Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Buku pelajaran atau buku teks memegang peranan dalam mentransfer nilai-nilai dalam hidup bermasyarakat. Akan tetapi sayangnya, salah satu nilai yang penting ditanamkan kepada anak-anak sekolah yakni kesetaraan gender, masih sering luput dimasukkan ke dalam buku-buku tersebut.

Hal ini dikemukakan oleh Sugeng Ariyanto dalam jurnalnya yang bertajuk “A Portrait of Gender Bias in the Prescribed Indonesian ELT Textbook for Junior High School Students”(2013). Dalam penelitiannya terhadap buku teks bahasa Inggris yang dipakai anak sekolah, ia menemukan sejumlah gambar dan teks di sana yang masih mengusung stereotip gender dan peran gender tradisional. Contohnya, perempuan masih dilekatkan dengan peran mengurus keluarga atau urusan ke pasar, tetapi tidak demikian dengan laki-laki. Selain itu, ada pula sejumlah sifat berdasarkan stereotip gender yang diperlihatkan dalam percakapan antara guru dan siswa-siswinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh M. Niaz Asadullah dan Kazi Md. Mukitul Islam dan diterbitkan di jurnal PLOS ONE (2018) sejalan dengan penelitian Sugeng. Dalam sebuah artikel di The Conversation, Asadullah menyatakan bahwa buku pelajaran di empat negara mayoritas Muslim (Malaysia, Pakistan, Bangladesh) masih kental dengan bias gender.

Asadullah dan Islam mengamati, dari indikator kualitatif seperti proporsi gender yang ditampilkan, buku pelajaran Indonesia cenderung lebih seimbang menampilkan laki-laki dan perempuan dalam konten tekstual dibanding buku di negara lain.  

Namun, dari indikator kualitatif mereka menilai penggambaran perempuan di buku pelajaran masih jauh dari setara. Dalam buku teks bahasa Inggris yang dipakai murid kelas 9 misalnya, karakter laki-laki masih mendominasi dalam hal bidang pekerjaan. Mereka digambarkan punya lebih beragam pekerjaan dibanding perempuan, serta menjalankan profesi yang erat dengan maskulinitas dan kekuatan seperti pemadam kebakaran atau raja.

Selain itu, ada banyak penekanan pada identitas perkawinan yang ditunjukkan oleh seringnya penggunaan istilah “Mrs.”, sementara dalam buku-buku di Malaysia dan Bangladesh, mayoritas tokoh perempuan disebut dengan “Miss”.  

Bias Gender dalam Buku Sains

Tidak hanya dalam buku teks bahasa Inggris seperti disebutkan dua penelitian di atas, bias gender juga tampak dalam buku sains anak.

Dalam sebuah penelitian di Inggris oleh Susan Wilbraham dan Elizabeth Caldwell, yang menyoroti buku-buku sains bergambar untuk anak di dua perpustakaan publik, ditemukan bahwa secara umum, representasi perempuan dalam buku sains anak tiga kali lebih sedikit dibanding laki-laki.

Dari aspek foto dan ilustrasi di sana, khususnya di bidang fisika, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan. Sebanyak 87 persen gambar di buku fisika menunjukkan sosok laki-laki. Saat bicara tentang astronot pun, rujukan menyebut astronot masih kerap dihubungkan dengan laki-laki (“his”). Ketika menyinggung astronot perempuan, mereka tidak digambarkan punya kemampuan seperti halnya astronot laki-laki.

Baca juga: Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

“Tempat-tempat program pelatihan astronot NASA sangat kompetitif dengan ribuan lamaran setiap tahunya. Namun dalam buku [sains anak] tersebut, pelatihan, keahlian, dan pengetahuan perempuan tersebut tidak disinggung,” tulis Wilbraham dan Caldwell.

“Sebagai gantinya, keterangan gambar tersebut justru berbunyi ‘Dalam gravitasi 0, setiap hari adalah hari gaya rambut yang buruk’. Komentar seperti itu yang terfokus pada penampilan perempuan gagal menganggap serius kontribusi mereka.”

Dari hal seperti ini, muncul impresi bahwa sains adalah subjek untuk laki-laki dan kurang ada penghargaan bagi perempuan di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).  Wilbraham dan Caldwell berpendapat, perempuan dalam buku sains sering digambarkan pasif, berstatus rendah, tidak terlatih, atau keberadaan mereka tidak diketahui sama sekali.

Dampak Bias Gender dalam Buku Teks

Bias gender dalam buku-buku teks atau konten edukasi untuk anak masih sering diwajarkan oleh banyak pihak, mulai dari guru, orang tua, hingga peserta didik sendiri. Padahal, hal tersebut berdampak negatif terhadap kesetaraan gender, tidak hanya di dunia pendidikan saja, tetapi sampai dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat bagi anak di masa depan.

Wilbraham dan Caldwell mengungkapkan, gambaran laki-laki dan perempuan berpengaruh terhadap harapan anak-anak tentang hal yang akan mereka dapatkan atau jalani di kemudian hari. Penggambaran tersebut mengajarkan mereka “aturan” mengenai pekerjaan yang cocok bagi tiap gender sehingga mereka terdorong untuk mengikuti stereotip karier gender yang berlaku.

Dalam buku panduan keluaran UNESCO berjudul Promoting Gender Equality through Textbooks (2009), dikatakan bahwa ada kaitan antara capaian anak perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki dan buku teks. Lewat konten yang masih bias dan penuh stereotip gender, ketimpangan gender dan diskriminasi dikuatkan.

Panduan UNESCO tersebut mencatat bahwa buku-buku teks tidak hanya berkontribusi pada penyebaran pengetahuan, tetapi juga memegang peran penting dalam mendidik anak tentang perilaku, norma, dan nilai sosial. Karena itu, buku-buku teks berperan sebagai alat pendidikan sekaligus perubahan sosial.  

Bagaimana Mendorong Perubahan?

Ada sejumlah aspek yang bisa diperhatikan untuk mengetahui apakah buku teks sudah menampilkan gambaran gender secara setara atu belum. Panduan UNESCO menyebutkan beberapa di antaranya seperti: Bagaimana pahlawan dan peran minor ditampilkan; fungsi sosial, keluarga, atau pekerjaan yang dijalankan laki-laki dan perempuan; atribut gender baik dari segi fisik maupun hal-hal yang dikenakan; sifat atau karakter gender; aktivitas yang dilakukan kedua gender; serta interaksi antarkarakter dalam buku teks.

Hal ini menjadi catatan penting bagi para pembuat buku teks anak berikutnya untuk membuat konten pendidikan anak yang lebih mengedepankan kesetaraan gender. Cerita dari sosok-sosok perempuan panutan di berbagai bidang pekerjaan menjadi salah satu hal yang dapat dimasukkan dalam buku-buku teks. Lewat teladan seperti itu, anak-anak dapat belajar bahwa segala peluang kerja atau melakukan sesuatu terbuka baik untuk laki-laki maupun perempuan. Terlebih untuk siswi, mereka dapat terdorong untuk mempunyai cita-cita dan capaian yang sama seperti tokoh-tokoh perempuan panutan tersebut.  

Baca juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan  

Bukan tugas para penulis buku teks saja untuk menanamkan pendidikan yang lebih setara gender. Para guru dan orang tua perlu berpartisipasi aktif untuk mendorong inklusivitas gender dalam mendidik anak. Ketika ada buku teks yang masih mempertahankan stereotip gender dalam konten visual maupun verbalnya, mereka perlu lebih aktif dan kritis menyikapi hal tersebut sehingga anak juga terlatih untuk tidak hanya mengikuti apa yang tergambar di sana.

Read More
ketua osis perempuan

Budaya Patriarkal, Konservatisme Agama Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Tahun lalu, ketika ada pemilihan ketua Organisasi Intra Sekolah (OSIS) di sebuah SMA negeri di Kabupaten Garut, Jawa Barat, “Nadhifa” memberanikan diri untuk maju menjadi calon ketua. Ia memiliki pengalaman menjadi pengurus OSIS selama setahun dan prestasi akademiknya juga baik.

Namun, ia kemudian memutuskan mundur karena dua kandidat lain adalah laki-laki dengan citra cukup bagus dan dikagumi banyak murid. Nadhifa merasa pencalonannya akan sia-sia karena hampir tidak pernah ada murid perempuan yang menjadi ketua OSIS di sekolahnya. Nilai-nilai agama di sekolahnya masih sangat kental sehingga banyak yang percaya laki-laki lebih baik untuk memimpin.

“Akhirnya saya enggak jadi nyalon, karena saya pesimis. Walaupun teman-teman enggak langsung ngomong ke saya, tapi mereka suka ngasih kode kalau pemimpin tuh baiknya laki-laki. Padahal, saya juga sudah jadi pengurus OSIS hampir setahun,” ujar perempuan berumur 16 tahun itu kepada Magdalene.

Qurrota Ayyun yang bersekolah di SMA swasta berbasis Islam lebih beruntung. Ia terpilih menjadi ketua OSIS di SMA IT Adzkia Sukabumi, Jawa Barat, setelah mengalahkan kandidat laki-laki dan perempuan. Ia menjadi perempuan kedua yang terpilih menjadi ketua OSIS di sekolahnya, setelah tahun-tahun sebelumnya kursi kepemimpinan itu selalu diisi oleh laki-laki.

Menurutnya, keberhasilannya itu bisa terjadi karena sekolahnya masih baru, jumlah siswa yang sekolah masih terbatas, sehingga pemilihan kandidat calon ketua OSIS pun dipilih atas musyawarah guru, bukan inisiatif siswanya.

