perbedaan generasi milenial dan generasi z di tempat kerja

Beda Generasi Milenial dan Generasi Z di Dunia Kerja

Generasi Z golongan pertama sudah masuk usia produktif alias usia kerja. Gelombang berikutnya pun makin dewasa dan siap menjajaki dunia kerja. Konteks waktu bikin tantangan dan situasi yang mereka hadapi sedikit-banyak berbeda.

Sebagai generasi yang ditandai dengan kelahiran internet, karakteristik ini juga tentu saja berbeda dengan generasi sebelum mereka, generasi milenial. Teknologi jadi salah satu faktor besar yang memengaruhi perbedaan tersebut. Contohnya, dalam cara berpikir dan menghadapi tugas atau pekerjaan tertentu.

Berikut beberapa info singkat mengenai dua generasi ini yang kami rangkumkan dari berbagai sumber untuk kamu. Simak, yuk!

Apa itu Generasi Milenial dan Generasi Z?

Dikutip dari businessinsider.com, secara garis besar generasi Y atau yang lebih populer dengan generasi milenial adalah orang yang lahir pada rentang tahun 1980 sampai 1995. Berarti pada tahun 2022, generasi milenial akan berada di rentang umur 27 sampai 42 tahun.

Lantas, mengapa mereka yang lahir di tahun tersebut masuk ke dalam generasi milenial? Jawabannya, generasi ini merupakan satu-satunya yang pernah melewati milenium kedua semenjak teori pertama kali dicetuskan sosiolog Karl Manheim di tahun 1923.

Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis

Sementara itu, untuk gen Z yang lahir pada tahun 1996 sampai 2015. Dengan begitu, rentang umur mereka dari 7 sampai 26 tahun pada tahun 2022. Mereka inilah generasi pertama yang sejak kelahirannya sudah dipengaruhi oleh kehadiran internet.

Faktor yang Membedakan Generasi Milenial dan Generasi Z

Selain dari rentang umur yang berbeda, berikut ini beberapa faktor yang memengaruhi perbedaan antara generasi milenial dan gen Z.

Perilaku ekonomi generasi milenial dan generasi Z

Dikutip dari aihr.com, generasi milenial dan gen Z mempunyai perbedaan pada tingkah laku dalam mengatur keuangan. Kedua generasi tersebut sama pedulinya terhadap keuangan dan berinvestasi, pada hal yang bisa menaikan karir mereka ke depannya, seperti mengejar pendidikan.

Baik milenial dan gen Z dikenal untuk mengoreksi kebiasaan finansial dari generasi sebelumnya. Namun, milenial lebih condong menggunakan uangnya untuk membeli produk atau layanan yang dapat memberikan pengalaman positif. Sementara, gen Z berfokus untuk menabung dan membeli produk praktis. Kalau kamu seorang marketing (markerter), kamu perlu memperhatikan karakter tersebut mengenai cara menggunakan uang.

Generasi milenial dan generasi Z mempunyai motivasi dalam berkarier yang berbeda

Memahami kemampuan kedua generasi dalam bekerja bisa memberikan sedikit gambaran akan keuangan dan apa motivasi sehari-harinya. Milenial dan gen Z berfokus pada pendidikan dan karir yang bertumbuh, tapi tetap memiliki sedikit perbedaan antara keduanya.

Dalam mencari pekerjaan, gen Z dewasa lebih termotivasi secara finansial kalau dibandingkan dengan kaum milenial. Banyak dari gen Z lebih melihat gaji daripada kelebihan lainnya dalam memilih perusahaan. Generasi tersebut juga akan berinvestasi dalam kursus keterampilan, kalau mengetahui akan memperoleh gaji yang lebih besar. Waktu mencari pekerjaan, generasi Z juga lebih agresif daripada milenial.

Durasi dalam mengkonsumsi konten di sosial media

Dalam hal melahap konten media sosial, kebiasaan milenial dan gen Z juga mempunyai perbedaan. Milenial akan memperhatikan konten dalam waktu 12 detik, sedangkan gen Z cuma berfokus pada konten dalam waktu 8 detik. Karena alasan itu, generasi Z lebih senang dengan konten video pendek, seperti Instagram Story. Sementara milenial lebih senang dengan konten yang berdurasi lebih panjang, seperti video detail atau mendengarkan podcast.

Cara pandang generasi milenial dan generasi Z terhadap teknologi

Perbedaan yang sangat terlihat jelas dari milenial dan generasi Z adalah keberadaan teknologi. Milenial tumbuh menggunakan DVD player, komputer dengan monitor cembung, ponsel yang belum berwarna, dan lainnya. Sedangkan, generasi Z sudah mengenal smartphone, WiFi, layanan aplikasi streaming, dan berbagai kemudahan teknologi lainnya. Pengaruh dari kemajuan teknologi, internet, dan sosial media memberikan dampak yang sangat besar dalam pertumbuhan generasi Z.

Pandangan terhadap teknologi yang berbeda juga akan sangat berdampak pada perilaku dari generasi milenial dan generasi Z.

Baca Juga: Dear Karyawan, Kamu Layak Dapat Insentif Jika…

Generasi milenial dan generasi Z memakai sosial media yang berbeda

Generasi milenial dan generasi Z memang sama-sama menyukai dan memakai media sosial. Namun, terdapat perbedaan dalam jenis media sosial yang digunakan. Generasi milenial, sebelumnya sempat memakai Friendster atau Tumblr. Di era sekarang, milenial lebih menikmati platform sosial media seperti Facebook, Instagram, LinkedIn, dan Twitter. Sementara generasi Z lebih senang memakai media sosial berbasis video, seperti Instagram, YouTube, dan TikTok.

TikTok yang terbilang masih baru merupakan salah satu sosial media dengan pertumbuhan paling cepat karena detonasi dari pengguna generasi Z. Generasi milenial dan generasi Z Tersebut juga mempunyai beberapa kemiripan dalam preferensi sosial media yang digunakan, seperti Instagram dan YouTube.

Generasi Z lebih hemat daripada generasi milenial

Generasi milenial lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli suatu produk. Gen Z menghabiskan lebih sedikit uang waktu melakukan pembelian dan fokus pada pengeluaran yang lebih bertanggung jawab. Sebagian besar generasi Z belum mempunyai kekuatan untuk membeli, namun beberapa penelitian menyatakan kalau generasi tersebut bertujuan untuk mengeluarkan uang secara efisien kalau dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Generasi Z juga lebih sedikit melakukan belanja online kalau dibandingkan dengan kaum milenial, tetapi mereka lebih mengharapkan pelayanan ekstra waktu melakukan pembelian. Seperti, biaya gratis pengiriman atau adanya diskon tambahan. 

Walaupun milenial sedikit kurang hemat darpada generasi Z, bukan berarti mereka lebih gegabah, loh. Walaupun milenial memakai uang untuk membeli beberapa produk, mereka juga mempunyai penghasilan yang lebih banyak dari generasi sebelumnya. Selain itu, juga mereka termasuk ke dalam kelompok usia yang paling berpendidikan dan optimis dengan masa depan.

Perbedaan Generasi Milenial dan Generasi Z di Dunia Kerja

Secara umum, kedua generasi ini sangat dibutuhkan di dunia kerja karena kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan kondisi baru lumayan baik, serta kemampuan yang lebih tinggi dalam berinovasi dan memanfaatkan teknologi.

Untuk detailnya, berikut ini beberapa perbedaan antara gen Z dan milenial dalam dunia kerja yang dirangkum dari indeed.com:

Generasi Z Lebih Kompetitif Dibanding Generasi Milenial

Dalam kelompok, milenial bisa dikatakan lebih kolaboratif dan mengarah pada kerja tim. Mereka ingin bekerja dalam lingkungan yang mengedepankan inklusi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Di sisi lain, Gen Z dapat dikatakan didefinisikan oleh daya saingnya. Mereka lebih senang bekerja sendiri dan dinilai berdasarkan kemampuan diri mereka sendiri dan bukan dari tim mereka.

Gen Z Merupakan Multi-taskers yang Baik

Meski dianggap sebagai generasi yang susah untuk fokus, generasi Z mempunyai keunggulan yaitu multi-tasking yang lebih baik. Dengan kemajuan teknologi yang mereka nikmati dari ia kecil, generasi Z dapat bekerja dengan cepat dan efisien.

Mereka sudah terbiasa dengan teknologi. Mereka juga sudah terbiasa menyelesaikan tugas dan bermain dalam waktu bersamaan sehingga lebih cekatan mencari cara tercepat untuk menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini akan bisa menguntungkan perusahaan nantinya.

Pola Pikir

Saat mengambil sebuah keputusan, generasi milenial condong lebih menggunakan pola pikir yang optimis dibandingkan gen Z yang lebih senang menghindari resiko. Ini karena generasi ini melihat bagaimana tidak stabilnya generasi milenial, oleh karenanya, gen Z cenderung sangat berhati-hati dibandingkan milenial.

