RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Pada awal tahun ini, tepatnya pada bulan Februari, Indonesia digemparkan oleh Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU Halu) sebagai satu produk hukum yang diusulkan oleh Fraksi Golkar, PAN, PKS dan Gerindra. RUU ketahanan keluarga ini memicu banyak perdebatan dan penolakan kuat dari berbagai lapisan masyarakat terutama para akademisi dan juga feminis.

Salah satu hal yang memicu perdebatan adalah bagaimana RUU ini kembali mengotak-kotakan peran gender kaku antara laki-laki dan perempuan. Dalam RUU ini, laki-laki secara ajek posisinya dilihat sebagai kepala keluarga, sementara perempuan sebagai ibu rumah tangga.

Pematokan peran gender melalui RUU Halu ini jelas problematik karena luput mengetahui bahwa unit rumah tangga Indonesia tidak bersifat homogen. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya unit keluarga dengan perempuan sebagai kepala keluarganya atau ibu yang bekerja sebagai pencari nafkah utama. Perlu dicatat juga bahwa RUU ini telah gagal memenuhi hak perempuan sebagai warga negara melalui UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dengan mengesampingkan fakta bahwa perempuan yang bekerja di ruang publik tidak serta merta bekerja karena kepentingan ekonomi saja. Banyak dari mereka memaknai bekerja sebagai bagian dari eksistensi diri mereka sendiri dan pengabdian mereka terhadap masyarakat.

Jika dilihat dari iklim sosial politik Indonesia, pengusulan RUU Halu ini dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kemunduran demokrasi Indonesia yang dipicu konservatisme agama Islam. Perkembangan pesat konservatisme Islam di Indonesia memang sangat meresahkan, apalagi dengan penguasaan media daring yang dilakukan sebagian kelompok untuk menyebarkan paham yang mereka anut.

Baca juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Penguasaan media daring oleh kelompok ini terbukti efektif menjangkau banyak individu di berbagai kelompok masyarakat atas nama penegakan ideologi politik Islam. Para penganut ideologi ini bertujuan untuk mengubah pendekatan sekuler terhadap negara dan masyarakat menjadi pendekatan di mana simbol dan identitas agama Islam mendominasi di dalam sendi-sendi masyarakatnya.

Dalam menjadikan Islam sebagai ideologi politik, kelompok-kelompok ini berfokus pada penegakkan kembali tatanan moral masyarakat dengan isu “perbaikan” status dan peran gender perempuan, baik dalam ranah privat maupun publik. Mereka berangkat dari pemahaman teks agama yang kaku. Perempuan pada akhirnya dipaksa untuk keluar dari ranah publik. Kelompok konservatif agama kembali mendorong perempuan untuk berdiam diri di rumah sebagai bentuk dari ketaatan beragama. Dengan mendorong perempuan kembali ke ranah domestiknya, paham konservatisme agama telah kembali mengukuhkan segregasi peran gender laki-laki dan perempuan yang didasarkan oleh perbedaan biologis mereka.

RUU Ketahanan Keluarga Faktanya Menghambat kepemimpinan perempuan

Pengotak-kotakan peran gender perempuan dengan mengebiri hak-hak mereka sebagai manusia berdampak langsung pada kepemimpinan perempuan di ruang publik. Melalui paham konservatisme agama, kepemimpinan perempuan yang sudah mendapatkan tempatnya di dalam masyarakat kembali dipertanyakan.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Dengan penekanan bahwa perempuan tidak sepatutnya menjadi seorang pemimpin dan bahwa fitrah mereka ada di rumah, perempuan dikecualikan dalam pertimbangan posisi kepemimpinan di suatu institusi. Perempuan-perempuan yang secara ilmu dan kemampuan lebih mampu menjadi seorang pemimpin dibandingkan kolega laki-lakinya, akan dipertanyakan lagi kredibilitasnya sehingga sulit untuk naik ke posisi pemimpin. Mereka harus rela terus berada di dalam posisi sama dalam jangka waktu yang lama atau bahkan tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk naik jabatan karena pengalaman ketubuhan mereka didiskriminasi oleh interpretasi agama tertentu.

Sulitnya perempuan mengamankan posisi kepemimpinan mereka jika dilihat dari prospek jangka panjang jelas akan berakibat fatal. Semakin sedikitnya perempuan di posisi kepemimpinan, semakin minim pembuatan kebijakan yang memihak pada perempuan. Jika posisi kepemimpinan didominasi oleh laki-laki, akan sangat mungkin bila nantinya pembuatan kebijakan publik atau rencana pembangunan jangka panjang akan bersifat bias gender atau bahkan buta gender.

Eksistensi perempuan pun kembali terpinggirkan dalam kacamata pemangku kebijakan dengan minimnya identifikasi peran gender yang perempuan ampu dan pengabaian partisipasi aktif mereka. Minimnya perempuan dalam posisi kepemimpinan pada akhirnya berujung pada suatu pengabaian terhadap penyediaan akses maupun pemenuhan hak-hak perempuan sebagai kelompok rentan.

Tidak hanya itu, konservatisme agama yang sudah masuk ke dalam sendi-sendiri masyarakat juga dapat menghambat karier perempuan atau bahkan menghambat perempuan untuk memulai kariernya sendiri. Dengan pertimbangan ketaatan beragama dan glorifikasi figur perempuan muslim ideal, perempuan pada akhirnya yang harus membuang mimpinya jauh-jauh. Mereka yang telah menikah dan memiliki anak didorong untuk keluar dari kantornya, melepaskan jabatannya begitu saja yang sudah mereka bangun sekian lama karena beban tanggung jawab sebagai ibu dan istri yang baik dalam pandangan konservatisme agama.

Perempuan muda yang bahkan baru ingin memulai kariernya pun dapat menjadi ragu untuk melebarkan sayap mereka. Adanya pandangan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah mereka yang berada di rumah akan membuat perempuan-perempuan muda ini dipaksa mengubur dalam-dalam potensi mereka sebagai manusia.

Pada akhirnya, derasnya laju pemahaman konservatif agama akan menjadi batu sandungan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Baca juga: Khadijah sampai Fatima Al-Fihri: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Sejarah Islam

Membangun wacana alternatif

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengimbangi derasnya pemahaman konservatif agama di Indonesia?

Menurut Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Dr. Iklilah MD Fajriyah, penguasaan media online kelompok konservatif misalnya adalah kritik bagi para feminis muslim untuk membangun gerakan yang sama untuk mengimbangi kekuatan kelompok konservatif dengan mengemukakan wacana alternatif. Hal ini dilakukan untuk membantu anak-anak muda dan masyarakat awam dalam membangun cara berpikir kritis mereka.

Jika wacana alternatif tidak banyak ditemukan, mereka akan merefleksikan wacana yang ada, yang dikemukakan oleh kelompok konservatif, ke dalam kehidupan mereka. Hal ini sering kali menjebak anak-anak muda dan masyarakat pada satu pilihan saja yang justru mengungkung mereka, kata Iklilah. 

Dalam menyampaikan wacana alternatif sebagai tandingan narasi kelompok konservatif, para feminis muslim juga harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, bahkan kekinian.

“Teman-teman feminis muslim yang kuat pemikirannya karena bacaan mereka terhadap teks yang cukup kuat secara tidak sadar menuliskan gagasannya dengan nuansa yang terlalu akademik. Karena bernuansa terlalu akademik, hal ini tidak disukai dan sulit dipahami,” kata Iklilah.

“Strategi penyampaian yang sederhana sangat penting dilakukan para feminis muslim agar orang-orang muda dan awam yang menerima pesannya dapat merefleksikan pesan tersebut dalam kehidupannya sendiri, serta membandingkan pesan tersebut dengan pesan yang disampaikan kelompok konservatif.”

Read More

Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Penulis: Ella S. Prihatini

Dalam pemilihan legislatif (pileg) 2019, ada lebih banyak perempuan yang maju dibanding pileg-pileg sebelumnya. Hal ini bisa terjadi karena adanya regulasi yang “memaksa” partai untuk memberlakukan minimal 30 persen kuota caleg perempuan agar dapat berkompetisi dalam pileg. Setidaknya, ini terlihat dari pileg terakhir pada 2019, saat rata-rata jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua partai mencapai 41,2 persen.

Di Indonesia, tujuh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berpartisipasi di dalam setiap pileg sejak 2004 telah mencalonkan perempuan sesuai ketentuan kuota pada pileg 2014 dan 2019.

Semua partai, baik yang berideologi Islam maupun pluralis/nasionalis, sama-sama telah lebih banyak mencalonkan perempuan. Data menunjukkan kuota caleg perempuan di pileg 2019 rata-rata naik 25 persen dibandingkan tahun 2004.

Kuota Gender Penting

Kuota gender adalah konsep yang cukup baru. Di dunia pada 1995, kuota gender hanya diterapkan lewat undang-undang di Argentina dan Nepal.

Kini, menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), ketentuan kuota gender telah diterapkan di 81 negara. Di banyak negara, kuota gender telah berhasil membuat jumlah perempuan di parlemen meningkat. Data IPU menunjukkan negara dengan kuota gender memiliki legislator perempuan lebih banyak (30,3 persen) daripada negara yang tidak menerapkan (17,9 persen).

Kuota gender penting untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai critical mass. Critical mass adalah jumlah minimal yang diperlukan menciptakan perubahan (rata-rata dipatok 30 persen dari jumlah kursi legislatif) agar mereka bisa memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.