“Dari catatan pemilihan sebelumnya, biasanya memang yang laki-laki suka dapat suara tinggi. Tahun kemarin yang terpilih juga laki-laki karena satu kandidat lagi teman saya (perempuan) justru enggak mau jadi ketua OSIS karena merasa enggak layak,” ujar Qurrota kepada Magdalene.

Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi

Konservatisme Agama di Sekolah Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Kurangnya kepercayaan diri dan narasi bahwa laki-laki lebih baik sebagai pemimpin seperti yang dialami Nadhifa dan teman Qurrota masih menjadi hambatan bagi perempuan sejak di level sekolah. Hal ini tidak hanya terjadi di daerah saja, Jakarta sebagai kota metropolitan yang paling plural pun masih menghadapi masalah yang sama.

Hasil penelitian Sri Wahyuningsih dari Universitas Negeri Jakarta yang bertajuk Gaya Kepemimpinan Perempuan (Studi Pada Ketua OSIS di SMA Se-Jakarta Timur), menunjukkan pada 2014, dari 123 SMA di Jakarta Timur hanya 32 sekolah yang mempunyai pemimpin OSIS perempuan. Sri mengambil data dari 40 SMA Negeri dan 83 SMA swasta. Perempuan yang menjadi ketua OSIS di sekolah negeri menjadi yang paling sedikit angkanya.

Minimnya representasi perempuan sebagai pemimpin di sekolah juga ditemui Program Manager Girls Leadership Academy dari Yayasan Plan Indonesia, Lia Toriana. Dalam berbagai program pelatihan kepemimpinan bagi siswi SMA yang dijalaninya, Lia mengatakan bahwa selain nilai patriarkal yang menciutkan rasa percaya diri perempuan, konservatisme agama di sekolah yang semakin meningkat menjadi penghambat besar lainnya yang harus dihadapi perempuan.

“Kalau sekolah swasta, apalagi yang sudah berstandar nasional itu biasanya lebih terbuka. Sekolah negeri justru yang titipan nilai-nilai agamanya cukup kental. Narasi agama yang mendorong ketua OSIS itu seharusnya laki-laki karena laki-laki adalah imam itu masih banyak ditemukan,” ujar Lia kepada Magdalene.

Selain itu, ia juga menemukan kecenderungan pemilihan kandidat ketua OSIS yang dikuasai oleh agama mayoritas, misalnya, kandidat yang berasal dari kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) cenderung lebih mendapatkan suara tinggi dibanding kandidat lainnya.

Menurut Lia, implikasi dari iklim pemilihan yang hanya didominasi oleh kelompok agama tertentu bisa memicu intoleransi tidak hanya bagi perempuan, tapi juga kelompok minoritas lainnya. Dalam kasus SMAN 6 Depok, misalnya, seorang siswa non-muslim yang terpilih menjadi ketua OSIS harus rela mundur karena sebagian pihak yang keberatan karena dirinya non-muslim, ujarnya.

Baca juga: Guru BK Berperan Penting dalam Mendeteksi Depresi Siswa

Oktober lalu, sebuah tangkapan layar menjadi viral karena menunjukkan pesan dari seorang guru yang mengajak muridnya untuk tidak memilih kandidat ketua OSIS non-muslim di grup Rohis SMA Negeri 58 Jakarta.

“Padahal kan itu sebuah kemajuan ya kalau misal ada dari non-muslim yang terpilih. Tapi akhirnya banyak yang mundur karena ada tekanan di dalam sekolah itu. Jadi memang ada hambatan pola relasi masyarakat yang masih didominasi oleh masyarakat dengan moral-moral komunal atas nama budaya dan agama,” tambah Lia.

Peran Guru BK dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan di Sekolah

Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan perkembangan siswa, guru punya andil penting dalam mendorong siswa untuk lebih berani bersuara dan maju menjadi pemimpin. Hal ini dibenarkanoleh Qurrota.

Kendati begitu, ia mengatakan peran guru itu seperti dua sisi mata uang, bisa jadi pihak yang meningkatkan kepercayaan diri perempuan, bisa juga jadi pihak yang mematikan potensi mereka, ujarnya.

“Makanya perlu banget didorong oleh guru karena mereka bisa meningkatkan kepercayaan diri siswa-siswanya. Banyak yang maju karena ditekan sama gurunya, banyak juga yang mundur karena tekanan,” ujar Qurrota.

Lia menambahkan, hal itu bisa terjadi karena tidak semua guru punya pemikiran yang sama dalam melihat kepemimpinan perempuan, ada guru yang mendukung ada juga yang tidak, ujarnya. Namun, karena alasan itu pula peran guru bimbingan dan konseling (BK) menjadi krusial untuk mendorong siswi semakin proaktif dalam mendalami nilai-nilai kepemimpinan, tambahnya.

“Guru BK ini kan bukan pihak yang memberi nilai akademik ya, tapi lebih pengembangan dan potensi, jadinya cukup besar sekali peran mereka. Beberapa kali kesempatan kita kerja sama dengan OSIS SMA itu pasti lewat guru BK, jadi mereka yang mencari bakat-bakat kepemimpinan perempuan,” ujar Lia.

Baca juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Dalam hasil penelitian Sri Wahyuningsih juga disebutkan bahwa guru BK berperan memfasilitasi siswi perempuan yang mempunyai peluang atau keinginan untuk menjadi pemimpin, tak hanya di OSIS, tapi di berbagai bidang organisasi sekolah.

“Guru BK bisa jadi pintu gerbang perempuan untuk menjadi pemimpin, mereka harus mampu memfasilitasi siswa dengan informasi, penempatan dan penyaluran bakat dan minat,” tulis Sri.

Peran Orang Tua untuk Mendorong Anak Perempuan Jadi Pemimpin

Selain keterlibatan sekolah dalam mendorong siswa perempuan untuk menjadi pemimpin, orang tua juga punya peran penting untuk mengajarkan anak tentang nilai kepemimpinan sedari dini. Namun, menurut Lia, di banyak kasus, orang tua sekarang ini cenderung memilih sekolah untuk anak yang sesuai dengan ideologi dan kepercayaan mereka.

“Misalnya, ada orang tua yang memilih sekolah eksklusif berbasis Islam atau mungkin juga sekolah Kristen. Itu kan bentuk resonansi dari orang tua untuk menjaga iman dan takwa si anak di sekolah. Sedangkan, unsur-unsur apakah nilai kepemimpinan diajarkan di sekolah itu jarang dipertimbangkan orang tua,” ujar Lia.

Hal tersebut, tambahnya, diperparah dengan pola pikir orang tua yang tak jarang menyerahkan semua beban pendidikan kepada pihak sekolah saja. Padahal, hampir sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah. Peran gender normatif yang masih diberlakukan di rumah, misalnya, secara tidak langsung menjadi salah satu yang membentuk pola pikir anak.

Most of the time ayah yang biasanya ambil keputusan dan wejangan, sedangkan ibu ya dilihatnya sebagai sosok yang ada di dapur masak, atau enggak begitu punya power untuk ambil keputusan. Hal itu yang membuat mereka enggak dapat inspirasi bahwa mereka bisa mengambil keputusan dan jadi pemimpin. Mereka enggak punya contoh itu di keseharian,” kata Lia. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More

Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Nama Nyoman Anjani menjadi satu dari segelintir perempuan yang berkiprah di dunia STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Di industri tersebut, perempuan memang masih jauh kalah dari segi jumlah dibanding laki-laki karena STEM kerap diidentikkan dengan maskulinitas.

Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menyebut hanya ada 30 persen perempuan di bidang STEM dan 29,3 persen untuk perempuan peneliti secara global. Sementara di Asia, jumlah perempuan di bidang STEM hanya mencapai 18 persen.

Nyoman Anjani adalah seorang  peneliti bidang manufaktur di MIT Indonesia Research Alliance (MIRA), badan riset kolaborasi antara Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS dan beberapa perguruan tinggi di Indonesia, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia. Di tengah kesibukannya sebagai peneliti, Nyoman juga merintis beberapa bisnis di bidang manufaktur consumer goods di Indonesia.

Sebelum berkarier, alumni program studi Teknik Mesin ITB ini pernah menjabat sebagai Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (K3M) ITB periode 2013-2014. Saat ini, Nyoman sedang mengejar gelar MS, Magister Sains untuk Rekayasa dan Manajemen Bisnis di MIT.

Nyoman menekankan pentingnya peran perempuan di bidang STEM kendati mereka sering kali diremehkan oleh kolega maupun masyarakat yang lebih luas.

“Representasi perempuan penting karena mampu menyeimbangkan proses pengambilan keputusan, kerja sama dalam organisasi, dan analisis untuk suatu masalah. Sebab, perempuan memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki,” ujar perempuan berusia 32 tahun tersebut.

Dalam wawancara dengan Magdalene, Nyoman membagikan lebih lanjut cerita dan perspektifnya tentang perempuan di dunia STEM. Berikut rangkuman hasil wawancara tersebut.

Magdalene:  Mengapa Nyoman tertarik mengambil jurusan Teknik Mesin di ITB?

Ketika saya SMA, saya sudah bercita-cita untuk masuk Teknik Mesin ITB. Pemikirannya waktu itu sangat sederhana. Saya ingin memajukan industri manufacturing di Indonesia karena ayah saya selalu bilang, kalau Indonesia mau maju, industrinya juga harus maju.

