertama dari Hindia Belanda yang lulus dari sekolah hukum di Belanda. Begitu pulang ke Indonesia, ia pun aktif membela hak-hak perempuan, terutama dalam hal pernikahan di mana mereka mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari laki-laki yang menjadi suami mereka.

Setelah Indonesia merdeka pada Desember 1945, Maria menjadi salah satu inisiator Kongres Perempuan Indonesia di Klaten, Jawa Tengah dan menjadi ketua untuk badan yang membahas perumusan Undang-Undang Perkawinan.

Nah, kita sudah membahas nama Pahlawan perempuan Indonesia yang sudah punya jasa besar serta keberaniannya bisa kita jadikan contoh serta pembelajaran buat anak muda. Semoga generasi sekarang bisa mempunya jiwa seperti para pahlawan Indonesia ya.

Read More
Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta lahir hanya dari jerih payah para laki-laki saja, namun terdapat andil pahlawan perempuan juga di dalamnya. Sejak dahulu, perempuan juga sudah banyak berperan dalam berbagai gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka dengan berani serta gigih berjuang di garis terdepan dan membantu dengan segala cara mereka.

Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

Dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali patriot-patriot perempuan yang siap berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda serta Jepang. Tidak hanya di garis depan memegang senjata, mereka juga pandai mengatur strategi serta membantu menyuplai perbekalan para tentara yang berjuang di medan perang.

Walaupun dahulu mereka tidak mengenal istilah feminisme dan kesetaraan gender, para perempuan ini hanya memiliki satu tujuan yaitu merdeka. Mau laki-laki atau pun perempuan, mereka bekerja sama agar cita-cita untuk merdeka tercapai. Sebagai generasi penerus bangsa, kita perempuan juga perlu banyak belajar dari cerita-cerita para pahlawan perempuan Indonesia. Maka dari itu, berikut ini beberapa nama pahlawan perempuan beserta keahlian mereka, yang perlu kamu ketahui. 

1. Panglima perang perempuan pertama Laksamana Malahayati

nama pahlawan perempuan indonesia Laksamana Malahayati

Siapa sangka Indonesia memiliki seorang laksamana perempuan. Ia bernama Keumalahayati, atau lebih dikenal sebagai Laksamana Hayati. Ia seorang alumni Akademi Ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam Ma’had Biatul Makdis, yang dilatih oleh instruktur perang dari Turki.

Baca Juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Laksamana Hayati merupakan perempuan panglima perang pertama di Nusantara. Saat itu, sebelum kolonialisme masuk ke Indonesia, prajurit perempuan merupakan hal yang biasa dimiliki oleh kerajaan.

Ketika suaminya, Laksamana Zainal Abidin, meninggal dalam perang melawan Portugis di Teluk Haru, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang.

Ia pun diangkat menjadi pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat Laksamana.

Laksamana Malahayati bersama dengan pasukannya pun berhasil memukul mundur Belanda pada 1559 dan menyebabkan tewasnya salah satu pemimpinnya, Cornelis De Houtman.

2. Jeane D’Arc asal Indonesia Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah remaja perempuan berusia 17 tahun yang melawan penjajahan Belanda di daerah Maluku. Christina lahir pada 4 Januari 1800 sebagai anak pertama dari Kapitan Paulus Tiahahu, seorang pemimpin tentara rakyat Maluku. Ia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan sang ayah mewariskan keahlian berperang dan menggunakan tombak pada Christina.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

Dengan berani, Martha mendampingi sang ayah memimpin pasukan di Pulau Nusalaut, Saparua. Ia juga turut andil dalam membakar semangat para perempuan Maluku lainnya untuk angkat senjata ddalami perang ini. Walaupun sempat menjatuhkan Benteng Duurstede bersama dengan kepemimpinan Pattimura, bagaimanapun juga laskar rakyat Maluku tetap kalah jumlah.

Ayah Martha ditangkap lalu dijatuhi hukuman mati. Nasib Martha sendiri awalnya dibebaskan namun, kembali ditangkap  lalu dipekerjakan paksa sebagai budak di Pulau Jawa. Dalam perjalanan di kapal, kondisi kesehatan Martha memburuk dan ia menolak untuk diobati dan makan. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1818.

3. Cut Meutia

pahlawan perempuan indonesia cut meutia

Lahir di Keureutoe, Pirak Timur, Aceh Utara pada 15 Februari 1870, Cut Meutia adalah salah satu Pahlawan Nasional asal Aceh. Perlawanan Cut Meutia melawan penjajahan Belanda berawal dari membantu sang suami Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Sebelum meninggal dunia, Tjik Tunong memberikan wasiat pada teman dekatnya, Pang Nangroe agar bersedia menikahi istrinya dan merawat anak mereka.

