Media Bias Gender

Perempuan Pembuat Kebijakan di Media Minim, Berita Cenderung Bias dan Seksis

Baru-baru ini, media disibukkan dengan beredarnya video porno yang melibatkan selebritas GA. Skandal ini seolah begitu penting untuk tersaji dalam berita setiap hari. Seperti yang sudah-sudah, media cenderung menggiring opini untuk menyudutkan perempuan dan memandangnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penodaan nilai moral masyarakat.

Saya benci menduga bahwa media sering kali membuat berita bias gender dan seksis dan yang lebih saya benci adalah bagaimana dugaan itu hampir selalu benar. Media mengeksploitasi identitas GA, anaknya, dan mantan suaminya, bahkan mengaitkan hal ini dengan kasus perceraiannya, demi memuaskan hasrat khalayak dan pembuat berita untuk melihat perempuan terjerembap tanpa pertolongan. Mengapa sanksi sosial yang diterima perempuan selalu lebih berat ketika terjerat permasalahan yang bertentangan dengan nilai moral yang ada di masyarakat?

Seharusnya kita heran mengapa media hari ini masih menjadikan kemalangan perempuan sebagai bahan mengais rupiah?  Beijing Platform for Action (BPFA) tahun 1995 memasukkan pembahasan mengenai perempuan dan media dalam 12 area kritis, di mana perempuan menjadi pihak yang cenderung dirugikan dalam industri media.

Citra merendahkan perempuan lebih mendapat ruang di media, alih-alih penggambaran mereka secara lebih adil dan tanpa stereotip. Media bukannya mendorong pemberdayaan perempuan, malah justru menjadi pelaku kekerasan struktural pada perempuan.  Mengapa media menjadi institusi yang begitu patriarkal?

Baca juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

Berita Seksis Karena Minimnya Perempuan di Posisi Strategis

Salah satu sebab mengapa berita yang diproduksi media tidak memiliki perspektif gender adalah belum tercapainya kesetaraan gender di ruang redaksi. Minimnya jurnalis perempuan di suatu media berpotensi membuat media bias gender. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 10 jurnalis, hanya ada 2-3 jurnalis perempuan.  Selain sedikitnya jumlah jurnalis perempuan, hanya 6 persen dari jurnalis perempuan tersebut yang menempati posisi pengambilan keputusan yang penting di redaksi. Sisanya menempati posisi sebagai reporter.

Pada umumnya, jurnalis perempuan kesulitan mendapatkan jabatan karena stereotip yang dilekatkan kepadanya. Jurnalis perempuan dianggap kurang produktif jika dibanding jurnalis laki-laki karena hak-hak khusus yang melekat padanya seperti cuti haid, cuti hamil, dan masa menyusui. Padahal perempuan bisa menjadi jurnalis yang andal asalkan mendapat kesempatan dan peluang yang setara.

Minimnya perempuan sebagai pengambil keputusan di redaksi juga berimbas pada pemilihan narasumber perempuan yang kurang representatif. Umum dalam sebuah talkshow misalnya, semua narasumber yang dihadirkan adalah laki-laki (all male panels), terutama jika membahas isu-isu publik. Ketidakhadiran perempuan, atau segala upaya menihilkan perempuan untuk merepresentasikan perspektifnya juga termasuk bentuk bias gender yang paling sering terjadi.

Jurnalis perempuan kesulitan mendapatkan jabatan karena dianggap kurang produktif jika dibanding jurnalis laki-laki, karena hak-hak khusus yang melekat padanya seperti cuti haid, cuti hamil dan masa menyusui.

Dalam indikator sensitif gender untuk media yang diterbitkan oleh UNESCO, untuk membangun iklim media yang sensitif gender, perempuan juga perlu terlibat dalam organisasi profesi jurnalis. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebutkan bahwa 66 persen jurnalis perempuan sama sekali tidak terlibat dalam organisasi profesi.

Apakah organisasi profesi selama ini sudah inklusif bagi perempuan? Sejauh mana upaya organisasi profesi membangun ruang aman bagi perempuan untuk berpartisipasi?

Organisasi profesi begitu strategis untuk mendorong kesetaraan gender di media masing-masing anggotanya. Sayangnya, perempuan justru tidak banyak terlibat.

Media Bias Gender Lemahnya Peran Pembuat Kebijakan

Selain itu, penting kiranya partisipasi badan regulator media untuk menjamin perempuan mendapatkan citra yang adil di media. Industri media tidak tumbuh di ruang hampa, mereka akan selalu mengikuti keinginan masyarakat patriarkal yang melekatkan stereotip buruk pada perempuan. Di sinilah regulator media seharusnya berperan tegas untuk memberikan sanksi kepada media yang melanggar kode etik jurnalistik.

Tak hanya itu, badan regulator media seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu mulai mengupayakan regulasi yang melindungi perempuan dalam konten media. Hal ini diperlukan untuk menyudahi eksploitasi massal yang dilakukan media kepada perempuan. Badan regulator media perlu mempertimbangkan bahwa dengan segala kekuatan dan hegemoninya, media akan selalu mengukuhkan pola relasi yang tidak menguntungkan bagi perempuan.

Baca juga: ‘Mansplaining’: Perilaku Seksis yang Hambat Karier Perempuan

Dalam kasus GA, banyak media melanggar Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik yang memuat mengenai “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”. Pasal ini memuat penjelasan bahwa wartawan perlu menghormati pengalaman traumatis narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.

Peristiwa yang menimpa GA atas beredarnya video porno tanpa persetujuan akibat tindakan pihak tidak bertanggungjawab merupakan bentuk kekerasan seksual yang diterima oleh GA. Publikasi yang berlebihan, terutama yang memuat foto, nama lengkap, menyebut nama anak GA, tentu menimbulkan pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun dengan segala bias yang melapisinya, saya ragu media dapat melihat bahwa sesungguhnya GA adalah korban.

Potret perempuan yang negatif di media terbangun karena pola relasi timpang di masyarakat. Perempuan cenderung dimarginalkan dari hal-hal yang bersifat publik, hal ini kemudian dikukuhkan oleh media. Situasi ini membuat perempuan harus terus berperang melawan struktur yang memarginalkannya.

Perlu upaya edukasi berkelanjutan untuk mengubah cara media memandang perempuan. Pemerintah, organisasi masyarakat, dan organisasi profesi jurnalis perlu mendorong adanya pelatihan maupun kebijakan yang bertujuan meningkatkan sensitivitas jurnalis dan media terhadap isu-isu gender sebagaimana dimandatkan oleh BPFA 26 tahun yang lalu.

Permata Ariani adalah ibu dari tiga kucing. Sehari-hari beraktivitas di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Gemar mengalokasikan waktu luang untuk memasak dan menonton Netflix.

Read More