cara hitung THR Prorata

Cara Paling Mudah Menghitung THR Prorata untuk Karyawan Baru

Setiap karyawan memiliki hak yang harus dipenuhi oleh perusahaan, salah satunya mendapatkan THR alias Tunjangan Hari Raya. THR merupakan salah satu hal yang bisa dibilang sudah ditunggu oleh setiap karyawan saat menjelang hari raya Idul Fitri atau Hari Raya lainnya. Tetapi jangan salah, THR tak cuma diberikan kepada karyawan yang beragama Islam yang sedang merayakan Idul Fitri.

Selain Hari Raya Idul Fitri, tunjangan ini akan diberikan pada waktu Hari Raya Natal, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Waisak, dan sebagainya tergantung dari agama yang dianut oleh karyawan dan kebijakan perusahaan. Tapi umumnya THR diberikan menjelang Lebaran karena banyak orang pun harus memberikan THR pada staf rumah tangga, misalnya. Karenanya, biasanya semua karyawan dan apa pun kepercayaan yang ia miliki akan tetap mendapatkan THR oleh perusahaan.

Baca Juga: Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik

Tunjangan hari raya tidak bisa dianggap sebagai suatu hal yang sepele, karena pemberiannya harus diperhitungkan dengan baik dan benar. Sudah ada aturan khusus yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur pemberian tunjangan ini. Lalu, apa sih sebenarnya THR itu dan bagaimana cara menghitung prorata THR yang benar?

Pengertian THR atau Tunjangan Hari Raya

Tunjangan Hari Raya Keagamaan adalah hak pendapatan karyawan berupa uang yang wajib atau harus diberikan oleh perusahaan kepada pekerja atau karyawan saat menuju Hari Raya Keagamaan.

Hari Raya Keagamaan yang dimaksud adalah Hari Raya Idul Fitri untuk karyawan yang beragama Islam, Hari Raya Natal buat karyawan yang beragama Kristen Katolik serta Protestan, Hari Raya Nyepi untuk karyawan yang beragama Hindu dan Hari Raya Waisak untuk para pekerja yang beragama Buddha.

Peraturan yang Dibuat Pemerintah dalam Pemberian Tunjangan Hari Raya

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) dengan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 mengenai Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 untuk setiap Pekerja atau Buruh di Perusahaan.

Baca Juga: Risa E. Rustam: Pemimpin Perempuan Perlu untuk Atasi Kesenjangan Gender di Tempat Kerja

Surat edaran tentang THR 2021 ini ditujukan buat seluruh gubernur di Indonesia.

Aturan lengkap serta Ketentuan pemberian Tunjangan Hari Raya 2021 diambil dari laman Sekretariat Kabinet (Setkab). Dalam Surat Edaran tersebut diatur sejumlah ketentuan mengenai pembayaran THR 2021, di antaranya:

  • THR Keagamaan wajib diberikan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan;
  • Pembayaran THR Keagamaan diberikan kepada pekerja atau buruh yang sudah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih;
  • THR Keagamaan juga diberikan kepada pekerja atau buruh yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT);
  • Bagi pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, THR diberikan dengan ketentuan sebesar 1 bulan upah;
  • Sementara bagi pekerja atau buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, THR diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikali 1 bulan upah;
  • Adapun bagi pekerja atau buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima selama 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan;
  • Sedangkan bagi pekerja atau buruh yang sudah mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Cara Menghitung Prorata THR

Umumnya, cara menghitung prorata THR didasarkan pada hari yang tertera di kalender. Apabila karyawan sudah bekerja lebih dari 1 tahun, maka karyawan tersebut akan memperoleh THR sebesar upah 1 bulan. Kalau untuk ketentuan THR untuk karyawan baru, yang misanya baru bekerja selama 1 bulan atau kurang dari 1 tahun, maka mereka akan mendapatkannya dengan perhitungan:

(Masa Kerja/12) x Upah 1 bulan

Contohnya, seorang karyawan baru bekerja di perusahaan pada tanggal 2 Januari, dan di saat pembagian THR, ia sudah bekerja selama 6 bulan 20 hari. Jika kasusnya seperti ini, maka perusahaan bisa menentukan untuk melakukan pembulatan ke bawah atau ke atas.

Baca Juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor

Misalnya menjadi 6 bulan atau 7 bulan. Apabila dibulatkan menjadi 6 bulan, maka THR yang diterima karyawan adalah persis dengan cara perhitungan sebelumnya, yaitu (masa kerja/12) x upah 1 bulan. Maka, cara menghitung prorata hari untuk THRnya adalah 6/12 x upah 1 bulan. Upah atau gaji yang dimaksud di sini adalah gaji pokok serta tunjangan tetap.

Waktu Pemberian THR Pada Karyawan

Sudah kita bahas di atas kalau pembayaran tunjangan hari raya harus diberikan satu kali dalam setahun. Tunjangan Hari Raya ini harus diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Hal ini berguna supaya karyawan punya waktu yang cukup untuk menikmati hak tersebut bersama keluarga.

Banyak perusahaan yang masih terdampak pandemi Covid-19 dan tidak bisa memberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2021 sesuai waktu yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terkait hal ini, Menaker meminta gubernur dan bupati/wali kota supaya bisa memberikan solusi dengan mewajibkan pengusaha melakukan diskusi dengan pekerja atau buruh untuk mencapai kesepakatan yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan iktikad baik.

Kesepakatan ini dibuat secara tertulis dan memuat waktu pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dengan syarat paling lambat dibayar sampai sebelum Hari Raya Keagamaan tahun 2021 pekerja atau buruh yang bersangkutan.

Kesepakatan mengenai kapan pembayaran Tunjangan Hari Raya keagamaan tersebut harus dipastikan tak sampai menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR keagamaan tahun 2021 kepada pekerja/buruh dengan nominal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perusahaan yang mengelar kesepakatan dengan karyawan atau buruh agar mengabarkan hasil kesepakatan kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan setempat.

Sanksi untuk Perusahaan Terkait THR

Pemerintah Indonesia akan memberikan denda dan sanksi buat perusahaan atau pengusaha yang telat membayarkan THR 2021 secara penuh sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, pembayaran Tunjangan Hari Raya paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Baca Juga: 4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

“Terpaut denda, perusahaan yang terlambat membayar Tunjangan Hari Raya keagamaan kepada pekerja atau buruh akan dikenakan denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar dari berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar.”

Terkait dengan denda administratif, Menaker Ida menjelaskan, buat perusahaan yang tak membayar THR keagamaan kepada pekerja atau buruh dalam waktu yang ditentukan paling lambat 7 hari sebelum hari keagamaan, akan dikenakan denda administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 mengenai Pengupahan Pasal 9 ayat 1 dan 2.

Sanksi administratif tersebut berbentuk, teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha. Ida memastikan, semua sanksi administratif dan denda kepada pengusaha yang tidak membayarkan THR tidak menghilangkan kewajiban pengusaha atau keterlambatan pembayaran THR keagamaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Meski begitu, pemerintah tidak menutup pintu dialog. Buat perusahaan yang tidak sanggup membayarkan THR bagi para pekerjanya sesuai waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, Ida meminta bantuan para gubernur dan bupati atau wali kota supaya memberikan jalan keluar dengan mewajibkan pengusaha melakukan dialog dengan pekerja atau buruh untuk memperoleh kesepakatan yang dilaksanakan secara kekeluargaan dan dengan iktikad baik.

Ketentuan Tunjangan Hari Raya untuk Karyawan Kontrak

Sudah kita bahas di atas, THR tak cuma diberikan buat karyawan tetap saja, namun karyawan kontrak juga wajib mendapatkan Hak THR atau Tunjangan Hari Raya mereka dari perusahaan. Cara menghitung THR untuk karyawan kontrak sebenarnya tidak berbeda dari karyawan tetap. Cuma yang harus diperhatikan adalah perbedaan tentang jangka waktu berakhirnya hubungan kerja antara karyawan tetap dan karyawan kontrak.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Pemerintah sudah mengatur untuk THR pegawai kontrak. Pada peraturan pemerintah tersebut dinyatakan kalau karyawan dengan sistem Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu atau kalau disingkat menjadi PWKTT. Apabila kontraknya sudah terputus terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka pegawai atau karyawan tersebut tetap berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya.

