nama pahlawan perempuan indonesia Laksamana Malahayati

Malahayati Laksamana Laut Perempuan Pertama di Dunia

Nama pahlawan perempuan dari wilayah Aceh tak cuma Cut Nyak Dhien serta Cut Meutia saja yang teguh dalam bertempur memerangi penjajah. Aceh juga punya Laksamana Malahayati, yang bertempur dengan berani melawan tentara Belanda di perairan lepas, dengan tentaranya yang merupakan kumpulan para janda, yang disebut Inong Balee.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Fakta menarik lain dari Laksamana Malahayati adalah bahwa ia merupakan perempuan pertama di dunia yang berhasil menjadi seorang laksamana. Dan apakah kalian sudah tahu siapa Malahayati ini? Ia merupakan keturunan dari keluarga bangsawan saat Aceh sedang berjaya. 

Biografi Laksamana Malahayati

Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Malahayati merupakan anak perempuan dari Laksamana Mahmud Syah. Ia juga memiliki kakek yang bernama Laksamana M. Said Syah, anak dari Sultan Salahuddin yang berkuasa di Aceh dari tahun 1530 sampai dengan 1539. Ayah serta sang kakek merupakan panglima armada laut pada di zamannya.

Semangat yang dipunyai ayah serta kakeknya ternyata menurun ke Malahayati. Meskipun perempuan mungkin tidak diharapkan menjadi laksamana laut, dia bercita-cita menjadi seorang pelaut atau laksamana yang kuat serta berani, persis seperti sang ayah serta kakeknya.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Saat ia beranjak dewasa, Malahayati memiliki keleluasaan untuk memilih sekolah. Ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan sekolah angkatan bersenjata milik kesultanan yang bernama Mahad Baitul Maqdis. Sekolah ini terdiri dari armada darat serta armada laut.

Dari sekolah inilah kemampuan ketentaraan Malahayati terbentuk, dididik oleh para guru yang merupakan perwira dari wilayah Turki. Pada zaman itu Aceh memang memperoleh dukungan dari Kesultanan Turki Utsmani. Di sekolah ini, ia akhirnya berjumpa dengan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang akhirnya menjadi suaminya.

Peran Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati tak cuma memimpin tentara laki-laki, tetapi ia juga mengumpulkan kekuatan kaum perempuan, terlebih para janda yang ditinggalkan suaminya yang gugur dalam peperangan di Teluk Haru, persis seperti dirinya. Armada janda yang sangat berani dipimpin oleh Malahayati ini populer dengan panggilan Inong Balee seperti yang sudah kita bahas di atas.

Mulanya, tentara Inong Balee cuma terdiri dari seribu orang. Akan tetapi kemudian anggotanya berkembang menjadi dua ribu orang. Laksamana Malahayati menjadikan wilayah Teluk Lamreh Krueng Raya menjadi basis prajuritnya, dan daerah bukit yang berada tak jauh dari sana dibuat sebagai area pertahanan sekaligus menara untuk untuk mengawasi pergerakan musuh.

Malahayati memang sangat berpengaruh pada zaman itu. Selain mengatur tentara, ia juga memantau seluruh pelabuhan dan wilayah perdagangan yang ada di Aceh, beserta kapal-kapal yang berlabuh. Waktu itu, kesultanan punya tak kurang dari 100 buah kapal dengan ukuran besar yang satu kapalnya bisa membawa lebih dari empat ratus awak kapal.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Sampai dengan tanggal 21 Juni 1599, kumpulan penjelajah dari Belanda yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara—Frederick dan Cornelis. Mereka berlabuh di dermaga Aceh dengan dua kapal berukuran besar yang diberi nama de Leeuw dan de Leeuwin. Frederick dan Cornelis de Houtman berlaku sebagai nakhoda dari dua kapal tersebut.

Awalnya, interaksi antara pendatang asal Eropa dengan rakyat Aceh baik-baik saja. Sampai akhirnya, karena sikap dari orang-orang Belanda serta tambahan hasutan dari seorang Portugis yang diyakini oleh Sultan Alauddin, mulailah terbentuk bibit kericuhan.

Saat sadar situasi mulai memanas, Frederick serta Cornelis membuat strategi dari kapal mereka, dan bersiap untuk menyambut serangan yang mungkin akan datang. Dan ternyata benar saja, Sultan Alauddin membuat perintah kepada Laksamana Malahayati untuk menyerang dua kapal Belanda yang masih berlabuh di Selat Malaka tersebut.

Pecahlah peperangan hebat di laut. Tentara Belanda ternyata kesulitan dalam menghentikan kekuatan dari tentara Malahayati, deretan para janda yang tidak takut kehilangan nyawa. Sampai akhirnya Laksamana Malahayati sukses masuk ke kapal Cornelis de Houtman dan saling berhadap-hadapan.

Malahayati memegang kuat senjatanya yang berupa rencong, sementara si nakhoda Belanda dipersenjatai sebilah pedang. Perkelahian satu lawan satu pun berlangsung. Pada satu titik di tengah pertempuran tersebut, Malahayati menusuk Cornelis sampai akhirnya tewas. Kejadian bersejarah ini terjadi pada tanggal 11 September 1599.

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Muslimah Asal Indonesia yang Jarang Diketahui

Tentara Belanda akhirnya kalah dan banyak yang meninggal. Sedangkan yang tersisa berhasil ditangkap dan dibawa ke penjara, termasuk saudara Cornelis, yaitu Frederick.

Akhir Hayat Malahayati

Laksamana Malahayati menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1615. Peristirahatan terakhirnya berada di Desa Lamreh, Aceh, Indonesia. Malahayati akhirnya diberikan titel sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 Oktober 2017 oleh Pemerintah, bersama-sama dengan beberapa pahlawan lainnya.

Read More
Kokok Dirgantoro Cuti Ayah

Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier

Isu cuti melahirkan bagi perempuan dan laki-laki adalah hal yang kerap mendatangkan pro dan kontra, apalagi kalau yang dibahas adalah soal pemasukan perusahaan. Cuti melahirkan sering kali dianggap membawa kerugian besar alih-alih keuntungan. Alhasil, tak banyak perusahaan di Indonesia yang mengakomodasi hak cuti melahirkan yang cukup bagi pekerjanya, apalagi pekerja laki-laki.

Kokok Dirgantoro, CEO perusahaan konsultasi komunikasi Opal Communication, merupakan sosok yang cukup anomali. Di perusahaannya itu, dia mendorong iklim kerja dan kebijakan yang ramah keluarga, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Salah satu langkah besar yang ia lakukan adalah pemberian cuti melahirkan selama enam bulan bagi pekerja perempuan, dan satu bulan untuk pekerja laki-laki.

Menurut Kokok, hal ini tidak berdampak negatif terhadap performa dan pendapatan perusahaan. Sebaliknya, cuti melahirkan lebih panjang memberikan dampak jangka panjang yang lebih baik.

“Kalau melihatnya kayak begitu (cuti melahirkan berdampak negatif pada performa perusahaan), enggak adil buat perempuan. Katakanlah perempuan bekerja umur 25, pensiun umur 55. Dia ada waktu 30 tahun buat memberikan kontribusi ekonomi. Memberikan waktu satu sampai satu setengah tahun untuk cuti rasanya tidak masalah,” kata Kokok dalam siaran Instagram Live Bisik Kamis”bersama Magdalene, November lalu.

Bila perusahaan dan pemerintah tidak mengakomodasi hak cuti melahirkan pada para pekerja, Kokok mengatakan, hal itu akan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang karena ada efek domino terkait penurunan aspek ekonomi, masalah kesehatan anak, sampai masa depan bangsa.

Baca juga: Hak Pekerja Hamil Tak Sebatas Cuti

“Kami (perusahaan Kokok) juga sepakat bahwa pekerja dan manusia pada umumnya itu harus mengabdi sepenuhnya pada keluarga. Bukan hanya hamba sahaya kapitalisme belaka. Jadi imbang. Uangnya dapet, psikisnya dapet, anaknya juga dapet limpahan kasih sayang yang cukup,” ujar Kokok, yang juga politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu.

Simak obrolan lengkap Kokok Dirgantoro dengan Patresia Kirnandita dari Magdalene berikut ini.

Magdalene: Mas Kokok menetapkan waktu cuti melahirkan yang lebih panjang dari ketentuan undang-undang. Keresahan Mas Kokok terhadap isu keluarga, perempuan, dan anak itu dipicu sejak kapan dan oleh apa?

Kokok Dirgantoro: Dipicu oleh kehamilan istri saya waktu anak pertama. Istri saya masih kerja, lalu dia hamil. Yang tiga bulan pertama itu berat, kan. Saya baca Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu, [waktu cuti] tiga bulan dibagi dua.

Itu kalau yang kondisi fisiknya lemah, tiga bulan bisa habis selama masa hamil saja. Berarti habis lahiran harus masuk. Pada saat itu, istri sering tidak masuk. Kantornya sering telepon. Sementara, istri saya enggak bisa ngapa-ngapain. Lihat cahaya aja pusing. Bawaan masing-masing [perempuan hamil] kan beda.

Ya sudah, akhirnya dia harus resign. Ini berat karena kita jadi single income kan. Akhirnya, saya bilang sama istri saya, suatu hari saya akan punya perusahaan dan saya mau cuti [melahirkannya] enam bulan.

Bagaimana kemudian kebijakan itu diimplementasikan di perusahaan?

Tahun 2015, ada karyawan hamil. Saya bilang ke direksi yang lain, saya mau cutinya enam bulan. [Mereka bilang] Oh, oke. Finance-nya hitung, deh. Kami kan harus siapkan enam bulan gajinya, supaya selama dia enggak masuk, dia tetap punya gaji.

Habis itu kami harus siapkan karyawan temporer untuk pengganti. Berarti double cost, kan. Nah, kami hitung. Ternyata bisa. Tipis, tapi hidup. Kan baru satu yang hamil. Ya sudah, kami jalanin. Terus, pada masa hamil, kalau dia feeling sick, izin, tidak akan dipotong cutinya. Jadi, enam bulan itu diambil di belakang penuh. 

