apa itu life skill

Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Waktu kamu akhirnya masuk ke dunia kerja, selain hard skill, kamu perlu memiliki kemampuan lain, yakni life skill. Mengapa demikian? Kemampuan ini akan sangat membantu kamu dalam menghadapi berbagai tantangan yang datang di tempat kerja.

Jenis skill ini bahkan dapat mendukung kemajuan kamu di dunia kerja seperti soal kenaikan jabatan. Sayangnya, kemampuan satu ini tidak bisa dibilang gampang buat diraih. Memang membutukan cukup waktu untuk kamu bisa menguasainya.

Nah, kali ini kami akan menjelaskan apa itu life skill, serta bagaimana cara yang tepat untuk bisa meningkatkannya. Yuk, simak selengkapnya dalam rangkuman di bawah ini.

Apa itu Life Skill?

Sebelum membahas apa saja jenisnya dan bagaimana cara supaya bisa meningkatkan life skill ini, kita perlu mengetahui definisinya terlebih dahulu.

Menurut WHO, keterampilan hidup (life skills) merupakan kemampuan untuk bisa beradaptasi dan memperlihatkan perilaku positif yang pada akhirnya memampukan seseorang untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Jika kamu memiliki kemampuan ini, nantinya kamu akan sangat terbantu untuk menangani hampir semua hal dengan lebih baik, mulai dari memproses emosi sampai berinteraksi dengan rekan kerja atau orang lain.

Keterampilan hidup yang diperlukan bisa sangat beragam sesuai dengan umur seseorang atau background budayanya. Bahkan, keterampilan apa pun yang sangat berguna buat hidupmu saat ini bisa dianggap sebagai life skill.

Life Skill yang Diperlukan dalam Dunia Kerja

Dikutip dari laman World Economic Forum (WEF), sebagian besar karyawan perusahaan perlu meng-update skill mereka. Hal ini diperlukan supaya mereka dapat terus bersaing sampai di tahun-tahun mendatang.

Dari hasil penelitian WEF, pada 2025 diperkirakan ada 85 juta pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh manusia atau mesin. Teknologi yang terus menerus berkembang menuntut manusia untuk terus belajar. Teknologi buatan seperti mesin sampai kecerdasan buatan atau AI juga akan dilibatkan dalam berbagai industri.

Kemungkinan ke depannya, akan ada perubahan sistem kerja yang tadinya dilakukan manusia, lalu dialihkan pada kecerdasan buatan. Walau demikian, kemampuan manusia yang melibatkan life skill mereka tetap dibutuhkan di dunia kerja. Karenanya, karyawan perlu membekali diri dengan kemampuan yang terus diperbaharui.

Nah, berikut ini beberapa jenis life skill yang akan kamu butuhkan di dunia kerja, berikut penjelasannya.

Komunikasi Menjadi Salah Satu Life Skill Penting Sebelum Terjun ke Dunia Kerja

Salah satu life skill yang harus kamu kuasai sebelum akhirnya terjun ke dunia kerja adalah komunikasi. Komunikasi mengacu pada kemampuanmu untuk bisa memberikan informasi kepada orang lain, baik secara verbal, tertulis, atau melalui bahasa tubuh.

Komunikasi merupakan salah satu kemampuan paling penting yang harus dipunyai setiap orang di tempat kerja.

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Menurut The Balance Careers, kamu harus mempelajari beberapa jenis kemampuan komunikasi di bawah ini.

  • kemampuan presentasi
  • kemampuan public speaking
  • mendengarkan
  • komunikasi verbal
  • bahasa tubuh atau body language
  • literacy

Resiliensi

Jenis life skill selanjutnya yang harus kamu miliki di dunia kerja adalah resiliensi. Kemampuan ini mengacu pada kemampuanmu untuk bisa menangani segala bentuk rintangan dan bisa bangun lagi dari kegagalan.

Kalau di tempat kerja, kemampuan ini bisa diterapkan waktu kamu harus mengelola beban kerja yang berat sampai menghadapi rekan kerja yang toksik.

Intinya, resiliensi akan kamu butuhkan buat bertahan dalam dunia profesional yang penuh tekanan serta persaingan yang ketat.

Kooperatif

Kooperatif merupakan salah satu jenis life skill lainnya yang harus bisa kamu kuasai di dunia kerja. Agar karier kamu bisa berkembang, kamu harus dapat bekerja sama atau bersikap kooperatif dengan rekan kerja yang lain atau dengan atasan, dan bisa menjadi bagian dari sebuah tim.

Menaikkan keterampilan ini mengharuskan kamu buat memperkuat kemampuan manajemen konflik, komunikasi, dan empati.

Decision making

Decision making adalah salah satu life skill yang harus kamu kuasai juga karena bisa sangat membantu kamu dalam berkarier ke depannya. Setiap orang pasti pernah dalam hidupnya membuat keputusan atau decision making. Contoh gampangnya seperti memilih baju untuk dipakai hari ini atau menentukan makan siang.Dalam dunia kerja, pengambilan keputusan yang tepat dibutuhkan dalam beragam konteks, mulai dari memilih akan bekerja sama dengan klien yang mana, menangani krisis dalam perusahaan, menentukan cara menyikapi pelanggan yang komplain, dan sebagainya.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Menurut indeed.com, HRD umumnya mencari kandidat yang tahu bagaimana cara menganalisis situasi, bisa menimbang berbagai pilihan, dan membuat keputusan terbaik lewat informasi yang mereka punya.

Level kepercayaan diri juga diperlukan agar bisa membuat keputusan tegas dan menghindari menebak-nebak diri sendiri.

Keterampilan decision making sendiri bisa mencakup pemikiran yang kreatif, pemilihan prioritas, dan manajemen waktu.

Problem Solving

Problem solving merupakan sebuah kemampuan untuk membuat solusi atas segala hal yang menghalangi tujuan kamu.

Semakin baik kamu menguasai life skill ini, semakin cepat dan efektif pula permasalahan kamu terselesaikan.

Empati

Jenis life skill selanjutnya yang wajib kamu miliki di dunia kerja adalah empati. Kemampuan ini merujuk pada cara seseorang memahami dan peduli dengan perasaan serta pola pikir orang lain yang ada di sekitarnya.

Empati bisa membantu diri kita menerima orang lain yang mungkin berbeda dari diri kita sendiri. Keterampilan hidup ini nantinya bisa meningkatkan kemampuanmu dalam berinteraksi sosial, terutama dalam situasi atau tempat yang punya keragamanan etnis atau budaya.

Stress Management

Menurut Hellosehat.com, setiap orang membutuhkan kemampuan manajemen stres yang baik. Pasalnya, stres bisa datang dari mana saja. Mulai dari deadline pekerjaan yang harus dikejar, hubungan kurang baik dengan orang lain, hingga permasalahan lain. Jika tidak dikelola dengan baik, stres  memberikan dampak buruk terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental.

Baca Juga: Atas Nama Agama, Aku Dilarang Kerja

Maka dari itu, stress management merupakan life skill yang sangat kamu butuhkan di dunia kerja untuk bisa lebih produktif dan bahagia. Tujuan skill ini sendiri adalah supaya kamu punya kehidupan profesional dan personal yang seimbang atau work life balance.

Creative Thinking

Creative thinking merupakan salah satu life skill yang harus dimiliki semua pekerja di dunia profesional.

Mengapa demikian? Sebab, skill ini bisa sangat membantu kamu dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah secara terstruktur.

Berpikir kreatif juga akan membantu setiap individu dan perusahaan untuk jadi produktif dan siap dengan perubahan.

Karena sangat penting, kemampuan satu ini bahkan menjadi preferensi perekrut waktu mereka mencari karyawan baru.

Flexibility

Life skill selanjutnya yang harus kamu kuasai jika ingin berhasil di dunia kerja adalah flexibility. Skill ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk bisa beradaptasi dengan cepat pada keadaan baru. Ini juga berarti, kamu mampu mengerjakan tugas yang berada di luar jobdesc dan menangani berbagai masalah baru.

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan yang Aktif Angkat Isu Perubahan Iklim

Menurut WeWork.com, karyawan yang fleksibel bisa dengan cepat mengubah rencana mereka untuk menavigasi atau mengatasi hambatan yang tak terduga.

Orang-orang yang fleksibel sangat dicari oleh perusahaan besar yang sering kali menemui permasalahan baru.

Resolusi Konflik

Suatu konflik terjadi waktu dua pihak atau lebih yang punya tujuan atau pendapat yang berbeda terhadap suatu hal.

Di tempat kerja,perbedaan pendapat sangat biasa terjadi . Namun, jika hal tersebut tidak mampu diselesaikan dengan baik, pastinya akan tercipta konflik yang berkepanjangan.

Itulah kenapa sangat penting buat para karyawan punya pengetahuan soal resolusi konflik. Dikutip dari Indeed.com, resolusi konflik sendiri adalah seni dalam mengatasi perbedaan tujuan dan pendapat untuk menemukan solusi agar setiap orang dapat bekerja sama secara damai.

Cara Meningkatkan Life Skill

Setelah kamu tahu definisi serta contoh dari life skill, kamu perlu mengetahui cara mengembangkan hal tersebut.

Baca Juga: Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Berikut ini beberapa cara  yang bisa kamu lakukan untuk menaikkan kemampuan life skill kamu.

  • Selalu berusaha berada di sekeliling orang yang positif
  • Jangan ragu untuk menambah jaringan dan berinteraksi dengan lebih banyak orang
  • Mau terus belajar keterampilan baru
  • Kembangkan dan perdalam self awareness.

Itulah pemaparan singkat yang bisa kami berikan mengenai definisi, jenis, dan cara menaikan life skill yang perlu kamu ketahui.