Saya lalu memikirkan industri manufacturing karena di masa depan, semuanya dibuat oleh pabrik. Maka dari itu saya memilih Teknik Mesin. Saat itu juga saya berpikir bahwa jurusan Teknik Mesin bisa diterima kerja di bidang apa pun karena pasti membutuhkan seorang engineer. Itu pemikiran saya saat SMA, sangat simpel.

Baca juga: Panutan, Kesempatan di Tempat Kerja Dorong Lebih Banyak Perempuan dalam STEM

Saat masuk di jurusan tersebut, apakah Nyoman sempat menerima komentar negatif?

Kalau komentar negatif tidak ada. Pada dasarnya, orang cenderung amazed atau kagum, anak perempuan mau masuk Teknik Mesin. Waktu itu, angkatan saya (2009) totalnya 140 orang, perempuannya cuma enam orang. Zaman sekarang, sudah lebih banyak ya, perempuan di Teknik Mesin. Jadi, waktu itu, orang cenderung ke arah kaget anak perempuan berani masuk Teknik Mesin.

Sebagai perempuan apakah ada tantangan yang Nyoman alami selama berkuliah di jurusan itu?

Tantangan terbesar, sih, bersaing dengan laki-laki karena mereka mayoritas dan memang pintar juga. Otomatis, yang perempuan harus lebih rajin belajar, lalu harus bisa beradaptasi lebih baik.

Tapi kalau dari segi lingkungan, perempuan sangat dihargai, apalagi di jurusan yang mayoritasnya laki-laki. Jadi, perempuan sangat dilindungi oleh teman-teman laki-laki. Kalau tantangan fisik tidak ada, lebih ke mentalitas bagaimana kita bisa at par  atau memiliki kemampuan yang setara dengan teman kita yang laki-laki.

Saat Nyoman menjabat sebagai K3M ITB, apakah ada yang memberikan omongan negatif?

Waktu itu lebih karena ada pandangan orang-orang yang tidak setuju perempuan menjadi pemimpin di organisasi yang tinggi. Karena itulah, persaingan dalam pemilihan umum (pemilu)-nya sempat berjalan cukup sengit.

Saya terpilih lewat proses pemilu yang memakan waktu empat bulan, sementara standarnya hanya dua bulan untuk pemilihan. Tapi, banyak tantangan dan hal-hal menarik terjadi saat proses pemilu.

Baca juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Pada dasarnya, mahasiswa ITB cenderung lebih open minded, jadi ketika saya sudah terpilih secara demokratis, pemilu by voting dan semua mahasiswa memiliki hak suara, semua orang harus menaati peraturan dan bekerja sama.

Saat saya memimpin pun, saya memilih kepengurusan yang mewakili segala pihak, mewakili segala aspek rumpun mahasiswa yang ada di kampus.

Di ITB juga ada Femme in STEM yang visinya mempromosikan kontribusi dan representasi perempuan di bidang STEM. Apa pendapat Nyoman tentang hal itu?

Saya sangat mendukung perempuan Indonesia masuk ke dunia STEM yang didominasi laki-laki. Saya juga sangat mendukung perempuan agar lebih banyak berani mengambil jurusan STEM. Saya yakin, gerakan Femme in STEM ini bisa menginspirasi banyak perempuan yang masih duduk di bangku SMA agar mau mendaftar jurusan STEM.

Apakah pengalaman memimpin saat kuliah berpengaruh pada karier profesional Nyoman sebagai pengusaha?

Menurut saya, selain bekal akademik, yang terpenting adalah bekal organisasi karena di kampus, kehidupan di organisasi benar-benar membekali kita untuk memiliki soft skill yang lebih kuat. Contohnya, soal bekerja sama dalam tim dan cara berkomunikasi. Malah, soft skill itu yang banyak membantu saya di dunia pekerjaan dulu sebelum saya kuliah S2, bahkan sampai sekarang saya mencoba berwirausaha.

Jadi ada skill komunikasi, berpikir kritis, problem solving dan networking. Dengan networking luas yang dibangun sejak mahasiswa, kita cenderung lebih mudah untuk membaur di lingkungan baru atau mencari teman. Dengan networking juga, orang yang kita kenal bisa membantu ketika mengalami kesulitan di lapangan.

“Representasi perempuan penting karena mampu menyeimbangkan proses pengambilan keputusan, kerja sama dalam organisasi, dan analisis untuk suatu masalah. Sebab, perempuan memiliki sudut pandang berbeda dari laki-laki.”

Dalam dunia penelitian, apa saja tantangan yang Nyoman hadapi?

Kebetulan penelitian saya tentang manufacturing di Indonesia. Nah,lagi-lagi dunia manufakturmasuk bidang STEM, di mana mayoritas praktisi industri adalah laki-laki. Tantangannya menjadi researcher di dunia STEM yang seperti ini bagi perempuan adalah kita harus punya mentalitas yang lebih kuat, lebih berani.

Selain itu, harus punya critical thinking dan logic yang kuat untuk menganalisis masalah. Lalu, kita harus bisa memberikan solusi yang tepat untuk lingkungan kita di industri tersebut.

Terakhir adalah tantangan soal bagaimana perempuan membawa diri dengan baik ketika bekerja, bertingkah laku, mengutarakan pendapat, agar dia bisa didengar oleh koleganya yang kebanyakan laki-laki dan bisa saja orang itu posisinya lebih tinggi. Itu tantangan terbesar untuk menjadi researcher atau praktisioner di bidang STEM.

Ketika perempuan berkarier, selalu ada pandangan miring tentang perempuan yang ambisius. Apakah Nyoman pernah menerima komentar seperti itu?

Orang Indonesia cenderung tidak ada yang bicara frontal di depan orangnya. Tapi, pasti ada yang beranggapan seperti itu. Untuk menanggapinya, kita fokus pada apa yang mau kita kerjakan saja.

Menurut saya, pendapat yang paling harus didengarkan adalah pendapat orang tua. Jadi, selama orang lain atau orang asing berpendapat, kita ambil pesan yang baik. Kalau negatif, ya sudah, didengarkan dan tidak dimasukin ke hati.

Pokoknya, yang selalu menjadi patokan kita adalah nasihat dari orang tua. Selanjutnya fokus saja pada cita-cita yang mau kita capai, karena dari cita-cita itu, ada niat dan tujuan kenapa mau melakukannya. Jangan lupa juga untuk selalu komunikasikan hal itu ke orang tua.

Baca juga: Sains dan Empati: Senjata Keberhasilan Pemimpin Perempuan Kendalikan COVID-19

Dari jawaban tadi, sepertinya orang tua punya porsi besar dalam banyak hal bagi Nyoman. Bagaimana Nyoman memandang peran mereka dalam perjalanan karier?

Keluarga memang support system terdekat kita. Jadi menurut saya, setiap keputusan yang saya buat harus dikomunikasikan [kepada mereka]. Sebelum menikah, saya selalu mengomunikasikannya dengan orang tua. Sekarang setelah menikah, saya harus mengomunikasikannya dengan suami. Saya pikir, itu hal yang sangat penting, berkomunikasi dengan orang terdekat kita dan selalu jujur dengan apa yang ingin kita lakukan.

Keluarga akan menjadi supporting system dan back up system kita, jadi kalau ada apa-apa kembalinya akan ke keluarga lagi.

Selama ini, orang tua mendukung karier dan pendidikan saya dengan cara mendoakan, itu yang paling simpel. Suami dan orang tua menjadi tempat mendengarkan dan berkeluh kesah. Mereka pendukung terbesar saya dalam menjalankan posisi apa pun, baik soal pekerjaan atau sekolah.

Apa pesan yang ingin Nyoman sampaikan kepada perempuan yang berkuliah atau berkarier di bidang STEM dan penelitian, atau yang menjadi pemimpin dalam bidang itu?

Menurut saya, pertama yang pasti kita harus terus belajar. Ketika teman-teman baru masuk dunia kampus, harus punya curiosity untuk belajar hal-hal yang baru. Jangan cuma stuck dengan materi yang diberikan dosen. Banyak membaca, explore, terutama yang terkait STEM dan hal-hal yang berkembang di luar negeri.

Kedua, kita harus lebih rajin. Orang yang ambisius itu memiliki disiplin yang sangat tinggi karena mereka pekerja keras. Karena itu, mereka bisa meraih sesuatu lebih banyak dibanding orang lain.

Terakhir, kita harus selalu punya goal yang ingin dicapai dengan lebih baik dan termotivasi untuk berusaha lebih keras.

Read More
Akademisi Perempuan

Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Pandemi COVID-19 telah banyak membawa dampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kegiatan di universitas. Hal itu membawa krisis yang sebelumnya tidak pernah terjadi di institusi pendidikan tersebut, dan akademisi perempuan di Indonesia memikul tantangan tambahan karena pandemi ini.

Di berbagai belahan dunia, studi-studi awal mengonfirmasi bahwa pandemi COVID-19 telah membuat akademisi perempuan menanggung beban mengajar lebih berat. Akibatnya, mereka hanya memiliki waktu sedikit untuk melakukan riset dan menerbitkan publikasi dibanding akademisi laki-laki. Di seluruh dunia, jumlah artikel jurnal yang dipublikasikan oleh akademisi perempuan menurun secara signifikan selama pandemi.

Di Indonesia, perempuan tidak memegang jabatan-jabatan eksekutif tertinggi di universitas. Ini berakibat pada pembuatan kebijakan universitas yang bias gender.

