Buku sains anak

Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

Penulis: Dr. Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell

Dalam buku sains untuk anak, bias gender masih sangat kuat dan representasi perempuan masih sangat rendah. Hal ini bisa kita indikasikan, misalnya, saat meminta anak-anak untuk menggambar seorang ilmuwan. Belajar dari buku anak yang mereka dapat, kemungkinan besar anak-anak menggambar sosok laki-laki. Hal ini terjadi karena masih kuat bias gender yang berlaku di masyarakat.

Studi kami tentang gambar dalam buku-buku sains anak-anak mengungkapkan bahwa perempuan secara signifikan kurang terwakili. Kami memeriksa foto-foto dan ilustrasi dalam buku sains anak. Dalam dunia fisika khususnya, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan. Gambar yang ada dalam buku tersebut memberikan impresi bahwa sains adalah subjek untuk laki-laki, dan tidak ada penghargaan kepada perempuan dalam karier di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

Teori-teori perkembangan menjelaskan bahwa anak-anak mempelajari bias gender dan harapan gender untuk membantu mereka merespons sesuai dengan lingkungan sosial mereka. Hal ini memengaruhi pemahaman mereka akan siapa mereka dan mendorong mereka untuk berperilaku dengan cara yang konvensional bagi gender mereka.

Gambar-gambar laki-laki dan perempuan dalam buku sains anak berkontribusi dalam harapan tersebut dengan mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok bagi tiap gender. Hal tersebut mendorong mereka untuk mematuhi stereotip karier gender yang berlaku.

Untuk mengatasi hal ini, tokoh panutan perempuan harus terlihat dalam buku-buku untuk membantu mengembangkan minat anak-anak perempuan dalam sains dan mengatasi persepsi negatif tentang ilmuwan perempuan.

Representasi Perempuan dalam Sains Masih Rendah

buku sains anak

Penelitian kami menganalisis buku-buku sains bergambar untuk anak-anak di dua perpustakaan publik di Inggris. Pertama, kami menghitung frekuensi gambar laki-laki, perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan dalam 160 buku yang tersedia. Lalu, kami melakukan analisis visual detail pada dua profesi ilmiah: Astronot dan dokter. Dalam bagian dengan 26 buku ini, kami memeriksa apa yang astronot dan dokter laki-laki maupun perempuan lakukan, kenakan, dan genggam dalam gambar-gambar tersebut.

Kami menemukan bahwa secara keseluruhan, representasi perempuan dalam sains seperti di buku-buku anak tiga kali lebih sedikit dibandingkan representasi laki-laki. Inilah yang menguatkan stereotip bahwa sains adalah pencarian laki-laki. Kurang terwakilinya perempuan semakin diperparah dengan bertambahnya usia target tujuan buku. Para perempuan secara umum digambarkan sebagai pasif, berstatus rendah, dan tidak terlatih, atau keberadaan mereka tidak diketahui sama sekali.

Contohnya, satu buku sains anak-anak tentang eksplorasi luar angkasa menampilkan apa saja yang dibutuhkan dalam berjalan di luar angkasa. Dengan gambar astronot dalam baju ruang angkasa putihnya, kita diberitahu bahwa “without a spacesuit an astronaut’s blood would boil and his body would blow apart” atau tanpa pakaian luar angkasa, darah astronot akan mendidih dan tubuhnya (astronot laki-laki) akan meledak”. Penggunaan kata ganti laki-laki (his) menunjukkan bahwa orang yang ada di dalam pakaian luar angkasa tersebut adalah laki-laki.

Tidak disinggung tentang 11 perempuan berani yang telah berjalan di luar angkasa, termasuk perempuan astronot Sunita Williams yang gambarnya digunakan dalam montase tersebut. Tertutupnya muka William dengan helm dan teks yang hanya menyebutkan laki-laki akan mendorong anak-anak untuk berpikir bahwa perempuan tidak berjalan di luar angkasa.

Dalam halaman di buku lain, kami melihat seorang astronot perempuan digambarkan sedang melayang di dalam stasiun luar angkasa dan tersenyum kepada kamera. Kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan untuk astronot pada titik ini melebar. Tempat-tempat program pelatihan astronot NASA sangat kompetitif dengan ribuan lamaran setiap tahunya. Namun dalam buku tersebut, pelatihan, keahlian, dan pengetahuan perempuan tersebut tidak disinggung.

Sebagai gantinya, keterangan gambar tersebut justru berbunyi “Dalam gravitasi 0, setiap hari adalah hari gaya rambut yang buruk.” Komentar seperti itu yang terfokus pada penampilan perempuan gagal menganggap serius kontribusi mereka. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa penekanan penampilan pada ilmuwan panutan dapat mengurangi penilaian kemampuan diri murid perempuan atau membuat pekerjaan sains tampak tidak terjangkau bagi mereka.

Studi kami juga menunjukkan perbedaan penting antara disiplin ilmu. Dalam buku fisika, 87 persen gambar yang ada adalah laki-laki atau anak laki-laki, dan beberapa gambar tempat astronot perempuan digambarkan, mereka tidak pernah digambarkan sedang mengemudikan wahana, melakukan percobaan, atau berjalan di luar angkasa.

Buku tentang biologi, kebalikannya, memiliki gambaran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan – dan dokter perempuan digambarkan melakukan aktivitas dan memiliki status yang sama dengan dokter laki-laki.

Anak Perlu Panutan dalam Sains

Anda mungkin berpikir bahwa citra atau gambar tidaklah penting, bahwa pesan dalam foto atau ilustrasi adalah sepele. Industri periklanan multimiliar poundsterling tidak sepakat dengan Anda. Iklan jarang menyediakan argumen yang detail tentang sebuah produk atau jasa, tapi hal ini tidak membuat pesannya menjadi kurang kuat. Sebaliknya, periklanan bergantung pada persuasi melalui penanda pinggiran seperti mencontohkan gaya hidup yang menarik dan menggunakan citra untuk menggambarkan penghargaan status atau rasa hormat.

Dengan cara sama, buku-buku anak-anak mengiklankan pilhan karier, dan gambar-gambar tersebut mengomunikasikan apa artinya bagi perempuan dan laki-laki pada kaitannya dengan pekerjaan tersebut. Perempuan perlu hadir dalam buku-buku sains anak untuk mendemonstrasikan bahwa seluruh bidang sains juga dapat dicapai oleh perempuan.

Penelitian menunjukkan, bahkan sebelum anak-anak pergi ke sekolah, mereka telah memiliki ide bahwa laki-laki lebih baik dalam profesi yang didominasi oleh laki-laki. Mengingat fakta bahwa anak perempuan, bahkan sejak berumur delapan tahun, sering kali menolak matematika dan sains dari orang tua dan gurunya, mungkin tidak mengejutkan bahwa hanya 20 persen siswa dengan nilai A yang mengambil fisika adalah perempuan.

Wawancara dengan ilmuwan perempuan yang sukses menunjukkan bahwa anak perempuan mencari role model dalam sains, tapi mereka sering kali tidak bisa menemukannya.

Dengan demikian, penting untuk lebih memperhatikan gambar dalam buku anak-anak. Editor dan ilustrator buku perlu untuk melakukan usaha signifikan untuk menggambarkan perempuan sebagai berkualitas, ahli, dan mampu secara teknis. Mereka perlu digambarkan secara aktif terlibat dalam kegiatan ilmiah dan menggunakan alat dan perlengkapan yang sesuai, bukan hanya dihadirkan sebagai asisten atau pengamat.

Perempuan juga perlu direpresentasikan dalam jumlah besar sehingga anak perempuan bisa melihat panutan mereka dalam profesi ilmiah dan melihat karier tersebut bisa bermanfaat.

Para orang tua, guru, dan pustakawan – bersama dengan penulis, ilustrator dan penerbit – perlu meninjau kembali buku-buku mereka untuk pesan-pesan bergender. Tanyakan apa yang yang diajarkan oleh gambar-gambar tersebut dan tanyakan apa aspirasi karier yang mungkin didorong atau dihancurkan oleh buku-buku tersebut.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Dr. Susan Wilbraham adalah pengajar senior bidang Psikologi Terapan, University of Cumbria

Elizabeth Caldwell adalah pengajar di School of Art, Design and Architecture, University of Huddersfield

Read More

Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Miranda Priestly yang diperankan Meryl Streep dalam film drama-komedi The Devil Wears Prada menjadi salah satu karakter perempuan pemimpin paling menonjol dalam budaya populer. Priestly, yang disebut-sebut terinspirasi dari Anna Wintour, editor majalah mode terkemuka Vogue, digambarkan sebagai bos perempuan yang pendapatnya sangat dituhankan di dunia mode. Satu kata dari Priestly mampu membuka atau membunuh karier seseorang.

Sayangnya, dari kacamata sang asisten, Andy Sachs (Anne Hathaway), Priestly mencerminkan stereotip bos perempuan yang sadis, dan dia rela melakukan apa pun untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Meskipun begitu, ada satu kutipan dari Sachs yang menunjukkan kebenaran tentang perempuan di posisi pemimpin. Bahwa Priestly diberi label dragon lady oleh media berdasarkan kehidupan pribadinya dan kekejamannya, tapi situasi akan berbeda jika karakteristik Priestly dimiliki pemimpin laki-laki. Dalam fiksi maupun dunia nyata, seksisme terhadap perempuan di posisi pemimpin menjadi ancaman yang terus hadir.

Selain Priestly, ada sejumlah representasi sosok perempuan pemimpin dalam film layar lebar maupun televisi, baik yang terinspirasi dari tokoh di dunia nyata, seperti Margaret Thatcher—juga diperankan Streep dalam The Iron Lady—hingga karakter fiktif seperti Daenerys “Mother of Dragon” Targaryen (Emilia Clarke) dalam serial Game of Thrones.

Meskipun begitu, hasil riset gabungan Plan International dan Geena Davis Institute on Gender and Media, Rewrite Herstory (2019), menunjukkan bahwa jumlah karakter pemimpin laki-laki di layar kaca masih lebih banyak, yakni 42 persen, sementara perempuan 27 persen saja. Meski di sisi lain, pemimpin perempuan ditunjukkan lebih cerdas daripada laki-laki mencapai 81 persen banding 62 persen.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Laporan tersebut menganalisis 56 film terlaris tahun 2018 di 20 negara, termasuk Amerika Serikat, Peru, Uganda, Vietnam, dan Jepang. Laporan ini bahwa menemukan secara garis besar, jumlah karakter laki-laki melebihi jumlah perempuan dan juga memiliki dialog lebih banyak dibanding perempuan. Untuk kedua kategori tersebut, perbandingan mencapai 67 persen dan 33 persen.