Baca Juga: Untung Rugi Kerja di Perusahaan ‘Startup’

Generasi milenial dianggap mempunyai pola pikir yang lebih imajinatif dan berjiwa entrepreneur. Sedangkan gen Z cenderung memilih jalan yang aman lewat jalur yang sudah terbentuk dengan baik, Sehingga jenjang kesuksesannya sudah lebih terjamin.

Privasi

Milenial berkembang dengan akses yang luas ke internet tanpa pengetahuan penuh akan isu privasi di dalam dunia online. Sedangkan gen Z sudah lebih memiliki pemahaman akan dunia online, termasuk dengan masalah privasi. Hasilnya, milenial bisa lebih terbuka dalam menyatukan kehidupan kerja dan pribadi. Sedangkan gen Z lebih senang membedakan antara kehidupan kerja dan pribadi mereka.

Keadaan Finansial

Milenial dan gen Z sama-sama termotivasi secara finansial. Gen Z melihat keberhasilan secara finansial sebagai cara untuk berkembang. Sedangkan milenial melihatnya sebagai usaha untuk menjejaki ketertinggalan mereka.

Milenial lebih didukung untuk berhutang supaya bisa mendapatkan pendidikan yang baik, lalu masuk ke dunia kerja yang belum tentu menjamin. Sedangkan gen Z lebih berani untuk menunda pendidikan dan memilih untuk mencari pengalaman kerja terlebih dahulu. Dan baru mengejar pendidikan waktu keadaan finansial mereka sudah menjadi lebih baik.

Profesionalitas

Kalau membicarakan profesionalitas, milenial berkembang dengan pandangan yang masih terbatas. Contohnya, orang yang memiliki tato, punya piercing banyak dan memakai baju kasual tidak terlihat profesional dan susah mendapatkan pekerjaan. Makanya, milenial lebih condong untuk berpenampilan formal di tempat kerja.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Sedangkan gen Z sudah jauh lebih terbuka. Mereka lebih melihat ke karakter, kemampuan dan performa seseorang dalam bekerja, dibandingkan cuma melihat penampilan luar saja yang dipakai untuk menilai profesionalitas. Makanya, gen Z bisa saja tampil dengan lebih kasual di tempat kerja kalau dibandingkan dengan milenial.

Pendidikan

Perbedaan generasi milenial dan generasi Z juga dapat terlihat dari cara mereka memandang pendidikan. Kebanyakan milenial tumbuh dengan menganggap kuliah adalah sebuah keharusan, terutama untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Sedangkan gen Z lebih mencari alternatif lain untuk menaikan kemampuan atau skill mereka di luar pendidikan formal.

Jadi para milenial lebih berfokus pada apa yang mereka peroleh di bangku sekolah, universitas dan tempat kursus pendidikan akademis. Sedangkan gen Z lebih terdorong untuk belajar dari platform apa saja. Seperti video tutorial, webinar, hingga pengalaman kerja. Dengan bekal ini, mereka berharap bisa meraih tujuan pribadi dengan cara mereka sendiri.

Read More
perbedaan kreatif dan inovatif

Kreatif dan Inovatif, Apa Bedanya?

Mencari tahu lebih dalam mengenai perbedaan kreatif dan inovatif mungkin bisa dianggap hal yang cukup sepele. Meski begitu, banyak orang biasanya akan kesulitan ketika diminta menjelaskan bedanya kreatif dan inovatif.

Kedua kata tersebut mempunyai nilai-nilai yang sering disebut di tempat kerja modern, terutama lingkungan kerja yang bersifat cepat. Jadi, apa sih beda kreatif dan inovatif? Simak penjabaran di bawah ini:

Apa Itu Kreatif?

Dikutip dari keydifferences.com, kreatif adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya mengeluarkan potensi pikiran untuk memperoleh ide, gagasan, cara alternatif, atau kemungkinan-kemungkinan yang unik dan berbeda.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Kreativitas adalah kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang tidak terduga, orisinal, dan tidak biasa. Jadi, fokus dari upaya kreatif adalah untuk memperoleh ide atau persepsi.

Pengertian Inovatif

Dikutip dari ideatovalue.com, inovasi adalah perluasan gagasan atau ide yang pernah ada untuk kemudian direalisasikan jadi sebuah tindakan. Inovatif sangat berhubungan dengan kreatif, karena memanfaatkan ide yang diperoleh dari pemikiran kreatif.

Contohnya, ada sebuah perusahaan yang mengenali suatu problem di masyarakat yang belum terselesaikan dengan baik. Ia melihat permasalahan tersebut dan berusaha mendapatkan solusinya.

Ketika solusi tersebut sudah diterapkan dan difungsikan untuk membereskan permasalahan yang ada, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah upaya inovasi.

Kita dapat menggarisbawahi bahwa fokus dari inovasi adalah menghadirkan sesuatu yang baru. Bentuknya bisa berupa ide baru, metode baru, ataupun cara memecahkan masalah yang baru.

Karakteristik Orang yang Inovatif

Dikutip dari smashingmagazine.com, berikut ini ciri-ciri orang yang memiliki sifat inovatif:

  1. Fleksibel atau Mudah Beradaptasi

Ciri pertama adalah fleksibel dan mudah beradaptasi. Orang yang inovatif dapat menerima perubahan, bisa menyesuaikan diri terhadap rencana-rencana yang sudah dibuat, dan menampilkan beragam solusi serta ide.

Baca Juga: 9 Pekerjaan Bergaji Tinggi yang Cocok untuk Orang Introvert

  1. Komitmen untuk Belajar

Seorang yang inovatif akan selalu belajar mencari pengetahuan baru, menyeimbangkan setiap informasi yang ia dapatkan, dan memadankan pengetahuan dan informasi tersebut dengan setiap tindakan yang dilakukan.

  1. Mampu Memotivasi Diri Sendiri

Ciri yang ketiga adalah self-motivated atau bisa meningkatkan motivasi kerja dirinya sendiri. Orang yang kaya akan inovasi akan lebih tanggap atas kebutuhan diri, aktif mencari ide-ide baru, dan memperhitungkan setiap usaha yang dilakukan.

  1. Visionaris

Orang yang kaya akan inovasi cenderung mempunyai pemikiran yang jauh ke depan dan imajinasi yang tinggi. Biasanya, orang-orang yang visionaris ini membuat rencana jangka panjang, yang akan bermanfaat di masa depan.

  1. Berani Ambil Risiko

Ciri yang kelima adalah berani ambil risiko, karena mereka sudah paham dengan konsep manajemen risiko. Orang yang kaya akan inovasi cenderung berani keluar dari zona nyaman dan tidak ragu untuk ambil rsiko. Selain itu, mereka berani mencoba dan tidak takut dengan yang namanya kegagalan.

  1. Presisten

Ciri yang selanjutnya adalah tekun dan ulet. Mereka yang inovatif mempunyai ketekunan yang tinggi dalam mempelajari hal baru. Selain itu, mereka mempunyai kemauan yang tinggi untuk terus mencoba atau tidak gampang menyerah.

Perbedaan Kreatif dan Inovatif

Menurut keydifferences.com, perbedaan kreatif dan inovatif terlihat pada fokusnya.

Fokus utama dari proses kreatif adalah menciptakan ide-ide. Sementara, inovasi lebih menciptakan sesuatu yang baru.

Dengan fokus utamanya yakni mendapatkan ide tanpa embel-embel tertentu, hal tersebut membuat upaya kreatif lebih susah untuk diukur.

Sedikit berbeda dengan upaya-upaya inovatif yang lebih berfokus pada membuat sesuatu yang baru. Keberadaan predikat ‘baru’ itu membuatnya lebih gampang untuk diukur.

Kenapa Kreatif dan Inovatif Penting dalam Bisnis?

Persis seperti penjelasan ideascale.com, kreatif dan inovatif merupakan hal yang terbilang penting pada bisnis serta karier. Melalui dua hal tersebut, sebuah bisnis akan bisa berkembang dengan baik di pasar.

Baca Juga: 7 Pertimbangan Sebelum Memutuskan resign untuk Mulai Bisnis

Beberapa contoh efek dari implementasi kreativitas dan inovasi yang terlaksana dengan baik antara lain adalah sebagai berikut:

  • Membuat bisnis mempunyai karakter tersendiri di pasaran.
  • Terlihat berbeda dengan kompetitor yang ada.
  • Membentuk brand image yang membuat bisnis mempunyai nilai tersendiri di mata konsumen.

Itu tadi akhir dari artikel mengenai perbedaan kreatif dan inovatif. Semoga kamu jadi semakin paham dengan beda dari dua hal yang dimaksud, ya.

Read More
tanda gagal interview kerja

Lamaran Kerja Ditolak, Siapa Bertindak: 9 Tanda Wawancaramu Gagal

tanda gagal interview kerja – Salah satu tahapan rekrutmen yang punya peran atas berhasil atau tidaknya kamu ketika melamar kerja adalah wawancara. Memang, nantinya HRD akan memberi tahu hasil proses ini, tapi sebenarnya ada tanda-tanda yang bisa kamu baca sedari awal.