Intinya, life skill merupakan jenis kemampuan yang bisa buat kamu bertahan dalam dunia kerja dan karier. Makanya buat para fresh graduate, pastikan dulu bahwa kamu sudah menguasainya sebelum memasuki dunia kerja.

Read More
Apa Itu Toxic Productivity

Apa Itu ‘Toxic Productivity’, Kenapa Kamu Perlu Menghentikannya?

Apakah kamu berpikir sering lembur dan menghabiskan sebagian waktu untuk bekerja adalah hal yang baik? Apakah kamu kerap menelantarkan kesehatan dan relasi sosial demi pekerjaan? Hati-hati, bisa jadi kamu sedang berada dalam lingkaran produktivitas beracun atau toxic productivity. 

Apa itu Toxic Productivity?

Dikutip dari The Huffington Post, toxic productivity merupakan istilah yang merujuk pada orang-orang yang terlalu workaholic. Padahal situasi sesungguhnya, istilah ini merujuk pada orang-orang yang bekerja melebihi tanggung jawabnya bahkan melebihi kapasitasnya, 

Ketika mendengar istilah tersebut, awalnya saya juga bertanya-tanya memang ada ya? Setelah membaca sejumlah referensi, ternyata saya pun mengalami hal persis yang dijelaskan dalam artikel-artikel tersebut. Akibat pandemi COVID-19, rutinitas yang saya miliki berubah sangat drastis. 

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Saat work from home, saya merasa waktu kerja saya melebur dengan aktivitas di luar pekerjaan. Ketika saya menyelesaikan tugas-tugas lebih cepat, dan mendapatkan waktu istirahat banyak hari itu, saya merasa sangat bersalah. Padahal, pekerjaan yang saya selesaikan juga tak kalah banyaknya. Saya pun mulai menyelesaikan pekerjaan lain yang sebetulnya masih memiliki tenggat waktu lama.

Saya juga, jadi sering menunda melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan, misalnya, ketika ibu saya menyuruh untuk rehat, saya bakal menolak dengan halus dan berkata, “tanggung, dikit lagi kelar kok.”

Toxic productivity ini tentunya berakibat fatal pada kondisi kesehatan mental. Akhirnya itu berujung pada saya yang mengalami burnout. Beberapa teman juga mengalami hal yang sama persis dengan saya. Ketika mereka sudah selesai mengerjakan tugas mereka, alih-alih mengapresiasi diri karena telah berhasil menyelesaikan tugas sesuai deadline, mereka malah merasa hampa.

Parahnya, saat mereka diajak untuk beristirahat sebentar, mereka malah berkata bahwa itu sia-sia. Waduh, saya semakin khawatir dengan fenomena seperti ini.

Berikut beberapa tanda jika kamu sudah mulai masuk ke dalam lingkaran produktivitas beracun atau toxic productivity, dikutip dari laman The Healthy. 

1. Tanda toxic productivity yang pertama: Kamu merasa tidak bersemangat mengerjakan aktivitas selain pekerjaanmu

Tanda-tanda kamu sudah masuk ke lingkaran setan toxic productivity kamu akan merasa aktivitasmu selain bekerja tidak membuatmu senang atau rileks. Misalnya, kamu senang bermain gim setelah bekerja, namun belakangan kamu malah tidak ada selera memainkannya, dan lebih memilih untuk bekerja. Hati-hati. 

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

2. Kamu lupa kapan terakhir kali merasa senang

Setelah kamu kehilangan kesenangan dalam melakukan aktivitas di luar pekerjaan, kamu jadi lupa kapan terakhir kamu bersenang-senang, entah itu bersama teman, atau me time sendirian. Toxic productivity membuat kamu jadi lupa untuk mencari kesenangan lain, bahkan lebih parahnya, kamu bisa jadi kurang bergairah dalam hidupmu. 

3. Waktu istirahat atau rehat membuatmu cemas

Pernah enggak ketika istirahat, kamu malah jadi cemas karena merasa perlu mengerjakan sesuatu? Jika iya, maka kamu sudah mengalami Toxic Productivity. Ingat, jika waktunya istirahat, kamu mesti istirahat, jangan malah sebaliknya. 

4. Kamu kesal ketika melihat orang-orang senang

Ketika melihat teman-temanmu jalan-jalan ke luar kota, atau me time sendirian, kamu malah merasa kesal dengan mereka. Jika kamu merasa seperti ini, kamu perlu mulai mewaspadai tanda-tanda toxic productivity.

5. Kamu jadi malas bersosialisasi merupakan tanda toxic productivity yang sering terjadi

Produktivitas toksik juga akan membuatmu merasa malas  untuk bersosialisasi atau bercengkrama dengan orang-orang terdekatmu. Padahal, berjeda dan menghabiskan waktu bersama orang-orang yang penting dalam hidupmu itu penting.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

6. Kamus sering merasa bersalah jika tidak produktif

Jika kamu sering merasa bersalah ketika mengambil cuti atau mungkin beristirahat sebentar sebelum bekerja lagi, kamu mesti mewaspadai hal itu sebagai tanda toxic productivity. Segera konsultasikan ke psikolog ya. 

7. Kamu merasa tidak mampu untuk menjauh dari pekerjaanmu

Ketika temanmu mengajak untuk bersantai sejenak, kamu malah menolak dan merasa tidak bisa lepas dari kerjaan kamu. Alih-alih melakukan jeda, kamu malah semakin membenamkan diri dalam pekerjaanmu untuk mencari ketenangan diri. Padahal, ini sudah masuk ke dalam toxic productivity. 

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Bagaimana menghentikan Toxic Productivity 

Jika kamu mengalami beberapa hal di atas, saya sarankan agar kamu segera mencari bantuan profesional, sebab ini bakal berakibat fatal bagi kesehatan mental kamu. Selain itu, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan juga, yaitu:

  • Buatlah waktu jeda di antara pekerjaanmu. Dengan berjeda kamu bisa sedikit bernapas lega, dan kembali mengumpulkan energi untuk melakukan pekerjaan selanjutnya. 
  • Mulailah mencoba untuk mengatur penggunaan gawai kamu seperti ponsel dan laptop, jika bisa buat jadwal untuk melakukan puasa gawai.
  • Terakhir, yang bisa kamu lakukan untuk menghancurkan kebiasaan toxic productivity ini adalah, jangan melakukan apa-apa. Gunakan waktu istirahatmu, untuk berleha-leha dan tidak melakukan aktivitas apapun, demi mengistirahatkan otak. 

Read More
karier yang tepat

Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

Ada banyak sekali pilihan karier yang dapat kamu pilih untuk menopang kehidupan di masa depan. Cuma permasalahannya, tidak semua orang mampu menentukan karier yang tepat untuk dijalankan, masih ragu, atau bingung memilihnya.

Dengan menemukan karier yang tepat, kamu akan lebih bisa menikmati pekerjaanmu serta bersemangat dalam menjajaki jenjang karier ke depannya. Berikut ini beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk menemukan karier yang tepat yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

1. Mengevaluasi Diri Sendiri Sebelum Kamu Memilih Karier yang Tepat

Sangat penting untuk bisa mengevaluasi diri sendiri sebelum kamu memilih karier yang tepat. Kamu harus paham minat, bakat, dan keterampilan kamu. Selain itu, memahami dan menilai kepribadian kamu sendiri juga tak kalah penting untuk kelangsungan karier kamu nantinya. Dengan bisa menilai diri sendiri, kamu jadi tahu profesi dan perusahaan seperti apa yang tepat untuk kamu.

Baca Juga: 4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya

2. Cara Menemukan Karier yang Tepat dengan Terus Belajar

Belajar merupakan sebuah keharusan, terlebih dengan perkembangan teknologi yang menuntut kamu untuk bisa terus beradaptasi serta inovatif.

Kamu bisa belajar dari rekan kerja atau senior di perusahaan tempat kamu sekarang bekerja. Dan, kamu juga perlu mencari tahu apa saja skill yang dibutuhkan supaya karier kamu bisa berkembang, baik itu hard skill atau soft skill.

Kamu juga bisa memilih untuk ikut pelatihan atau kursus untuk mengembangkan skill dan mendapatkan sertifikasi. Hal ini nantinya dapat membantu kamu melamar pekerjaan di tempat lain.

3. Melakukan Networking 

Dengan melakukan networking, kamu membangun dan menjaga hubungan profesional dengan orang lain. Hal ini akan membantu kamu dalam melihat dan memilih karier yang tepat untukmu. Pasalnya, kamu tidak akan pernah tahu siapa yang akan memberimu peluang untuk menaiki jenjang karier atau mencoba kesempatan baru.

4. Membuat Daftar Pekerjaan dan Pahami Deskripsi Pekerjaan Tersebut

Setelah mengevaluasi minat dan bakatmu, kamu dapat mulai membuat daftar pilihan karier yang menarik dan spesifik bagimu. 

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Lanjutkan dengan mencari tahu masing-masing deskripsi pekerjaan, persyaratan pendidikan, dan pelatihan yang diperlukan supaya kamu bisa lolos atau terpilih saat di seleksi HRD.

Untuk menambah motivasi kerja kamu, tidak ada salahnya mencari tahu informasi yang berkaitan tentang propsek pekerjaan di masa depan dan pendapatan yang bisa diperoleh.

5. Membuat Daftar Pekerjaan yang Terpilih

Setelah membuat daftar dan memahami berbagai informasi terkait pilihan-pilihan karier yang bisa kamu ambil, kamu dapat membuang pekerjaan dengan tugas yang kurang sesuai minat, karier yang kelihatannya tidak punya prospek di masa depan, atau pekerjaan dengan potensi pendapatan yang rendah.

Kamu juga dapat menyingkirkan pekerjaan yang membuat kamu tidak dapat memenuhi persyaratan pendidikan, keterampilan, dan yang lainnya.