Penelitian yang saya lakukan pada 2019, dan baru saja terbit di jurnal Politics & Gender, menemukan bahwa partai-partai politik telah berupaya mencalonkan lebih banyak perempuan. Namun, meski jumlah caleg perempuan bertambah, keterpilihan calon perempuan dalam pileg masih rendah.

Baca juga:Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres, Tapi Bukan yang Terakhir

Kuota Caleg Perempuan Bukan Prioritas

Meski jumlah caleg perempuan bertambah, jumlah perempuan yang memegang kursi di parlemen lebih rendah. Pada pileg tahun lalu misalnya, tingkat kemenangan caleg laki-laki 2,6 kali lebih tinggi dibanding perempuan.

Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan. Masih sangat sedikit partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di posisi teratas.

Lewat wawancara dengan ketua fraksi dan ketua badan pemenangan pemilu masing-masing partai, saya menemukan bahwa seleksi caleg oleh mayoritas partai di Indonesia masih sangat tertutup dan tersentralisasi.

Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan terkait pencalonan anggota parlemen di banyak negara yang tertutup dari publik. Publik tidak benar-benar tahu mekanisme apa yang menentukan seorang caleg mendapat nomor urut 1 atau 9 dari partai.

Namun khusus di pengalaman PPP tahun 2014, terjadi lonjakan alokasi nomor urut teratas untuk caleg perempuan. Responden saya menyebut bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ketua badan pemenangan pemilu PPP di tahun itu adalah perempuan.

Ini menarik karena sesuai dengan riset sebelumnya yang menemukan bahwa jenis kelamin ketua tim pemenangan (laki-laki atau perempuan) berperan penting dalam mendorong atau menghambat kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.

Biaya Saksi dan Kendala Rekrutmen

Sebagian responden riset saya mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjaring perempuan yang tertarik untuk berkompetisi demi kursi legislatif di DPR. Tapi, sebagian lainnya menilai animo perempuan untuk menjadi caleg sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun terdahulu. Terlebih lagi, partai politik menetapkan sedikitnya Rp 500 juta untuk harga posisi nomor urut 1 di kertas suara. Maka, tak heran jika banyak caleg perempuan terbatas berasal dari latar belakang ekonomi atas.

Baca juga:Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Harga nomor urut satu setiap partai tentunya berbeda-beda, namun justifikasinya satu: Partai membutuhkan dana untuk menyiapkan saksi di sekitar 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar pencatatan akurat.

Biaya saksi ini dibebankan kepada caleg dengan sistem iuran, tapi sebagian pihak menyebutnya dengan “mahar” yang dibayarkan caleg agar bisa dicalonkan oleh partai.

Praktik ini sudah sepatutnya mendapat perhatian dari semua kalangan. Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pencatatan hasil pemilu dan masifnya aksi jual-beli suara menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi. Lebih khusus lagi ini adalah ancaman bagi representasi politik perempuan sebab pemilu yang mahal membuat partisipasi perempuan semakin terbatas.

Kuota gender 30 persen bisa jadi berhasil memaksa partai untuk mencalonkan lebih banyak perempuan dalam Pileg. Namun, bila caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, maka kenaikan jumlah caleg perempuan tidak akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR secara optimal.

Selain itu, biaya kampanye yang sangat mahal (termasuk kewajiban menyetor uang agar dapat nomor urut satu), membuat caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat. Lagi-lagi, ini akan menguatkan cengkraman oligarki di politik Indonesia.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ella S. Prihatini adalah pengajar Hubungan Internasional, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara.

Read More
Disney Princess Stereotip

Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Penulis: Virginia García Beaudoux

Budaya pop bisa berpengaruh besar pada anak-anak, termasuk soal norma gender dan kepemimpinan perempuan.

Kebanyakan anak-anak berusia dua tahun mulai menggunakan kata ganti bergender dalam ucapannya. Selain itu, mereka juga perlahan-lahan mampu mengidentifikasi seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. Saat menginjak usia tujuh tahun, anak-anak telah belajar banyak tentang apa yang diharapkan dari mereka berdasarkan sistem gender biner kita. Kebanyakan pembelajaran ini tidak disengaja dan disampaikan lewat budaya pop.

Beberapa tahun yang lalu, seorang peneliti dari Universitas Granada, Spanyol, menganalisis 621 karakter dari kedua jenis kelamin dari 163 serial kartun, termasuk Monster High dan Shin Chan. Ia menemukan bahwa sebagian besar perempuan diberikan posisi peran pendukung—sebagai pacar, ibu, atau pendamping dari tokoh pahlawan ataupun penjahatnya.

Tak hanya jarang menjadi tokoh utama, perempuan dalam kartun juga dibanjiri stereotip. Peneliti Spanyol menemukan bahwa kebanyakan tokoh perempuan dalam animasi ditempeli sifat materialistis, iri dan dangkal, terobsesi dengan tubuh, dan suka untuk menyenangkan orang lain.

Perempuan pemimpin dalam film Disney

Bahkan ketika menjadi karakter utama, tokoh perempuan dalam kartun Disney sering kali hanya menghidupkan pepatah-pepatah kuno tentang perempuan. Contohnya bisa ditemukan dalam film Pocahontas (1995). Disney memperlihatkan bahwa bahkan dalam film kartun pun, perempuan tidak bisa memiliki semuanya. Putri suku asli Amerika ini harus memilih antara sukses dalam sektor publik atau kehidupan romantis yang bahagia.

Lebih lanjut, beberapa penelitian studi menemukan bahwa di seluruh film putri yang diproduksi oleh Disney antara 1989 hingga 1999, tokoh laki-laki mendapatkan  dialog tiga kali lebih banyak dibandingkan tokoh perempuan.

Ahli linguistik di AS menemukan bahwa laki-laki berbicara 68 persen sepanjang film The Little Mermaid, 71  persen dalam film Beauty and the Beast, 90 persen dalam film Aladdin, dan 76 persen dalam film Pocahontas. Ariel, si putri duyung yang menjadi tokoh utama dalam The Little Mermaid, nyatanya memilih untuk tidak dapat berbicara selamanya demi seorang laki-laki.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Pelajaran-pelajaran ini diserap oleh anak-anak, yang sangat menyadari bahwa kebanyakan pahlawan super adalah laki-laki dan putri adalah perempuan. Hal ini menyebabkan semakin sulit bagi perempuan untuk mendapat contoh kepemimpinan bagi perempuan muda.

Tidak seperti pahlawan super, yang menggunakan kemampuannya yang luar biasa untuk melakukan sesuatu yang baik bagi masyarakat, putri-putri dalam kartun cenderung fokus pada permasalahan privat, bukannya pelayanan publik.

Disney menunjukkan perkembangannya sejak mereka memunculkan tokoh Snow White (1937) yang pasif dan Cinderella (1950) yang submisif. Beberapa tahun belakangan, pemimpin perempuan bermunculan dari studio tersebut. Yang paling terkenal adalah Mulan (1998) dan megahit 2013, Frozen.

Akan tetapi, pesan yang disampaikan tidak jauh berbeda dari kebanyakan stereotip Disney konvensional. Mulan adalah seorang prajurit Tionghoa yang berani, dihormati, dan dipatuhi oleh rakyatnya, yang semuanya beranggapan bahwa dia adalah seorang laki-laki, karena ia telah menipu mereka dengan memotong rambutnya. Intinya adalah, tampaknya untuk menjadi pemimpin yang baik, seorang perempuan harus terlihat dan bertindak seperti seorang pria.

Sementara, Frozen disanjung sebagai “bukan film Disney biasa” karena menggambarkan dua saudara perempuan yang tidak butuh ditolong oleh pangeran tampan. Dalam akhir film ini, Elsa dan Anna saling menyelamatkan dengan cinta persaudaraan mereka.

Walau demikian, Elsa, sang protagonis, memiliki kemampuan kepemimpinan yang meragukan. Sebagai anak tertua, dia bertanggung jawab untuk memerintah. Namun ketika ia gugup, dia membiarkan emosi menguasai dirinya. Terlepas dari niat baiknya, dia tidak mampu menggunakan kekuatannya dengan baik. Hasilnya, ia membekukan kerajaannya dan menarik diri ke dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain, ia digambarkan tidak memiliki kecerdasan emosional.

Semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga.

Pelajaran dalam kepemimpinan perempuan

Apa yang telah kita pelajari dari berbagai produk budaya pop yang ada?

  1. Kepemimpinan adalah laki-laki.
  2. Perempuan adalah pemimpin yang lebih baik ketika ia terlihat dan berperilaku seperti laki-laki.
  3. Kehidupan publik yang sukses mengganggu kehidupan pribadi seorang perempuan.
  4. Ketika perempuan terlibat secara emosional, mereka kehilangan pemikiran rasionalnya, dan mereka gagal sebagai pemimpin.

Bukan hal yang mengejutkan bahwa pelajaran yang telah kita internalisasi sejak kecil diproduksi ulang setiap harinya oleh liputan media (orang dewasa), misalnya politisi perempuan yang menghadapi stereotip dan tantangan yang tidak dialami oleh kolega laki-lakinya.

Tapi tunggu dulu, kata beberapa pemerhati budaya, tidakkah kita berlebihan di sini? Menonton film Disney dan bermain menirukan karakternya hanyalah hal-hal kekanakan dan untuk kesenangan belaka.