Perempuan pemimpin jadi objek seksual

Jika karakter perempuan pemimpin muncul dalam film, mayoritas di antaranya berada di ranah domestik dan mengukuhkan stereotip perempuan sebagai caregivers dan laki-laki adalah kepala keluarga. Dalam ranah domestik ini pula perempuan terlihat sebagai pemimpin yang lebih baik, pekerja keras, dihormati, dan lebih disukai.

Namun, perempuan pemimpin juga digambarkan tidak seefektif pemimpin laki-laki, serta cenderung diobjektifikasi secara seksual melalui lensa kamera. Secara verbal, mereka juga lebih rentan menerima pelecehan seksual, digambarkan mengenakan pakaian terbuka (30 persen dibanding 7 persen laki-laki), bahkan dua kali lebih sering ditampilkan setengah telanjang dibanding tokoh bos laki-laki.

Sebelumnya, penelitian lain dari Geena Davis Institute on Gender and Media tentang karakter perempuan dalam film, Gender Bias Without Borders (2015), juga menunjukkan seksualisasi karakter perempuan terjadi dalam rentang usia 13 sampai 39 tahun. Mereka sering ditampilkan dengan pakaian seksi dan dalam takaran ekstrem, dengan setengah bahkan telanjang untuk dinilai cantik dan kurus. Sementara itu, perempuan dalam jenjang usia paruh baya lebih jarang diseksualisasi dibandingkan tokoh remaja maupun dewasa muda.

Baca juga: Mahalnya Biaya Perjalanan ke Kantor Bebani Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

“Usia muda dan kecantikan menjadi dua komponen penting dalam cara menampilkan perempuan dalam sinema. Fokus ini menjadi problematik karena memperhatikan bagaimana di ruang kerja persepsi kompetensi seseorang dikaitkan dengan aspek penampilan,” tulis laporan tersebut.

Melalui hasil analisis film dari Plan International dan Geena Davis Institute posisi kepemimpinan menjadi ranah yang didominasi laki-laki dan gagal menunjukkan dimensi perempuan dan pemimpin yang tidak lepas dari objektifikasi untuk male gaze.

Representasi media tentang perempuan pemimpin

Representasi perempuan sebagai objek seksual di media sudah menjadi pertarungan lama dan butuh dihentikan karena media memiliki pengaruh akan cara perempuan maupun anak perempuan memandang diri mereka. Selain itu, stereotip gender tipikal dan problematik yang direpresentasikan akan sangat berbahaya untuk ambisi perempuan. Hal tersebut mampu mencegah mereka berkiprah di ranah profesional serta memenuhi potensinya. 

“Menjadi sangat penting agar kita tidak lagi menciptakan cerita yang mengajarkan bahwa perempuan dan anak perempuan adalah masyarakat kelas kedua, tidak saat melihat seksisme di budaya kita yang ditampilkan begitu mengerikan,” ujar Geena Davis, aktor dan pendiri Geena Davis Institute on Gender and Media dalam laporan bersama Plan International.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Untuk memberikan representasi perempuan pemimpin berdaya dan tidak diseksualisasi, maka harus memberi lebih banyak visibilitas karakter perempuan maupun perempuan yang bekerja di balik layar perfilman untuk memperkaya narasi pemimpin perempuan.

Hasil riset dari Center for The Study of Women in Television and Film mengenai data statistik film dalam festival sepanjang 2019-2020, Woman Behind The Scenes, menyebutkan jika terdapat setidaknya satu sutradara perempuan, maka persentase kru produksi perempuan akan ikut tinggi. Dalam film dengan sutradara perempuan terdapat 73 persen penulis skenario perempuan dibandingkan 12 persen dalam film oleh laki-laki. Sama halnya dengan editor (43 persen banding 18 persen) dan sinematografer (27 persen banding 8 persen).

Mendukung urgensi hadirnya ruang perfilman yang lebih setara banyak digaungkan kampanye untuk mendukung representasi perempuan yang baik, seperti 4% Challenge, sebuah tantangan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja film perempuan. Selain itu, gerakan anti-kekerasan seksual dan mendukung ruang kerja tanpa diskriminasi, Time’s Up yang melahirkan kampanye Time’s Upx2 untuk mendorong perempuan menduduki kursi pemimpin di ranah yang kurang merepresentasikan mereka.

Mengutip ucapan Davis bersama The Guardian tentang media yang memberi gambaran positif tentang perempuan: “Menurut saya, kita tidak punya cukup banyak panutan perempuan di posisi penting untuk membentuk perubahan di dunia nyata, maka kita harus memilikinya dalam fiksi agar hidup meniru seni,” ujarnya.

Read More

Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Banyak orang di luar Jepang mungkin baru mengenal sutradara/ainmator Hayao Miyazaki saat karyanya, Spirited Away, meraih penghargaan Academy Awards sebagai Film Animasi Terbaik pada 2003. Berbagai karakter perempuan dalam film-film Hayao Miyazaki dan banyak film Studio Ghibli lainnya menjadi keistimewaan lain karyanya, selain kemampuan teknis yang luar biasa. Tidak jarang Miyazaki menjadikan karakter perempuan keren sebagai tokoh sentral.

Dalam film-filmnya, Miyazaki menggambarkan tokoh perempuannya sebagai sosok yang tangguh, memiliki suara atas diri mereka sendiri, dan agensi diri untuk berkembang secara mandiri. Tidak hanya sebatas itu, secara menarik tokoh-tokoh perempuan di dalam filmnya kerap digambarkan oleh Miyazaki dalam posisi nonbiner-nya. Mereka tidak hanya digambarkan sosok yang kuat dan penuh rasa petualangan, tapi di saat bersamaan juga mengampu sifat-sifat feminin seperti kepedulian dan kasih sayang.  

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Misalnya dalam film Mononoke Hime atau Princess Mononoke, Lady Eboshi digambarkan sebagai perempuan pemimpin di sebuah kota tambang besi. Lady Eboshi meleburkan batas stereotip dan norma gender melalui gaya kepemimpinannya yang nonbiner. Selain sebagai seorang pemimpin yang tegas dan tangguh, yang identik dengan gaya kepemimpinan maskulin, Eboshi adalah sosok pemimpin dengan  gaya kepemimpinan feminin yang sangat peduli pada rakyatnya.

Dirinya menampung dan merima dengan penuh afeksi orang-orang buangan di dalam masyarakat seperti pelacur dan orang-orang dengan cacat fisik (penderita kusta). Lady Eboshi mempekerjakan mereka dan memberi mereka mata pencaharian di tambang besi.

Di dalam film ini pun, perempuan selain Lady Eboshi digambarkan sebagai sosok yang mampu bersuara dan berani melawan ketidakadilan yang ada. Ketika seorang utusan dari Lord Asano berkata, “Kalian para perempuan perlu diajari rasa hormat!”, seorang warga perempuan menyahut dengan suara lantang “Hormat? Apa itu? Kami tidak pernah mendapatkan rasa hormat (sebagai seorang perempuan) dari masyarakat sejak lahir!”.

Melalui film Nausicaä of the Valley of the Wind, Hayao Miyazaki mendekonstruksi tokoh putri melalui tokoh Nausicaä yang meleburkan ekspektasi gender yang dilekatkan masyarakat pada seorang perempuan, terutama pada figur putri kerajaan. Nausicaä adlaah potret pemberdayaan perempuan dengan kombinasi kepribadian unik dengan kualitas feminin, yang terlihat dari perilaku lembut dan penuh kasih sayangnya terhadap alam, juga kualitas maskulin yang dapat dilihat dari kemampuan mekanik, kecakapannya dalam pertempuran menggunakan pedang dan mengendarai motor glider bertenaga jet.

Hayao Miyazaki secara gamblang telah menghancurkan batas-batas ekspektasi gender yang diamini oleh masyarakat, bahwa menjadi pemimpin dan menjadi agen penggerak perdamaian dunia hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Tokoh Nausicaä memenuhi ramalan kuno yang disebutkan di awal film bahwa akan ada seorang juru penyelamat yang muncul membawa keseimbangan dan kedamaian di dunia yang sedang mengalami konflik antara manusia dan alam. Dapat dikatakan bahwa Miyazaki secara gamblang telah menghancurkan batas-batas ekspektasi gender yang diamini oleh masyarakat, bahwa menjadi pemimpin dan menjadi agen penggerak perdamaian dunia hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Perempuan berani dalam film Hayao Miyazaki

Melalui film-film Studio Ghibli, Hayao Miyazaki juga kerap menempatkan tokoh-tokoh perempuannya dalam sebuah situasi di mana mereka memperoleh keberanian dan harga diri melalui penerimaan diri. Dalam Howl’s Moving Castle dan Kiki’s Delivery Service, seluruh narasinya berfokus pada Sophie dan Kiki yang menunjukkan penerimaan diri sebagai kekuatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan kesadaran betapa pentingnya diri mereka sebagai seorang perempuan dan juga seorang individu.

salah satu film hayao miyazaki
Princess Mononoke, salah satu film karya Hayao Miyazaki.

Di sepanjang film Howl’s Moving Castle misalnya, penampilan fisik Sophie akan berubah menjadi wujud aslinya jika dirinya bertindak lebih tegas dengan bersuara atas dirinya, bersedia membela dirinya sendiri, dan berhenti merendahkan diri.

Dalam film Kiki’s Delivery Service, Miyazaki menggambarkan perjalanan penerimaan diri seorang penyihir muda bernama Kiki. Ia memperlihatkan bagaimana Kiki harus mengatasi keraguan atas dirinya sendiri dan belajar menerima diri sendiri sebagai kekuatan untuk menjadi seorang yang lebih baik untuk mendapatkan kembali kekuatannya.  

Baca juga: Pelajaran Soal Kepemimpinan Perempuan dari Drakor ‘Start-Up’

Melalui karya-karyanya, Hayao Miyazaki memungkinkan perempuan mendapatkan representasi yang baik di dalam media tanpa terjerat oleh stereotip dan ekspektasi gender masyarakat. Ia memperlihatkan sebuah representasi feminis yang positif, yang memungkinkan para perempuan bertindak dan berbicara atas diri mereka sendiri sebagai sosok perempuan yang berdaya.