6. Tentukan Pilihan Karier yang Tepat buat Kamu

Setelah semua hal di atas sudah kamu lakukan, maka inilah waktu yang tepat menentukan pilihan karier yang tepat buat kamu jalankan.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

Segera pilih pekerjaan yang menurut kamu dapat memberikan kepuasan berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan.

7. Identifikasi Tujuan yang ingin Kamu Capai

Setelah menentukan karier,  kamu bisa mulai mengidentifikasikan tujuan jangka pendek dan panjang dalam menjalani kariermu nanti.

Tujuan jangka panjang adalah tujuan yang membutuhkan waktu sekitar 3 – 5 tahun untuk mencapainya. Sedangkan, tujuan jangka pendek butuh waktu kira-kira 6 bulan sampai 3 tahun untuk mencapainya. Mempunyai tujuan dalam berkarier itu penting karena hal itu sangat membantu kamu untuk sukses di dalam karier yang kamu pilih.

8. Membuat Langkah-langkah yang Harus Dilakukan

Selanjutnya, kamu perlu merencanakan langkah-langkah tertentu untuk bisa mencapai tujuan tersebut.

Baca Juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Rencana itu bisa kamu buat dalam bentuk semacam list berisi apa saja yang perlu kamu kerjakan untuk bisa mencapai tujuan secara bertahap.

Perhatikan juga berbagai kendala dan hambatan yang dapat menghalangi kamu untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Demikianlah 8 cara menemukan karier yang tepat. Semoga tulisan ini bisa memberikan banyak inspirasi dan manfaat buat kamu yang masih fresh graduate atau yang ingin mencari pekerjaan baru di tempat lain.

Read More
kehilangan motivasi kerja

Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

kehilangan motivasi kerja – Perasaan jenuh saat bekerja adalah hal yang lumrah terjadi. Bisa saja hal itu muncul sebentar, tetapi bisa juga dalam jangka panjang. Ketika kejenuhan itu terus menerus berlangsung, sangat mungkin performa kerja dan produktivitas seseorang terpengaruh, sehingga menghambat kerja tim di tempat kerja. Ujung-ujungnya, performa perusahaan pun terjun.

Ketika rasa jenuh melanda, tidak jarang seseorang berpikir, buat apa saya bekerja di sini? Ia bisa mempertanyakan kenapa sejak awal memilih berkarier di tempatnya sekarang. Seiring dengan itu, ia mulai kehilangan ketertarikan serta antusiasme untuk bekerja.

Jika kamu pernah atau sedang mengalaminya, bisa jadi kamu mengalami demotivasi. Dalam kamus American Psychological Association (APA), demotivasi didefinisikan sebagai gambaran negatif atau self-talk negatif yang menekankan pada kenapa seseorang tidak bisa mengerjakan tugas dengan baik. Alhasil, itu mendorongnya untuk tidak melakukan usaha apa pun untuk memperbaikinya. Sementara dalam IGI Global disebutkan, demotivasi merupakan keadaan berkurangnya ketertarikan, antusiasme, dan keinginan untuk tampil baik dalam suatu hal karena pengaruh-pengaruh negatif tertentu. 

Dalam Linkedin, manajer sumber daya manusia dari Aktiv Software & iCreative Technologies, Vaibhavi Choksi mengatakan bahwa kehilangan motivasi kerja atau demotivasi itu bisa menular. Ketika ada satu pekerja yang merasakan hal tersebut karena berbagai faktor di kantor, pekerja lainnya bisa merasakan hal serupa.

Baca juga: Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Penyebab Demotivasi Kerja

Choksi mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa menciptakan demotivasi pada pekerja:

  1. Kurangnya apresiasi

Meskipun seseorang sudah menunjukkan usaha seoptimal mungkin, pihak atasan maupun rekan kerja lainnya masih mengabaikan hal tersebut dan tidak memberi feedback positif atau pujian kepadanya. 

Ini bisa menimbulkan perasaan sudah melakukan hal sia-sia dalam diri pekerja tersebut. Ia pun bisa mulai merasa malas untuk tampil optimal seperti dulu karena ujungnya tak ada hadiah apa pun yang diraihnya.

  1. Terlalu banyak pekerjaan

Hal ini bisa membuat seorang pekerja sangat kewalahan, sehingga berdampak buruk terhadap kemampuannya untuk bekerja dengan baik dan tepat waktu. Saat hasil kerjanya tak sesuai harapan atau jauh di bawah targetnya, hal tersebut juga dapat menurunkan motivasinya untuk bekerja.

  1. Favoritisme

Tidak jarang di kantor ada atasan yang menunjukkan sikap favoritisme atau pilih kasih terhadap sebagian karyawan. Walau seseorang sudah melakukan pekerjaan sesuai harapan dari atasannya, tetap saja ia tak diapresiasi oleh atasannya itu. Malah, rekan kerja mereka yang sebenarnya bekerja tak lebih baik darinya atau biasa-biasa saja yang lebih mendapat sorotan. 

  1. Tak ada kepercayaan

Ketika seorang pekerja tidak dipercaya oleh rekan kerja maupun atasannya, ia pun bisa merasa pekerjaan atau keberadaannya tidak bernilai. Ketidakpercayaan dari atasan atau rekan kerja bisa terlihat dari besarnya campur tangan mereka dalam pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan sendiri, atau sikap meremehkan dan anggapan bahwa pekerja tersebut tak cukup berpengalaman atau piawai dalam melakukan suatu tugas. 

Perasaan tidak berharga atau tidak dipercayai ini pada akhirnya mengendurkan rasa keterikatannya dengan orang-orang kantor dan perusahaan, sehingga ia pun merasa tak ingin-ingin amat untuk berkontribusi lebih ke perusahaan.

  1. Miscommunication

Di sebagian kantor, ada atasan yang hanya memberi secuil informasi atau tidak sama sekali seputar perusahaannya. Hal tersebut bisa menjadi pemicu hilangnya motivasi kerja atau demotivasi karena menyiratkan sang atasan atau perusahaan tidak sepenuhnya mempercayai para pekerjanya. Padahal, membagikan informasi tentang suatu pekerjaan itu penting karena berpengaruh terhadap hasil kerja karyawan. 

Baca juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Apa yang Bisa Kita Lakukan Saat Mengalami Ini?

Ketika seorang pekerja mengalami demotivasi, sangat mungkin ia terpikirkan untuk buru-buru keluar dari tempat kerjanya. Namun tunggu dulu, bisa jadi itu bukan keputusan yang tepat untuk segera diambil. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebelum sampai pada keputusan itu.

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Dalam The Guardian, konsultan eksekutif dari The Forum Corporation, David Robertson menyarankan pekerja yang mengalami demotivasi untuk pertama-tama mengenali pemicu demotivasinya itu. Selain hal-hal yang disebutkan Choksi tadi, pemicu demotivasi menurut Robertson bisa saja berupa perubahan dalam perusahaan atau target pasar, restrukturisasi internal, atau perampingan perusahaan. Ini semua sedikit banyak akan berpengaruh terhadap beban kerja yang akan diemban para pekerja. 

Dengan mengenali pemicu demotivasi, pekerja bisa mencari solusi yang tepat atas permasalahannya. Selain itu, Robertson juga mengingatkan, penting bagi pekerja untuk mengidentifikasi hal-hal potensial yang memicu demotivasi di kemudian hari sehingga pekerja mampu melakukan langkah pencegahan lebih awal. 

Dilansir Idealist, langkah lain yang bisa dilakukan untuk menyikapi kehilangan motivasi kerja atau demotivasi adalah berkomunikasi terbuka dengan pihak HRD atau atasan. Mungkin kamu merasa kurang puas dengan bayaran yang kamu terima karena merasa tidak setimpal dengan beban kerja yang bertambah. Atau, kamu merasa ingin dipercaya mengambil tanggung jawab lebih besar dari yang kamu pegang sekarang, tapi tak kunjung dilirik atasan. Bisa juga kamu merasa sangat bosan karena pekerjaan yang diberikan padamu hanya itu-itu saja dan tidak mendukung perkembangan dirimu. Bicarakan baik-baik tentang itu dan cobalah mencari titik tengah terbaik bagi kamu dan perusahaan.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Kamu juga bisa coba mulai mengurangi berbagai distraksi saat bekerja. Pasalnya, hal ini hanya akan membuatmu makin kewalahan ketika sedang mengemban beban kerja yang berat. Beranikan diri untuk menetapkan batasan dengan tidak menerima pekerjaan lain atau membantu rekan kerja ketika kamu sedang butuh fokus untuk mengerjakan tugasmu sendiri. Buatlah prioritas agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, sehingga hasilnya tidak mengecewakan.

Terakhir, kamu bisa mengambil jeda sejenak di tengah pekerjaanmu. Ini penting untuk menyalakan kembali semangatmu setelah kamu berkutat dengan kebosanan atau pekerjaan yang melimpah. Dalam jeda ini, kamu juga dapat memikirkan kembali atau mengevaluasi tujuanmu bekerja di tempat kerjamu sekarang ini. Apakah kamu merasa masih ada kemungkinan muncul perubahan ke arah lebih baik dan win-win solution bagi dirimu sendiri dan kantor atau tidak? Atau, kamu sudah tidak menemukan kenyamanan dan keuntungan lagi bekerja di sana sehingga opsi mencari tempat kerja atau profesi lain bisa saja kamu ambil.

Read More
Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Meski perusahaan sudah diisi orang-orang berpengalaman, teknologi yang mendukung, dan kertersediaan modal yang cukup, ada kalanya posisi mereka masih berada di belakang para pesaing. Keadaan ini mungkin terjadi karena perusahaan tidak berhasil mencapai kerja sama tim yang maksimal.