Tidak persis begitu. Tahun lalu, para akademisi dari Universitas Brigham Young di Utah melakukan penelitian terkait tokoh-tokoh Disney, serta mewawancarai dan mengamati 198 anak laki-laki dan perempuan di taman kanak-kanak dan kelompok bermain.

Mereka menemukan bahwa semakin anak perempuan mengidentifikasi dirinya dengan “budaya putri”, semakin besar pula mereka menunjukkan pola perilaku yang berhubungan dengan stereotip perempuan yang menyatakan bahwa kecantikan, keramahan, dan kepatuhan adalah aset perempuan yang paling berharga. Studi tersebut secara empiris memvalidasi kekhawatiran yang didiskusikan oleh para sosiolog dan feminis selama ini.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Menyadari bahwa kepemimpinan perempuan tidak digambarkan secara baik dalam masyarakat Barat, bukan berarti anak-anak tidak boleh terpapar produk budaya ini. Tidak masalah bagi seorang anak perempuan untuk bermain menjadi seorang putri, selama dia juga bisa menendang bola, membangun sesuatu dengan mur dan perkakas, bermain drum dan mengkhayal menjadi ilmuwan, insinyur, astronaut, atau pemadam kebakaran.

Begitupun sebaliknya. Bukan alasan bagi anak laki-laki yang suka berpakaian seperti pahlawan super untuk tidak bermain berpura-pura mengurus bayi, memasak makan malam, atau menyapu rumah.

Persepsi tentang gender (perempuan menyukai dapur, laki-laki bermain dengan senapan) dibentuk oleh apa yang diajarkan kepada kita ketika masih sangat muda. Orang dewasa harus memastikan bahwa kita tidak memaksakan pesan gender negatif dalam kehidupan sehari-hari.

Keluarga harus berbicara dengan anak tentang makna dari hal-hal yang mereka lihat, untuk memastikan bahwa anak mereka paham bahwa para putri hanyalah salah satu dari contoh tokoh fiktif yang mengagumkan dan menginspirasi. Di luar itu terdapat Wonder Woman yang hebat, Velma yang Cerdas, dan Peppa-Pig (dijuluki sebagai “feminis yang aneh” oleh seorang blogger konservatif).

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Virginia García Beaudoux adalah profesor Komunikasi Politik dan Opini Publik, Universidad de Buenos Aires.

Read More

Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Impian untuk menciptakan tempat kerja yang beragam dan inklusif tentu tidak akan terwujud tanpa pembaruan dalam kebijakan sumber daya manusia (SDM)di perusahaan. Layaknya induk dalam perusahaan, kebijakan SDM akan melahirkan proses perekrutan yang lebih berkeadilan yang tidak mencantumkan standar ganda pada gender maupun kelompok tertentu berasal.  

Di tatanan global, jargon Keberagaman dan Inklusi sudah mulai menjadi tren dalam beberapa dekade terakhir. Buku Global Diversity and Inclusion yang dikeluarkan oleh The Economist pada 2009 menunjukkan jika tren menciptakan keberagaman dan inklusivitas akan menjadi topik yang terus dibahas di masa depan. Banyak organisasi dan perusahaan sadar akan pentingnya membangun kebijakan yang merayakan keragaman identitas, latar belakang ras, dan gender.

The Economist melakukan survei pada 500 eksekutif di perusahaan dan organisasi seluruh dunia termasuk Asia Pasifik. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 55 persen eksekutif perusahaan, termasuk kepala bagian SDM, sudah mulai menerapkan konsep keberagaman dan inklusivitas. Sedangkan 79 persen di antaranya percaya jika harus lebih banyak lagi presentasi perempuan di tempat kerja, dan 39 persen representasi ras minoritas. Dalam bukunya, The Economist juga merekomendasikan untuk memulai pengaplikasian konsep keberagaman dan inklusivitas dengan mengidentifikasi nilai keberagaman itu sendiri di tiap negara dan wilayah.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

“Setelah kita paham isu besar apa yang dihadapi di negara kita kerja, baru kita bisa bikin kebijakan. Kita enggak mungkin menerapkan konsep keberagaman orang Amerika ke negara Asia misalnya, karena jelas punya budaya yang berbeda,” tulisnya.

Kebijakan SDM untuk mendorong keberagaman dan kesetaraan di tempat kerja juga masuk dalam rencana aksi global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sampai 2030 mendatang, sebuah agenda besar para pemimpin dunia untuk menciptakan laju perekonomian yang merata dan setara. Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga menerbitkan sebuah buku saku bertajuk Promoting Diversity And Inclusion Through Workplace Adjustments A Practical Guide yang berisi berbagai rekomendasi dan cara-cara praktis yang bisa diimplementasikan di perusahaan, agar kebijakannya bisa mendorong lebih banyak perempuan untuk tampil dan memberi ruang untuk kelompok minoritas.

Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dunia juga sudah banyak yang secara terang-terangan mendukung keberagaman dan menyampaikan keterbukaan bagi komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). Kemajuan progresif juga ditunjukkan oleh perusahaan multinasional seperti Unilever dan Danone yang baru-baru ini mengganti logonya dengan warna pelangi, sebagai simbol dukungan terhadap kelompok LGBTQ. Bahkan Unilever membuat kebijakan tersendiri bagi pekerjanya yang sedang melakukan transisi gender.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Kebijakan SDM di Indonesia

Di Indonesia, kebijakan SDM yang ramah LGBTQ masih mendapat serangan dari banyak pihak. Tidak lama setelah Unilever mengganti logo, muncul gerakan yang memboikot produk-produk Unilever dan Danone. Pada 2018 lalu, Gojek mendapat kecaman setelah salah satu manajernya mengatakan bahwa orientasi seksual apa pun akan diterima di Gojek selama dia punya kemampuan. Tagar #UninstallGojek ramai di sosial media, sebagai bentuk boikot Gojek yang dianggap mendukung LGBTQ.

Meskipun demikian, menurut Floribertus, seorang praktisi SDM yang sudah berkecimpung di dunia SDM selama 15 tahun, Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam kebijakan SDM, termasuk perekrutan. Data diri calon pelamar, misalnya, cenderung lebih singkat dibandingkan zaman dulu yang mesti mencantumkan hal-hal bersifat pribadi seperti agama, jenis kelamin, dan surat berkelakuan baik.

“Penyederhanaan bentuk resume ini harus dilihat sebagai kemajuan karena secara perlahan, hal ini mengeliminasi kemungkinan bias penilaian terhadap hal-hal yang bersifat pribadi, alih-alih kemampuan. Beberapa perusahaan bahkan sudah mulai menerapkan aturan agar pelamar tidak memakai foto dalam resumenya, sehingga tim SDM bisa menilai kelayakan mereka mendapat kerja secara objektif tanpa mempertimbangkan ras maupun suku tertentu,” kata Floribertus, yang sudah bekerja di berbagai sektor, mulai dari otomotif, farmasi, sampai tambang dan perbankan.

Namun menciptakan sistem yang berimbang secara gender masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam bidang SDM perusahaan, ujarnya.

“Nah, di sinilah seharusnya (divisi) SDM ditantang supaya bisa melihat potensi dari perempuan kalau sudah terlalu banyak laki-laki. Sistem yang baik juga harus bisa melihat ini sebagai sebuah masalah,” kata Floribertus.

“Saat ada pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai ibu.”

Selain itu, dorongan eksternal yang mengharuskan perusahaan membuat kebijakan SDM yang inklusif dan tidak diskriminatif juga merupakan implikasi dari masyarakat yang semakin kritis dan budaya spill up di media sosial yang bisa saja menghancurkan reputasi perusahaan secepat kilat. Di Twitter misalnya, ada akun @HRDBacot dengan 377 ribu pengikut, yang selalu menjadi tempat keluh kesah para pekerja yang merasa perusahaannya tidak adil.

“Orang sekarang semakin kritis. Apa-apa pasti dikritik, kalau salahnya besar pasti viral. Ya sebetulnya SDM juga harus hati-hati banget bikin kebijakan. Apalagi kita ada obligasi buat bikin pekerja stay, kan enggak kayak zaman dulu yang orang cenderung akan stay puluhan tahun. Sekarang bisa hengkang kapan saja,” ujar Floribertus.

Kemajuan juga masih lambat di instansi-instansi pemerintahan, misalnya, yang masih menggunakan standar-standar normatif seperti gender, umur, agama, dan orientasi seksual. Perusahaan yang punya birokrasi yang kompleks cenderung lebih sulit menerima konsep keberagaman dan inklusivitas.

“Perusahaan swasta yang multinasional sudah mulai aware sama hal-hal begini. Tapi lembaga formal yang mengikuti protokol pemerintah kan enggak gampang mengubah alur kebijakan SDM,” ujarnya.

Mendukung Fleksibilitas SDM

Selain mendukung keberagaman saat proses perekrutan, aturan fleksibilitas kerja menjadi hal yang tak kalah krusial dalam menciptakan tempat kerja yang lebih ramah terhadap perempuan. Adanya peran ganda perempuan antara bekerja dan mengurus rumah tangga menjadikan jam kerja fleksibel penting. Dalam banyak kasus, perempuan sering kali memilih keluar dari pekerjaannya karena tidak memungkinkan waktu kerja yang fleksibel.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan

Hasil penelitian lembaga riset AS Corporate Leadership Council pada 2014 menunjukkan, fleksibilitas kerja meningkatkan aspirasi karier perempuan hampir 30 persen, sehingga perempuan tidak harus meninggalkan atau menurunkan ambisinya di tempat kerja setelah berkeluarga. Buku saku yang ILO bertajuk Work And Family Creating a family-friendly workplace menggarisbawahi bahwa fleksibilitas kerja dan keterbukaan perusahaan menjadi kunci menciptakan tempat kerja ramah perempuan yang punya beban mengurus keluarga.