Cut Meutia akhirnya menikah dengan Pang Naggroe dan kembali berjuang di medan perang. Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910. Setelah itu Cut Meutia kembali melanjutkan perjuangan bersama dengan pasukan yang tersisa. Ia berhasil menyerang dan merampas pos-pos Belanda sambil bergerak maju melalui hutan belantara. Pada 24 Oktober 1910, Cut Meutia akhirnya gugur dalam bentrokan di Alue Kurieng.

4. Pahlawan perempuan ahli strategi Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1762. Ia merupakan keturunan Sunan Kalijaga yang mendapat wilayah di Serang.  Sejak ia kecil, Nyi Ageng Serang menyukai latihan bela diri serta strategi perang. Ia menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam tiap serangan dalam Perang Jawa. Perang ini merupakan perang yang paling berpengaruh dalam membuat VOC atau kongsi dagang Belanda bangkrut.

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Biang keladinya? Tentu saja Nyi Ageng Serang dan pasukannya, Semut Ireng. Taktik gerilya yang berhasil memorak-porandakan pasukan VOC menjadi salah satu inspirasi Jenderal Sudirman dan digunakan pada perang revolusi.

Nyi Ageng Serang juga dikenal dengan kesaktiannya dengan memberikan azimat lempeng logam yang dibalut ayat-ayat Al-Qur’an (rajah), dan banyak orang berguru padanya untuk mendapatkan ilmu strategi perang dan hal spiritual.

5. Erna Djajadiningrat

pahlawan perempuan indonesia Erna Djajadiningrat

Perjuangan memerdekakan Indonesia tidak bakal berjalan mulus kalau tidak ada bantuan logistik untuk para prajurit. Hal ini tidak akan berhasil tanpa bantuan pasokan makanan dari Erna Djajadiningrat, seorang pahlawan perempuan dari Jawa Barat, bersama dengan organisasi Wani (Wanita Indonesia) yang didirikan pada 1945 bersama dengan Maria Ulfah beserta Suwarni Pringgodigdo.

Ia merupakan keturunan bangsawan Serang, Jawa Barat, dan di masa kemerdekaan ia membantu di bagian dapur umum untuk memasok logistik untuk para prajurit di garis depan. Dapur umum Wani bertugas untuk memasok nasi bungkus  untuk beratus-ratus prajurit badan keamanan rakyat. Ketika rumahnya ditembaki tentara Belanda, NICA, ia tidak panik, malah sangat tenang sampai-sampai ia dijuluki sebagai si nona keras kepala.

Ketika Belanda mencium gelagat bahwa organisasi Wani membantu menyuplai Logistik untuk garis depan, Belanda pun melarang kegiatan mereka. Tidak tinggal diam, Erna mengubah nama Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik) dan tetap melakukan kegiatan dapur. Tidak hanya itu PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda.

Read More
Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

6 Pahlawan Perempuan Indonesia Beserta Asalnya yang Perlu Kamu Ketahui

Kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan perempuan dapat terwujud berkat para perempuan hebat di masa-masanya. Terlepas dari norma-norma masyarakat yang membuat perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan dan berdikari, banyak pahlawan perempuan yang sangat berjasa dalam kemajuan kaum perempuan.

Pahlawan Perempuan dari Berbagai Daerah Indonesia

Sering kali kita hanya berfokus pada daerah Jawa dalam konteks perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia. Padahal, banyak sekali pahlawan-pahlawan perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kaum perempuan di daerah mereka. Berikut ini beberapa pahlawan perempuan ini perlu kamu ketahui cerita dan juga asalnya.

1. Andi Depu Pahlawan Perempuan asal Mandar, Sulawesi Barat

Andi Depu

Andi Depu lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perempuan yang bernama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa ini sempat merasakan bangku pendidikan hingga tingkat Volkschool (Sekolah Rakyat). Pada tahun 1939, ia diangkat menjadi Raja Balanipa ke-52 dan hal ini mempertegas posisinya untuk melawan Belanda.

Baca Juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Ia tidak lama duduk dalam tampuk kekuasaan karena memilih untuk berjuang bersama rakyat di luar istana. Dengan berani serta gigih, Andi Depu berhasil mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.

Aksinya yang paling diingat adalah ketika ia berani menaikkan bendera merah putih di depan istananya, meskipun Belanda sudah mengancam dan mengepungnya sedemikian rupa pada 28 Oktober 1945

2. Ruhana Kudus Pahlawan asal Koto Gadang, Sumatra Barat

Ruhana Kudus

Lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, Ruhana Kudus adalah wartawan perempuan Indonesia dan aktif dalam dunia pendidikan. Ruhana giat menulis dalam surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Saat Belanda membredel media tersebut, Ruhana turut mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu, yang juga tercatat sebagai  koran perempuan pertama di Indonesia.