Simak rangkuman Magdalene yang sudah dikutip dari berbagai sumber berikut.

Perekrut Menyampaikan Kekhawatiran Soal Pengalamanmu

Menurut Indeed.com, tanda kamu gagal waktu interview kerja akan tampak jelas waktu perekrut memberitahumu, mereka cemas dengan pengalaman kerjamu.

Baca Juga: Tips Anti-Gagal Saat Wawancara Kerja: Perhatikan Bahasa Tubuhmu

Rasa khawatir ini juga mungkin berhubungan dengan jawaban yang kamu berikan waktu sesi wawancara.

Namun, jangan cemas. Kalau interviewer menyampaikan hal ini, artinya mereka memberikan kesempatan buat kamu untuk memberi informasi tambahan. Jadi, gunakanlah kesempatan ini dengan baik. Kalau tidak, kecil kemungkinan kamu dapat lolos ke tahap selanjutnya.

Interviewer Tak Memperlihatkan Ketertarikan

Tanda gagal interview kerja yang paling gampang kamu ketahui adalah interviewer tidak memperlihatkan ketertarikannya kepadamu.

Menurut Topcv.com, perekrut akan memperlihatkan minatnya terhadap apa yang kamu sampaikan lewat bahasa tubuh.

Jadi, kalau interviewer-mu kelihatan kurang bersemangat atau minim bertanya, bisa jadi wawancaramu tidak berjalan baik.

Perekrut Melontarkan Pertanyaan yang tidak Relevan Adalah Tanda Interview Kerja Kurang Mengesankan

Apakah kamu pernah mendapat pertanyaan yang tidak relevan dengan posisi yang kamu lamar? Hati-hati, ini bisa menjadi tanda lain kamu gagal interview kerja.

Menurut Best-job-interview.com, saat wawancara, interviewer akan memberikan beberapa pertanyaan untuk memastikan, apakah kamu mempunyai pengalaman dan kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Baca Juga: Apa itu Surat Peringatan Kerja? dan Cara Tepat dalam Menanggapinya

Jika selama sesi wawancara, interviewer memberikan pertanyaan yang tidak relevan, kemungkinan besar mereka tidak tertarik untuk meloloskan kamu.

Perekrut Tak Menanyakan Skills serta Pengalaman Kerja Kamu

Salah satu pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada calon pekerja adalah pertanyaan seputar skills dan pengalaman kerja dengan detail. Namun, jika interviewer tak menanyakan hal itu, bisa jadi ini adalah tanda kegagalan yang harus kamu telan.

Umumnya, hal ini terjadi waktu kamu tidak memberikan jawaban yang tepat pada pertanyaan-pertanyaan awal. Karena itu, guna menghindari ini, kamu bisa melatih diri dan mempersiapkan jawaban sebaik mungkin.

Kamu Tak Diberi Banyak Informasi Soal Posisi yang Kamu Lamar

Selanjutnya, kamu dapat melihat tanda kamu gagal waktu interview kerja saat perekrut tidak memberikan informasi yang detail mengenai posisi yang kamu lamar.

Padahal, penjelasan mengenai posisi yang dilamar merupakan hal sangat penting dalam proses wawancara kerja. Penjelasan ini akan membantumu untuk memutuskan apakah posisi ini cocok dengan tujuan kariermu atau tidak.

Dengan begitu, kalau kamu tidak memperoleh informasi ini dari perekrut waktu interview, kemungkinan besar kamu tidak diperhitungkan untuk diloloskan ke tahap selanjutnya.

Baca Juga: Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

Tidak Membicarakan Gaji Juga Salah Satu Tanda Gagal Interview Kerja

Kalau kamu merupakan orang yang tepat untuk perusahaan tersebut, umumnya mereka akan membahas ekspektasi gaji. Namun kalau pembahasan mengenai gaji ini tidak dibahas sama sekali, maka bisa jadi mereka tidak akan memanggil kita lagi untuk masuk ke tahap selanjutnya.

Berfokus pada Kelemahanmu Bisa Jadi Tanda Interview Kamu Gagal

Dalam sesi interview, pertanyaan yang selalu muncul tak jauh-jauh dari kelebihan dan kekuranganmu. Namun jika perekrut hanya membicarakan kelemahan kamu, maka hal ini bukanlah sinyal baik. Sebab, mereka melihat kelemahan yang dapat menghambat kemajuan kamu di posisi yang perusahaan sedang cari.

Perekrut Tidak Membicarakan Langkah Rekrutmen Selanjutnya

Tanda lainnya yang dapat kamu kenali kalau gagal dalam sesi interview kerja adalah interviewer tidak mendiskusikan langkah rekrutmen selanjutnya denganmu.

Umumnya waktu wawancara, interviewer akan memberikan pertanyaan-pertanyaan berikut.

  • Apakah sekarang kamu sedang dalam proses rekrutmen di tempat lain?
  • Kapan kamu sudah bisa mulai masuk kerja?
  • Setelah interview ini kamu akan mengikuti beberapa tes, apakah kamu bersedia?

Biasanya, pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan dilontarkan saat wawancara pertama. Bahkan, jika mereka tertarik denganmu, mereka juga memberikan pertanyaan yang lebih detail, seperti pengalaman serta keterampilan.

Jika interviewer-mu tidak menanyakan pertanyaan di atas, kamu dapat menanyakannya. Ini akan memperlihatkan kalau kamu benar berminat untuk bekerja di perusahaan tersebut.

Wawancara Berlangsung Singkat

Terakhir, kamu dapat melihat tanda gagal interview kerja saat itu berlangsung singkat.

Baca Juga: Apa itu ‘Cultural Fit’ dan Manfaatnya untuk Para Pekerja?

Meskipun wawancara memang tidak memiliki batas waktu, ini dapat terjadi kalau mereka melihat kualifikasi kamu tidak cocok dengan kebutuhan posisi yang kamu lamar.

Kamu mungkin dapat menyadari kalau wawancara terasa singkat dari biasanya atau tidak cukup lama untuk membicarakan hal-hal penting misalnya skills dan pengalamanmu secara detail.

Jika interview cuma sebentar dari yang dijadwalkan, kemungkinan besar mereka tidak berkeinginan untuk melanjutkan kamu ke tahap selanjutnya.

Itulah beberapa tanda kamu gagal dalam interview kerja. Meskipun tidak dapat mengelak sepenuhnya, kamu tetap dapat mempersiapkan diri dengan maksimal supaya wawancaramu punya peluang sukses yang lebih besar.

Read More
tips produktif selama wfh

Hybrid Working Post-COVID: How We Can Optimise Our Time in the Office?

During the pandemic, around 100 million people in Europe switched to working from home – nearly half of them for the first time. This shift was rapid, with employees quickly noticing the benefits of remote work. These can include freedom from commuting, more time for personal wellbeing and increased productivity.

As we move on from pandemic restrictions, we’ve seen a strong, global demand for more flexible forms of working, particularly to retain an element of remote work. While some employees want to work from home permanently, most want what’s coming to be regarded as the best of both worlds: Hybrid working. Only a minority of workers now want to return to the office full time.

One group which may be particularly keen on hybrid working is young professionals. And for this group, time spent in the office could be especially valuable.

Also Read: In a Lockdown, Where Does Work End and Parenting Begin?

Young People and Remote Work

Surveys undertaken during the pandemic indicated that generation Z (those born after 1996) were more likely to say that they were struggling with work-life balance and post-work exhaustion than older generations.

There are several possible reasons for this. Younger people may find it more difficult to establish a good homeworking set up, depending on their living arrangements. Those early in their careers may have smaller professional networks, leading to greater isolation. Or they may simply have less experience managing the boundaries between work and life outside of work, which can be made more difficult when there’s no physical office to leave at the end of the day.

Despite this, emerging evidence suggests that younger workers want remote and flexible work rather than a return to the office full time. Surveys vary, but generally indicate that around two-thirds of members of generation Z working in office jobs want a hybrid working pattern in the future – and they’re prepared to move employers to find it.

According to a recent survey by management consulting company McKinsey, employees aged 18–34 were 59 percent more likely to say they would quit their current role to move to a job with flexible working compared with older employees aged 55–64.

It’s Worth Going into the Office Sometimes

Remote and hybrid working can bring many benefits. For employees, remote work provides the opportunity to reallocate costly and sometimes stressful commuting time into activities that support work-life balance and health. Indeed, more than three-quarters of hybrid and remote workers report improved work-life balance compared with when they worked in an office full time.

Meanwhile, hybrid work provides autonomy and choice for employees. They can combine time at home for focused and independent work with time in the office for collaboration and connection. A hybrid working model can be good for productivity, inclusion, and motivation.

However, the belief that work is best done in an office environment is pervasive – and young people in particular are thought to need to go into the office to build professional networks and to learn.

There could be some truth to the idea that young people early in their careers uniquely benefit from going into the office. Research conducted prior to the pandemic has associated being out of sight while working remotely with also being out of mind. Notably, people who work exclusively at home are less likely to receive promotions and bonuses.