Nah, berikut ini beberapa hambatan atau tantangan kerja sama tim yang umum terjadi dan cara tepat untuk mengatasinya.

Masalah atau Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja yang Sering Terjadi

  1. Tidak ada visi yang jelas

Tidak ada visiyang jelas waktu bekerja adalah masalah yang biasa terjadi dalam kerja sama tim. Apabila tidak ada kejelasan tentang apa yang harus diselesaikan dan tujuan dari sebuah pekerjaan, setiap orang pasti akan bingung dalam bekerja.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Tidak cuma menimbulkan kebingungan dalam diri pekerja, masalah ini juga nanti bisa menimbulkan hilangnya produktivitas, motivasi kerja, dan efisiensi kerja. Solusi tepat yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan meeting secara terjadwal untuk membahas dan mengingatkan semua orang apa saja yang perlu dikerjakan.

Selama meeting, pemimpin harus juga menginformasikan kepada semua orang yang terlibat, mulai mengenai progres dari pekerjaan sampai implementasi perubahan. Hal ini akan membuat mereka paham sejauh mana sebuah pekerjaan sudah berjalan.

  1. Kurangnya rasa percaya antar anggota tim

Menurut Patrick Lencioni, penulis buku manajemen tim, pada dasarnya, masalah kerja sama tim bisa terjadi karena setiap anggotanya tidak mau memperlihatkan sisi rentannya kepada sesama anggota yang lain.

Mereka tidak mau terbuka mengenai kelemahan dan kekurangan diri, kesalahan apa yang sudah dilakukan, serta enggan meminta bantuan rekan kerjanya yang lain. Keadaan ini menunjukkan bahwa anggota tim kesulitan dalam membangun kepercayaan. Padahal, ini merupakan dasar paling utama dalam kerja sama tim.

  1. Perbedaan gaya bekerja

Gaya kerja setiap orang pasti berbeda. Hal tersebut terkadang menjadi tantangan kerja sama tim di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, hal ini bisa menimbulkan konflik dalam tim.

Baca Juga: Perempuan Dukung Perempuan di Kantor, Kenapa Ini Penting?

Beberapa orang merasa lebih nyaman bekerja sendiri, tapi ada juga orang yang lebih suka bekerja dalam tim atau kelompok. Ada orang bisa memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan rekan kerja yang lain, namun ada juga orang yang butuh masukan setiap waktu.

Sama seperti poin yang sebelumnya, hal yang bisa kamu lakukan saat menghadapi tantangan seperti ini adalah mendorong adanya komunikasi untuk lebih terbuka supaya kerja sama tim bisa lebih baik.

  1. Kurangnya produktivitas

Kurangnya produktivitas merupakan masalah kerja sama di tempat kerja yang juga sering terjadi. Faktor utama yang menyebabkan kurangnya produktivitas adalah kurangnya feedback sehingga seseorang menjadi susah melakukan komunikasi dengan rekan kerja yang lain.

Solusi yang bisa kamu lakukan adalah dengan merespons secara cepat dan memberi feedback secara rutin ke rekan kerjamu.

Selain itu, bila di kantor kamu sekarang ini masih diberlakukan sistem kerja jarak jauh atau WFH, kamu dan rekan kerja bisa berkomunikasi menggunakan berbagai aplikasi pesan instan.

  1. Punya pemikiran negatif

Mindset negatif yang seseorang miliki bisa meluas dengan cepat ke semua orang dan pastinya sangat berbahaya. Sebagai contoh, jika ada salah satu anggota tim yang punya pemikiran kalau proyek yang sedang dikerjakan tidak mungkin berhasil atau susah diselesaikan tepat waktu, anggota lain pun dapat terpengaruh dan punya pemikiran yang serupa.

Baca Juga: ‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Oleh karena itu, cobalah untuk saling mendukung waktu bekerja. Hal ini bisa menjaga semangat setiap orang dan juga bisa mendorong orang lain untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah yang ada.

  1. Tidak ada pembagian tanggung jawab yang jelas

Masalah kerja sama tim di tempat kerja selanjutnya adalah tidak ada pembagian tanggung jawab yang jelas setiap anggota tim. Pemimpin perlu menentukan peran serta tanggung jawab yang jelas bagi setiap karyawan. Jika perlu, buatlah skema yang berisi tugas masing-masing anggota dan bagikan kepada mereka.

Langkah tersebut bisa mencegah kebingungan dan konflik di antara anggota tim. Alur kerja dalam tim dapat menjadi lebih jelas dan tidak ada yang saling lempar tugas. Dan bila ada karyawan baru, skema tugas yang sudah dibuat tadi dapat menjadi panduan.

  1. Terlalu banyak ide

Terlalu banyak ide merupakan tantangan selanjutnya waktu melakukan kerja sama di tempat kerja. Selain itu, terlalu banyak pembuat keputusan juga akan menghambat progres pekerjaan yang hendak diselesaikan.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Solusinya sama seperti poin sebelumnya: Setiap orang harus paham peran dan tanggung jawab masing-masing. Harus ada orang yang bisa memimpin dengan baik supaya proyek berjalan, dan juga sosok yang bisa menentukan keputusan final.

Dengan begitu, tidak akan ada tumpang tindih dalam membuat keputusan dan setiap orang bisa mengerjakan tanggung jawabnya masing-masing.

Itulah beberapa tantangan kerja sama tim di tempat kerja yang sering terjadi dan cara tepat untuk mengatasinya. Semoga setelah membaca artikel ini, kamu bisa mengurangi dampak dari tantangan tersebut, ya.

Read More

5 Tokoh Perempuan yang Aktif Angkat Isu Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak lebih besar bagi perempuan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini karena secara proporsional banyak perempuan miskin yang lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam.

Secara konkret, perempuan lebih terlibat dalam perubahan sosial karena bertanggung jawab dalam urusan domestik. Sehingga, langkanya persediaan air, gagal panen, maupun minimnya keanekaragaman hayati lebih berpengaruh kepada mereka.

Belum lagi di sejumlah negara berkembang, perempuan memiliki peran utama mengumpulkan bahan bakar tradisional yang letaknya jauh dari rumah, yang secara otomatis menghambat mereka dalam melakukan aktivitas lain termasuk bekerja, menekuni keterampilan, maupun istirahat .

Oleh karena itu, Conference of Parties (COP) kembali diselenggarakan untuk ke-26 kalinya di Glasgow, Skotlandia. Konvensi ini penting dilakukan untuk menciptakan berbagai kebijakan dan langkah strategis, supaya suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat C pada 2100. 

Sebagai warga dunia, kita perlu memperhatikan isu perubahan iklim ini karena dampaknya memengaruhi kelangsungan hidup kita, mulai dari cuaca ekstrem, kenaikan curah hujan, tingginya air laut, sampai munculnya gelombang panas.

Terlepas dari ajang COP26, kita dapat meniru aksi lima tokoh perempuan inspiratif berikut ini, yang telah aktif memperjuangkan perlawanan terhadap perubahan iklim.

1. Christiana Figueres

Sejak 1995, perempuan lulusan Swarthmore College dan London School of Economics ini aktif terlibat dalam perbincangan perubahan iklim. Ia mendirikan Center for Sustainable Development, organisasi nirlaba di AS yang didedikasikan untuk partisipasi negara-negara Amerika Latin dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di lembaga tersebut, ia menjabat selama delapan tahun sebagai executive director. Dalam UNFCCC, Figueres juga berperan sebagai perunding dari 1995 hingga 2010.

Kemudian pada 2015, ia berhasil menyatukan pemerintah, aktivis, perusahaan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan beberapa kelompok lainnya yang berselisih, untuk menyusun Perjanjian Paris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius—bahkan diupayakan pada 1,5 derajat C, serta memperkuat kemampuan negara-negara dalam menangani dampak perubahan iklim.

Instagram @cfigueres

Selain itu, diplomat asal Kosta Rika ini mengusulkan, keahlian perusahaan gas dan minyak dalam menangkap dan menyimpan siklus karbon biologis dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan seperti deforestasi.

“Ini tentang bergerak untuk kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dengan kondisi kesehatan, perkotaan, dan transportasi lebih baik, serta kondisi investasi yang lebih aman,” ujarnya kepada CNN soal perjuangan melawan perubahan iklim.

2. Patricia Espinosa

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim lainnya ialah Patricia Espinosa. Perempuan inspiratif ini menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di UNFCCC sejak 2016 ini adalah sosok yang memelopori Perjanjian Cancun, yang menyalurkan dana 100 miliar dolar AS untuk perubahan iklim di negara berkembang.

Pada 2001 dan 2002, Espinosa menjabat sebagai Duta Besar Meksiko untuk Jerman. Ia juga berperan sebagai Menteri Luar Negeri Meksiko dari 2006 sampai 2012. Selama berkarier, ia kerap membawa beberapa isu dalam hubungan internasional seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. 

Twitter @PEspinosaC

Selama menjadi representasi Meksiko dalam hubungan bilateral dan organisasi internasional di New York, Wina, dan Jenewa, ia terlibat aktif sebagai pemimpin dalam mengatasi tantangan global dalam perubahan iklim dan konsekuensinya.

Perempuan asal Meksiko ini memaparkan beberapa hal kunci yang dibutuhkan agar agenda COP26 tercapai. Pertama, pemenuhan janji, yakni negara-negara harus menguatkan kesepakatan yang telah dibuat, seperti pendanaan iklim oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Kedua, menyelesaikan perjanjian. Menurutnya, Perjanjian Paris harus diselesaikan dan dilaksanakan karena negosiasi tentang pedoman operasinya telah berlangsung selama lima tahun, dan Espinosa menganggap sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.