Tetapi jika hubungan kerja karyawan kontrak tersebut berakhir sudah lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka mereka tak punya hak untuk memperoleh Tunjangan Hari Raya. Selain itu tidak ada peraturan tentang batasan waktu 1 bulan buat pegawai dengan sistem PKWT seperti yang terjadi pada karyawan tetap.

Read More

Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR

Salah satu pahlawan perempuan Indonesia, Raden Adjeng Kartini telah menginisiasi gerakan emansipasi perempuan lewat pendidikan lebih dari seabad lalu. Lewat pemikirannya yang tertuang dalam tulisan-tulisan, Kartini dan saudara-saudaranya berupaya mendobrak budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua.

Seiring dengan muncul dan berkembangnya berbagai organisasi yang membela kepentingan perempuan, masyarakat Indonesia saat ini sudah mulai merasakan manfaat gerakan emansipasi. Namun, ini bukan berarti gerakan emansipasi dan kesetaraan gender di Indonesia sudah seratus persen berhasil.

Baca juga: Nama Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah yang Perlu Kalian Ketahui

Capaian Kemajuan Berkat Gerakan Emansipasi Perempuan

Meningkatnya taraf pendidikan perempuan telah membuka akses kepada perbaikan hidup sekaligus menjamin kontribusi mereka terhadap pembangunan negara. Hal ini dapat kita lihat dalam tiga hal.

Pertama, perempuan Indonesia telah mendapat hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Data menunjukkan bahwa angka partisipasi murni perempuan dalam pendidikan tinggi melebihi laki-laki.

Artinya, perempuan telah mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki, yang berdampak pada peningkatan kontribusi perempuan dalam berbagai bidang. Misalnya, saat ini ibu yang akan melahirkan dapat memilih apakah dokter yang membantunya laki-laki atau perempuan karena jumlah tenaga medis perempuan semakin meningkat.

Kedua, representasi perempuan dalam bidang politik meningkat dan mampu menghadirkan berbagai kebijakan negara yang pro perempuan. Sebagai wakil kaumnya, perempuan lebih mengerti kebutuhan mereka.

Meskipun masih perlu ditingkatkan, pengarusutamaan gender dapat mendorong kebijakan pro perempuan. Beberapa contoh kebijakan tersebut ialah kredit usaha yang ramah perempuan atau jaminan kesehatan universal yang dapat mengurangi tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan.

Ketiga, keterlibatan perempuan dalam bidang ekonomi meningkat. Saat ini, perempuan Indonesia sudah dapat memilih untuk bekerja di sektor yang dikehendakinya meski masih harus berhadapan dengan aneka hambatan di dalamnya. Bergabungnya perempuan pada angkatan kerja bukan hanya membantu mereka menjadi lebih mandiri secara finansial, tetapi juga meningkatkan martabat diri.

Akses terhadap pendidikan telah mampu membuka pilihan lebih banyak bagi perempuan dalam menentukan nasibnya. Sebagian dari perempuan ini mampu meningkatkan jenjang karier hingga pucuk pimpinan tertinggi.

Dalam bidang bisnis, laporan Grant Thornton menyebutkan bahwa perempuan Indonesia dengan jabatan senior menempati proporsi cukup tinggi. Hal ini menunjukkan semakin banyak perempuan Indonesia yang mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk memimpin sebuah organisasi, wilayah, bahkan negara.

Masih Banyak Hambatan Setelah Gerakan Emansipasi Perempuan Dimulai

Walau sudah banyak kemajuan, saat ini perempuan masih mengalami berbagai tantangan terkait peran mereka. Hal ini bisa dilihat dalam kacamata konstruksi sosial terhadap femininitas (keperempuanan).

Masyarakat menyematkan karakteristik femininitas tertentu sebagai tuntunan segala tindakan perempuan, mulai dari cara berpakaian, berbicara, dan bertindak. Ada pula ekspektasi bahwa perempuan harus bertindak secara feminin, yaitu menunjukkan sifat penyayang, lemah lembut, dan halus.

Harapan masyarakat atas femininitas tidak sama dengan bagaimana masing-masing perempuan menampilkan diri mereka. Tidak semua perempuan memiliki sifat-sifat yang identik dengan femininitas. Akibatnya, perempuan yang dianggap menyimpang dari harapan ini akan mendapatkan sanksi sosial.

Misalnya, perempuan yang dianggap tidak berpakaian sesuai dengan ekspektasi masyarakat akan cenderung mendapat stigma negatif dibandingkan dengan laki-laki karena perempuan dinilai dari tubuhnya sementara laki-laki dari isi kepalanya.

Contoh hambatan lain adalah perempuan yang berkiprah di ranah publik masih dibebani dengan tanggung jawab yang tidak seimbang. Riset menunjukkan bahwa dalam pasangan yang sama-sama bekerja, tanggung jawab rumah tangga masih dibebankan kepada perempuan secara tidak proporsional .

Penyebabnya adalah karena perempuan identik dengan femininitas yang diasosiasikan dengan kegiatan merawat, misalnya membesarkan anak. Sementara, laki-laki identik dengan maskulinitas yang diasosiasikan dengan kegiatan yang membutuhkan ketegasan, misalnya menjadi pemimpin. Jadi meski sama-sama bekerja, jika anak gagal di sekolah, maka ibunya akan lebih disalahkan dibandingkan ayahnya.

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Selain tidak proporsionalnya beban perempuan, di Indonesia, perempuan juga masih harus menanggung beban mulia seorang diri. Beban mulia adalah beban untuk bertanggung jawab atas moralitas bangsa dan generasi muda.

Hal ini berujung pada kelanggengan stereotip peran perempuan yang sebatas ranah domestik. Sebagai contoh, jika suaminya korupsi atau selingkuh, maka istrinya akan cenderung disalahkan karena dianggap tidak bisa menjaga moralitas suaminya.

Konstruksi Feminitas dan Kepemimpinan Perempuan

Hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan di ranah publik pada dasarnya disebabkan oleh kesalahpahaman akan karakteristik femininitas dan maskulinitas sendiri.

Tetapi, apakah benar bahwa peran perempuan lebih baik dalam ranah rumah tangga? Apakah kompetensi perempuan dalam bekerja lebih rendah dibanding laki-laki?

Gerakan kesetaraan gender bukan merupakan usaha perempuan ingin menyaingi atau mengalahkan laki-laki. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran perempuan untuk memperbaiki nasibnya.

Riset menunjukkan bahwa kategori femininitas dan maskulinitas merupakan sebuah kesepakatan sosial dan bukan bawaan biologis. Jadi, manusia belajar untuk menjadi feminin dan maskulin melalui pengamatan budaya dan tuntunan sosial. Yang lebih penting lagi, menjadi maskulin atau feminin tidak menjamin keberhasilan seseorang dalam berkarier atau menjalankan tugas domestik.

Sebuah riset di periklanan di Swedia pada akhir 90-an membuktikan bahwa gaya kerja yang disebut ‘feminin’ – dalam artian membutuhkan kerja sama, kreativitas, dan fleksibilitas – yang menjadi kunci keberhasilan dalam periklanan ini dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Sama halnya dengan kepemimpinan perempuan dan laki-laki. Gaya kepemimpinan yang maskulin atau feminin dapat dijalankan oleh kedua gender dan efektivitasnya tergantung dari situasi. Jadi, di tempat kerja, perempuan memiliki tingkat kompetensi dan keahlian yang sejajar dengan laki-laki.