Conversely, being with colleagues in person has been associated with greater career advancement. In part, this is probably because being physically present in the office appears to signal commitment to the organisation.

Can hybrid work address the risks of fully remote work and preserve the rewards associated with face-to-face interactions in the office? Only time will tell.

Also Read: Working Does Not Make You a Lesser Mom

Finding the Right Balance

Before 2020, remote work was still relatively rare. Hybrid working at scale is a new concept.

But throughout the pandemic, perceptions about working from home have improved globally. The latest UK data suggests nearly one-quarter of working adults are now hybrid. So in the future, we’ll need to understand more about the impact of remote work both on organisations and the people who undertake it.

The challenge for younger employees is to identify an effective working pattern that suits both them and their organisation – and supports their career goals. As tempting as it may be to ditch the commute as often as possible, younger employees may instead wish to consider a more strategic approach.

When in the office, they should focus on personal visibility, and building and maintaining relationships with colleagues and managers. Networking and learning must be the focus of working in-person, and wherever possible, online meetings or independent work should be saved for remote working time.

Combine this with good wellbeing practices when working from home, especially around switching off from work, and hybrid might just deliver on its promises of better work for everyone – young and not so young alike.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Gemma Dale is Lecturer, Faculty of Business and Law, Liverpool John Moores University.

Read More
teman kerja resign

Merasa Kehilangan Saat Teman Kerja Resign, Apa yang Bisa Dilakukan?

“Han, gue ada kabar buruk yang mau disampaikan. Gue sudah ngirim surat resign. Bulan depan gue terakhir di sini.” 

Di saat kami sedang beristirahat setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota, kata-kata itu tiba-tiba diucapkan oleh teman kerja sekaligus teman serumah saya. Rasa lelah yang saya rasakan langsung terganti perasaan kaget karena mendengar hal itu. Sebetulnya, saya sudah tahu bahwa dia ada rencana untuk resign dan ingin fokus pada penyembuhan diri karena selama ini ia sedang berjibaku dengan depresi, tapi tetap saja, I did not see it coming this fast

Meski sudah dari lama mengantisipasi saat teman saya ini benar-benar resign, perasaan kehilangan itu cukup membuat saya terpukul. Di kantor mungkin kami hanya sebatas rekan kerja, tapi di luar itu kami dan teman-teman yang lain sering menghabiskan waktu bersama. Rasanya aneh ketika nanti berkumpul tak ada kehadirannya. 

Sebetulnya, rasa kehilangan seperti ini bukan pertama kali saya rasakan. Setahun lalu, managing editor saya juga memutuskan untuk tak lagi terlibat di redaksi. Beberapa bulan setelahnya, disusul editor lain yang juga ikut hengkang. Tak mudah bagi saya untuk overcome kepergian mereka, mengingat keduanya adalah teman diskusi dan editor pertama saya semenjak memutuskan terjun ke dunia jurnalistik.

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Walaupun saya tahu, keputusan itu merupakan jalan terbaik yang sudah mereka pilih, pada akhirnya saya hanya bisa memberi dukungan. Akan tetapi, selayaknya menghadapi proses patah hati dengan pasangan, rasa kehilangan juga sangat mungkin dirasakan saat teman kerja kita resign. Di minggu pertama kepergian mereka misalnya, saya merasa hampa, gelisah, dan tidak nyaman. Hal serupa juga dirasakan teman kerja lain. Dia bahkan menyuruh saya bertanya pada editor sebelumnya, apakah tidak mau balik lagi saja ke redaksi. Saya bisa paham, karena memang proses beradaptasi dengan orang baru itu sangat melelahkan, apalagi jika kita sudah nyaman dengan orang lama. 

Psikolog organisasi asal New York, Amerika Serikat, Dr. Orbe-Austin, mengatakan bahwa perasaan kehilangan itu merupakan hal wajar karena kita sudah melewati banyak keseharian dengan rekan kerja. 

“Kita membagikan momen-momen sedih, kecewa, dan menggembirakan dengan rekan kerja. Ada semacam koneksi, support dan hubungan sosial yang terjalin,” ujarnya kepada The New York Times.

Meski merupakan perasaan yang wajar, kebanyakan orang masih sering kali enggan mengekspresikannya karena menganggap hal itu hanya bagian dinamika pekerjaan. Padahal, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rasa kehilangan bisa memengaruhi kinerja kita dan produktivitas. Tak jarang, kehilangan rekan kerja juga bisa membuat pekerja lain punya keinginan untuk resign

Dr. Brandon Koh dalam tulisannya Colleagues Who Resign Create an Emotional Hole in the Teams They Leave Behind juga mengatakan bahwa selain bisa berpengaruh secara psikologi, kehilangan rekan kerja bisa mempengaruhi cara kerja tim. Apalagi, jika penggantinya ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Lingkungan kerja dan teman kerja sekarang ini jadi salah satu aspek penting yang jadi pertimbangan pekerja bisa bertahan di suatu perusahaan. 

“Mereka yang ditinggalkan akan mulai berpikir bahwa tempat kerja yang dulu nyaman kini tak lagi sama,” tulis psikologi industri-organisasi dan dosen Singapore University of Social Sciences itu, seperti dikutip dari Channel News Asia.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menghadapi Rasa Kehilangan Teman Kerja yang Resign?

Hal pertama, yang penting dilakukan adalah meregulasi emosi yang dirasakan. Daripada menginvalidasi perasaan sedih dan kehilangan karena cuma tidak mau dianggap “lebay”.

Pahami bahwa apa pun yang dirasakan itu valid. Dalam tulisannya, Koh juga menyarankan untuk membicarakan apa yang kita rasakan ke sesama rekan kerja lain. Namun tentunya, kita juga harus memikirkan apakah orang yang nanti diajak bicara juga punya kesiapan mental yang sama dalam merespons hal ini. 

Selain membicarakan secara terbuka apa yang kamu rasakan, berikut ini beberapa hal lain yang juga kamu bisa lakukan: 

1. Menjaga relasi dengan rekan kerja meski sudah tidak satu kantor

Ketika mengungkapkan kesedihan setelah teman kerja saya mengabarkan resign, dia menegaskan bahwa kepergiannya dari perusahaan tak lantas membuat hubungan pertemanan kami kandas. Ia masih mau ikut berkumpul saat saya dan teman-teman lain makan bersama selepas kerja, atau sekadar nongkrong untuk melepas penat. 

Meski mungkin, ini tidak semudah yang dibayangkan karena pasti nantinya kita akan punya kesibukan masing-masing. Namun, penting untuk memahami bahwa di luar pekerjaan, kita tetap teman. Kita bisa mulai dengan menjaga relasi baik walau di keseharian sudah tak ada hubungan kerja.

2. Mungkin rekan kerjamu hanya butuh dukungan

Kamu mungkin merasa sedih kehilangan rekan kerja karena tidak akan menemuinya lagi di kantor, tapi jangan lupa bahwa hal yang ia butuhkan adalah dukungan. Apalagi, jika alasan rekan kerjamu hengkang karena masalah kesehatan mental. 

Keputusannya pergi bisa jadi sudah dipikirkan matang dengan segala konsekuensinya. Pada akhirnya, kita hanya bisa mendukung mereka. 

Baca juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor

3. Merefleksikan kembali posisi dan pekerjaan

Kepergian rekan kerja sering kali membuat kita berpikir tentang posisi dan pekerjaan yang sedang kita jalani. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan hal itu. Kepergian dan kedatangan memang membuat kita berpikir bahwa kita tidak akan selamanya bekerja di tempat kerja sekarang. 

Memetakan karier, posisi, dan value dalam diri penting agar kamu tahu apa yang akan dilakukan ke depannya. 

4. Bicarakan dengan atasan

Proses resign seseorang biasanya diikuti dengan obrolan dan evaluasi dengan atasan. Orang yang akan pergi memberikan masukan agar perusahaan punya kebijakan yang lebih baik untuk pekerjanya.

Namun, selain orang yang resign, sebetulnya penting juga untuk kita terbuka pada atasan tentang apa yang dirasa setelah rekan kerja pergi. Tujuannya, untuk evaluasi tempat kerja yang sekarang, karena bukan tidak mungkin, kepergian mereka dipengaruhi faktor lingkungan kerja yang tidak suportif atau mungkin karena politik kantor. 

5. Proses adaptasi yang harus pelan-pelan dijalani

Sama halnya dengan proses orang untuk move on, kita pasti harus melalui pendekatan dengan orang baru. The truth is, fase ini tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi jika kasusnya ternyata orang baru ini sangat berbeda dengan rekan kerja sebelumnya. Kita mungkin akan membandingkan bagaimana kenyamanan antara rekan kerja sekarang dengan sebelumnya. Hal itu berpotensi membuat kita semakin mengingat rekan kerja yang dulu. 

Daripada begitu, lebih baik kita melakukan penyesuaian pelan-pelan. Jangan bebankan ekspektasi yang sama terhadap orang baru, karena cara orang mengatasi pekerjaan itu berbeda-beda.

