Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan

Penulis: Adinda Nurrizki

Drama Korea (drakor) Start-Up sungguh terbaik karena dibintangi aktor terkenal dengan akting yang mumpuni, juga jalan cerita menarik, terutama soal pemimpin perempuan.

Mengambil pengembangan bisnis rintisan sebagai inti dari jalan cerita, dengan bumbu cinta segitiga, serial Netflix ini dengan baik menggambarkan dinamika dan tantangan yang dihadapi pemimpin perempuan. Mulai dari tokoh utamanya, Seo Dal-mi (Suzy Bae), sang kakak Won In-jae (Kang Han-na), dan CEO Sand Box Yoon Sun-hak (Seo Yi-sook), mereka digambarkan secara multidimensi sebagai pemimpin karismatik dan andal.

Model kepemimpinan perempuan yang baik itu bisa kita lihat, misalnya, ketika Dal-mi memecahkan persoalan pembagian saham. Walaupun timnya saat itu nyaris terpecah, Dal-mi berhasil meyakinkan mereka bahwa sebagai pemimpin, ia mampu mengedepankan kepentingan bersama daripada sekadar punya saham terbanyak seperti yang dianjurkan mentor mereka. Dal-mi juga memperlihatkan bahwa dengan empati yang tinggi, ia berhasil mengembangkan sebuah aplikasi khusus tunanetra.

Di sisi lain, In-jae digambarkan sebagai pemimpin tegas dan berwibawa, meski dia juga sangat ambisius dan kompetitif. Sementara Yoon Sun-hak dikisahkan berhasil membangun wadah start up terkenal di Korea Selatan, berangkat dari kepekaannya terhadap para pengembang baru dan kisah personal mereka, termasuk ayah Dal-mi.

Drakor ‘Start-Up’ dan Stereotip Pemimpin Perempuan

Dalam drakor Start-Up ada gambaran pemimpin perempuan yang intimidatif dalam diri Seo In Jae. Apakah kamu suka deg-degan saat bertemu bos perempuan? Atau ketika kamu baru masuk kerja, apakah kamu jadi ngeri saat menemukan bahwa pemimpin kamu adalah perempuan?

Perasaan semacam itu  bisa saja timbul karena maraknya stereotip bahwa bos perempuan itu galak dan cerewet. Mereka juga kerap dianggap perfeksionis dan terburu-buru. Bos perempuan juga sering dihindari karena perkataannya dinilai lebih menyakitkan hati bawahannya.

Sementara stigma bos perempuan masih marak dalam realitas, kesempatan bagi pekerja perempuan untuk menaiki tangga karier sampai posisi pemimpin juga masih lebih terbatas. Pasalnya, mereka dinilai lebih emosional dibanding kolega laki-lakinya. Keputusan yang mereka buat dianggap bukan hasil dari kejernihan pikiran. Akibatnya, kredibilitas pemimpin perempuan sering kali tak diakui.

Baca juga: Pelajaran Penting tentang Jadi Perempuan Berdaya dari Martha Tilaar

Saya sendiri adalah perempuan pekerja kantoran dan juga ibu dari seorang anak. Kebetulan, banyak pemimpin perempuan di kantor saya. Namun keberadaan mereka tidak dihargai apalagi dirayakan, dan malah dijadikan candaan seksis oleh para karyawan, bahkan beberapa di antaranya perempuan. Seorang rekan saya pernah bilang, “Duh, kelar deh kalo bos lo cewek!” sesaat setelah dia rapat dengan timnya.

Pada kesempatan lain, saya kerap mendengar banyak cerita bahwa bos perempuan yang marah saat bawahannya melakukan kesalahan dinilai galak dan terlalu menuntut. Mereka yang ambisius dan agresif dalam mewujudkan mimpinya dinilai bitchy.

Suara pekerja atau pemimpin perempuan masih kerap disela, dikerdilkan dan dianggap tidak penting. Seorang ibu yang bekerja dinilai tak memiliki kapasitas besar untuk memimpin atau bahkan untuk bekerja sekalipun. Situasi kian menyudutkan pekerja perempuan di kantor saat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja sering terjadi sehingga mengusik keamanan mereka sampai bisa berpengaruh ke performa kerja. Selain itu, masih ada persoalan gaji pekerja perempuan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki di banyak perusahaan untuk posisi dan kapasitas yang sama.

Pemimpin Perempuan Melawan Stigma

Kamu sudah mendengar bahwa selama pandemi, ada beberapa negara yang dinilai proaktif melindungi warganya dan menangani kenaikan kasus COVID-19? Ya, dan kebanyakan dari pemimpin negara-negara tersebut adalah perempuan.

Ada Perdana Menteri Jacinda Ardern di Selandia Baru yang berhasil mengajak warganya untuk mengantisipasi pandemi dengan berkomunikasi secara tenang dan sederhana. Ardern dinilai punya empati yang begitu tinggi. Ia juga menjadi perdana menteri pertama di Selandia Baru yang mengangkat seorang perempuan dari suku asli dengan wajah bertato sebagai menteri luar negeri. Tentu saja ini adalah bentuk pengakuannya terhadap keberagaman dalam kepemimpinan.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Kemudian, ada Islandia dengan Perdana Menteri Katrín Jakobsdóttir. Negara ini dianggap sebagai negara feminis karena mengangkat perempuan untuk memimpin negaranya dalam waktu cukup lama. Warga Islandia bahkan sudah cenderung tak percaya dengan gaya kepemimpinan laki-laki yang dinilai tamak dan sembrono. Saat dipimpin perempuan, Islandia berhasil memulihkan ekonomi dan baru-baru ini berhasil menekan penyebaran COVID-19 dengan hebat.

Beralih ke Jerman, ada Kanselir Angela Merkel yang dengan sigap menutup wilayahnya ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan di negara tersebut. Tak hanya itu, pemerintahan yang dijalankannya selalu proaktif dan transparan dalam penanganan pandemi.

Empati adalah salah satu nilai yang kerap dikonstruksikan masyarakat melekat pada perempuan. Ternyata, nilai ini menjadi kekuatan penting dalam sebuah kepemimpinan. Di Islandia misalnya, para perempuan pemegang jabatan selalu mengedepankan kesejahteraan sosial sebagai wujud empati mereka ketimbang mengangkat keuntungan semata.

Beberapa negara yang berhasil menangani kasus COVID-19 juga ternyata punya pemimpin perempuan yang dinilai kolaboratif dan transparan. Mereka mengandalkan para ilmuwan untuk menangani pandemi tanpa berpikir apakah pandemi ini hasil konspirasi dan sebagainya.

Masih banyak nilai dalam kepemimpinan perempuan yang luar biasa. Sayangnya, perempuan masih belum diberi kesempatan untuk menunjukkan kompetensinya dalam memimpin akibat dominasi maskulinitas dan budaya patriarkal.

Hal ini menjadi ironis mengingat pernyataan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens, bahwa jika memang perempuan mendapat stigma sebagai manusia dengan sifat empati dan sensitivitas yang begitu tinggi, serta kemampuan negosiasi yang hebat, kenapa mereka tidak dipercaya sebagai pemimpin yang memang membutuhkan sifat demikian?

Adinda Nurrizki adalah ibu dengan anak satu yang bekerja sebagai copywriter dan volunteer di @jendelapuan.

Read More
Buku sains anak

Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Penulis: Wati Hermawati

Masalah ketimpangan gender dalam dunia kerja masih menjadi PR besar negara ini, terlebih di dunia sains.

Pada bulan Agustus 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa kesempatan sekolah sudah hampir setara antara anak perempuan dan laki-laki di Indonesia. Ujaran Sri Mulyani ini tampak tak sejalan dengan tingkat kesetaraan gender yang merosot sampai 50 persen ketika perempuan memasuki dunia kerja.

Di dunia sains, teknologi, dan matematika, hanya ada 30 persen perempuan yang menggeluti bidang tersebut. Di samping itu, peran gender tradisional bagi perempuan yang diarahkan menjadi ibu atau istri diduga berkontribusi kuat dalam menghambat perempuan mencapai tangga karier tinggi.

Karena itu, penting bagi pemerintah mengurangi ketimpangan gender agar anak perempuan di negeri ini mampu menggapai cita-citanya di berbagai bidang. Masalahnya, seperti kata Sri Mulyani yang mengutip World Economic Forum Report 2017, dalam skala global, untuk menyelesaikan masalah ketimpangan gender membutuhkan waktu hampir 200 tahun.

Langkah kecil tahap demi setahap, terutama melalui intervensi kebijakan, harus dilakukan untuk memperkecil jurang ketimpangan gender dalam bidang sains.

Ketimpangan Gender dalam Sains

Selama ratusan tahun, sains dipandang sebagai bidang laki-laki dan maskulin. Baru pada dekade 1990-an mulai terungkap secara rinci ketimpangan gender dalam sains dan teknologi di dunia, termasuk di Indonesia, setelah Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing (1995), penerbitan World Science Report (1996) UNESCO, dan World Conference on Science di Budapest (1999).

Ketimpangan gender juga mendapat perhatian dari World Economic Forum (WEF) yang secara reguler menerbitkan indikator ketimpangan gender negara-negara di dunia. Hasil Survei Ketimpangan Gender Global oleh WEF pada 2012-2016 terhadap Indonesia (jumlah seluruhnya 144 negara) menunjukkan posisi Indonesia dalam seluruh indikator sedikit meningkat dari rangking ke-92 pada 2015, menjadi peringkat 88 pada 2016. Peringkat Indonesia ada di bawah Thailand (71), Vietnam (65), Singapura (56), Laos (43) dan Filipina (7), India (87), dan di atas Cina (99).

Baca juga:‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Data UNESCO (2015) memperlihatkan bahwa di seluruh dunia, perempuan yang bekerja sebagai peneliti hanya 28 persen. Padahal, jumlah perempuan dan laki-laki yang menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dan master dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) jumlahnya relatif sama. Di Indonesia pada 2017, jumlah peneliti perempuan hanya sekitar 35 persen walau jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk.