Setiap karya Hayao Miyazaki adalah ajakan bagi banyak perempuan di dunia ini untuk tidak takut menjadi apa pun yang mereka inginkan. Film-film Miyazaki memberikan sebuah pelajaran bahwa menjadi perempuan bukanlah tentang bagaimana kita seharusnya menyesuaikan diri kita sendiri dengan standar yang telah diberikan masyarakat terhadap perempuan. Namun, menjadi perempuan adalah tentang bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri dengan suara dan kemampuan yang kita miliki.

Jasmine Floretta V.D. adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI  dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.

Read More
Kiprah Para Perempuan dalam Ekonomi dan Bisnis

Tantangan Perempuan dalam Sektor Bisnis dan Pemerintahan

Kendati dalam masyarakat Indonesia perempuan kerap dianggap sebagai pencari nafkah tambahan setelah laki-laki, sebagian dari mereka menunjukkan dirinya berdaya untuk menjadi setara atau bahkan memiliki pendapatan lebih tinggi lewat bisnisnya. Tidak sekadar untuk mencari uang, perempuan-perempuan yang terjun dalam dunia ekonomi dan bisnis juga memulai usaha untuk mewujudkan aktualisasi diri dan meningkatkan kemandirian finansialnya.

Imbas positif dari terjunnya perempuan dalam dunia ekonomi dan bisnis tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Orang-orang di sekitarnya mulai dari keluarga juga merasakan hasil pekerjaan mereka.

Menurut Nadia Sarah, pebisnis dan salah satu founder komunitas bisnis perempuan SheStarts.id, perempuan yang pandai berbisnis bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya.

“Kalau dalam satu keluarga ibunya pandai berbisnis atau memiliki kemampuan, artinya ibunya punya suara dalam keluarga. Ini merupakan pendidikan buat anaknya bahwa perempuan juga sosok yang tangguh, punya posisi di rumah,” kata Nadia.

“Enggak usahlah sampai jadi CEO di bisnis besar, yang penting bisa menghasilkan uang sendiri, mandiri, dan percaya diri. Bisa ambil keputusan juga. Ini yang nanti akan ditularkan perempuan ke anak-anaknya,” tambah perempuan yang memiliki bisnis di bidang konsultasi manajemen dan sumber daya serta konsultasi pendidikan ini.

Selain itu, kiprah perempuan di sektor ekonomi dan bisnis berpengaruh pula pada negara.

“Partisipasi perempuan dalam ekonomi dapat memacu produktivitas dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, kita harus terus mendukung partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi, salah satunya melalui kebijakan industri rumahan,” ujar Pribudiarta Nur Sitepu, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam acara The International South Pacific, Indonesia Enterpreneurship Camp pada Maret 2019.

Potensi dan Tantangan Perempuan dalam Berbisnis

Di sektor ekonomi, peran penting perempuan terlihat mulai dari level industri rumahan atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memang banyak dijalankan oleh perempuan. Dalam laporan berjudul “Women-owned SMEs in Indonesia: A Golden Opportunity for Local Financial Institutions” yang dibuat International Finance Corporation (2016), dikatakan bahwa di Indonesia, 51 persen usaha kecil dan 34 persen usaha menengah dimiliki oleh perempuan. Kelompok gender tersebut berkontribusi sebesar 9,1 persen dari total produk domestik bruto (GDP) negara ini.

Potensi perempuan dalam menyokong ekonomi tidak lepas dari karakteristik mereka. Menurut Sarah Diana Oktavia, pendiri usaha Roti Eneng, perempuan memiliki benefit berupa rasa empati yang tinggi dalam dirinya yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan bisnis.

Baca juga: Pelajaran Soal Kepemimpinan Perempuan dari Drakor ‘Start-Up’

“Itu modal yang oke banget untuk mencari insight dari pasar yang akan kita masuki. Waktu merintis usaha ini di awal, aku ngobrol sama banyak orang untuk tahu produk apa yang harus aku hasilkan nanti,” kata Diana dalam webinar bertajuk “Geliat Ekonomi UMKM Perempuan di Tengah Pandemi” (2/12), yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).

Potensi lain yang perempuan miliki adalah hadirnya inkubasi bisnis dan komunitas-komunitas yang menambah jejaring perempuan dalam menjalankan UMKM. Lewat mentoring dan proses belajar dan berjejaring yang dilakukan dalam komunitas, perempuan bisa meningkatkan kapasitasnya untuk mengembangkan bisnis.

“Di awal saya bangun usaha dengan teman-teman. Brainstorming dengan sesama pendiri dan belajar sama senior kuliah, silaturahmi ke mantan bos saya. Dalam bisnis kalau enggak ada networking, it will be painful,” kata Nadia.

Terkait mentoring, sebagian perempuan yang punya privilese lebih bisa menyewa jasa konsultan atau mentor. Tetapi bagi yang tidak punya, networking kembali lagi menjadi hal efektif untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kapasitas diri dalam bisnis, ujar Nadia. Banyaknya akses informasi terkait bisnis di dunia digital maupun lewat kenalan-kenalan di komunitas merupakan potensi yang perlu digali di tengah keterbatasan privilese tadi.

Dalam SheStarts.id, Nadia dan rekannya menekankan relasi sisterhood dalam memberi dukungan bagi sesama pebisnis perempuan. Tidak hanya menjadi wadah untuk berbagi cerita bisnis masing-masing, SheStarts.id juga dibuat sebagai wadah perempuan untuk berkonsultasi dengan sejumlah pengusaha dan banyak pihak lain yang membantu mereka mengembangkan bisnisnya.

“Kita perlu belajar dari siapa saja, bukan hanya dari yang berhasil, tetapi dari yang tidak berhasil juga,” imbuh Nadia.

Dalam menjalankan bisnis, lebih banyak tantangan yang mesti perempuan hadapi dibanding laki-laki. Salah satunya adalah pandangan negatif orang sekitarnya dan minimnya dukungan keluarga saat perempuan memutuskan membuka bisnis. Misalnya, anggapan perempuan tidak seharusnya berpendapatan lebih tinggi dari laki-laki, atau tidak lebih sibuk di urusan pekerjaan dan sebaiknya mengurus anak-anak saja.

“Tantangan memulai bisnis bagi perempuan paling banyak datang dari keluarga karena ada tuntutan peran ganda perempuan. Karena hal itu, sering kali perempuan kebingungan dalam hal time management antara bisnis dan keluarganya,” kata Nadia.

Peran laki-laki menjadi penting dalam mendukung perempuan di dunia ekonomi dan bisnis. Pribudiarta menyatakan, jika perempuan masuk ke ruang bisnis dan tidak didukung oleh laki-laki yang menjadi partnernya, besar kemungkinan usahanya akan mengalami kegagalan.

“Partisipasi laki-laki untuk perempuan telah menjadi suatu hal yang wajib, agar kesetaraan gender dapat terwujud dalam berbagai bidang,” kata Pribudiarta.

Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Tb. Fiki Satari dalam webinar serupa dengan yang dihadiri Diana, pandemi membawa kesulitan tersendiri bagi perempuan pelaku UMKM. Di antaranya adalah turunnya permintaan, berkurangnya likuiditas (kemampuan untuk membayar utang yang harus segera dibayar), minimnya kapasitas dan fasilitas digital, serta kurangnya sumber daya.

Masalah Keberanian dan Rasa Sungkan yang Besar

Tantangan lain kerap dihadapi perempuan saat mengembangkan bisnisnya dapat bersumber dari individu. Misalnya dalam hal meminjam modal, Nadia menilai bahwa hal ini dipengaruhi juga oleh keberanian perempuan dalam mengambil risiko.

“Dari segi kesempatan untuk mendapat modal dari perbankan, laki-laki dan perempuan sebenarnya sama. Kreditur atau investor membukanya sama. Tetapi, perempuan jarang yang risk taker, dia terlalu berhitung. Ah sudahlah, segini saja cukup,” jelas Nadia.

Padahal, kata Nadia, ada penelitian yang mengatakan bahwa kredit yang diberikan pada perempuan itu yang lebih lancar dibanding laki-laki. Dari segi risiko yang akan diambil pemberi kredit, risiko memberi kredit kepada perempuan sebenarnya cenderung lebih kecil.

“Perempuan di awal lebih tekun dalam memulai bisnis. Tapi masalahnya, ketika scale up usahanya, dia perlu modal, waktu dan pegawai lebih banyak, mereka cenderung berpikir lebih panjang. Laki-laki cenderung memulai usaha dengan skala dan risiko lebih besar dari awal,” ujar Nadia. 

Selain itu, sikap sungkan yang banyak sebagian perempuan pebisnis berpengaruh juga terhadap UMKM-nya. Misalnya, saat ia berelasi bisnis dengan keluarga atau teman-temannya.

“Rasa enggak enakannya perempuan harus dikurangi. Ia harus berani bilang tidak, berani mengatakan pemikirannya. Pada saat kita belajar menerima penolakan waktu mencoba menawarkan bisnis kita, kita juga belajar menolak,” tutur Nadia.

Tokoh-Tokoh Perempuan Sukses di Bidang Ekonomi dan Bisnis

Meski ada banyak tantangan bagi perempuan di dunia ekonomi dan bisnis, sebagian dari mereka berhasil mematahkan tantangan tersebut dan melesat dalam kariernya. Bahkan, kapasitas mereka sampai diakui oleh dunia internasional.

Beberapa nama pebisnis perempuan Indonesia yang disebutkan dalam Forbes 30 Under 30. Ada Fransiska Hadwidjana dengan bisnis aplikasi jual-beli barang bekasnya, Prelo, dan Laboratorium AugMi. Menyusul Eugenie Agus yang bersama kakaknya menjalankan bisnis puding Puyo dan telah memiliki 40 gerai di seluruh Indonesia. Lalu, ada Talita Setyadi dengan bisnis makanannya yang bernama Beau dan produknya telah masuk ke 100 kafe di Indonesia. 