Read More
Startup bubble di Indonesia

Apa Itu Startup Bubble dan Mengapa Startup Melakukan PHK Besar-besaran?

Fenomena startup bubble belum lama ini sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, sejumlah startup  terkenal di Indonesia melakukan PHK massal karyawannya. Gelombang PHK massal yang melanda startup di Indonesia, dikutip bisnis.tempo.co, ternyata salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Kabar pengurangan karyawan startup tersebut mulanya datang dari platform edutech Zenius, disusul platform fintech pembayaran LinkAja, dan terbaru adalah platform e-commerce JD.ID.

Beberapa startup yang baru saja memperoleh kucuran dana besar pun tidak selamat dari fenomena ini. Contohnya, Gojek yang mendapatkan suntikan dana sebesar Rp20 triliun pada Maret 2020, harus melakukan PHK sebanyak 430 orang, tiga bulan kemudian.

Lantas apa itu startup bubble?

Pengertian Startup Bubble

Istilah startup bubble berasal dari istilah ekonomi bubble burst. Dikutip dari investopedia.com, bubble burst adalah siklus dalam ekonomi di mana harga, baik itu produk atau aset, naik dengan sangat cepat dalam waktu singkat yang kemudian kembali turun dengan cepat pula.

Penurunan harga ini, yang biasa disebut kontraksi, merupakan sebuah keadaan ketika “burst” atau “crash” terjadi. Ledakan gelembung ini lalu disebut “bubble burst”.

Baca Juga: 7 Amunisi Sebelum Kamu Dievaluasi Rutin oleh Atasan

Umumnya, kenaikan harga yang sangat ekstrem tersebut disebabkan oleh perubahan perilaku dari para investor. Namun, dalam situasi ini performa perusahaan atau startup pun dapat menjadi pemicu utama terjadinya bubble burst.

Biarpun begitu, menurut katadata.co.id, kejadian bubble burst baru benar-benar terjadi di Indonesia di bulan Mei lalu, ketika beberapa perusahaan startup melakukan pengurangan karyawan besar-besaran.

Lalu, menghadapi kondisi startup burst, apa yang harus dilakukan sebagai pekerja di perusahaan rintisan atau startup? Berikut ulasan lengkapnya, yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

Penyebab Terjadinya Startup Bubble di Indonesia

Menurut techcrunch.com, terdapat 4 alasan utama yang menjadi penyebab utama dari fenomena startup bubble burst di Indonesia ini, di antaranya sebagai berikut:

Pangsa Pasar yang Turun

Pangsa pasar atau market share dalam sebuah perusahaan yang menurun menjadi salah satu penyebab terjadinya bubble burst. Mengingat waktu sebuah jasa atau produk ditawarkan oleh sebuah perusahaan kalah pada persaingan di pasaran, maka performanya tidak bisa memuaskan investor dan stakeholder.

Waktu perusahaan startup tidak dapat menjual jasa atau produknya, maka perusahaan startup tersebut bisa tidak mendapat keuntungan, yang berujung pada market share-nya anjlok secara signifikan.

Investor Lebih Berhati-hati dalam Pendanaan

Penyebab lain dari terjadinya startup bubble burst di Indonesia adalah para investor yang lebih berhati-hati waktu memberi pendanaan.

Hal ini dikarenakan semakin menjamurnya startup baru di Indonesia. Sehingga, hal tersebut yang menyebabkan terjadinya kompetisi antar startup untuk meyakinkan investor semakin ketat.

Ketika investor menjadi lebih ketat dalam pendanaan, alhasil startup jadi agak kesusahan untuk mencari pendanaan. Apalagi ketika performa startup tersebut tidak terlalu baik, tidak menarik perhatian investor, atau dianggap terlalu berisiko untuk menaruh uang di sana.

Pasar yang Jenuh

Dikutip dari investopedia.com, saturated market atau pasar yang jenuh juga jadi salah satu penyebab. Pasar yang jenuh adalah keadaan di mana permintaan (demand) terhadap sebuah produk atau jasa sudah mencapai puncaknya.

Baca Juga: Sering Disalahpahami, Apa Bedanya ‘Paid’ dan ‘Unpaid Leave’?

Nah, keadaan pasar yang jenuh ini juga dialami oleh beberapa perusahaan startup di Indonesia. Hal ini mengakibatkan mereka kesulitan menjual produk atau jasanya. Tak cuma itu saja, pasar juga sensitif terhadap potongan harga dan promo yang membuat startup dapat kehilangan konsumen apabila tidak menawarkan kedua hal tersebut.

Kondisi Pandemi yang Membaik

Di awal masa pandemi, banyak startup yang muncul dan menawarkan produk atau jasanya sebagai solusi buat orang-orang untuk membantu aktivitas mereka.

Akan tetapi, seiring membaiknya kondisi pandemi, startup yang muncul dan dimaksudkan untuk membantu masyarakat saat pandemi, perlahan kesusahan dalam menjual produk atau jasanya.

Akibat dari Startup Bubble

Tentunya, kejadian startup bubble di Indonesia bisa menjadi kabar buruk buat para perusahaan dan juga pekerja.

Dikutip dari techcrunch.com, berikut adalah beberapa dampak dari kejadian ini terhadap para pekerja.

  1. Terjadi PHK yang Cukup Besar

Seperti yang telah diketahui kalau belum lama ini terjadi kasus PHK dalam jumlah besar dari perusahaan startup di Indonesia dan luar negeri.

Ketika suatu perusahaan susah mendapatkan revenue dari produk atau jasanya, tentu mereka akan kesusahan dalam menggaji pekerjanya.

Sehingga, melakukan PHK menjadi salah satu jalan keluar yang umumnya diambil oleh perusahaan supaya mereka tidak mengalami kebangkrutan.

  1. Perusahaan Menunda dalam Mencari Karyawan Baru

Efek lain dari fenomena ini adalah perusahaan yang menunda mencari pekerja baru. Hal ini biasa terjadi terlebih waktu startup baru memperoleh pendanaan besar untuk kegiatan bisnisnya dari investor.

Untuk merespons hal tersebut, startup condong melakukan perekrutan secara besar-besaran supaya dapat memenuhi ekspektasi stakeholder.

Namun, saat bubble burst terjadi, hal ini memaksa perusahaan tidak melakukan perekrutan karyawan baru supaya tetap menjaga pengeluaran biayanya.

Baca Juga: Pentingnya Social Intelligence di Dunia Kerja dan Cara Meningkatkannya

  1. Perusahaan Mengetahui Kalau Mereka Overhire

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, startup cenderung melakukan perekrutan karyawan dalam jumlah besar waktu memperoleh pendanaan.

Akan tetapi, seiring semakin susahnya startup untuk mendapatkan pendanaan baru dari investor, hal ini membuat startup sadar kalau mereka telah melakukan overhire dalam proses rekrutmennya.

Akhirnya, layoff alias pengurangan karyawan mau tidak mau dilakukan startup untuk merampingkan ukuran karyawan dan mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan. Sayangnya, kebijakan seperti ini biasanya tidak diikuti kesiapan startup menggenapi hak-hak pekerjanya.

  1. Pemotongan Gaji Karyawan

Ketika perusahaan kesusahan dalam mencari dana dari investor, pemotongan gaji karyawan akan menjadi tindakan yang diambil untuk mengurangi biaya kalau perusahaan tersebut tidak ingin melakukan PHK.

Menurut washingtonpost.com, hal ini akan sangat terasa kalau seorang karyawan memperoleh gaji dalam bentuk uang dan saham dari perusahaan tempatnya bekerja.

Ketika harga saham perusahaan anjlok, tentu besaran gaji yang diperoleh pekerja akan ikut berkurang.

Apa yang Harus Disiapkan Sebagai Karyawan dalam Hadapi Startup Bubble?

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan kalau terjadinya startup bubble sangat bergantung pada manajemen perusahaan, investor, atau kebutuhan masyarakat.

Ketiga hal tersebut merupakan hal-hal eksternal yang berada di luar kendali kita sebagai karyawan.

Oleh sebab itu, berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat kamu lakukan untuk menghadapinya.

  1. Perlihatkan Kalau Dirimu Merupakan Aset Berharga untuk Perusahaan

Hal hal pertama yang dapat kamu lakukan untuk hadapi startup bubble burst di Indonesia adalah dengan memperlihatkan dirimu sebagai aset berharga untuk perusahaan.

Menurut indeed.com, dengan menjadi aset perusahaan, kamu pastinya akan dipertahankan bila terjadi PHK.

  1. Perluas Networking

Dengan melakukan networking, kamu akan memperoleh koneksi di berbagai tempat yang dapat membantumu waktu mencari pekerjaan.

Tidak cuma itu, dari networking juga kamu dapat bertemu para profesional di beragam bidang industri. Tentunya, kamu bisa mendapatkan ilmu baru dari mereka.

  1. Memiliki Dana Darurat

Menyiapkan dana darurat merupakan tindakan selanjutnya untuk mempersiapkan diri dalam hadapi startup bubble burst.

Dana darurat bisa membantu kamu nantinya dalam proses mencari pekerjaan baru.