Kesenjangan itu mulai terlihat dari partisipasi pendidikan antar jenis kelamin, rata-rata lama sekolah tingkat SD sampai SMA anak perempuan lebih rendah (7,84 tahun) dibandingkan anak laki-laki (8,35 tahun).

Hal ini terjadi kemungkinan karena tekanan ekonomi yang menyebabkan tingginya tuntutan anak perempuan untuk bekerja atau menikah usia dini yang berdampak pada kondisi putus sekolah. Pada jenjang perguruan tinggi, perempuan cenderung lebih sedikit memilih bidang STEM dan belum tentu berkarier di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil pula jumlah peserta perempuan. Pola yang sama terlihat pada lulusan program studi. Semakin tinggi program studi, semakin kecil jumlah lulusan berjenis kelamin perempuan.

Kecilnya jumlah perempuan berkarier sebagai peneliti bermula dari tahap pendidikan doktor (PhD) dan berlanjut terus pada tingkat organisasi kerja dengan kontroversi yang sering digambarkan sebagai “leaky pipeline”. Istilah ini mengacu pada banyak perempuan meninggalkan kariernya, kebanyakan dalam bidang STEM untuk beralih ke bidang lain. Hal ini terjadi karena adanya diskriminasi atau kebijakan yang tidak mendukung perempuan seperti tiadanya fleksibilitas waktu bekerja sebagai peneliti.

Kesenjangan gender sebagai pelaku iptek di Indonesia juga terjadi di lembaga penelitian dan pengembangan industri. Perempuan peneliti di industri manufaktur kurang dari 35 persen. Jumlah perempuan terbanyak di sektor manufaktur bekerja sebagai tenaga pendukung atau tenaga administrasi.

Budaya Patriarkal Perparah Ketimpangan Gender

Di luar bangku sekolah, ketimpangan gender dalam sains terjadi karena adanya perbedaan cara perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan praktik sains dan teknologi, serta makna dan implikasi sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan diposisikan mengurus rumah, memasak, dan mengurus anak, sedangkan laki-laki bertugas mencari nafkah, bekerja menciptakan teknologi, dan semua kegiatan di luar rumah, termasuk pertemuan di lingkungan rumah. Budaya patriarkal berperan kuat dalam menciptakan kondisi ini.

Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah menawarkan banyak kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki baik di bidang rekayasa, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dampak selanjutnya dari rendahnya partisipasi adalah hilangnya kesempatan untuk berperan sentral dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Perbedaan tersebut muncul dari praktik historis dan sosial yang mengesampingkan peran perempuan selama berabad-abad.

Upaya pemerintah dalam memperkecil kesenjangan gender telah dilakukan melalui instruksi presiden untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sejak tahun 2000. Di tingkat global, perhatian terhadap masalah gender juga mengemuka, antara lain dalam program SDGs (Sustainable Development Goals). Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dewasa dan anak perempuan merupakan tujuan nomor lima SDGs untuk lebih dari 190 negara.

Walau demikian, fenomena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal partisipasi, akses, dan kontrol terhadap sumber daya iptek maupun pemanfaatan iptek masih tinggi di Indonesia dan dunia.

Berbagai kajian dan penelitian menyebutkan bahwa sejumlah faktor turut berkontribusi atas sulitnya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender seperti belum baiknya capaian pendidikan kaum perempuan, faktor kemiskinan, budaya yang kurang mendukung, serta kurangnya dukungan kebijakan pemerintah terkait dengan keterlibatan perempuan dalam iptek.

Banyak pelaku iptek di lembaga penelitian dan pengembangan, universitas, dan industri, baik perumus kebijakan, pengambil keputusan, peneliti, perekayasa, dosen, maupun profesi lainnya, belum memahami persoalan gender dan isu-isu apa yang terkait dengan gender dalam iptek.

Diskriminasi Terselubung

Kebijakan pemerintah di bidang iptek tidak secara eksplisit mendiskriminasi perempuan. Tapi praktiknya, perempuan terhambat menjalankan pekerjaannya sebagai peneliti. Dualisme peran sebagai istri atau ibu dan peneliti, tidak kondusifnya lingkungan kerja, kurangnya fasilitas penunjang bagi kebutuhan kaum perempuan, seperti ruang laktasi dan tempat penitipan anak, juga merupakan hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan gender.

Kebijakan lain yang belum mendukung adalah kebijakan pemberian beasiswa S2 usia maksimal 35 tahun dan beasiswa S3 usia maksimal 45 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kebijakan ini belum sesuai dengan kondisi perempuan yang bekerja di sektor iptek seperti lembaga penelitian dan pengembangan. Ada masa-masa melahirkan dan mengasuh anak-anak, apalagi kalau anaknya lebih dari satu, yang menyita waktu perempuan saat berusia di bawah 40 tahun.

Baca juga:Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Ketimpangan gender di sektor ekonomi dicerminkan dengan pendapatan perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sekitar Rp8,5 juta dibanding Rp14 juta per kapita dalam setahun. Hal ini disebabkan oleh segregasi pekerjaan berdasarkan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Perempuan belum bisa memasuki seluruh lapangan pekerjaan yang ada.

Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di tingkat eksekutif dan legislatif masih sangat minim. Hal ini diduga mengakibatkan lahirnya kebijakan maupun tindakan administratif yang tidak sensitif gender.

Cara Selesaikan Ketimpangan Gender dalam Sains

Mengatasi kesenjangan gender di sektor iptek tidak dapat diserahkan hanya kepada masyarakat atau pelaku iptek itu sendiri. Mengurangi kesenjangan gender memerlukan intervensi kebijakan yang diimplementasikan dengan serius. Sangat sulit dan mungkin lama memecahkan masalah ketimpangan gender hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu solusi keluar dari ketimpangan gender yang direkomendasikan oleh Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain dengan penerapan tindakan-khusus-sementara (afirmasi). Selain itu, diperlukan juga inisiatif untuk mengubah pola tingkah laku sosial budaya laki-laki dan perempuan, menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang mendasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin, atau berdasarkan peran gender tradisional laki-laki dan perempuan.

Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan strategi intervensi tersebut, termasuk mengarusutamakan gender, menata kembali kelembagaan dan tata kelolanya yang responsif gender. Pemerintah juga perlu menyediakan data terpilah berbasis jenis kelamin dengan melengkapi pusat data dan indikator dengan perpektif gender. Selain itu, dibutuhkan kajian dan penelitian terkait dengan gender dalam sektor iptek dan menyebarkannya.

Keadilan dan kesetaraan gender bisa diwujudkan bila pengarusutamaan gender dilakukan melalui kerja sama yang saling menghargai dan saling mendukung di antara semua komponen dalam masyarakat, pemerintah dan non-pemerintah, pemerintah pusat dan daerah, dan organisasi profesi dan keahlian.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Wati Hermawati adalah peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Read More

Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?


Masih ingat tahun lalu saat penyanyi Mulan Jameela melenggang ke Senayan? Pemilihannya sebagai anggota DPR ramai diperbincangkan karena dianggap mengorbankan hak kandidat lain yang dipandang lebih pantas terpilih.

Mulan mencalonkan diri di derah pilihan Jawa Barat XI dengan perolehan suara peringkat kelima. Namun, partai pengusungnya, Gerindra, memberhentikan beberapa orang kandidat yang mengalahkan Mulan sebelumnya. Alhasil, Mulan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Banyak yang mempertanyakan alasan Gerindra melakukan keputusan sepihak tersebut. Sebagian pihak berasumsi bahwa Mulan terpilih karena sebagai penyanyi, ia lebih populer dibanding dua kandidat yang digantikannya. Belum lagi pada saat itu sedang ramai pemberitaan soal suaminya, musisi Ahmad Dhani, yang dianggap rela mendekam di penjara karena membela Prabowo Subianto, ketua partai Gerindra sekaligus calon presiden 2019-2024.

Kendati para kandidat yang dipecat secara sepihak tadi menggugat kembali keputusan Gerindra ke pengadilan, Mulan sudah kadung ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai anggota DPR 2019-2024. Ia pun kini menjadi salah satu yang disorot media dalam menjalankan kerjanya di DPR.

Selain Mulan, penyanyi perempuan di dalam politik lain yang tak kalah mendapat sorotan karena berhasil menduduki kursi DPR adalah Krisdayanti yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak publik meragukan kapasitas Krisdayanti di DPR karena ia tidak punya rekam jejak politik. Bahkan pada Maret lalu, Krisdayanti mendapat kritikan besar karena pergi pelesiran ke Eropa di tengah krisis pandemi COVID-19. Hal tersebut disayangkan banyak pihak, Krisdayanti sebagai wakil rakyat pun makin dipertanyakan kredibilitasnya.

Baik kasus Mulan maupun Krisdayanti merupakan contoh nyata perempuan di dalam politik yang masih dijadikan sebagai vote-getter atau figur yang diperkirakan mampu mendapatkan banyak suara lebih karena popularitasnya dibanding kemampuan mereka di dunia politik.

Dalam penelitan yang diterbitkan New Mandala bertajuk “Why does a good woman lose? Barriers to women’s political representation in Indonesia” (2019), dikatakan bahwa fenomena ini mungkin sah secara Undang-Undang, tapi realitasnya menunjukkan cara ini terlalu pragmatis dan terkesan membodohi masyarakat kita yang sering kali terlalu terlena dengan popularitas seorang calon.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Dunia politik masih maskulin

Kendati istilah vote-getter ini bisa dilekatkan baik kepada laki-laki maupun perempuan, kenyataan bahwa dunia politik masih maskulin ditambah angka politisi perempuan yang belum pernah mencapai 30 persen di DPR membuat perempuan di dalam politik mendapat atensi lebih dari publik. Karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan kerap hanya dipilih oleh partai untuk mendongkrak popularitasnya saat Pemilu.