Kita harus berhati-hati dalam memahami ketimpangan gender yang sudah sangat mengakar di pendidikan tinggi dan di luar itu. Kami melakukan studi eksploratori pada 27 akademisi perempuan Indonesia yang bekerja pada bidang humaniora dan ilmu sosial.

Informan kami berasal dari berbagai wilayah dan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Keberagaman ini memungkinkan kami untuk memahami bagaimana ketimpangan ini dialami dan dipraktikkan di ranah publik dan domestik.

Kami menemukan bahwa akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban dan tanggung jawab tambahan karena bekerja dari rumah dan juga semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh universitas.

Beban Akademisi Perempuan Lebih Berat Karena Tugas Domestik

Pandemi ini telah memaksa para akademisi untuk mengubah cara mengajar mereka dari tatap muka menjadi daring.

Perubahan yang cepat ini berarti para akademisi harus meluangkan waktu berjam-jam untuk merancang ulang perkuliahan, memeriksa tugas-tugas mahasiswa, serta memastikan alat-alat penunjang pekerjaan (seperti jaringan internet dan perlengkapan mengajar daring lainnya) tersedia dengan baik.

Seperti halnya para pekerja perempuan dan penyedia jasa perawatan dan pengasuhan yang tidak memiliki pekerjaan yang stabil, akademisi perempuan Indonesia harus menanggung beban ganda pekerjaan berbayar dan tidak berbayar.

Pergeseran ke kegiatan belajar daring untuk mahasiswa mereka dan anak-anak mereka sendiri ini menambah beban kerja domestik dan pengasuhan yang sering kali tidak dibagi secara adil kepada pasangan. Sayangnya, masyarakat dan universitas di Indonesia acapkali melihat ketimpangan ini sebagai sesuatu yang normal.

Pada banyak kasus, tanggung jawab yang berlipat ini terasa sangat berat sehingga informan kami harus mempekerjakan pekerja rumah tangga atau pengasuh untuk membantu mereka.

Seorang dosen di Aceh yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak mengatakan, “Jika pekerjaan bisa saya selesaikan di rumah sambil menjaga anak, maka saya akan bekerja dari rumah; namun jika saya harus ke kampus, maka anak pertama (9 tahun) akan ikut bersama saya, dan anak kedua (1 tahun 6 bulan) akan saya titipkan ke pengasuh.”

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Tambahan Pekerjaan Lain Bagi Akademisi Perempuan

Mengaburnya batas antara tempat kerja dan rumah selama pandemi ini menambah kompleksnya perjuangan akademisi perempuan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga.

Tekanan ini semakin berat ketika universitas harus mengikuti perkembangan perubahan kebijakan nasional dalam bidang pendidikan tinggi pada masa pandemi yang makin memburuk.

Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) mengharuskan universitas untuk mengubah kurikulum yang cukup besar. Universitas harus bisa mengimplementasikan kebijakan ini paling lambat pada awal 2021.

Tambahan pekerjaan untuk merancang ulang kurikulum di tengah kondisi pandemi yang memburuk membuat akademisi perempuan makin tidak mungkin untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok yang bisa menopang promosi karier mereka, seperti menulis publikasi.

Kebanyakan informan kami adalah lulusan dari universitas-universitas di negara maju. Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan waktu menulis pada masa normal, apalagi pada masa pandemi.

Seorang dosen yang juga menjabat sekretaris program studi di sebuah universitas Islam negeri di Jawa Barat mengungkapkan bahwa dia tidak bisa menghasilkan publikasi selama pandemi.

Pekerjaan administratif yang melekat pada jabatan sebagai sekretaris program studi hampir tidak memungkinkan dia untuk memiliki waktu untuk menulis, “Saya hanya bisa menulis pada malam hari dengan sisa-sisa energi yang saya miliki,” ujarnya.

Kebanyakan dari informan kami memegang jabatan struktural tingkat menengah. Kondisi ini memunculkan tantangan lainnya.

Pada saat yang sama, mereka harus menanggung beban tambahan di ranah domestik selama pandemi, mereka harus memastikan bahwa staf, terutama yang kurang beruntung, di bawah supervisi mereka sehat dan aman.

Misalnya saja, seorang ketua program studi di sebuah universitas negeri di Jakarta menganjurkan staf tenaga kependidikan di bawah supervisinya untuk bekerja dari rumah mengikuti pengaturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah provinsi. Pada saat itu, universitas tempatnya bekerja masih belum mengeluarkan kebijakan kerja dari rumah.

Terlebih lagi, kebijakan-kebijakan yang diinisiasi akademisi perempuan di tingkat menengah ini sering kali tidak diarusutamakan di level universitas.

Baca juga: Profesor Adi Utarini Ilmuwan Perintis Pembasmian Demam Berdarah Dengue

Kebijakan di Universitas Perlu Dukung Perempuan

Pandemi ini telah mengungkapkan permasalahan yang lebih besar dan mendalam terkait pengaturan pekerjaan yang kaku dan mengeksploitasi perempuan serta orang-orang yang bekerja di sektor pengasuhan dan perawatan melalui penumpukan pekerjaan yang tidak proporsional dan pekerjaan yang tidak berbayar.

Ironisnya, kami menemukan hal ini terjadi di universitas dan kalangan akademisi – komunitas yang harusnya lebih progresif dan merupakan sumber perubahan sosial.

Penelitian kami menunjukkan bahwa diskursus kesamaan gender, khususnya yang terkait dengan promosi perempuan di jabatan tinggi strategis di universitas, ternyata tidak cukup untuk mengatasi kesenjangan sistemis yang dialami oleh akademisi perempuan.

Ketimpangan gender sering kali dianggap sebagai masalah yang sudah selesai, jika ditilik dari penampakan statistik tentang perbandingan jumlah dosen laki-laki dan perempuan, dan juga jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Namun dimensi gender dalam profesi akademisi menunjukkan betapa dalamnya kesenjangan struktural yang terjadi.

Universitas harusnya menjadi tempat yang bisa memberdayakan perempuan melalui perkembangan kritik-kritik feminis dan pascakolonial. Namun ternyata, universitas-universitas juga menjadi tempat eksploitasi berbasis gender direproduksi.

Untuk memastikan agar kita bisa selamat dalam melawan pandemi dan bisa kembali produktif setelahnya, para pemimpin, termasuk di universitas, harus siap menghadapi tantangan untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjamin distribusi sumber daya yang berkeadilan.

Hal ini harus dilakukan dengan mengakui kerja tidak berbayar yang dilakukan oleh pekerja perempuan.

Kesetaraan gender hanya akan bermakna bila perempuan dan penyedia jasa pengasuhan dan perawatan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan di institusi mereka untuk memastikan kebijakan yang melindungi kelompok yang paling rentan.

Perempuan kepala negara di berbagai negara memang muncul menjadi panutan dalam penanganan pandemi. Namun, kami yakin bahwa mendorong akademisi perempuan menjadi pucuk pimpinan hanya karena faktor gender mereka hanyalah sebuah solusi teknis untuk permasalahan yang sebenarnya bersifat struktural ini.

Universitas memerlukan pemimpin menghasilkan yang kebijakan berbelas kasih: Belas kasih kolektif dan organisasi dihargai seiring dengan cita-cita produktivitas dan keunggulan.

Mereka adalah pemimpin yang memahami konteks dan tahu kebijakan redistribusi yang mana yang harus diterapkan sehingga sistem tidak mengistimewakan golongan tertentu dan menindas golongan lainnya.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Inaya Rakhmani adalah asisten profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Evi Eliyanah adalah pengajar di Universitas Negeri Malang. Zulfa Sakhiyya adalah asisten profesor di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Read More
buku motivasi untuk karier cemerlang

7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Banyak kendala yang dihadapi oleh perempuan pekerja, dan kita sulit mencari panduan untuk mengatasi halangan dan rintangan tersebut. Bagi yang lebih menyukai media audiovisual, mereka akan mencari panduan tersebut di film, vlog, atau  podcast indonesia. Tapi jika kamu suka membaca buku, ada yang bisa dipelajari dan dijadikan insight bagi persoalan yang kita hadapi sebagai perempuan pekerja, di buku-buku non-fiksi, termasuk buku self-help alias buku motivasi.  

Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Menjadi perempuan pekerja dan memiliki karier tidak mudah di dunia yang patriarkal ini, apalagi jika kamu juga seorang istri dan ibu. Di tengah pandemi, beban perempuan pekerja yang sudah menikah berlipat ganda karena pengasuhan anak sepenuhnya diberikan pada ibu. Hal ini sering kali membuat karier perempuan terhambat dan mereka akhirnya menyerah, memilih untuk mengurus rumah tangga. 

Baca Juga: Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

Mungkin beberapa buku motivasi berikut bisa membantu kamu menemukan jawaban-jawaban atas masalah yang dihadapi, atau menjadi sumber kekuatanmu untuk tetap bertahan dalam kondisi-kondisi tidak menentu seperti sekarang ini. 

1. Becoming: Buku Motivasi dari Michelle Obama

Memoar dari mantan ibu negara Amerika Serikat, Michelle Obama, ini laris di pasaran dan sudah terjual hingga 14 juta eksemplar di seluruh dunia. Terdiri dari 24 bab, buku ini mengisahkan pengalaman personal Michelle Obama sebagai bagian dari warga kulit hitam kelas pekerja, dan bagaimana ia berjibaku dengan pendidikan tinggi, karier, serta keluarga, hingga menemukan “suaranya” ketika menjadi ibu negara, lewat kampanye kemanusiaan yang berfokus pada kesehatan. 