Nah, habis itu saya ngomong, kami akan ada karyawan temporer enam bulan untuk menggantikan yang lagi cuti. Itu karyawan lain malah menolak. Enggak usah, Pak, katanya. Jadi, beban yang cuti di-absorb sama yang kerja. Akhirnya, sebagian [karyawan] ada yang belajar pajak, admin, accounting. Itulah, berjalan akhirnya. Sudah dua kali yang dapat cuti melahirkan. Terus, tahun 2017 kami terapkan cuti ayah. 

Apa ada pro-kontra terkait cuti ayah itu?

Ada. Kalau cuti untuk ibu, lima menit selesai [diputuskan]. Kalau cuti untuk ayah, itu setahun kami berdiskusi karena konsultan utama kami itu laki-laki semua. Manajemennya juga kebetulan laki-laki semua. Jadi, kami harus berpikir, kalau istri kami hamil, kami juga ambil enam bulan, ini kantor pasti suffer. Akhirnya, kami putuskan sebulan, deh. Kami enggak bisa tiga bulan. Sudah dua orang yang ambil [cuti ayah] ini.

Apa kendala lainnya dalam penerapan cuti ayah selain masalah pekerjaan?

Yang jadi masalah di kami itu patriarki. Jadi, kita enggak mau cuti ayah tapi jadi moral hazard. Ayahnya di rumah, tapi malah ngerepotin istrinya. Padahal istrinya lagi hamil, habis melahirkan. Harusnya kan dia [si suami] yang merawat, ya.

Jadi, harus ada konsekuensinya, yaitu mereka harus mau dan bersedia dipantau oleh pemegang saham perusahaan. Apakah dia benar-benar membantu keluarga? Dan dia enggak boleh keberatan kalau kami tanya ke mertuanya, orang tuanya, apakah dia menitipkan anaknya ke orang tua sama mertuanya? Terus, kami juga harus ngomong sama istrinya, apa yang dia lakukan selama cuti. Apakah dia mencuci baju, memasak, atau tidur-tiduran? Susah, Mbak. Susah.

Baca juga: Menjadi Perempuan Buruk Pabrik di Indonesia

Karena karyawan perempuan sedikit dan sedikit juga yang mengambil cuti panjang melahirkan, mungkin enggak terasa. Tapi, kalau laki-laki yang ambil (cuti karena istrinya melahirkan), jadi terasa. Apa ada pertimbangan untung-rugi dari segi penggajiannya?

Saya rasa sih kalau masalah gaji karyawan enggak terlalu pusing. Dampak karyawan ke perusahaan yang saya pusing, karena ada beberapa karyawan kunci yang susah digantikan. Kami kan perusahaan kecil. Itu yang bikin lama. Tapi, sekarang udah lancar, udah ngerti.

Baru-baru ini konsultan utama kami istrinya melahirkan. Dia cuti sebulan. Kantor jalan, tetep. Wah, sudah oke, nih. Tantangan kami adalah kalau kami punya direksi perempuan. Ini belum terjadi, ya. Kalau ada direksi perempuan yang hamil dan melahirkan, berarti kan dia enam bulan cuti, nih. Enam bulan kami harus menggaji direksi yang cuti, terus mengganti orang. Nah, ini yang enggak mudah. 

Ada sebuah penelitian, ternyata banyak yang ambil cuti ayah malah dipakai untuk penelitian, menulis buku, dan lain-lain. Bagaimana menurut Mas Kokok?”

Kalau di kantor saya, itu langsung diberi Surat Peringatan (SP) kedua. Kami enggak ada ampun. 

Berarti termasuk urusan rumah tangga seseorang [ketika laki-laki ambil cuti], itu bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan?

Ya, saya enggak peduli. Pokoknya istrinya, mertuanya, orang tuanya komplain, ya kita sidak. Harus ada tindakan tegas, kalau enggak, semakin lama malah semakin longgar aturannya dan dia bisa seenaknya. Cuti bukannya ngurusin istri, malah minta masakin ini-itu. Gimana sih, istrinya pasti mikir, udah kerja aja daripada ngerepotin

Kami sampai tanya, kamu bisa masak sayur daun katuk enggak? Karena daun katuk itu penting untuk ASI istrinya. Kamu ngerti baby blues enggak? Kamu bisa massage punggung sama lower back yang benar enggak? Di online banyak kok, yang bisa dipelajari. Enggak usah pakai buku atau guru. Saya minta mereka belajar sendiri dan dipraktikkan. Ya, alhamdulillah sih, berjalan.

Feminist Men Allies Support

Sidaknya berapa kali sebulan?

Acak, sih. Bisa dua, bisa tiga, bisa empat. Yang apes kalau rumah karyawannya itu dekat kantor. Waktu itu satu karyawan agak jauh rumahnya. Jadi, kami cuma satu-dua kali ke sana. Kalau kami datang, matanya merah, rambut acak-acakan, capek. Nah, berarti benar [karyawannya mengurus rumah dan anak selama cuti].

Selain cuti ayah dan cuti yang lebih panjang buat ibu, apa ada lagi kebijakan yang berhubungan dengan keluarganya pekerja di perusahaan Mas? Mungkin yang saya pernah dengar, karyawati dikasih excuse kalau anaknya sakit, atau harus ke sekolah ambil rapor. Apa laki-laki diperlakukan sama?

Sama. Boleh ambil rapor. Boleh bawa anak ke kantor. 

Situasinya kondusif kalau karyawan bawa anak? 

Iya. Ada satu tempat khusus untuk anak. Jadi, ada satu kamar steril buat yang lagi mau pumping, atau yang bawa anak karena baby sitter-nya enggak masuk. Kalau sekarang eranya kayak begini, bisa kerja di rumah.

Jadi, kantor Mas juga menerapkan sistem kerja fleksibel?

Pandemi ini mengajarkan saya buat berpikir lebih fleksibel. Karena menurut saya, ketika masuk semua dengan ketika WFH [work from home], [hasil kerjanya] beda tipis, loh. Kalau di kantor itu, infrastrukturnya aja menunjang. Cuma kayaknya, kalau di kantor itu mereka lebih merasa, ini bekerja.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Masih sedikit perusahaan yang menerapkan cuti ayah. Adakah upaya yang bisa dilakukan untuk mendorong supaya kebijakan seperti di kantor Mas bisa menyebar lebih banyak?

Ya, itu politik. Perubahan itu pasti membutuhkan politik. Tapi rasanya, itu harus ada komunikasi antar-partai politik bahwa ini permasalahan serius. Karena di belahan negara yang lain, di Asia Tenggara, kalau saya enggak salah ingat, kita itu tertinggal. Yang lain paling enggak sudah ada tujuh, 10, 15 hari [cuti ayah]. Paling enggak kita bertahaplah. Dari dua hari jadi tujuh atau 14 hari.

Kenapa bertahap? Waktu itu saya diundang ke Kedutaan Besar Swedia. Mereka cuti ayah dan ibu itu bisa setahun apa dua tahun. Nah, cuti ayahnya itu mandatory. Di sana sampai ada istilah papa latte. Jadi, sesama bapak muda bawa anaknya, bawa stroller di taman, sambil minum latte, ngomongin masa depan pas cuti. Jadi, perempuannya bisa balik kerja, laki-lakinya gantian ngurus anak. Jangan semua dibebani ke istri, habis itu dibilang perempuannya tidak punya ambisi buat berkarier. Ya, punya. Sekarang gantian

Terus saya tanya ke wakil duta besarnya, gimana sih, supaya cuti melahirkan bisa tahunan gitu? Kuncinya apa? Katanya, kuncinya itu bertahap. Yang pertama itu enam bulan, kuncinya itu untuk ibu. Habis itu, tiap pergantian rezim, nambah lagi jadi tujuh bulan, delapan bulan. Ini yang ingin saya coba omongin ke mana-mana. Kalau enggak bisa enam bulan, yuk kita ikut konvensi ILO (International Labour Organization) tentang kesehatan maternity, itu 14 minggu, sekitar tiga setengah bulan. Memang enggak revolusioner, tapi menurut saya, bisa jadi lebih tertata.  Menurut saya, cuti itu selalu dibenturkan antara pekerja sama pemilik modal/usaha. [Seharusnya] pemerintah masuknya di situ. Misalnya, dengan cuti melahirkan atau cuti ayah, negara support [penggajian selama cuti] separuh. Pemerintah pusat support 50 persen, daerah 25 persen. Berarti perusahaan 25 persen.

Read More

Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Selain soal keterwakilan perempuan di tubuh partai politik, ongkos politik yang mahal untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat menjadi alasan lain mengapa eksistensi perempuan di panggung politik kurang.

Bupati Jember, Faida, pernah menggambarkan sulitnya mendapatkan rekomendasi partai karena sebagai perempuan dan ia menolak membayar mahar politik dengan jumlah miliaran kepada partai politik. Menurutnya, dukungan publik dan kontribusi besar untuk partai tidak serta merta memberikannya peluang untuk mencalonkan diri kembali.

“Saya pernah merasakan enggak dikasih rekomendasi oleh partai karena saya perempuan dan katanya tokoh agama enggak mau punya pemimpin perempuan. Belum lagi saya enggak mau ngasih mahar bermiliar-miliar untuk dapat rekomendasi,” ujar Faida dalam Diskusi Publik Perempuan Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Pola Kebijakan yang diselenggarakan oleh Cakra Wikara Indonesia (CWI) tahun lalu.

“Mungkin saya bisa terpilih meski enggak bayar mahar tapi itu juga jarang terjadi kepada yang lain. Sementara gaji bupati itu cuman Rp6 jutaan. Dengan puluhan miliar itu sulit jadi pemimpin yang tegak lurus. Itu cara-cara yang tidak terhormat dengan membeli suara,” ia menambahkan.

Mahar politik dengan jumlah fantastis ini sudah menjadi rahasia umum di dunia politik Indonesia. Dari banyak pengakuan para politisi yang gagal ke Senayan, ongkos kampanye bisa mencapai Rp2-3 miliar, sedangkan untuk calon kepala daerah dan bupati bisa mencapai Rp20-25 miliar.

Baca juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Padahal Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) hanya memperbolehkan dana kampanye dari dua sumber, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dana perseorangan untuk calon anggota legislatif adalah maksimal Rp750 juta, sedangkan sumbangan dari badan hukum dan usaha Rp1,5 miliar. Di tingkat pemilihan presiden, dana dari badan hukum maksimal Rp25 miliar serta perseorangan Rp2,5 miliar.