Baca juga: Pelajaran Penting tentang Jadi Perempuan Berdaya dari Martha Tilaar

Di level pemerintahan, ada Sri Mulyani Indrawati yang punya rekam jejak kesuksesan yang panjang dalam menduduki posisi-posisi strategis, baik di pemerintahan maupun lembaga dunia.

Selain menjabat sebagai Menteri Keuangan pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, Sri Mulyani juga pernah menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia. Belum lama ini, Sri Mulyani juga dinyatakan sebagai Menteri dengan kinerja terbaik pada masa pandemi oleh lembaga survei Indikator Politik Indonesia. 

Namanya kerap tercatat dalam daftar perempuan berpengaruh dunia versi Forbes. Media lain seperti Finance Asia, majalah keuangan dari Hong Kong pun menobatkannya sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik. Sejumlah penghargaan dari tataran internasional pun diraihnya seperti Statepersons Awards dari Asian Business Leadership Forum tahun 2019 dan Penghargaan Menteri Terbaik di Dunia (Best Minister in the World Award) dalam World Government Summit 2018.

Tahun ini, ekonom Mari Elka Pangestu menambah daftar perempuan Indonesia di bidang ekonomi yang menduduki jabatan di Bank Dunia. Sejak Maret 2020, ia bertugas sebagai Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan di sana.

Seperti halnya Sri Mulyani, Mari juga pernah menjabat di pemerintahan yakni sebagai Menteri Perdagangan tahun 2004-2011, dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2011-2014. Dirinya juga tercatat sebagai penasihat Komisi Global Geopolitik Transformasi Energi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) di Abu Dhabi.

Mari juga berkiprah dalam bidang pendidikan sebagai profesor ekonomi internasional di Universitas Indonesia, serta menjadi asisten profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew dan Sekolah Kebijakan Publik Crawford, Universitas Nasional Australia.

Read More

Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Penulis: Diahhadi Setyonaluri

Mahalnya biaya ibu bekerja untuk perjalanan ke kantor membebani perempuan, terutama yang telah memiliki anak. Hal ini dialami Nila, ibu muda berusia 29 tahun yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun dan tinggal di Depok.

“Saya letih berangkat pagi-pagi dari rumah dan tiba di rumah sudah sangat malam, ditambah saya masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga,” katanya.

“Gaji saya hilang begitu saja karena pulang-pergi ke tempat kerja sangat mahal. Saya tidak melihat manfaat hasil kerja saya, lebih baik saya di rumah,” ujar Nila.

Pengalaman Nila ini memperlihatkan betapa beratnya tanggungan ibu bekerja. Menjadi pekerja di kota besar seperti Jakarta saja sudah berat. Pertama, umumnya jam kerja yang mesti mereka lalui panjang. Selain itu, pekerja masih harus melewati waktu tak sebentar untuk bermobilisasi dari rumah ke tempat kerja karena lalu lintas padat Ibu Kota yang disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia.

Mereka harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Lantas mereka harus menitipkan anak kepada pengasuh atau orang tua mereka untuk kemudian menjejalkan dirinya ke dalam transportasi umum dan menantang kemacetan untuk berangkat bekerja.

Biaya Perjalanan Kerja Picu Pengunduran Diri

Perempuan berhenti bekerja setelah berkeluarga adalah cerita yang sering ditemukan di Indonesia. Salah satu alasan mereka adalah mahalnya biaya perjalanan dari rumah mereka yang umumnya berlokasi di daerah pinggiran Jakarta menuju ke kantor mereka yang berada di tengah kota.

Data Bank Dunia menunjukkan biaya transportasi di Jakarta mencapai 40 persen dari rata-rata gaji. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Cina, yang biaya transportasinya hanya berkisar masing-masing 3 persen dan 7 persen dari rata-rata gaji.

Orang Indonesia masih menempatkan urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab perempuan yang utama dan kepercayaan ini memperbesar beban ibu bekerja. Pada akhirnya, mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaannya.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Perempuan memiliki pola bepergian yang kompleks karena peran ganda tersebut. Dalam satu hari, perempuan bisa melakukan beberapa perjalanan, mulai dari mengantar dan menjemput anak ke tempat penitipan anak (TPA) atau sekolah, berbelanja, sampai berangkat dan pulang bekerja. Hal ini menandakan perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di perjalanan, terutama bila menggunakan transportasi umum.

Hasil riset tentang perempuan yang memiliki anak yang masih kecil di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menemukan bahwa waktu tempuh untuk bekerja yang panjang menambah biaya bagi perempuan yang ingin terus berkarier. Biaya tersebut diukur dari jumlah waktu di rumah yang yang hilang ketika perempuan bekerja.

Masih kurangnya kebijakan yang mendukung ibu bekerja menjadi salah satu hal yang menyebabkan tingginya biaya tersebut. Contoh kebijakan yang tidak mendukung ibu bekerja adalah pemberian cuti melahirkan yang pendek, kurangnya tempat penitipan anak tepercaya/berkualitas, dan belum adanya skema bekerja dengan waktu yang fleksibel.

Domisili Ibu Bekerja Jauh dari Kantor

Sebuah studi menemukan bahwa keluarga muda membeli rumah pertama mereka ketika ingin memiliki anak. Di Indonesia, masih banyak yang mempercayai perlunya tempat tinggal untuk membangun keluarga. Membeli rumah dipandang lebih baik dibanding mengontrak rumah.

Namun, pasangan muda umumnya masih berada pada tahap awal meniti karier. Mereka belum memiliki cukup modal untuk membeli rumah yang dekat dengan tempat kerja karena harga properti di tengah kota sangat mahal.

Riset lain juga menunjukkan kaum pekerja di Jakarta cenderung memilih rumah di daerah pinggiran Jakarta karena harga rumah yang terjangkau dan sesuai dengan tingkat pendapatan mereka. Tetapi, harga rumah yang terjangkau diimbangi dengan mahalnya biaya perjalanan kerja karena jarak menuju tempat bekerja menjadi cukup jauh.

Kisah Nila memberikan gambaran bagaimana biaya perjalanan dari dan ke tempat kerja lebih membebani perempuan dibandingkan laki-laki. Selain ongkos transportasi, lamanya perjalanan juga mengurangi waktu perempuan untuk bersama anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

Partisipasi Kerja Ibu Rendah Akibat Mahalnya Biaya Perjalanan

Meskipun kesenjangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki semakin rendah, partisipasi mereka di dunia kerja masih jauh di bawah laki-laki. Hal ini ditunjukkan dalam Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Indonesia usia 15 tahun ke atas yang hanya berkisar pada angka 50 persen selama satu dekade terakhir. TPAK Jakarta bahkan lebih rendah dibanding angka nasional, yaitu 48,47 persen pada 2018.

Data juga menunjukkan bahwa partisipasi perempuan di Jakarta cenderung menurun setelah mereka memiliki anak. Lebih lanjut, bila dibandingkan perempuan Indonesia pada umumnya, perempuan di Jakarta cenderung akan berhenti bekerja setelah berkeluarga.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Sektor formal yang cukup kompetitif mendominasi perekonomian Jakarta. Hal ini membuat perempuan yang telah lama berhenti bekerja karena memiliki anak mengalami kesulitan untuk kembali ke pasar kerja. Ini disebabkan oleh pengalaman kerja yang relatif lebih pendek dibanding mereka yang tidak pernah berhenti bekerja.

Kebijakan yang Perlu Diambil

Sebuah studi pada 2017 menunjukkan bahwa menurunkan biaya transportasi umum bukan solusi utama, tapi akan membantu meningkatkan partisipasi kerja perempuan. Pembangunan sistem transportasi terintegrasi di Jabodetabek untuk memberikan lebih banyak pilihan moda transportasi akan mengurangi kemacetan sekaligus menghemat waktu perjalanan pelaju.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menerbitkan rencana pembangunan jaringan transportasi urban hingga 2029 di Jabodetabek yang melibatkan berbagai kementerian dan pemerintah pusat dan daerah. Implementasi rencana tersebut dapat mengurangi waktu melaju yang pada akhirnya akan membantu perempuan yang bekerja mengatur waktu lebih baik untuk mengurus anak serta rumah tangga.

Kebijakan yang ada saat ini untuk mengurangi kecenderungan perempuan berhenti bekerja berfokus pada upaya mengurangi beban terkait mengurus anak, seperti penitipan anak, penerapan skema bekerja fleksibel adalah adanya cuti untuk ayah. Namun, selama perkara waktu tempuh panjang pulang pergi ke tempat kerja dan mahalnya biaya perjalanan kerja belum diatasi, maka kebijakan tersebut tidak akan banyak membantu.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Diahhadi Setyonaluri adalah peneliti dari Universitas Indonesia.

Read More

Masalah Perempuan Kepala Daerah dan Anggota DPR: Jumlah dan Kualitas

Penulis: Bini Fitriani

Jumlah perempuan kepala daerah dan anggota DPR adalah hal krusial untuk menciptakan kultur pengambilan kebijakan publik yang lebih sensitif terhadap kepentingan perempuan. Urgensi untuk mewujudkan peningkatan jumlah ini memicu lahirnya peraturan dalam Undang-Undang (UU) No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mempersyaratkan sekurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik.

Namun sayangnya, banyak kendala dalam meningkatkan peran perempuan dalam politik di sini. Salah satunya, sekalipun hampir semua partai politik sudah mengikuti syarat kuota 30 persen untuk perempuan, masih sedikit jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR. Hal ini tidak lepas dari masih minimnya penempatan kader perempuan di posisi-posisi strategis dalam partai.

Di lain sisi, affirmative action berupa persyaratan kuota bagi perempuan dalam partai masih mengundang polemik. Ada pihak yang mengkritik bahwa keterwakilan perempuan dalam politik sebagai pengambil kebijakan publik belum tentu benar-benar berpihak pada perempuan. Mereka menganggap, sering kali politisi perempuan tak ubahnya dengan politisi laki-laki yang berideologi patriarki dan melanggengkan ketidaksertaraan gender.

Baca juga:Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Kontribusi perempuan kepala daerah

Data kuantitatif dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 dan Peraturan Mentreri Dalam Negerti (PERMENDAGRI) tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah perempuan di lembaga pengambil kebijakan publik masih jauh dari yang diharapkan.

Pada tingkat legislatif, kuota 30 persen yang diatur pada UU No. 8/2012 tidak pernah tercapai.

