Pentingnya Kecerdasan Emosional dalam Dunia Kerja

Mengenal Kecerdasan Emosional yang Penting di Dunia Kerja

Kecerdasan emosional atau yang lebih dikenal sebagai EQ (emotional quotient) sekarang ini menjadi salah satu pertimbangan bagi perusahaan mencari karyawan. Seseorang yang punya kecerdasan emosional akan mampu mengenali dan mengerti emosi diri sendiri serta orang lain.

Kecerdasan emosional sangat bermanfaat bagi pekerja. Hal ini bisa membantu kita dalam membuat keputusan, dapat memecahkan sebuah masalah, dan berkomunikasi dengan teman atau rekan kerja

Lalu, bagaimana kecerdasan emosional di tempat kerja dapat memberikan pengaruh untuk karier kamu kedepannya? Simak ulasannya di bawah ini.

Kenapa Kecerdasan Emosional Sangat Penting di Tempat Kerja?

Kalau seseorang punya EQ yang tinggi, berarti orang tersebut bisa mengenali dan mengontrol emosi seperti saat ia sedang frustrasi atau sedih. Dan ternyata, kemampuan ini bisa kita latih.

Baca Juga: Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Dikutip dari Verywell Mind, dalam sebuah survei terhadap beberapa perekrut pekerja dinyatakan, hampir 75 persen responden memperlihatkan bahwa mereka lebih mengutamakan EQ daripada IQ dari calon karyawan. Hal ini menunjukan bahwa EQ dinilai lebih penting dalam merekrut karyawan daripada kemampuan teknis mereka.

Berikut alasan pentingnya kecerdasan emosional di tempat kerja.

Membuat karyawan dapat bekerja di bawah tekanan

Sudah sedikit dijelaskan di atas, salah satu ciri seseorang yang mempunyai EQ tinggi adalah mereka dapat memahami apa yang sedang mereka rasakan dan mengaturnya.

Hal ini dapat menjadi sangat berguna bagi karyawan saat mereka bekerja di bawah tekanan. Mereka tidak membiarkan rasa stres atau sedih karena hal di luar pekerjaan memengaruhi kehidupan profesionalnya.

Orang dengan kecerdasan emosional tinggi mampu memisahkan mana yang jadi urusan pribadi dan urusan pekerjaan kantor, dan bisa mengatur perasaannya dengan baik.

Seseorang dengan kecerdasan emosional bisa menjadi pemimpin yang baik

Menurut Harvard Business Review, EQ menjadi salah satu kunci seseorang bisa menjadi pemimpin yang baik.

Baca Juga: 4 Cara Hadapi ‘Mansplaining’ dan Interupsi dari Rekan Kerja

Sebagai pemimpin, seseorang harus bisa mengatur, mengarahkan, dan didengarkan banyak orang.

Seseorang yang punya kecerdasan emosional tinggi bisa melakukan itu semua secara lebih efektif. Pasalnya, mereka bisa menjadi pendengar yang baik, dapat berempati, dan mencari solusi dari permasalahan dengan kepala dingin.

Meskipun begitu, keterampilan serta kemampuan teknis tetap menjadi aspek penting lain yang perlu diperhatikan untuk bisa menjadi pemimpin.

Mampu menemukan solusi dengan cepat

Mempunyai kecerdasan emosional di dunia kerja juga penting karena hal itu membantu kita memecahkan masalah. Waktu mendapati masalah, orang dengan kecerdasan emosional tinggi akan lebih cepat mendapatkan solusi. Pasalnya, mereka umumnya mempunyai kemampuan problem solving yang baik.

Waktu mereka mendapati masalah kecil ataupun besar, mereka bisa menyelesaikannya dengan tenang.

Hal ini disebabkan mereka bisa mengontrol diri serta pikiran dengan baik, sehingga tidak membiarkan perasaan seperti marah atau sedih memengaruhi proses pencarian solusi.

Mereka tidak berarti menjadi orang yang suka memendam perasaan dan meledak di saat yang tidak menentu. Akan tetapi, orang dengan EQ tinggi tetap dapat mengekspresikan perasaannya pada waktu dan tempat tertentu.

Membantu karyawan untuk bekerja dalam tim dengan baik

Bila kamu mempunyai kecerdasan emosional tinggi, kamu akan mudah bekerja sama dengan orang lain.

Orang dengan EQ tinggi akan gampang menghadapi perubahan dan beradaptasi, serta tidak lupa juga mengatur emosi.

Dengan begitu, mereka enggak akan menjadi beban untuk tim bisa berkembang.

Mampu menjadi pendengar yang baik

Salah satu karakter yang dimiliki seseorang dengan kecerdasan emosional tinggi adalah mereka lebih gampang buat berempati.

Nah, karakter ini sangat penting buat dimiliki di dunia kerja, dan hal tersebut bisa diasah dengan cara berlatih menjadi pendengar yang baik.

Dikutip dari Mindful, salah satu ciri dari pendengar yang baik adalah mereka biasanya menanyakan apa yang ada di pikiran orang lain, benar-benar mendengarkan, dan merespons orang tersebut sesuai porsinya.

Saat ada orang lain yang berbicara, pendengar yang baik enggak akan langsung memotong dan mengeluarkan pendapatnya begitu saja. Mereka akan sabar menunggu gilirannya untuk berbicara.

Pasti kamu sendiri merasa tidak senang kan, jika kamu belum selesai berbicara, namun rekan kerja atau atasan tiba-tiba memotong begitu saja?

Ciri seseorang dengan kecerdasan emosional, ia dapat menerima kritikan dari orang lain

Salah satu ciri seseorang dengan EQ tinggi adalah punya self-awareness yang tinggi.

Dengan begitu, mereka sangat paham dengan kelemahan dan kelebihan yang ada dirinya, dan bagaimana cara memanfaatkan kelebihannya itu.

Ketika mendapatkan sebuah kritikan, mereka akan mendengarkannya, lalu mereka akan melihat langsung ke diri sendiri, dan akan menerima kritik tersebut dengan baik, bukan malah menyalahkan orang lain.