Tanpa Mahar Pun Biaya Politik Sudah Besar

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, tanpa adanya biaya-biaya ilegal seperti mahar dan biaya lain-lainnya pun ongkos kampanye sebetulnya sudah cukup besar. Hal ini karena populasi pemilih yang besar di Indonesia dan kondisi geografis yang luas akan menguras kantong, ujarnya.

“Mahar-mahar politik itu tentu bukan uang yang sedikit. Ditambah dengan biaya operasional kampanye, bayar saksi lah, bayar petugas, belum kalau ada serangan fajar. Meski sebetulnya itu tanda politik yang tidak sehat, namun hal-hal seperti itu sulit sekali dihilangkan,” ujar Titi kepada Magdalene

Dana-dana ilegal tersebut tentu tidak dibayar oleh partai. Semua ongkos politik yang membengkak itu sepenuhnya datang dari uang pribadi para calon kandidat, sehingga tidak heran jika banyak kandidat yang jor-joran mengeluarkan dana agar bisa berkompetisi di panggung politik, ujar Titi.

“Iklim politik yang tidak sehat sepeti ini membuat para politisi kebanyakan datang dari pengusaha atau para elite yang berduit, bukan dari orang-orang yang benar-benar punya visi untuk memajukan rakyat,” ia menambahkan.

Baca juga: Kamala Harris Perempuan Pertama yang Jadi Wapres AS, Tapi Bukan yang Terakhir

Struktur Partai Politik Maskulin dan Elitis

Selain fakta ongkos politik yang selangit, struktur partai politik yang maskulin dan elitis membuat rekomendasi pencalonan kandidat di pemilihan umum maupun Pilkada cenderung elitis, meski sebetulnya setiap anggota memiliki hak yang sama, termasuk perempuan.

“Proses pencalonan politisi dalam partai itu sangat elitis. Rasa kepemilikan terhadap kontestan dan anggota partai itu enggak begitu kuat. Seharusnya dalam proses pencalonan itu ada unsur gotong royong, dan dilihat mana yang punya kapasitas mumpuni,” ujar Titi.

“Proses pencalonan ini menjadikan para anggota yang tidak punya kekuasaan yang kuat dan dana yang kuat cenderung mundur, apalagi kalau perempuan,” ia menambahkan.

Kesadaran politik di Indonesia yang masih rendah menjadi faktor lain sulit terwujudnya proses pemilihan yang murni mempertimbangkan visi misi kandidat. Berbeda dengan negara-negara maju yang memiliki kesadaran politik besar dan mau berkontribusi untuk perubahan. Di Amerika Serikat misalnya, kandidat yang punya misi untuk perubahan masyarakat yang lebih baik bisa maju dengan dukungan dari donasi publik. Hal ini terjadi pada mantan Presiden Barack Obama dan anggota Kongres Alexandria Ocasio Cortez.

Cortez terpilih sebagai perempuan anggota Kongres termuda mewakili New York. Ia mendapat simpati publik karena memiliki pengalaman politik di akar rumput, serta cukup vokal memperjuangkan kelompok-kelompok termarginalkan dan hak perempuan. Kultur politik yang lebih sehat seperti ini lebih membuka ruang bagi orang-orang yang secara serius ingin terjun ke dunia politik untuk perubahan.

Baca juga: Kuota Caleg Perempuan Dipenuhi, Tapi Tak Dijadikan Prioritas

“Di sana politik itus udah jadi persoalan personal dan keseharian. Orang mau mendengarkan dan berkontribusi, jadi orang-orang yang bukan berasal dari elite atau pengusaha punya ruang untuk maju. Sayangnya, Indonesia belum sampai pada tahap itu,” ujar Titi.

Di Indonesia anggapan para kandidat yang maju dalam pemilihan otomatis punya uang untuk membiayai dirinya sendiri, turut melanggengkan masalah ini, tambah Titi.

Menyuburkan Politik Dinasti

Persoalan partai politik yang elitis ini juga berpotensi menyuburkan politik dinasti. Banyak pemimpin daerah perempuan terpilih karena suami ataupun keluarganya punya kekuasaan. Karenanya, tidak bisa dikatakan bahwa perempuan berhasil naik ke posisi atas di dunia politik itu murni punya kepentingan untuk membela hak perempuan. Alasan itu pula yang menjadikan perempuan semakin enggan masuk politik.

“Padahal sebetulnya kalau iklim politik lebih sehat dan partai politiknya mendukung para anggota yang punya misi besar, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang dari akar rumput atau perempuan yang tidak segan terjun ke politik,” ujar Titi.

Konsekuensi lainnya dari ongkos politik yang besar selain meminggirkan perempuan adalah makin suburnya benih-benih korupsi ketika kandidat terpilih. Korupsi menjadi jalan pintas untuk menutupi pengeluaran selama masa kampanye yang membengkak.

“Semuanya itu elitis, selama ikatan proses elitis dengan struktur/anggota partai itu enggak kuat dan dana operasional politik yang mahal, dunia politik akan terus menjadi arena mereka yang punya uang saja,” kata Titi.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Sumatra Barat dikenal dengan posisi perempuan yang kuat dalam masyarakatnya, karena menganut sistem matrilineal. Masyarakat suku Minangkabau percaya dengan konsep Bundo Kanduang, di mana perempuan memiliki peran sentral sebagai penerus keturunan, pewaris harta, penyimpan hasil ekonomi, pemilik rumah gadang (tempat kediaman), dan penentu keputusan.

Namun sayangnya, posisi perempuan yang kuat itu berbanding terbalik dengan keterlibatan mereka di bidang politik. Sumatra Barat adalah salah satu wilayah dengan partisipasi perempuan dalam politik yang masih rendah. Sejak 2004, hanya ada lima orang atau setara dengan 9,09 persen anggota perempuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) yang terpilih.

Kendati sempat mengalami kenaikan pada periode 2009-2014 menjadi tujuh orang (12,72 persen), namun angka itu kembali turun di periode 2014-2019 menjadi enam orang. Bahkan, di periode 2019-2024, diketahui hanya ada empat anggota DPRD perempuan di Sumatra Barat yang terpilih.

Di level pemimpin daerah pun menunjukkan angka yang sama. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) periode 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 kabupaten di Sumatera Barat, wali kota dan bupati terpilih seluruhnya adalah laki-laki.

Kenyataan rendahnya partisipasi perempuan di ranah politik ini cukup membuktikan bahwa budaya matrilineal kepemimpinan perempuan masyarakat Sumatera Barat hanya berlaku dari segi kultural atau adat masyarakat Minangkabau saja, sedangkan di tatanan politik yang lebih formal tidak begitu berpengaruh.

Baca juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Budaya Matrilineal Minangkabau: Pergeseran Posisi Bundo Kanduang

Akademisi Universitas Jayabaya, Jakarta, Nurwani Idris, dalam artikel jurnal berjudul “Perempuan Minangkabau dalam Politik” (2010), menyatakan bahwa budaya masyarakat Minangkabau yang egaliter dan setara, nyatanya tidak punya pengaruh signifikan dalam membangun keterwakilan perempuan dalam politik. Meskipun sudah didukung dengan politik afirmasi ketersediaan 30 persen tempat bagi perempuan.

Menurutnya, keterbatasan peran pemimpin perempuan masyarakat Minangkabau yang hanya berlaku secara kultural itu tidak terlepas dari pengaruh periode kekuasaan di Indonesia. Dalam sejarah Minangkabau, perempuan sangat berperan dalam berbagai urusan publik sebagai pengontrol kekuasaan.

Hal ini terlihat dari banyaknya tokoh perempuan pada masa lalu yang merupakan tokoh publik yang diakui dan punya pengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah. Sebut saja, Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rasuna Said, dan Rahmah El Yunusiah. Ketiganya merupakan tokoh sejarah yang diakui secara nasional punya misi sangat progresif dalam memajukan nusantara di masa lampau.

Tetapi menurut Nurwani, dalam tiga dekade terakhir ini, peran perempuan tersebut mengalami penurunan, bahkan bisa dikatakan hilang. Hal ini akibat proses pemarginalan yang sangat panjang, mulai dari masa kolonialisme Hindia Belanda, hingga Orde Baru dan sekarang. Peran mereka secara perlahan terus bergeser dan direduksi, tulisnya.

“Khususnya pada masa Orde Baru di Indonesia, pola sentralistis yang dipraktikkan sangat mereduksi peran politik perempuan Minangkabau. Belum lagi faktor sosial dan agama yang tidak mendukung perempuan dalam politik, maupun peluang mereka untuk mendapatkan kedudukan sebagai pemimpin daerah,” tulis Nurwani.

Posisi perempuan yang kuat dalam sistem matrilineal sekarang ini hanya diartikan sebatas pada peran domestik perempuan dan adat belaka. Kepemimpinan mereka hanya bersifat personal (personal effort), belum sampai pada gerakan politik progresif yang dapat membawa perubahan pada posisi perempuan di ranah publik. Kekuasaan perempuan Minangkabau masih berkutat pada peran ganda sebagai seorang ibu dan pemimpin adat, terkait dengan budaya patriarkal yang membatasi ruang perempuan.

“Mereka jadinya tidak mempermasalahkan siapa pemimpin daerah yang secara formal terpilih, karena posisinya sebagai perempuan pemimpin adat dan keluarga itu akan tetap sama. Ini yang menjadi salah satu faktor kenapa kepemimpinan perempuan di Sumatera Barat masih belum sampai pada pergerakan kolektif dan kesadaran politik,” tulis Nurwani.

Minat dan motivasi politik yang rendah itu menyebabkan kesadaran terhadap pentingnya perempuan menduduki kepemimpinan politik juga rendah.

Baca juga: Masalah Perempuan Kepala Daerah dan Anggota DPR: Jumlah dan Kualitas

Konservatisme Agama Jadi Penghambat Perempuan Sumbar

Konservatisme agama di Sumatra Barat juga berperan penting dalam hal dukungan perempuan di bidang politik. Baik calon legislatif maupun calon pemimpin daerah perempuan sering kali menghadapi kampanye hitam yang menyebutkan bahwa dalam ajaran agama Islam, perempuan tidak seharusnya menjadi imam atau pemimpin.

Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang mencalonkan diri menjadi Wali Kota Padang pada 2013 misalnya, merasa kampanye hitam yang membawa dalil agama itu cukup menghambat dirinya untuk maju ke Pilkada Sumatera Barat.