Pada tingkat eksekutif, jumlah perempuan kepala daerah masih rendah. Dari 416 kepala daerah, hanya 35 orang (8,7 persen) perempuan terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015; 13 orang (5,9 persen) pada Pilkada 2017; dan 101 orang (8,85 persen) perempuan dari total 1140 calon kepala daerah pada Pilkada 2018. Untuk posisi kepala desa, hanya empat persen perempuan menduduki posisi tersebut dari seluruh desa di Indonesia.

Dari segi kontribusi para perempuan pengambil kebijakan ini, masih ada catatan buruk yang mesti diperbaiki di kemudian hari. Data kualitatif dari lembaga-lembaga pemerhati isu politik seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Cakra Wikara Indonesia menunjukkan  hal ini. Mereka mencatat, jumlah perempuan yang berada pada lembaga-lembaga pengambil kebijakan publik belum banyak berkontribusi mengatasi isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Padahal, isu-isu tersebut diharapkan menjadi prioritas para politisi atau pemimpin perempuan.

“Kehadiran perempuan seharusnya berkontribusi melalui visi, misi, dan program yang membawa suara perempuan dan anak. Namun, riset Perludem tahun 2015 menunjukkan bahwa tidak semua perempuan kandidat dalam kontestasi pemilihan kepala daerah membuat perencanaan program mengenai perempuan dan anak, atau isu-isu kesetaraan dan keadilan gender,” papar Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perludem kepada Magdalene.

“Hanya 17 persen dari keseluruhan kandidat yang melakukan hal tersebut,” imbuh Titi.

Lebih lanjut Titi menyatakan, berdasarkan riset lembaganya tahun 2014, partai politik cenderung “asal comot” kandidat perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen. Ini dipengaruhi oleh ketiadaan upaya partai untuk melakukan kaderisasi secara terus menerus kepada semua anggotanya, terlebih perempuan, sehingga kaderisasi hanya dilakukan menjelang Pilkada saja. Keterbatasan upaya partai melakukan kaderisasi dipengaruhi oleh besarnya dana yang dibutuhkan untuk hal tersebut. Akibatnya, kualitas anggota partai perempuan pun cenderung jalan di tempat.

Public funding dapat menjadi salah satu solusi, yaitu melalui penguatan alokasi dana negara untuk partai,” saran Titi.

Menurut Ann Phillips dalam bukunya, The Politics of Presence (1998) mengenai prinsip keterwakilan politik, politik bagi perempuan idealnya bukan hanya dimaknai sebagai pertarungan ide dan gagasan. Ini juga diartikan sebagai sebuah kehadiran yang memberikan makna dalam dunia politik (politics of presence). Caranya, lewat perwujudan sikap responsif dan akuntabel dalam menanggapi isu-isu yang berdampak negatif terhadap demokrasi. Dengan demikian, keterwakilan perempuan dalam dunia politik seharusnya bukan sekadar jumlah (beyond numbers).

Budaya patriarkal hambat perempuan kepala daerah

Budaya maskulin yang masih mendominasi birokrasi dan partai-partai di Indonesia adalah satu hal yang mempengaruhi minimnya jumlah perempuan kepala daerah dan anggota wakil rakyat. Salah satu akibat dari berlakunya budaya ini ialah pandangan sebelah mata terhadap perempuan pengambil kebijakan, terlepas dari apakah perempuan tersebut berkapasitas atau tidak.

Ini bisa dilihat dari contoh pemimpin perempuan seperti Megawati Soekarno Putri, Indira Gandhi, Benazir Bhitto, atau Qorry Aquino yang sulit sekali dilepaskan dari sosok ayah atau suaminya. Posisi politik kuat yang dimiliki para laki-laki itu dianggap merupakan faktor utama, atau bahkan satu-satunya, yang membuat para perempuan ini maju sebagai pemimpin.

Baca juga:Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?

Di luar institusi partai atau birokrasi, perempuan masih harus berhadapan dengan perwujudan budaya patriarkal mulai dari lingkup terkecil di masyarakat, yakni keluarga.

Selain mengontrol gerak perempuan di ranah publik, laki-laki dalam keluarga kerap mengatur seksualitas dan reproduksi perempuan. Hal ini lantas berimplikasi pada peran sebagai istri atau ibu yang melekat erat pada perempuan dan mempengaruhi performanya dalam karier. 

Bukan hal mudah bagi perempuan untuk menentang peran domestik yang disematkan kepadanya. Pasalnya, nilai patriarki yang memayungi peran tersebut telah lama ditanamkan dalam keluarga melalui hierarki dan menyebar luas dalam masyarakat. Interpretasi agama yang bersifat patriarkal semakin menguatkan hal tersebut. Laki-laki sering dianggap mutlak sebagai pemimpin dan perempuan dalam keluarga diharuskan untuk mematuhinya.

Lembaga dan sistem hukum juga sebagian besar sangat menguntungkan laki-laki. Banyak penafsiran dalam sistem yurispridensi dan peradilan bernilai patriarki dan tidak memberikan keadilan bagi perempuan. Ini adalah pekerjaan rumah besar dan tidak mudah untuk diubah yang harus dihadapi perempuan dalam parlemen atau birokrasi.

Media massa yang seksis menambah tekanan lain bagi perempuan di dunia politik. Tidak jarang media mengangkat representasi perempuan dalam birokrasi atau parlemen dengan melekatkan sejumlah bias, objektifikasi, atau stereotip tertentu yang menyudutkan perempuan. Alih-alih memberi perhatian lebih pada kapasitas pemimpin perempuan, sejumlah media justru mencari sisi negatifnya dan memperkuat anggapan perempuan lebih inferior dalam dunia politik dan birokrasi.

Perkara modal politik, sosial, dan ekonomi

Untuk bisa melaju dalam kontestasi politik, perempuan harus memiliki beragam modal. Yang pertama adalah modal politik, yakni pendidikan politik yang mumpuni sebagai bekal perempuan untuk mengatur strategi pemenangan dalam pemilu dan kampanye. Tidak hanya itu, modal politik juga berkaitan dengan penguasaan berbagai isu, keterampilan berorasi, memahami etika politik dan situasi dalam partai politik (internal maupun eksternal), serta pemahaman yang baik mengenai demokrasi.

Berikutnya adalah modal ekonomi, yaitu sumber daya finansial. Hal ini diperlukan untuk pembiayaan kampanye, termasuk biaya menyewa jasa konsultasi ahli politik, mobilisasi massa dan organisasi masyarakat, serta biaya untuk diprioritaskan dalam partai. Tidak seperti laki-laki yang cenderung memiliki finansial lebih kuat karena sudah sejak dulu diarahkan menjadi pencari nafkah utama, perempuan harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan finansial untuk melaju dalam karier politiknya.

Modal terakhir adalah modal sosial, yakni kekuatan berinteraksi yang dapat membawa seseorang menuju proses negosiasi dan memperoleh dukungan baik dari individu maupun kolektif. Dukungan kolektif atau basis massa ini punya andil besar dalam aspek daya tarung politik dan posisi tawar perempuan ketika menjabat sebagai pengambil kebijakan publik.

Read More

Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan

Penulis: Adinda Nurrizki

Drama Korea (drakor) Start-Up sungguh terbaik karena dibintangi aktor terkenal dengan akting yang mumpuni, juga jalan cerita menarik, terutama soal pemimpin perempuan.

Mengambil pengembangan bisnis rintisan sebagai inti dari jalan cerita, dengan bumbu cinta segitiga, serial Netflix ini dengan baik menggambarkan dinamika dan tantangan yang dihadapi pemimpin perempuan. Mulai dari tokoh utamanya, Seo Dal-mi (Suzy Bae), sang kakak Won In-jae (Kang Han-na), dan CEO Sand Box Yoon Sun-hak (Seo Yi-sook), mereka digambarkan secara multidimensi sebagai pemimpin karismatik dan andal.

Model kepemimpinan perempuan yang baik itu bisa kita lihat, misalnya, ketika Dal-mi memecahkan persoalan pembagian saham. Walaupun timnya saat itu nyaris terpecah, Dal-mi berhasil meyakinkan mereka bahwa sebagai pemimpin, ia mampu mengedepankan kepentingan bersama daripada sekadar punya saham terbanyak seperti yang dianjurkan mentor mereka. Dal-mi juga memperlihatkan bahwa dengan empati yang tinggi, ia berhasil mengembangkan sebuah aplikasi khusus tunanetra.

Di sisi lain, In-jae digambarkan sebagai pemimpin tegas dan berwibawa, meski dia juga sangat ambisius dan kompetitif. Sementara Yoon Sun-hak dikisahkan berhasil membangun wadah start up terkenal di Korea Selatan, berangkat dari kepekaannya terhadap para pengembang baru dan kisah personal mereka, termasuk ayah Dal-mi.

Drakor ‘Start-Up’ dan Stereotip Pemimpin Perempuan

Dalam drakor Start-Up ada gambaran pemimpin perempuan yang intimidatif dalam diri Seo In Jae. Apakah kamu suka deg-degan saat bertemu bos perempuan? Atau ketika kamu baru masuk kerja, apakah kamu jadi ngeri saat menemukan bahwa pemimpin kamu adalah perempuan?

Perasaan semacam itu  bisa saja timbul karena maraknya stereotip bahwa bos perempuan itu galak dan cerewet. Mereka juga kerap dianggap perfeksionis dan terburu-buru. Bos perempuan juga sering dihindari karena perkataannya dinilai lebih menyakitkan hati bawahannya.

Sementara stigma bos perempuan masih marak dalam realitas, kesempatan bagi pekerja perempuan untuk menaiki tangga karier sampai posisi pemimpin juga masih lebih terbatas. Pasalnya, mereka dinilai lebih emosional dibanding kolega laki-lakinya. Keputusan yang mereka buat dianggap bukan hasil dari kejernihan pikiran. Akibatnya, kredibilitas pemimpin perempuan sering kali tak diakui.

Baca juga: Pelajaran Penting tentang Jadi Perempuan Berdaya dari Martha Tilaar

Saya sendiri adalah perempuan pekerja kantoran dan juga ibu dari seorang anak. Kebetulan, banyak pemimpin perempuan di kantor saya. Namun keberadaan mereka tidak dihargai apalagi dirayakan, dan malah dijadikan candaan seksis oleh para karyawan, bahkan beberapa di antaranya perempuan. Seorang rekan saya pernah bilang, “Duh, kelar deh kalo bos lo cewek!” sesaat setelah dia rapat dengan timnya.