Mereka enggak merasa bahwa sebuah kritik merupakan serangan, tetapi melihatnya sebagai sebuah dorongan untuk bisa memperbaiki diri.

Nah, itu dia penjelasan mengenai mengapa kecerdasan emosional sangat penting di dunia kerja.

Jika kamu ingin bisa sukses dalam berkarier, kamu bisa mulai meningkatkan soft-skill yang satu ini dengan mulai mengatur emosi dan lebih mengenal diri sendiri.

Read More
Rekan kerja

Maksimalkan Jadwal Kerja ‘Hybrid’ dengan Cara Ini

Jika ada dampak positif dari pandemi yang perlu disyukuri, sebagian besar pekerja mungkin menjawab bisa melakukan work from home. Meskipun awalnya mereka memerlukan adaptasi, mengalami burnout saat menjalani ini, dan berasumsi akan kembali bekerja di kantor setelah situasi membaik, pada perkembangannya sistem kerja tersebut justru mereka rasa membawa keuntungan. 

Seiring waktu, banyak perusahaan pun mulai menyesuaikan sistem kerja dengan tak lagi sepenuhnya menerapkan kerja dari kantor. Sebagian dari mereka memilih menerapkan sistem kerja hybrid atau sebagian waktu di kantor, sebagian lainnya di rumah atau tempat lain. Pekerja lantas mulai terbiasa dengan sistem kerja hybrid yang menawarkan fleksibilitas. Mereka juga menganggap, sistem tersebut menguntungkan karena mereka tidak perlu menghabiskan waktu lebih untuk bersiap-siap dan melakukan mobilitas setiap hari. Selain itu, mereka pun jadi memiliki peluang mengeksplor hobi dan aktivitas lain selama tak bekerja di kantor.

Laporan “The Next Great Disruption Is Hybrid Work-Are We Ready?” (2021) yang dirilis Microsoft menunjukkan, sejumlah 83 persen pekerja di Indonesia menginginkan kerja jarak jauh. Bahkan, 49 persen pekerja mempertimbangkan meninggalkan pekerjaannya, dengan memilih opsi kerja jarak jauh sebagai alasan utama.

Meski punya keunggulan seperti fleksibilitas tadi, bukan berarti sistem kerja hybrid tidak memiliki tantangan yang memengaruhi kinerja. Karena itu, pekerja perlu melakukan strategi-strategi tertentu agar selama bekerja dalam sistem tersebut, mesreka bisa tetap menghasilkan output optimal. Berikut kami rangkum beberapa langkah untuk mengatur jadwal kerja, untuk dilakukan para pekerja hybrid untuk bekerja dari jarak jauh.

Baca Juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos

1. Ciptakan Ruang Kerja Ideal

Sebelum pandemi, mungkin hanya sebagian pekerja yang memiliki ruang kerja di rumahnya. Namun, sejak work from home diberlakukan, tampaknya ini menjadi kebutuhan untuk memisahkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. 

Selain itu, memiliki ruang kerja yang ideal artinya memenuhi keperluan aset, dan membangun suasana layaknya bilik kantor untuk memaksimalkan kinerja, terlebih jika lebih banyak hari kerja di rumah.

Apabila dalam menciptakan ruang kerja ideal pekerja terkendala masalah biaya, Vice President and General Manager Cisco Webex Calling and Strategy, Lorrisa Horton menyarankan pekerja untuk menanyakan pada perusahaan apakah mereka memiliki aset berlebih yang dapat pekerja manfaatkan.

Menurut Horton, seharusnya perusahaan mempertimbangkan hal ini demi produktivitas pekerjanya. Karena berpengaruh pada kinerja dan perkembangan perusahaan, hal itu perlu diprioritaskan.

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

2. Saat Kerja Hybrid, Kenali Cara untuk Jadi Produktif

Di era digital, banyak distraksi yang sulit dihindari, membuat produktivitas dalam bekerja menjadi kemewahan, terutama jika seseorang bekerja jarak jauh. Sebut saja aktivitas seperti doomscrolling media sosial atau aplikasi ojek online untuk memilih menu makan siang, hingga menonton satu episode drakor terkini yang nanggung kalau ditinggal. Atau, pekerjaan domestik yang perlu diselesaikan sebelum petang.

Riset dari Pew Research Center menyatakan, kerja jarak jauh dapat memengaruhi tingkat motivasi seseorang, terutama pada 53 persen pekerja di usia 18-29 tahun. Mereka cenderung termotivasi apabila bertemu dengan rekan kerjanya. 

Tak dimungkiri, meskipun suasana rumah sudah mendukung, motivasi bekerja masih saja bisa minim karena berbagai alasan. Misalnya, pada Senin dan Jumat pagi, pekerja merasa masih ingin atau cepat-cepat rebahan. Atau di atas jam 12 siang, mereka tak semangat bekerja akibat kekenyangan setelah makan.

Untuk mengakali masalah motivasi kerja ini, kita dapat membentuk rutinitas yang membangun mood dan mendukung produktivitas. Misalnya, berolahraga selama 45 menit, mandi, dan sarapan sebelum mulai bekerja. Selain itu, kita bisa membuat to-do list agar gol dalam delapan jam bekerja dapat terlihat jelas.

Kemudian, kita butuh mengatur jadwal sesuai jam kerja dan memfokuskan diri pada pekerjaan yang menjadi prioritas, serta berusaha menyelesaikannya sebelum jam makan siang, selagi pikiran masih jernih.

Sementara dalam pengerjaan proyek besar, Tony Wong, seorang pakar manajemen dan produktivitas, memberikan tipsnya kepada Forbes. Ia mengatakan, sebaiknya proyek tersebut dibagi ke dalam beberapa tahap pengerjaan agar lebih ringan, tetapi berdampak besar.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

3. Saat Kerja Hybrid, Pisahkan Pekerjaan di Rumah dan Kantor

Memisahkan pekerjaan di rumah dan kantor adalah salah satu cara menjaga efektivitas kerja jarak jauh. Alasannya, terdapat beberapa pekerjaan yang lebih baik dikoordinasikan langsung dengan rekan kerja agar komunikasinya lebih jelas.

