Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker

Bayangkan, kamu ada di sebuah rapat penting. Anehnya saat kamu mencoba berbicara, ada rekan kerja yang menghela napas panjang dan bertukar pandang dengan teman lainnya berulang kali. Mereka jelas tampak menyimpan sesuatu.

Ya, hubungan di tempat kerja memang tak selalu harmonis. Entah itu di kafe, pabrik atau parlemen, orang-orang melakukan dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan. Mereka bisa saja berbicara padamu dengan nada merendahkan, “menegurmu” di depan umum, membuat gurauan yang menyakitkan, bergosip di belakangmu, atau bahkan mendiamkanmu.

Bentuk-bentuk tindakan kasar dan tak menyenangkan di tempat kerja, yang kerap dikenal dengan istilah “workplace incivility”, memiliki intensitas yang cukup rendah untuk bisa kamu laporkan ke HR dan mendapatkan penyelesaian yang memuaskan. Umumnya, organisasi memiliki aturan untuk melawan tindakan rasisme, seksisme, pelecehan atau perundungan lainnya. Namun, incivility–dengan dampak yang tak tampak dan sulit untuk dibuktikan–cenderung tak terdeteksi.

Kebanyakan dari kita akan menjumpai incivility pada suatu titik selama kita bekerja. Lebih dari 50% mengalaminya tiap minggu. Menurut sebuah metaanalis terhadap 105 studi tentang perilaku ini, kamu akan lebih mungkin mengalaminya jika kamu karyawan baru, perempuan, berada di posisi bawahan, atau berasal dari etnis minoritas.

Kata-kata yang tidak baik dan tak dipikirkan itu penting. Seperti yang dikatakan ahli bahasa Louise Banks dalam film tahun 2016, Arrival: “Bahasa adalah senjata pertama yang ditembakkan dalam sebuah konflik.”

Apa yang orang katakan dan bagaimana mereka mengatakannya sangat memengaruhi kita. Satu komentar kejam dapat merusak seluruh harimu. Jika dibiarkan, perilaku semacam ini membuat tempat kerja menjadi toxic.

Baca juga: Tinggalkan yang Lama Ciptakan yang Setara

Mengapa Orang Kasar pada Orang Lain?

Mudah untuk sekadar menyalahkan karakter buruk seseorang. Memang, perilaku seperti ini lebih mungkin datang dari orang-orang yang memiliki gangguan kepribadian, terutama dari “tiga serangkai kegelapan”: narsisisme, psikopati dan Machiavellianisme.

Tiga serangkai kegelapan
Wikimedia Commons, CC BY

Narsisis terobsesi dengan diri sendiri dan mendominasi interaksi sosial. Psikopat kurang empati dan tidak memahami norma sosial. Machiavellian adalah orang yang manipulatif, egois, dan amoral.

Namun, orang “baik” pun bisa berperilaku kasar. Tiga pemicu utama incivility disebabkan oleh rasa kecewa pada atasan, mendapatkan tekanan lebih besar dari yang bisa mereka tangani, atau karena orang lain berperilaku kasar duluan–baik terhadap mereka atau orang lain.

Perilaku-perilaku ini dapat menjadi lingkaran jahat yang mengubah korban atau penonton menjadi pelaku. Dan seperti itulah tempat kerja toxic lahir, berkembang, dan melanggeng.

Perilaku Tak Menyenangkan di Tempat Kerja

Kepemimpinan membentuk atmosfer tempat kerja toxic. Kita adalah makhluk sosial dan belajar apa yang diharapkan dan dapat kita terima dari orang yang dijadikan panutan. Perilaku pemimpin kita–entah itu yang baik atau yang buruk – dapat menular, mengalir turun dan menyebar ke penjuru organisasi.

Incivility paling berbahaya ketika datang dari atasan: seseorang yang mestinya kita percaya, yang seharusnya menjaga kita.

Adanya asimetris kekuasaan berarti perilaku yang tak seharusnya dari seorang pemimpin menjadi sulit untuk dilawan. Ambil contoh Harvey Weinstein, yang selama puluhan tahun menyalahgunakan posisinya sebagai salah satu produser film paling sukses di Hollywood untuk mengeksploitasi perempuan secara seksual, sebelum akhirnya dimintai pertanggungjawaban.

Namun, seorang manajer bisa saja melakukan kelalaian dalam pekerjaannya tanpa dijadikan pelaku. Dalam kasus pelecehan seksual misalnya, perilaku mereka kerap didiamkan karena mereka mungkin disukai sebagai orang yang berprestasi atau sebagai teman. Dengan kapasitas satu individu untuk menyengsarakan banyak kolega, kegagalan kepemimpinan dapat menimbulkan budaya toxic di tempat kerja.