Ketiga, meningkatkan ambisi. Negara-negara harus menetapkan dan membuat aksi dari pandangannya dalam mitigasi perubahan iklim, beradaptasi, dan mendanai transformasi menuju masa depan yang netral karbon.

Keempat, bersikap inklusif karena krisis iklim ini terjadi pada masyarakat dunia sehingga harus diselesaikan bersama. Maka itu, tidak ada pendapat maupun solusi tentang perubahan iklim yang layak ditinggalkan.

3. Mikaela Loach

Sebagai mahasiswa kedokteran di University of Edinburgh, Loach memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat gerakan iklim lebih inklusif di media sosial. Ia mengambil fokus irisan antara krisis iklim dan isu hak asasi manusia, seperti penganiayaan orang-orang migran dan supremasi kulit putih.

Selain itu, ia juga mengadvokasi keadilan lingkungan, keadilan rasial, hak-hak pengungsi, dan isu sustainability. Oleh karena itu, ia membantu pengikutnya di Instagram untuk berhenti mengenakan fast fashion karena hal itu berkaitan dengan isu rasial dan iklim.

Menurut Loach, fesyen tidak dapat dikaitkan dengan pemberdayaan apabila hanya sang pemakai saja yang merasa nyaman dan senang dengan harga yang ditawarkan, sedangkan para pembuat pakaian justru tertindas akibat eksploitasi tenaga kerja.

 Instagram @mikaelaloach

Tak hanya aktif di media sosial, pada 2019, perempuan kelahiran Jamaika ini bergabung dengan Extinction Rebellion, sebuah gerakan lingkungan global yang menggunakan pemberontakan tanpa kekerasan. Extinction Rebellion bertujuan untuk mendesak pemerintah menghindari masa kritis dalam sistem iklim, risiko keruntuhan sosial dan ekologis, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

“Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah atau siapa pun untuk membuat perubahan iklim. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita adalah diri sendiri, dengan bergabung bersama gerakan iklim dan ikut menciptakan perubahan,” katanya dilansir Vogue.

Kepeduliannya terhadap lingkungan itu membuat Loach dinominasikan dalam Global Citizen Prize: UK’s Hero Award pada 2020. Tak heran bila ia dipandang sebagai salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif di bidang lingkungan dan perubahan iklim.

4. Sunita Narain

Perempuan yang berprofesi sebagai peneliti kebijakan lingkungan sejak 1982 ini merupakan direktur jenderal di lembaga penelitian independen Centre for Science and Environment (CSE). Bersama koleganya, ia terlibat dalam mitigasi polusi udara.

Pada 2005, Narain mengepalai Tiger Task Force atas arahan Perdana Menteri India, untuk mengembangkan rencana aksi konservasi di negara tersebut setelah harimau di Sariska dinyatakan sudah tidak ada.

Pada tahun yang sama, ia meraih Stockholm Water Prize—penghargaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan air. Penghargaan tersebut diberikan atas kerjanya dalam panen air hujan, dan pengaruh kebijakannya dalam membangun paradigma pengelolaan air berbasis komunitas.

Twitter @sunitanar

Narain juga meraih beberapa penghargaan lain, seperti Raja-Lakshmi pada 2009 dari Sri Raja-Lakshmi Foundation di Chennai, India, dan Padma Shri pada 2005 yang diberikan oleh pemerintah India.

Kini, ia mengkhawatirkan suara minoritas di negara-negara Global South akan ditenggelamkan dalam dialog perubahan iklim. Ia memandang, pembicaraan seputar perubahan iklim harus lebih inklusif. “Setiap orang berhak atas pembangunan, artinya juga berhak atas energi bersih,” tuturnya dikutip dari TIME.

5. Kotchakorn Voraakhom

Saat masih anak-anak, Voraakhom terbiasa bermain air banjir di Bangkok, Thailand. Keluarganya pun sempat tidak memiliki rumah akibat bencana alam tersebut, dan hal itu membuatnya menginginkan perubahan untuk keluarga dan komunitasnya. Dari situ ia berpikir, jika melibatkan lebih banyak rumput dalam pembangunan, hal tersebut akan mengurangi kerusakan akibat beton.

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim ini dinobatkan sebagai salah satu arsitek terbaik di Thailand yang mendorong perubahan sosial. Ia membangun arsitektur firma, Landprocess, dan merancang Centennial Park. Taman seluas 45 ribu meter persegi itu bukan sekadar untuk rekreasi atau keindahan tata kota, melainkan ruang penyimpanan air hujan dan menyelamatkan jalanan di sekitarnya dari banjir saat hujan lebat.

“Ini bukan perkara menghilangkan banjir atau solusi rekayasa membangun bendungan besar, tetapi bagaimana kita hidup berdampingan dengan air,” ucap salah satu TED Fellow ini kepada CNN.

Instagram @kotch_voraakhom

Dengan profesinya itu, pada 2017, Voraakhom yang merupakan lulusan Chulalongkorn University dan Harvard University juga mendirikan Porous City Network (PCN), sebuah perusahaan sosial arsitektur lanskap, untuk meningkatkan ketahanan perkotaan di Bangkok terhadap perubahan iklim, terutama banjir.

PCN bekerja sama dengan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan tantangan iklim, seperti mengubah permukaan hardscape yang kurang dimanfaatkan, menjadi ruang hijau publik yang permeabel. Voraakhom menerima beasiswa dari Echoing Green dan Equity Initiative berkat inovasinya.

Read More
Tanda Kamu Tidak Suka pada Pekerjaan

Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

tidak suka pada pekerjaan – Pernahkah kamu merasa lelah, jenuh, dan tidak bersemangat menjalani pekerjaan yang sedang kamu lakukan sekarang? Hal tersebut ternyata dialami juga oleh banyak orang. Jika berada dalam keadaan seperti ini, kemungkinan kamu akan berpikir untuk resign dari pekerjaanmu itu.

Namun, resign dari pekerjaan tentu mendatangkan berbagai konsekuensi, mulai dari kehilangan pendapatan (bila tak lanjut bekerja lagi), menjalani proses melelahkan mencari lowongan kerja, hingga harus beradaptasi di kantor baru. Karena itu, keputusan ini bukanlah pilihan yang mudah diambil. 

Di lain sisi, bila kamu memaksakan diri bekerja di perusahaan dalam keadaan seperti disebut di awal tadi, kamu bisa saja mengorbankan kesehatan mentalmu. Kamu bisa burn-out dan akhirnya performa kamu di kantor malah memburuk dan kamu bisa dapat teguran.

Perasaan lelah, jenuh, dan tidak bersemangat itu bisa jadi tanda kamu tidak suka dengan pekerjaanmu. Apa lagi, sih tanda-tanda lainnya, dan bagaimana cara mengatasinya? Berikut kami rangkum pembahasannya dari berbagai sumber.

Tanda Kamu Tidak Suka pada Pekerjaan

1. Work life balance terganggu

Apa sih, yang di maksud dengan work life balance? Secara singkat, work life balance adalah keadaan di mana individu memprioritaskan tuntutan karier dan tuntutan kehidupan pribadinya secara seimbang.

Baca Juga: Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

Bila kamu tidak suka dengan pekerjaanmu, bisa jadi work life balance-mu tidak terpenuhi. Contohnya, kamu jadi terlalu sibuk dan selalu memikirkan pekerjaan, lantas lupa untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau bahkan waktu untuk dirimu sendiri.

2. Produktivitas menurun

Rasa tidak suka pada pekerjaanmu ini juga bisa membuat produktivitasmu menurun, loh. Kamu bisa jadi sulit berkonsentrasi, bermasalah saat berkomunikasi dengan teman-teman kerja, atau setengah-setengah dalam melaksanakan tugas karena tidak bersemangat.  

Ada beragam penyebab yang membuat kamu tidak suka dengan pekerjaan, mulai dari suasana kantor yang tidak kondusif sampai lingkungan kerja toksik.

Jika kamu merasa tidak nyaman bekerja di ruangan kantor, kamu dapat berdiskusi dengan atasan atau HRD buat mengatasi masalah ini. Namun, bila ternyata lingkungan kerjamu sudah toksik, maka bagusnya kamu memikirkan untuk mencari tempat kerja baru.

3. Merasa cemas saat weekend akan berakhir

Salah satu tanda tidak suka pekerjaan adalah kamu akan merasa cemas pada hari Minggu, karena besoknya kamu harus bekerja kembali.

Dikutip dari Indeed, rasa cemas atau was-was bisa timbul karena kurang terorganisasinya gaya hidup.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Kamu dapat mengurangi rasa was-was ini dengan menyiapkan apa saja yang penting untuk hari Senin, dan sudah mulai mencicil perkerjaan untuk minggu depan pada hari Jumat sore. 

Cobalah untuk menikmati weekend kamu dengan sepenuhnya. Bila memang perlu, buat catatan supaya kamu tahu mana yang penting untuk dikerjakan lebih dahulu.

4. Tidak ada motivasi kerja merupakan tanda kamu tidak suka pada pekerjaan

Tidak punya motivasi kerja merupakan tanda bahwa kamu tidak suka pada pekerjaan. Tentunya, kamu bekerja dengan berbagai tujuan, entah untuk mencari uang, mencari pengalaman, atau menaikkan skill kamu. Jika pekerjaanmu yang sekarang ini tidak mendekatkanmu pada tujuanmu itu, kemungkinan besar kamu akan membenci pekerjaanmu.

Dalam The Balance Career disebutkan, bila kamu bekerja tanpa adanya passion atau tujuan juga bisa membuat kamu gampang terkena burn-out.

Kamu bisa mencoba berdiskusi tentang tujuan kamu dalam karier dengan atasan, supaya ia bisa membantumu mencari role yang tepat. Selain itu, bila kamu masih belum mendapatkan motivasi, kamu bisa mencoba untuk berkonsultasi dengan psikolog profesional.