Harvard Business Review menyebutkan beberapa di antaranya, seperti pembahasan proyek yang memerlukan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, peninjauan objek secara langsung, maupun konten yang memicu emosi tinggi.

Sementara dalam memilih pekerjaan yang dilakukan di rumah, pertimbangkan untuk menyesuaikan porsinya dengan tanggung jawab dan aktivitas lainnya, seperti merawat anak dan menyelesaikan tugas domestik. 

4. Rutin Berkomunikasi dengan Rekan Kerja

Bagi sebagian pekerja, membatasi interaksi dengan kolega dianggap salah satu cara memisahkan kehidupan pribadi dan profesionalnya. Di sisi lain, support system justru diperoleh apabila menjalin kedekatan dengan orang kantor, diawali dengan membuka diri. Menurut Horton, hal ini menjadi kunci membangun pertemanan bagi pekerja berusia muda dan kelompok marginal.

Namun, pandemi membatasi interaksi langsung, dan upaya minimum yang dapat dilakukan adalah berkomunikasi secara virtual. Keadaan ini membuat seseorang lebih manusiawi dan aspek tersebut yang menjadi fondasi kuat dalam menjalin relasi, sebagaimana dijelaskan dalam Forbes. Hubungan tersebut merupakan salah satu pengingat bahwa pekerja merupakan bagian dari tim.

Tingginya intensitas komunikasi dengan rekan kerja juga meningkatkan kepercayaan setelah mengetahui satu sama lain dapat diandalkan. Kepada NPR, penulis dan profesor di Harvard Business School, Tsedal Neeley mengungkapkan cara-cara untuk melakukan ini. “[Pekerja] muncul ketika diperlukan, baik secara langsung maupun virtual, dan tepat waktu. Tunjukkan kompetensimu lewat kata-kata dan tindakan,” ujar Neeley.

Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab, atasan pun perlu menanyakan kondisi pekerjanya dan mendukung perkembangan potensi mereka, tanpa menunggu evaluasi akhir tahun. Rutinnya komunikasi itu juga membuat koordinasi pekerjaan lebih baik, dan menjaga alur kerja tetap terstruktur.

Read More
keberagaman di tempat kerja

Ada LGBT dan Minoritas di Kantormu? Ini 6 Manfaatnya

keberagaman di tempat kerja – Bayangkan jika kantor tempatmu bekerja saat ini dipenuhi orang dengan latar belakang yang beragam, tidak hanya dari latar belakang suku, agama dan ras, tetapi juga identitas gender serta orientasi seksual? Pasti akan sangat banyak sekali hal-hal positif yang bermunculan karena keberagaman tersebut.

Sayangnya di Indonesia sendiri hal ini sepertinya masih menjadi angan-angan belaka, sebab masih banyak stigma dan diskriminasi terhadap komunitas marjinal, seperti LGBT di Indonesia. Memang, beberapa kantor ada yang tidak memedulikan identitas gender atau seksual karyawannya, dan selalu melihat prestasi mereka.

Namun, jika melihat tren global, berkat kemajuan teknologi dan perubahan zaman akibat pandemi Covid-19, membuat tempat kerja yang lebih inklusif untuk semua pekerja  itu sudah menjadi sebuah keharusan. Jika, perusahaan tidak melakukan hal ini, akan sulit bagi perusahaan tersebut untuk bertahan ke depannya. 

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Keberagaman di dunia kerja bukan hanya perlu diberlakukan di bagian karyawannya saja tetapi juga di level-level strategis seperti level pengambil keputusan.  Kok gitu? Semakin beragam orang-orang di dalam level pengambil keputusan, maka semakin baik pula keputusan yang dihasilkan. 

Nah berikut ini beberapa manfaat keberagaman di tempat kerja yang mesti kamu tahu, yuk disimak. 

1. Keberagaman di Tempat Kerja akan Meningkatkan Produktivitas Pekerja dan Inovasi

Saat perusahaan memutuskan untuk menerima karyawan baru dari berbagai latar belakang dan identitas, hal ini akan membawa perusahaanmu pada banyak keuntungan salah satunya meningkatkan produktivitas kerja. Memang, membawa perspektif baru ke perusahaan terlihat  menyeramkan untuk HRD, tetapi beberapa riset mengatakan, tim yang beragam memperlihatkan perbaikan dalam mengambil keputusan sebesar 60 persen.

Selain itu, coba deh kamu bayangkan jika tim kamu itu isinya orang-orang yang homogen, misalnya, dari suku yang sama, atau jenis kelamin yang sama, tentunya ide-ide yang dihasilkan juga  tidak terlalu menarik. Nah, jika tim-mu komposisinya beragam, seperti dari segi gender, latar belakang pendidikan, dan lain sebagainya, pastinya akan banyak banget inovasi yang diciptakan, dan hal ini berujung pada keuntungan untuk perusahaan juga deh. 

 2. Meningkatkan Reputasi Perusahaan

Kita semua tahu, bahwa saat ini dunia sudah berubah dan kesetaraan gender dan inklusivitas tempat kerja menjadi topik hangat untuk semuanya. oleh sebabnya jika perusahaanmu mulai memperbaiki hal ini, maka reputasi perusahaanmu akan mulai membaik.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Orang-orang akan mengenal perusahaanmu inklusif, dan yang pasti mereka juga akan senang membeli produk atau jasa yang perusahaan tawarkan. Keberagaman di tempat kerja ternyata semakin membawa cuan loh ke perusahaan. 

3. Menciptakan Ruang yang Nyaman dan Aman bagi Semua Pekerja

Baru-baru ini beredar kabar di media sosial, bahwa terjadi kekerasan seksual saat perekrutan di salah satu startup besar di Jakarta Selatan. Hal ini tentunya bukan cuma terjadi satu-dua kali saja, tetapi sebelumnya sudah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja. 

Faktanya, memang sebagian besar perusahaan masih belum memiliki SOP untuk menangani kekerasan seksual. Nah, untuk membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman, tentunya SOP kekerasan seksual saja tidak cukup, namun, dibutuhkan juga perubahan budaya serta inklusivitas dalam ruang kerja. 