Floribertus mengatakan di saat pandemi seperti sekarang inilah kapasitas perusahaan dalam membuat keputusan yang berpihak pada pekerja perempuan diuji. Perusahaan harus melihat permasalahan bekerja dari rumah lebih sulit dilakukan oleh perempuan yang harus mengurus anak sekaligus mencari waktu untuk bekerja.

“Semuanya harus didasari komunikasi yang terbuka juga ya. Kita harus mau menanyakan dan mendengarkan keadaan pekerja. Peduli dengan support system-nya, misalnya dia harus jagain anak karena hari ini pengasuhnya sakit, kita sebisa mungkin harus kasih solusi yang terbaik,” ujar Floribertus.

“Saat ada kasus pekerja perempuan yang harus mengundurkan diri setelah menikah, pembuat kebijakan SDM lebih baik menawarkan alternatif posisi lain yang bisa lebih terjangkau oleh perempuan, sehingga perempuan tidak melulu harus meninggalkan karier saat terjepit keadaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu.”

Read More

‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

Ditulis oleh: Jasmine Floretta V.D.

Pernahkah kalian mengalami ketika sedang berdiskusi di dalam rapat kantor atau di dalam perbincangan ringan sesama teman, pembicaraan kalian dipotong atau disela oleh teman laki-laki kalian? Atau melihat di acara bincang-bincang televisi, bagaimana narasumber atau pembawa acara perempuan yang sedang mengungkapkan pendapat atau pertanyaan, disela begitu saja oleh narasumber laki-laki? Tidak jarang narasumber laki-laki yang memotong pembicaraan perempuan justru lebih ngegas saat ditegur.

Untuk contoh yang lebih “gila”, kita juga bisa menengok ke belakang, saat pergelaran MTV Video Music Awards (VMA) 2009. Kehebohan terjadi karena pidato Taylor Swift saat menerima hadiah disabotase oleh rapper Kanye West, yang melompat ke panggung begitu saja, menyerobot mikrofon dari tangan Swift dan dengan sengak mengatakan bahwa Beyoncé yang lebih pantas menang.

Apa yang dilakukan oleh para kolega di kantor kita, para narasumber laki-laki di dalam acara bincang-bincang, atau West pada Swift di VMA 2009, adalah bentuk dari diskriminasi gender yang dinamakan mansplaining.

Mansplaining adalah bentuk diskriminasi gender yang sistematis dan terlembaga, yang secara implisit mematok nilai yang lebih rendah dari suara perempuan. Melalui tindakan mansplaining ini, laki-laki berbicara seolah-olah mereka tahu segalanya melebihi perempuan. Mereka akhirnya kerap memberikan komentar tanpa diminta lawan bicaranya dan meremehkan kemampuan juga pendapat perempuan.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Istilah mansplaining pertama kali digambarkan oleh penulis/aktivis Rebecca Solnit dalam esainya “Men Explain Things to Me—Facts Didn’t Get in the Way “. Solnit menganggap mansplaining sebagai kombinasi dari “kepercayaan diri berlebihan dan ketidaktahuan” karena secara kultural laki-laki selalu ditempatkan di posisi yang lebih superior. Unsur seksisme yang ada di dalam mansplaining sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena sikap ini mengarah pada pengukuhan stereotip gender kaku sebagai dasar asumsinya. Stereotip gender kaku ini kerap melukis perempuan sebagai seseorang yang kurang kompeten, kurang cerdas, dan kurang berpendidikan dibandingkan laki-laki. Perempuan pun secara sistematis dipinggirkan dan dikecualikan di dalam proses pengambilan keputusan, tidak dianggap kontribusinya dalam melakukan sesuatu, bahkan tidak dihargai kerja keras atau pendapatnya.

Stereotip gender yang kembali dikukuhkan melalui mansplaining kemudian mengerdilkan perempuan dengan cara membungkam suaranya secara sepihak. Asumsi dasar stereotip gender bahwa perempuan tidak lebih pintar dan tidak lebih kompeten dari laki-laki dalam memahami suatu hal akan berpengaruh pada perempuan yang akan merasa diremehkan dan tidak dihargai.

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Diskriminasi gender semacam ini dialami oleh Ben Barres, ahli neurobiologi dari Universitas Stanford yang juga seorang transpria. Dalam artikelnya di The Washington Post yang berjudul “Male Scientist Writes of Life as Female Scientist”, Barres menulis secara terbuka tentang pengalamannya di lapangan sebagai perempuan dan laki-laki. Sebagai mahasiswi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Barres mengatakan pernah diragukan oleh profesornya sendiri setelah memecahkan soal matematika yang sangat sulit. Profesornya menuduh Barres meminta bantuan pacar laki-lakinya untuk menyelesaikan soal yang ada, karena sang profesor beranggapan seorang Barbara tidak mungkin mampu mengerjakan soal matematika yang sulit tersebut.

Setelah dia bertransisi sebagai transpria dan menjadi Ben Barres, ia bertemu seorang ilmuwan yang tidak menyadari dirinya adalah Barbara Barres. Sang ilmuwan tersebut mengatakan bahwa Ben memberikan seminar yang bagus dan karyanya jauh lebih baik daripada saudara perempuannya, Barbara. Dari pengalamannya tersebut, Barres menyadari bahwa orang-orang yang tidak tahu dirinya transgender memperlakukan Ben dengan lebih hormat daripada ketika dia masih menjadi Barbara. Ia mengakui bahwa sebagai Ben, dia bahkan dapat mengungkapkan pendapatnya dengan bebas tanpa disela oleh laki-laki, hal yang begitu langka dialami Barbara Barres.

Unsur seksisme yang ada di dalam mansplaining sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena sikap ini mengarah pada pengukuhan stereotip gender kaku sebagai dasar asumsinya.

Mansplaining Menghambat Karier Perempuan

Tidak hanya mengukuhkan stereotip gender kaku dan membungkam sepihak suara perempuan, mansplaining menjadi faktor penghambat karier perempuan melalui pembuatan kebijakan yang bias gender. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana masih banyak perusahaan menghapuskan hak cuti haid atau pengurangan cuti melahirkan kepada perempuan dengan alasan memaksimalkan produktivitas kerja.

Pembuat kebijakan kerap tidak mengindahkan suara perempuan melalui pengalaman ketubuhan unik mereka dan meliyankan perempuan dalam pengambilan keputusan. Untuk kasus menstruasi misalnya, tidak jarang perempuan bisa sampai demam tinggi atau bahkan pingsan. Jika perempuan dengan sangat terpaksa absen, pihak perusahaan hanya akan memberikan izin pada perempuan dengan syarat surat keterangan dokter. Peraturan ini pun sangat merugikan perempuan karena siklus menstruasi yang begitu menyakitkan dialami sejumlah perempuan setiap bulannya akan menghambat kenaikan karier mereka karena banyaknya absensi yang mereka punya. Belum lagi konsekuensi dari biaya tambahan yang harus mereka ambil ketika memeriksa keadaan mereka dan meminta surat keterangan dokter. 

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Mansplaining pada kenyataannya juga berimplikasi pada normalisasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Senior saya, Ani, misalnya, pernah dilecehkan oleh kolega laki-lakinya yang sudah beristri, yang memanggilnya dengan sebutan “sayang”. Ani melaporkan hal itu kepada manajernya tapi dianggap sebagai angin lalu. Ketika Ani akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantornya, sang manajer dan kolega laki-laki yang melecehkannya itu menyebutnya lebay, dan menganggap pelecehan seksual verbal yang dialaminya sebagai hal yang sepele. Pelecehan seksual seperti ini juga dialami oleh teman saya yang lain, dan saya yakin oleh banyak sekali perempuan.

Pada akhirnya, mansplaining adalah bentuk diskriminasi gender yang kerap berujung pada peminggiran eksistensi perempuan. Mansplaining adalah sebuah tindakan yang kerap melanggengkan dominasi kuasa laki-laki atas perempuan dengan mengukuhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat.

Sudah waktunya perempuan merebut kembali suaranya yang kerap dibungkam. Memang sulit, namun jangan sungkan untuk menegur kolega laki-laki yang mendominasi pembicaraan atau melecehkan. Tempat kerja serta para atasan, juga seharusnya tidak menormalisasi atau meremehkan persoalan ini, dan memberikan ruang aman dan nyaman bagi pekerja perempuan.

Jasmine Floretta V.D. adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.

Read More
Perempuan Bekerja dalam Islam

Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Penulis: Jasmine Floretta V.D.

Beberapa tahun belakang ini makin banyak akun-akun media sosial bernafas Islami bertebaran dengan jumlah followers dan engagement yang luar biasa tinggi di setiap unggahannya. Sebutlah Indonesia Tanpa Pacaran yang sudah menggaet 1 juta pengikut di Instagram atau Tentang Islam yang sudah menggaet 7 juta pengikut di Facebook.