Baca juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Kepemimpinan Otentik

Terserah pada para pemimpin untuk bisa menjadi penggerak pertama melawan perilaku-perilaku tak menyenangkan dan menciptakan budaya tempat kerja yang positif dengan perilaku mereka sendiri. Apa yang bisa ditoleransi seorang pemimpin akan menjadi standar terhadap bagaimana orang lain akan bertindak.

Bersama dengan kolega saya, Stephen Teo dan David Pick, saya mensurvei 230 perawat di penjuru Australia mengenai kualitas kepemimpinan yang dapat mengurangi perilaku tak menyenangkan di tempat kerja.

Mengapa perawat? Karena pekerjaan mereka penuh tekanan dan tuntutan. Stres yang timbul dari menyediakan perawatan kritis untuk pasien menyuburkan situasi rawan konflik, mulai dari memaki hingga kekerasan fisik.

Perilaku tak menyenangkan kerap ditemukan dalam profesin ini dan adanya berbagai faktor pemicu stres juga meningkatkan potensi kesalahan medis. Ini menjadi alasan penting untuk mengurangi perilaku tak menyenangkan dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan.

lingkungan kerja toksik
Perawat bekerja dalam kondisi yang penuh tekanan dan tuntutan, kondusif terhadap timbulnya konflik. Shutterstock

Riset kami menunjukkan bahwa kepemimpinan otentik mendukung berkembangnya budaya tempat kerja yang minim incivility dan dengan kesejahteraan yang lebih baik. Kepemimpinan otentik menyadari kekuatannya dan kekurangannya, mengambil tindakan berdasarkan nilai yang mereka pegang meski di bawah tekanan, dan berupaya memahami bagaimana kepemimpinan mereka dapat memengaruhi orang lain.

Yang Bisa Kamu Lakukan

Incivility tak boleh diabaikan. Ia tak boleh diamini hanya sebagai “bagian dari pekerjaan”.

Jika ini terjadi padamu, atau pada rekan kerjamu, sekadar mendiamkannya tak akan membantumu atau kolegamu. Menahan diri dari perilaku ini melelahkan secara emosional, menanamkan rasa dendam, dan bisa saja menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian hari.

Meresponsnya dengan perilaku serupa juga bukan ide yang baik. Pembalasan dendam jarang bisa menghentikan orang yang memiliki perilaku sedemikian dan justru malah mempromosikannya secara efektif.

Salah satu pendekatan yang direkomendasikan psikolog ketika menghadapi orang-orang yang suka berkonflik adalah teknik “BIFF”: singkat (brief), informatif, ramah (friendly), dan tegas (firm).

Ketika seseorang mengatakan sesuatu yang jahat, kamu bisa setenang mungkin merespons dengan: “Komentarmu sangat menyakitkan dan merusak hubungan kerja kita. Mari kita tetap profesional.”

Jangan membalas dendam. Berperilakulah secara singkat, informatif, ramah, tetapi tetap tegas.
Jangan membalas dendam. Berperilakulah secara singkat, informatif, ramah, tetapi tetap tegas. Shutterstock

Jika perilaku mereka tidak berubah, dekati atasanmu. Sekali lagi, tetap tenang. Jelaskan apa yang terjadi dan bagaimana hal ini memengaruhimu. Kamu juga tak harus melakukannya sendirian: pertimbangkan untuk mengajak kolega-kolega yang bisa memberikan dukungan untukmu dan terhadap pernyataanmu.

Apakah hal ini akan menyelesaikan masalah? Mungkin saja tidak. Manajermu mungkin hanya akan sekadar mengangkat bahu, atau melakukan “mediasi” yang tak menyelesaikan apapun. Namun, tak mengatakan atau melakukan apa-apa sudah hampir pasti akan membuatmu merasa tak puas.

Jika pelakunya adalah atasanmu, hubungi HR (jika organisasimu memilikinya) atau serikat kerjamu. Serikat dapat menawarkan nasihat mengenai jalan lain untuk menyelesaikan persoalan ini.

Badan hukum seperti Fair Work Ombudsman di Australia, Employment New Zealand di Selandia Baru, dan Layanan Penasihat, Konsiliasi, dan Arbitrase Inggris Raya memiliki wewenang untuk menyelidiki keluhan di tempat kerja dan campur tangan dalam perselisihan melalui konsiliasi formal atau arbitrase. Tetapi sebelum memulai proses seperti ini, sebaiknya dapatkan nasihat ahli. Kamu mungkin mendapatkan keadilan, tetapi juga masih perlu mencari pekerjaan lain.

Invicility tak akan bisa berhenti dengan sendirinya. Suaramu penting dan dapat membantu memutus siklus.

Andrei Lux, Dosen Leadership and Director of Academic Studies, Edith Cowan University

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Read More
lingkungan kerja toksik

Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Pada Februari lalu, aktor Charisma Carpenter, salah satu pemeran serial 1990-an populer Buffy the Vampire Slayer dan Angel, mengungkapkan perilaku abusive dan tidak profesional sutradara kedua serial yang dibintanginya tersebut, Joss Whedon.