“Beberapa kali saya terhambat karena pemahaman soal imam itu. Padahal kita tidak dalam rangka ibadah salat, tetapi ibadah yang lain,” ujar Emma seperti yang dikutip dalam artikel Magdalene.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan isu agama dalam politik Sumatera Barat memang sudah lama terjadi, namun semakin menguat semenjak polarisasi politik setelah Pemilihan Presiden 2019 lalu, sehingga berakibat pada menurunnya jumlah perempuan yang berhasil terpilih menjadi DPD.

“Kalau kita lihat kan politiknya cenderung konservatif, apalagi setelah Pilpres 2019. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama,” ujar Titi kepada Magdalene (8/7/2020).

Baca juga: Mahalnya Ongkos Politik Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Partai yang Masih Elitis dan Peluang Perempuan Sumbar

Kampanye hitam dengan narasi agama biasanya tidak akan menjadi isu besar jika calon pemimpin daerahnya merupakan bagian dari politik kekerabatan atau sang calon punya basis massa yang besar.

“Masih sangat elitis, misalnya dia istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai. Atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan,” ujar Titi.

Isu sistem partai politik yang elitis dan ongkos politik selangit sebetulnya bukan permasalahan baru. Keduanya akan terus menjadi batu sandungan besar bagi perempuan untuk terjun ke politik. Padahal, perempuan Sumatera Barat punya peluang yang besar untuk menjadi pemimpin.

Hasil survei Spektrum Politika pada Juli 2020, yang melibatkan 1.220 responden di 19 kabupaten kota di Sumatra Barat menunjukkan, hampir 56,9 persen responden mengatakan bahwa adat dan budaya Minangkabau mendukung perempuan beraktivitas dalam kegiatan politik. Selain itu, 60,3 persen responden setuju bahwa perempuan mampu bersaing dengan laki-laki.

Titi mengatakan bahwa peluang besar perempuan Sumatra Barat tersebut bisa dioptimalkan jika partai politik mau membenahi tata kelola internal partai yang masih mengedepankan elite sebagai penentu proses kontestasi. Selain itu, partai harus mau lebih mengedukasi perempuan-perempuan yang punya basis masa yang besar di provinsi itu

“Sistem di internal partai harus diperbaiki, termasuk perekrutan kader partai perempuan. Dan tentu edukasi politik dari parpol perlu berjalan ke masyarakat. Banyak perempuan yang memiliki basis massa besar dan sangat berpotensi tetapi mereka minim edukasi politik,” kata Titi.

Read More

Suzy Hutomo dan Bisnis Ramah Lingkungan, Ramah Gender

Mengembangkan The Body Shop Indonesia, sebuah perusahaan produk kecantikan yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip ramah lingkungan sekaligus kesetaraan gender, bukanlah pekerjaan yang mudah. CEO dan Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia, Suzy Hutomo, membagikan kisah bagaimana ia, bekerja sama dengan suaminya, berjuang membesarkan perusahaan itu sejak lebih dari 20 tahun lalu.

Beberapa pelajaran penting soal bisnis maupun soal kehidupan berhasil dipetiknya, hingga mengantarkan Suzy menjadi pribadi yang bertekad untuk membuat organisasi atau perusahaan yang ramah terhadap lingkungan atau planet, ramah terhadap pelanggan maupun pekerjanya, tapi juga tetap menghasilkan keuntungan.

“Harus seimbang juga antara melakukan hal yang baik dan meraih keuntungan, supaya kita bisa terus melakukan hal yang baik,” ujarnya dalam wawancara dengan Magdalene baru-baru ini.

Jadi saya melihatnya itu satu paket ya. It’s  planet, people, profit. Dan saya yakin bahwa di masa depan, inilah arahnya. It’s going to be about businesss yang truly sustainable, karena sudah memperhatikan unsur people and also planet,” Suzy menambahkan.

Ia juga mengatakan bahwa hubungannya dengan sang suami yang setara dan sarat akan nilai kerja sama merupakan salah satu kunci kesuksesannya membesarkan The Body Shop Indonesia. Meski saat ini Suzy yang menjadi penanggung jawab penuh, tapi selama hampir dua puluh tahun lamanya, Suzy membangun perusahaan ini bersama suaminya.

“Kalau saya lebih baik dalam hal tertentu, ya saya yang tanggung jawab. Kalau dia lebih baik dalam hal tertentu, ya dia yang tanggung jawab. Tidak ada semacam power play,” ujarnya.

“Itu mungkin suatu hal yang membuat perusahaan kami cukup sukses, karena kami berdua tidak begitu menerima juga kalau orang lain bermain politik. Atau antara kami ada sesuatu yang tidak terbuka. Itu semua harus lebih didiskusikan dengan transparan,” ujar Suzy.

Berikut adalah cuplikan obrolan Suzy Hutomo dengan Devi Asmarani dan Hera Diani dari Magdalene.

Baca juga: Martha Tilaar dan Pelajaran Penting Soal Perempuan Pengusaha

Magdalene: Menurut Ibu, dari pengalaman dan pengamatan, apa saja sih hal yang harus dimiliki perempuan yang ingin menjadi pemimpin?

Suzy Hutomo: Saya kira yang pertama kali harus diketahui adalah, you’re worth it. Jadi harus punya keyakinan bahwa perempuan sudah earn the spot to be there. Setiap perempuan harus yakin bahwa mereka mempunyai hak untuk duduk di meja leadership. Karena kalau belum merasa percaya diri untuk berada di posisi itu, itu yang sering jadi sulit untuk menjadi perempuan pemimpin.

Yang kedua adalah siap untuk menanggung tanggung jawab sebagai pemimpin. Sebagai perempuan pemimpin memang masih ada tantangan yang lain. Dan kita siap untuk menghadapinya. Tidak akan mudah. Kita tahu ada mansplaining, sexism. Tapi ya itu adalah bagian dari lingkungan yang perlu kita ubah. Kalau buat saya sih, we need to change that. Kita tidak menerimanya, tapi kita mengubah perilaku kita, dengan cara yang baik. Surprisingly, attitude dari para pria akan berubah juga. Mereka akan lebih respect sebenarnya.

Itu yang saya lihat sih, pengalaman saya. Jadi  kalau kita percaya diri dan tahu bahwa kita pantas, pelan-pelan kita bisa mengubah relasi yang tidak setara secara gender itu. Tidak mudah memang, tapi bisa dilakukan. Tentu saja dengan orang-orang yang masih tidak mau berubah, lebih baik kita disassociate.

Salah satu tantangan terbesar perempuan pekerja adalah bagaimana perempuan bisa menaiki tangga karier, tapi pada saat yang sama juga harus membawa beban ganda yang mereka miliki, terutama tanggung jawab sosial untuk mengurus rumah tangga. Dari The Body Shop Indonesia sendiri, adakah kebijakan yang women friendly dan bisa mendukung perempuan untuk bisa menghadapi tantangan ini?

Yang pertama tentu saja kita punya ruang laktasi. Kita juga punya budaya yang cukup ramah perempuan, dalam arti tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga. Kalau anak sakit, kalau mau pulang ke rumah, silakan. Basically, you need to prioritize your child.

Dan kita enggak pernah mau meeting malam-malam. Itu salah satu hal yang sangat penting. Jadi meeting, selesailah dalam waktu yang pas begitu, jam lima atau whatever. Tapi pulanglah ke rumah. Itu buat kami, we encourage people to go home. Dan kami sedang dalam proses tanda tangan dengan UN Women, ada dokumen-dokumen tentang kebijakan untuk perempuan, saat ini sedang kita proses untuk menetapkan kebijakan yang lebih formal untuk memastikan ada kesetaraan gender di dalam perusahaan kita. 

Baca juga: 5 Drama Korea yang Tampilkan Ragam Karier Perempuan

Ada beberapa penelitian yang mengemukakan bahwa bagaimana nilai-nilai feminin yang diasosiasikan dengan perempuan, seperti empati, kolaborasi, ternyata membuat kepemimpinan lebih efektif. Bagaimana komentar Ibu tentang hal ini?

Itu betul sekali. Karena, selama ini mungkin karena patriarki, digambarkan bahwa kesuksesan itu sangat maskulin. Tapi kenyataannya tidak. Ketika kita merekrut manajer, terutama laki-laki, kita ingin laki-laki yang progresif, yang memiliki kualitas empati, caring, being kind, and listening. Bukan cowok-cowok yang dibesarkan dalam kultur yang sangat maskulin dan agresif.

Dan itu menjadi pertimbangan karena kami adalah organisasi yang ramah perempuan, dan kita butuh semua orang, termasuk laki-laki, untuk tahu bagaimana memperlakukan perempuan secara benar.

Ibu dulu mengenyam pendidikan di all-girls school?

Saya sempat sekolah di Singapura. Waktu SMP saya di all-girls school. Lalu switch lagi ke yang mix lagi. 

Menurut Ibu, apa itu punya pengaruh besar terhadap karakter dan perspektif Ibu? Karena ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan yang bersekolah di sekolah khusus perempuan biasanya lebih percaya diri, lebih resourceful, dan well-rounded.

Waktu saya di sekolah khusus perempuan itu umur saya 11-16 tahun lah kira-kira. Itu sih menurut saya cukup menolong, karena lebih fokus ke pencapaian di sekolah, tidak ada distraksi dengan cowok dan lainnya. Memang ada plusnya dalam hal itu.

Tapi di pihak lain, anak saya enggak di sekolah khusus perempuan, tapi dia percaya diri. Karena keluarga dan lingkungannya tidak membedakan perempuan dan laki-laki.

Jadi menurut saya, kalau dalam kultur yang masih membedakan perempuan dan laki-laki, tentu saja berguna jika kita sekolah di sekolah khusus perempuan. Tapi jika keluarga dan lingkungan sudah cukup setara secara gender, efeknya tidak akan terlalu signifikan. Karena saya lihat anak saya di sekolah campur itu dia tetap asertif.

Suzy Hutomo The Body Shop Indonesia Ramah Gender
CEO dan Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia, Suzy Hutomo

Ibu sudah lama tertarik dengan lingkungan hidup. Apa yang mendorong ketertarikan ini, dan bagaimana sektor bisnis seharusnya bisa berperan dalam melestarikan lingkungan?