Survei nasional yang juga dilakukan New Mandala mengungkapkan bahwa sikap patriarkal yang mengakar di Indonesia membuat masyarakat berasumsi bahwa laki-laki lebih mampu menjadi pemimpin politik dibanding perempuan. Sebanyak 88,2 persen responden menyatakan setuju laki-laki lebih mumpuni. Tak heran bila selebritas laki-laki yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR biasanya lebih dipandang berwibawa dan mengerti politik, serta tidak mendapat sorotan seperti politisi perempuan di DPR.

“Elemen kualitatif dari penelitian kami menemukan bahwa sistem pemilihan Indonesia, dikombinasikan dengan beberapa elemen budaya partai politik, turut menentukan tipe kandidat perempuan yang direkrut oleh partai dengan cara-cara yang problematis. Dengan mengangkat mereka yang populer, partai tidak harus bekerja ekstra untuk mengenalkan calon kandidat ke masyarakat,” tulis Sally White dan Edward Aspinall, peneliti dari Department of Political and Social Change in the Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam New Mandala.

Strategi mendompleng ketenaran calon wakil rakyat digunakan terutama untuk menyasar pemilih di daerah yang kurang terjangkau selama masa kampanye. Daftar nama caleg dari puluhan partai akan membuat orang-orang bingung. Karenanya, mereka cenderung akan memilih figur-figur familier yang biasa mereka lihat di layar kaca dan mengesampingkan visi dan kemampuan figur-figur tersebut walau itu merupakan pertimbangan yang fundamental.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Dari penghibur saat kampanye sampai jadi politisi

Fenomena para selebritas berbondong-bondong masuk ke dunia politik sebetulnya bukanlah hal baru. Dalam jurnal bertajuk From Celebrity to Politician: The Indonesian Women Celebrity in House of Representative (DPR RI) 2004-2007 yang ditulis oleh Nyarwi (2011), dinyatakan bahwa tren pelibatan selebritas perempuan dalam kampanye politik sudah terjadi sejak Orde Baru.

Awalnya, pelibatan mereka hanya sebatas artis penghibur selama kampanye. Dengan memanfaatkan popularitas mereka, partai berharap dapat mengundang banyak pemilih. Peran yang terbatas sebagai penghibur tersebut tidak lepas dari iklim politik di Indonesia dikuasi satu partai yaitu Golongan Karya (Golkar). Baru pada Pemilu 2004, para selebritas ini mulai terjun ke dunia politik seiring dengan iklim politik Indonesia yang semakin terbuka.

“Salah satu tren besar pada pemilihan umum 2004 adalah komodifikasi popularitas selebritas. Pada tahun, tersebut tujuh selebritas terpilih menjadi anggota DPR, dua diantaranya adalah perempuan yaitu Nurul Arifin dan Angelina Sondakh. Meski pada saat itu partai politik hampir memberi 22-40 persen kandidat perempuan tapi para selebriti cenderung mendapat suara lebih karena popularitasnya,” tulis Nyarwi. 

Perempuan Di Dalam Bagian Politik Dinasti

Tak hanya sebatas dari kalangan dunia hiburan, istilah vote-getter ini juga bisa berasal dari orang-orang yang berafiliasi dengan menteri atau pejabat lain yang punya pengaruh besar di panggung politik. Pada Pemilu tahun lalu, misalnya, Hillary Brigitta Lasut terpilih sebagai perempuan termuda yang lolos menjadi anggota DPR 2019-2024.

Perbincangan publik seputar dirinya kerap berkisar soal penampilan fisiknya serta catatan prestasinya di umur 23 kala itu: Menjadi lulusan luar negeri dan berhasil lolos masuk DPR. Padahal, setelah ditelusuri, terpilihnya Hillary tidak lepas dari latar belakangnya sebagai anak Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelbert Lasut (2004-2009, 2009-2012, 2019-2024). Sementara itu, Ibu Hillary, Telly Tjanggulung, adalah Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013.

Baca juga: Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Selain Hillary, ada juga Puteri Komaruddin, yang baru berusia 27 tahun dan memiliki kekayaan puluhan miliar. Puteri adalah anak politisi senior Ade Komaruddin yang sudah lima kali masa jabatan duduk di DPR.

Dalam kedua kasus itu, dapat dilihat secara gamblang bagaimana orang yang dekat dengan kekuasaan bisa melenggang ke DPR meski ia belum begitu lama terjun ke politik. Di sisi lain, politisi seumuran mereka yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan harus mengeluarkan upaya ekstra untuk dikenal masyarakat serta mendapat suara.

Dalam rangka memenuhi kuota 30 persen dan meningkatkan perolehan suara kandidat perempuan, partai melihat calon kandidat perempuan yang memiliki kekerabatan dengan politisi laki-laki yang berkuasa di daerah pemilihan terkait berpotensi mendongkrak suara. Selain itu, calon kandidat seperti itu juga biasanya memiliki jaminan akses ke sumber dana yang memadai untuk menutup ongkos kampanye.

Para peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menemukan 41 persen perempuan yang memenangkan kursi DPR pada 2019 terkait dinasti politik. Persentase tersebut melonjak signifikan dari 36 persen pada 2014.

White dan Aspinall mengakui bahwa sebagian perempuan yang punya koneksi dinasti merupakan politisi yang cakap dan berbakat. Tetapi, bukan hal itu yang membuat mereka menang.

“Banyak di antara mereka menang bukan karena kualitas dan kompetensi pribadi, tetapi murni karena koneksi keluarga mereka,” tulis mereka.

Read More

Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Jumlah perempuan di DPR belum mencapai kuota 30 persen, demikian juga di partai politik. Hal ini berhubungan dengan dunia politik yang masih sangat maskulin. Perempuan dalam politik baru mendapat ruang untuk diakui kehadirannya pada masa Reformasi. Adanya pembungkaman kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa dan hilangnya suara kelompok terpinggirkan selama masa otoriter Orde Baru membuat salah satu prioritas utama Reformasi dalam ranah politik adalah memperbaiki kualitas representasi politik. Sebagai kelompok yang paling terabaikan kepentingannya, perempuan masuk menjadi agenda prioritas tersebut.  

Keseriusan negara dalam mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik terlihat dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian diikuti dengan politik afirmasi dengan memperbarui aturan partai politik dan pemilihan umum (Pemilu).

Kebijakan afirmatif ini merupakan tindakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan agar secara aktif terlibat dalam politik formal, termasuk jabatan-jabatan politik dan struktur politik dalam partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif serta level kementerian.

Perwujudan kebijakan politik afirmasi ini, ditetapkan lewat Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana dalam berbagai aturan perundangan itu tercantum jika partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta daerah.

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Pasal 65).

Jumlah perempuan di DPR belum 30 persen sebenarnya. Angka 30 persen sendiri mengacu pada penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen adalah angka yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak signifikan pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Upaya ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.

Baca juga: Salah Paham Atas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Jumlah Perempuan di DPR Serta Politik afirmasi yang masih belum efektif

Kendati sudah ada aturan tersebut, peningkatan representasi jumlah perempuan di DPR serta di ranah politik masih jauh dari harapan. Hasil penelitian dari Cakra Wikara Indonesia, organisasi yang berfokus pada kajian sosial politik berperspektif gender, yang bertajuk Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (2018), menunjukkan, sejak diberlakukannya aturan tersebut hingga sekarang ini, angka perempuan yang berhasil duduk di legislatif belum pernah mencapai angka 30 persen.

Menurut data, pada periode 1999-2004 kursi perempuan di DPR hanya mencapai 9,09 persen, meningkat dua persen pada periode 2004-2009. Baru pada Pemilu 2009 ada kemajuan signifikan di angka 18 persen, namun kembali menurun pada Pemilu 2014 dengan angka 17,32 persen.  

“Hal itu karena saat pertama kali diadopsi pada pemilihan umum 2004, kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu masih bersifat imbauan dan tidak ada aturan sanksi jika dilanggar. Baru menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 ada penguatan aturan tersebut dengan diberlakukannya sanksi kepada partai politik jika tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis CWI.

Tak jauh berbeda dari pusat, di tingkat provinsi (DPRD) menunjukkan kecenderungan yang sama. Hasil Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa rata-rata perolehan kursi perempuan adalah 16 persen. Hal tersebut seolah kembali membuktikan jika pemenuhan syarat 30 persen keterwakilan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon wakil rakyat perempuan di ranah politik.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Artikel The Conversation bertajuk Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR? menganalisis bagaimana masalah UU Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara merupakan faktor sistematik. Sementara faktor terpenting yang memengaruhi perempuan secara langsung, seperti, ideologi serta aturan internal partai yang menentukan motivasi perempuan sebagai calon anggota legislatif seharusnya mendapat perhatian lebih.

Hal itu dibuktikan dari data hasil Pemilu 2009 dan 2014 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI merupakan calon yang ditempatkan di nomor urut atas, sehingga prioritas kader perempuan merupakan hal yang tak kalah krusial.

“Mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu,” menurut artikel tersebut.

Namun sayangnya, politik afirmasi yang bercita-cita memajukan perempuan ini belum sepenuhnya menjadi agenda sebagian besar partai politik di Indonesia. Dalam kesimpulan penelitiannya, CWI juga menggarisbawahi bahwa politik afirmasi ini cenderung sekedar menjadi pemenuhan syarat administratif mengikuti pemilu bagi partai-partai. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

Selain itu, kebanyakan partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar yaitu melakukan transformasi kebijakan yang lebih inklusif.

Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

“Fakta memperlihatkan bahwa dalam hal pengalaman berpolitik kader dan caleg perempuan tertinggal dibanding caleg laki-laki. Partai mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus melakukan program penguatan kapasitas kader dan caleg perempuan serta tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye yang dapat meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih,” tulis CWI.

Kebijakan yang tak berpihak pada perempuan

Dampak dari kebijakan afirmasi yang ditempatkan hanya sebagai syarat administrasi semata tanpa memikirkan cita-cita awalnya yaitu mendorong kebijakan yang mendukung lebih banyak perempuan ini tentu punya implikasi yang sangat besar.