Pada kesempatan lain, saya kerap mendengar banyak cerita bahwa bos perempuan yang marah saat bawahannya melakukan kesalahan dinilai galak dan terlalu menuntut. Mereka yang ambisius dan agresif dalam mewujudkan mimpinya dinilai bitchy.

Suara pekerja atau pemimpin perempuan masih kerap disela, dikerdilkan dan dianggap tidak penting. Seorang ibu yang bekerja dinilai tak memiliki kapasitas besar untuk memimpin atau bahkan untuk bekerja sekalipun. Situasi kian menyudutkan pekerja perempuan di kantor saat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja sering terjadi sehingga mengusik keamanan mereka sampai bisa berpengaruh ke performa kerja. Selain itu, masih ada persoalan gaji pekerja perempuan yang lebih rendah dari pekerja laki-laki di banyak perusahaan untuk posisi dan kapasitas yang sama.

Pemimpin Perempuan Melawan Stigma

Kamu sudah mendengar bahwa selama pandemi, ada beberapa negara yang dinilai proaktif melindungi warganya dan menangani kenaikan kasus COVID-19? Ya, dan kebanyakan dari pemimpin negara-negara tersebut adalah perempuan.

Ada Perdana Menteri Jacinda Ardern di Selandia Baru yang berhasil mengajak warganya untuk mengantisipasi pandemi dengan berkomunikasi secara tenang dan sederhana. Ardern dinilai punya empati yang begitu tinggi. Ia juga menjadi perdana menteri pertama di Selandia Baru yang mengangkat seorang perempuan dari suku asli dengan wajah bertato sebagai menteri luar negeri. Tentu saja ini adalah bentuk pengakuannya terhadap keberagaman dalam kepemimpinan.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Kemudian, ada Islandia dengan Perdana Menteri Katrín Jakobsdóttir. Negara ini dianggap sebagai negara feminis karena mengangkat perempuan untuk memimpin negaranya dalam waktu cukup lama. Warga Islandia bahkan sudah cenderung tak percaya dengan gaya kepemimpinan laki-laki yang dinilai tamak dan sembrono. Saat dipimpin perempuan, Islandia berhasil memulihkan ekonomi dan baru-baru ini berhasil menekan penyebaran COVID-19 dengan hebat.

Beralih ke Jerman, ada Kanselir Angela Merkel yang dengan sigap menutup wilayahnya ketika kasus pertama COVID-19 dilaporkan di negara tersebut. Tak hanya itu, pemerintahan yang dijalankannya selalu proaktif dan transparan dalam penanganan pandemi.

Empati adalah salah satu nilai yang kerap dikonstruksikan masyarakat melekat pada perempuan. Ternyata, nilai ini menjadi kekuatan penting dalam sebuah kepemimpinan. Di Islandia misalnya, para perempuan pemegang jabatan selalu mengedepankan kesejahteraan sosial sebagai wujud empati mereka ketimbang mengangkat keuntungan semata.

Beberapa negara yang berhasil menangani kasus COVID-19 juga ternyata punya pemimpin perempuan yang dinilai kolaboratif dan transparan. Mereka mengandalkan para ilmuwan untuk menangani pandemi tanpa berpikir apakah pandemi ini hasil konspirasi dan sebagainya.

Masih banyak nilai dalam kepemimpinan perempuan yang luar biasa. Sayangnya, perempuan masih belum diberi kesempatan untuk menunjukkan kompetensinya dalam memimpin akibat dominasi maskulinitas dan budaya patriarkal.

Hal ini menjadi ironis mengingat pernyataan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Sapiens, bahwa jika memang perempuan mendapat stigma sebagai manusia dengan sifat empati dan sensitivitas yang begitu tinggi, serta kemampuan negosiasi yang hebat, kenapa mereka tidak dipercaya sebagai pemimpin yang memang membutuhkan sifat demikian?

Adinda Nurrizki adalah ibu dengan anak satu yang bekerja sebagai copywriter dan volunteer di @jendelapuan.

Read More
Buku sains anak

Perempuan Hadapi Banyak Sandungan dalam Dunia Sains di Indonesia

Penulis: Wati Hermawati

Masalah ketimpangan gender dalam dunia kerja masih menjadi PR besar negara ini, terlebih di dunia sains.

Pada bulan Agustus 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa kesempatan sekolah sudah hampir setara antara anak perempuan dan laki-laki di Indonesia. Ujaran Sri Mulyani ini tampak tak sejalan dengan tingkat kesetaraan gender yang merosot sampai 50 persen ketika perempuan memasuki dunia kerja.

Di dunia sains, teknologi, dan matematika, hanya ada 30 persen perempuan yang menggeluti bidang tersebut. Di samping itu, peran gender tradisional bagi perempuan yang diarahkan menjadi ibu atau istri diduga berkontribusi kuat dalam menghambat perempuan mencapai tangga karier tinggi.

Karena itu, penting bagi pemerintah mengurangi ketimpangan gender agar anak perempuan di negeri ini mampu menggapai cita-citanya di berbagai bidang. Masalahnya, seperti kata Sri Mulyani yang mengutip World Economic Forum Report 2017, dalam skala global, untuk menyelesaikan masalah ketimpangan gender membutuhkan waktu hampir 200 tahun.

Langkah kecil tahap demi setahap, terutama melalui intervensi kebijakan, harus dilakukan untuk memperkecil jurang ketimpangan gender dalam bidang sains.

Ketimpangan Gender dalam Sains

Selama ratusan tahun, sains dipandang sebagai bidang laki-laki dan maskulin. Baru pada dekade 1990-an mulai terungkap secara rinci ketimpangan gender dalam sains dan teknologi di dunia, termasuk di Indonesia, setelah Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing (1995), penerbitan World Science Report (1996) UNESCO, dan World Conference on Science di Budapest (1999).

Ketimpangan gender juga mendapat perhatian dari World Economic Forum (WEF) yang secara reguler menerbitkan indikator ketimpangan gender negara-negara di dunia. Hasil Survei Ketimpangan Gender Global oleh WEF pada 2012-2016 terhadap Indonesia (jumlah seluruhnya 144 negara) menunjukkan posisi Indonesia dalam seluruh indikator sedikit meningkat dari rangking ke-92 pada 2015, menjadi peringkat 88 pada 2016. Peringkat Indonesia ada di bawah Thailand (71), Vietnam (65), Singapura (56), Laos (43) dan Filipina (7), India (87), dan di atas Cina (99).

Baca juga:‘Glass Ceiling’ dan Faktor Lain yang Halangi Perempuan Naiki Jenjang Karier

Data UNESCO (2015) memperlihatkan bahwa di seluruh dunia, perempuan yang bekerja sebagai peneliti hanya 28 persen. Padahal, jumlah perempuan dan laki-laki yang menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dan master dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) jumlahnya relatif sama. Di Indonesia pada 2017, jumlah peneliti perempuan hanya sekitar 35 persen walau jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk.

Kesenjangan itu mulai terlihat dari partisipasi pendidikan antar jenis kelamin, rata-rata lama sekolah tingkat SD sampai SMA anak perempuan lebih rendah (7,84 tahun) dibandingkan anak laki-laki (8,35 tahun).

Hal ini terjadi kemungkinan karena tekanan ekonomi yang menyebabkan tingginya tuntutan anak perempuan untuk bekerja atau menikah usia dini yang berdampak pada kondisi putus sekolah. Pada jenjang perguruan tinggi, perempuan cenderung lebih sedikit memilih bidang STEM dan belum tentu berkarier di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil pula jumlah peserta perempuan. Pola yang sama terlihat pada lulusan program studi. Semakin tinggi program studi, semakin kecil jumlah lulusan berjenis kelamin perempuan.

Kecilnya jumlah perempuan berkarier sebagai peneliti bermula dari tahap pendidikan doktor (PhD) dan berlanjut terus pada tingkat organisasi kerja dengan kontroversi yang sering digambarkan sebagai “leaky pipeline”. Istilah ini mengacu pada banyak perempuan meninggalkan kariernya, kebanyakan dalam bidang STEM untuk beralih ke bidang lain. Hal ini terjadi karena adanya diskriminasi atau kebijakan yang tidak mendukung perempuan seperti tiadanya fleksibilitas waktu bekerja sebagai peneliti.

Kesenjangan gender sebagai pelaku iptek di Indonesia juga terjadi di lembaga penelitian dan pengembangan industri. Perempuan peneliti di industri manufaktur kurang dari 35 persen. Jumlah perempuan terbanyak di sektor manufaktur bekerja sebagai tenaga pendukung atau tenaga administrasi.

Budaya Patriarkal Perparah Ketimpangan Gender

Di luar bangku sekolah, ketimpangan gender dalam sains terjadi karena adanya perbedaan cara perempuan dan laki-laki berinteraksi dengan praktik sains dan teknologi, serta makna dan implikasi sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, perempuan diposisikan mengurus rumah, memasak, dan mengurus anak, sedangkan laki-laki bertugas mencari nafkah, bekerja menciptakan teknologi, dan semua kegiatan di luar rumah, termasuk pertemuan di lingkungan rumah. Budaya patriarkal berperan kuat dalam menciptakan kondisi ini.

Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah menawarkan banyak kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki baik di bidang rekayasa, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dampak selanjutnya dari rendahnya partisipasi adalah hilangnya kesempatan untuk berperan sentral dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Perbedaan tersebut muncul dari praktik historis dan sosial yang mengesampingkan peran perempuan selama berabad-abad.

Upaya pemerintah dalam memperkecil kesenjangan gender telah dilakukan melalui instruksi presiden untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sejak tahun 2000. Di tingkat global, perhatian terhadap masalah gender juga mengemuka, antara lain dalam program SDGs (Sustainable Development Goals). Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dewasa dan anak perempuan merupakan tujuan nomor lima SDGs untuk lebih dari 190 negara.

Walau demikian, fenomena ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal partisipasi, akses, dan kontrol terhadap sumber daya iptek maupun pemanfaatan iptek masih tinggi di Indonesia dan dunia.