Buku ini juga cocok bagi kamu yang bergelut di bidang hukum, karena Michelle membahas pendidikan di sekolah hukum di Harvard University dan pengalamannya bekerja di firma hukum Sidley Austin di Chicago. 

2. Menjadi Perempuan: Buku Motivasi Kumpulan Esai Pengalaman Perempuan

Menjadi perempuan di Indonesia memiliki banyak tantangan tersendiri, di tengah masyarakat yang semakin konservatif dan menginginkan perempuan kembali ke ranah domestik saja. Buku motivasi Menjadi Perempuan yang disusun oleh Magdalene ini berisi 25 esai tentang pengalaman perempuan, baik dari sisi perempuan maupun laki-laki.

Baca Juga: Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Para penulis berasal dari latar belakang pekerjaan serta pendidikan yang berbeda, cocok untuk para perempuan pekerja yang tengah galau saat lingkunganmu tidak mendukung. Dari buku ini, kamu akan mendapatkan beragam perspektif soal beragam pengalaman perempuan di Indonesia. 

3. The Feminist Minds: Buku Motivasi tentang Beragam Pengalaman Perempuan 

Buku motivasi  ini merupakan buku kedua dari Magdalene,  buku motivasi berisi esai dari 40 penulis soal kehidupan mereka sebagai feminis di Indonesia. Ditulis dalam bahasa Inggris, buku ini juga menceritakan beragam pengalaman perempuan yang bertahan dalam kondisi masyarakat yang masih patriarkal. Tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan terbaik Magdalene selama dua tahun pertama berdiri.

4. 38 and Pregnant: Buku untuk Ibu Pekerja yang Sedang Hamil

Saat perempuan menikah, ia diharapkan segera memiliki anak. Padahal banyak yang ingin menunda dahulu, atau tidak ingin memiliki anak sama sekali. Dan pilihan itu seharusnya dihormati, bukan dikecam dan dipertanyakan sampai perempuan tertekan.

Memoar grafis 38 and Pregnant karya jurnalis dan Managing Editor Magdalene, Hera Diani, mendiskusikan hal itu. Hera secara sadar memilih untuk menunda memiliki anak, sebelum akhirnya hamil di usia 38 tahun dan melahirkan pada usia 39.

Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Hamil di usia menjelang 40 melahirkan tantangan tersendiri, apalagi jika kamu seorang perempuan pekerja. Dalam komik jenaka yang digambar oleh ilustrator Adhitya Pattisahusiwa, Hera membahas pandangan lingkungan sekitar soal mengapa ia baru memiliki anak di usia tersebut, mitos-mitos soal kehamilan, kecemasan-kecemasan yang timbul, serta tantangan tetap bekerja saat hamil tua. 

Buku motivasi ini bersifat sangat personal dan blak-blakan, dan memberikan perspektif yang jujur mengenai isu kehamilan dan fertilitas. Silakan masukkan buku motivasi ini ke dalam daftar keranjang belanjamu ya. 

5. Buku The Athena Doctrine Bantu Kamu Jadi Pemimpin Ideal

Pemimpin harus tegas, keras, dan tidak “emosional”? Buku The Athena Doctrine karya John Gerzema dan Michael D’Antonio ini mengobrak-abrik pandangan tersebut. 

Didasarkan pada hasil riset selama bertahun-tahun di puluhan negara di dunia, buku ini menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami krisis kepemimpinan akibat gaya memimpin yang macho dan maskulin. Banyak sekali contoh kasus dalam buku ini yang menunjukkan bagaimana gaya kepemimpinan feminin dengan karakter seperti penuh empati, fleksibel, dan mengedepankan kolaborasi, ternyata lebih efektif dan sangat membantu pemimpin dalam menavigasi perusahaan atau komunitas mereka. 

Kamu bisa membaca banyak contoh keberhasilan dan beragam studi mengenai kepemimpinan dalam buku ini. Kalau masih belum cukup, silakan dengarkan podcast How Women Lead ya.  

6. Herstory: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah: Kumpulan Cerita Inspiratif dari Tokoh Perempuan Indonesia

Indonesia memiliki banyak tokoh perempuan yang berjasa di berbagai bidang. Beberapa di antaranya sudah sering kita dengar, tetapi banyak yang lainnya tenggelam dalam sejarah. Berbeda dari buku sejarah dan motivasi lainnya, Herstory: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah menceritakan 100 tokoh perempuan Indonesia dari segala sektor, mulai dari sains, gerakan kemerdekaan, aktivisme, bisnis, sampai olahraga. 

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Buku ini merupakan buku ketiga dari Magdalene. Tidak hanya menampilkan tokoh pahlawan perempuan yang sudah kita pelajar di bangku sekolah, buku ini juga menampilkan kisah-kisah tokoh perempuan Indonesia yang sengaja dihapus rekam jejaknya dari sejarah.

7. Buku Motivasi Terbaru Marie Kondo Joy at Work Bantu Menavigasi Karier 

Pusing dengan perubahan drastis yang terjadi karena pandemi COVID-19 yang mengharuskan kamu bekerja dari rumah?  Kamu bisa membaca buku terbaru Marie Kondo, konsultan gaya hidup asal Jepang yang terkenal dengan metode merapikan rumahnya. 

Selain rumah, Kondo juga ternyata membuat buku soal bagaimana agar kita bisa mengorganisasi pekerjaan kita dengan baik. Kondo menawarkan berbagai cerita dan pelajaran serta strategi untuk membantu kita mengatasi kekacauan di tempat kerja.

Read More
Representasi Perempuan dalam Media Masa

5 Hal yang Tidak Media Massa Katakan Soal Representasi Perempuan

Bagi kamu angkatan 90-an pasti sangat akrab dengan film horor Si Manis Jembatan Ancol yang sering ditayangkan di televisi pada siang hari, atau film-film trio Warkop—Dono, Kasino, Indro (DKI)—yang mengundang tawa kita dulu. Saat itu, tidak terpikir ada sesuatu yang tidak beres dalam film itu. Tapi setelah dilihat lagi, boleh dibilang bahwa penggambaran perempuan di dalam media tersebut adalah buruk.   

Podcast Indonesia Membahas Representasi Perempuan dalam Media Massa

Warkop DKI sering mengkritik rezim Orde Baru dalam lawakannya di panggung atau media lain. Namun sebagian besar film mereka melakukan objektifikasi dan seksualisasi perempuan. “Tradisi” itu dilestarikan oleh versi remake film-film trio tersebut, yakni Warkop DKI Reborn. 

Baca Juga: Sumur, Dapur, Kasur Potret Perempuan dalam Iklan

Tak hanya Warkop, media massa secara umum masih menggambarkan perempuan secara stereotip, diskriminatif, seksis, hingga misoginis. Hal ini dibahas dalam salah satu podcast Indonesia berjudul FTW Media, yang pada setiap episodenya mengeksplorasi bagaimana media massa saat ini merepresentasikan perempuan. 

Masyarakat pada umumnya mungkin juga belum menyadari betapa pentingnya representasi perempuan yang baik di media massa. Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui soal representasi perempuan di beberapa media massa. 

1. Pemberitaan Media Penuh Stereotip dan Kurangnya Representasi Perempuan 

“Guru Cantik Sukses Viral di Sosmed”

“Hakim cantik ini Berhasil Memenangkan Kasus Besar”

“10  Ilmuwan Cantik ini Bikin Kamu Gagal Fokus”

Judul-judul berita seperti itu masih sering ditemukan di media, di mana perempuan lebih sering ditonjolkan penampilan fisiknya ketimbang prestasinya. Belum lagi gaya pemberitaan sensasional yang lagi-lagi melakukan objektifikasi dan seksualisasi pada perempuan, bahkan yang sudah mati sekalipun “Ditemukan Mayat Cantik”). 

Baca Juga: Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

Dari segi representasi, masih sedikit narasumber perempuan yang dikutip oleh media. Sebuah penelitian oleh Tempo Institute dan Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) menemukan bahwa dari 22.900 narasumber yang dikutip sebuah media, hanya 2.525 atau 11 persen di antaranya adalah perempuan.

Padahal, perempuan pakar tidak kurang jumlahnya, dan mereka pantas mendapatkan panggung yang sama dengan laki-laki.   

2. Efek Kamera yang Mempercantik Perempuan Secara Instan

Kamu ingin wajah seperti artis-artis Korea? Cantik, imut, dengan kulit glowing? Itu bisa kita dapatkan dengan instan lewat aplikasi kamera dan filter kecantikan. Kamu bisa mengubah wajahmu menjadi lebih putih, tanpa kerutan, dengan hidung mancung tanpa oplas. Tapi tahu enggak sih, filter-filter ini walaupun tidak membahayakan, tapi berdampak negatif terhadap pandangan kita pada standar kecantikan.

Standar kecantikan seharusnya beragam, tapi media hanya menggambarkan standar kecantikan tunggal dan kolonial dengan kulit putih, rambut panjang, dan tubuh langsing. Hal ini membuat banyak perempuan tidak percaya diri dengan fisiknya, dan inilah yang mendorong mereka menggunakan filter kamera agar mereka bisa memenuhi standar tersebut. 

3. Lagu-lagu Cinta yang Sebetulnya Toksik

“Kamu di mana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa? “ 

Lagu “Yolanda” dari Kangen Band itu sempat populer karena musiknya enak buat joget dan liriknya catchy dan bucin. Tapi kalau kita dengar kembali dan pahami baik-baik, kok malah memperlihatkan hubungan yang toksik ya? 