4. Meningkatkan Performa Kerja Karyawan

Ketika lingkungan kerja  nyaman dan aman serta  memiliki talent yang beragam, hal ini tentunya berpengaruh juga terhadap performa kerja karyawan. Dikutip dari HBR, dalam sebuah riset menunjukan jika tim kamu homogen, mulai dari identitas gender hingga cara pandangnya, akan melumpuhkan keragaman kognitif alami sebab individu mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri. 

Baca Juga: Pemimpin Perempuan: Perkara Kesempatan

Ketika karyawan tidak bisa menjadi dirinya sendiri, tentunya hal ini akan berpengaruh pada kesehatan mental karyawan tersebut dan akhirnya tidak bisa menghasilkan pekerjaan terbaik mereka. 

Tantangan dalam Menciptakan Keragaman di Tempat Kerja

Berbicara tentang keberagaman di tempat kerja tentunya lebih mudah ketimbang mengimplementasikannya. Banyak sekali tantangan yang akan dihadapi oleh manajemen terutama dalam hal melatih karyawan serta HRD-nya. Berikut ini beberapa tantangan yang akan perusahaan hadapi setelahnya, dikutip dari laman Culture Amp. 

  1. Melakukan pelatihan rutin dan masif untuk semua karyawan. 
  2. Belajar dan mengurangi bias-bias pada identitas-identitas tertentu, seperti identitas gender, orientasi seksual, serta ras.
  3. Perusahaan kemungkinan akan mengalami resistensi dari karyawan-karyawan yang tidak menginginkan adanya perubahan. 
Read More
social intelligence di dunia kerja

Pentingnya Social Intelligence di Dunia Kerja dan Cara Meningkatkannya

Semua orang yang bekerja di suatu perusahaan pasti ingin punya hubungan yang baik dengan rekan kerja. Nah, supaya kamu bisa memiliki hubungan baik tersebut kamu harus punya yang namanya kecerdasan sosial atau social intelligence.

Jika kamu punya kecerdasan sosial, kamu akan bisa merasakan perasaan orang lain. Karena itu, orang-orang yang punya social intelligence akan lebih gampang menjalin hubungan baik dengan rekan kerja atau atasan.

Enggak cuma itu, ada segudang manfaat lain yang bisa diperoleh kalau kamu punya kemampuan ini. Salah satunya adalah kamu bisa jadi lebih percaya diri saat masuk  lingkungan kerja baru.

Baca Juga: 7 Self Reward yang Baik untuk Diri Sendiri Tanpa Biaya Mahal

Penasaran dan ingin tahu apa sih yang dimaksud dengan social intelligence? Yuk, simak penjelasannya di bawah ini.

Apa Itu Social Intelligence atau Kecerdasan Sosial?

Dikutip dari IntelligentChange, social intelligence adalah kemampuan untuk mengamati, memahami, dan mengelola emosi dalam berbagai konteks sosial. Saat seseorang dapat mengelola emosi dengan baik, ia bisa jadi lebih bijak dalam berhubungan dengan orang lain.

Menurut Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence and Social Intelligence: The New Science of Human Relationships, kecerdasan sosial tidak dimiliki sejak lahir. Kecerdasan bisa terbentuk lewat beberapa kondisi seperti pendidikan, hubungan keluarga, lingkungan dan sebagainya. 

Baca Juga: Apa itu ‘Life Skill’ dan Bagaimana Cara Mengembangkannya?

Social intelligence bisa dipelajari oleh siapa pun. Biasanya, kemampuan ini bisa berkembang lewat pengalaman meraih keberhasilan atau kegagalan dalam lingkungan sosial.

Ciri Seseorang Memiliki Social Intelligence

Dikutip dari Psychology Today, berikut ini beberapa ciri seseorang memiliki social intelligence.

Paham tentang norma-norma sosial

Salah satu ciri seseorang yang cerdas secara sosial adalah mereka paham tentang norma-norma sosial sehingga mereka dapat menempatkan diri dengan baik.

Mereka sangat paham cara berinteraksi dan selalu bersikap bijaksana saat bersama orang lain.

Mahir dalam berkomunikasi secara verbal

Seseorang yang punya kecerdasan sosial akan mahir berkomunikasi secara verbal atau punya kemampuan percakapan yang sangat baik.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Ia bisa melakukan percakapan dalam berbagai macam situasi. Namun, perkataan yang ia lontarkan tidak cuma basa-basi saja.

Mereka juga sangat bijaksana dalam mengeluarkan kata-kata yang dikeluarkan dari mulutnya karena mereka sangat bisa memahami perasaan orang lain yang mereka ajak berbicara.

Orang yang memiliki social intelligence mampu menjadi pendengar yang baik

Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kelebihan yang dipunyai seseorang dengan kecerdasan sosial yang baik.

Enggak cuma mahir berkomunikasi secara verbal, mereka pun bisa jadi pendengar yang baik. Mereka akan selalu mendengarkan dan memperhatikan apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya.

Bisa memahami emosi orang lain

Ciri lain orang yang punya kecerdasan sosial adalah sering mengamati orang-orang di sekitarnya. Karena itu, mereka lebih gampang dalam memahami situasi orang lain.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Enggak cuma orang yang punya kecerdasan emosional, seseorang yang punya social intelligence juga lebih gampang dalam memahami emosi orang lain.

Itulah mengapa ketika kamu mempunyai kecerdasan emosional sekaligus social intelligence kamu akan gampang berteman dan menjaga hubungan dengan siapa pun.

Orang dengan social intelligence tidak suka berdebat

Orang dengan social intelligence juga sangat paham bahwa berdebat atau menyudutkan orang lain bukanlah solusi. Mereka bukan orang yang akan langsung menolak ide dari orang lain. Justru, mereka akan mencoba mendengarkan dengan pikiran terbuka meski ada ketidaksetujuan secara pribadi.

Cara Meningkatkan Social Intelligence

Kalau kamu ingin mengembangkan kemampuan yang satu ini, kamu dapat mencoba beberapa tips yang dikutip dari VerywellMind berikut ini.