Mungkin karena orang tua saya juga cinta lingkungan dalam cara-cara mereka. Orang tua saya dari Makassar, jadi umumnya waktu kecil tuh kita kalau akhir pekan, kalau liburan, kalau enggak mancing ke laut, pasti ke gunung. Jadi untungnya dulu belum ada gadget, jadi mainnya selalu di alam.

Saya tuh memang dari dulu suka di alam. Pelan-pelan kita sekolah mengerti lebih banyak tentang binatang, that was my world as a child. Jadi merasa sangat dekat dengan hal-hal yang natural. Dan kembali lagi Indonesia yang kaya keberagamannya. Itu yang membuat saya cukup kagum dengan apa yang kita punya ini. Lalu kemudian muncullah masalah-masalah. Mulai kita tahu dari climate change, hilangnya biodiversity yang begitu tajam, semakin hari semakin banyak. Isu-isu itu membuat saya gelisah.

Dan saya berpikir, gimana sih bisa hidup dengan berkelanjutan? Pasti bisa lah. Apalagi saya seorang perempuan yang punya keluarga, saya dari kelas menengah, saya kelas menengah, saya mampu beli panel surya, dan lain-lain. Kalau saya sendiri tidak melakukannya untuk mengurangi jejak karbon saya di planet ini, bagaimana saya bisa meminta orang lain melakukannya?

Di dalam perusahaan kami juga melakukannya. Bahkan sekarang kami sedang menuju circular economy, di mana botol-botol yang dikembalikan akan kita buat jadi barang lain yang bisa kembali lagi ke pembeli. Dan di rumah juga.

Jadi mungkin kekhawatiran saya adalah bagaimana kita bisa hidup secara berkelanjutan di planet ini. Itu pertanyaan besar yang selalu saya pikirkan. 

Apa ini jadi salah satu consideration Ibu untuk tidak tinggal di Jakarta? 

Dua sih (pertimbangannya). Sebenarnya waktu di Jakarta sudah mulai, rumah saya juga sudah punya panel surya, (saya) ngurus sampah. Lalu saya tuh lahir di Jakarta, jadi sebetulnya masih oke di Jakarta. Tapi suami saya enggak suka di Jakarta, karena terlalu hiruk-pikuk dan semakin macet. Dia tidak merasa tenang di Jakarta. Dan anak-anak juga, kita senang dekat dengan alam.

Baca juga: Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

Jadi kayaknya pindah ke Bali itu opsi yang sangat baik karena semua bisa didapatkan. Dekat dengan alam karena kami tinggal tidak jauh dari pantai; bisa banyak waktu bersama karena enggak macet, dan transisi ke periode dalam hidup saya di mana I have more time to think.

Dan betul juga, karena di sini bisa di-explore lebih banyak tentang sustainability. Ada waktu dan ruang untuk itu. 

Followers dan pembaca Magdalene lebih banyak perempuan muda, Gen Z dan Milenial. Apa pesan Bu Suzy agar mereka bisa menghadapi dunia yang semakin berat ini?

Pesan saya adalah to be confident about the future. Karena meskipun kita sekarang banyak masalah, sebenarnya ada perubahan yang luar biasa yang sudah berjalan. Yaitu sudah dimulai dan ada kesadaran tentang masalah lingkungan dan sosial. Ini satu hal yang terjadi, padahal saya tidak harapkan. Karena untuk sekian lama, banyak orang yang meremehkan kalau kita jadi environmentalist. Tapi sekarang berbeda. Jauh lebih banyak orang yang tertarik dengan isu-isu lingkungan dan sosial, termasuk kesetaraan gender. Jadi saya pikir, waktunya sudah tiba. Untuk semua anak muda di sana, ini momen Anda untuk betul-betul memahami mengenai isu-isu ini di dunia. Dan karena dunia juga sudah digital, begitu banyak yang bisa Anda lakukan untuk belajar, mempengaruhi orang lain untuk mengerti tentang isu-isu, dan juga mengenai bagaimana Anda bisa stand up for these issues because you can create contents. Or to make your voice heard online. It’s a wonderful time in the next 10 years

Read More
pengusaha perempuan

11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

Jika kamu mendengar kata start-up, apa yang langsung muncul di kepala? Mungkin banyak yang langsung berpikir bahwa ini industri baru yang masih berada dalam proses berkembang, dan dirintis serta dikuasai oleh pengusaha laki-laki.

Nah, di Indonesia sudah lumayan banyak usaha baru yang sukses menembus dunia start-up dengan ide-ide dan eksekusi brilian yang dibangun oleh pengusaha perempuan.

Berikut adalah beberapa nama para perempuan pengusaha ini, wirausaha perempuan yang sukses yang bahkan sampai ke luar Indonesia.

Baca Juga: Tantangan Perempuan dalam Sektor Bisnis dan Pemerintahan

1. Perempuan Pengusaha Martha Tilaar

Memilih jadi pengusaha perempuan di dunia yang maskulin ini memang tidak bisa dibilang gampang. Ada saja rintangan serta hambatan yang datang, baik dari dalam maupun luar lingkungan kita sendiri. Hal itu juga dihadapi oleh Martha Tilaar, pendiri perusahaan kosmetik dan berbagai layanan kecantikan Martha Tilaar Group.

Martha memulai bisnisnya dari nol, mulai dari modal yang sedikit, dengan mengubah garasi rumahnya sendiri. Biarpun ia lulusan akademi kecantikan di Amerika Serikat, yang dijalaninya saat mengikuti suami, akademisi H.R. Tilaar, melanjutkan studi, jalan ketika pulang ke tanah air tidaklah gampang.

Martha, yang lahir pada 1937 dengan nama Martha Handana, mengatakan bahwa cara pandang, sistem, dan budaya di masyarakat terkait perempuan sering kali menyandung langkah mereka dalam berkarier.

2. Pengusaha Perempuan Catherine Hindra Sutjahyo

Kalian pasti sudah dengar atau malah sudah sering berbelanja di marketplace Zalora, kan? Nah, perempuan yang biasa dipanggil Catherine ini termasuk perempuan kreatif yang ada di belakang layar Zalora, tempat belanja produk fashion secara online yang resmi beroperasi di dalam negeri mulai sekitar tahun 2012. Buat membangun usahanya ini, ia melakukan sebuah dedikasi besar yaitu keluar dari perusahaan multinasional.

3. Pebisnis Perempuan Indonesia Intan Anggita Pratiwie

Sekarang ini sudah banyak orang yang melakukan pekerjaan yang sangat bertolak belakang dari background pendidikan secara formal, tidak terkecuali buat seniman daur ulang yang bernama Intan Anggita Pratiwie. Dia merupakan jebolan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, yang akhirnya berhasil mendapatkan gelar master di bidang seni pertunjukan dari Institut Musik Daya Indonesia. Dunia daur ulang yang ia pelajari saat ini adalah passion dari dahulu yang sangat ia dapatkan karena sering memperhatikan kegiatan kedua orang tuanya. 

“Ayah saya refurbished mobil lama seperti baru lagi. Ibu saya melakukan vermak baju,” kata Intan lewat surel kepada Magdalene

Rasa penasaran dan ketertarikan mengenai isu pengurangan sampah fashion selalu mendapatkan dukungan dari sang suami, Aria Anggadwipa. Bersama Aria, Intan pernah mengadvokasi berbagai isu di Indonesia Timur, yang didokumentasikan di website menujutimur.com (yang sekarang sudah tidak aktif). Supaya kegiatan tersebut bisa terus berjalan, Intan akhirnya membuat brand pakaian daur ulang Sight From The East, yang sekarang ini sudah berubah nama menjadi Sight From The Earth.    

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

4. Pengusaha Perempuan Sukses di Dunia: Susi Pudjiastuti

Walau dia sering dianggap remeh karena cuma lulusan SMP, Susi Pujiastuti enggak pernah tersinggung. Pada saat pertama kali ditunjuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, sosok Ibu Susi menuai polemik. Alasannya enggak cuma karena karakternya yang eksentrik, tapi juga background pendidikannya yang enggak biasa buat seorang menteri. Ya, kita mengetahui kalau beliau pendidikan terakhirnya SMP. Namun dia bisa memperlihatkan kalau hal tersebut sama sekali tidak menghambatnya dalam mengerjakan tugas-tugas kementerian yang berat.

Susi tidak malu mengakui kekurangannya—sebuah pelajaran yang bagus buat kita. Kita tidak mesti malu dengan kekurangan yang dimiliki, malah hal tersebut menjadi pemicu untuk dapat berbuat yang lebih lagi. Tidak cuma berhasil menjadi seorang pengusaha, Ibu Susi faktanya juga bisa melesat menjadi seorang menteri. Kisah ini juga bisa menjadi inspirasi buat kita, khususnya buat kaum perempuan.

5. Perempuan Pebisnis Claudia Wijaya & Yenti Elizabeth

Awalnya BerryBenka cuma online shop kecil yang dibuat oleh dua perempuan ini sekitar pada tahun 2011. Sesudah berproses serta bertransformasi, BerryBenka sukses berubah jadi marketplace yang menghidangkan segala keperluan perempuan dan laki-laki yang ingin tampil maksimal. Sekarang ini BerryBenka sudah mendapatkan investasi lebih dari Rp60 miliar.

6. Pengusaha Perempuan Muslimah Diajeng Lestari

HijUp merupakan online shop yang dibuat oleh Diajeng Lestari. Berbeda dengan toko online yang lain, HijUp berfokus pada penjualan baju serta aksesoris yang khusus menyasar perempuan muslim Indonesia. Diajeng memulai bisnisnya ini dari 2011 dan ia pun akan memulai ekspansi ke pasar luar negeri.

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

7. Pengusaha Sukses Donna Lesmana

Untuk kalian yang sedang mencari koleksi lingerie model paling baru, kalian bisa mencoba melirik lingerie di online shop milik Donna, Lolalola. Usaha online ini bisa dibilang berhasil; dimulai pada tahun 2014 dan sudah bekerja sama dengan berbagai perusahaan yang ada di Hong Kong. Dan yang pasti, kemungkinan Donna bisa dengan cepat memperluas bisnisnya ini di kancah internasional pun sangat bisa terjadi.