Meskipun ia tidak bisa mendapatkan pendidikan secara formal, Ruhana belajar dengan tekun dari ayahnya yang rajin membawakan bahan bacaan dari kantor. Semangatnya yang tinggi untuk belajar hal-hal baru membuat Ruhana mudah menyerap segala pelajaran. Ia belajar membaca, menulis, lalu bahasa Belanda hingga aksara Arab. Ketika mengikuti ayahnya dinas ke Alahan Panjang, Ruhana  bertetangga dengan seorang pejabat Belanda, yang istrinya mengajari Ruhana segala bentuk kerajinan tangan.

Dengan hal-hal yang ia pelajari itu, Ruhana pun kembali ke kota asalnya dan mendirikan sebuah sekolah bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini mengajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, serta mengelola keuangan, baca tulis, hingga bahasa Belanda. Saat itu masih banyak yang menentang keberadaan sekolah ini, namun Ruhana tetap tegar dan terus berjuang untuk kemajuan para perempuan.

3. Dewi Sartika Pahlawan Perempuan asal Jawa Barat

Dewi Sartika pahlawan perempuan asal Jawa Barat

Ia lahir di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Saat masih anak-anak,  Dewi Sartika suka bermain peran sebagai guru dengan teman-temannya. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya, dan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman. 

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah itu kemudian dipindahkan ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Kaoetaman Istri pada 1910. Sekolahnya semakin berkembang dan di tahun 1912, ia sudah memiliki sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 1920, lembaga ini berkembang menjadi satu sekolah di setiap kota dan kabupaten. Sembilan tahun kemudian, sekolah tersebut berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi.

4. Maria Walanda Maramis pahlawan perempuan asal Minahasa, Sulawesi Utara

Pahlawan perempuan Maria Walanda Maramis

Perempuan bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis ini lahir di Kema, Minahasa Utara pada 1 Desember 1872. Setiap 1 Desember, orang-orang Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis yang dikenal sebagai tokoh pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemajuan perempuan.

Ketika ia pindah ke Manado, Maria mulai aktif mengirimkan artikel opini ke surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang. Dalam opininya, ia sangat vokal menyuarakan pentingnya peran ibu dalam keluarga dalam menjaga kesehatan keluarga serta pendidikan anak-anak.

Maria menyadari, saat itu perempuan-perempuan muda butuh sekali pendidikan untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga. Ia pun mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, untuk mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah dasar.

Selain mengadvokasi pendidikan untuk perempuan, Maria juga mendorong agar perempuan mendapatkan hak suara dalam memilih wakil rakyat untuk sebuah badan perwakilan di Minahasa bernama Minahasa Raad. Saat itu, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk memilih dan menjadi anggota, sehingga Maria mengupayakan agar ada perempuan yang masuk ke dalam badan tersebut. Usahanya pun berbuah hasil di tahun 1921, saat keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad.

5. Rasuna Said pahlawan asal Daerah Maninjau, Sumatra Barat

Rasuna Said

Setelah menamatkan pendidikan SD, Rasuna dikirim ayahnya ke sebuah pesantren bernama Ar-Rasyidiyah, yang merupakan satu-satunya santri perempuan. Setelah itu Rasuna kembali melanjutkan  pendidikannya di Diniyah (SMA) Putri dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan pendidikan Islam, Thawalib.

Rasuna Said dikenal sebagai salah satu nama pahlawan perempuan Indonesia yang sangat memperhatikan kemajuan kelompok perempuan dalam hal pendidikan dan politik. Ia pernah menjadi guru di Diniyah Putri, namun ketika ia ingin memasukkan pendidikan politik di sekolah tersebut, idenya ditolak. Setelah ia tidak lagi menjadi guru, Rasuna sangat aktif  menulis di media. 

Pada 1935, Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Tulisan-tulisannya dikenal tajam dan membuat Belanda geram.  Rasuna juga pernah mendirikan sebuah majalah mingguan di Sumatra Utara, Menara Poetri, dan menyebarluaskan gagasan-gagasannya serta isu-isu perempuan.

Sesudah Indonesia merdeka, Rasuna Said aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga menduduki kursi Dewan Perwakilan dan mewakili daerah Sumatra Barat. Rasuna kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rayat RI dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga ia wafat.

6. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872, Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan merupakan anak dari Kyai Haji Muhammad Fadli, ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Ia bersekolah di rumah serta diajarkan beragam aspek soal Islam termasuk bahasa Arab dan Al Quran.

Ia menikah dengan Ahmad Dahlan yang juga merupakan sepupunya. Ketika itu, Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah. Namun karena beberapa pemikiran Ahmad Dahlan dianggap radikal, pasangan ini kerap mendapatkan ancaman dari kelompok Islam lain.

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pendidikan Sopo Tresno. Ia beserta suaminya bergantian mengajarkan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya. Menariknya, Nyai Ahmad Dahlan lebih berfokus pada ayat-ayat yang berhubungan dengan isu perempuan.

Sopo Tresno kemudian diresmikan dan berganti nama menjadi Aisyiyah. Melalui organisasi ini, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah perempuan, dan ia pun berkhotbah menentang kawin paksa. Nyai Ahmad Dahlan juga berpendapat bahwa istri adalah mitra suami dan menentang budaya patriarki.

Read More

Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Dari berbagai sektor pekerjaan yang ada, pertambangan adalah salah satu sektor yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas. Di berbagai negara, jumlah pekerja perempuan di sektor ini masih kalah jauh daripada laki-laki.

Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2017, jumlah pekerja perempuan di sektor pertambangan sekitar 115 ribu orang, sementara laki-laki 1,28 juta orang. Sementara di sektor listrik, air, dan gas, hanya ada sekitar 46 ribu pekerja perempuan, sedangkan laki-laki sekitar 347 ribu orang. Kedua sektor ini merupakan sektor-sektor dengan jumlah pekerja perempuan terendah.

Dua tahun kemudian, dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, disebutkan bahwa jumlah pekerja perempuan di sektor tersebut hanya kurang dari 10 persen. 

Ketimpangan gender di sektor pertambangan tidak hanya terlihat dari segi jumlah. Dalam aspek upah pun, sebagaimana ditemukan dalam data BPS mengenai upah pekerja berdasarkan jenis kelamin dari semua sektor pekerjaan, perempuan menerima gaji yang lebih rendah dari laki-laki.

Berdasarkan data BPS per Februari 2019, rata-rata gaji yang diterima perempuan di sektor pertambangan dan penggalian ialah Rp4,26 juta, sementara laki-laki Rp5,12 juta. Ketimpangan serupa tampak di sektor pengadaan listrik dan gas, di mana perempuan hanya menerima gaji rata-rata Rp3,45 juta, sedangkan laki-laki Rp3,79 juta. 

Peran Tradisional dan Perempuan Pekerja Tambang

Peran gender yang melihat perempuan sebagai sosok yang lebih lemah dibanding laki-laki berpengaruh terhadap ketimpangan gender di sektor pertambangan. Dalam artikel bertajuk “Pengarusutamaan Gender di Industri Tambang di Indonesia” yang dipublikasikan Bank Dunia pada 6 Maret 2020, digambarkan ilustrasi kasus di mana pekerja perempuan dianggap tidak cocok melakukan pekerjaan fisik berat yang identik dengan industri pertambangan.

Baca juga: Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Peran gender tradisional ini juga memengaruhi terjadinya bias dan diskriminasi gender dalam praktik perekrutan pekerja tambang. Berdasarkan laporan Responsible Mining Foundation (RMF) yang diluncurkan pada Mei 2019 terkait perempuan pekerja tambang, dinyatakan bahwa sejak lama perempuan dilarang bekerja di tambang bawah tanah dan baru-baru ini saja larangan itu dicabut. Contohnya, pada 2009 di Afrika Selatan dan 2019 di India.

Bias gender juga lah yang menyebabkan sedikitnya perempuan di posisi pemimpin di sektor pertambangan. Dalam tulisan Kassia Yanosek dkk. terkait hasil riset McKinsey tahun 2018 seputar perempuan di industri minyak dan gas di Amerika Serikat, disebutkan bahwa perempuan yang punya potensi tinggi atau setara kapasitasnya dengan laki-laki sering kali diabaikan dalam pengambilan keputusan perusahaan soal siapa yang menjadi pemimpin.

Selain itu, peran gender tradisional juga memberatkan perempuan dalam hal tanggung jawab mengurus rumah tangga yang akhirnya kerap berbenturan dengan karier. Yanosek dkk. mengungkapkan bahwa urusan keluarga menjadi faktor yang menghambat pekerja perempuan naik ke level atas perusahaan. Mereka menganalisis, tuntutan untuk bekerja di tempat jauh atau luar negeri dalam karier di sektor ini menjadi tantangan besar bagi perempuan.