Menurut Ketua CWI Anna Margret, persoalan representasi perempuan di ranah institusi politik formal bukan sekedar urusan jumlah, melainkan juga substansi yang dibawa oleh para perempuan di institusi-institusi tersebut, sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi urusan formal prosedural, tetapi betul-betul mampu menawarkan solusi bagi permasalahan riil dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah yang dialami perempuan.

“Satu hal yang perlu kita catat juga, peraturan itu penting, kita ngomong tentang aturan-aturan formal. Tapi yang namanya aturan itu diimplementasi oleh manusia secara kolektif, entah oleh sebuah organisasi atau partai politik. Jadi ya itu balik lagi si partai politiknya ngerti enggak esensi politik afirmasi ini, sejalan enggak? Kebijakan afirmasi 30 pencalonan di legislatif ada aturannya, dijalankan enggak? Iya dijalankan. Tapi ada hasilnya? Enggak,” ujar Anna kepada Magdalene.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Implikasi paling nyata dari permasalahan ini tercermin dari bermunculan Rancangan Undang-undang (RUU) yang justru jauh dari cita-cita politik afirmasi sendiri dan sebaliknya berusaha meminimkan gerakan perempuan, RUU Ketahanan Keluarga misalnya yang berusaha kembali menempatkan perempuan ke ranah domestik. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang jelas menyangkut hajat hidup perempuan malah tidak diprioritaskan serta tidak dilihat sebagai masalah serius.

Anna mengatakan bahwa impian akan ada solidaritas otomatis terhadap perempuan setelah perempuan lainnya berhasil naik di pucuk kepemimpinan merupakan asumsi dan mitos. Kita harus melihat secara jeli latar belakang perempuan yang mengisi angka keterwakilan itu seperti apa, karena bisa jadi mereka ada karena pengaruh dari laki-laki atau kepentingan lain, tambahnya.

“Identitas perempuan itu beragam. Perempuan yang mana akan dukung perempuan mana? Ada sisterhood atau solidaritas itu bagus harus didukung. Kepekaan sama isu perempuan didapat dari pengalaman berjejaring dengan kelompok yang berbeda dan tersisihkan tapi kalau enggak gimana?,” ujar Anna.

“Mungkin kita punya pemimpin DPR perempuan pertama, tapi otonomi dia dalam membuat kebijakan itu ada enggak? Atau dia harus kompromi dengan struktur kuasa yang lebih luas? Kalau kebijakan dia enggak pro perempuan, kita harus lihat dia ada di institusi macem apa? Apakah institusinya udah demokratis? Dia betul punya kuasa apa enggak? Apakah dia punya kuasa secara otonom untuk mengambil kebijakan? Jangan-jangan dia hanya dijadikan sebagai sesuatu yang simbolik aja,” tambah Anna.

Read More
tokoh perempuan dalam proklamasi

7 Tokoh Perempuan yang Berperan dalam Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Hari bersejarah itu diselenggarakan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. 

Sebelumnya, sudah ada rangkaian peristiwa yang mendorong Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

Pada 14 Agustus 1945, golongan muda seperti Sutan Syahrir, Wikana, dan Darwis mendengar dari Radio BBC bahwa Jepang telah menyerah kepada pihak Sekutu. Hal ini mendorong mereka mendesak Presiden Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, para senior ini menolak untuk melakukannya secara terburu-buru.

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Pada tanggal 16 Agustus malam hari, Soekarno dan Mochammad Hatta dibawa oleh golongan muda ke Rengasdengklok agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang, dan meyakinkan kedua tokoh tersebut agar tetap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Peran Tokoh Perempuan dalam Proklamasi Kemerdekaan

Akhirnya setelah diskusi tersebut, di Jakarta, Wikana dan Achmad Soebardjo melakukan perundingan dan menelurkan kesepakatan bahwa proklamasi akan dilangsungkan di Jakarta. Setelah itu, Soekarno dan Hatta pun dibawa kembali ke ibu kota, ke rumah Laksamana Muda Maeda sebagai tempat rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Setelah melalui perundingan, malam itu teks proklamasi pun dirumuskan di rumah Laksamana Muda Maeda. Terlepas dari jasa para tokoh-tokoh ini, proklamasi kemerdekaan tidak akan berjalan dengan lancar tanpa bantuan dari tokoh-tokoh perempuan yang turut andil dalam hal ini. Ada yang menjadi anggota pengibar bendera, ada juga yang menjadi anggota pengamanan pada hari itu, serta Ibu Negara Fatmawati yang berjasa menjahit Bendera Pusaka Merah Putih dan menyediakan makanan untuk warga yang datang pada acara tersebut.

Berikut ini beberapa peran tokoh perempuan yang turut andil dalam pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

1. Fatmawati, Ibu Negara Pertama

Fatmawati merupakan Ibu Negara pertama yang memiliki andil besar dalam penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Lahir di Bengkulu,  5 Februari 1923, Fatmawati merupakan tokoh perempuan yang menjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Tidak hanya menjahit bendera saja, Fatmawati juga membuka dapur umum di rumahnya untuk menyuplai makan pagi untuk rakyat yang hadir dalam acara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

2. Oetari Soetarti

Oetari merupakan mahasiswi Ika Daigaku (sekolah kedokteran pada zaman Jepang) yang turut datang menyaksikan detik-detik Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Ia bertugas sebagai salah satu anggota pos Palang Merah Indonesia (PMI) di Bidara Cina. Oetari kemudian menikah dengan seorang teman kampusnya Cr. Suwardjono Surjaningrat, yang kemudian menjadi Menteri Kesehatan era Soeharto pada periode 1978-1988.

3. Retnosedjati

Retnosedjati juga salah satu mahasiswi Ika Daigaku yang hadir dalam detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia lahir di Den Haag, Belanda pada 29 Maret 1924. Dia menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) di bawah Prof. Soetojo setelah Indonesia merdeka. Sebelumnya, pada perang kemerdekaan Indonesia, ia sudah menjadi anggota PMI dan bertugas mengurus obat-obatan untuk prajurit di Solo, Yogyakarta, serta Klaten.

4. Tokoh Perempuan yang Bertugas dalam Penaikan Bendera Pusaka: Yuliari Markoem

Yuliari Markoem merupakan salah satu tokoh mahasiswi yang bertugas dalam penaikan Bendera Pusaka. Ia merupakan mahasiswa Ika Daigaku yang juga turut andil membantu dalam Perang Kemerdekaan sebagai penghubung dalam kegiatan pengiriman kebutuhan medis di daerah-daerah gerilya.

5. Gonowati Djaka Sutadiwiria

Gonowati merupakan perempuan asal Semarang yang juga turut andil dalam penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Ia bertugas sebagai anggota pengamanan pada saat itu. Gonowati merupakan mahasiswa Sekolah tinggi Kedokteran  Ika Daigaku dan juga anggota Palang Merah Indonesia (PMI), yang berperan dalam membantu mengumpulkan obat-obatan dalam Perang Kemerdekaan.

6. Zuleika Rachman Masjhur Jasin

Zuleika merupakan anggota PMI Mobile Colonne setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Zuleika yang juga merupakan pemimpin mahasiswi Ika Daigaku juga ikut menyaksikan detik-detik proklamasi di jalan Pegangsaan Timur No. 56 itu.

7. Tokoh Perempuan Pejuang Revolusi Kemerdekaan: S.K Trimurti

Perempuan bernama lengkap Surastri Karma Trimurti ini merupakan perempuan asal Boyolali yang juga bekerja sebagai wartawan. Ia sangat gencar dalam melawan kolonialisme serta anti terhadap penjajahan Belanda. 

Ia lulus dari sekolah kelas dua untuk anak pegawai rendah Tweede Indiansche School. Sebelum menjadi seorang wartawan, S.K Trimurti pernah mengajar di sekolah-sekolah dasar di Surakarta, Bandung, Banyumas, serta Solo, pada 1930. Ia juga aktif dalam berpolitik dengan bergabung dalam sebuah partai bernama Partindo pada 1933.

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

SK Trimurti juga merupakan tokoh perempuan yang sering menyuarakan permasalahan perempuan dan ia percaya dengan revolusi kemerdekaan, perempuan bisa mencapai kebebasan sebagai warga negara. Ia juga pernah ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda karena menyebarkan pamflet anti-kolonialisme.

Setelah bebas dari penjara, S.K Trimurti aktif menulis dengan nama samaran dan terkenal kritis serta anti-kolonialisme. Salah satu koran tempat ia bekerja adalah Pikiran Rakyat dan bersama dengan suaminya ia pun menerbitkan koran Pesat, yang dilarang oleh pemerintah Jepang.

Dalam Proklamasi Kemerdekaan, ia diminta mengibarkan Bendera Pusaka Merah Putih, tetapi ia menolak dan merekomendasikan Latied Hendraningrat dari Peta (Pembela Tanah Air). Setelah Indoensia merdeka, ia menjadi Menteri Perburuhan pertama.

Read More

Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Menjadi pengusaha perempuan di dunia yang maskulin ini memang tidak pernah mudah. Ada saja tantangan dan hambatan yang datang, baik dari dalam maupun luar lingkungan kita sendiri. Hal itu juga dihadapi oleh Martha Tilaar, pendiri perusahaan kosmetik dan berbagai layanan kecantikan Martha Tilaar Group.

Martha merintis usahanya dari nol, memulai dari modal yang sedikit, dengan menyulap garasi rumahnya. Meski ia lulusan akademi kecantikan di Amerika Serikat, yang dijalaninya ketika mengikuti suami, akademisi H.R. Tilaar, melanjutkan studi, jalan ketika pulang ke tanah air tidak mudah.

Martha, yang lahir pada 1937 dengan nama Martha Handana, mengatakan bahwa cara pandang, sistem, dan budaya di masyarakat terkait perempuan sering kali menyandung langkah mereka dalam berkarier. 

“Dulu kalau mau utang ke bank itu perempuan enggak boleh. Susah. Mereka tidak percaya. Makanya saya ke Singapura. Di Indonesia justru aneh, ya. Perempuan enggak boleh usaha sekuat tenaga. Padahal ada prestasinya. Ada income, bisa nyicil,” katanya saat diwawancarai Magdalene awal tahun ini.