Lagu-lagu cinta pada umumnya berkutat pada hubungan posesif dan stereotip terhadap perempuan. Bahkan ada juga yang terang-terangan mempromosikan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kalau terus-terusan dibiarkan, hal ini dapat menormalisasi hubungan yang tidak sehat dan toksik sebagai cinta sejati dan romantis. 

4. Iklan-iklan di Media Massa Melanggengkan Stereotip Soal Perempuan 

Kalau kita lihat iklan-iklan sabun pembersih pakaian dan bumbu dapur, apa yang bisa kita tarik benang merahnya dari semua iklan itu? Perempuan selalu dipotret sebagai ibu yang mengurus rumah saja. Kalau pun ada laki-laki yang berperan sebagai ayah, mereka cuma dijadikan peran pendukung dan selalu berada di luar rumah.

Baca Juga: 12 Rekomendasi Podcast Spotify Indonesia 2021

Enggak cuma iklan produk rumah tangga saja sih yang seperti itu, iklan kendaraan bermotor masih saja menampilkan perempuan sebagai model padahal tidak relevan. Banyak sekali alasan yang digunakan untuk tetap melanggengkan iklan seperti ini, salah satunya, “Ini kan cuma iklan, buat narik pembeli.” 

5. Minimnya Representasi Perempuan yang Beragam dalam Film Indonesia 

Seperti yang sudah kita bicarakan di awal artikel ini, penggambaran karakter perempuan di film masih banyak yang bermasalah. Banyak film yang masih menggambarkan pemimpin perempuan super bossy dan judes, atau sangat nelangsa dalam kehidupan percintaannya. Seolah-olah perempuan yang memilih karier akan kandas rumah tangganya. 

Hal ini akan ikut melanggengkan stereotip negatif dan stigma perempuan pekerja. Masyarakat pun akan semakin meragukan profesionalitas perempuan ketika menjadi pemimpin.

Read More

Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin

Sebulan setelah penyerangan di Gedung Capitol, anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) membuat pengakuan bahwa dirinya merupakan penyintas kekerasan seksual. Hal itu disampaikannya 2 Februari lalu lewat Instagram Live tentang apa yang terjadi di Capitol dan disaksikan lebih dari 150 ribu penonton. Video tersebut disimpan dalam Instagram TV (IGTV) dan telah ditonton lebih dari 5 juta kali serta mendulang ribuan komentar.

 “Saya adalah penyintas serangan seksual dan saya belum menceritakan soal ini ke banyak orang. Tetapi saat kita melalui suatu trauma, ia akan berkelindan dengan trauma-trauma lainnya,” kata Cortez.

Ia bercerita bahwa dalam serangan perusuh di Capitol 6 Januari silam, ia sempat bersembunyi di kamar mandi di dalam kantornya. Dari dalam situ, ia mendengar suara gebrakan pada tembok serta teriakan seseorang, “Di mana dia [Cortez]?”.

Rasa takut menyergap dirinya saat itu dan membangkitkan trauma akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya. Tak hanya itu, bagaimana orang-orang bereaksi terhadapnya, seperti meminta dia untuk segera melanjutkan hidup pasca-serangan tersebut, juga mengingatkannya pada pengalamannya dulu.

“Alasan saya mengatakannya dan menjadi emosional sekarang ini adalah karena orang-orang menyuruh kita untuk meneruskan hidup, menganggap hal ini bukan perkara besar, kita harus melupakan apa yang terjadi, atau bahkan menyuruh kita untuk meminta maaf. Ini adalah taktik sama yang dipakai pelaku kekerasan,” ujar politisi berdarah Puerto Rico ini.

Baca juga: Penyintas Kekerasan Seksual Pulih Bersama dalam ‘House of The Unsilenced’

Perempuan Pemimpin Tak Lepas dari Kejahatan Seksual

Cortez memang tidak mengisyaratkan kapan kekerasan seksual yang menimbulkan trauma mendalam itu dialaminya dan oleh pelaku di posisi apa. Namun, ia menambah panjang daftar perempuan anggota Kongres AS yang bersuara tentang hal tersebut.

Pada 2017, Vox membuat laporan tentang sejumlah anggota kongres perempuan AS yang pernah mengalami pelecehan seksual dari rekan kerjanya di Capitol. Mary Bono dari Partai Republik misalnya, mengaku pernah mendapat beberapa komentar sugestif secara seksual dari seorang anggota kongres laki-laki. 

Dalam Vox dinyatakan, peristiwa pelecehan seksual yang sudah berkali-kali terjadi di Capitol ini dapat terjadi karena lingkungan kerja yang didominasi laki-laki. Pelecehan seksual lebih mungkin dialami perempuan yang baru bekerja di sana atau berada di level bawah karena mereka tidak punya posisi tawar tinggi untuk melawan.

Namun, sebuah penelitian yang dirilis pada 2020 oleh Swedish Institute for Social Research (SOFI), Stockholm University, yang melibatkan studi di AS, Jepang, dan Swedia, menemukan bahwa perempuan di posisi tinggi pun tidak lepas dari pelecehan seksual. Di sana dikatakan, perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.

Perempuan di posisi tinggi tidak lepas dari pelecehan seksual. Perempuan supervisor mengalami sekitar 30-100 persen lebih banyak pelecehan seksual dibanding karyawan perempuan lain.

“Ada alasan-alasan logis mengapa ini terjadi: Seorang supervisor terpapar dua kelompok orang yang potensial jadi pelaku. Dia bisa dilecehkan baik oleh orang di posisi subordinatnya, maupun orang di level manajemen yang lebih tinggi di perusahaan,” kata Johanna Rickne, profesor ekonomi di SOFI.

Sementara itu, dari riset LeanIn.Org dan McKinsey di AS ditemukan bahwa 55 persen perempuan di posisi pemimpin senior mengalami pernah pelecehan seksual di tempat kerja. Hal itu mungkin terjadi karena mereka mendobrak norma gender tradisional yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam berkarier.

Akibat lingkungan kerja yang masih rawan pelecehan seksual, perempuan yang mau buka suara tentang itu harus mengambil risiko kehilangan kesempatan naik jabatan atau bahkan pekerjaan. Dalam penelitian Chloe Grace Hart, kandidat PhD bidang Sosiologi Stanford University yang dimuat di The Conversation, ditemukan bahwa para partisipan survei ragu untuk mempromosikan seorang perempuan apabila melaporkan pelecehan seksual di kantornya.

Lebih lanjut dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa perempuan yang melaporkan pelecehan seksual di kantor sering dilihat tidak bermoral, penipu, atau terlalu sensitif. Ia juga dipandang membuat-buat cerita hanya untuk menyabotase rekan kerjanya atau bereaksi berlebihan terhadap sebuah “komentar ramah”.

Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas

Suara yang Menguatkan Penyintas Kekerasan Seksual

Suara Cortez dan berbagai perempuan berpengaruh lainnya, mulai dari pejabat publik, tokoh perempuan pemimpin, hingga selebritas, memiliki dampak besar terhadap para penyintas kekerasan seksual lain. Salah satu yang menyebabkan demikian adalah karena mereka memiliki banyak pengikut di media sosial. Semakin banyak orang terpapar, semakin mungkin kesadaran akan isu kekerasan seksual dan penyintas yang terdorong untuk berbicara bertambah.

Atas tindakan Cortez tersebut, banyak pihak mengapresiasinya karena dianggap memberi kekuatan bagi para penyintas lainnya, terlebih dari kalangan ras minoritas di AS.

“Banyak orang berjuang dan menderita dalam kesunyian, dan kadang ketika kamu melihat satu orang muncul dan terlihat di publik, itu  memberikan kekuatan bagi yang lainnya,” ungkap Tarra Bates-Duford, perempuan kulit hitam yang juga seorang terapis dan pendiri Family Matters Counseling Group kepada The Lily.

Hal ini tecermin dari gerakan #MeToo yang diinisiasi Tarana Burke di AS pada 2006, dan diamplifikasi selebritas seperti Alyssa Milano pada 2017. Sejak hal itu disoroti media, banyak orang di mancanegara mulai dari pesohor sampai orang-orang biasa yang tidak ragu membuka hal yang masih dianggap aib oleh masyarakat, bahkan menuntut si pelaku.

Seiring dengan itu, makin banyak bermunculan ruang aman dan kelompok pendukung para penyintas yang membantu mereka berkumpul dengan sesama penyintas lainnya dan berusaha saling menguatkan, serta mencari keadilan atas peristiwa yang mereka alami.

Read More
orang tua ajarkan kepemimpinan

Perkaya Tema, Baca Nyaring Bantu Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan Perempuan

Sebuah video bertajuk “If You Have A Daughter, You Need To See This” menampilkan seorang ibu dan anak perempuan yang berdiri di depan rak buku. Mulanya mereka menyingkirkan tiga buku yang tidak memiliki karakter laki-laki di dalamnya. Lalu menyingkirkan buku yang tidak memiliki karakter perempuan, kali ini dengan jumlah lebih banyak karena total keseluruhan yang tersingkirkan mencapai 76 buku. Mereka kemudian menyingkirkan buku yang di dalamnya perempuan tidak berbicara, jumlah buku yang disisihkan sudah 141. Ketika mereka menyingkirkan buku dengan kategori perempuan tak berdaya yang menunggu pangeran, rak tersebut nyaris kosong.