8. Pebisnis Perempuan Sukses Grace Tahir

Direktur Utama Rumah Sakit Mayapada ini memperluas sayapnya dalam dunia kesehatan dengan membuat PilihDokter. Usaha online yang dimulai pada sekitar tahun 2014 ini menyodorkan bantuan buat berbagai masalah kesehatan, dengan cara menjadi semacam tempat buat para pasien serta dokter untuk bertemu secara online untuk konsultasi.

9. Perempuan Sukses Nabilah Alsagoff

Doku adalah tempat pembayaran secara online yang dibangun sekaligus dipimpin oleh Nabilah. Bisnis ini diterima hangat oleh berbagai perusahaan yang sudah besar di Indonesia dan Asia, seperti AirAsia dan Sinar Mas.

Mereka tidak ragu mempercayakan masalah pembayarannya pada perusahaan yang didirikan oleh perempuan muda ini. Rahasia yang membuatnya berhasil adalah berani untuk menghadapi risiko dan menggapai mimpinya, bahkan saat itu ia harus berhenti dari pekerjaan lamanya di Kementerian Pariwisata Indonesia.

10. Entrepreneur Perempuan Veronika Linardi

Perusahaan start-up yang dibuat Veronika adalah website Qerja, yang memberikan data tentang pendapatan atau gaji di perusahaan-perusahaan yang ada di dalam negeri. Para job seeker maupun yang sudah jadi karyawan dapat saling bertukar informasi tanpa memberikan identitas di Qerja.

Pengetahuannya dalam bidang sumber daya manusia memberikan rasa percaya diri untuk membuat usaha online ini. Veronika juga memiliki perusahaan pencari kerja yang ia pimpin sendiri dari sekitar tahun 2006, yaitu Linardi Associates.

11. Anne Patricia Sutanto Pebisnis Perempuan Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Anne Patricia Sutanto tak punya niat untuk berkecimpung dalam dunia bisnis. Waktu remaja, ia kepingin masuk bidang hukum dan bertekad masuk sekolah hukum di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Akan tetapi, sang ayah meminta Anne buat sekolah ke Amerika Serikat.

“Saya berpikir ingin jadi bio-technologist karena ayah saya itu founder dari PT Kayu Lapis Indonesia. Ternyata paling cocok untuk jadi bio-technologist itu, S1-nya either harus teknik kimia, kimia atau biologi. Dari situ saya memutuskan untuk mengambil teknik kimia,” ujar Anne pada How Women Lead.

Di Amerika, ia bersekolah di University of Southern Californiia (USC) di tahun 1990. Ketika menginjak semester 2, ayahnya mengalami stroke. Akibatnya, perusahaan harus dijalankan oleh anak-anaknya, namun saat itu kakak Anne tidak bersedia.

“Saya ngomong ke Ayah, saya akan coba untuk melanjutkan (bisnis), tetapi saya mau lulus terlebih dahulu. Setelah itu, saya langsung ketemu rektor saya dan menyampaikan kalau saya ingin cepat lulus. Saya akhirnya dibuatkan program khusus dengan syarat GPA saya harus di atas 3,” ujar Anne.

Pada tahun 1992 Anne lulus kuliah dan sesuai dengan janjinya pada sang ayah, ia pun langsung bekerja di Kayu Lapis. Ia langsung menghadapi tantangan karena dianggap tidak memiliki latar belakang bisnis.

“Saat itu om saya kurang menerima (keterlibatan saya) karena sebab itu. Ditambah lagi ia menganggap, saya ini perempuan, tahu apa soal bisnis laki-laki. Padahal saat itu saya menikmati pekerjaan saya yang harus ke lapangan seperti ke Kalimantan, Papua,” ujarnya.

Bagaimana, nih? Dari pengusaha perempuan yang ada di Indonesia yang kita bahas di atas ini, semua keren sekali, ya? Kamu pun dapat memulai bisnis sendiri. Jangan ragu serta terlalu banyak memikirkan pertimbangan, yang malah membikin kamu menjadi jauh dari mimpi. Asal ada tekad serta komitmen, kamu pasti dapat menjadi seperti salah satu di antara mereka. Siapa tahu nanti berikutnya namamu juga tertulis di atas!

Read More

Nama Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah yang Perlu Kalian Ketahui

Daerah Jawa Tengah memiliki sejumlah pahlawan perempuan yang ikut berjuang untuk mendapatkan kedaulatan serta kemerdekaan negeri ini waktu zaman penjajahan. Sebagian dari nama mereka mungkin sudah sering terdengar, tapi sisanya mungkin belum banyak kita kenal. 

Saat kalian diminta untuk menyebutkan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, yang kalian ingat mungkin cuma Kartini. Padahal masih ada beberapa lagi pahlawan perempuan dari Jawa Tengah, dan semuanya memiliki kisah hidup yang luar biasa. 

Yuk kita bahas pahlawan perempuan Jawa Tengah lainnya.

1. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang

Pahlawan perempuan yang andal dalam membuat taktik dan strategi perang ini bernama lengkap R. A. Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Pahlawan perempuan asal Jawa Tengah ini lahir di Serang, Jawa Tengah, pada tahun 1752. Pada awal abad 19, Belanda datang dan menggempur wilayah Jawa, menjarah tanah pribumi. Inilah yang mendorong terjadinya Perang Diponegoro dari tahun 1825 sampai dengan 1830.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Saat terjadinya pertempuran itu, seorang Nyi Ageng Serang memiliki andil untuk bertempur. Selain ikut membuat taktik perang, misalnya dengan mendukung Pangeran Diponegoro sebagai penasihat dalam siasat pertempuran, beliau juga ikut mengomando tentaranya dalam pertempuran secara gerilya di Kampung Beku. Padahal pada waktu itu umur beliau sudah menginjak 73 tahun!

Nyi Ageng Serang terus bertempur sampai energi terakhirnya. Karena ketahanan fisiknya terus mengendur, beliau akhirnya mundur dari medan perang dan meninggal dunia di usia 76 tahun. 

2. Pahlawan Perempuan Indonesia: RA Kartini

Pahlawan Perempuan Jawa Tengah

Raden Ajeng Kartini merupakan nama pahlawan perempuan dari Jawa Tengah yang populer sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia. Kartini lahir di kota Jepara tanggal 21 April 1879. Ia adalah tokoh perempuan Jawa serta pemrakarsa kebangkitan perempuan pribumi. Ia mendorong perempuan untuk mendapatkan hak yang sama untuk bisa mendapatkan ilmu pengetahuan atau pendidikan sama seperti laki-laki.

Kartini waktu kecil pernah bersekolah di Europese Lagere School (ELS) sampai usia 12 tahun. Ia harus berhenti sekolah karena ia akan dinikahkan. Meski demikian, walaupun sudah tidak bersekolah lagi, Kartini tetap terus belajar dan membuat surat dengan bahasa Belanda dan dikirimkan ke sahabatnya yang ada di Belanda.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Kartini sangat kagum dengan pola pikir perempuan yang tinggal di Eropa, serta kebiasaan mereka membaca buku, surat kabar, serta majalah. Dari sanalah semangatnya untuk memajukan harkat perempuan Indonesia semakin menyala. Ia ingin agar para perempuan bisa mendapatkan kemandirian, persamaan hukum, dan mendapatkan edukasi serta kedaulatan yang sama.

Kartini tak cuma populer di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, terutama Belanda. Sayangnya, pada 17 September 1904, Kartini menemui ajalnya setelah melakukan persalinan anak pertama. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang merupakan gabungan dari banyaknya tulisan yang dibuat Kartini secara pribadi untuk rekan-rekannya yang berada di Eropa, menginspirasi banyak perempuan. Sosok Kartini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962.

3. Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah: Siti Walidah

Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1872. Ia adalah anak perempuan dari tokoh muslim terkemuka dan penghulu keluarga keraton, yakni K.H. Fadhil. 

Sejak belia, sosok Siti Walidah tidak memperoleh edukasi atau pendidikan formal. Ia hanya mendapatkan ilmu agama dari orang tua. Ia kemudian menikahi sepupunya yang bernama K. H. Ahmad Dahlan dan melahirkan enam orang anak. 

Baca Juga: 6 Pahlawan Perempuan Muslimah Asal Indonesia yang Jarang Diketahui

Setelah menikah, sosok Siti Walidah lebih masyhur dengan panggilan Nyi Ahmad Dahlan. Suaminya dapat dibilang merupakan sosok pemimpin agama yang punya sikap sangat revolusioner, yang menuai kecaman dan bantahan akibat upaya modernisasi yang ia lakukan. 

Masa Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan

Nyai Ahmad Dahlan memiliki khazanah ilmu yang sangat luas, terutama karena ia sangat akrab dengan beberapa tokoh Muhammadiyah pelopor pemimpin bangsa yang lain sekaligus sahabat seperjuangan sang suami.

Sekitar tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mulai membuat kelompok pengajian perempuan Sopo Tresno, semacam organisasi keperempuanan yang didasari agama Islam. Organisasi itu berubah nama menjadi Aisyiyah, organisasi Islam buat para perempuan, tepat pada malam  Isra Mi’raj, pada tanggal 22 April 1917. Setelah berjalan 5 tahun, Aisyiyah resmi menjadi elemen dari Muhammadiyah.

Akhir Hayat Nyai Ahmad Dahlan

Nyai Ahmad Dahlan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada 31 Mei 1946. Untuk mengenang seluruh jasanya dalam mengenalkan dan memperluas ajaran Islam serta ikut membantu mendidik perempuan pribumi, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar kehormatan kepada Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Perempuan Indonesia didasari pada Keputusan Presiden RI.

Read More
Buku sains anak

Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

Penulis: Dr. Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell

Dalam buku sains untuk anak, bias gender masih sangat kuat dan representasi perempuan masih sangat rendah. Hal ini bisa kita indikasikan, misalnya, saat meminta anak-anak untuk menggambar seorang ilmuwan. Belajar dari buku anak yang mereka dapat, kemungkinan besar anak-anak menggambar sosok laki-laki. Hal ini terjadi karena masih kuat bias gender yang berlaku di masyarakat.

Studi kami tentang gambar dalam buku-buku sains anak-anak mengungkapkan bahwa perempuan secara signifikan kurang terwakili. Kami memeriksa foto-foto dan ilustrasi dalam buku sains anak. Dalam dunia fisika khususnya, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan. Gambar yang ada dalam buku tersebut memberikan impresi bahwa sains adalah subjek untuk laki-laki, dan tidak ada penghargaan kepada perempuan dalam karier di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

Teori-teori perkembangan menjelaskan bahwa anak-anak mempelajari bias gender dan harapan gender untuk membantu mereka merespons sesuai dengan lingkungan sosial mereka. Hal ini memengaruhi pemahaman mereka akan siapa mereka dan mendorong mereka untuk berperilaku dengan cara yang konvensional bagi gender mereka.