Selalu perhatikan sekitar

Seseorang dengan kecerdasan sosial yang tinggi akan selalu memperhatikan hal-hal yang ada di sekelilingnya. Mereka memperhatikan dengan detail bagaimana orang-orang di sekitarnya waktu sedang berinteraksi.

Dengan begitu mereka akan lebih gampang buat berkomunikasi dan menentukan sikap kepada orang yang ada di sekelilingnya.

Tingkatkan kecerdasan emosionalmu

Social intelligence serta kecerdasan emosional memang berhubungan. Namun, kecerdasan emosional lebih tentang bagaimana seseorang bisa mengatur emosinya sendiri dan punya empati kepada orang lain.

Nah, kalau kecerdasan emosionalmu sudah baik, pastinya akan jadi lebih gampang bagi kamu untuk mengendalikan emosi negatif waktu berinteraksi di lingkungan sosial.

Menghargai perbedaan budaya

Perbedaan budaya bukanlah suatu hal yang perlu dihindari, malah semestinya kita hargai. Tiap orang dengan berbagai latar budaya punya keunikan tersendiri, dan hal itu bisa kita pelajari.

Dengan menghargai budaya orang lain, kamu akan lebih gampang buat memahami karakteristik dan kebiasaan yang sering orang lain lakukan.

Belajar active listening

Active listening juga merupakan suatu hal yang enggak bisa dipisahkan dari social intelligence. Jadi, kalau kamu ingin menaikan kemampuan yang satu ini, maka kamu harus mampu melakukan active listening.

Salah satu cara untuk menaikkan kemampuan active listening-mu adalah dengan selalu memperhatikan baik-baik apa yang dibicarakan oleh lawan bicara.

Baca Juga: Cara Menemukan Karier yang Tepat untuk Para Fresh Graduate

Selain itu, cobalah untuk tidak menyela lawan bicaramu waktu ia sedang berbicara.

Saat kamu melakukan hal tersebut, pasti akan lebih gampang buat kamu memahami infomasi yang sedang disampaikan oleh lawan bicaramu.

Hargai orang-orang yang ada di sekitarmu

Salah satu cara paling gampang untuk meningkatkan social intelligence adalah dengan selalu menghargai orang-orang yang ada di sekitar kamu.

Kamu bisa memulainya dengan berlatih cara berkomunikasi yang efektif lewat orang terdekatmu terlebih dahulu. Jika kamu berhasil menjaga hubungan dengan orang terdekat, tentu kamu enggak akan kesusahan buat menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Read More

Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Ketimpangan penghasilan ternyata bukan satu-satunya momok perempuan dalam dunia kerja. Faktanya, mereka juga memiliki perbedaan tekanan yang bersumber pada time stress — perasaan memiliki banyak hal yang perlu dilakukan dalam waktu terbatas. Alhasil, lebih banyak perempuan mengalami burnout. 

Pernyataan ini didukung penelitian oleh Ashley Whillans dkk., peneliti asal Harvard Business School dan FIsher College of Business, AS, dalam “Extension request avoidance predicts greater time stress among women” (2021). Dari lima ribu partisipan, mereka menemukan perempuan cenderung merasa memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan waktu terbatas.

Walaupun demikian, bukan berarti perempuan rela meminta perpanjangan waktu pengerjaan ataupun membagi beban kerja kepada koleganya. Mereka mengkhawatirkan perilakunya membebani pekerja lain, atau menerima hukuman dari atasan. Terlepas dari tanggung jawabnya, di kantor perempuan turut berinisiatif melakukan aktivitas nonformal secara sukarela, maupun atas dasar permintaan orang lain.

Whillans dkk. mendeskripsikan fenomena ini sebagai epidemi sosial yang mengganggu produktivitas, kesehatan fisik, dan kesejahteraan emosional. Pasalnya, perempuan menganggap dirinya kurang kompeten dibandingkan laki-laki, apabila meminta waktu tambahan untuk melakukan pekerjaannya.

Sementara, berdasarkan Health and Safety Exclusive (HSE)lembaga publik non departemen asal Inggris yang menjamin kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan pekerjaperempuan di usia 35-54 tahun mengalami stres akibat pekerjaan 50 persen lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Penyebabnya adalah kualitas lingkungan pekerjaan yang lebih rendah bagi perempuan, berkaca pada upah yang lebih rendah, jam kerja yang tidak fleksibel, merasa insecure dengan pekerjaannya, dan minimnya potensi perkembangan karier.

Namun, faktor lain penyumbang time stress pada perempuan ialah banyaknya peran yang harus dilakukan, sebagai istri, ibu, anak yang merawat orang tuanya, hingga breadwinner (pencari nafkah).

Selain itu, penyebab lainnya adalah emotional labor, yaitu mengesampingkan perasaan atau emosi yang sesungguhnya demi tuntutan pekerjaan. Hal ini dilakukan untuk menampilkan kinerja baik di antara tekanan pekerjaan, dengan mengontrol emosi dan memberikan sugesti pada diri bahwa menikmati realitas yang ada. Atau berpura-pura menampilkan emosi positif dengan berusaha tenang, mengutamakan empati, dan mengekspresikan optimisme, dibandingkan perasaan sebenarnya.

Sebagai dampaknya, mengacu pada  laporan Gender and Stress dari American Psychological Association, muncul gejala fisik dan emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan keinginan untuk menangis. Celakanya, persentase gejala ini lebih besar dialami perempuan daripada laki-laki.

Baca Juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim

Perempuan Sebagai Pelaku Utama Pekerjaan Domestik

Membicarakan pekerjaan domestik rasanya tidak lepas dari figur perempuan sebagai pelakon utama, meskipun tak sedikit laki-laki yang juga melakukannya. Dalam The Second Shift: Working Families and the Revolution at Home (2012) oleh Arlie Hochschild dan Anne Machung disebutkan, di AS, peran perempuan sebagai manajer rumah tangga lebih banyak menyita waktu dibandingkan laki-laki.