Begitu pula dengan peran domestik. Pola asuh bersama dipandang memiliki efek yang lebih baik bagi anak, dan dapat menciptakan kehidupan pernikahan yang lebih bahagia. Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan seorang ayah sama pentingnya dengan seorang ibu.

Tidak tepat jika kita menganggap bahwa seorang ibu harus bertanggung jawab seorang diri atas pendidikan anaknya. Justru, kerja sama ayah dan ibu dalam mendidik anak akan lebih berdampak positif bagi anak, istri, dan rumah tangga yang dibina.

Gerakan kesetaraan gender bukan merupakan usaha perempuan ingin menyaingi atau mengalahkan laki-laki. Gerakan ini tumbuh dari kesadaran perempuan untuk memperbaiki nasibnya.

Untuk menjamin kesuksesan gerakan ini, perlu usaha perempuan dan juga laki-laki. Masyarakat perlu mulai melepaskan dikotomi antara pembagian kerja laki-laki dan perempuan untuk mencapai kemajuan bersama.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Fitri Hariana Oktaviani adalah dosen dan peneliti di Universitas Brawijaya, dan kandidat PhD bidang Gender dan Komunikasi Organisasi, The University of Queensland.

Nurenzia Yannuar adalah dosen, Universitas Negeri Malang.

Read More
kepemimpinan perempuan

Risa E. Rustam: Pemimpin Perempuan Perlu untuk Atasi Kesenjangan Gender di Tempat Kerja

Bagi sebagian besar perempuan, meniti tangga karier dari bawah hingga akhirnya dapat mencapai posisi puncak bukanlah perjalanan mudah. Hal ini dialami pula oleh Risa Effenita Rustam, satu dari sedikit perempuan yang duduk di jajaran direksi pada industri jasa keuangan Indonesia. Ia kini menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia (BEI), posisi yang dipegangnya sejak Juni 2018.

Di dunia keuangan dan pasar modal, dinamika yang terjadi sangat cepat sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi orang-orang seperti Risa. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar dan bekerja keras hingga akhirnya dapat mencapai posisi pemimpin.

Sudah lebih dari tiga dekade Risa berkecimpung di dunia keuangan. Lulus S1 dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ia mengawali kariernya di HSBC-Custodial Services pada 1989. Dua tahun kemudian, ia bekerja sebagai settlement manager di Baring Securities Indonesia (yang kemudian diambil alih oleh ING Securities Indonesia), dan diangkat menjadi direktur pada tahun 1999. Pada 2004 hingga 2016, Risa menjabat sebagai direktur/Chief Operating Officer (COO) di Macquarie Sekuritas. 

Magdalene berkesempatan mewawancarai Risa pada Selasa (6/4) lalu mengenai pengalamannya selama berkarier di industri keuangan, serta pandangannya tentang isu kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan di tempat kerja. Berikut ini petikan wawancara kami.

Read More
cara sukses hadapi politik kantor

Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Dalam dunia kerja, politik kantor (office politics) sepertinya menjadi hal yang tidak terhindarkan. Pada dasarnya, politik kantor adalah hal-hal yang dilakukan seseorang di perusahaan untuk mencapai tujuannya, entah mendapatkan jabatan lebih tinggi, punya wewenang atas sesuatu, atau keuntungan lainnya. 

Sebagian orang merasa politik kantor adalah hal yang sah-sah saja dilakukan, bahkan baik. Sementara yang lainnya, seperti halnya saat mendengar kata “politik” secara umum, merasa bahwa hal tersebut kotor dan tidak mau sampai terlibat di dalamnya. 

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Menurut Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Risa E. Rustam, di kantor ada yang dinamakan “good politics” dan “bad politics” sehingga tidak bisa serta merta dikatakan bahwa politik kantor itu sepenuhnya buruk.

Risa Effenita Rustam Perempuan dalam Politik Kantor

“Itu [politik kantor] bisa membuat kita resilient juga, lebih waspada, lebih termotivasi untuk berbuat lebih baik, untuk berprestasi,” ujar Risa kepada Magdalene.

Sebagian besar orang yang tidak suka dengan politik kantor itu adalah perempuan. Apa sebenarnya kaitannya gender dengan politik kantor? 

Risa menyatakan, ada perbedaan sikap antara perempuan dan laki-laki dalam memandang politik kantor. Ada berbagai data dan alasan yang mendasari pernyataannya ini.

Baca juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Berikut ini adalah petikan wawancara eksklusif Magdalene dengan Risa E. Rustam pada Selasa (6/4) lalu terkait gender dan politik kantor, serta beragam saran untuk menghadapi politik kantor bagi anak-anak muda yang baru memasuki dunia kerja. 

Read More
cuti haid bagi pekerja perempuan

Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik

Suatu pagi sekitar sembilan tahun silam, ketika baru pertama kali bekerja, saya pernah merasakan nyeri hebat di bagian perut dan paha hingga membuat saya lemas. Seraya melihat jam dinding, saya menimbang-nimbang apakah saya harus meminta izin tidak masuk kantor hari itu atau tidak. Pasalnya, ada satu rapat penting yang mesti saya hadiri pada siang harinya.

Saya memutuskan tetap masuk seraya menahan nyeri yang pasang-surut. Saat seorang kolega laki-laki bertanya kenapa saya terlihat pucat pagi itu, saya cuma bilang sedang tidak enak badan. Saya tidak berani mengaku bahwa hari itu adalah hari pertama siklus haid saya.

Sampai kemudian saya mulai limbung dan nyaris jatuh dalam perjalanan menuju ruang rapat. Bos perempuan saya bertanya apa yang terjadi, dan baru saat itu saya mengaku sedang nyeri hebat karena haid. Ia mengizinkan saya pulang dan sebelumnya berkata, “Kan bisa izin kalau sakit pas haid. Kenapa enggak bilang dari tadi pagi aja?”

Saya tidak pernah ngeh bahwa izin dengan alasan haid diperbolehkan di kantor. Saya mengingat-ingat apakah ada pasal yang jelas menyebutkan soal itu di kontrak kerja. Tapi terlepas dari ada atau tidak aturan tertulis di kontrak soal itu, tetap saja saya malu bila harus meminta izin tidak kerja karena alasan haid “saja”.

Barangkali pengalaman seperti saya banyak dirasakan oleh perempuan-perempuan lain di luar sana. Kendati harus menahan sakit luar biasa saat haid, mereka tetap harus kerja seperti hari-hari biasa. Saya beruntung berkantor di tempat yang memberikan karyawati izin tidak masuk kerja saat haid, tetapi banyak perempuan lainnya yang tidak punya privilese ini karena kantornya tidak memberlakukan kebijakan serupa.

Padahal, aturan mengenai pemberian cuti haid bagi pekerja seyogianya sudah diterapkan di semua kantor di Indonesia. Lebih dari satu setengah dasawarsa lalu, melalui Pasal 81 dalam Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah sudah menerapkan regulasi tentang ini bagi perusahaan.

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid,” demikian bunyi ayat 1 Pasal 81 tersebut. Namun perlu dicatat, pelaksanaan ayat 1 ini tetap bergantung pada kebijakan kantor melalui perjanjian kerja atau peraturan perusahaan (Pasal 81 ayat 2).

Sempat ada kekhawatiran dari pekerja perempuan karena menyebarnya rumor hak cuti haid akan dihapus seiring berlakunya UU Cipta Kerja. Namun, pihak pemerintah menepis rumor tersebut dan mengatakan hak cuti haid tetap bisa diakses pekerja perempuan.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Alasan Banyak Perempuan Tidak Ambil Cuti Haid

Karena pelaksanaan pemberian cuti haid dikembalikan lagi ke pihak kantor, dan tidak ada pernyataan gamblang dalam UU Ketenagakerjaan bahwa hal tersebut adalah keharusan bagi perusahaan, sebagian pekerja perempuan tidak bisa menikmati hak cuti haid ini. Jikapun cuti haid tetap diberikan, masing-masing perusahaan menerapkan mekanisme tersendiri: Harus menyertakan surat keterangan dokter, diberikan tapi tidak mendapat upah, atau bisa dengan mudah memberikannya dan tetap menjadi cuti berbayar selama pekerja mengabarkan ke perusahaan.