Gambar-gambar laki-laki dan perempuan dalam buku sains anak berkontribusi dalam harapan tersebut dengan mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok bagi tiap gender. Hal tersebut mendorong mereka untuk mematuhi stereotip karier gender yang berlaku.

Untuk mengatasi hal ini, tokoh panutan perempuan harus terlihat dalam buku-buku untuk membantu mengembangkan minat anak-anak perempuan dalam sains dan mengatasi persepsi negatif tentang ilmuwan perempuan.

Representasi Perempuan dalam Sains Masih Rendah

buku sains anak

Penelitian kami menganalisis buku-buku sains bergambar untuk anak-anak di dua perpustakaan publik di Inggris. Pertama, kami menghitung frekuensi gambar laki-laki, perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan dalam 160 buku yang tersedia. Lalu, kami melakukan analisis visual detail pada dua profesi ilmiah: Astronot dan dokter. Dalam bagian dengan 26 buku ini, kami memeriksa apa yang astronot dan dokter laki-laki maupun perempuan lakukan, kenakan, dan genggam dalam gambar-gambar tersebut.

Kami menemukan bahwa secara keseluruhan, representasi perempuan dalam sains seperti di buku-buku anak tiga kali lebih sedikit dibandingkan representasi laki-laki. Inilah yang menguatkan stereotip bahwa sains adalah pencarian laki-laki. Kurang terwakilinya perempuan semakin diperparah dengan bertambahnya usia target tujuan buku. Para perempuan secara umum digambarkan sebagai pasif, berstatus rendah, dan tidak terlatih, atau keberadaan mereka tidak diketahui sama sekali.

Contohnya, satu buku sains anak-anak tentang eksplorasi luar angkasa menampilkan apa saja yang dibutuhkan dalam berjalan di luar angkasa. Dengan gambar astronot dalam baju ruang angkasa putihnya, kita diberitahu bahwa “without a spacesuit an astronaut’s blood would boil and his body would blow apart” atau tanpa pakaian luar angkasa, darah astronot akan mendidih dan tubuhnya (astronot laki-laki) akan meledak”. Penggunaan kata ganti laki-laki (his) menunjukkan bahwa orang yang ada di dalam pakaian luar angkasa tersebut adalah laki-laki.

Tidak disinggung tentang 11 perempuan berani yang telah berjalan di luar angkasa, termasuk perempuan astronot Sunita Williams yang gambarnya digunakan dalam montase tersebut. Tertutupnya muka William dengan helm dan teks yang hanya menyebutkan laki-laki akan mendorong anak-anak untuk berpikir bahwa perempuan tidak berjalan di luar angkasa.

Dalam halaman di buku lain, kami melihat seorang astronot perempuan digambarkan sedang melayang di dalam stasiun luar angkasa dan tersenyum kepada kamera. Kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan untuk astronot pada titik ini melebar. Tempat-tempat program pelatihan astronot NASA sangat kompetitif dengan ribuan lamaran setiap tahunya. Namun dalam buku tersebut, pelatihan, keahlian, dan pengetahuan perempuan tersebut tidak disinggung.

Sebagai gantinya, keterangan gambar tersebut justru berbunyi “Dalam gravitasi 0, setiap hari adalah hari gaya rambut yang buruk.” Komentar seperti itu yang terfokus pada penampilan perempuan gagal menganggap serius kontribusi mereka. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa penekanan penampilan pada ilmuwan panutan dapat mengurangi penilaian kemampuan diri murid perempuan atau membuat pekerjaan sains tampak tidak terjangkau bagi mereka.

Studi kami juga menunjukkan perbedaan penting antara disiplin ilmu. Dalam buku fisika, 87 persen gambar yang ada adalah laki-laki atau anak laki-laki, dan beberapa gambar tempat astronot perempuan digambarkan, mereka tidak pernah digambarkan sedang mengemudikan wahana, melakukan percobaan, atau berjalan di luar angkasa.

Buku tentang biologi, kebalikannya, memiliki gambaran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan – dan dokter perempuan digambarkan melakukan aktivitas dan memiliki status yang sama dengan dokter laki-laki.

Anak Perlu Panutan dalam Sains

Anda mungkin berpikir bahwa citra atau gambar tidaklah penting, bahwa pesan dalam foto atau ilustrasi adalah sepele. Industri periklanan multimiliar poundsterling tidak sepakat dengan Anda. Iklan jarang menyediakan argumen yang detail tentang sebuah produk atau jasa, tapi hal ini tidak membuat pesannya menjadi kurang kuat. Sebaliknya, periklanan bergantung pada persuasi melalui penanda pinggiran seperti mencontohkan gaya hidup yang menarik dan menggunakan citra untuk menggambarkan penghargaan status atau rasa hormat.

Dengan cara sama, buku-buku anak-anak mengiklankan pilhan karier, dan gambar-gambar tersebut mengomunikasikan apa artinya bagi perempuan dan laki-laki pada kaitannya dengan pekerjaan tersebut. Perempuan perlu hadir dalam buku-buku sains anak untuk mendemonstrasikan bahwa seluruh bidang sains juga dapat dicapai oleh perempuan.

Penelitian menunjukkan, bahkan sebelum anak-anak pergi ke sekolah, mereka telah memiliki ide bahwa laki-laki lebih baik dalam profesi yang didominasi oleh laki-laki. Mengingat fakta bahwa anak perempuan, bahkan sejak berumur delapan tahun, sering kali menolak matematika dan sains dari orang tua dan gurunya, mungkin tidak mengejutkan bahwa hanya 20 persen siswa dengan nilai A yang mengambil fisika adalah perempuan.

Wawancara dengan ilmuwan perempuan yang sukses menunjukkan bahwa anak perempuan mencari role model dalam sains, tapi mereka sering kali tidak bisa menemukannya.

Dengan demikian, penting untuk lebih memperhatikan gambar dalam buku anak-anak. Editor dan ilustrator buku perlu untuk melakukan usaha signifikan untuk menggambarkan perempuan sebagai berkualitas, ahli, dan mampu secara teknis. Mereka perlu digambarkan secara aktif terlibat dalam kegiatan ilmiah dan menggunakan alat dan perlengkapan yang sesuai, bukan hanya dihadirkan sebagai asisten atau pengamat.

Perempuan juga perlu direpresentasikan dalam jumlah besar sehingga anak perempuan bisa melihat panutan mereka dalam profesi ilmiah dan melihat karier tersebut bisa bermanfaat.

Para orang tua, guru, dan pustakawan – bersama dengan penulis, ilustrator dan penerbit – perlu meninjau kembali buku-buku mereka untuk pesan-pesan bergender. Tanyakan apa yang yang diajarkan oleh gambar-gambar tersebut dan tanyakan apa aspirasi karier yang mungkin didorong atau dihancurkan oleh buku-buku tersebut.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Dr. Susan Wilbraham adalah pengajar senior bidang Psikologi Terapan, University of Cumbria

Elizabeth Caldwell adalah pengajar di School of Art, Design and Architecture, University of Huddersfield

Read More

Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Miranda Priestly yang diperankan Meryl Streep dalam film drama-komedi The Devil Wears Prada menjadi salah satu karakter perempuan pemimpin paling menonjol dalam budaya populer. Priestly, yang disebut-sebut terinspirasi dari Anna Wintour, editor majalah mode terkemuka Vogue, digambarkan sebagai bos perempuan yang pendapatnya sangat dituhankan di dunia mode. Satu kata dari Priestly mampu membuka atau membunuh karier seseorang.

Sayangnya, dari kacamata sang asisten, Andy Sachs (Anne Hathaway), Priestly mencerminkan stereotip bos perempuan yang sadis, dan dia rela melakukan apa pun untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Meskipun begitu, ada satu kutipan dari Sachs yang menunjukkan kebenaran tentang perempuan di posisi pemimpin. Bahwa Priestly diberi label dragon lady oleh media berdasarkan kehidupan pribadinya dan kekejamannya, tapi situasi akan berbeda jika karakteristik Priestly dimiliki pemimpin laki-laki. Dalam fiksi maupun dunia nyata, seksisme terhadap perempuan di posisi pemimpin menjadi ancaman yang terus hadir.

Selain Priestly, ada sejumlah representasi sosok perempuan pemimpin dalam film layar lebar maupun televisi, baik yang terinspirasi dari tokoh di dunia nyata, seperti Margaret Thatcher—juga diperankan Streep dalam The Iron Lady—hingga karakter fiktif seperti Daenerys “Mother of Dragon” Targaryen (Emilia Clarke) dalam serial Game of Thrones.

Meskipun begitu, hasil riset gabungan Plan International dan Geena Davis Institute on Gender and Media, Rewrite Herstory (2019), menunjukkan bahwa jumlah karakter pemimpin laki-laki di layar kaca masih lebih banyak, yakni 42 persen, sementara perempuan 27 persen saja. Meski di sisi lain, pemimpin perempuan ditunjukkan lebih cerdas daripada laki-laki mencapai 81 persen banding 62 persen.

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Laporan tersebut menganalisis 56 film terlaris tahun 2018 di 20 negara, termasuk Amerika Serikat, Peru, Uganda, Vietnam, dan Jepang. Laporan ini bahwa menemukan secara garis besar, jumlah karakter laki-laki melebihi jumlah perempuan dan juga memiliki dialog lebih banyak dibanding perempuan. Untuk kedua kategori tersebut, perbandingan mencapai 67 persen dan 33 persen.

Perempuan pemimpin jadi objek seksual

Jika karakter perempuan pemimpin muncul dalam film, mayoritas di antaranya berada di ranah domestik dan mengukuhkan stereotip perempuan sebagai caregivers dan laki-laki adalah kepala keluarga. Dalam ranah domestik ini pula perempuan terlihat sebagai pemimpin yang lebih baik, pekerja keras, dihormati, dan lebih disukai.