Video berdurasi tiga menit yang diproduksi Rebel Girls, perusahaan digital dan penerbit buku anak-anak yang fokus pada pemberdayaan perempuan, tersebut menunjukkan pesan kesenjangan representasi dan kentalnya stereotip perempuan tak berdaya dalam buku.

Penelitian Gender Representation in Children’s Books: A Critical Review of Empirical Studies (2014) oleh tiga sosiolog Pakistan—Hazir Ullah, Johar Ali, dan Arab Naz, menyatakan buku anak atau buku pelajaran sekolah sarat akan stereotip peran gender. Selain itu, ada juga kesenjangan dalam ilustrasi dan teks karena mayoritas merepresentasikan laki-laki. Penyebab kedua hal tersebut tentu tidak lepas dari normalisasi seksisme di masyarakat. 

Baca juga: 4 Cara Mendidik Anak Perempuan Sejak Dini Untuk Jadi Pemimpin

Selain itu, sebuah studi di Inggris oleh Susan Wilbraham, psikolog dari University of Cumbria, dan Elizabeth Caldwell, akademisi di School of Art, Design, and Architecture, University of Huddersfield, menemukan bahwa representasi perempuan juga tiga kali lebih rendah dalam buku sains. Mereka menyatakan hal tersebut memperpanjang stereotip sains sebagai bidang untuk laki-laki.

Minimnya representasi dan konsep peran yang sempit itu mampu mengecilkan cakupan aspirasi dan pengetahuan atas besarnya kapasitas hingga potensi yang bisa dilakukan anak perempuan. Dalam penelitian sosiolog dari Pakistan tersebut, ketika buku pelajaran anak terus menyampaikan pesan yang bias gender, tentu memberi efek berkepanjangan yang memengaruhi pikiran sadar dan bawah sadar mereka. Pemahaman ini menjadi penting terutama dalam buku sebagai medium efektif untuk mengajarkan anak tentang konsep-konsep sosial yang ada di dunia.

Buku Perempuan Pemimpin Masih Minim

Jika melihat produk budaya populer untuk anak perempuan, temanya sulit lepas dari kategori cerita dongeng tentang tuan putri yang menunggu seorang pangeran untuk membebaskannya dari masalah. Bahkan menanggalkan jati dirinya untuk laki-laki. Pesan yang disampaikan juga menggarisbawahi posisi dalam kepemimpinan cenderung dipegang laki-laki atau seorang pangeran.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

Belakangan ada film Frozen yang mengedepankan persaudaraan dan kepemimpinan. Namun, Elsa harus mengalami perjalanan emosional panjang sebelum disambut sebagai pemimpin yang rasional.

Roosie Setiawan, pendiri komunitas literasi untuk anak, Reading Bugs dan Read Aloud Indonesia, mengatakan tema buku anak masih jarang menampilkan kepemimpinan perempuan secara eksplisit. Tapi kisah pahlawan perempuan atau guru yang heroik sudah banyak. Umumnya buku anak di Indonesia membawa tema perkenalan kegiatan sehari-hari, permasalahan anak, hingga cerita rakyat yang direkonstruksi ulang dengan kacamata anak.

“Referensi buku menampilkan leadership juga menjadi tantangan buat kami karena variasi buku juga belum terlalu luas dan mulai bagus sepuluh sampai lima tahun terakhir,” ujar Roosie kepada Magdalene (4/2).

Meski demikian, ia berpendapat representasi perempuan dalam posisi pemimpin di cerita anak juga sangat penting karena mampu menambah pengetahuan dan menjadi rujukan panutan untuk anak. Ia mengatakan jika anak bersentuhan dengan buku yang melanggengkan stereotip hanya laki-laki yang bisa memimpin, tentu akan mempengaruhi pikiran anak tentang konsep kepemimpinan.

“Karena ketika membacakan buku kita tidak sekedar menyelesaikannya. Ada proses diskusi, tanya jawab, dan perkenalan konsep atau kosa kata. Hal itu juga kunci dalam memberikan pemahaman pada anak,” ujar Roosie.

Salah satu cara untuk memberikan pesan pemberdayaan perempuan adalah dengan memperkaya koleksi buku dengan tema tokoh perempuan yang berani dan berjiwa kepemimpinan.

Minat Baca Anak Soal Perempuan Pemimpin

Roosie menyatakan di Indonesia ada kesulitan dalam mencari buku cerita untuk anak laki-laki karena mayoritas penulis buku anak adalah perempuan.

“Kami juga melihat anak laki-laki sedikit tidak suka membaca dibanding perempuan. Secara studi juga ada tentang perbedaan kegemaran membaca laki-laki dan perempuan itu,” ujarnya.

Studi Do Boys and Girls Have Different Reading Habits (2011) oleh organisasi negara-negara kaya dunia, Organization For Economic Co-Operation and Development (OECD) menemukan bahwa secara global, 52 persen laki-laki dan 73 persen perempuan menyatakan membaca untuk bersenang-senang.

Di Austria, Luxembourg, Belanda, dan Liechtenstein, kurang dari 40 persen laki-laki yang membaca sebagai kesenangan. Sementara di negara seperti Indonesia, Albania, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Thailand, 90 persen untuk perempuan dan 80 persen laki-laki.

Roosie mengatakan, inisiator gerakan literasi anak juga didominasi perempuan.

“Di Indonesia, seolah-olah membaca buku adalah tugas ibu bukan ayah. Terbukti juga ketika membuat program dan pelatihan, 99 persen yang berminat dan hadir adalah ibu. Baik untuk literasi dini dan literasi keluarga, penggeraknya masih perempuan,” ujarnya.

Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender Untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Orang Tua Ajarkan Kepemimpinan dengan Cara Membaca Nyaring Bantu Tingkatkan Minat Baca Anak

Rosie mengatakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memberikan pesan pemberdayaan perempuan adalah melihat kembali koleksi buku bacaan anak dan memperkaya tema tokoh perempuan yang berani dan berjiwa kepemimpinan. Dengan demikian, anak bisa menjelajahi lebih jauh tentang apa saja yang bisa dilakukan seorang perempuan.

Selain itu, Roosie, yang aktif mendorong teknik membaca nyaring (read aloud), merekomendasikan menggabungkan teknik tersebut dengan buku tentang kepemimpinan perempuan.

“Dengan teknik membaca nyaring anak lebih mudah memahami karena jika dia tidak paham sesuatu, akan langsung bertanya. Apalagi jika topiknya tentang leadership, anak akan lebih mudah paham tentang itu,” ujarnya.

“Yang dibangun dari teknik ini juga adalah kemauan membaca, dia (anak) mencari jalannya sendiri untuk bisa membaca karena ketika membacakan buku dengan nyaring dia juga belajar,” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Read More
podcast perempuan pemimpin

Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

Beberapa orang bercita-cita untuk menjadi seorang pemimpin namun tidak percaya diri dengan kemampuannya. Ada juga beberapa orang yang  terpaksa menjadi pemimpin dan bingung sekali dengan apa yang harus ia lakukan karena ia merasa tidak kompeten sebagai pemimpin bisnis.  

Hal ini terutama terjadi pada perempuan, yang cenderung lebih tidak percaya diri ketimbang saat laki-laki saat ditunjuk menjadi seorang pemimpin. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, termasuk diri sendiri, pendidikan keluarga, dan budaya di lingkungan. Faktor seperti  beban ganda juga menghambat perempuan untuk berkarier serta maju ke pucuk-pucuk kepemimpinan karena dilema antara fokus pada pekerjaan atau mengurus keluarga.  

Menjadi Pemimpin Ideal

Berangkat dari keresahan-keresahan ini, dibuatlah How Women Lead, sebuah podcast yang membahas tentang bagaimana para pemimpin perempuan mendobrak batasan-batasan, membongkar stereotip, serta melampaui ekspektasi masyarakat. Podcast ini terdiri dari 12 episode dan di tiap-tiap episodenya banyak membahas bagaimana menjadi pemimpin yang ideal, serta kisah-kisah inspiratif dari para pemimpin di berbagai sektor. 

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Episode pertama podcast indonesia ini membahas tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perempuan pekerja pada umumnya, apalagi di sektor-sektor yang diasosiasikan dengan atau didominasi oleh laki-laki. Sering kali suara perempuan tidak didengar serta diremehkan oleh kolega-kolega laki-lakinya, sebab dinilai tidak kompeten. Padahal ini keliru banget. 

Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin Ideal

Terlepas dari gendermu, kamu memiliki potensi yang sama untuk menjadi seorang pemimpin ideal. Namun, untuk mencapai ke titik tersebut, perempuan memiliki tantangan yang lebih besar daripada laki-laki. Salah satu contoh yang dibahas dalam podcast Indonesia ini adalah pengalaman Sarah, seorang pekerja dan juga ibu rumah tangga dengan empat anak. Sejak ia mulai bekerja hingga saat ini, tantangan yang ia hadapi beragam. 

Saat baru bekerja, keluarganya selalu menuntut dan bertanya, “Kapan nikah, kan umurnya sudah segini”. Setelah ia menikah permasalahan lain pun muncul, keluarga mulai bertanya-tanya soal kapan ia memiliki anak. 

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

“Saat akhirnya punya anak, banyak dilema muncul antara pekerjaan, mengurus suami dan anak, mana tidak ada asisten rumah tangga,” ujar Sarah. 