Sebagai contoh, “Er” yang bekerja di PT Alpen Food Industry, produsen es krim AICE, sempat mengalami nyeri dan pendarahan berlebihan pada hari pertama haidnya tahun 2020 lalu. Namun, ia mesti tetap bekerja di pabrik es krim tersebut karena alasan sakit saat haid susah sekali diterima untuk meminta izin cuti di perusahaannya. Fasilitas kesehatan dari kantor juga mempersulit karyawan yang mengeluhkan sakit haid untuk mendapat surat keterangan dokter sehingga Er hanya bisa meminum obat pereda nyeri haid saat itu.

Selain sikap perusahaan yang tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan ini, seperti halnya saya dulu, sebagian pekerja perempuan juga tidak tahu bahwa ada aturan soal cuti haid dalam UU yang perlu diimplementasikan perusahaan. Ini terlihat dari komentar beberapa pekerja perempuan di Padang, Sumatra Barat yang terlihat bingung mendengar ada pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal hak cuti haid.

Dalam artikel Magdalene yang dimuat 2019 lalu, Wisfirdana Dewi (22), seorang pekerja di salah satu swalayan dan Afri Serli Salmita (20), pekerja di Gramedia Kota Padang, mengaku asing dengan pasal tersebut mengingat perusahaan mereka tidak pernah menyebut soal pasal tersebut saat mereka bekerja. Akibatnya, mereka dan banyak pekerja perempuan lainnya tetap bekerja seperti biasa kendati sedang nyeri haid.

“Lagi enggak ada bos, bisalah kita istirahat sebentar di gudang. Kalau ada bos jadi segan kita, takut diomelin,” ujar Wisfirdana.

Kekhawatirannya beralasan karena sebagian dari pihak perusahaan masih menganggap pekerja perempuan yang mengaku sakit saat haid hanya berbohong untuk tidak masuk kerja. 

Alih-alih mengakui kondisi biologis dan kebutuhan perempuan saat haid, sebagian perusahaan malah mengaitkan persoalan haid dengan produktivitas kerja yang menurun sehingga muncul stereotip negatif terhadap perempuan pekerja. 

Tidak hanya di Indonesia, stereotip negatif terhadap pekerja perempuan yang menstruasi juga terdapat di berbagai negara lain. Dalam tulisan mereka yang dimuat di buku The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies (2020), Rachel Levitt dan Jessica Barnack-Tavlaris menyatakan bahwa di Cina, sebagian perempuan enggan memakai hak cuti haidnya karena dengan begitu, mereka menguatkan stereotip bahwa perempuan lemah dan tidak produktif. Levitt dan Barnack-Tavlaris juga menulis, pekerja perempuan yang sedang haid juga dinilai koleganya lebih neurotik dibanding yang sedang tidak haid.

Sementara studi di Jepang menemukan, pekerja perempuan yang hendak mengambil cuti haid masih mengalami diskriminasi dan pelecehan oleh karyawan lainnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Read More
perempuan berkarier

Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Pemerintah menyatakan bahwa capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia telah mengalami peningkatan. Indeks ini merupakan parameter kesetaraan gender yang diukur dari sumbangan pendapatan perempuan melalui keterlibatan dalam parlemen, pengambilan keputusan, jabatan sebagai tenaga profesional, hingga ekonomi, mengalami peningkatan. Pada 2019 angka IDG mencapai 75,24, sementara pada 2020, IDG kita ada di angka 68,15.

Meskipun demikian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan bahwa angka tersebut merefleksikan belum ada partisipasi maksimal dan aktif dari perempuan dalam bidang politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi secara spesifik.

“Ini disayangkan karena perempuan adalah setengah dari potensi bangsa sesungguhnya, termasuk potensi ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2020, angkatan kerja perempuan hanya mencapai 53,15 persen, sementara laki-laki 82,4 persen,” ujarnya dalam webinar “Choose To Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja”, (24/3). Webinar yang diselenggarakan Rumah KitaB tersebut bertujuan untuk mendorong lebih banyak perempuan muslimah untuk terjun dalam ranah profesional.

Ia menambahkan, peran perempuan dalam membangun kesetaraan gender di masyarakat sangat penting untuk mencapai poin kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini menjadi fokus pemerintah untuk memajukan negara.

“Dunia sudah tidak menghendaki praktik eksklusivisme masyarakat. Masa depan adalah masyarakat demokratis, terbuka bekerja sama dengan setara,” ujar Bintang.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes menyatakan, selama masa pandemi COVID-19, perempuan bekerja mengalami banyak tantangan karena harus mengandung beban kerja ganda sekaligus. Beban ganda tersebut ialah tanggung jawab ekonomi sebagai pekerja dan seorang ibu.

“Perempuan juga merasa terhambat karena ada peran pengasuhan yang timpang. Ini menjadi tantangan bersama untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif gender,” ujarnya.

Sinta Nuriyah Wahid, Ibu Negara Republik Indonesia keempat, juga mengatakan pemerintah harus responsif pada perubahan untuk kesetaraan gender karena perempuan merupakan bagian kekuatan suatu keluarga.

“Untuk itu, hubungan pemerintah dengan masyarakat, sektor usaha, serta pandangan keagamaan harus ikut mendukung pilihan hidup perempuan, seperti masuk ke ranah kerja,” kata Sinta.

Meski demikian, masih banyak tantangan dan hambatan yang dialami perempuan untuk masuk dan ketika berada dunia profesional, tambahnya. Berikut ini empat hal yang menjadi penyebab perempuan sulit berkiprah di ranah profesional.

Baca juga: Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

1. Patriarki Timbulkan Stigma Pada Perempuan ingin Berkarier dan Pekerja

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat terus menjadi penyebab akses pendidikan dan informasi yang dimiliki perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Paham konservatif sarat nilai patriarki yang mencari legitimasi dalam nilai keagamaan telah mempersempit kiprah perempuan di ranah kerja.

Nani  Zulminarni, Regional Director Ashoka Southeast Asia mengatakan, untuk mendorong peran perempuan dalam berbagai sektor ranah profesional, nilai patriarki yang menyebabkan stigma perempuan berkarier atau pekerja sebagai individu yang tidak benar, melawan kodrat, dan tidak ideal untuk masuk surga, harus dilawan.

“Jika perempuan berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam ekonomi, maka gross domestic product (GDP) global akan meningkat 26 persen tahun 2025,” ujarnya.

Nilai patriarki ini juga menghambat perempuan untuk berkarier dan mengetahui potensi yang dimilikinya untuk menduduki posisi strategis dalam suatu perusahaan.

“Hanya 12 persen perempuan yang sadar bahwa dia ingin menjadi CEO. Selebihnya baru sadar bahwa dia hebat dan luas biasa ketika ada orang lain yang mengatakannya. Perempuan tidak sadar akan potensinya karena selalu dicekoki sebagai sosok yang tidak mampu,” terang Nani.

Pada 2019, hasil riset ValueChampion, sebuah badan riset dan analisis data asal Singapura, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara paling berbahaya untuk perempuan di Asia Pasifik setelah India. Diar Zukhrufah, seorang penulis untuk Communicaption, sebuah agensi konten digital, mengatakan masyarakat dengan paham nilai patriarkal akan menggunakan alasan Indonesia sebagai lingkungan tidak aman agar perempuan tidak bekerja.

“Kenapa perempuan harus merasa tidak aman di ruang publik? Padahal, yang salah bukan perempuan yang harus bekerja. Ini menjadi satu tantangan yang harus kita jawab,” kata Diar.