Namun, perempuan pemimpin juga digambarkan tidak seefektif pemimpin laki-laki, serta cenderung diobjektifikasi secara seksual melalui lensa kamera. Secara verbal, mereka juga lebih rentan menerima pelecehan seksual, digambarkan mengenakan pakaian terbuka (30 persen dibanding 7 persen laki-laki), bahkan dua kali lebih sering ditampilkan setengah telanjang dibanding tokoh bos laki-laki.

Sebelumnya, penelitian lain dari Geena Davis Institute on Gender and Media tentang karakter perempuan dalam film, Gender Bias Without Borders (2015), juga menunjukkan seksualisasi karakter perempuan terjadi dalam rentang usia 13 sampai 39 tahun. Mereka sering ditampilkan dengan pakaian seksi dan dalam takaran ekstrem, dengan setengah bahkan telanjang untuk dinilai cantik dan kurus. Sementara itu, perempuan dalam jenjang usia paruh baya lebih jarang diseksualisasi dibandingkan tokoh remaja maupun dewasa muda.

Baca juga: Mahalnya Biaya Perjalanan ke Kantor Bebani Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

“Usia muda dan kecantikan menjadi dua komponen penting dalam cara menampilkan perempuan dalam sinema. Fokus ini menjadi problematik karena memperhatikan bagaimana di ruang kerja persepsi kompetensi seseorang dikaitkan dengan aspek penampilan,” tulis laporan tersebut.

Melalui hasil analisis film dari Plan International dan Geena Davis Institute posisi kepemimpinan menjadi ranah yang didominasi laki-laki dan gagal menunjukkan dimensi perempuan dan pemimpin yang tidak lepas dari objektifikasi untuk male gaze.

Representasi media tentang perempuan pemimpin

Representasi perempuan sebagai objek seksual di media sudah menjadi pertarungan lama dan butuh dihentikan karena media memiliki pengaruh akan cara perempuan maupun anak perempuan memandang diri mereka. Selain itu, stereotip gender tipikal dan problematik yang direpresentasikan akan sangat berbahaya untuk ambisi perempuan. Hal tersebut mampu mencegah mereka berkiprah di ranah profesional serta memenuhi potensinya. 

“Menjadi sangat penting agar kita tidak lagi menciptakan cerita yang mengajarkan bahwa perempuan dan anak perempuan adalah masyarakat kelas kedua, tidak saat melihat seksisme di budaya kita yang ditampilkan begitu mengerikan,” ujar Geena Davis, aktor dan pendiri Geena Davis Institute on Gender and Media dalam laporan bersama Plan International.

Baca juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Untuk memberikan representasi perempuan pemimpin berdaya dan tidak diseksualisasi, maka harus memberi lebih banyak visibilitas karakter perempuan maupun perempuan yang bekerja di balik layar perfilman untuk memperkaya narasi pemimpin perempuan.

Hasil riset dari Center for The Study of Women in Television and Film mengenai data statistik film dalam festival sepanjang 2019-2020, Woman Behind The Scenes, menyebutkan jika terdapat setidaknya satu sutradara perempuan, maka persentase kru produksi perempuan akan ikut tinggi. Dalam film dengan sutradara perempuan terdapat 73 persen penulis skenario perempuan dibandingkan 12 persen dalam film oleh laki-laki. Sama halnya dengan editor (43 persen banding 18 persen) dan sinematografer (27 persen banding 8 persen).

Mendukung urgensi hadirnya ruang perfilman yang lebih setara banyak digaungkan kampanye untuk mendukung representasi perempuan yang baik, seperti 4% Challenge, sebuah tantangan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja film perempuan. Selain itu, gerakan anti-kekerasan seksual dan mendukung ruang kerja tanpa diskriminasi, Time’s Up yang melahirkan kampanye Time’s Upx2 untuk mendorong perempuan menduduki kursi pemimpin di ranah yang kurang merepresentasikan mereka.

Mengutip ucapan Davis bersama The Guardian tentang media yang memberi gambaran positif tentang perempuan: “Menurut saya, kita tidak punya cukup banyak panutan perempuan di posisi penting untuk membentuk perubahan di dunia nyata, maka kita harus memilikinya dalam fiksi agar hidup meniru seni,” ujarnya.

Read More

Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Banyak orang di luar Jepang mungkin baru mengenal sutradara/ainmator Hayao Miyazaki saat karyanya, Spirited Away, meraih penghargaan Academy Awards sebagai Film Animasi Terbaik pada 2003. Berbagai karakter perempuan dalam film-film Hayao Miyazaki dan banyak film Studio Ghibli lainnya menjadi keistimewaan lain karyanya, selain kemampuan teknis yang luar biasa. Tidak jarang Miyazaki menjadikan karakter perempuan keren sebagai tokoh sentral.

Dalam film-filmnya, Miyazaki menggambarkan tokoh perempuannya sebagai sosok yang tangguh, memiliki suara atas diri mereka sendiri, dan agensi diri untuk berkembang secara mandiri. Tidak hanya sebatas itu, secara menarik tokoh-tokoh perempuan di dalam filmnya kerap digambarkan oleh Miyazaki dalam posisi nonbiner-nya. Mereka tidak hanya digambarkan sosok yang kuat dan penuh rasa petualangan, tapi di saat bersamaan juga mengampu sifat-sifat feminin seperti kepedulian dan kasih sayang.  

Baca juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Misalnya dalam film Mononoke Hime atau Princess Mononoke, Lady Eboshi digambarkan sebagai perempuan pemimpin di sebuah kota tambang besi. Lady Eboshi meleburkan batas stereotip dan norma gender melalui gaya kepemimpinannya yang nonbiner. Selain sebagai seorang pemimpin yang tegas dan tangguh, yang identik dengan gaya kepemimpinan maskulin, Eboshi adalah sosok pemimpin dengan  gaya kepemimpinan feminin yang sangat peduli pada rakyatnya.

Dirinya menampung dan merima dengan penuh afeksi orang-orang buangan di dalam masyarakat seperti pelacur dan orang-orang dengan cacat fisik (penderita kusta). Lady Eboshi mempekerjakan mereka dan memberi mereka mata pencaharian di tambang besi.

Di dalam film ini pun, perempuan selain Lady Eboshi digambarkan sebagai sosok yang mampu bersuara dan berani melawan ketidakadilan yang ada. Ketika seorang utusan dari Lord Asano berkata, “Kalian para perempuan perlu diajari rasa hormat!”, seorang warga perempuan menyahut dengan suara lantang “Hormat? Apa itu? Kami tidak pernah mendapatkan rasa hormat (sebagai seorang perempuan) dari masyarakat sejak lahir!”.

Melalui film Nausicaä of the Valley of the Wind, Hayao Miyazaki mendekonstruksi tokoh putri melalui tokoh Nausicaä yang meleburkan ekspektasi gender yang dilekatkan masyarakat pada seorang perempuan, terutama pada figur putri kerajaan. Nausicaä adlaah potret pemberdayaan perempuan dengan kombinasi kepribadian unik dengan kualitas feminin, yang terlihat dari perilaku lembut dan penuh kasih sayangnya terhadap alam, juga kualitas maskulin yang dapat dilihat dari kemampuan mekanik, kecakapannya dalam pertempuran menggunakan pedang dan mengendarai motor glider bertenaga jet.

Hayao Miyazaki secara gamblang telah menghancurkan batas-batas ekspektasi gender yang diamini oleh masyarakat, bahwa menjadi pemimpin dan menjadi agen penggerak perdamaian dunia hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Tokoh Nausicaä memenuhi ramalan kuno yang disebutkan di awal film bahwa akan ada seorang juru penyelamat yang muncul membawa keseimbangan dan kedamaian di dunia yang sedang mengalami konflik antara manusia dan alam. Dapat dikatakan bahwa Miyazaki secara gamblang telah menghancurkan batas-batas ekspektasi gender yang diamini oleh masyarakat, bahwa menjadi pemimpin dan menjadi agen penggerak perdamaian dunia hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Perempuan berani dalam film Hayao Miyazaki

Melalui film-film Studio Ghibli, Hayao Miyazaki juga kerap menempatkan tokoh-tokoh perempuannya dalam sebuah situasi di mana mereka memperoleh keberanian dan harga diri melalui penerimaan diri. Dalam Howl’s Moving Castle dan Kiki’s Delivery Service, seluruh narasinya berfokus pada Sophie dan Kiki yang menunjukkan penerimaan diri sebagai kekuatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dan kesadaran betapa pentingnya diri mereka sebagai seorang perempuan dan juga seorang individu.

salah satu film hayao miyazaki
Princess Mononoke, salah satu film karya Hayao Miyazaki.

Di sepanjang film Howl’s Moving Castle misalnya, penampilan fisik Sophie akan berubah menjadi wujud aslinya jika dirinya bertindak lebih tegas dengan bersuara atas dirinya, bersedia membela dirinya sendiri, dan berhenti merendahkan diri.

Dalam film Kiki’s Delivery Service, Miyazaki menggambarkan perjalanan penerimaan diri seorang penyihir muda bernama Kiki. Ia memperlihatkan bagaimana Kiki harus mengatasi keraguan atas dirinya sendiri dan belajar menerima diri sendiri sebagai kekuatan untuk menjadi seorang yang lebih baik untuk mendapatkan kembali kekuatannya.  

Baca juga: Pelajaran Soal Kepemimpinan Perempuan dari Drakor ‘Start-Up’

Melalui karya-karyanya, Hayao Miyazaki memungkinkan perempuan mendapatkan representasi yang baik di dalam media tanpa terjerat oleh stereotip dan ekspektasi gender masyarakat. Ia memperlihatkan sebuah representasi feminis yang positif, yang memungkinkan para perempuan bertindak dan berbicara atas diri mereka sendiri sebagai sosok perempuan yang berdaya.

Setiap karya Hayao Miyazaki adalah ajakan bagi banyak perempuan di dunia ini untuk tidak takut menjadi apa pun yang mereka inginkan. Film-film Miyazaki memberikan sebuah pelajaran bahwa menjadi perempuan bukanlah tentang bagaimana kita seharusnya menyesuaikan diri kita sendiri dengan standar yang telah diberikan masyarakat terhadap perempuan. Namun, menjadi perempuan adalah tentang bagaimana kita bisa menjadi diri sendiri dengan suara dan kemampuan yang kita miliki.

Jasmine Floretta V.D. adalah seorang BTS ARMY dan pencinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI  dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu.

Read More