5. Sering datang terlambat ke kantor

Bila kamu tidak suka pekerjaan, kamu akan jadi malas datang ke kantor. Ujung-ujungnya, kamu jadi sering terlambat masuk. Misal harusnya masuk jam 8 pagi, kamu baru sampai kantor jam 11 dengan berbagai alasan. Begitu pun esok harinya. Jika kamu merasa macam-macam alasan sudah dipakai, kamu akan memakai jatah izin sakit.

6. Selalu mengeluhkan pekerjaan

Waktu sedang ngomongin pekerjaan, coba perhatikan bagaimana kamu menceritakannya. Jika dari ceritamu kamu lebih banyak mengeluh, kemungkinan besar kamu tidak suka dengan pekerjaanmu sekarang ini.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Coba pikirkan dan cari tahu hal-hal apa yang membuatmu terus-terusan mengeluhkan pekerjaan. Dengan mengetahui apa yang menjadi penyebab emosi negatif tersebut, kamu bisa menangani rasa tidak suka pada pekerja dengan lebih gampang.

7. Tidak suka pada pekerjaan, kamu jadi mudah marah 

Tidak suka pada pekerjaanmu pasti membuatmu jadi stres. Kalau mood kamu lagi jelek dan kamu menghadapi pekerjaan yang tidak kamu sukai, kamu sangat mungkin bereaksi secara berlebihan atau mudah marah saat ada sesuatu tidak berjalan sesuai rencana.

Bila kamu terus menerus begini, hubunganmu dengan atasan, rekan kerja, atau klien akan memburuk. Besar kemungkinannya saat seseorang sedang stres berat, ia tidak bisa bersikap profesional.

Cara Mengatasi Rasa Tidak Suka pada Pekerjaan

Ambil Cuti dan Pergi Berlibur

Jika kamu sedang mengalami tanda-tanda di atas, segera ajukan cuti ke atasan. Ambil jatah cuti kamu buat berlibur atau sekadar beristirahat di rumah. Saat mengalami stres, kamu membutuhkan waktu untuk melepas penat tanpa diinterupsi hal lain yang menekanmu. 

Baca Juga: Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Sebaiknya, kamu juga menghindari komunikasi di ponsel, e-mail, atau mana pun yang berkaitan dengan pekerjaan. Nikmati liburan kamu supaya kamu bisa mengisi ulang tenaga serta semangat sehingga produktivitas kembali naik dan rasa tidak suka pada pekerjaan berkurang.

Isi Waktu Libur dengan Melakukan Hobimu

Pada tanggal merah, kamu bisa mengisinya dengan melakukan hobi seperti nonton film, membaca buku, traveling, naik gunung, dan aktivitas positif lain. Ini berguna untuk membuat pikiranmu rileks. 

Selain itu, melakukan hobi juga membuat hidupmu tidak sepenuhnya diisi dengan pekerjaan. Kamu bisa menemukan makna dan kesenangan tersendiri dari hobimu itu. Begitu kamu senang atau mood-mu baik, perasaan tidak suka pada pekerjaanmu pun bisa perlahan-lahan terkikis.

Mulai Berolahraga

Menurut penelitian, olahraga bisa mengurangi stres. Ya kamu enggak perlu olah raga yang berat-berat, cukup jalan pagi atau jogging di kompleks rumah misalnya. Bisa juga kamu memilih olahraga yoga di rumah untuk membantumu menenangkan pikiran serta tidak membutuhkan biaya yang besar.

Read More
Perempuan yang Tetap Aktif Bekerja Walau Menopause

Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Keputusan aktris Angelina Jolie mengangkat rahimnya di umur 42 tahun yang membuatnya mengalami menopause dini, patut kita apresiasi. Jolie membuka ruang diskusi publik soal menopause sebagai bagian dari pengalaman “normal” perempuan. 

Tidak hanya Angelina Jolie, Whoopi Goldberg aktris sekaligus komedian di AS pada 2006 berbicara secara terbuka tentang pengalaman menopause-nya. Buat Goldberg, momen menopause justru jadi tonggak baru hidupnya sebagai perempuan. “It’s wonderful and liberating. All of a sudden I don’t mind saying to people, ‘You know what? Get out of my life. You’re not right for me.”

Kehadiran figur publik macam Jolie dan Goldberg dalam hal ini pun menjadi sangat penting untuk mematahkan stigma perempuan menopause. Sebagai informasi, masyarakat kerap melabeli perempuan menopause sebagai pihak tak berdaya, tak sanggup bekerja secara produktif, orang tua.

Dalam penelitian Silence, Stigma, and Shame A Postmodern Analysis of Distress During Menopause Stigma (2010), Marcianna Nosek, Holly Powell Kennedy, Maria Gudmundsdottir memaparkan stigma seputar menopause yang lekat sekali dengan histeria, ketidakmampuan perempuan untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari, dan rasa malu karena penuaan. 

Perempuan dan Gejala Perimenopause

Setiap perempuan yang mengalami menopause akan melewati sebuah periode transisi, disebut dengan perimenopause. Dilansir dari Hallo Sehat, sebagian perempuan yang berusia sekitar 40 tahun akan merasakan gejala dari masa transisi ini, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang mengalami hal tersebut bahkan di usia 30-an.

Gejala-gejala yang lumrah terjadi pada perempuan dalam masa transisi ini antara lain, hot flashes (rasa panas pada wajah dan tubuh), gangguan tidur, gangguan mood, menurunnya libido, hingga vagina menjadi lebih kering. Perlu diketahui, kemungkinan setiap perempuan akan mengalaminya pada usia yang berbeda, dengan periode dan gejala yang tentunya berbeda satu dengan lainnya. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pengalaman unik perimenopause misalnya dapat dilihat dari tiga cerita perempuan bernama Joesy (53), Fitri (54), dan “Netty” (53). Dalam wawancara bersama Magdalene (2/11), Joesy misalnya mengungkapkan, selama perimenopause, ia mengalami gejala-gejala seperti hot flashes dan gangguan tidur. Rasa panas yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya ini membuatnya cukup risi sampai-sampai ia harus berkali-kali mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

“Gerah, sih. Terasa aneh gitu ya, mungkin suhu tubuh kali ya. Rasanya gerah, ganti kaos itu satu malam bisa 5 sampai 6 kali saking gerahnya.”

Joesy menambahkan, selama mengalami perimenopause, ia juga sempat pergi ke dokter. Hal ini karena selama perimenopause, ia mengalami gangguan tidur hebat. Ia bahkan baru bisa tidur setelah Subuh. Segala macam cara ia lakukan agar ia bisa tidur lelap, namun usahanya kerap sia-sia. Gangguan tidurnya ini tentunya sangat memengaruhi aktivitasnya sehari-hari apalagi ia mengalaminya lumayan lama, sekitar 1 bulan.

Senada dengan Joesy, Fitri juga sempat mengalami hot flashes selama perimenopause. Namun, hot flashes yang dialaminya tidak separah Joesy yang sampai harus berganti pakaian berkali-kali. Ia pun tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Gejala yang paling Fitri rasakan selama perimenopause lebih mengarah kepada gangguan mood.

“Secara emosi jadi lebih sensitif, moody. Kok tiba-tiba sedih ya, tapi kadang-kadang pingin marah-marah. Cuma sebentar, nanti ilang lagi. Kadang tanpa sebab gitu. Kok sedih, ya? Kenapa ya? Terus jadi gampang banget tersinggung. Mungkin orang lain bisa sampai depresi tapi saya enggak, sih,” tuturnya kepada Magdalene (2/11).

Berbeda dengan Fitri maupun Joesy yang mengalami gejala fisik, Netty tidak mengalami gejala fisik apa-apa. Selama perimenopause, Netty lebih mengalami gangguan emosi sama seperti Fitri.

“Fisik aku enggak ngerasain sakit, lemes, enggak juga. Susah tidur juga enggak. Namun, aku ngalamin tiba-tiba sedih, pingin nangis, ngeliat apa pingin nangis. Di kereta liat hujan pingin nangis, kayanya sedih banget, aku ngalamin itu. Sampai mahasiswaku menyuruhku dengar lagu aja kalau sedang di kereta biar enggak melamun terus sedih gitu,” curhatnya kepada Magdalene (3/11).

Kendati ketiganya mengalami gejala perimenopause yang tidak mengenakkan dan sekarang telah mengalami fase menopause, ketiganya sepakat ini semua bukanlah sesuatu yang negatif dan harus distigmatisasi. Pasalnya, pengalaman ketubuhan unik perempuan ini merupakan sebuah fase yang harus dihadapi setiap perempuan. 

Joesy misalnya mengatakan, menopause adalah proses alami yang memang harus dilalui setiap perempuan layaknya menstruasi. Pada kenyataannya memang hal ini tidak bisa kita kendalikan. Namun, menurut Joesy selama kita dapat berpikir positif mengenai proses alami tubuh ini dan mencari informasi atau pengetahuan yang tepat soal menopause, kita tidak perlu khawatir.

Fitri menambahkan, menopause sendiri membawanya pada sebuah kebahagiaan tidak ternilai harganya secara spiritualitas dan mental. 

“Saya justru pas menopause tuh seneng karena saya bisa puasa pol, enggak usah bayar-bayar utang puasa, bisa salat terus. Setelah menopause, saya juga justru merasa lebih mencintai diri saya sendiri. Saya misalnya jadi lebih rajin merawat diri sendiri, lebih memperhatikan diri sendiri fisik atau mental, jadi punya banyak waktu untuk diri sendiri.”