Yang menimbulkan kekhawatiran dari akun-akun media sosial ini adalah bagaimana mereka secara jelas mengajak perempuan untuk keluar dari ranah publik dan berdiam diri di rumah sebagai bentuk dari ketaatan beragama. Misalnya pada unggahan Tentang Islam 11 Oktober 2019 lalu yang mengutip pembicaraan Ustad Firanda Adirja yang berbunyi “Wanita itu fitrahnya di rumah. Jika dia suka keluyuran dan betah di luar rumah, berati dia sudah keluar dari fitrahnya”. Unggahan ini mendapatkan total likes sebanyak 12.000, angka yang sangat fantastis untuk sebuah unggahan yang ingin mendomestikasi perempuan dan di saat bersamaan juga memiliki implikasi pada kriminalisasi perempuan pekerja.

Pertanyaan mendasar pun muncul dari unggahan-unggahan seperti ini: Apakah Islam melarang perempuan bekerja di ruang publik, sehingga jika mereka bekerja maka perempuan telah menyalahi kodrat mereka sendiri? Jadi apakah ada hukum perempuan bekerja di agama Islam?

Dr. Iklilah MD Fajriyah, Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, mengatakan dalam produk hukum Islam atau fikih selalu ada wacana yang tidak tunggal. Hal tersebut menjadi catatan dasar terlebih dahulu dan pasti akan muncul di semua isu yang terkait dengan isu gender, termasuk ketika berbicara tentang perempuan pekerja, ujarnya.

“Kalau kita merujuk pada pertanyaan boleh enggak sih perempuan bekerja dalam sudut pandangan Islam, jawabannya ada yang berpendapat boleh, ada juga yang berpendapat tidak boleh. Dua-dua pendapat ini  merujuk pada teks, ada yang merujuk pada Al-Quran ada juga yang merujuk pada hadis. Nikmatnya kita menjadi seorang muslim adalah kita bisa memilih yang mana yang menurut kita paling pas dengan visi misi hidup kita,” ujar Iklilah kepada Magdalene (4/11).

Baca juga: Khadijah sampai Fatima Al-Fihri: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Sejarah Islam

Hukum Perempuan Bekerja: Istri-Istri Nabi Ternyata Bekerja

Ia mengatakan, kalau kita melihat dari konteks sejarah Islam itu sendiri, istri Nabi Muhammad dan perempuan-perempuan sahabat Nabi telah menempati berbagai posisi di ranah publik. Istri pertama Nabi, Khadijah, saja adalah seorang perempuan pengusaha sukses yang perdagangannya melintasi Jazirah Arab. Bahkan ketika Khadijah sudah menikah dengan Rasul, Rasul tidak melarang Khadijah untuk melanjutkan bisnisnya.

Kita juga mengetahui istri Nabi yang lain, Aisyah adalah tokoh perempuan intelektual. Aisyah memiliki kontribusi besar dalam perkembangan ilmu hadis melalui tiga hal yaitu periwayatan, pemahaman, dan pengajaran hadis sebagai seorang guru.

Selain istri-istri Nabi, sebenarnya masih banyak perempuan-perempuan hebat yang berpengaruh karena perannya di ruang publik, seperti salah satunya Asy-Syifa binti Abdullah.

Mohd Quzaid al Fitry B. Termiji, akademisi ilmu fikih asal Malaysia mengatakan dalam jurnal akademiknya, bahwa seperti Khadijah, Asy-Syifa adalah seorang pengusaha kaya yang sukses. Asy-Syifa bahkan ditunjuk sendiri oleh sahabat dan pengganti Nabi, Umar bin Khattab, untuk menangani pasar kota Madinah sebagai hisab (pengawas). Sebagai hisab, Asy-Syifa mendidik orang-orang yang curang dan mengawasi mereka. Dirinya juga memiliki otoritas untuk menghukum pihak yang bersalah jika ketahuan melakukan kecurangan dalam berdagang.

Hal yang terpenting di dalam Islam mengenai bekerja di ruang publik bukan “siapa” yang melakukan kegiatan ekonomi, tapi “bagaimana” laki-laki dan perempuan melakukannya dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan semangat keadilan dan kesetaraan.

Dari potongan kisah inspiratif istri-istri Nabi beserta perempuan sahabat, maka apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan sebuah implementasi nyata dan refleksi dari hadis sahih riwayat Thabrani dan Daruquthni yang berbunyi “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”.

Iklilah menggarisbawahi kata annas yang berarti manusia dalam hadis ini. Hadis ini tidak memakai kata khairul rijal atau diartikan sebagai sebaik-baiknya laki-laki, ujarnya, sehingga hadis ini bersifat universal, diperuntukkan baik untuk laki-laki juga perempuan.

“Maka demikian semakin besar cakupan kebermanfaatan seseorang, derajatnya kebaikannya akan lebih tinggi. Bukan berarti perempuan yang memutuskan untuk di rumah mereka tidak bermanfaat. Dia tetap mempunyai manfaat yang signifikan bagi keluarganya, untuk anak anaknya, untuk suaminya, tapi cakupan kebermanfaatannya hanya sampai situ,” ujarnya.

“Tapi bayangkan jika dia meluangkan sedikit waktunya di luar rumah misalnya, dia punya keahlian dalam mengajar, kebermanfaatannya bertambah. Sehingga kalau kita melihat bahwa bagaimana hukum perempuan bekerja di dalam Islam, saya dalam posisi meyakini bahwa bekerja itu bukan hanya sebagai sesuatu yang dibolehkan namun dianjurkan karena merujuk pada hadis tadi,” kata Iklilah.

Selain hadis sahih riwayat Thabrani dan Daruquthnim, Iklilah juga mengatakan dasar argumen mengenai perempuan pekerja di dalam agama Islam juga dapat dilihat dari surat An-Nahl ayat 97, yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan kehidupan yang baik kepada siapa pun, baik laki-laki atau perempuan, yang mengerjakan amal saleh.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

“Jika kita perempuan bekerja dengan niat dan caranya baik sebagai bagian dari ibadah, sebagai bagian dari amal saleh, maka kebaikan akan datang,” ujar Iklilah.

Cendekiawan Islam Prof. Musdah Mulia juga menyatakan hal yang sama dalam bukunya Ensiklopedia Muslimah Reformis (2019). Menurutnya, ayat An-Nahl tersebut jelas menunjukkan bahwa Islam memiliki semangat kuat terhadap penegakan kesetaraan gender, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban untuk beramal saleh.

Hal ini, tulisnya, bisa dilihat juga dari Surat Asy-Syura ayat 42 yang secara tegas mengajak manusia, baik laki-laki dan perempuan, agar bermusyawarah dalam segala pengambilan keputusan serta mewajibkan infak dari harta yang diberikan Allah tersebut. Menurut Musdah, ayat ini dijadikan dasar imbauan bagi setiap orang baik bagi laki-laki dan perempuan untuk beraktivitas di bidang ekonomi.

Ia menambahkan, manusia diimbau untuk bekerja mencari penghasilan yang dapat menopang hidup mereka secara layak sehingga mampu melakukan ibadah dengan baik dengan menunaikan zakat dan memberi infak atau sedekah bagi saudara juga saudari kita yang tidak mampu. Musdah juga menegaskan bahwa Islam membebaskan kepada perempuan untuk berkiprah dalam bidang apa pun termasuk bidang ekonomi dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam kerangka kerja dan fungsinya.

Hal yang terpenting di dalam Islam mengenai bekerja di ruang publik, menurutnya, tidak mengarah pada “siapa” yang melakukan kegiatan ekonomi, tapi “bagaimana” laki-laki dan perempuan melakukannya dengan prinsip-prinsip yang mengedepankan semangat keadilan dan kesetaraan.

Jasmine Floretta V.D. adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.

Read More

Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Kamala Harris baru saja ditetapkan sebagai wakil presiden Amerika Serikat terpilih mendampingi Joe Biden sebagai presiden, menjadikannya perempuan pertama, perempuan kulit hitam pertama, dan perempuan dengan ras campuran pertama yang menjadi wapres AS.

Tapi nama Kamala Harris bukan semata-mata besar karena persoalan representasi itu. Sepak terjangnya di dunia hukum dan politik sudah dirintisnya sejak puluhan tahun silam. Meski tak terlepas dari kontroversi, Harris memiliki banyak rekam jejak kebijakan dan advokasi yang tegas membela korban kejahatan, termasuk menyuarakan hak perempuan dan kelompok ras minoritas.

Harris lahir dari seorang ayah asal Jamaika dan ibu asal India. Keduanya fokus merintis karier di bidang akademik, membuat Harris terbiasa akrab dengan pentingnya intelektualitas. Kecerdasan dan sikap kritis Kamala sebenarnya sudah terlihat sejak usianya masih belia. Waktu masih berumur 13 tahun, bersama adiknya, Harris menggelar demonstrasi di depan gedung apartemen keluarganya sebagai bentuk protes dari kebijakan yang melarang anak-anak untuk bermain di sebuah lapangan berumput.

Baca juga: Beri Perempuan Kesempatan: Pembelajaran dari Islandia Soal Kepemimpinan Perempuan

Kecerdasan serta semangat untuk melakukan aktivisme semakin terasah saat ia berkuliah di Howard University, sebuah universitas bagi warga kulit hitam ternama di Washington D.C., tempat dia mengambil jurusan ilmu politik dan ekonomi.

Harris kemudian melanjutkan ke sekolah hukum di University of California, Hastings College of the Law, dan menjadi presiden dari Asosiasi Mahasiswa Kulit Hitam dan advokat yang memperjuangkan keberagaman di kampus dalam Program Kesempatan Pendidikan Hukum.