Savic Ali, pendiri Islami.co, situs yang berfokus pada isu toleransi dan kedamaian, mengatakan bahwa nilai patriarki menjadi isu struktural yang mengglobal. Untuk masyarakat Indonesia, nilai patriarki tersebut bersinggungan erat dengan ajaran keagamaan.

“Patriarki adalah masalah peradaban bukan untuk satu bangsa. Dalam konteks Indonesia, masyarakat religius Indonesia menganggap agama sangat penting sehingga banyak urusan yang merujuk pada agama,” ujar Savic.

Baca juga: Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

2. Pembagian Tugas Domestik yang Timpang

Sinta Nuriyah mengatakan, peluang perempuan untuk berkarier dan ikut berkompetisi di ranah kerja kini memang sudah lebih besar. Meski demikian, perempuan masih terhalang oleh ketimpangan pembagian tugas domestik yang menyebabkan mereka kesulitan mengembangkan profesionalitas atau keahlian.

Jika perempuan tidak didukung oleh keluarga dalam menanggung beban rumah tangga, ia akan sulit mengakses kesempatan mengembangkan dirinya. Perempuan sulit menggunakan waktu terbatas yang ia miliki untuk meningkatkan kualitas dan etos kerja mereka, imbuh Sinta.

“Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan untuk perempuan. Pintu kerja akan tertutup kembali karena tenaga kerja perempuan tidak memiliki kualifikasi yang memadai akibat peran gender dan tugas domestik yang timpang,” jelas Sinta.

Nani mengatakan, ketimpangan dalam pembagian tanggung jawab domestik dan peran gender tidak lepas dari relasi kuasa dalam keluarga.

“Durasi kerja perempuan di ranah domestik tiga kali lebih lama dibanding laki-laki. Sedihnya, peran itu dianggap ‘bukan bekerja’,” ujarnya.

Anggapan bahwa tugas domestik hanya menjadi tanggung jawab perempuan menjadi basis kelompok fundamentalis untuk melanggengkan status quo. Selain itu, hal tersebut juga memberi stigma bagi perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak berperan, ujar Nani.

Ia menambahkan, pembagian tugas yang adil memberikan perempuan untuk mencari tahu tentang kemampuannya, berkontribusi di ranah publik, dan tetap bisa bertanggung jawab di rumah.

“Ranah publik dan domestik sama-sama menjadi tanggung jawab pasangan, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan perempuan bisa semakin produktif,” kata Nani.

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer” Soal Lingkungan Kerja Toksik

3. Terpapar Ajaran Ultrakonservatif di Internet

Nilai-nilai agama berperan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut hasil survei PEW Research Centre tahun 2008 hingga 2017, The Age Gap in Religion Around The World, 93 persen masyarakat muslim Indonesia menilai peran agama sangat penting. Angka tersebut naik menjadi 94 persen pada 2019.

Di era digital seperti sekarang, perempuan akan menelusuri internet untuk mencari informasi tentang pandangan agama terhadap perempuan yang bekerja. Savic mengatakan, perempuan yang mencari informasi tentang dalil agama lebih sering terpapar ajaran ultrakonservatif di media.

Ajaran tersebut memang tidak pro-kekerasan dan menghakimi kelompok lain. Namun, tetap mengandung pandangan konservatif yang menekankan bahwa perempuan seharusnya hanya di rumah.

“Jadi kalau mencari di Google soal hukum perempuan bekerja, yang muncul di halaman pertama adalah ajaran ultrakonservatif. Perempuan menjadi ragu untuk bekerja,” kata Savic.

Menurutnya, ajaran ultrakonservatif yang dangkal mulai bebas bermunculan di Indonesia sejak era reformasi.

“Harus diakui, sejak reformasi ada keterbukaan, masyarakat lebih beragam, namun terpecah belah. Diskursus tentang perempuan yang dulunya dikuasai negara menjadi dikuasai kelompok-kelompok agama. Akhirnya, ada keragaman pandangan terkait perempuan,” kata Savic.

Ia mengatakan, ajaran yang mengandung nilai ultakonservatif yang ditemukan di internet menjadi berbahaya jika pembaca tidak melihat situs atau artikel lain yang lebih moderat sebagai perbandingan.

“Umumnya ultrakonservatisme ini dari ajaran Salafi dan Wahabi. Menurut ulama ajaran-ajaran itu, perempuan sebaiknya di rumah saja. Kalau keluar, harus ditemani mahram karena di luar banyak fitnah, dan kehormatan perempuan akan terjaga kalau di rumah,” papar Savic.

4. Pemahaman Keagamaan yang Sempit dan Dangkal Hambat Perempuan Berkarier di Kantor

Pemahaman agama sempit dan dangkal atau ultrakonservatisme juga kerap ditemukan dalam dunia profesional yang dijalani perempuan. Savic menambahkan ajaran agama yang sempit tersebut diterima perempuan tidak hanya melalui internet, tetapi pada pengajian kantor.

Sinta Nuriyah mengatakan, ada sejumlah perempuan yang berhenti menjadi pekerja dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah.

“Ada di antara mereka [yang mengundurkan diri] yang telah menjabat di posisi strategis perusahaan. Mereka keluar karena alasan perintah agama dan mencari yang halal,” ujarnya.

Tidak hanya soal berhenti dari dunia kerja, menurut Savic, kuatnya pengaruh gerakan hijrah juga terlihat dari banyaknya narasi keagamaan yang mendorong perempuan untuk berjilbab, bahkan mengikuti standar tertentu dengan embel-embel “jilbab yang syar’i”. 

Sinta menyayangkan banyaknya perempuan yang masih terbelenggu tafsir agama tertentu yang membuat mereka mengorbankan pekerjaannya, padahal kesempatan bagi mereka sudah terbuka.

“Cara pandang seperti ini menutup pintu kesempatan perempuan berkarya dan mengembangkan diri yang juga merupakan bagian dari perintah agama,” kata Sinta.

Read More
newsroom ramah perempuan

Dari Fisik Sampai Kinerja, Jurnalis Perempuan Hadapi Tuntutan Tinggi

Jurnalis Fifi Aleyda Yahya mengatakan ia menghadapi tantangan dan tekanan ketika pertama kali bekerja di MetroTV sebagai pembawa acara perempuan.

“Muncul di televisi harus siap dikritik. Bukan hanya soal pertanyaan yang dibawakan, tapi dari penampilan pun dinilai setiap saat,” kata Fifi dalam diskusi virtual @america bertajuk Women’s Leadership in Broadcast Journalism, yang dihelat pada Hari Perempuan Internasional (8/3).

Tekanan yang dirasakan perempuan dalam dunia jurnalistik pun dibahas oleh Heather Variava, Deputy Chief of Mission dari Kedutaan Besar AS di Indonesia yang dulunya merupakan wartawan koran di AS. Variava bercerita bahwa sebagai seorang jurnalis, sering kali ia menjadi satu-satunya perempuan dalam ruangan.

“Kadang-kadang, hal tersebut membuat saya merasa terintimidasi,” kata Heather.

Ia memaparkan data dari International Women’s Media Foundation (IWMF) yang menunjukkan bahwa perempuan menempati kurang dari setengah pekerjaan media di dunia, padahal lebih dari setengah mahasiswa jurnalisme di seluruh dunia adalah perempuan. Lebih lanjut, jurnalis perempuan pada umumnya rentan menerima serangan offline maupun online, mulai dari ujaran kebencian hingga pelecehan seksual.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Apakah Perempuan Selalu Harus Memilih?

Tantangan selanjutnya yang ia hadapi adalah pilihan perempuan untuk berkarier di dunia jurnalistik yang masih menjadi hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi kepada Fifi yang kini merupakan seorang ibu dan juga Kepala Divisi Corporate Communication MetroTV. Ia mengatakan bahwa orang-orang di sekitarnya sering mempertanyakan komitmen Fifi terhadap keluarga maupun pekerjaan.