Perempuan Lawan Stigma Menopause dengan Aktif Bekerja

Survei 2019 yang dilakukan oleh Bupa, perusahaan asuransi kesehatan, memperkirakan hampir 900.000 perempuan di Inggris telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena gejala yang terkait dengan menopause. Hal ini pun tentunya berdampak langsung pada produktivitas perempuan dan status mereka sendiri di tempat kerja. Belum lagi ditambah minimnya perhatian dan pengertian dari lingkungan sekitar utamanya laki-laki atas pengalaman ketubuhan unik perempuan ini.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Namun, di tengah segala stigma dan kendala yang dialami oleh perempuan yang mengalami menopause, Joesy, Fitri, dan Netty membuktikan menopause bukan sebuah halangan atau alasan untuk tetap aktif bekerja. Joesy misalnya adalah seorang penulis profesional. Selama menopause, ia lebih banyak menulis buku. Buku yang ia tulis adalah tulisan yang berisi ilmu dan pengalaman dari karyawan perusahaan atau BUMN yang hendak pensiun. Perusahaan atau BUMN terkait nantinya akan mengundangnya datang dan membuatkan kontrak kerja untuknya. Dari sinilah Joesy nantinya menyusun sebuah buku yang berisi arsip ilmu dan pengetahuan karyawan terkait yang akan digunakan untuk generasi mendatang.

Sama halnya dengan Joesy, Fitri yang merupakan seorang menopause kerap aktif bekerja. Sebagai pendiri, pemilik, dan guru dari sebuah tempat les bimbel di daerah Depok, jadwal Fitri bisa dibilang cukup padat. Ia bisa mengajar dari pagi hari, istirahat di siang hari, dan lanjut mengajar dari jam 1 atau jam 2 hingga jam setengah 6 sore. Apalagi semenjak pandemi, ia bisa saja dihubungi oleh muridnya di luar jam les. Tidak hanya mengajar, di tengah kesibukannya ia Fitri pun masih semangat berjualan. Jika ia sedang tidak ada jadwal mengajar, ia biasanya sibuk di dapur, memasak makanan dari pesanan kue, zuppa soup, atau macaroni schotel yang ia terima.

Netty pun sama. Menurutnya menopause bukanlah halangan berarti baginya untuk tetap aktif bekerja. Sebagai seorang dosen senior yang sudah mengajar selama 30 tahun di universitas swasta, jadwal mengajar Netty bisa dibilang luar biasa padat. Ia mengajar mahasiswa S1 hingga S2 dan masih suka diberikan tugas oleh profesor oleh kampusnya. Walau sudah disibukkan dengan urusan mengajar dan kampus, sama halnya dengan Fitri yang “tidak bisa diam”, Netty masih memberikan pelatihan kepada orang lain yang menginginkan jasa pengajarannya seputar ilmu komputer.  

Terkait stigma tak produktif ini, ketiganya angkat bicara.

“Produktivitas itu kan enggak tergantung dari kegiatan fisik juga tapi tergantung dari kemauan kita melakukan sesuatu. Menopause itu enggak hanya berpengaruh pada fisik tapi mental juga, jadi tergantung kita manage-nya gimana. Kalau capek atau merasa sedang enggak enak ya istirahat aja dulu, enggak apa-apa. Nanti baru balik lagi,” tutur Fitri.

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Senada dengan Fitri, Joesy bilang, jika memang kita merasa dalam periode tersebut tidak bisa produktif, sebenarnya tak masalah. Jangan menyalahkan diri kita sendiri atas sebuah proses alami yang dialami oleh kita. Menurut Joesy yang terpenting adalah ketika periode itu telah usai, kita harus bisa bangkit lagi. Jangan menjadikan menopause dan gejala-gejala perimenopause sebagai alasan bagi kita untuk tidak menjadi produktif. Semakin produktif, umumnya kesehatan mental makin terjaga.

Pada akhirnya, menopause dan perimenopause adalah sebuah siklus yang memang harus dilalui oleh setiap perempuan. Baik Joesy, Fitri, atau Netty setuju, pengetahuan dan informasi akurat soal pengalaman ketubuhan ini penting. Tidak hanya bagi perempuan untuk menekan rasa khawatir berlebihan, tapi juga agar mereka lebih mudah menjalani siklus ini dengan baik. 

Read More
rasa takut pada atasan

Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Saat pertama kali kerja sebagai karyawan di suatu perusahaan, sangat lumrah jika kamu punya rasa takut pada atasan. Namun, rasa takut ini tidak boleh terus menerus dibiarkan karena bisa-bisa hal tersebut menurunkan motivasi kerja kamu. Kamu dapat merasa kurang nyaman atau setiap hari merasa terbebani dengan pekerjaan bila takut kepada atasan.

Lalu, bagaimana cara menghadapi rasa takut pada atasan? Berikut ini beberapa tips untuk menghadapi rasa takutmu yang telah kami rangkum.

Kenali Pemicu Rasa Takut pada Atasan

Pertama-tama, kamu perlu mengenali pemicu rasa takut pada atasan yang kamu alami. Dikutip dari Forbes, perasaan ini biasa dialami oleh para fresh graduate atau seseorang yang baru memasuki dunia kerja. Rasa takut bisa muncul karena kita berpikiran bahwa kinerja kita tidak akan cukup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang di lingkungan kerja kita.

Baca Juga: Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Selain itu, memang beberapa gaya kepemimpinan dari atasan bisa memberikan rasa takut kepada pegawainya. Hal ini dapat disebabkan karena sikap, cara berkomunikasi, sampai respons atasan terhadap masalah yang muncul dirasa kurang ramah.

Ada juga orang yang punya rasa takut kepada atasan karena perasaan inferior. Mereka menganggap dirinya tak bisa mengungkapkan pendapat atau bersuara karena berpikir bahwa atasan pasti tahu yang lebih baik seiring pengalamannya. Padahal, ide bagus bisa datang dari siapa saja dan idealnya, siapa pun boleh bersuara di tempat kerja. 

Ingat, Urusan Kantor Bukan Hanya Tentang Kamu

Dikutip dari The Muse, seorang pemimpin atau atasan umumnya lebih memperhatikan hal-hal berskala besar, karena hal tersebut lebih menentukan strategi perusahaan ke depannya.

Karena itu, untuk mengatasi rasa takut pada atasan, kamu perlu mencoba berpikir bahwa tidak semua urusan dan masalah yang timbul di kantor disebabkan olehmu.Alih-alih merasa setiap ada masalah kamu berkontribusi di dalamnya, dan akhirnya kamu jadi takut “kena semprot” atasan, kamu perlu mencoba melihat sesuatu lebih objektif lagi. Bisa saja masalah datang karena ada kerja tim yang tidak beres, hal tidak terduga yang menimpa perusahaan, atau lainnya. 

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Pahami Bahwa Kamu Punya Nilai, dengan Begini akan Menghilangkan Rasa Takut Kamu ke Atasan

Rasa takut umumnya terjadi karena kamu merasa tidak punya kemampuan atau pengetahuan yang cukup untuk bekerja dengan atasan. Umumnya, perasaan ini timbul karena kamu merasa minder kepada rekan kerja hingga atasan.

Namun, harus diingat, kamu sudah bisa lolos melewati tahap wawancara dan akhirnya bisa diterima kerja di perusahaan sekarang ini. Itu berarti, perusahaan melihat diri kamu punya kemampuan serta nilai yang dibutuhkan perusahaan tersebut.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Dengan menyadari hal ini, kamu dapat menjadi lebih tenang dan mengurangi rasa minder dengan rekan kerja atau atasan ketika baru bekerja di sana. 

Beranikan Dirimu untuk Berkomunikasi dengan Atasan

Setelah memperhatikan poin-poin di atas, kamu perlu mulai memberanikan diri untuk berkomunikasi dengan atasan. Umumnya, rasa takut muncul karena kamu belum pernah coba berkomunikasi dengan atasan dan langsung membuat asumsi.

Kamu cuma melihat atasanmu dari tampilan luar saja. Padahal, bisa saja sosok atasan yang sebenarnya jauh berbeda dari yang kamu lihat dari luar. Kamu boleh, loh, mulai menginisasi obrolan ringan di luar pekerjaan untuk mencairkan suasana.

Dengan memulai komunikasi, kamu akan punya pandangan lain tentang atasanmu, dan tidak menutup kemungkinan kamu semakin mudah bekerja bersamanya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Usahakan untuk Memberikan Hasil yang Terbaik

Cara selanjutnya untuk menghadapi rasa takut pada atasan adalah dengan berusaha memberikan hasil yang terbaik.

Kamu harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk tim serta perusahaan. Kamu juga butuh selalu fokus pada proses dan tujuan yang mau kamu capai bersama perusahaan.

Memiliki kinerja yang bagus akan jadi nilai plus di mata perusahaan kamu bekerja. Kemungkinan besar, atasanmu jadi lebih memerhatikan perkembanganmu dan bahkan membantu dalam proses pengembangan kariermu ke depannya nanti. Jika relasi baik bisa kamu jalin berkat kinerjamu yang baik itu, perlahan-lahan rasa takut pada atasan yang kamu rasakan akan luntur, kok.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Nah, itulah beberapa tips menghadapi rasa takut kepada atasan. Dengan mengetahui ini, semoga kamu bisa lebih nyaman dan produktif waktu bekerja.

Read More

Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

“Kalau lu bukan seorang jurnalis, ibu dari anak lu dan istri dari suami lu, elu siapa?”

Pertanyaan ini dilontarkan kawan saat kami makan bersama pada suatu siang. Bagi saya, ini bukan pertanyaan yang bisa dijawab dalam hitungan detik atau menit, dan mungkin hal ini juga dirasakan sama oleh sebagian orang di luar sana. 

Sejak kecil, kita sering kali “diplotkan” menjalani kehidupan dengan gol-gol tertentu pada setiap periode: Lulus sekolah, kuliah, bekerja, menikah, punya anak, meningkatkan jenjang karier, punya rumah dan harta benda lainnya, lalu pensiun dengan adem ayem setelah mengantongi dana cukup untuk hari tua. 