Ia memulai kariernya di bidang hukum sebagai wakil jaksa wilayah di Oakland pada 1990 sampai 1998. Ia kemudian menjadi jaksa wilayah San Francisco pada tahun 2003 sampai 2007, jaksa agung California, sampai akhirnya menjadi senator California pada tahun 2016. Di sepanjang kariernya ini, Harris vokal membahas isu perempuan dan kesetaraan gender, seperti melawan kekerasan seksual dan membahas hak perempuan terhadap akses layanan kesehatan reproduksi.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Harris juga giat bersuara membela perempuan kulit hitam, yang hak-haknya masih sering dicederai sampai hari ini. Dia tak pernah ragu untuk menunjukkan kebanggaannya akan identitas dan latar belakangnya, entah sebagai perempuan kulit hitam maupun perempuan keturunan India, dan mencari mengajak perempuan-perempuan lain untuk mencintai diri mereka sendiri dan identitas yang mereka miliki.

“Ibu saya sangat sadar bahwa ia membesarkan dua anak perempuan kulit hitam, dan dia bertekad untuk memastikan kami tumbuh sebagai perempuan kulit hitam yang percaya diri dan penuh kebanggaan,” ujarnya.

“Ia juga mendidik kami agar mengenal dan bangga dengan akar India kami,” ia menambahkan.

Kamala Harris Melawan seksisme

Kepiawaian dalam berdebat dan berbicara menjadi ciri khas Harris. Ia berhasil membangun citra sebagai seorang pendebat yang karismatik, tangguh, juga mengintimidasi lawan bicaranya. Dalam sebuah kesempatan, misalnya, Harris pernah membuat Jaksa Agung Jeff Sessions tak berkutik karena pertanyaan dan pembawaannya yang tegas dalam sebuah percakapan mengenai investigasi Rusia. Citra diri ini pun kembali tercermin dalam debat calon wakil presiden AS, di mana ia menghentikan Mike Pence yang berusaha menginterupsi saat dirinya masih berbicara.

Waktu SMP, Kamala Harris berdemo di depan gedung apartemennya untuk memprotes kebijakan yang melarang anak-anak bermain di sebuah lapangan rumput.

“Bapak Wakil Presiden, saya sedang berbicara! Jika Anda tidak keberatan membiarkan saya selesai berbicara, maka kita dapat berdialog,” ujarnya.

Ucapan Harris itu pun menjadi ramai diperbincangkan dan dikutip di mana-mana, termasuk digunakan dalam berbagai diskusi mengenai seksisme dan ketidaksetaraan gender di ruang publik dan profesional yang menyoroti fenomena di mana laki-laki tidak menghargai dan mendengarkan suara perempuan, glass-ceiling, sampai sindrom double bind syndrome atau dilema yang mengikat.

Tentu saja di sepanjang kariernya, terlebih di masa kampanyenya sebagai wakil presiden, ada rentetan hambatan yang Harris harus hadapi, dan itu tidak terlepas dari bias-bias seksisme dari laki-laki yang menjadi rival politiknya. Presiden Donald Trump, misalnya, menyebut dirinya monster, komunis, dan seseorang yang benar-benar sulit disukai orang lain. Ada juga pendukung Trump yang menyebut Kamala “insufferable lying bitch”, serta deretan komentar buruk lainnya.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Terlalu dini memang untuk menyebut pencalonan serta kemenangan Kamala Harris ini sebagai sebuah fenomena besar di dalam koridor feminisme. Terlebih lagi mengingat karakteristik politik praktis yang tidak pernah terlepas dari tarik-menarik kepentingan di balik sebuah keputusan, serta politik identitas yang sudah menjadi ciri tersendiri dari dunia politik hari ini.

Tapi kita bisa menandai kemenangan Kamala sebagai momentum penting yang membangkitkan semangat perjuangan perempuan. Kemunculan Harris sebagai seorang perempuan kulit hitam dan birasial di kursi kepemimpinan yang tinggi patut disebut sebagai terobosan terhadap wacana inklusivitas di dunia politik, di mana seseorang yang berasal dari kelompok minoritas ternyata bisa menduduki posisi besar nan maskulin ini.

Sosok Kamala sendiri banyak menginspirasi perempuan dan anak-anak perempuan di seluruh dunia, bahwa dengan semangat dan kerja keras, perempuan bisa menjadi apa pun yang dia inginkan.

“Saya mungkin perempuan pertama di kantor (wakil presiden), tapi saya tidak akan menjadi yang terakhir,” ujarnya saat terpilih.

“Saya ingin perempuan muda dan anak perempuan tahu bahwa kalian punya kekuatan besar dan suara kalian berarti.”

Read More

Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Guru Bahasa Jepang saya waktu SMA adalah sosok yang mengagumkan: Ia pintar mengajar, cerdas, dan tegas, disegani murid yang paling nakal sekalipun. Suatu hari, ia bercerita di depan kelas bagaimana ia pernah ditawari kuliah S2 di Jepang, namun ia menolaknya karena bagaimanapun perempuan akan kembali ke rumah mengurus keluarga.

Saya terperangah mendengar hal itu terucap dari guru yang paling saya kagumi. Saat itu saya bahkan sempat berpikir, guru saya yang sangat pintar dan terlihat fearless saja enggak mengambil S2, apalagi saya yang banyak ketakutan dan enggak pintar-pintar amat. Dan teman-teman perempuan saya yang lain juga berpikir hal yang sama.

Sebagai anak daerah, saya merasakan dan mengamati betul betapa rapuhnya kepercayaan diri perempuan, dan bukan karena kesalahan mereka. Sebelum masuk kuliah beberapa tahun silam, salah satu saudara saya memilih tidak kuliah karena ketiadaan biaya. Ketika saya tanya, kenapa tidak coba mendaftar beasiswa dari pemerintah, ia mengatakan kalau perempuan paling pintar di kelasnya saja tidak mendaftar, jadi ia merasa malu dan tahu diri untuk tidak mencobanya.

Sejak SD sampai universitas, teman-teman saya yang paling berprestasi selalu perempuan, tapi sedikit sekali dari mereka sekarang ini menjadi pemimpin atau ada di posisi puncak dalam pekerjaan mereka. Hal ini tercermin dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 yang menunjukkan, 30,63 persen perempuan yang menduduki jabatan manajer, sementara laki-laki mencapai lebih dari dua kali lipatnya yaitu 69,37 persen.

Jika konsep glass ceiling dan sticky floor effect membahas tentang kendala-kendala perempuan di tempat kerja, sebetulnya jauh sebelum itu sudah ada hambatan-hambatan dalam diri perempuan yang dibentuk oleh lingkungan dan budaya.

Hasil penelitian Katherine B. Coffman dari Harvard Business School, yang bertajuk How Gender Steoreotypes Kill a Woman’s Self Confidence menunjukkan bahwa stereotip perempuan bisa mematikan kepercayaan diri perempuan, yang berakibat pada kemunduran perempuan di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, stereotip gender juga bisa membuat perempuan terus mempertanyakan kemampuannya dalam melakukan pekerjaan. Hal tersebut, terutama banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki seperti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Menurut Coffman, kepercayaan diri merupakan faktor penting karena berpengaruh pada semua keputusan-keputusan besar dalam hidup. Misalnya saat kita menentukan mau masuk jurusan apa, karier semacam apa yang ingin dijalani dan apakah kita hanya ingin berkontribusi memberikan ide ketika bekerja, atau mencoba bersaing untuk mendapatkan promosi ke top posisi. Hal-hal tersebut berawal dari kepercayaan diri yang dimiliki perempuan.

Lean in dan hambatan perempuan

Istilah Lean In atau bisa diartikan secara aktif menerima tantangan untuk menaikkan karier menjadi perbincangan sejak buku laris karya Sheryl Sandberg, Lean In: Women, Work, and the Will to Lead, diluncurkan pada 2013 lalu. Buku itu didasari pada pengalaman Chief Operating Officer Facebook itu setelah bekerja di perusahaan-perusahaan besar, termasuk Google.

Buku ini pada intinya mendorong perempuan untuk lebih proaktif di tempat kerja. Disebut juga sebagai aliran feminisme pemberdayaan mandiri, Lean In bahkan kemudian menjadi fenomena budaya dan sebuah gerakan.  

Menurut Sandberg, perdebatan antara hambatan perempuan dari eksternal dan internal ini seperti perdebatan ayam dan telur, mana dulu yang harus diselesaikan masih menjadi misteri. Ia melihat jika selama ini orang selalu fokus pada hambatan-hambatan di luar diri perempuan. Padahal stereotip gender tidak hanya memengaruhi bagaimana perempuan diperlakukan di tempat kerja, tapi juga membentuk pola pikir perempuan saat ia kecil, yang berimplikasi pada aktualisasi kepercayaan diri di tempat kerja.

“Banyak pesan-pesan yang kita internalisasi, yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh terlalu tegas bersuara, agresif, atau lebih kuat dari laki-laki. Kita menjadi menurunkan ekspektasi kita terhadap sesuatu yang bisa kita capai,” tulis Sandberg.

Sebagai seorang ibu, Sandberg juga menggarisbawahi tuntutan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan atau mengurus keluarga saat menikah. Norma gender yang disematkan kepada perempuan dari kecil tersebut secara tidak langsung membuat banyak perempuan berpikir lama atau menolak saat ditawari promosi naik jabatan.