“Dari keluarga ada yang bilang, ‘Aduh, enggak kasihan ya, itu anaknya masih bayi ditinggal liputan, ditinggal kerja sampai malam, atau bangun pagi-pagi, jam 3 sudah berangkat.’ Saya jadi berpikir, apakah yang saya lakukan ini benar? Apa saya ibu yang baik?” ujarnya.

Fifi berkata bahwa isu tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang harus jurnalis perempuan hadapi. Meskipun begitu, ia tidak berhenti bertanya-tanya, “Memangnya tidak bisa terus menjadi jurnalis? Tapi, saya juga ingin tetap menjadi istri dan ibu. Memang kenapa sih, saya harus memilih?’” lanjutnya.

Desi Anwar, jurnalis senior dan Direktur CNN Indonesia TV, mengatakan, perempuan di dunia media dan jurnalistik selalu dituntut untuk memilih antara dunia kerja maupun keluarga.

“Pada satu titik, jurnalis perempuan harus menjawab pertanyaan yang tidak harus dijawab rekan lelaki mereka, seperti ‘Apakah saya harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kalau sudah berkeluarga? Apakah saya akan dianggap bukan ibu yang baik kalau kerja terlalu lama di kantor?’” kata Desi dalam diskusi virtual yang sama.

Bagi Desi, pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan banyaknya hal yang harus para perempuan korbankan ketika memasuki dunia jurnalistik.

“Mungkin pada akhirnya, di semua jenis pekerjaan, ini adalah pilihan: ‘Apakah saya bersedia memiliki waktu kerja seperti ini? Apakah saya siap dengan keterbatasan waktu kerja ini?’ Semua berujung kepada pilihan-pilihan itu. Dan sayangnya, perempuan lah yang harus lebih sering menanyakan hal-hal itu dibandingkan laki-laki,” ujar Desi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa

Pentingnya Kantor Media Dukung Jurnalis Perempuan

Diskusi virtual @america spesial Hari Perempuan Internasional ini menunjukkan bahwa masih banyak batasan, norma, dan bias yang mengharuskan perempuan untuk berjuang lebih keras dibandingkan laki-laki dalam menjadi jurnalis.

Namun di sisi lain, ketiga narasumber di atas merupakan contoh perempuan yang berhasil menerobos glass ceiling dan menjadi pemimpin di medianya masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya harapan bagi para perempuan untuk mengikuti jejak mereka di masa depan.

Dari segi demografi sendiri, Desi menekankan bahwa Indonesia termasuk yang memiliki banyak jurnalis perempuan, terutama di dunia siaran. Ia juga meyakinkan peserta diskusi bahwa posisi senior di media-media Indonesia kini malah banyak diduduki perempuan.

“Media broadcast merupakan lingkungan yang cukup kondusif dan suportif bagi perempuan untuk menonjol. Buktinya, jurnalis-jurnalis senior dan prominen di Indonesia sekarang rata-rata adalah perempuan,” ujar Desi.

Peningkatan ini telah Desi lihat sejak awal ia memulai kariernya di RCTI pada tahun 1990. Pada saat itu, RCTI adalah stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.

“Belum ada redaksi ketika saya mulai kerja di sana, hanya ada beberapa orang,” kata Desi.

“Saya merupakan salah satu yang mendirikan newsroom, dan saya juga pembawa acara pertama di RCTI. Banyak fase trial and error pada saat itu karena saya kurang tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya sambil terkekeh.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Desi beralih ke MetroTV, Fifi Aleyda Yahya menjadi salah satu pembawa acara yang ada di bawah pimpinannya. Fifi mengawali kariernya di TVRI setelah lulus kuliah.

“Setelah itu saya menikah, hamil empat bulan, dan masuk ke MetroTV,” kata Fifi.

“Dari situ, terasa betapa pentingnya lingkungan kerja yang mendukung kondisi saya [sebagai perempuan],” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Read More
tips mendapatkan work life balance

7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Tahun ini kita sudah memasuki tahun kedua hidup dalam kondisi pandemi. Masih banyak kantor yang melakukan kerja jarak jauh atau work from home (WFH) dan sebagian juga sudah ada yang kembali melakukan aktivitas work from office, mudah-mudahan dengan protokol kesehatan yang ketat. Sepertinya kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia ini enggak bakal kembali lagi seperti tahun 2019, ini fakta yang masih sulit banget kita hadapi. 

Di awal pandemi tahun lalu kita memang masih sangat sulit untuk beradaptasi dengan gaya hidup baru kita, harus terjebak di rumah, tidak bisa traveling ketika liburan, tidak bisa nongkrong bareng teman-teman dan lain sebagainya. Sebagian dari kita bahkan mungkin mengalami cabin fever dan membuat kesehatan mental kita menurun dan membuat jenuh bekerja akibat terlalu lama tidak keluar rumah. 

Apa itu Work Life Balance

Jadi, apa itu work life balance? secara singkat work life balance merupakan sebuah kondisi di mana individu memprioritaskan tuntutan karier dan tuntutan kehidupan pribadinya secara setara. Memang sekilas seperti mustahil dilakukan tetapi, sangat penting bagi kita untuk menjaga agar kita tidak berlebihan dalam bekerja dan berakhir sakit-sakitan. 

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Bagi seorang fresh graduate yang belum memiliki pengalaman bekerja, penting bagi kamu untuk mulai membaca bagaimana kondisi kerja industri yang akan kamu masuki serta bagaimana untuk tetap sehat jasmani dan mental saat bekerja.  

Kamu Perlu Mengatur Ekspektasi Kamu

Bagi beberapa orang kerja secara remot ini surga banget, tetapi bagi sebagian orang bekerja remot malah membuat mereka tertekan dan malah tidak se-produktif sebelum pandemi. 

Saya pernah berada di kondisi tersebut dan hal ini membuat saya merasa sangat bersalah dan bersedih. Akan tetapi, saya kembali mengingat bahwa saat ini kondisinya berbeda, dan saya perlu mengatur ekspektasi saya serta memaafkan diri saya. 

Untuk kamu yang baru memasuki dunia kerja pasti akan berbeda pengalamannya. Maka dari itu ada baiknya kamu pun juga mengatur pencapaianmu. Setiap hari kamu juga perlu membuat to do list agar kamu bisa melihat apa saja yang akan dan sudah kamu kerjakan hari itu. 

Jika Kamu Bekerja dari Rumah Buatlah Tempat Khusus untuk Bekerja

Nah, bagi kamu yang baru saja masuk ke Nia kerja dan harus bekerja dari rumah, kamu perlu banget memperhatikan hal ini. Sebaiknya, kamu buat sudut khusus untuk bekerja agar kamu bisa memisahkan antara waktu bekerja dan waktu untuk berisitrahat. Jika kamu masih tinggal dengan orang tuamua, pastikan bahwa orang rumah tahu bahwa sudut tersebut tempat kamu bekerja. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Ciptakan Penanda Kapan Kamu Mulai Bekerja dan Berhenti Bekerja 

Karena bekerja dari rumah, terkadang kita enggak sadar setelah bangun tidur kita langsung cek whatsapp kantor lalu buru-buru buka laptop. Ini enggak baik loh, sebab kita jadi merasa kalau kita itu non-stop bekerja tanpa ada istirahat sama sekali.

Kamu perlu memastikan untuk membuat jeda-jeda tersebut, usahakan jika istirahat makan siang, tinggalkan saja ponsel-mu dan makanlah dengan khidmat. Jangan juga makan siang di depan laptop, tentunya jadi enggak nikmat. Memiliki jeda 10-15 menit dari pekerjaan dapat membuat kamu merasa refreshed dan siap untuk kembali produktif.