  1. Literasi Digital

Di zaman internet seperti sekarang ini, mempunyai literasi digital yang baik merupakan sebuah keharusan.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Sebab, hampir seluruh proses bisnis sekarang ini terhubung dan memakai perangkat teknologi. Dengan menguasai beragam perangkat teknologi, itu sangat membantu kamu dalam mengerjakan pekerjaan, yang turut menjadi nilai tambah di mata perusahaan.

  1. Upgrade skill penting dalam pekerjaanmu

Meningkatkan skill, terutama yang cocok dengan pekerjaanmu adalah salah satu langkah mempersiapkan dirimu dari sekarang untuk menghadapi bubble burst.

Hal ini menurut mckinsey.com, seorang pekerja dengan skill yang mahir membuatnya sangat dicari oleh perusahaan.

Dikutip dari investopedia.com, berikut beberapa contoh skill penting yang harus dikuasai pekerja di perusahaan teknologi maupun startup.

  • berpikir kritis
  • dapat bekerja sama
  • kemampuan komunikasi yang baik
  • kepemimpinan diri

Selain itu, kemampuan teknikal pun harus dimiliki untuk membantumu dalam mengerjakan pekerjaan dengan baik.

Hal-hal di atas merupakan beberapa informasi mengenai fenomena startup bubble burst di Indonesia yang sedang ramai jadi perbincangan.

Intinya, menyiapkan dirimu dari sekarang untuk menghadapi bubble burst merupakan hal tepat untuk kepentingan kariermu ke depannya.

Read More
persiapan performance review

7 Amunisi Sebelum Kamu Dievaluasi Rutin oleh Atasan

persiapan performance review – Apakah kamu cemas menunggu performance review di kantor? Saking cemasnya, mungkin kamu susah tidur, susah makan, dan overthinking kalau-kalau hasil “rapormu” bakal penuh warna merah.

Menurut Bamboohr.com, performance review adalah bentuk interaksi penting antara atasan dengan karyawan. Ini adalah evaluasi rutin yang harus disiapkan karena biasanya terkait dengan apresiasi, termasuk kenaikan gaji di tempatmu bekerja.

Berikut ini beberapa persiapan sebelum performance review, yang sudah kami rangkum dari beberapa sumber.

Proses Penilaian Kinerja

Sebelum membahas persiapan sebelum performance review, kamu perlu mengetahui prosesnya nanti seperti apa. Biasanya, menurut Lucidchart.com, performance review akan melewati beberapa tahapan:

  1. Menetapkan Standar Kinerja

Proses performance review dimulai dari penetapan standar kinerja. Atasan akan menentukan prestasi, kompetensi, atau output apa yang akan dievaluasi. Standar-standar kinerja ini akan dimasukkan dalam analisis dan deskripsi jabatan. Standar kinerja juga harus jelas dan objektif, tujuannya agar gampang untuk dipahami dan bisa diukur.

Baca Juga: Kehilangan Kerja karena Jejak Digital, Ini Tips Membersihkannya

  1. Mengomunikasikan Standar Kinerja yang diharapkan ke Karyawan

Setelah standar kinerja dibuat, atasan harus mengomunikasikannya kepada setiap karyawan. Sehingga, para karyawan tahu apa yang perusahaan harapkan dari mereka. Tidak adanya komunikasi, akan mempersulit penilaian kinerja nantinya. Komunikasi ini sendiri harus bersifat dua arah, yang berarti atasan harus memperoleh feedback dari karyawannya mengenai standar kinerja yang ditetapkan untuknya.

  1. Menilai Kinerja yang Nyata

Tahapan performance review yang selanjutnya adalah menilai kinerja nyata atau aktual kinerja lewat informasi-informasi yang didapat dari berbagai sumber seperti pengamatan, laporan statistik, laporan lisan dan tertulis. Perlu diketahui, pengukuran pada kinerja harus objektif berdasarkan fakta serta temuan, tidak boleh memasukan perasaan ke dalam penilaian kinerja ini.

  1. Membandingkan Kinerja Nyata dengan Standar yang Sudah Ditetapkan Sebelumnya

Pada tahap ini, kinerja nyata atau kinerja aktual akan dibandingkan dengan standar yang sudah ditentukan sebelumnya. Perbandingan ini akan memaparkan penyimpangan antara kinerja aktual dengan standar kinerja.

  1. Mendiskusikan Hasil Penilaian dengan Karyawan

Langkah ini merupakan salah satu tugas yang paling menantang yang harus dihadapi oleh atasan, karena harus memberikan penilaian yang tepat, sehingga karyawan yang bersangkutan dapat menerima hasil penilaian tersebut.

Baca Juga: 7 Pertimbangan Sebelum Memutuskan resign untuk Mulai Bisnis

Diskusi tentang penilaian ini memungkinkan karyawan untuk mengetahui apa yang jadi kekuatan dan kelemahannya, serta dampaknya terhadap kinerjanya di kemudian hari. Dampaknya mungkin positif atau negatif tergantung pada penilaian yang disajikan.

  1. Mengambil Tindakan Perbaikan

Tahapan paling terakhir pada proses performance review adalah mengambil tindakan korektif (perbaikan) apabila diperlukan. Jika memang terjadi penyimpangan antara standar kinerja dengan kinerja aktual karyawan dan sudah dibicarakan dengan baik antara kedua pihak, maka pihak perusahaan atau karyawan nantinya harus memperbaiki kinerjanya.

Persiapan Sebelum Performance Review

Dirangkum dari Indeed.com dan Wsj.com, berikut ini beberapa persiapan penting yang harus kamu lakukan sebelum performance review.

  1. Menyiapkan mental serta respons

Dalam proses performance review, tentu nantinya kamu akan memperoleh feedback yang baik atau buruk. Kepiawaian menanggapi feedback dengan tepat tentu bisa menjadi bentuk penilaian lebih lanjut oleh atasanmu.

Kalau feedback yang diberikan negatif, sebaiknya kamu tidak bersikap denial dan mau menerima masukan serta berusaha untuk memperbaiki diri. Jika feedback yang diberikan ternyata positif, jangan langsung besar kepala dan malah menggampangkan pekerjaan. Terus bekerja dengan semaksimal mungkin, supaya kinerja kamu tetap stabil.

  1. Kumpulkan hasil kerja kamu selama bekerja

Ketika berbicara mengenai kenaikan gaji atau jabatan, perusahaan dan atasan tentu ingin melihat hasil kinerja kamu selama ini.

Kumpulkan juga prestasi yang sudah berhasil kamu dapatkan sebagai bukti kelayakan kamu menerima kenaikan gaji atau jabatan.

2. Identifikasi kemampuan yang perlu ditingkatkan

Selain mengumpulkan prestasi, kamu juga perlu mencari tahu apa saja yang perlu ditingkatkan.

Dengan memahami yang jadi kekurangan serta skill kamu, itu sangat membantu atasan dalam membangun growth plan yang baik untuk kamu.

3. Tinjau ulang target yang dimiliki

Kamu memiliki target pribadi untuk perkembangan diri sendiri, atau target yang diberikan oleh perusahaan?

Sekarang merupakan waktu paling tepat untuk meninjaunya.

Kamu dapat menilai seberapa banyak target yang berhasil kamu capai atau apa saja yang menjadi kendala dalam mencapai target tersebut.

Jangan lupa untuk berdiskusi dengan atasan untuk menentukan target baru atau mencari pemecahan untuk mencapai target yang belum tercapai sebelumnya.

4. Persiapkan pertanyaan buat atasan

Mungkin kamu tidak selalu mempunyai kesempatan berdiskusi secara personal dengan atasanmu.

Momen performance review dapat jadi momen yang tepat untuk menanyakan hal-hal yang sebelumnya kamu tidak bisa tanyakan.

Contoh pertanyaannya misalnya mengenai perkembangan karir yang mungkin kamu peroleh, atau bantuan profesional untuk menghadapi situasi di lingkungan kerja.

Baca Juga: Apa itu Surat Peringatan Kerja? dan Cara Tepat dalam Menanggapinya

5. Persiapkan diri untuk percakapan yang sulit

Merasa jenuh bekerja dan berpikir untuk mencoba ke divisi lain? Performance review adalah waktu yang tepat untuk kamu utarakan ke atasan kamu.

6. Ketahui usaha dan kerja keras kamu

Mungkin hasil performance review tidak sebaik yang kamu kira. Atau mungkin kenaikan gaji atau jabatan belum bisa perusahaan berikan.

Namun, kamu tetap perlu mengapresiasi diri sendiri karena berhasil melalui banyak tantangan dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

Sekarang saatnya untuk berusaha dan membuktikan lebih banyak pencapaian yang sudah kamu lakukan di performance review selanjutnya.

Itulah beberapa hal yang harus kamu perhatikan selama persiapan sebelum performance review.

Semoga tahapan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan kamu bisa memperoleh perkembangan karir yang sesuai harapan.