“Makanya saya katakan, don’t leave before you leave, jangan mundur sebelum kamu memang harus mundur,” kata Sandberg.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Dalam bukunya Sandberg juga menyinggung perihal self doubt dan impostor syndrome yang cenderung dimiliki serta rentan terjadi pada perempuan. Self doubt merupakan keadaan di mana kita acap kali meragukan kemampuan kita, menghakimi pemikiran-pemikiran optimistik dan secara berkala menganggap diri akan gagal melakukan segala sesuatu. Sedangkan impostor syndrome bisa diartikan sebagai sindrom penipu atau kondisi di mana kita merasa pencapaian yang telah kita raih itu tidak berimplikasi pada kapasitas diri kita dan itu terjadi hanya sebatas keberuntungan semata, lalu ada perasaan takut bahwa orang akan menemukan hal itu.

Dalam artikel yang dimuat BBC, bertajuk Why imposter syndrome hits women and women of colour harder, disebutkan bahwa sindrom ini cenderung lebih banyak menimpa perempuan, serta kelompok minoritas dan marginal lainnya. Ketiadaan panutan di tempat kerja, kurangnya representasi serta kondisi sosial yang terus menempatkan mereka menjadi kelompok nomor dua dan terpinggirkan membuat kepercayaan terhadap diri lebih sulit dibangun.

Meski begitu, Sandberg bukannya tanpa kritik. Connie Schultz dalam artikelnya di The Washington Post, mengatakan buku Sandberg penuh dengan kontradiksi karena hanya mengangkat permasalahan dari scope mereka yang bekerja di perusahaan besar. Pesan-pesan Sandberg di buku itu pun dianggap hanya berkutat agar perempuan lebih berpikir seperti stereotip laki-laki, yaitu berani mengambil keputusan, tegas dan mengesampingkan ketakutannya agar bisa naik ke posisi atas.

Dorongan untuk ‘lean in’ juga akan menjadi sulit karena lagi-lagi hanya menekankan pada tanggung jawab perempuan secara individual untuk menjadi lebih asertif. Padahal hambatan yang dialami perempuan adalah bersifat struktural.

Gerakan lean in ini praktis jatuh pada 2018, saat Facebook dilanda banyak skandal, di mana Sandberg pun bertanggung jawab di dalamnya.

Membantu perempuan untuk lebih percaya pada dirinya

Adriana Amalia, Psikolog dan co-founder Asa Berdaya, perusahaan sosial yang fokus membangun mentalitas sumber daya manusia (SDM), mengatakan, ada yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk lebih menghargai diri sendiri dan mengatasi hambatan dalam segala situasi baik internal maupun eksternal bisa dihadapi.

“Bagaimana kita mau menghadapi hambatan yang muncul dari sana sini, dari berbagai sisi kalau kita itu enggak menghargai diri sendiri, enggak menghargai apa yang sudah kita lakukan,” ujar Adriana kepada Magdalene.

Baca juga: Standar Ganda dalam Masyarakat: Tantangan Perempuan di Dunia Kerja

Ia mengatakan dirinya sering mengalami berbagai hal yang cukup menguji mentalnya. Saat masih duduk di bangku kuliah dulu misalnya, ia sempat menjadi ketua kepengurusan yang tergolong sukses. Setelah turun jabatan ia mendengar kabar atau berita-berita tidak enak yang menyebutnya tidak begitu meyakinkan di awal jabatan, ia kerap diremehkan.

“Memang jadi harus ada semacam pembuktian terlebih dahulu kalau perempuan itu mampu dan punya kapasitas. Tapi yang terpenting itu pembuktian buat diri sendiri sih. Keberhasilan itu bisa jadi bahan bakar buat kita ke depannya lebih percaya diri buat membuktikan kalau kita ini bisa,” ujarnya.

Di dunia profesional, situasi yang meremehkan perempuan itu terus berlangsung. Saat mendirikan perusahaannya, sebagai ketua proyek, Adriana mengatakan kerap kali diremehkan, apalagi jika harus berhadapan dengan klienlaki-laki senior. Ketika mengetahui dirinya akan pemimpin proyek, biasanya diiringi dengan gestur tidak percaya atau kaget.

“Mungkin mereka berpikir karena saya perempuan bisa gampang dinegosiasi padahal itu keliru. Hal-hal kayak begitu biasanya yang bikin enggak percaya diri. Tapi jangan diambil secara personal. Kalau sudah merasa down, sebaiknya cari bantuan atau komunitas yang bisa mendongkrakrasa percaya diri kita lagi,” kata Adriana.

Dalam hasil penelitiannya, Katherine B. Coffman dari Harvard juga menambahkan harus ada dorongan aktif yang bisa membuat perempuan mau bersuara di forum-forum kecil atau pun besar. Penting bagi mereka untuk merasa didengarkan. Selain itu, para manajer atau pemimpin tim lain dalam perusahaan sudah seharusnya sadar dengan ketimpangan kepercayaan diri karena stereotip perempuan. Adanya pengakuan dan pelibatan perempuan bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk terlibat dalam pembuatan keputusan besar di perusahaan.

“Saya mendorong agar para pemimpin perusahaan lebih berpikir tentang masalah kepercayaan diri ini bisa berpengaruh pada perusahaannya. Kalau melihat perempuan bertalenta, pastikan mereka merasa didukung, dan diakui,” tulis Coffman.

Read More

Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Di tengah beragam kendala yang mengadang perempuan di tempat kerja untuk melangkah ke posisi atas, menjadi generasi sandwich menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Selain harus mengemban tugas domestik yang sering dilekatkan masyarakat kepadanya, seperti mengurus rumah dan anak, perempuan generasi sandwich mesti mengurus orang tua atau anggota keluarga lainnya. Hal ini tidak hanya membebani secara finansial, tetapi juga mendatangkan beban mental dan kelelahan fisik yang berat saat ia mesti mengurusi kedua pihak keluarganya.

Sebuah hasil riset yang dimuat di The New York Times menunjukkan bahwa responden yang dikategorikan generasi sandwich mengalami penurunan pemasukan lantaran terpaksa mengurangi jam kerja, atau bahkan mengundurkan diri karena harus memenuhi tanggung jawab mengurus keluarganya. Sistem kerja yang mengharuskan karyawan datang ke kantor berkontribusi juga dalam pengambilan keputusan mereka untuk mengundurkan diri dan menjadi beban pekerja perempuan.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga dan orang tuanya, perempuan generasi sandwich juga sering kali harus mengambil beberapa pekerjaan tambahan. Selain berkonsekuensi buruk terhadap kesehatannya, hal ini juga berpotensi membuat performa kerjanya kurang optimal. Dampaknya merembet ke berkurangnya kesempatan untuk bisa mendapatkan promosi atau mengemban tanggung jawab lebih, sebagai perempuan pemimpin misalnya.

Jika perempuan mendapat tawaran promosi kerja dan menuntutnya untuk pindah domisili, atau harus mengikuti pelatihan cukup lama dari kantor, ia dapat mengalami dilema karena tidak bisa meninggalkan keluarganya. Alhasil, peluangnya untuk menduduki posisi lebih tinggi pun melayang dan kariernya cenderung jalan di tempat.

Minim Infrastruktur Menjadi Beban Pekerja Perempuan

Tidak hanya perkara budaya patriarkal saja yang menghambat laju karier perempuan, terbatasnya infrastruktur pendukung pekerja yang memiliki anak kecil, seperti tempat penitipan anak (daycare), menjadi kepelikan lain. Tempat penitipan anak tidak tersedia secara luas dan biayanya bisa mahal, mulai Rp3 juta-Rp10 juta. Sementara opsi menitipkan anak kepada orang tua atau pihak lain tidak selalu tersedia.

Sebuah riset tahun 2018 di Amerika Serikat menemukan bahwa tingginya biaya daycare menyebabkan sekitar 13 persen penurunan jumlah ibu bekerja yang memiliki anak balita.

Baca juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Hal ini dialami pula oleh Vivin, 31, ibu dari seorang balita yang memutuskan keluar dari pekerjaannya setelah punya anak karena menyewa pengasuh atau menitipkan anak terlalu tinggi biayanya. Kisaran biaya tempat penitipan anak adalah sekitar Rp3 juta-Rp10 juta per bulan, sementara pengasuh mulai dari Rp1 juta-Rp1,5 juta.

“Gaji saya di kantor lama enggak seberapa. Kalau saya lanjut kerja pun, uang akan lebih banyak keluar buat bayar pembantu atau daycare aja. Belum lagi mesti keluar uang buat transpor dan makan,” katanya.

Dalam riset Leila Schochet, analis kebijakan untuk anak usia dini, yang dipublikasikan di American Progress, disebutkan bahwa pada Maret 2019, hampir 2.000 ibu bekerja di Amazon menuntut perusahaan tersebut memberikan fasilitas daycare. Pasalnya, ketiadaan daycare di sana menghambat karyawati bertalenta untuk menjajaki tangga karier lebih tinggi. Tidak hanya itu, kolega-kolega mereka juga banyak yang keluar lantaran tidak bisa menitipkan anaknya yang masih kecil.

Mobilitas dan Keamanan Perempuan

Selain ketersediaan daycare, masalah jarak rumah-kantor dan ketersediaan transportasi menjadi isu lain yang menyandung perempuan bekerja. Tingginya harga properti di pusat kota membuat banyak keluarga muda yang membeli rumah di daerah pinggir atau luar kota. Ini berimbas pada panjangnya perjalanan yang mesti ditempuh seorang pekerja kantoran, sehingga menyita banyak waktu dan tenaga mereka.