Ciptakan Rutinitas Baru Supaya Terbentuknya Work Life Balance

Membuat rutinitas baru dan menjadwalkan apa saja yang akan kamu lakukan dalam sehari itu, bisa angket loh membantu kamu dalam bekerja. Dengan kedua hal ini kita merasa punya kontrol dalam hidup kita dan tidak hilang arah ketika bekerja. Tetapi yang perlu kamu ingat adalah buatlah jadwalmu dengan sedikit fleksibilitas. 

Ciptakan Work Life Balance dengan Berbaik Hati pada Diri Anda

Bagi kamu yang masih fresh graduate mungkin kondisi kerja seperti ini merupakan hal yang tidak pernah kamu bayangkan. Kamu merasa dengan bekerja di rumah malah membuatmu bekerja terus menerus dan tidak ada rekan kerja yang bisa kamu ajak ngobrol. Hal ini membuat kesehatan mentalmu menurun bahkan mengalami burnout

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Jika kamu merasa seperti ini, kamu perlu menyadari bahwa penting untuk kamu memantau emosi dan kondisi fisikmu dan jangan lupa untuk melakukan self care dengan cara menonton filmkah, mendengarkan musik, atau membaca komik atau pun novel. Akan tetapi, jika hal ini tetap tidak mempan dan kamu masih mengalami burnout, sebaiknya kamu perlu mencari bantuan profesional dan berkonsultasi ke psikolog.

Atur Pola Makan dan Berolahraga 

Poin ini masih berhubungan untuk menjaga kesehatan jasmani dan mental kita loh. Dengan makan yang teratur juga sehat serta mengurangi snack ini bisa membuat kamu lebih sehat dan hormonmu menjadi teratur.

Baca Juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Ada beberapa makanan dan minuman yang bis memicu perasaan cemas dan gelisah misalnya, minuman yang mengandung kafein. Selain itu, dengan berolahraga secara teratur kita juga dapat membuat peredaran darah kita lebih lancar.  

Kurangi Penggunaan Media Sosial 

Tips terakhir untuk mendapatkan work life balance tentunya berkaitan dengan digital well being kamu. Karena pandemi, aktivitas digital orang semakin meningkat apalagi dengan adanya work from home, ini yang mbikin kita semakin susah lepas dari gadget. Mungkin sebagian dari kita menganggap main hape dikala istirahat itu merupakan hiburan, tetapi ini enggak baik loh. 

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Alih-alih merasa segar, ketika kita melihat media sosial kita yang bising banget apalagi kalau kamu mengikuti akun-akun yang suka ribut dan julid, wah itu sih malah bikin kita kembali emosi. Daripada kesehatan mental kita terganggu, lebih baik kita puasa medsos dulu deh.

Sebaiknya atur juga berapa lama kamu membuka setiap media sosial kamu  agar kamu lebih sadar ketika membuka medsos tersebut. daripada bermain ponsel dan melihat medsos, mungkin kamu bisa membaca buku atau tidur ayam  10 sampai 15 menit saja untuk mengistirahatkan mata sejenak.  Nah itu beberapa tips untuk mendapatkan work life balance atau keseimbangan kehidupan kerja yang bisa kalian coba terapkan untuk sekarang ini. Intinya, apa pun yang terlalu berlebihan itu tidaklah baik, termasuk bekerja terlalu keras.

Read More
Rekomendasi Novel untuk perempuan pekerja

5 Rekomendasi Novel Terbaik Untuk Perempuan Pekerja

Banyak sekali tantangan yang dihadapi perempuan pekerja, mulai dari urusan pekerjaan, keluarga, percintaan, berbagi tugas domestik dan tempat kerja, stigma sebagai lajang, pertanyaan kapan menikah/punya anak/punya anak kedua, dan seterusnya. 

Beginilah situasi dan kondisi masyarakat patriarkal, membuat tantangan perempuan pekerja lebih besar daripada laki-laki, terutama karena adanya beban berlipat. Masyarakat cenderung menuntut perempuan menjadi seorang ibu dan mengurus rumah tangga  dengan alasan itu adalah kodrat seorang perempuan. Ini yang membuat banyak perempuan kesulitan untuk mengembangkan kariernya di kantor. 

Tantangan menjadi Perempuan Pekerja  

Selain dari lingkungan keluarga dan masyarakat, saat ini lingkungan kerja masih belum terlalu ramah terhadap pekerja perempuan. Ketiadaan fasilitas pendukung untuk ibu bekerja, kekerasan seksual di tempat kerja dan lain-lain, membuat perempuan sulit untuk mencapai posisi-posisi strategis perusahaan. 

Baca Juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Isu-isu terkait tantangan yang dihadapi perempuan pekerja sudah banyak menjadi tema buku fiksi dari para perempuan penulis di banyak negara. Menariknya (atau mirisnya), hampir semua mengalami tantangan yang sama dengan konteks yang berbeda. 

Berikut adalah beberapa novel yang kami rekomendasikan, yang ditulis oleh perempuan Asia atau keturunan Asia, dan membahas tentang perempuan pekerja. Novel-novel ini tidak cuma bercerita tentang perempuan pekerja kantoran, ada juga beberapa cerita yang berfokus pada individu yang harus memilih antara melanjutkan usaha orang tua atau kembali hidup sendiri. 

Rekomendasi Novel terbaik Goodbye, Vitamin dari Rachel Khong

Rekomendasi Novel terbaik Goodbye, Vitamin dari Rachel Khong

Ketika Ruth Young memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya untuk membantu mengurus ayahnya yang terkena penyakit Alzheimer, keputusan tersebut juga bagian dari usahanya untuk lari dari hidupnya yang sedang berantakan karena diselingkuhi tunangan dan banyak kendala di tempat kerja. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Ibunya kemudian memohon Ruth untuk menetap selama satu tahun di rumah mereka, untuk membantu merawat sang ayah yang masih bersikeras mengatakan kondisinya baik-baik saja. Ruth dan ibunya pun memulai mencari pengobatan yang cocok untuk ayahnya. Walaupun temanya kelihatannya agak berat, membahas Alzheimer, namun banyak sindiran lucu dan momen-momen menarik yang dikemas seperti sebuah diari, membuat ceritanya lebih ringan dan buku ini dapat dibaca dengan cepat. 

Strange Weather in Tokyo dari penulis Jepang Hiromi Kawakami

Rekomendasi novel Strange Weather in Tokyo

Tsukiko adalah seorang perempuan pekerja berusia 30an yang tidak memiliki teman dan jarang mengunjungi keluarganya. Dia juga sudah lelah menjalani hubungan romantis dengan laki-laki karena selalu berakhir kandas.

Suatu hari, saat sedang nongkrong sendirian di sebuah bar sake, ia bertemu dengan mantan guru SMA-nya, yang ia lupa namanya. Tsukiko pun memanggil lelaki itu dengan sebutan “sensei” (guru), dan obrolan ringan di bar berlanjut menjadi pertemuan rutin setelahnya. Ditulis dengan lancar dan menyentuh, ini adalah kisah cinta klasik di tengah modernitas Jepang. 

Rekomendasi Novel Tentang Perempuan Penulis: “Days of Distraction” oleh Alexandra Chang

Days of Distraction oleh Alexandra Chang

Buat kamu yang bekerja di perusahaan teknologi rintisan pasti akan sangat terhubung dengan karakter protagonis utama dalam Days of Distraction karya Alexandra Chang. Buku ini mengisahkan seorang perempuan berusia 24 tahun yang bekerja sebagai seorang penulis di sebuah penerbitan terkenal yang membahas soal teknologi. Ia seorang karyawan yang berdedikasi, namun ketika ia meminta kenaikan gaji, perusahaan mengabaikannya. 

Baca Juga: Cerita Cinta Toksik Dalam Fiksi: Yay or Nay?

Ketika pacarnya  mengatakan akan pindah karena ingin melanjutkan sekolahnya, ia menemukan jalan untuk  berhenti dan lari dari kondisi tersebut. Pindah ke sebuah daerah yang baru seharusnya menjadi sebuah gestur komitmen dan jalan untuk membentuk ulang dirinya. Namun ternyata banyak tantangan yang dia hadapi, terutama terkait identitasnya sebagai perempuan keturunan Asia di Amerika.