Read More

3 in 4 Fundraisers Have Experienced Sexual Harassment on the Job

While the #MeToo movement that raised public awareness of sexual harassment is making fewer headlines than it did in 2017 and 2018, this problem hasn’t gone away. It’s still an especially big problem for nonprofit fundraisers, the professionals responsible for developing relationships with charitable donors.

We are nonprofit scholars who have been researching sexual harassment in fundraising for several years. We’ve found that about 76 percent of fundraisers report experiencing some form of work-based sexual harassment in their careers. That’s partly because fundraisers interact with large numbers of donors, board members, and volunteers.

It’s the fundraiser’s job to keep these stakeholders happy so that they donate their money and time, which makes it hard for fundraisers to push back when their harassers behave in inappropriate ways.

Read also: Sexual Harassment at Work Harms Employment and Economy

A Persistent Problem

In addition to studying the extent of sexual harassment over the course of fundraisers’ careers, we asked about more recent experiences. We found that 42 percent of fundraisers said they had experienced behaviors defined as sexually harassing in the two years before the summer of 2020. This rate, which includes harassment by colleagues, donors and others not employed by the fundraisers’ organizations, is high by any standard.

For example, the rate of sexual harassment in the federal workplace was at 14 percent over the two years before the summer of 2016.

Our findings come from a series of 75 interviews with fundraisers and a survey of 1,782 members of the Association of Fundraising Professionals. In the survey, we looked at the source of sexual harassment. We found that in the two years before the summer of 2020, 18 percent of fundraisers had been sexually harassed by co-workers, 10 percent had been harassed by donors or someone outside the organization, and an additional 14 percent had been harassed by both.

Almost 79,000 people work in fundraising in the U.S., most of whom are white women. These professionals raise money for nonprofit organizations like hospitals, universities, food banks, and environmental groups.

“A lot of the men in these situations are just powerful,” explained “Matilda,” which is not her real name because we are protecting the privacy of the people we interviewed.

They are “men who get what they want, you know, and a lot of times that means being able to take advantage of a young woman, or any woman, and getting away with it,” continued Matilda, a fundraiser who said she had been harassed by a donor. “All of the situations I’ve told you about was men [that] haven’t experienced any consequences. And so they continue to do it.”

Some Fundraisers Face More Risk than Others

We found that lesbian, gay, and bisexual fundraisers were more likely to be sexually harassed than their straight counterparts.

The worst form of sexual harassment is sexual coercion, which includes pressure for sexual favors or dates, stalking, or even rape.

Our survey results show that fundraisers who identify as lesbian, gay, or bisexual, as people of color, or as both people of color and LGB, are more likely to experience sexual coercion than their straight white peers.

Sexual harassment of fundraisers of color can also constitute harassment on the basis of race. “Angela,” who identifies as African American and female, told us in an interview that she heard comments from donors like “I’ve never had a Black woman.”

Read also: Sexual Harassment at Workplace Moves to the Virtual World amid the Pandemic

‘Whatever it Takes’

Fundraisers’ performance is generally assessed in terms of the amount of money they bring in. Fundraisers also feel pressure to generate a lot of donations because that funding can determine whether layoffs are necessary and how many clients an organization can serve.

To understand how this can create pressure to put up with sexual harassment, imagine a fundraiser who works for a small health clinic. A potential donor shows interest in giving a large sum of money. However, he keeps asking the fundraiser to meet him for drinks in the late evening, kissing them on each cheek as a greeting and eventually propositioning them in an inappropriate, sexual text message.

Does the fundraiser endure this behavior to secure a donation that could keep the organization fully staffed and serving uninsured patients? The fundraisers we interviewed all had their own responses to this question.

Many, including “Victoria,” shrugged their shoulders and said they do “whatever it takes to get the job done.”

Some confront their harasser, but more use avoidance by making excuses for why they can’t meet in person. We also heard from fundraisers who told us they quit their job after being sexually harassed at work. Some of those left the profession for good.

Read also: Ruang (Ny)aman: How to Handle Sexual Harassment in the Workplace

Sexual Exploitation

We also found that 23 percent of fundraisers have experienced not just harassment but sexual exploitation at some point in their career.

One common example of the sexual exploitation that fundraisers experience occurs when supervisors in their own organization pressure them to dress more attractively or otherwise put themselves at greater risk of sexual harassment to get more donations. “Ruth” told us about how one of her bosses had invited her to the boss’s home to prepare for a gala.

The boss had her try on dresses that were “very fitted and very tight” and that she didn’t feel comfortable in. The boss insisted on lavish makeup and high heels.

“Carrie” told us she was encouraged to meet with a donor braless because he was going to “love it.”

Ruth, Carrie, and the other fundraisers we interviewed said they felt demeaned and humiliated by these interactions.

Fighting the Fight

Only 15 percent of fundraisers experiencing harassment by a colleague and 27 percent experiencing sexual harassment by a donor or another external stakeholder chose to report these instances, we found.

Reporting of sexual harassment is generally low in all workplaces, and research points to reasons the reluctance is justified. People who report sexual harassment often suffer negative consequences. When an incident goes unreported, though, it’s hard to do anything about it.

“Lucille” said she endured sexual harassment from a supervisor for six years before she reported it. The organization retaliated against her, rather than her boss, by demoting her. While she considered quitting, she continued to “fight the fight” because she wanted to protect others.

Having studied and shared many ways that nonprofit leaders can prevent sexual harassment, we believe that it shouldn’t just be up to fundraisers to resolve this problem.

During the early stages of the COVID-19 pandemic, much nonprofit fundraising occurred remotely, reducing opportunities for sexual harassment. As more office work and fundraising events occur in person, fundraisers inevitably face higher risks again.

Nonprofits can reduce the prevalence of sexual harassment by following the best practices we included in a toolkit informed by our research that is publicly available online.

Some of the best practices we recommend include writing an anti-harassment policy that includes donors and others outside the organization who may engage in this behavior. In addition to policies, nonprofits need to train their staff, volunteers and donors, and top leaders need to reinforce the information shared at those trainings.

Above all, fundraisers need to hear from supervisors that no donation is more important than their dignity and safety.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Erynn Beaton is Assistant Professor of Nonprofit Studies, The Ohio State University and Megan LePere-Schloop is Assistant Professor of Public and Nonprofit Management, The Ohio State University.

Ilustration by Karina Tungari

Read More
Perbedaan Paid dan Unpaid Leave

Sering Disalahpahami, Apa Bedanya ‘Paid’ dan ‘Unpaid Leave’?

Sebagai pekerja, penting untuk memahami apa perbedaan paid dan unpaid leave. Apalagi, kalau kamu merupakan karyawan baru yang belum familier dengan dua tipe cuti umum yang dapat diambil di perusahaan tempatmu bekerja.

Baca Juga: Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik

Masalahnya, letak perbedaan paid dan unpaid leave ternyata bukan sekadar cuti yang dibayar atau tidak. Bingung? Yuk, langsung saja kita bahas perbedaan kedua hal itu.

Apa itu Cuti?

Mengutip Adp.com, cuti adalah waktu yang diberikan oleh perusahaan buat para pekerjanya untuk tidak masuk kerja. Alasannya beragam, tapi umumnya karena ada kepentingan tertentu dalam hidup pribadimu.

Meskipun tidak masuk kerja dalam beberapa hari, mengajukan cuti bisa memastikan kamu tetap mempunyai status sebagai karyawan di perusahaan tersebut.

Saat cuti ini, kamu dapat berstatus paid leave (cuti berbayar) atau unpaid leave (cuti tidak berbayar).

Ada pula cuti sakit yang memang khusus diambil waktu kamu sedang sakit atau tidak dalam kondisi prima untuk bekerja.

Jadi apa perbedaan paid leave dan unpaid leave

Apa itu Paid Leave?

Menurut Thebalancecareers.com, paid leave atau cuti berbayar adalah cuti yang memberikan kamu kesempatan untuk istirahat sejenak dari perusahaan. Akan tetapi, kamu tidak perlu cemas, karena akan tetap digaji penuh kendati tidak bekerja beberapa hari.

Pertanyaannya, apakah kamu dapat memperoleh paid leave secara tidak terbatas? Tentunya tidak. setiap perusahaan jelas memiliki peraturan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier

Semua peraturan perusahaan tetap harus mengacu pada peraturan negara, khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dikutip dari Hukumonline.com, Pasal 81 Nomor 23 dalam UU itu menyebutkan, pekerja berhak memperoleh minimal 12 hari cuti tahunan. Namun, ada juga perusahaan yang memberikan lebih. Inilah yang dimaksud dengan paid leave.

Contoh Cuti Paid Leave

Supaya lebih memahami perbedaan paid leave dan unpaid leave, berikut beberapa contoh dari paid leave yang perlu kamu ketahui.

  • Cuti untuk Liburan

Kamu dapat mengambil paid leave untuk keperluan liburan kalau merasa jenuh bekerja. Satu hal yang perlu dipastikan, tidak ada pekerjaan yang belum diselesaikan sebelum mengajukan cuti.