Rata-rata pekerja perempuan heteroseksual yang berumah tangga, menghabiskan delapan jam lebih banyak setiap minggunya untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengasuh anak.  Ditambah selama pandemi, ketimpangan gender itu meningkat secara substansial.

Menurut Laura Giurge dkk., peneliti yang berafiliasi dengan instansi pendidikan seperti London Business School dan Harvard University, perempuan di seluruh dunia memiliki lima jam tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya sekaligus mengasuh anak. 

Maria (37), seorang pekerja swasta sekaligus ibu dua anak misalnya. Saat work from home, ia harus mendampingi putranya yang duduk di kelas empat SD untuk sekolah daring, dan ikut mempelajari materi yang diberikan wali kelas untuk kembali menerangkan kepada anaknya, sekaligus membantu proses pengerjaan pekerjaan rumah.

Karena itu, ia merasa lebih di bawah tekanan, sekali pun waktu tidurnya masih terhitung cukup, yakni tujuh jam.

Namun, hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan yang berperan sebagai ibu. Pada dasarnya, perempuan memiliki banyak area persaingan, seperti penampilan, kualitas hubungan pertemanan, dan pekerjaan yang dihasilkan. Dalam berbagai aspek tersebut, terdapat potensi kegagalan yang akan dialami. Karenanya, muncul keraguan, kritik pada diri sendiri, serta rendahnya kepercayaan diri pada perempuan.

Baca Juga: Bagaimana Kamu Bisa Mati Karena Kerja Berlebihan?

Cara Perempuan Merespons Time Stress dan Mengatasinya

Sebenarnya, laki-laki dan perempuan memiliki respons serupa dengan laki-laki, yakni rentan terhadap hormon kortisol dan adrenalin. Namun, perempuan juga mengeluarkan lebih banyak hormon oksitosin dari kelenjar pituitari yang membantu mengurangi produksi kortisol dan adrenalin, mengurangi efek berbahaya.

Mengutip WebMD, artinya hormon oksitosin mampu menciptakan kepribadian lebih rileks, dan secara otomatis, hal tersebut menjadi perlindungan diri perempuan.

Sementara secara karakteristik psikologis, laki-laki memiliki mode fight-or-flight, sedangkan perempuan tend-and-befriend. Dalam mode tersebut, perempuan cenderung merawat orang-orang di sekitarnya dan menjalin komunikasi dengan orang lain. Menurut Shelley Taylor, profesor psikologi di University of California Los Angeles (UCLA), AS, hal itu dikarenakan perempuan memiliki harapan hidup lebih besar.

“Sistem tend-and-befriend melindungi perempuan dari efek dari stres yang merusak,” ujar Taylor kepada WebMD. 

Dalam hasil penelitian Domestic Stress and Well-Being of Employed Women: Interplay Between Demands and Decision Control at Home” (2006), akademisi asal Israel, Talma Kushnir dan Samuel Melamed memberikan contoh lain, yaitu membentuk kelompok sosial bersama perempuan lain sebagai support system.

Baca Juga: Mendukung Sesama Pekerja Perempuan Penting, Ini Alasannya

Kemudian, mereka yang juga berperan sebagai ibu akan melindungi diri sendiri dan anak-anaknya lewat perilaku pengasuhan, sebagai respons terhadap situasi yang menyebabkan stres. Respons tersebut dilakukan atas kelekatan pada otak sehingga mengarah ke perilaku pengasuhan dan afiliasi.

Untuk mengatasi time stress, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, perempuan perlu memberanikan diri meminta perpanjangan tenggat waktu ketika jam kerjanya fleksibel. Kedua, self-care penting dilakukan sesederhana tidur cukup, diet sehat, dan berolahraga. Selain itu, pemicu stres seperti melakukan pekerjaan kantor dan tanggung jawab di rumah juga perlu disesuaikan.

Ketiga, mengenal pemicu stres secara spesifik, karena di dalam pekerjaan pun terdapat berbagai aspek. Misalnya beban kerja dan perilaku kolega atau atasan, keduanya hal berbeda dan memiliki cara mengatasinya masing-masing.

Yang terakhir, mencari validasi dari dalam diri untuk memahami emosi yang dirasakan itu sah, dan perlu ditanamkan, tidak apa-apa jika merasa tidak baik-baik saja. Apabila sulit dilakukan, terdapat beberapa opsi untuk melatih diri, seperti mengenal kelebihan dan kekurangan dalam diri, secara sadar menaruh perhatian pada situasi saat ini, atau membaca buku self-help.

Sementara bagi perusahaan, Whillans dkk. menyarankan manajer secara rutin mengecek kondisi pekerjanya yang terlihat sedang stres. Apabila memungkinkan, mereka dapat menawarkan perpanjangan waktu pekerjaannya untuk membantu kesehatan mentalnya.

Dengan demikian, pekerja perempuan akan merasa dimengerti dan kesehatan mereka adalah yang utama. Pun mereka memahami bahwa bukan sebuah permasalahan, apabila mereka membutuhkan waktu lebih lama dalam menyelesaikan pekerjaan.

Read More
Self Reward yang Baik untuk Diri Sendiri Tanpa Biaya Mahal

7 Self Reward yang Baik untuk Diri Sendiri Tanpa Biaya Mahal

Setelah sekian lama dan bersusah payah melakukan suatu pekerjaan, kita tentu senang bila mendapat apresiasi dari orang lain. Sikap menghargai yang ditujukan orang lain itu seperti angin segar yang pada akhirnya bisa memompa semangat kita untuk kemudian kembali mengerjakan berbagai hal lainnya. Namun, kita perlu ingat bahwa bukan hanya orang lain yang bisa menghargai diri kita. Kita pun bisa, bahkan perlu melakukannya, salah satunya dengan memberi self reward.

Self reward adalah bentuk penghargaan kepada diri sendiri atas usaha yang dilakukan dan ini wajar dilakukan. Bukan berarti dalam melakukannya kita jadi berlebihan memanjakan diri sampai lupa batasan kemampuan finansial dan melupakan tanggung jawab di depan. Kita perlu melakukan ini sewajarnya, yang terpenting adalah tujuan utamanya tercapai: Menyegarkan pikiran kembali supaya tidak stres.