Beban ganda memang menjadi isu bagi banyak perempuan pekerja. Sejumlah perempuan akhirnya memilih untuk tidak bekerja di luar rumah dan mengurus keluarga saja. Padahal sebetulnya, perempuan tidak perlu sampai memilih antara karier atau keluarga. 

Hambatan Perempuan Menjadi Pemimpin Ideal 

Selain beban ganda, stigma terhadap perempuan yang bekerja atau menjadi seorang pemimpin pun banyak sekali. Ada yang bilang bahwa perempuan yang fokus bekerja bukan perempuan yang baik-baik. Mereka disebut sebagai perempuan egois hingga perempuan yang tidak peduli keluarga. Berbeda sekali dengan kondisi laki-laki yang memang diharuskan bekerja karena dianggap sebagai kepala rumah tangga. 

Pembagian peran gender seperti ini terlalu kaku dan sudah ketinggalan zaman. Dalam episode 2 podcast How Women Lead, ada perbincangan dengan Maya Juwita, Direktur Eksekutif Indonesia Business COalition for Women Empowerment (IBCWE) tentang masalah-masalah umum yang dihadapi oleh perempuan pekerja.

Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Maya mengatakan bahwa peranan reproduksi perempuan sering kali disalahartikan dan mematikan potensi ekonomi perempuan. Ia memberi saran tentang bagaimana hal ini seharusnya direspons.

Jadi kalau peranan reproduksi perempuan untuk keberlangsungan hidup suatu bangsa, mestinya peranan itu jangan mengorbankan potensi ekonomi perempuan. Perempuan seharusnya bisa berdaya secara ekonomi. Memang kenapa perempuan harus memilih antara rumah tangga dan karier? Memang enggak boleh dua-duanya? Boleh dong, bisa dua-duanya.”

Podcast Indonesia tentang Menciptakan Tempat Kerja yang Inklusif

Maya Juwita, yang sudah malang melintang di dunia Human Resource atau Sumber Daya Manusia (SDM), mendorong perlunya kebijakan yang inklusif di tempat kerja untuk mendukung perempuan-perempuan pekerja mencapai puncak kepemimpinan.

Baca Juga: Jejak Perempuan Pemimpin Kerajaan Nusantara

Hal ini didukung oleh hasil penelitian lembaga konsultansi Mckinsey, yang menunjukkan bahwa kesetaraan gender di perusahaan bisa mendongkrak keuntungan bagi perusahaan. Menurut analisis mereka, jika dunia ini dikelola secara lebih setara antara laki-laki dan perempuan, hal ini akan mendatangkan keuntungan senilai US$12 triliun sampai 2025. 

Maya Juwita mengatakan bahwa cita-cita Indonesia untuk menjadi ekonomi terkuat keempat di dunia pada tahun 2045 akan sulit tercapai kalau yang diandalkan hanya laki-laki saja dan tidak ada kesetaraan gender.

Read More
Sonia Sotomayor

Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan dalam Pelantikan Presiden Amerika Joe Biden dan Kamala Harris

Lahir di daerah Bronx, Kota New York 66 tahun lalu, Sonia Sotomayor merupakan Hakim Agung di Mahkamah Agung Amerika Serikat.  Ia pertama kali diangkat pada tahun 2009 oleh presiden saat itu, Barrack Obama, dan merupakan hakim agung perempuan keturunan Amerika Latin pertama yang menjabat sebagai hakim agung. 

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ke- 49 Amerika Serikat baru-baru ini, Sotomayor merupakan hakim agung yang memandu Wakil Presiden Kamala Harris dalam pengucapan sumpahnya. Dikutip dari CNN, Kamala yang memilih Sotomayor untuk memandunya sebab ia merupakan Hakim Agung perempuan Latin pertama Aung menjabat di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Harris juga menganggap Sotomayor merupakan perempuan yang menginspirasi.

Profil Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan Hispanik Pertama

Sonia Sotomayor mengenyam pendidikan sarjana di Princeton University dan lulus pada 1976 dengan peringkat summa cum laude. Ia lalu melanjutkan pendidikan dan mendapat gelar doktor dari Sekolah Hukum Yale pada 1979. Pada tahun 1984, ia bekerja sebagai Asisten Jaksa Wilayah di Kota New York selama 4,5 tahun sebelum masuk ke sektor swasta. Sotomayor juga berperan aktif sebagai Dewan Direktur organisasi hak asasi manusia Puerto Rican Legal Defense and Education Fund,  lembaga pinjaman negara bagian New York, serta Dewan Keuangan Kampanye Kota New York. 

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Sotomayor lahir dari orang tua yang berasal dari Puerto Rico. Saat itu keduanya memutuskan untuk meninggalkan Puerto Rico dan pergi ke Amerika Serikat. Keduanya bertemu dan memutuskan untuk menikah lalu tinggal di Bronx. 

Sotomayor Besar dalam Keluarga yang Tidak Harmonis 

Sejak kecil, Sotomayor dibesarkan oleh ayah yang pemabuk dan ia pun juga tidak terlalu dekat dengan sang ibu secara emosional. Sotomayor lebih dekat dengan sang nenek dan menganggap neneknyalah yang berjasa memberi ia perlindungan serta tujuan. Meski demikian, sang ibu Celina Sotomayor merupakan orang paling berpengaruh dalam pendidikan Sonia Sotomayor, dan Sotomayor mengatakan bahwa ibunya merupakan dorongan besar di dalam hidupnya. 

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Terlepas dari keadaan keluarganya, Sotomayor merupakan anak perempuan yang sangat terinspirasi oleh karakter fiksi Nancy Drew, seorang detektif cilik yang  cekatan serta jenius. Karena membaca buku-buku Nancy Drew, Sotomayor mengatakan ingin menjadi seorang detektif ketika ia besar nanti. Namun, karena ia mengidap penyakit diabetes, dokter menyarankannya untuk berkarier di bidang lain. Akhirnya Sotomayor pun mengganti minatnya pada pekerjaan di bidang hukum karena terinspirasi juga oleh sebuah serial televisi berjudul Perry Mason, dan bertekad ingin menjadi seorang hakim. 

Kehidupan Perkuliahan Sonia Sotomayor 

Sebagai seorang perempuan keturunan Amerika Latin pada saat itu, bersekolah di kampus bergengsi Ivy League seperti Princeton University merupakan tantangan yang besar bagi Sotomayor. Ia mendapatkan beasiswa di Princeton University dan mulai belajar soal hukum di sana. Masa-masa di Princeton bagi Sotomayor merupakan pengalaman yang mengubah hidupnya. 

Waktu itu, di universitas tersebut, sangat sedikit perempuan dan orang Hispanik yang bersekolah di sana. Kosakata bahasa Inggris serta kemampuan menulisnya belum terlalu cemerlang sehingga ia harus belajar ekstra keras untuk mengejar ketinggalan. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, bertanya serta belajar dengan profesornya di luar jam perkuliahan, dan lain sebagainya. Walaupun di awal-awal ia  tertinggal jauh, semester berikutnya semua nilai mata kuliahnya mendapatkan A.

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Dalam wawancaranya bersama dengan jurnalis Savannah Guthrie pada tahun 2013, ia mengatakan bahwa saat itu ia sangat takut dengan kondisi yang ia hadapi.  

“Ketika kamu datang dari latar belakang sepertiku dan masuk ke dunia yang sangat berbeda dari duniamu, kamu pun pasti merasa takut,” katanya. 

Ketika ia lulus dari Princeton, ia memilih untuk menjadi advokat untuk para mahasiswa latin lainnya sebagai  pendiri The Latino Student Organization. Setelah lulus dari Princeton, Sotomayor mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Hukum Yale. Profesor di Yale, Jose A. Cabranes merupakan mentor pertamanya untuk berhasil melakukan transisi dan bekerja dalam “sistem”. 

Awal Karier Sonia Sotomayor dalam Bidang Hukum

Atas rekomendasi dari Cabranes, Sonia Sotomayor bekerja sebagai asisten dari Jaksa Wilayah New York, Robert Morgenthau, mulai 1979. Saat itu, tingkat kejahatan di kota New York sangat tinggi, dan staf Morgenthau terbebani dengan banyak sekali kasus. Seperti jaksa pemula lainnya, Sotomayor menangani berbagai macam kasus mulai dari prostitusi, pencurian, perampokan, hingga pembunuhan. Dalam melakukan pekerjaannya, Sotomayor tidak gentar ketika harus melakukan inspeksi ke wilayah-wilayah yang keras atau kondisi-kondisi berat ketika mewawancarai saksi. Dalam persidangan, Sotomayor juga efektif dalam melakukan pemeriksaan silang dan menerangkan dengan sederhana agar para juri dapat mengerti kasusnya. 

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Beberapa kasus besar ia pernah tangani adalah kasus “Tarzan Murder” pada 1983, di mana ia membantu untuk menghukum Richard Maddicks yang melakukan kejahatan merampok apartemen dan membunuh korbannya. 

Mantan Presiden Obama Menominasikan Sotomayor sebagai Hakim Agung pada 2009

Pada tahun 2009, setelah Hakim David H Souter mengumumkan akan pensiun, Presiden Barack Obama menominasikan Sotomayor ke Mahkamah Agung. Terlepas dari komentar-komentar yang menentang  pencalonan tersebut, Sotomayor secara resmi menjadi hakim agung pada tahun itu.

Dalam sidang pengukuhannya sebagai hakim agung AS, ia berkata bahwa falsafah yudisialnya adalah “kesetiaan pada hukum, dan sebagai hakim, saya bekerja untuk menerapkan hukum bukan membuat hukum.”

Read More