  • Cuti Hamil dan Melahirkan

Untuk para pekerja perempuan, ada cuti hamil dan melahirkan yang dapat diambil cukup panjang. Menurut Gajimu.com, perusahaan akan memberikan waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudahnya. Kalau ditotal, ada waktu 3 bulan. 

  • Berduka

Saat kehilangan keluarga atau orang terdekat, biasanya orang cenderung susah fokus. Maka, sangat disarankan untuk mengambil cuti pada masa-masa berkabung. Selain itu, pasti ada banyak urusan yang perlu diselesaikan pada masa seperti ini, bukan?

Apa yang Dimaksud dengan Unpaid Leave?

Menurut Charliehr.com, unpaid leave adalah cuti yang membuat gajimu dipotong.

Meskipun gajimu dipotong, statusmu sebagai karyawan di perusahaan masih tetap aktif.

Ada beberapa alasan kenapa cutimu dapat tidak dibayar. Salah satunya adalah kalau kamu sudah melewati jatah cuti yang diberikan oleh perusahaan. Contohnya bila perusahaanmu memberikan 12 hari cuti sesuai dengan UU yang sudah kita bahas sebelumnya.

Baca Juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Jika kamu terpaksa mengambil cuti karena ada urusan mendesak, itu berarti kamu harus merelakan gaji disunat.

Dikutip dari Ekrut.com, Undang-Undang memang tidak menyebutkan secara detail tentang unpaid leave. Akan tetapi, dalam Pasal 93 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan, upah tidak dibayar kalau pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan.

Jadi, perusahaan memang boleh memotong gajimu kalau kamu mengambil cuti lebih dari jatah yang diberikan.

Contoh Unpaid Leave

Alasan untuk unpaid leave bisa sangat beragam. Karena ini berhubungan dengan gaji, sebaiknya unpaid leave cuma diambil waktu kamu benar-benar tidak punya pilihan lain.

Sebagai contoh, kamu sudah mengambil cuti hamil dan melahirkan 3 bulan. Akan tetapi, keadaan memaksamu untuk tetap di rumah lebih lama karena harus fokus mengurus anak yang baru lahir.

Cuti yang lebih dari ketentuan 3 bulan tersebut adalah unpaid leave atau cuti yang tidak berbayar.

Setelah akhirnya kamu mulai kerja kembali ke kantor, tentu kamu akan mulai digaji kembali sesuai dengan kontrak kerjamu sebelumnya.

Sekarang kamu dah tahu kan perbedaan antara paid leave dan unpaid leave?

Sebagai karyawan atau pekerja profesional, sangat penting untuk dapat merencanakan waktu cuti agar work-life balance dapat seimbang.

Read More
apa itu digital nomad

Bisa Kerja dari Mana Saja yang Kamu Pilih, Tertarik Jadi ‘Digital Nomad’?

Digital nomad adalah salah satu istilah yang hari-hari ini sering terdengar selama masa work from home (WFH). Secara garis besar, digital nomad adalah seseorang yang memutuskan untuk bekerja secara lepas dan memanfaatkan teknologi, jadi ia tidak terikat oleh waktu dan tempat. Mereka pun juga setiap hari tidak perlu datang ke kantor karena bisa bekerja dari mana saja, seperti perpustakaan, coffee shop, rumah, bahkan di pantai.

Sekilas pengertiannya seperti pekerja remote, bukan? Namun, sebenarnya digital nomad dengan pekerja remote itu relatif berbeda.

Buat kamu yang sedang ingin bekerja sebagai freelancer atau pekerja remote, kamu bisa memilih opsi menjadi digital nomad.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang digital nomad, berikut penjelasannya yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.

Apa Itu Digital Nomad?

Dilihat dari asal katanya, digital nomad’berasal dari dua kata, yaitu digital’ dan nomad. Kata ‘digital’ di sini menunjuk pada pekerjaan seseorang yang dilakukan secara digital.

Sementara itu, nomad berasal dari kata nomaden, yaitu hidup berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Baca juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Kalau disimpulkan, digital nomad adalah seseorang yang bekerja secara online atau memakai tools online. Mereka bisa bekerja dari mana saja yang mereka pilih secara mandiri, tulis Nomadflag.com.

Seorang digital nomad sering disebut independen secara lokasi, karena mereka yang menentukan sendiri lokasi untuk bekerja.

Lalu, apa yang membedakannya dengan pekerja remote?

Kata “nomad” menjadi sesuatu yang perlu perlu digarisbawahi. Digital nomad tidak cuma bekerja di tempat yang mereka pilih sendiri. Namun, mereka bekerja berpindah tempat sambil melakukan gaya hidup sendiri.

Contohnya, mereka dapat bekerja di pinggir pantai sambil menikmati suasana alam. Dalam kasus lain, mereka juga memilih bekerja dari cafe sambil menikmati makanan terbaik di tempat tersebut.

Di era seperti sekarang ini, pekerjaan digital nomad terus berkembang karena perkembangan teknologi. Sekarang ini, banyak perusahaan yang tidak mewajibkan karyawannya bekerja secara fisik di kantor.

Cara Menjadi Digital Nomad

Setelah tahu definisinya, sekarang waktunya kamu mempersiapkan diri untuk menjadi digital nomad. Yuk, ikuti apa saja tipsnya di bawah ini.

1. Mengajukan Kerja Remote pada Perusahaan

Karena pandemi COVID-19, perusahaan-perusahaan di seluruh dunia mau tidak mau harus beradaptasi dengan teknologi dan melakukan kerja jarak jauh (WFH).

Meskipun sekarang ini sudah banyak yang kembali bekerja dari kantor, sekarang perusahaan sudah terbiasa dengan yang namanya kerja remote.

Salah satu cara yang bisa kamu coba dengan meminta perusahaan untuk diperbolehkan kerja dari jarak jauh.

Baca Juga: Apa itu ‘Cultural Fit’ dan Manfaatnya untuk Para Pekerja?

Alternatif ini dapat kamu coba jika sekarang sudah punya pekerjaan stabil dan disukai di perusahaan.

Kamu dapat mencoba mengajukan ke perusahaan untuk menjadi full-time remote worker. Artinya, kamu bisa jadi pegawai penuh waktu, cuma tidak perlu datang dan bekerja dari kantor (WFO).

Di beberapa startup dan perusahaan berbasis teknologi hal ini bukan suatu hal yang mustahil, loh!

Siapa tahu, perusahaan yang sekarang kamu bekerja juga memperbolehkannya.

2. Cari Pekerjaan yang Tepat

Cara untuk menjadi digital nomad tentu kamu harus memilih pekerjaan yang tepat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa pekerjaan yang memang pas dengan digital nomad karena dapat dengan mudah dilakukan meski tidak dari kantor.

Kalau kamu masih bingung ingin memulainya dari mana, kamu dapat mencoba memilih menjadi seorang freelancer terlebih dahulu.

Kelebihannya menjadi freelancer adalah kamu jadi bebas bekerja dari mana dan bekerja, dan lebih leluasa dalam bekerja.

Akan tetapi, risiko menjadi freelancer adalah tidak akan ada jaminan pemasukan setiap bulan stabil. Karena itulah kamu juga dapat mulai mencari pekerjaan yang full-time dan remote. Perusahaan tidak mewajibkanmu untuk datang ke kantor, sehingga dapat bekerja dari mana saja.

Karena fleksibilitas kantor ini, kamu dapat bebas pergi kemanapun yang diinginkan dan bekerja dari sana.

3. Mulai Usaha Online

Cara lain yang bisa kamu pilih menurut Nerdwallet.com adalah mencoba bisnis online. Bisnis ini harus dapat secara penuh dipantau dan dikerjakan secara digital.

Dengan begitu, kamu dapat berada dimana saja sambil bekerja. Misalnya, bekerja sebagai freelancer. Tentunya opsi ini membuat pendapatanmu tidak akan stabil setiap bulannya.

Baca Juga: Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Akan tetapi, kamu akan punya kebebasan dalam mengatur segalanya. Pasalnya, ini merupakan bisnis milikmu sendiri dan kamu tidak perlu mengejar deadline untuk memperoleh penghasilan.

4. Siapkan Tabungan

Salah satu tantangan dari pekerja nomaden adalah penghasilan yang tidak pasti. Karena itu, kamu perlu mempersiapkan tabungan yang cukup untuk menjalaninya.

Jika di satu waktu kamu berhasil mendapatkan banyak proyek dengan bayaran tinggi, kamu masih memiliki dana lebih untuk bertahan hidup.

5. Gabung Komunitas Digital Nomad

Waktu menjadi digital nomad, tentu kamu tetap bisa merasakan jenuh bekerja. Bergabung dalam komunitas dapat menjadi alternatif solusi.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Sekarang ini banyak komunitas dan berbagai forum yang mudah ditemukan di media sosial, termasuk Facebook. Dengan masuk dalam komunitas, kamu dapat memperoleh informasi, tips, dan saran dari orang-orang yang sudah berpengalaman.

Manfaat lainnya, kamu bisa meminta bantuan saat benar-benar membutuhkan. 

Read More