Ia menambahkan, “Kita harus mandiri dan punya keterampilan untuk bisa berdiri sendiri. Jangan minta-minta.”

Perjalanan dan capaian kariernya tidak membuat Martha berhenti pada keinginan untuk membuat produk dan layanan kecantikan demi profit semata. Ia juga bertekad memberdayakan perempuan dan mengajarkan esensi kemandirian finansial sebagai sebuah hal penting yang bisa menyelamatkan mereka. Kata Martha, salah satu tujuannya adalah untuk mencegah perdagangan perempuan.

 “Saya tergerak dari kisah hidup kenalan saya di Hong Kong. Dia hidup dengan HIV. Waktu kecil, dia dijual ke germo-germo oleh ibu-bapaknya untuk menghidupi adik-adiknya. Itu yang melukai hati saya. Jadi perempuan enggak ada hak sama sekali untuk ngomong,” ujar Martha.

Martha meyakini bahwa pendidikan adalah jawabannya. Karena itu, pada tahun 1990-an, Martha mendirikan sebuah sekolah kecantikan di bilangan Kuta, Bali, dan mencari murid dari berbagai daerah di Indonesia.

“Semua [biaya pendidikan] gratis. Kita makan bareng-bareng, kerja bareng-bareng. Alumninya sudah 6.000 orang lebih. Ikatan dinas selama tiga tahun [bekerja di Martha Tilaar Group], setelah itu bebas mau lanjut atau buka usaha sendiri. Tujuannya supaya mereka punya keterampilan,” ujarnya.

Pada usia 83 tahun, Martha masih aktif berkegiatan, baik di dunia bisnis maupun melukis. Berikut kutipan obrolan Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene dengan Martha Tilaar, didampingi Head of Corporate Communication Martha Tilaar Group, Palupi Candrarini, awal tahun ini.

Simak juga episode podcast How Women Lead bersama Martha Tilaar dan putrinya Wulan Tilaar.

Magdalene: Bagaimana awal mula Ibu berpikir untuk menekuni bidang kecantikan?

Martha Tilaar: Pikiran kita, kita itu termasuk saya, itu enggak beres. Sebab berpikirnya, everything from the West is the best. Waktu saya sekolah di sekolah Belanda, pandangannya kalau you inlander, you underdeveloped. Waktu sekolah di Amerika juga. Sedih sekali saya. Pada saat itu, saya melihat kecantikan selalu yang mahal-mahal. Padahal belum tentu cocok buat kita. Jadi, saya kepingin identitasnya kecantikan Indonesia. Waktu saya pertama-tama cari buku, satu pun buku tentang kecantikan Indonesia, jamu-jamu, itu enggak ada di Indonesia. Kalau di luar negeri itu banyak.

Baca juga: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Akhirnya, eyang saya bilang, “Ya udah, kamu pergi aja ke dukun-dukun beranak. Biar kamu belajar langsung dari mereka.” Bagaimana setelah melahirkan biar lancar susu (ASI), slimming, pake parem (campuran herbal), pilis (campuran herbal yang ditempel di dahi),.

Tapi, teman-teman saya yang mengenal saya pada bilang, “Waduh, Martha Tilaar itu orang gila. Baru dari Amerika, dia kepingin belajar dari dukun-dukun. Dia kepingin cepet kaya. Kamu jangan ke salon dia. Nanti kamu dipelet.” Jadi, selalu negatif begitu.

Apa yang membuat Ibu ingin fokus pada dunia kecantikan khusus perempuan Indonesia dan dengan memanfaatkan bahan-bahan dari Indonesia?

Saya dapat shock therapy waktu saya kuliah di Amerika. Karena berpikir yang dari Barat itu paling bagus, jadi make up ludruk (seni drama tradisional dari Jawa Timur), wayang, itu dianggap kampungan. Padahal, itu justru value-nya besar. Seorang guru saya dulu bilang, “Martha, your end paper must be about the indigenous make-up from your country.” Kaget saya. Saya enggak tahu apa-apa.

Itulah kesalahan kita semua. (Budaya Indonesia) dianggap kampungan. Akhirnya, seorang teman saya dari Jepang menawarkan saya buat menulis tentang geisha. Saya sudah senang, berpikir tugas saya bagus tentang geisha itu. Tapi guru saya bilang, “Martha, you are from Indonesia. Why you wrote your paper in Japanese way?” Duh, saya bingung.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Akhirnya saya jujur, saya bilang, “Because I don’t know about my culture.” Dia bilang, “Shame on you. As an Indonesian you don’t know about your culture.” Dari situ, barulah saya sadar. Ya Tuhan, kalau pulang nanti, saya akan melestarikan budaya saya dalam bidang kecantikan. 

Setelah pulang ke Indonesia, bagaimana Ibu mulai merintisnya?

Waktu saya bilang saya punya mimpi besar mempercantik perempuan Indonesia, bapak saya mengumpulkan saudara-saudara saya untuk meminjamkan uang. Dari situ jadilah salon berukuran 4×6 meter di garasi rumah. Sekitar tahun 1970-an.

Apa tantangan yang Ibu hadapi saat merintis salon itu?

Terus terang, karena saya ke dukun, banyak yang tidak mau datang. Orang-orang kita kan kayak gitu. Jealous, gosip, selalu gosip. Saya sedih sekali. Tapi, saya lihat kiri kanan. Saya berinovasi. Harus kreatif. Kebetulan rumah saya dekat dengan Kedutaan Besar Polandia, jadi saya punya ide. Saya tawarkan bisnis saya. Saya bilang, “I’m an American-licensed beautician, would like to serve you from top to toe, for hair, facial, manicure, pedicure, lotion, massage. So, please call me, Dra. Martha Tilaar.

Saya punya kesempatan karena yang bisa bahasa Inggris sedikit waktu itu. Saya tidak akan lupa customer pertama saya itu istri duta besar Amerika. Dia provokator, mempromosikan usaha saya ke mana-mana. Jadi, dari situ dalam sekejap ramai sekali.

Saya bilang ke bapak saya, bagaimana kalau selain di garasi, rumahnya juga dijadikan salon? (sambil tertawa). Bapak saya selalu bilang, kamu boleh dream big, tapi start small and act fast. Kalau hanya ngomong, enggak jadi-jadi kan percuma. Kamu harus mulai dari dirimu sendiri. Jangan menyalahkan orang lain.

“Waktu saya bicara di World Islamic Economic Forum, banyak orang bilang, “No! Istri harus turut suami!” Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder.” 

Agak ironis karena pelanggan pertamanya orang asing. Kapan pelanggan mulai switch jadi orang-orang Indonesia?

Iya. Dari situ mulai Ibu Moh. Hatta, Ibu Fatmawati Soekarno…

Palupi: Ibu Umar Wirahadikusumah juga.

Martha Tilaar: Iya. Kemudian Ibu Adam Malik. Nah, di situ problemnya. Kalau mereka janjinya jam delapan, datangnya jam sembilan. Saya kan sendiri. Akhirnya pembantu saya waktu itu saya sekolahkan (untuk membantu di salon).

Dengan menyekolahkan pembantu-pembantu Ibu, Ibu memang ingin memberdayakan perempuan?

Iya, betul. Harus educated biar dia enggak kesusahan. Harus punya keterampilan. 

Bagaimana dari salon itu kemudian jadi perusahaan sebesar sekarang?

Setelah salon, saya mendirikan sekolah (kecantikan) dulu.

Palupi: Namanya Puspita Martha.

Martha Tilaar: Karena it’s very important. Kalau kita mau mandiri, empower the women, is through education. Di situ pembantu-pembantu disekolahkan. Saya juga kumpulin waria-waria. Mereka itu talented. Diajarin, dia mau, ya udah.

Palupi: Jadi Ibu tuh inklusif sekali. Semua Ibu ajarin, waria, difabel. Itu tumbuh karena Ibu kan kuliahnya soal sejarah, bukan manajemen. Itu naluri seorang perempuan jadi entrepreneur. Dari mendirikan salon, sekolah, terus produk, salonnya terus bertambah. 

Ibu sudah membuat kosmetik untuk kulit sawo matang dari dulu. Padahal brand lain, termasuk di Amerika, baru melakukannya sekarang-sekarang ini. Apa yang membuat Ibu melakukan itu?

Konsisten, karena saya mau menciptakan the Asian color for Asian skin. Setiap tren warna Sariayu saya hubungkan dengan culture. Karena ini, pada tahun 2018, saya dipanggil ke New York (acara Intercolor, sebuah lembaga independen yang mewakili asosiasi nasional untuk pemain global dalam industri kosmetik, otomotif, tekstil, fashion, dan desain produk) sebagai pencipta Asian colors. Warna-warna yang belum ada di kosmetik lain, ada di sini.

Palupi: Ibu memulai tren warna pertama kali tahun 1987. Masih terbayang janjinya untuk beautifying Indonesia, makanya dia mau memberi identitas pada perempuan Timur. Makanya menciptakan warna yang berhubungan dengan budayanya.

Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi

Ibu pernah mengalami disebut sibuk ngurusin bisnis jadi enggak ngurusin keluarga?

Iya, mengalami. Tapi, saya mempunyai seorang suami yang luar biasa. Jadi, kalau saya lagi sibuk, “Pah, tolong ya ambil rapor anak-anak.” Dia mau. Terus nanti dia cerita, “Eh, kamu tahu enggak. Aku satu-satunya laki-taki loh, tadi. Semua perempuan cantik-cantik.” Tukang goda, dia tuh. Lucu orangnya. Terus saya bilang, “Ya udah, nikmatilah ciptaan Tuhan.”

Setelah pensiun, suami saya bilang dia mau melamar jadi karyawan di perusahaan saya. Saya tanya, sebagai apa? Katanya, sebagai turis. Turis itu “turut istri”.