Karena masyarakat serempak menegakkan life goals macam ini, siapa pun yang keluar dari standar itu berpotensi jadi rendah diri karena ketinggalan dari teman-teman sebayanya atau dihakimi, baik oleh keluarga sendiri maupun orang sekitar lainnya. 

Salah satu yang cukup mengusik dan bikin orang galau adalah pekerjaan. Tak dimungkiri, pekerjaan di perusahaan dengan jabatan dan gaji tertentu, seperti manajer di perusahaan minyak, pegawai negeri swasta, atau pengacara ternama jadi idaman banyak orang. Ini karena masyarakat memandang pekerjaan-pekerjaan macam itu bergengsi dan bisa menjamin hidup seseorang dalam jangka panjang. 

Kita suka akan kepastian dan cenderung menghindari perubahan. Pasalnya, kita akan diminta beradaptasi lagi dan kondisi itu biasanya tidak mengenakkan. Belum lagi kita jadi galau dan minder saat berhadapan dengan kenalan yang nodong dengan pertanyaan, “Kamu kerja di mana sekarang?”. Berapa banyak yang dengan pede menjawab, “Kerja serabutan” atau “Nganggur nih”? Bahkan mungkin sebagian perempuan yang sudah meraih gelar sarjana dan di atasnya masih malu mengaku, “Jadi ibu rumah tangga ‘aja’.” 

Baca juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bagaimana Anggapan “Kita adalah Pekerjaan Kita” Tumbuh?

Dalam jurnalnya yang berjudul “Work, Identity and Self: How We Are Formed by the Work We Do” (1998), Al Gini mengutip sejumlah pandangan orang tentang identitas didefinisikan oleh pekerjaan, yang kemudian diyakini dan dilanggengkan banyak orang hingga kini. Contohnya, Etika Kerja Protestan yang mengutamakan kerja dalam pembentukan keberhargaan hidup seseorang. Paus Yohanes Paulus II dalam On Human Work (1981) juga menyatakan, “Pekerjaan adalah hal baik bagi manusia. Baik untuk kemanusiaannya karena lewat pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam, mengadaptasinya untuk memenuhi kebutuhan dia, tetapi ia juga meraih pemenuhan diri dan merasa ‘jadi lebih manusia.’”

Sementara, novelis Elia Kazan mengatakan, karier dan identitas kita tidak terpisahkan, justru keduanya sebanding. Ia memandang, orang-orang adalah apa yang mereka kerjakan dan hal itu memengaruhi setiap aspek dirinya, apa pun keadaannya.

Di samping itu, sebagian orang benar-benar menemukan pekerjaan yang menjadi ladang aktualisasi dirinya. Mereka menemukan makna dari pekerjaan yang dijalaninya dan kondisi ini menciptakan rasa puas tersendiri yang sulit untuk dilepaskan setelah bertahun-tahun mengalaminya. Ditambah lagi, dalam perjalanannya mereka dapat memperoleh pengakuan masyarakat terkait status dan kesejahteraannya. Tidak heran bila orang begitu berusaha mempertahankan identitas dirinya yang terkait dengan pekerjaan. 

Dalam The New York Times, penulis buku Ask a Manager (2018), Alison Green berujar, sebagian orang punya cita-cita tertentu dan begitu meraihnya, mereka menganggap kariernya itu satu-satunya dorongan untuk hidup maju. 

“Ketika kamu menyukai pekerjaanmu, sangat mudah bagimu untuk melekatkan identitasmu pada pekerjaan. Gagasan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat mahir dalam pekerjaanmu adalah hal yang sangat kuat,” kata Green.

Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

Apa Jadinya Kalau Identitas Didefinisikan oleh Pekerjaan Saja?

Sekilas tidak ada yang salah dengan melekatkan erat identitas diri dengan pekerjaan kita. Namun, profesor Psikologi di Wilfrid Laurier University, Ontario, Anne Wilson mengatakan dalam BBC, mereka yang membiarkan pekerjaannya “menelan” identitasnya dapat mengalami kondisi psikologis yang dinamakan “enmeshment”. Istilah ini merujuk pada situasi ketika batasan antara kerja dan kehidupan personal menjadi buram.

Enmeshment bisa terlihat misalnya saat seseorang terus memikirkan soal kerja di situasi-situasi luar kantor atau selalu membicarakan masalah pekerjaan pada berbagai kesempatan. Wilson menyatakan, hal ini membuat kita mengabaikan ruang untuk hobi dan kesenangan sendiri. Akibatnya, kita menjadi susah terkoneksi dengan orang-orang yang ada di luar lingkungan kerja.  

Saat kamu mengalami enmeshment dan pekerjaan sangat berperan mendefinisikan dirimu, nilai-nilai yang kamu pegang juga bisa terdampak. 

“Kalau kamu mengikat keberhargaan dirimu dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang kamu alami akan langsung mempengaruhi keberhargaan dirimu,” kata Wilson.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau jabatannya dan sudah kadung membiarkan identitas didefinisikan oleh pekerjaan dia, ada potensi ia mengalami depresi karena merasa kebermaknaan hidupnya hilang. Dalam The Economic Times India dikatakan, jika pekerjaanmu bergaji tinggi, kamu mungkin jadi punya standar hidup tinggi. Bila pekerjaanmu memberi kuasa besar, kamu bisa kecanduan status sosial tinggi. Ketika kamu kehilangan pekerjaanmu, kamu bisa saja kesulitan atau bahkan tak mampu menerima keadaaan hilangnya status lamamu itu.

Dalam wawancara dengan Magdalene tentang lansia aktif beberapa waktu lalu, psikolog dan pegiat isu lansia Danny Yatim menyoroti sebagian orang yang sudah pensiun dan mengalami depresi. Ia mengatakan, terlalu lama attach dengan suatu pekerjaan membuat seseorang tidak punya kehidupan atau skill di luar pekerjaan utama. 

“Ada teman [saya] yang sudah pensiun lalu bergerak di bidang bisnis kecil-kecilan. Ada yang gagal karena enggak punya skill lantaran terlalu lama bekerja kantoran. Pada teman-teman yang dulu kehidupannya cuma satu aspek saja [pekerjaan utama], sewaktu ini hilang, dia enggak punya personal resources untuk melakukan hal berbeda,” kata Danny. 

Mengubah Persepsi

Gimana kalau kita mandang pekerjaan kita sebagai aksesoris selagi kita ngejalanin hidup?”

Sebagian dari kita mungkin tidak setuju dengan perkataan kawan saya ini. Namun, saya bisa menangkap maksudnya: Aspek hidup kita itu jauh lebih luas dari kehidupan kerja kita saja. Ada orang-orang di luar sana yang tetap bekerja di kantornya sekarang hanya untuk mencari nafkah, selebihnya ia mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar kantor. Entah itu bermusik, menjadi relawan, menjelajahi berbagai kota atau negara, atau lainnya. Itu semua hal-hal ideal, yang sesuai passion, yang hanya bisa dijalankan kalau kebutuhan perut terpenuhi dulu.

Memang ada yang beranggapan, lebih baik bekerja sesuai dengan passion saja supaya tak jadi “kutu loncat”. Namun, realitasnya tentu tidak semudah ujaran itu. Berapa banyak lapangan kerja sesuai passion kita yang ditawarkan, dan apakah pekerjaan sesuai passion itu bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang tua serta anak-anak bagi sandwich generation?

Karenanya, ujaran kawan saya itu bisa saya pahami dan mungkin dapat jadi alternatif cara berpikir kita. Barangkali kita bekerja sebagai admin media sosial, customer service, atau bahkan direktur di suatu bank. Namun, itu semua tidak serta merta mendefinisikan diri kita karena pekerjaan bisa jadi hanya sarana untuk bertahan hidup, bukan aktualisasi diri yang memang benar-benar dikejar.

Pada 2018, kontributor Magdalene, Elvita Natassa menceritakan pandangannya tentang karier setelah sempat mengecap empat pekerjaan di industri-industri berbeda, sebagian dengan gaji lumayan dan tempat kerja yang nyaman. Terakhir, ia membuka usaha sendiri dengan mengajar pilates

Dari pengalamannya tersebut, ia sadar nilai yang dipegangnya selama hidup terus berubah. Namun, identitas dan keberhargaan dirinya tidak didefinisikan dari pekerjaan yang kedengarannya bergengsi. 

“Hal ini didefinisikan dari nilai, kebenaran, kontribusi saya, dan apa yang terjadi di luar jam kerja nine-to-five. Saya tahu karier saya tidak mendefinisikan identitas saya, karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan adalah dari diri saya sendiri,” tulisnya.

Selain itu, yang juga penting untuk direfleksikan supaya kita bisa menggeser persepsi bahwa kita adalah pekerjaan yang kita punya saja: Apakah kita benar-benar nyaman dan bahagia dengan profesi atau jabatan yang kita pegang sekarang? Jika tidak, bukankah pekerjaan yang kita lakukan sekarang hanya jadi topeng belaka hanya supaya kita diterima orang lain? Sebenarnya, memakai topeng sepanjang waktu itu meletihkan, disadari atau tidak. 

Jika pada suatu titik kita merasa identitas didefinisikan oleh pekerjaan kita saja, tidak ada salahnya mengevaluasi lagi pandangan kita itu. Pun tidak keliru bila suatu hari kita mau identitas kita itu berubah, selama kita merasa bahagia dengan pilihan kita. Yang terpenting, apa pun yang kita pilih dan kita anggap sebagai identitas sekarang ini, kita perlu menyadari bahwa hal itu sifatnya cair, tidak harus diterima dan diterapkan selamanya secara mutlak. 

Read More