Berbagai kajian dan penelitian menyebutkan bahwa sejumlah faktor turut berkontribusi atas sulitnya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender seperti belum baiknya capaian pendidikan kaum perempuan, faktor kemiskinan, budaya yang kurang mendukung, serta kurangnya dukungan kebijakan pemerintah terkait dengan keterlibatan perempuan dalam iptek.

Banyak pelaku iptek di lembaga penelitian dan pengembangan, universitas, dan industri, baik perumus kebijakan, pengambil keputusan, peneliti, perekayasa, dosen, maupun profesi lainnya, belum memahami persoalan gender dan isu-isu apa yang terkait dengan gender dalam iptek.

Diskriminasi Terselubung

Kebijakan pemerintah di bidang iptek tidak secara eksplisit mendiskriminasi perempuan. Tapi praktiknya, perempuan terhambat menjalankan pekerjaannya sebagai peneliti. Dualisme peran sebagai istri atau ibu dan peneliti, tidak kondusifnya lingkungan kerja, kurangnya fasilitas penunjang bagi kebutuhan kaum perempuan, seperti ruang laktasi dan tempat penitipan anak, juga merupakan hambatan serius bagi terwujudnya kesetaraan gender.

Kebijakan lain yang belum mendukung adalah kebijakan pemberian beasiswa S2 usia maksimal 35 tahun dan beasiswa S3 usia maksimal 45 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kebijakan ini belum sesuai dengan kondisi perempuan yang bekerja di sektor iptek seperti lembaga penelitian dan pengembangan. Ada masa-masa melahirkan dan mengasuh anak-anak, apalagi kalau anaknya lebih dari satu, yang menyita waktu perempuan saat berusia di bawah 40 tahun.

Baca juga:Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Ketimpangan gender di sektor ekonomi dicerminkan dengan pendapatan perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sekitar Rp8,5 juta dibanding Rp14 juta per kapita dalam setahun. Hal ini disebabkan oleh segregasi pekerjaan berdasarkan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Perempuan belum bisa memasuki seluruh lapangan pekerjaan yang ada.

Keterwakilan perempuan sebagai pengambil keputusan di tingkat eksekutif dan legislatif masih sangat minim. Hal ini diduga mengakibatkan lahirnya kebijakan maupun tindakan administratif yang tidak sensitif gender.

Cara Selesaikan Ketimpangan Gender dalam Sains

Mengatasi kesenjangan gender di sektor iptek tidak dapat diserahkan hanya kepada masyarakat atau pelaku iptek itu sendiri. Mengurangi kesenjangan gender memerlukan intervensi kebijakan yang diimplementasikan dengan serius. Sangat sulit dan mungkin lama memecahkan masalah ketimpangan gender hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu solusi keluar dari ketimpangan gender yang direkomendasikan oleh Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) Perserikatan Bangsa-Bangsa antara lain dengan penerapan tindakan-khusus-sementara (afirmasi). Selain itu, diperlukan juga inisiatif untuk mengubah pola tingkah laku sosial budaya laki-laki dan perempuan, menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktik lainnya yang mendasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin, atau berdasarkan peran gender tradisional laki-laki dan perempuan.

Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan strategi intervensi tersebut, termasuk mengarusutamakan gender, menata kembali kelembagaan dan tata kelolanya yang responsif gender. Pemerintah juga perlu menyediakan data terpilah berbasis jenis kelamin dengan melengkapi pusat data dan indikator dengan perpektif gender. Selain itu, dibutuhkan kajian dan penelitian terkait dengan gender dalam sektor iptek dan menyebarkannya.

Keadilan dan kesetaraan gender bisa diwujudkan bila pengarusutamaan gender dilakukan melalui kerja sama yang saling menghargai dan saling mendukung di antara semua komponen dalam masyarakat, pemerintah dan non-pemerintah, pemerintah pusat dan daerah, dan organisasi profesi dan keahlian.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Wati Hermawati adalah peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Read More

Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?


Masih ingat tahun lalu saat penyanyi Mulan Jameela melenggang ke Senayan? Pemilihannya sebagai anggota DPR ramai diperbincangkan karena dianggap mengorbankan hak kandidat lain yang dipandang lebih pantas terpilih.

Mulan mencalonkan diri di derah pilihan Jawa Barat XI dengan perolehan suara peringkat kelima. Namun, partai pengusungnya, Gerindra, memberhentikan beberapa orang kandidat yang mengalahkan Mulan sebelumnya. Alhasil, Mulan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Banyak yang mempertanyakan alasan Gerindra melakukan keputusan sepihak tersebut. Sebagian pihak berasumsi bahwa Mulan terpilih karena sebagai penyanyi, ia lebih populer dibanding dua kandidat yang digantikannya. Belum lagi pada saat itu sedang ramai pemberitaan soal suaminya, musisi Ahmad Dhani, yang dianggap rela mendekam di penjara karena membela Prabowo Subianto, ketua partai Gerindra sekaligus calon presiden 2019-2024.

Kendati para kandidat yang dipecat secara sepihak tadi menggugat kembali keputusan Gerindra ke pengadilan, Mulan sudah kadung ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai anggota DPR 2019-2024. Ia pun kini menjadi salah satu yang disorot media dalam menjalankan kerjanya di DPR.

Selain Mulan, penyanyi perempuan di dalam politik lain yang tak kalah mendapat sorotan karena berhasil menduduki kursi DPR adalah Krisdayanti yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak publik meragukan kapasitas Krisdayanti di DPR karena ia tidak punya rekam jejak politik. Bahkan pada Maret lalu, Krisdayanti mendapat kritikan besar karena pergi pelesiran ke Eropa di tengah krisis pandemi COVID-19. Hal tersebut disayangkan banyak pihak, Krisdayanti sebagai wakil rakyat pun makin dipertanyakan kredibilitasnya.

Baik kasus Mulan maupun Krisdayanti merupakan contoh nyata perempuan di dalam politik yang masih dijadikan sebagai vote-getter atau figur yang diperkirakan mampu mendapatkan banyak suara lebih karena popularitasnya dibanding kemampuan mereka di dunia politik.

Dalam penelitan yang diterbitkan New Mandala bertajuk “Why does a good woman lose? Barriers to women’s political representation in Indonesia” (2019), dikatakan bahwa fenomena ini mungkin sah secara Undang-Undang, tapi realitasnya menunjukkan cara ini terlalu pragmatis dan terkesan membodohi masyarakat kita yang sering kali terlalu terlena dengan popularitas seorang calon.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Dunia politik masih maskulin

Kendati istilah vote-getter ini bisa dilekatkan baik kepada laki-laki maupun perempuan, kenyataan bahwa dunia politik masih maskulin ditambah angka politisi perempuan yang belum pernah mencapai 30 persen di DPR membuat perempuan di dalam politik mendapat atensi lebih dari publik. Karena itu, muncul anggapan bahwa perempuan kerap hanya dipilih oleh partai untuk mendongkrak popularitasnya saat Pemilu.

Survei nasional yang juga dilakukan New Mandala mengungkapkan bahwa sikap patriarkal yang mengakar di Indonesia membuat masyarakat berasumsi bahwa laki-laki lebih mampu menjadi pemimpin politik dibanding perempuan. Sebanyak 88,2 persen responden menyatakan setuju laki-laki lebih mumpuni. Tak heran bila selebritas laki-laki yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR biasanya lebih dipandang berwibawa dan mengerti politik, serta tidak mendapat sorotan seperti politisi perempuan di DPR.

“Elemen kualitatif dari penelitian kami menemukan bahwa sistem pemilihan Indonesia, dikombinasikan dengan beberapa elemen budaya partai politik, turut menentukan tipe kandidat perempuan yang direkrut oleh partai dengan cara-cara yang problematis. Dengan mengangkat mereka yang populer, partai tidak harus bekerja ekstra untuk mengenalkan calon kandidat ke masyarakat,” tulis Sally White dan Edward Aspinall, peneliti dari Department of Political and Social Change in the Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam New Mandala.

Strategi mendompleng ketenaran calon wakil rakyat digunakan terutama untuk menyasar pemilih di daerah yang kurang terjangkau selama masa kampanye. Daftar nama caleg dari puluhan partai akan membuat orang-orang bingung. Karenanya, mereka cenderung akan memilih figur-figur familier yang biasa mereka lihat di layar kaca dan mengesampingkan visi dan kemampuan figur-figur tersebut walau itu merupakan pertimbangan yang fundamental.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Dari penghibur saat kampanye sampai jadi politisi

Fenomena para selebritas berbondong-bondong masuk ke dunia politik sebetulnya bukanlah hal baru. Dalam jurnal bertajuk From Celebrity to Politician: The Indonesian Women Celebrity in House of Representative (DPR RI) 2004-2007 yang ditulis oleh Nyarwi (2011), dinyatakan bahwa tren pelibatan selebritas perempuan dalam kampanye politik sudah terjadi sejak Orde Baru.

Awalnya, pelibatan mereka hanya sebatas artis penghibur selama kampanye. Dengan memanfaatkan popularitas mereka, partai berharap dapat mengundang banyak pemilih. Peran yang terbatas sebagai penghibur tersebut tidak lepas dari iklim politik di Indonesia dikuasi satu partai yaitu Golongan Karya (Golkar). Baru pada Pemilu 2004, para selebritas ini mulai terjun ke dunia politik seiring dengan iklim politik Indonesia yang semakin terbuka.

“Salah satu tren besar pada pemilihan umum 2004 adalah komodifikasi popularitas selebritas. Pada tahun, tersebut tujuh selebritas terpilih menjadi anggota DPR, dua diantaranya adalah perempuan yaitu Nurul Arifin dan Angelina Sondakh. Meski pada saat itu partai politik hampir memberi 22-40 persen kandidat perempuan tapi para selebriti cenderung mendapat suara lebih karena popularitasnya,” tulis Nyarwi. 

Perempuan Di Dalam Bagian Politik Dinasti

Tak hanya sebatas dari kalangan dunia hiburan, istilah vote-getter ini juga bisa berasal dari orang-orang yang berafiliasi dengan menteri atau pejabat lain yang punya pengaruh besar di panggung politik. Pada Pemilu tahun lalu, misalnya, Hillary Brigitta Lasut terpilih sebagai perempuan termuda yang lolos menjadi anggota DPR 2019-2024.