Waktu saya di World Islamic Economic Forum di Kazakhstan, setelah saya bicara turis turut istri, ada orang Malaysia, Brunei, dan Singapura bilang, “No! Istri harus turut suami!” Bener loh, itu terjadi. Saya sudah takut, tapi suami saya kalem saja karena dia enggak minder. 

Read More

Stigma Negatif Perempuan Ambisius Hambat Perkembangan Karier Perempuan

Stigma negatif terhadap perempuan dengan ambisi masih melekat dalam masyarakat, bahkan di kalangan intelektual sekalipun. Dalam sebuah wawancara dengan Okezone pada 2015 silam, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, mengatakan bahwa perempuan Indonesia mesti memiliki sifat tertentu agar menjadi pebisnis atau pemimpin sukses, salah satunya sifat tenang.

Bagi Rhenald, ambisi yang terlalu besar pada perempuan justru akan menjadi bumerang dan membuat mereka kesulitan bekerja jika terlalu penuh ambisi. Di samping itu, Rhenald juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang sukses harus berpikir bahwa dia bukan perempuan.

Pernyataan Rhenald itu mencerminkan perspektif masyarakat terhadap sifat-sifat yang dilekatkan pada perempuan. Masyarakat menganggap feminitas seorang perempuan berasosiasi dengan kesetiaan, rasa pemalu, sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan mendahulukannya dibanding kepentingan sendiri, tidak berbahasa kasar, dan lembut. Masyarakat juga masih lebih kuat melekatkan peran tradisional perempuan sebagai ibu dan istri dibanding sebagai pekerja kendati telah berdekade-dekade perempuan terjun ke ranah publik sebagaimana laki-laki.

Konstruksi masyarakat seperti ini, menurut psikiater Anna Fels dari Cornell University di AS, berkontribusi terhadap bagaimana perempuan memandang sikap ambisius. Dalam artikelnya “Do Women Lack Ambition” di Harvard Business Review, Fels menulis bahwa sejumlah perempuan yang menjadi informan penelitiannya membenci kata “ambisi” karena memiliki asosiasi dengan sifat egois, membesar-besarkan diri, atau sifat manipulatif demi mencapai kepentingan pribadi. Padahal sejatinya, kata ambisi sendiri lebih bersifat netral, punya arti keinginan kuat untuk mencapai harapan atau cita-cita.

Demi memenuhi ekspektasi masyarakat akan feminitas dirinya, ujar Fels, tidak jarang perempuan memilih mengorbankan karier mereka, atau memilih pekerjaan yang memungkinkan dirinya tetap mengemban tanggung jawab rumah tangga dengan baik, terlepas dari keinginan mereka sebenarnya.

Baca juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Konotasi negatif kata ambisi bagi perempuan ini bisa terjadi berkat konstruksi dalam masyarakat yang tertanam sejak kecil.

“Kalau perempuan ambisius, seolah-olah itu sesuatu yang buruk. Padahal, perempuan dan laki-laki bisa punya ambisi, tetapi bagaimana kemudian cara mencapai ambisi itu. Kenapa perempuan punya ambisi dan kompetitif dianggap enggak bagus? Itu sesuatu yang tertanam secara tak sadar sejak kecil,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Yayasan Plan International Indonesia, yang bergerak di bidang pemenuhan hak dan kesetaraan anak perempuan serta perempuan.

Ketakutan perempuan untuk dicap ambisius diperparah dengan adanya artikel dan buku yang menyebutkan perempuan pekerja yang benar-benar mengejar kariernya akan susah menikah, atau kalaupun menikah, akan sulit mempunyai dan mengurus anak.

Stigma Negatif Perempuan: Cap bossy dan bitchy

Selain membahas stigma negatif ambisi pada perempuan, Fels juga menyinggung riset yang menemukan perempuan lebih cenderung mau berkompetisi, menunjukkan ambisi, dan mencari afirmasi dari pihak sekitar di lingkungan sesama perempuan.

“Contohnya dalam konteks olahraga atau sekolah khusus perempuan. Mereka tidak ragu bersikap agresif mengejar pencapaian atau kesempurnaan dalam konteks itu dibanding ketika mereka berkompetisi dengan laki-laki,” tulis Fels.

Walau demikian, tantangan lain mesti dihadapi perempuan saat berkompetisi dengan sesamanya di tempat kerja. Stigma negatif lain adalah bahwa perempuan ambisius itu bitchy atau bossy.

Dini mengambil contoh dari pengalaman putrinya sendiri mengenai kepemimpinan perempuan, yang sempat dicap bossy oleh rekan-rekannya ketika bekerja.

“Setelah itu anak saya bilang, ‘Saya enggak mau lagi menggerakkan teman-teman’. Padahal, dia punya jiwa kepemimpinan,” ujarnya.

“Nah, kalau laki-laki bersikap seperti dia, dibilangnya ‘Wah ini nih calon pemimpin masa depan’ dan dianggap enggak bossy. Sementara, waktu perempuan bersikap detail sekali saat memimpin misalnya, orang-orang bilang, ‘Aduh, bitchy banget, sih’,” sambungnya.  

Stigma negatif terhadap perempuan ambisius membuat perempuan sering merendahkan kesuksesannya, mengatakan hal itu adalah ‘keberuntungan’ atau ‘takdir’.

Alasan keberuntungan untuk sebuah kesuksesan

Adanya stigma negatif perempuan ambisius tak pelak membuat sejumlah perempuan sering merendah saat disinggung soal kesuksesannya. Dalam buku See Jane Win: The Rimm Report on How 1.000 Girls Became Sucessful Women, Sylvia Rimm dkk. menyebutkan bahwa seorang senator perempuan berprestasi mengaku dirinya sukses berkat keberuntungan. Pernyataan serupa juga ditemukan dari banyak perempuan lain yang mereka amati. Selain keberuntungan, diksi lain yang dilekatkan pada kesuksesan mereka adalah “takdir”.

Dalam pengamatan Fels, kondisi yang dipotret dalam buku Rimm dkk. tersebut menyiratkan, baik di ranah publik maupun privat, perempuan kelas menengah cenderung mengalah atau mengorbankan beragam hal, termasuk pengakuan publik, dan memberikannya kepada orang lain. Hal ini menegaskan upaya perempuan-perempuan tersebut untuk menerapkan feminitas ideal menurut masyarakat.

Tak hanya merendah saat ditanyai orang lain, sebagian perempuan sukses juga punya kecenderungan menganggap kemampuannya lebih rendah dari yang dipandang orang-orang sekitarnya.

“Terlepas dari beragam pencapaian yang diperoleh para perempuan, khususnya di bidang akademik, bahkan melebihi laki-laki, mereka kerap meremehkan kemampuannya sendiri,” tulis Fels.

Posisi yang serbasalah

Di satu sisi, perempuan enggan dianggap ambisius karena adanya cap negatif yang disematkan masyarakat kepada mereka. Tetapi di lain sisi, ada konteks di mana mereka tidak mau dianggap tak seambisius laki-laki dalam pekerjaan.

Contohnya dalam sebuah riset di Kanada, di mana perempuan pekerja bisa mengambil cuti melahirkan sampai 18 bulan, disebutkan bahwa perempuan yang mengambil cuti itu lebih dari 12 bulan dipandang oleh manajernya kurang ambisius atau berdedikasi pada pekerjaannya. Hal ini mengkhawatirkan bagi perempuan-perempuan pekerja di Kanada karena anggapan kurang ambisius itu berpengaruh terhadap kariernya, terutama soal promosi kerja yang didasarkan pada penilaian terhadap kualitas karyawan.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Kondisi macam ini menjadi simalakama bagi perempuan karena tuntutan peran tradisional dalam masyarakat tidak bisa mereka lepaskan begitu saja. Sementara sistem pendukung di sekitar perempuan pekerja yang punya anak, entah keberadaan pengasuh atau tempat penitipan anak, keterlibatan suami atau anggota keluarga lainnya belum mumpuni, mereka harus berjibaku lebih keras di dua ranah dalam rangka aktualisasi dirinya di samping mencari nafkah.

Menanggapi kepelikan perempuan yang dianggap kurang ambisius dalam kariernya seperti ini, CEO Opal Communication, Kokok Dirgantoro mengatakan bahwa kebijakan perusahaan dan keterlibatan suami adalah hal krusial untuk mengatasi masalah tersebut. Di perusahaannya sendiri, ia telah menginisiasi cuti ayah selama satu bulan dan cuti ibu melahirkan selama enam bulan.

Berkaca dari kebijakan cuti ayah dan ibu yang diterapkan di Swedia, Kokok memandang hal tersebut baik diterapkan di sini untuk mendukung karier perempuan.

“Di Swedia, cuti ayah itu mandatory, bukan hak lagi. Harus diambil. Nah, saat mereka mengambil cuti itu, si perempuan bisa kembali kerja sementara si laki-laki di rumah. Jadi gantian, setelah perempuan habis masa cuti melahirkannya, laki-laki kemudian mengambil cuti untuk mengurus anak dan rumah,” kata Kokok.

“Jangan semua [pekerjaan domestik] dibebankan ke istri, lalu dibilang perempuannya enggak punya ambisi dalam pekerjaan. Ya punya, cuma harus gantian [mengambil cutinya] sekarang,” imbuhnya.

Sejalan dengan pendapat Kokok, Wakil Kepala Lembaga Penelitian Eijkman Herawati Sudoyo juga menekankan pentingnya peran keluarga dalam kelangsungan karier perempuan.

“Setiap perempuan pekerja harus didukung. Tidak hanya dari luar, tetapi juga dari dalam, dari nuclear family. Kalau tidak didukung di dalam, dia akan sulit berkarier,” kata Herawati.

Read More

RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Pada awal tahun ini, tepatnya pada bulan Februari, Indonesia digemparkan oleh Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Halu) sebagai satu produk hukum yang diusulkan oleh Fraksi Golkar, PAN, PKS dan Gerindra. RUU ketahanan keluarga ini memicu banyak perdebatan dan penolakan kuat dari berbagai lapisan masyarakat terutama para akademisi dan juga feminis.