Banyak orang berpikir bahwa melakukan self reward itu sama dengan berfoya-foya sepuas hati. Padahal, self reward yang baik tidak mesti boros, lho. Nah, berikut ini beberapa contoh self reward murah meriah yang bisa kamu pilih.

1. Bermain Game

Jika kamu sudah merasa lelah dan penat dengan kerjaan, kamu bisa menghadiahi diri sendiri dengan memainkan game kesukaan kamu.

Sekarang ini, bermain game tidak perlu memakai console atau lewat PC. Kamu tinggal nyalakan smartphone dan kamu bisa langsung bermain game.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Main game bisa membuat kamu jadi lebih santai dan bisa melupakan pekerjaanmu sejenak. Selain itu, menurut WebMD, teryata bermain game bisa membuat otak kita tetap aktif untuk berpikir, melatih fokus, dan menganalisis dengan cepat.

Alhasil, kamu bisa menjadi lebih fokus serta produktif dalam bekerja nantinya. Namun, kamu tetap perlu ingat batasan waktu dalam bermain game, ya. Untuk game yang berbayar, jangan sampai kamu “kalap” mengeluarkan uang untuk mendapat berbagai fitur premium dalam game kesukaanmu. Selain itu, kamu juga perlu menghindari bela-belain begadang main game semalaman, sehingga besoknya malah jadi sangat lelah untuk lanjut bekerja.

2. Mengambil Cuti

Banyak orang bilang kalau cuti itu bagusnya dipakai buat liburan ke tempat jauh saja. Namun, sebenarnya, kita bisa mengambil cuti dan mengisinya dengan bersantai di rumah. 

Sebisa mungkin kamu jangan memikirkan pekerjaan selama cuti. Jangan lupa matikan laptop dan notifikasi handphone yang berhubungan dengan pekerjaan. Kamu bisa memilih melakukan hal yang kamu senangi selama berlibur di rumah, misalnya melakukan hobi yang sempat lama terabaikan karena terlalu sibuk bekerja.

3. Tidur Siang Salah Satu Contoh Self Reward yang Murah

Meski terkesan remeh, tidur siang bisa menjadi opsi self reward yang baik untuk kamu ambil, lho. Selain bisa mengembalikan energi yang sudah terkuras setelah bekerja, tidur siang juga mampu mengembalikan semangat kerjamu, bahkan bila kamu melakukannya selama 15-30 menit saja. Dalam artikel VeryWell Mind dikatakan, tidur siang selama 20 menit bisa membuat tubuh dan pikiranmu lebih segar dibanding meminum secangkir kopi.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Sementara, menurut Psychology Today, tidur siang di sela-sela bekerja membawa berbagai dampak positif buat kamu. Di antaranya:

  • menurunkan stres
  • meningkatkan kreativitas dan memancing cara berpikir baru
  • meningkatkan performa dalam bekerja
  • menaikkan konsentrasi kerja
  • meningkatkan daya ingat
  • menjaga kesehatan tubuh

4. Ngobrol dengan Orang Rumah

Apakah selama work from home (WFH) kamu jadi jarang ngobrol dengan orang rumah? Coba kamu tinggalkan laptop sejenak, lalu keluar dari kamar hanya untuk ngobrol sebentar dengan orang-orang di rumah atau kos kamu. Mungkin selama ini mereka juga mau mengajak ngobrol kamu, tetapi karena kamu terlihat sibuk, mereka jadi mengurungkan niatnya.

Dengan mengobrol, kita bisa lepas sebentar dari rutinitas harian dan mengejar kabar terbaru terkait kehidupan orang-orang sekitar kita. Hal ini baik untukmu, tak hanya sebagai penyegar pikiran, tetapi juga untuk menjaga relasimu dengan mereka.

5. Bermain dengan Hewan Piaraan

Kalau kamu di rumah punya peliharaan seperti anjing atau kucing, ajaklah mereka bermain sejenak.

Bermain dengan hewan peliharaan dapat membantu menaikkan hormon bahagia dan mengurangi stres. Menurut Help Guide, bermain dengan hewan peliharaan bisa menurunkan tekanan darah saat kamu sedang stres.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Kalau kamu tidak punya hewan peliharaan, kamu bisa mencoba menonton di YouTube video-video binatang dengan tingkah laku mereka yang lucu. Menurut NBC News, menonton video hewan peliharaan seperti kucing sangat bermanfaat buat kesehatan mental kamu, loh.

6. Keluar Rumah dapat Jadi Self Reward Kamu Saat WFH

Selama WFH ini, coba deh kamu hitung berapa kali kamu keluar rumah untuk sekadar mencari udara segar?

Jika cuaca sedang cerah, kamu bisa keluar kamar atau rumah untuk mencari udara segar dan merilekskan pikiran. Boleh juga kamu manfaatkan waktu tersebut untuk berolahraga ringan seperti jogging keliling kompleks sambil mengajak hewan peliharaan kamu jalan-jalan.

Baca Juga: Kerja Jarak Jauh Kian Populer, Tapi Potensi Stres Saat Melakukannya Juga Besar

Jalan kaki atau jogging bisa jadi pilihan self reward tanpa perlu mengeluarkan biaya, dan ini bisa membantu meningkatkan mood kamu. Manfaat lainnya, tubuh kamu tentu saja menjadi lebih sehat dan ototmu tak begitu kaku lagi setelah berjam-jam duduk di depan laptop.

7. Nonton Serial Favorit Menjadi Pilihan Self Reward yang Baik

Setelah menyelesaikan pekerjaan, menyediakan waktu sebentar untuk nonton drama Korea atau film favorit tentu tidak ada salahnya. Carilah tontonan yang genre-nya ringan buat menyegarkan pikiranmu.

Dengan menonton serial favorit, kita bisa “menghilang” sejenak dari rutinitas kantor yang membuat kita jenuh. Namun, sama seperti bermain game, kamu tetap perlu ingat ya, untuk tidak kebablasan binge watching sampai lupa makan, mandi, atau bersiap-siap untuk bekerja esok harinya.  