“Transportasi menjadi faktor yang mendorong perempuan untuk berhenti bekerja. Kalau harus melakukan perjalanan 1,5 jam sekali jalan, dia kehilangan tiga jam setiap hari dengan keluarganya,” kata Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, lembaga yang berfokus pada pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan.

Tidak hanya soal hilangnya kesempatan bersama keluarga lebih lama, masalah mobilitas ke kantor juga menyangkut keamanan diri perempuan pekerja. Pada siang hari saja, ancaman terhadap keamanan perempuan di moda transportasi cukup tinggi seiring maraknya kasus pelecehan dan tindak kriminal lainnya. Situasi menjadi kian rentan bagi perempuan ketika pekerjaannya menuntut dia untuk pulang larut malam, ketika potensi terjadinya tindak kriminal meningkat.

“Saat perempuan ditempatkan kerja di lokasi yang jauh dari keluarga, keluarganya juga akan berpikir, apa aman bila anak perempuan atau pasangannya bekerja di sana?” kata Dini.

Baca juga: ‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Para Perempuan Memilih Melepas Pekerjaan

Tidak jarang ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan secara tradisional memukul mundur perempuan dalam perjalanan kariernya. Jikapun ia tetap tampil prima di kantor, orang-orang kerap bertanya, “Bagaimana caramu mengatur waktu kerja dan mengurus rumah tangga?”, sementara hal serupa tidak ditanyakan kepada laki-laki. Atau bila rumah tangganya kandas atau anaknya kurang terurus, ia mesti siap berhadapan dengan penghakiman sekitarnya yang menyalahkan keputusan dia untuk bekerja.  

Situasi kian tak menguntungkan bagi perempuan bekerja saat ia berada di kantor yang tidak memberikan kelonggaran atau sistem kerja fleksibel dan aneka fasilitas penunjang bagi karyawati yang sudah memiliki anak. Dengan adanya beban kerja yang menyita waktu dan energi, sebagian perempuan pada akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya dan mengambil satu peran: Di ranah domestik saja. 

Perkara menyeimbangkan kehidupan pribadi dan kantor menjadi lebih pelik bagi karyawati muda yang berkeluarga. Riset Eunike Krissetyanti terhadap sejumlah pegawai negeri sipil perempuan di Yogyakarta menemukan, perempuan di posisi eselon rendah umumnya baru menikah dan punya anak sehingga anaknya membutuhkan perhatian lebih dibanding anak-anak perempuan di posisi eselon menengah dan atas. Tuntutan peran domestik perempuan ini membuat pegawai negeri muda lebih mengesampingkan kariernya dibanding keluarga.

Untuk menyiasati kondisi yang menyandung perempuan dalam berkarier ini, Dini merekomendasikan kantor-kantor mulai mengubah sistem kerja yang tadinya “kaku” dan menuntut semua karyawan datang ke kantor, menjadi lebih fleksibel agar menguntungkan perempuan yang menjalani peran ganda.

“Sistem kerja fleksibel bisa menjadi efektif. Dengan adanya sistem itu, perempuan bisa mengatur antara tanggung jawab sebagai pekerja dan ibu rumah tangga,” ujar Dini.

Seiring dengan pergeseran sistem kerja ini, Dini menyarankan agar pembagian peran dalam keluarga perempuan pekerja diperbaiki. Baik laki-laki maupun perempuan idealnya sama-sama berpartisipasi dalam mengurus rumah. Selama perubahan lingkungan kerja tidak diiringi dengan perubahan di lingkungan keluarganya, perempuan masih akan kesulitan menapaki jenjang karier lebih tinggi di kantornya.

Read More

Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Ditulis oleh Ika Krismantari dkk.

Ketekunan Adi Utarini, seorang ilmuwan perempuan Indonesia dan Guru Besar Bidang Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam meneliti sejak 2011 membuahkan hasil manis. Ia berfokus pada pembasmian demam berdarah di Indonesia dan hasil penelitiannya tersebut telah berhasil menurunkan 77 persen kasus demam berdarah di area Yogyakarta pada Agustus lalu.

Penelitian Prof Uut, panggilannya, mampu merekayasa dan membiakkan nyamuk penyebar virus demam berdarah, Aedes aegypti, yang mengandung bakteri Wolbachia. Bakteri ini terbukti membuat nyamuk tidak bisa mentransfer virus demam berdarah ke manusia.

“Jadi kita sudah berawal dari telur yang sudah ber-wolbachia, yang kemudian ini kita ternakkan dan kembangkan dengan nyamuk lokal sedemikian rupa, sehingga secara fisik dan genetik, ini memang match nyamuk lokal dan kemudian, they fall in love to each other,” tutur Prof Uut disusul tawa kecilnya.

Berkat keberhasilan proyek penelitian kesehatan ini, Prof Uut dianugerahi Habibie Awards, sebuah penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan yang aktif dan berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan inovasi pada tahun 2019.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Kata menyesal tidak pernah tersirat dalam pikiran Prof Uut dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka penelitian demam berdarah hingga pengalaman harus menjadi pasien COVID-19 yang akhirnya merenggut nyawa suaminya, Guru Besar UGM Iwan Dwiprahasto, mengajarkannya tentang hal itu.

Mengingat kembali peristiwa itu, terasa berat bagi Prof Uut untuk bisa menerima keadaan dan juga harus memberi penjelasan kepada keluarga dan lingkungan sekitar. Ia harus melakukan berbagai cara untuk bisa menghadapi dan menerima cobaan tersebut secara tulus. Menulis jurnal adalah salah satu hiburan dalam kesehariannya di ruang isolasi ketika menjadi pasien COVID-19.

Lewat ujian ini, ia pun semakin menyadari betapa pentingnya setiap dukungan, termasuk relasi yang lebih intens kepada Sang Pencipta.

“Yang tadinya tidak terlalu ‘padat’ hubungannya dengan Tuhan, sekarang jadi lebih macetmungkin”, tuturnya.

Selama menjalani isolasi, Prof Uut menyadari pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar seperti teman, keluarga, kolega, dan bahkan tenaga kesehatan dalam kesembuhan pasien COVID-19. Pengalamannya itu menginspirasi dia untuk menulis dan menerbitkan artikel ilmiah tentang pelayanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang berpusat pada orang-orang terdekat.

Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan

Setelah sembuh dari COVID-19, banyak yang berubah dalam diri Prof Uut. Salah satunya adalah muncul kebiasaan baru untuk mengikuti senam bersama dengan tetangga sekitar.

“Saya sangat berterima kasih ke ibu-ibu tetangga saya yang selama pandemi mempunyai kebiasaan senam di luar, di jalan saban hari, saban hari, lho!” ujarnya.

Profesor Adi Utarini Merupakan Ilmuwan Perintis

Prof Uut menjelaskan bahwa dia tertarik menjadi dokter karena ingin jalan-jalan ke daerah terpencil di Indonesia.

“Awalnya sih pengen jadi dokter seperti biasa, itu kan artinya bekerja di klinik ya, bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan gitu. Nah, saat itu saya pengin banget kerja di Puskesmas. Asyik aja, bisa pergi agak jauh kemudian bisa bergaul dengan masyarakat,” ujar Profesor Adi Utarini.

Namun, kenyataan bahwa dia adalah putri paling kecil di keluarga membuatnya harus berpikir ulang. Akhirnya, berkat inspirasi dari mendiang ayahnya, Muhammad Ramlan, yang juga merupakan guru besar di Fakultas Sastra UGM, Prof Uut menjadi dosen dan akhirnya memutuskan terjun di bidang kesehatan masyarakat.

Selama perjalanannya menempuh pendidikan ini, ia punya berbagai kenangan manis. Salah satunya ketika dia melakukan perjalanan ke daerah pelosok di Sumatra Barat.

“Perjalanan setengah hari nonstop dan melewati sungai, batu-batuan, dan sebagainya untuk bisa sampai ke Puskesmas yang paling pinggir. Nah, itu kayak gitu tuh, haduh, sangat seru!” kata Prof Uut.

Baca juga: Bias Kelas dalam Diskursus Pemerintah soal COVID-19

Dengan jiwa petualangnya yang tidak pernah mati, ibu dari satu anak ini juga menekuni kebiasaan barunya yakni bersepeda. Perlahan dari 3-10 menit, 15 menit, hingga bisa menempuh jarak paling jauh yakni dari Yogyakarta ke Madiun, Jawa Timur, sejauh 180 kilometer.

Bersepeda membuat Prof Uut lebih memaknai filosofi kehidupan untuk terus maju dan mengayuh meski ada suatu tantangan atau kendala.

“Kadang-kadang hidup ada tanjakan, ada turunan, but it’s everything will be okay as long kita mencoba keep rolling,” kata dia.

Setelah sembuh dari COVID-19, Profesor Adi Utarini pun kembali menata mimpi-mimpinya yang lain. Ia kini punya tekad untuk bisa naik haji, menulis, dan fokus pada keluarga. Ia juga ingin memperluas proyek Wolbachia ke berbagai daerah.

“Ya kita merencanakan yang terbaik, tapi nanti Tuhan yang menentukan.”

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ika Krismantari adalah Deputi Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Prodita Sabarini adalah Editor Eksekutif, The Conversation Indonesia. Wiliam Reynold adalah Editor, The Conversation Indonesia.

Read More