Salah satu hal yang memicu perdebatan adalah bagaimana RUU ini kembali mengotak-kotakan peran gender kaku antara laki-laki dan perempuan. Dalam RUU ini, laki-laki secara ajek posisinya dilihat sebagai kepala keluarga, sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Pematokan peran gender melalui RUU Halu ini jelas problematik karena luput mengetahui bahwa unit rumah tangga Indonesia tidak bersifat homogen. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya unit keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarganya atau ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah utama. Perlu dicatat juga bahwa RUU ini telah gagal memenuhi hak perempuan sebagai warga negara melalui UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dengan mengesampingkan fakta bahwa perempuan yang bekerja di ruang publik tidak serta merta bekerja karena kepentingan ekonomi saja. Banyak dari mereka memaknai bekerja sebagai bagian dari eksistensi diri mereka sendiri dan pengabdian mereka terhadap masyarakat.

Jika dilihat dari iklim sosial politik Indonesia, pengusulan RUU Halu ini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kemunduran demokrasi Indonesia yang dipicu konservatisme agama Islam. Perkembangan pesat konservatisme Islam di Indonesia memang sangat meresahkan, apalagi dengan penguasaan media daring yang dilakukan sebagian kelompok untuk menyebarkan paham yang mereka anut.

Baca juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Penguasaan media daring oleh kelompok ini terbukti efektif menjangkau banyak individu di berbagai kelompok masyarakat atas nama penegakan ideologi politik Islam. Para penganut ideologi ini bertujuan untuk mengubah pendekatan sekuler terhadap negara dan masyarakat menjadi pendekatan di mana simbol dan identitas agama Islam mendominasi di dalam sendi-sendi masyarakatnya.

Dalam menjadikan Islam sebagai ideologi politik, kelompok-kelompok ini berfokus pada penegakkan kembali tatanan moral masyarakat dengan isu “perbaikan” status dan peran gender perempuan, baik dalam ranah privat maupun publik. Mereka berangkat dari pemahaman teks agama yang kaku. Perempuan pada akhirnya dipaksa untuk keluar dari ranah publik. Kelompok konservatif agama kembali mendorong perempuan untuk berdiam diri di rumah sebagai bentuk dari ketaatan beragama. Dengan mendorong perempuan kembali ke ranah domestiknya, paham konservatisme agama telah kembali mengukuhkan segregasi peran gender laki-laki dan perempuan yang didasarkan oleh perbedaan biologis mereka.

RUU Ketahanan Keluarga Faktanya Menghambat kepemimpinan perempuan

Pengotak-kotakan peran gender perempuan dengan mengebiri hak-hak mereka sebagai manusia berdampak langsung pada kepemimpinan perempuan di ruang publik. Melalui paham konservatisme agama, kepemimpinan perempuan yang sudah mendapatkan tempatnya di dalam masyarakat kembali dipertanyakan.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Dengan penekanan bahwa perempuan tidak sepatutnya menjadi seorang pemimpin dan bahwa fitrah mereka ada di rumah, perempuan dikecualikan dalam pertimbangan posisi kepemimpinan di suatu institusi. Perempuan-perempuan yang secara ilmu dan kemampuan lebih mampu menjadi seorang pemimpin dibandingkan kolega laki-lakinya, akan dipertanyakan lagi kredibilitasnya sehingga sulit untuk naik ke posisi pemimpin. Mereka harus rela terus berada di dalam posisi sama dalam jangka waktu yang lama atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk naik jabatan karena pengalaman ketubuhan mereka didiskriminasi oleh interpretasi agama tertentu.

Sulitnya perempuan mengamankan posisi kepemimpinan mereka jika dilihat dari prospek jangka panjang jelas akan berakibat fatal. Semakin sedikitnya perempuan di posisi kepemimpinan, semakin minim pembuatan kebijakan yang memihak pada perempuan. Jika posisi kepemimpinan didominasi oleh laki-laki, akan sangat mungkin bila nantinya pembuatan kebijakan publik atau rencana pembangunan jangka panjang akan bersifat bias gender atau bahkan buta gender.

Eksistensi perempuan pun kembali terpinggirkan dalam kacamata pemangku kebijakan dengan minimnya identifikasi peran gender yang perempuan ampu dan pengabaian partisipasi aktif mereka. Minimnya perempuan dalam posisi kepemimpinan pada akhirnya berujung pada suatu pengabaian terhadap penyediaan akses maupun pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan.

Tidak hanya itu, konservatisme agama yang sudah masuk ke dalam sendi-sendiri masyarakat juga dapat menghambat karier perempuan atau bahkan menghambat perempuan untuk memulai kariernya sendiri. Dengan pertimbangan ketaatan beragama dan glorifikasi figur perempuan muslim ideal, perempuan pada akhirnya yang harus membuang mimpinya jauh-jauh. Mereka yang telah menikah dan memiliki anak didorong untuk keluar dari kantornya, melepaskan jabatannya begitu saja yang sudah mereka bangun sekian lama karena beban tanggung jawab sebagai ibu dan istri yang baik dalam pandangan konservatisme agama.

Perempuan muda yang bahkan baru ingin memulai kariernya pun dapat menjadi ragu untuk melebarkan sayap mereka. Adanya pandangan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah mereka yang berada di rumah akan membuat perempuan-perempuan muda ini dipaksa mengubur dalam-dalam potensi mereka sebagai manusia.

Pada akhirnya, derasnya laju pemahaman konservatif agama akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Baca juga: Khadijah sampai Fatima Al-Fihri: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Sejarah Islam

Membangun wacana alternatif

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengimbangi derasnya pemahaman konservatif agama di Indonesia?

Menurut Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Dr. Iklilah MD Fajriyah, penguasaan media online kelompok konservatif misalnya adalah kritik bagi para feminis muslim untuk membangun gerakan yang sama untuk mengimbangi kekuatan kelompok konservatif dengan mengemukakan wacana alternatif. Hal ini dilakukan untuk membantu anak-anak muda dan masyarakat awam dalam membangun cara berpikir kritis mereka.

Jika wacana alternatif tidak banyak ditemukan, mereka akan merefleksikan wacana yang ada, yang dikemukakan oleh kelompok konservatif, ke dalam kehidupan mereka. Hal ini sering kali menjebak anak-anak muda dan masyarakat pada satu pilihan saja yang justru mengungkung mereka, kata Iklilah. 

Dalam menyampaikan wacana alternatif sebagai tandingan narasi kelompok konservatif, para feminis muslim juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bahkan kekinian.

“Teman-teman feminis muslim yang kuat pemikirannya karena bacaan mereka terhadap teks yang cukup kuat secara tidak sadar menuliskan gagasannya dengan nuansa yang terlalu akademik. Karena bernuansa terlalu akademik, hal ini tidak disukai dan sulit dipahami,” kata Iklilah.

“Strategi penyampaian yang sederhana sangat penting dilakukan para feminis muslim agar orang-orang muda dan awam yang menerima pesannya dapat merefleksikan pesan tersebut dalam kehidupannya sendiri, serta membandingkan pesan tersebut dengan pesan yang disampaikan kelompok konservatif.”

Read More

Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Penulis: Ella S. Prihatini

Dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019, ada lebih banyak perempuan yang maju dibanding pileg-pileg sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya regulasi yang “memaksa” partai untuk memberlakukan minimal 30 persen kuota caleg perempuan agar dapat berkompetisi dalam pileg. Setidaknya, ini terlihat dari pileg terakhir pada 2019, saat rata-rata jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua partai mencapai 41,2 persen.

Di Indonesia, tujuh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berpartisipasi di dalam setiap pileg sejak 2004 telah mencalonkan perempuan sesuai ketentuan kuota pada pileg 2014 dan 2019.

Semua partai, baik yang berideologi Islam maupun pluralis/nasionalis, sama-sama telah lebih banyak mencalonkan perempuan. Data menunjukkan kuota caleg perempuan di pileg 2019 rata-rata naik 25 persen dibandingkan tahun 2004.

Kuota Gender Penting

Kuota gender adalah konsep yang cukup baru. Di dunia pada 1995, kuota gender hanya diterapkan lewat undang-undang di Argentina dan Nepal.

Kini, menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), ketentuan kuota gender telah diterapkan di 81 negara. Di banyak negara, kuota gender telah berhasil membuat jumlah perempuan di parlemen meningkat. Data IPU menunjukkan negara dengan kuota gender memiliki legislator perempuan lebih banyak (30,3 persen) daripada negara yang tidak menerapkan (17,9 persen).

Kuota gender penting untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai critical mass. Critical mass adalah jumlah minimal yang diperlukan menciptakan perubahan (rata-rata dipatok 30 persen dari jumlah kursi legislatif) agar mereka bisa memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

Penelitian yang saya lakukan pada 2019, dan baru saja terbit di jurnal Politics & Gender, menemukan bahwa partai-partai politik telah berupaya mencalonkan lebih banyak perempuan. Namun, meski jumlah caleg perempuan bertambah, keterpilihan calon perempuan dalam pileg masih rendah.

Baca juga:Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres, Tapi Bukan yang Terakhir

Kuota Caleg Perempuan Bukan Prioritas

Meski jumlah caleg perempuan bertambah, jumlah perempuan yang memegang kursi di parlemen lebih rendah. Pada pileg tahun lalu misalnya, tingkat kemenangan caleg laki-laki 2,6 kali lebih tinggi dibanding perempuan.

Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan. Masih sangat sedikit partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di posisi teratas.

Lewat wawancara dengan ketua fraksi dan ketua badan pemenangan pemilu masing-masing partai, saya menemukan bahwa seleksi caleg oleh mayoritas partai di Indonesia masih sangat tertutup dan tersentralisasi.

Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan terkait pencalonan anggota parlemen di banyak negara yang tertutup dari publik. Publik tidak benar-benar tahu mekanisme apa yang menentukan seorang caleg mendapat nomor urut 1 atau 9 dari partai.