Dilansir Vulture, Carpenter menyatakan lewat Twitter bahwa ia menerima berbagai perlakuan buruk dari Whedon saat syuting, terutama ketika ia sedang hamil. Carpenter menyebut Whedon bersikap pasif agresif terus menerus, serta kerap merendahkan orang-orang yang bekerja dengannya. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa Whedon sering pilih kasih, mengadu domba orang, dan membuat mereka berkompetisi untuk mendapatkan perhatian dan persetujuannya.

“Dia [Whedon] bertanya apakah saya bisa ‘menyimpannya’ [soal kehamilan saya] dan secara manipulatif menggunakan keperempuanan dan kepercayaan saya untuk menyerang saya. Dia kemudian menyerang karakter saya, menghina agama yang saya anut, menuding saya menyabotase serialnya, dan secara tidak hormat memecat saya begitu saya melahirkan,” papar Carpenter.

Testimoni Carpenter ini muncul setelah pertengahan tahun lalu aktor Ray Fisher, pemeran Cyborg dalam film Justice League (2017) yang juga disutradarai Whedon, mengungkapkan hal serupa. Juga melalui Twitter, Fisher menyebut Whedon menjijikkan, abusive, tidak profesional, sama sekali tidak bisa diterima.

Ia melanjutkan, perilaku Whedon semacam ini “difasilitasi” oleh mantan co-president produksi Warner Bros, Jon Berg dan mantan DC Entertainment president and chief creative officer, Geoff Johns. Pada Oktober 2020 dalam wawancara dengan Forbes, Fisher menyebut para eksekutif di studio tersebut terang-terangan melakukan percakapan rasis saat memproduksi film superhero itu.

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

Dampak Besar Lingkungan Kerja Toksik

Kasus beberapa selebritas Hollywood ini hanya sebagian contoh kecil dari fenomena lingkungan kerja toksik yang dapat ditemukan di berbagai industri. Dalam banyak kasus, lingkungan kerja toksik sering ditoleransi dengan macam-macam alasan, seperti, memang begitulah kerasnya meniti karier; kalau ingin cepat dipromosikan atau bisa terus menerima gaji ikuti saja semua kemauan atasan; perilaku buruk yang ditemukan di kantor ini juga sama halnya dengan di kantor-kantor lain, jadi terima saja atau tinggalkan sama sekali; atau tidak ada aturan dan sanksi tegas soal tindakan apa yang tidak bisa diterima di lingkungan kerja.

Alasan-alasan yang sering dipakai tersebut pada akhirnya mendatangkan konsekuensi besar bagi korban perlakuan buruk seseorang di tempat kerja, baik rekan sejabatan atau sedivisi maupun bos atau pemilik perusahaan.

Dalam kasus Carpenter, perempuan itu mengaku mengalami masalah kesehatan fisik kronis dan kecemasan berlarut-larut. Sementara dalam testimoninya yang tertuang di artikel YourTango, Rachel Reed bercerita bahwa dirinya bahkan mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) karena bekerja dengan orang berperilaku agresif.

Di samping kedua masalah kesehatan ini, korban lingkungan kerja toksik juga dapat mengalami depresi atau sering kelelahan luar biasa dan jatuh sakit. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melakukan penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol.

Lingkungan kerja toksik juga berkontribusi terhadap perasaan mudah tersinggung yang dialami para pekerja. Lebih jauh lagi, jika mereka terus terpapar lingkungan semacam ini, produktivitas para pekerja bisa menurun seiring hilangnya motivasi mereka.

Bagi banyak penyintas kekerasan, termasuk yang terjadi di tempat kerja, baik kekerasan fisik, seksual, maupun emosional, tidak mudah untuk menceritakan kasusnya karena ada kemungkinan mereka tidak dipercaya, apalagi jika pelaku adalah orang yang lebih berkuasa. Lebih lanjut, mereka bisa terancam kehilangan pekerjaan atau bahkan berurusan dengan hukum dan direviktimisasi bila melaporkan pengalamannya.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Tanda-Tanda Lingkungan Kerja Toksik

Mengetahui bahayanya dampak lingkungan kerja toksik, kita perlu mengenali berbagai tanda-tandanya sehingga di kemudian hari kita bisa mengambil langkah tepat untuk menyikapinya. Berikut ini beberapa tandanya yang perlu kita waspadai.

1. Komunikasi yang Buruk dalam Perusahaan

Lingkungan kerja toksik tidak memiliki komunikasi yang terbuka atau sangat minim antara para pekerjanya. Di lingkungan seperti ini, sering kali tidak ada komunikasi jelas tentang proyek yang sedang dikerjakan bersama sehingga muncul potensi kesalahpahaman menerima dan menyebarkan pesan.