Chemistry oleh Weike Wang

Novel Chemistry oleh Weike Wang

Rekomendasi Novel yang ini membahas perempuan yang bekerja di bidang STEM. Protagonis utama dalam novel Chemistry ini adalan perempuan pekerja keturunan Cina, yang sedang menjalani pendidikan S3 di bidang Kimia. Hidupnya terkesan sempurna—otak brilian, orang tua yang bangga dengan pencapaiannya, serta pacar yang sangat mendukung kariernya baru saja melamarnya.

Tapi alih-alih merasa penuh harap, ia tertekan dengan kehidupan pekerjaannya dan merasa bimbang menjawab permintaan pacarnya untuk menikah.

Soy Sauce for Beginners oleh Kirstin Chen 

Soy Sauce for Beginners oleh Kirstin Chen

Gretchen Lin adalah perempuan berusia 30 tahun yang memutuskan untuk meninggalkan San Francisco menyusul pernikahannya yang kandas, dan kembali ke rumah orang tuanya di Singapura. Ia kemudian menghadapi dua masalah besar yang sudah lama ia hindari yaitu, ibunya yang kecanduan alkohol dan intrik dalam bisnis kecap yang dijalankan sang ayah.

Baca Juga: Aktivis perempuan dan penulis novel “Perempuan di Titik Nol”

Gretchen pun dihadapkan antara ambisi personalnya dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Rekomendasi novel terbaik ini menggambarkan tentang pengorbanan seorang perempuan yang sedang mencari tempat yang ia sebut “rumah”. Sebuah cerita tentang pencinta kuliner yang akan memberikan apresiasi yang tulus kepada pembaca atas kesetiaan keluarga, serta awal yang baru. 

Read More
Cara Jadi HRD Profesional

5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Menciptakan lingkungan kerja yang setara, terutama dalam hal gender, memerlukan dukungan semua elemen tempat kerja. Salah satu pihak yang menjadi aktor utama pencapaian kesetaraan gender di tempat kerja adalah adanya Human Resources Department (HRD) alias departemen sumber daya manusia yang profesional.

Tugas HRD ini beragam, mulai dari, perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan karyawan, manajemen performa, penggajian, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, banyak sekali keuntungan untuk perusahaan jika perusahaan mulai memperbaiki kebijakannya agar lebih ramah terhadap pekerja perempuan. Ia mengakui memang masih banyak perusahaan menganggap memberikan akses lebih untuk perempuan di tempat kerja adalah biaya, padahal itu justru akan memberi perusahaan lebih banyak keuntungan. 

“Memberikan cuti melahirkan enam bulan, misalnya. Waduh, [mereka pikir] itu nanti cost-nya gimana? Padahal, kalau mereka bikin regression analysis aja, enggak semua perempuan dalam perusahaan itu akan melahirkan lagi. Dan belum tentu ada yang  berencana mau melahirkan, atau enggak juga dalam waktu yang bersamaan semuanya cuti melahirkan,” kata Maya kepada Magdalene dalam acara BiSiK Kamis di Instagram bertema “Women on Top: Tantangan dan Peluang“. 

Fakta lainnya, kesetaraan di tempat kerja juga membantu perusahaan untuk bertahan menghadapi pandemi. Legal Counsel Citi Indonesia serta Co-Chairwoman Citi Indonesia Women’s Network (IWN), Vera Sihombing mengatakan salah satu kunci agar perusahaan bertahan di tengah pandemi adalah mewujudkan  kebijakan serta kegiatan yang meningkatkan profesionalitas pekerja perempuan. 

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

“Perempuan merupakan pilar kemajuan perusahaan. Jadi perusahaan harus memberikan mereka kesempatan aktualisasi diri untuk mencapai pencapaian yang maksimal di kantor,” kata Vera.

Agar lingkungan kerja lebih setara gender, kami memiliki tips jitu buat kamu yang bekerja sebagai HRD profesional di perusahaanmu, berikut ini.

1. HRD Profesional Merekrut Karyawan Baru dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Beberapa kali kita melihat iklan lowongan kerja dengan syarat-syarat yang tidak relevan dan seksis, karena kaitannya dengan fisik calon pekerja, misalnya berpenampilan menarik, berusia tertentu, tinggi badan sekian, dan sebagainya. Padahal penampilan tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan seseorang dalam sebuah bidang. 

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Sebaiknya tidak menaruh hal-hal yang berkaitan dengan penampilan untuk syarat calon pelamar. Selain itu, di dalam proses rekrutmen, sebelum daftar para calon diajukan ke manajemen, sebaiknya nama dan gender disembunyikan dulu. Hal ini sangat membantu agar manajemen terhindar dari bias implisit. Pada tahap wawancara, pastikan ada keragaman opini di dalam ruangan. Dapatkan opini kedua dan ketiga. 

2. HRD Profesional Perlu Menerapkan Kebijakan yang Setara dan Adil 

Staf HRD profesional perlu berlaku adil dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Apa pun latar belakang karyawan dan gender karyawannya, HRD profesional harus merangkul perbedaan sebab tenaga kerja yang lebih beragam juga lebih menguntungkan. 

Kita juga perlu menanamkan pemahaman bahwa kebijakan yang adil gender akan menguntungkan kedua belah pihak baik pihak karyawan laki-laki maupun perempuan. Adakan juga pelatihan tentang kesetaraan gender di tempat kerja supaya cara pandangnya berubah.  

3. Tanamkan Keutamaan Work-Life Balance pada Karyawan

Bekerja memang sebuah kewajiban, tapi jangan sampai lupa istirahat. Para staf HRD profesional perlu menanamkan prinsip work-life balance kepada seluruh karyawan termasuk kepala-kepala divisi. Ingatkan mereka untuk saling menghormati waktu istirahat masing-masing apalagi jika sedang cuti. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Selain itu, HRD pun perlu jeli bahwa kondisi fisik dan mental antara karyawan perempuan dan laki-laki berbeda. Utamakan juga melihat permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dengan pendekatan dan perspektif gender, sebab sering kali permasalahan yang dihadapi tertutup oleh lapisan ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan.  

4. Buat Kebijakan dan SOP yang Ketat dan Efektif Terhadap Pelecehan dan Pelanggaran di Tempat Kerja

Ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama di berbagai perusahaan, sebab pelecehan seksual di perusahaan masih luput dalam pembicaraan. Sebagai HRD profesional, kita perlu membicarakan isu ini dengan serius. 

Dalam riset yang dilakukan oleh Never Okay Project di tahun 2018, hanya 4 persen perempuan pekerja yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Bahkan, sebanyak 40 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik di tempat kerjanya. Temuan lain dari riset tersebut sebagian besar pelakunya merupakan atasan atau rekan kerja senior. 

Angka tersebut merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus yang terjadi. Sering kali korban terhambat untuk melapor sebab tidak adanya standard operational procedure (SOP) khusus yang menangani isu kekerasan seksual. Jika pun ada, SOP tersebut masih belum memihak kepada korban. 

Baca Juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Karenanya, HRD profesional perlu membuat kebijakan khusus terkait dengan isu kekerasan seksual, dan yang terpenting kebijakan ini berpihak kepada korban. 

5. Dorong Kepemimpinan Perempuan 

Penting bagi HRD profesional untuk melihat apakah perusahaan sudah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mencapai pucuk kepemimpinan. Seperti yang kita tahu, jumlah pemimpin perempuan masih minim disebabkan oleh banyak tantangan salah satunya, beban ganda yang mereka emban. 

Untuk membantu mereka mencapai pucuk kepemimpinan perusahaan perlu memberikan dukungan terhadap perempuan, seperti misalnya waktu kerja yang fleksibel, dan layanan penitipan anak.

Read More