Namun khusus di pengalaman PPP tahun 2014, terjadi lonjakan alokasi nomor urut teratas untuk caleg perempuan. Responden saya menyebut bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ketua badan pemenangan pemilu PPP di tahun itu adalah perempuan.

Ini menarik karena sesuai dengan riset sebelumnya yang menemukan bahwa jenis kelamin ketua tim pemenangan (laki-laki atau perempuan) berperan penting dalam mendorong atau menghambat kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.

Biaya Saksi dan Kendala Rekrutmen

Sebagian responden riset saya mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjaring perempuan yang tertarik untuk berkompetisi demi kursi legislatif di DPR. Tapi, sebagian lainnya menilai animo perempuan untuk menjadi caleg sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun terdahulu. Terlebih lagi, partai politik menetapkan sedikitnya Rp 500 juta untuk harga posisi nomor urut 1 di kertas suara. Maka, tak heran jika banyak caleg perempuan terbatas berasal dari latar belakang ekonomi atas.

Baca juga:Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Harga nomor urut satu setiap partai tentunya berbeda-beda, namun justifikasinya satu: Partai membutuhkan dana untuk menyiapkan saksi di sekitar 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar pencatatan akurat.

Biaya saksi ini dibebankan kepada caleg dengan sistem iuran, tapi sebagian pihak menyebutnya dengan “mahar” yang dibayarkan caleg agar bisa dicalonkan oleh partai.

Praktik ini sudah sepatutnya mendapat perhatian dari semua kalangan. Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pencatatan hasil pemilu dan masifnya aksi jual-beli suara menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi. Lebih khusus lagi ini adalah ancaman bagi representasi politik perempuan sebab pemilu yang mahal membuat partisipasi perempuan semakin terbatas.

Kuota gender 30 persen bisa jadi berhasil memaksa partai untuk mencalonkan lebih banyak perempuan dalam Pileg. Namun, bila caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, maka kenaikan jumlah caleg perempuan tidak akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR secara optimal.

Selain itu, biaya kampanye yang sangat mahal (termasuk kewajiban menyetor uang agar dapat nomor urut satu), membuat caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat. Lagi-lagi, ini akan menguatkan cengkraman oligarki di politik Indonesia.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ella S. Prihatini adalah pengajar Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara.

Read More
Disney Princess Stereotip

Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Penulis: Virginia García Beaudoux

Budaya pop bisa berpengaruh besar pada anak-anak, termasuk soal norma gender dan kepemimpinan perempuan.

Kebanyakan anak-anak berusia dua tahun mulai menggunakan kata ganti bergender dalam ucapannya. Selain itu, mereka juga perlahan-lahan mampu mengidentifikasi seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Saat menginjak usia tujuh tahun, anak-anak telah belajar banyak tentang apa yang diharapkan dari mereka berdasarkan sistem gender biner kita. Kebanyakan pembelajaran ini tidak disengaja dan disampaikan lewat budaya pop.

Beberapa tahun yang lalu, seorang peneliti dari Universitas Granada, Spanyol, menganalisis 621 karakter dari kedua jenis kelamin dari 163 serial kartun, termasuk Monster High dan Shin Chan. Ia menemukan bahwa sebagian besar perempuan diberikan posisi peran pendukung—sebagai pacar, ibu, atau pendamping dari tokoh pahlawan ataupun penjahatnya.

Tak hanya jarang menjadi tokoh utama, perempuan dalam kartun juga dibanjiri stereotip. Peneliti Spanyol menemukan bahwa kebanyakan tokoh perempuan dalam animasi ditempeli sifat materialistis, iri dan dangkal, terobsesi dengan tubuh, dan suka untuk menyenangkan orang lain.

Perempuan pemimpin dalam film Disney

Bahkan ketika menjadi karakter utama, tokoh perempuan dalam kartun Disney sering kali hanya menghidupkan pepatah-pepatah kuno tentang perempuan. Contohnya bisa ditemukan dalam film Pocahontas (1995). Disney memperlihatkan bahwa bahkan dalam film kartun pun, perempuan tidak bisa memiliki semuanya. Putri suku asli Amerika ini harus memilih antara sukses dalam sektor publik atau kehidupan romantis yang bahagia.

Lebih lanjut, beberapa penelitian studi menemukan bahwa di seluruh film putri yang diproduksi oleh Disney antara 1989 hingga 1999, tokoh laki-laki mendapatkan  dialog tiga kali lebih banyak dibandingkan tokoh perempuan.

Ahli linguistik di AS menemukan bahwa laki-laki berbicara 68 persen sepanjang film The Little Mermaid, 71  persen dalam film Beauty and the Beast, 90 persen dalam film Aladdin, dan 76 persen dalam film Pocahontas. Ariel, si putri duyung yang menjadi tokoh utama dalam The Little Mermaid, nyatanya memilih untuk tidak dapat berbicara selamanya demi seorang laki-laki.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Pelajaran-pelajaran ini diserap oleh anak-anak, yang sangat menyadari bahwa kebanyakan pahlawan super adalah laki-laki dan putri adalah perempuan. Hal ini menyebabkan semakin sulit bagi perempuan untuk mendapat contoh kepemimpinan bagi perempuan muda.

Tidak seperti pahlawan super, yang menggunakan kemampuannya yang luar biasa untuk melakukan sesuatu yang baik bagi masyarakat, putri-putri dalam kartun cenderung fokus pada permasalahan privat, bukannya pelayanan publik.

Disney menunjukkan perkembangannya sejak mereka memunculkan tokoh Snow White (1937) yang pasif dan Cinderella (1950) yang submisif. Beberapa tahun belakangan, pemimpin perempuan bermunculan dari studio tersebut. Yang paling terkenal adalah Mulan (1998) dan megahit 2013, Frozen.

Akan tetapi, pesan yang disampaikan tidak jauh berbeda dari kebanyakan stereotip Disney konvensional. Mulan adalah seorang prajurit Tionghoa yang berani, dihormati, dan dipatuhi oleh rakyatnya, yang semuanya beranggapan bahwa dia adalah seorang laki-laki, karena ia telah menipu mereka dengan memotong rambutnya. Intinya adalah, tampaknya untuk menjadi pemimpin yang baik, seorang perempuan harus terlihat dan bertindak seperti seorang pria.

Sementara, Frozen disanjung sebagai “bukan film Disney biasa” karena menggambarkan dua saudara perempuan yang tidak butuh ditolong oleh pangeran tampan. Dalam akhir film ini, Elsa dan Anna saling menyelamatkan dengan cinta persaudaraan mereka.

Walau demikian, Elsa, sang protagonis, memiliki kemampuan kepemimpinan yang meragukan. Sebagai anak tertua, dia bertanggung jawab untuk memerintah. Namun ketika ia gugup, dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Terlepas dari niat baiknya, dia tidak mampu menggunakan kekuatannya dengan baik. Hasilnya, ia membekukan kerajaannya dan menarik diri ke dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain, ia digambarkan tidak memiliki kecerdasan emosional.

Semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga.

Pelajaran dalam kepemimpinan perempuan

Apa yang telah kita pelajari dari berbagai produk budaya pop yang ada?

  1. Kepemimpinan adalah laki-laki.
  2. Perempuan adalah pemimpin yang lebih baik ketika ia terlihat dan berperilaku seperti laki-laki.
  3. Kehidupan publik yang sukses mengganggu kehidupan pribadi seorang perempuan.
  4. Ketika perempuan terlibat secara emosional, mereka kehilangan pemikiran rasionalnya, dan mereka gagal sebagai pemimpin.

Bukan hal yang mengejutkan bahwa pelajaran yang telah kita internalisasi sejak kecil diproduksi ulang setiap harinya oleh liputan media (orang dewasa), misalnya politisi perempuan yang menghadapi stereotip dan tantangan yang tidak dialami oleh kolega laki-lakinya.

Tapi tunggu dulu, kata beberapa pemerhati budaya, tidakkah kita berlebihan di sini? Menonton film Disney dan bermain menirukan karakternya hanyalah hal-hal kekanakan dan untuk kesenangan belaka.

Tidak persis begitu. Tahun lalu, para akademisi dari Universitas Brigham Young di Utah melakukan penelitian terkait tokoh-tokoh Disney, serta mewawancarai dan mengamati 198 anak laki-laki dan perempuan di taman kanak-kanak dan kelompok bermain.

Mereka menemukan bahwa semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga. Studi tersebut secara empiris memvalidasi kekhawatiran yang didiskusikan oleh para sosiolog dan feminis selama ini.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Menyadari bahwa kepemimpinan perempuan tidak digambarkan secara baik dalam masyarakat Barat, bukan berarti anak-anak tidak boleh terpapar produk budaya ini. Tidak masalah bagi seorang anak perempuan untuk bermain menjadi seorang putri, selama dia juga bisa menendang bola, membangun sesuatu dengan mur dan perkakas, bermain drum dan mengkhayal menjadi ilmuwan, insinyur, astronaut, atau pemadam kebakaran.

Begitupun sebaliknya. Bukan alasan bagi anak laki-laki yang suka berpakaian seperti pahlawan super untuk tidak bermain berpura-pura mengurus bayi, memasak makan malam, atau menyapu rumah.

Persepsi tentang gender (perempuan menyukai dapur, laki-laki bermain dengan senapan) dibentuk oleh apa yang diajarkan kepada kita ketika masih sangat muda. Orang dewasa harus memastikan bahwa kita tidak memaksakan pesan gender negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga harus berbicara dengan anak tentang makna dari hal-hal yang mereka lihat, untuk memastikan bahwa anak mereka paham bahwa para putri hanyalah salah satu dari contoh tokoh fiktif yang mengagumkan dan menginspirasi. Di luar itu terdapat Wonder Woman yang hebat, Velma yang Cerdas, dan Peppa-Pig (dijuluki sebagai “feminis yang aneh” oleh seorang blogger konservatif).

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Virginia García Beaudoux adalah profesor Komunikasi Politik dan Opini Publik, Universidad de Buenos Aires.

Read More