Komunikasi buruk juga melibatkan kegagalan pekerja untuk saling mendengarkan dan ketiadaan penghargaan atas suatu pekerjaan. Karena kurangnya komunikasi, kemungkinan pekerja untuk berkembang melalui tanggapan positif atau kritik menjadi terhambat.

Dalam relasi atasan-bawahan, komunikasi buruk menimbulkan halangan dalam kerja kolaborasi di suatu perusahaan. Tidak jarang bawahan menjadi enggan bertanya atau berpendapat ketika ia merasa pola komunikasi atasannya buruk.

2. Budaya ‘Nge-geng’ dan Bergosip Ciri Lingkungan Kerja Toksik

Budaya nge-geng juga bisa ditemukan di tempat kerja, yang mengucilkan pihak tertentu. Ini menjadi hal buruk dalam konteks kerja kolaborasi, di mana setiap pihak mesti dilibatkan.

Seiring dengan budaya nge-geng, lazim pula ditemukan budaya bergosip. Dalam konteks profesional, terlalu banyak gosip adalah tanda lingkungan kerja toksik, apalagi berkaitan dengan teman kerja kita atau kondisi perusahaan kita sendiri.

Hal ini bisa memunculkan kesalahpahaman atau favoritisme karena seseorang termakan gosip. Kalau ujungnya orang yang digosipkan tahu apa yang dibicarakan suatu kelompok, bisa terjadi konflik personal yang berdampak besar terhadap kinerja bersama yang dituntut oleh kantor.

Dalam relasi perusahaan-karyawan, gosip tidak benar soal perusahaan yang beredar malah bisa menjadi bumerang yang mengancam keberlangsungan kerja si karyawan sendiri.

3. Karyawan yang Keluar-Masuk Banyak atau Turn Over Tinggi

Kalau terlalu banyak karyawan yang keluar masuk perusahaan, kita patut curiga kalau lingkungan kerjanya punya tanda-tanda toksik. Terlebih lagi, jika mereka ternyata merasa jauh lebih baik bekerja di lingkungan yang baru.

Selain tawaran gaji dan pekerjaan lebih baik dari kantor berikutnya, seorang biasanya keluar karena ada sesuatu yang tidak beres dalam kantornya; entah berhubungan dengan komunikasi buruk tadi, teman yang menusuk dari belakang, persaingan atau politik kantor yang tidak sehat, kebijakan kantor kurang mendukung, bos yang tidak apresiatif, atau target kerja yang disetel tidak realistis dan tidak sepadan dengan upah.

4. Praktik Tidak Adil

Kalau kita menemukan adanya diskriminasi, baik terkait gender, ras, maupun latar belakang tertentu, ketiadaan kesempatan berpendapat, kesenjangan gaji di posisi sama, atau tidak ada pemenuhan hak karyawan (cuti sakit, hamil, izin keluarga meninggal, jam kerja wajar, tunjangan kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja) bisa dibilang lingkungan kerja kita toksik. Dalam hukum negara kita saja hal ini sudah diatur, jadi sepatutnya perusahaan kita juga mengikuti aturan yang ada.

Di lingkungan profesional maupun di luar itu, semua tindakan tersebut tidak bisa ditoleransi dan idealnya, kantor punya aturan tegas soal ini. Kalau ternyata pihak kantor tidak memilikinya, dan diam saja waktu diskriminasi terjadi, kita tidak perlu berlama-lama bertahan di perusahaan tersebut.

Kalau kita memaksakan bekerja di bawah lingkungan serba tidak adil, kita hanya akan mengemban beban bertumpuk-tumpuk yang berpengaruh buruk terhadap performa dan produktivitas kita seperti disebut sebelumnya. Kita pun tidak akan bisa berkembang selama sistem yang diterapkan di kantor tidak inklusif dan adil bagi semua pihak.

5. Kekerasan Diwajarkan

Tanda yang satu ini sudah jadi peringatan keras agar kita cepat-cepat meninggalkan lingkungan kerja toksik. Kita tidak perlu menoleransi apa pun bentuk kekerasan di kantor baik yang fisik, verbal, seksual, atau emosional.

Sebagian teman kantor yang suka melecehkan atau melontarkan candaan seksis, atau bos yang sering main fisik, mengeluarkan kata-kata kasar, mempermalukan karyawan di depan umum, dan tidak menghargai proses kerja adalah sebagian contoh bagaimana kekerasan diwajarkan di kantor.

Saat hal ini terjadi dan sangat mempengaruhi kita, kita berhak melapor ke perusahaan. Jika perusahaan masih mengabaikan, kita juga berhak lho mengurus ini lebih lanjut secara hukum. Siapa pun sudah sewajarnya dilindungi negara dari kekerasan, bukan?

Read More