Perbincangan publik seputar dirinya kerap berkisar soal penampilan fisiknya serta catatan prestasinya di umur 23 kala itu: Menjadi lulusan luar negeri dan berhasil lolos masuk DPR. Padahal, setelah ditelusuri, terpilihnya Hillary tidak lepas dari latar belakangnya sebagai anak Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelbert Lasut (2004-2009, 2009-2012, 2019-2024). Sementara itu, Ibu Hillary, Telly Tjanggulung, adalah Bupati Minahasa Tenggara periode 2008-2013.

Baca juga: Ruang (Ny)aman: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Selain Hillary, ada juga Puteri Komaruddin, yang baru berusia 27 tahun dan memiliki kekayaan puluhan miliar. Puteri adalah anak politisi senior Ade Komaruddin yang sudah lima kali masa jabatan duduk di DPR.

Dalam kedua kasus itu, dapat dilihat secara gamblang bagaimana orang yang dekat dengan kekuasaan bisa melenggang ke DPR meski ia belum begitu lama terjun ke politik. Di sisi lain, politisi seumuran mereka yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan harus mengeluarkan upaya ekstra untuk dikenal masyarakat serta mendapat suara.

Dalam rangka memenuhi kuota 30 persen dan meningkatkan perolehan suara kandidat perempuan, partai melihat calon kandidat perempuan yang memiliki kekerabatan dengan politisi laki-laki yang berkuasa di daerah pemilihan terkait berpotensi mendongkrak suara. Selain itu, calon kandidat seperti itu juga biasanya memiliki jaminan akses ke sumber dana yang memadai untuk menutup ongkos kampanye.

Para peneliti dari Pusat Studi Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menemukan 41 persen perempuan yang memenangkan kursi DPR pada 2019 terkait dinasti politik. Persentase tersebut melonjak signifikan dari 36 persen pada 2014.

White dan Aspinall mengakui bahwa sebagian perempuan yang punya koneksi dinasti merupakan politisi yang cakap dan berbakat. Tetapi, bukan hal itu yang membuat mereka menang.

“Banyak di antara mereka menang bukan karena kualitas dan kompetensi pribadi, tetapi murni karena koneksi keluarga mereka,” tulis mereka.

Read More

Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Jumlah perempuan di DPR belum mencapai kuota 30 persen, demikian juga di partai politik. Hal ini berhubungan dengan dunia politik yang masih sangat maskulin. Perempuan dalam politik baru mendapat ruang untuk diakui kehadirannya pada masa Reformasi. Adanya pembungkaman kelompok-kelompok yang berseberangan dengan penguasa dan hilangnya suara kelompok terpinggirkan selama masa otoriter Orde Baru membuat salah satu prioritas utama Reformasi dalam ranah politik adalah memperbaiki kualitas representasi politik. Sebagai kelompok yang paling terabaikan kepentingannya, perempuan masuk menjadi agenda prioritas tersebut.  

Keseriusan negara dalam mendorong keterlibatan perempuan di ranah publik terlihat dari dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang kemudian diikuti dengan politik afirmasi dengan memperbarui aturan partai politik dan pemilihan umum (Pemilu).

Kebijakan afirmatif ini merupakan tindakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan agar secara aktif terlibat dalam politik formal, termasuk jabatan-jabatan politik dan struktur politik dalam partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif serta level kementerian.

Perwujudan kebijakan politik afirmasi ini, ditetapkan lewat Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum serta UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di mana dalam berbagai aturan perundangan itu tercantum jika partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat serta daerah.

“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” (Pasal 65).

Jumlah perempuan di DPR belum 30 persen sebenarnya. Angka 30 persen sendiri mengacu pada penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen adalah angka yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak signifikan pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Upaya ini merupakan bagian dari kesepakatan internasional pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979, yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota, termasuk Indonesia.

Baca juga: Salah Paham Atas Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Jumlah Perempuan di DPR Serta Politik afirmasi yang masih belum efektif

Kendati sudah ada aturan tersebut, peningkatan representasi jumlah perempuan di DPR serta di ranah politik masih jauh dari harapan. Hasil penelitian dari Cakra Wikara Indonesia, organisasi yang berfokus pada kajian sosial politik berperspektif gender, yang bertajuk Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah (2018), menunjukkan, sejak diberlakukannya aturan tersebut hingga sekarang ini, angka perempuan yang berhasil duduk di legislatif belum pernah mencapai angka 30 persen.

Menurut data, pada periode 1999-2004 kursi perempuan di DPR hanya mencapai 9,09 persen, meningkat dua persen pada periode 2004-2009. Baru pada Pemilu 2009 ada kemajuan signifikan di angka 18 persen, namun kembali menurun pada Pemilu 2014 dengan angka 17,32 persen.  

“Hal itu karena saat pertama kali diadopsi pada pemilihan umum 2004, kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu masih bersifat imbauan dan tidak ada aturan sanksi jika dilanggar. Baru menjelang Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 ada penguatan aturan tersebut dengan diberlakukannya sanksi kepada partai politik jika tidak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,” tulis CWI.

Tak jauh berbeda dari pusat, di tingkat provinsi (DPRD) menunjukkan kecenderungan yang sama. Hasil Pemilu Legislatif 2009 memperlihatkan bahwa rata-rata perolehan kursi perempuan adalah 16 persen. Hal tersebut seolah kembali membuktikan jika pemenuhan syarat 30 persen keterwakilan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon wakil rakyat perempuan di ranah politik.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

Artikel The Conversation bertajuk Bagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR? menganalisis bagaimana masalah UU Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara merupakan faktor sistematik. Sementara faktor terpenting yang memengaruhi perempuan secara langsung, seperti, ideologi serta aturan internal partai yang menentukan motivasi perempuan sebagai calon anggota legislatif seharusnya mendapat perhatian lebih.

Hal itu dibuktikan dari data hasil Pemilu 2009 dan 2014 yang memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI merupakan calon yang ditempatkan di nomor urut atas, sehingga prioritas kader perempuan merupakan hal yang tak kalah krusial.

“Mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu,” menurut artikel tersebut.

Namun sayangnya, politik afirmasi yang bercita-cita memajukan perempuan ini belum sepenuhnya menjadi agenda sebagian besar partai politik di Indonesia. Dalam kesimpulan penelitiannya, CWI juga menggarisbawahi bahwa politik afirmasi ini cenderung sekedar menjadi pemenuhan syarat administratif mengikuti pemilu bagi partai-partai. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

Selain itu, kebanyakan partai tidak melihat lebih jauh kriteria perempuan yang dicalonkan, kapasitas yang dimiliki, dan potensi yang dihadirkan untuk bisa mencapai tujuan lebih besar yaitu melakukan transformasi kebijakan yang lebih inklusif.

Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan syarat jenis kelamin tanpa memandang potensi, perspektif dan kapasitasnya bagi fungsi-fungsi perwakilan di DPR. Partai tidak memahami esensi kebijakan afirmasi, yang dipahami sebatas pencalonan 30 persen kuota perempuan yang dimaknai sebagai identitas tubuhnya dan bukan identitas gendernya.

“Fakta memperlihatkan bahwa dalam hal pengalaman berpolitik kader dan caleg perempuan tertinggal dibanding caleg laki-laki. Partai mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus melakukan program penguatan kapasitas kader dan caleg perempuan serta tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye yang dapat meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih,” tulis CWI.

Kebijakan yang tak berpihak pada perempuan

Dampak dari kebijakan afirmasi yang ditempatkan hanya sebagai syarat administrasi semata tanpa memikirkan cita-cita awalnya yaitu mendorong kebijakan yang mendukung lebih banyak perempuan ini tentu punya implikasi yang sangat besar.

Menurut Ketua CWI Anna Margret, persoalan representasi perempuan di ranah institusi politik formal bukan sekedar urusan jumlah, melainkan juga substansi yang dibawa oleh para perempuan di institusi-institusi tersebut, sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi urusan formal prosedural, tetapi betul-betul mampu menawarkan solusi bagi permasalahan riil dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah yang dialami perempuan.

“Satu hal yang perlu kita catat juga, peraturan itu penting, kita ngomong tentang aturan-aturan formal. Tapi yang namanya aturan itu diimplementasi oleh manusia secara kolektif, entah oleh sebuah organisasi atau partai politik. Jadi ya itu balik lagi si partai politiknya ngerti enggak esensi politik afirmasi ini, sejalan enggak? Kebijakan afirmasi 30 pencalonan di legislatif ada aturannya, dijalankan enggak? Iya dijalankan. Tapi ada hasilnya? Enggak,” ujar Anna kepada Magdalene.

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Hambat Kepemimpinan Perempuan

Implikasi paling nyata dari permasalahan ini tercermin dari bermunculan Rancangan Undang-undang (RUU) yang justru jauh dari cita-cita politik afirmasi sendiri dan sebaliknya berusaha meminimkan gerakan perempuan, RUU Ketahanan Keluarga misalnya yang berusaha kembali menempatkan perempuan ke ranah domestik. Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang jelas menyangkut hajat hidup perempuan malah tidak diprioritaskan serta tidak dilihat sebagai masalah serius.

Anna mengatakan bahwa impian akan ada solidaritas otomatis terhadap perempuan setelah perempuan lainnya berhasil naik di pucuk kepemimpinan merupakan asumsi dan mitos. Kita harus melihat secara jeli latar belakang perempuan yang mengisi angka keterwakilan itu seperti apa, karena bisa jadi mereka ada karena pengaruh dari laki-laki atau kepentingan lain, tambahnya.

“Identitas perempuan itu beragam. Perempuan yang mana akan dukung perempuan mana? Ada sisterhood atau solidaritas itu bagus harus didukung. Kepekaan sama isu perempuan didapat dari pengalaman berjejaring dengan kelompok yang berbeda dan tersisihkan tapi kalau enggak gimana?,” ujar Anna.

“Mungkin kita punya pemimpin DPR perempuan pertama, tapi otonomi dia dalam membuat kebijakan itu ada enggak? Atau dia harus kompromi dengan struktur kuasa yang lebih luas? Kalau kebijakan dia enggak pro perempuan, kita harus lihat dia ada di institusi macem apa? Apakah institusinya udah demokratis? Dia betul punya kuasa apa enggak? Apakah dia punya kuasa secara otonom untuk mengambil kebijakan? Jangan-jangan dia hanya dijadikan sebagai sesuatu yang simbolik aja,” tambah Anna.

Read More