“Dalam sebuah wawancara dengan satu CEO, kami mencatat bahwa pusat operasi industri minyak dan gas sering berada di tempat jauh atau terpelosok… Seorang mantan direktur berkata kepada kami, ‘Dalam perusahaan minyak dan gas global, kalau kamu tidak tinggal di luar negeri, kamu tidak bisa mencapai level tertentu,” tulis mereka. 

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Hasil riset McKinsey soal ketimpangan gender di posisi atas ini sejalan dengan temuan studi dalam laporan RMF. Hasil Responsible Mining Index (RMI) tahun 2018 menunjukkan bahwa sebagian besar dari 30 perusahaan pertambangan berskala besar ternyata tidak atau hanya sedikit memiliki upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender pada tataran pimpinan dan manajemen. Skor rata-rata perusahaan-perusahaan tersebut hanya mencapai 4,5 persen dalam aspek penerapan intervensi untuk mendukung keberagaman dan inklusivitas di tingkat direksi dan manajemen senior.

Kerentanan Perempuan Pekerja Tambang

Pekerja perempuan di industri ini juga kerap mengalami perlakuan-perlakuan buruk yang menghambat performa kerja mereka. Dalam laporan tersebut, dikatakan bahwa ada perempuan-perempuan pejabat eksekutif pertambangan yang disisihkan, dikucilkan, atau dilecehkan pada awal perjalanan karier mereka. 

Sementara bagi pekerja perempuan di lapangan, kerentanan mereka alami karena berada di lingkungan kerja yang tidak aman. RMF mencatat, kebutuhan dasar untuk bekerja seperti alat pelindung diri serta fasilitas toilet dan kamar ganti yang aman bagi perempuan jarang tersedia. Hal ini diperparah dengan lingkungan remang-remang dan ruang gerak terbatas di bawah tanah yang meningkatkan risiko terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.

Menurut satu studi di Kanada tahun 2014, dalam lima tahun terakhir ada 40 persen perempuan pekerja di lokasi tambang yang mengalami pelecehan. Sementara dalam sebuah wawancara ABC pada 6 Maret 2020 dengan tiga perempuan Indonesia pekerja sektor pertambangan Australia Barat, kata-kata kasar menjadi tantangan yang sering mereka temukan dalam keseharian di lingkungan kerja mereka.   

Kondisi semacam ini pada akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan tambang untuk membuat kebijakan sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual. Namun dari segi implementasi, sayangnya 75 persen dari perusahaan yang disurvei tidak menunjukkan bukti upaya sistematis untuk mencegah hal tersebut.

Baca juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Inisiatif untuk Perubahan Bagi Perempuan Pekerja Tambang

Kendala-kendala yang dihadapi perempuan seperti ketimpangan gender di sektor pertambangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu untuk diatasi. Kontribusi berbagai pihak diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di sektor tersebut.

Beberapa contoh telah diperlihatkan berbagai perusahaan pertambangan sebagai inisiatif untuk melakukan perubahan. Misalnya, rencana perusahaan BHP untuk mencapai kesetaraan gender di seluruh perusahaannya pada 2025 dengan memberi bonus bagi staf paling senior yang mencapai target kenaikan jumlah staf perempuan sebesar 3 persen per tahun.

Ada juga inisiatif dari Goldcorp untuk membuat program pelatihan komprehensif bagi pekerja perempuan mereka. RMI 2018 juga mencatat bahwa perusahaan Newmont berupaya mencapai paritas gender di posisi manajemen senior pada 2030 dengan target minimal 30 persen perempuan menempati jabatan tersebut.

Menyikapi minimnya keamanan bagi pekerja perempuan di lapangan, Codelco, sebuah perusahaan tambang negara di Chile menetapkan panduan perusahaan tentang penyediaan kamar mandi, ruang ganti, dan perlengkapan keamanan kerja sesuai gender. Perusahaan itu juga menyediakan ruang laktasi bagi pekerja perempuan.

Inisiatif-inisiatif berbagai perusahaan tersebut seiring dengan hadirnya inisiatif kelompok pemangku kepentingan yang terdiri dari perwakilan beragam negara. Contohnya adalah Women’s Rights and Mining yang diprakarsai Kementerian Luar Negeri Belanda untuk mendukung hak perempuan di sektor pertambangan dan masyarakat yang terdampak di sekitar industri itu.

Ada juga inisiatif membentuk Me Too Mining Association pada 2018, seiring dengan gelombang besar kampanye #MeToo di Amerika Serikat sejak 2017. Asosiasi ini dibuat untuk memfasilitasi diskusi soal kekerasan dan pelecehan seksual, perundungan, serta diskriminasi di sektor pertambangan.

Read More