Ada banyak cara buat memberikan self reward yang baik atas kerja kerasmu, termasuk dengan hal-hal simpel tadi yang bisa membahagiakan dirimu sendiri tanpa mengeluarkan biaya mahal.

Read More

Yang Tak Dibicarakan dari Kultur Kekeluargaan di Kantor

Seorang pekerja di perusahaan startup mengaku orang-orang di jajaran atas kantornya sering mengingatkan pentingnya melayani konsumen sepanjang waktu, sekalipun tugas tersebut tidak tertera dalam deskripsi pekerjaan yang dilamarnya. Namun, hal itu tetap saja rela dia lakukan atas dasar pemikiran bekerja dengan orang-orang di kantornya perlu dianggap sebagai kerja untuk “keluarga” yang mendukung satu sama lain.

Kepada Cosmopolitan, ia menceritakan aktivitas di luar pekerjaan yang dilakukan bersama rekan kerjanya. Mulai dari mempelajari kebiasaan dan ketakutan mereka, menghadiri pernikahan, makan bersama, hingga membantu istri bosnya mengatur acara ulang tahun.

Awalnya, ia menganggap atasannya suportif. Namun, ketika ia tidak diizinkan mengundurkan diri, ia menyadari relasi mereka bukan sebagai keluarga.

Untuk memperjelas, prinsip kekeluargaan di kantor berbeda dengan menjalin pertemanan dekat bersama teman sekantor atau hubungan yang dilandaskan kepercayaan. Ini lebih kepada sebuah konsep yang digunakan pemimpin perusahaan untuk menjaga loyalitas pekerjanya, dan mempertahankan mereka sebagai sumber daya.

Selain itu, terdapat berbagai aspek dalam kultur kekeluargaan di perusahaan, seperti empati, kepedulian, rasa hormat, dan sense of belonging. Kultur tersebut juga memiliki manfaat psikologis sebagaimana ditemukan dalam riset oleh akademisi asal Norwegia, Rudi Kirkhaug bertajuk “Charisma or Group Belonging as Antecedents of Employee Work Effort?” (2010). Misalnya, membangun pertemanan dan memenuhi kebutuhan untuk memiliki dalam suatu lingkungan.

Sebetulnya, tidak ada salahnya menjalin keakraban dengan teman kantor dan menyukai pekerjaan yang dilakukan. Namun, budaya kekeluargaan yang mengikat pekerja bisa lebih membebani dirinya dibandingkan kepuasan secara psikologis. 

Baca Juga:Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Apa saja sisi buruk penerapan prinsip kekeluargaan di kantor? Berikut kami rangkum beberapa di antaranya.

1. Kaburnya Batasan Kehidupan Personal dan Profesional

Selain menjadi tempat untuk memperoleh penghasilan, lingkungan kerja bisa menjadi tempat para pekerja mendapatkan dukungan dari koleganya, saling peduli satu sama lain, dan memiliki hubungan menyenangkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan dari sini. 

Ketika perusahaan menerapkan prinsip kekeluargaan di kantor, pekerja akan mempertimbangkan keterbukaan terhadap kolega maupun atasannya. Kehidupan pribadi yang sebenarnya menjadi pilihan untuk tidak diketahui, justru diungkapkan sebagai salah satu cara bersosialisasi, meskipun mereka tidak ingin menjalin hubungan lebih dalam di luar urusan pekerjaan.

Studi “Organizational Family Culture: Theoretical Concept Definition, Dimensions and Implication to Business Organizations” (2018) oleh Onyebuchi Obiekwe menyebutkan, bisnis yang menggunakan metafora kekeluargaan memperlakukan pekerjanya bukan sebagai kolega, melainkan kakak dan adik.

Obiekwe menjelaskan metafora itu menciptakan budaya positif yang memotivasi dan meningkatkan moral, pun dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam perusahaan.

Namun, sisi emosional pekerjanya bisa saja dikorbankan karena ia terikat dengan perusahaan. Dikhawatirkan, pekerja merasa harus memberikan informasi apa pun yang diminta atasannya, lantaran relasi mereka seperti orang tua dan anak.

Di dalam perusahaan yang menggunakan kultur kekeluargaan, seluruh aspek pekerjaan diperlakukan dan terasa personal. Karena disamakan dengan hubungan keluarga, ikatan yang terbentuk dirasa tidak memiliki batasan.

Baca Juga:5 Cara Keluar dari ‘Likeability Trap’ Bagi Pekerja Perempuan

2. Keengganan Melaporkan Sesuatu yang Tak Beres

Karena relasi antara pekerja dan atasan bisa dianggap layaknya anak dan orang tua, akan muncul kecenderungan relasi hierarkis: Atasan yang mengambil keputusan sedangkan anak mengikuti perintah. Otomatis, pekerja tidak dapat membela diri sendiri maupun keluar dari zona tersebut, dan relasi cenderung bersifat satu arah dari atasan ke mereka.

Dilansir Harvard Business Review, adanya kekuasaan di perusahaan juga membuat pekerja sulit melaporkan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan rekan kerjanya. Ini disebabkan mereka mengkhawatirkan hukuman yang diterima pelaku, dan berharap dapat menarik pengaduannya.

Pun berdasarkan National Business Ethics Survey pada 2019, 45 persen orang di seluruh dunia pernah menyaksikan pelanggaran di tempat kerjanya, tetapi sepertiga di antaranya tidak melakukan tindakan. Mereka merasa bersalah seolah melaporkan anggota keluarganya sendiri dan tidak dapat melindungi.

Baca Juga:4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya

3. Menciptakan Loyalitas Berlebihan

Setelah mengetahui berbagai aspek pribadi pekerjanya, atasan cenderung mengharapkan pekerja memprioritaskan kewajibannya dan loyal pada perusahaan. Loyalitas yang diharapkan ini dapat berujung pada jam kerja lebih panjang, pekerja melakukan pekerjaan yang tidak terdapat dalam deskripsi pekerjaannya, sementara ia menerima penghasilan tidak sepadan.

Dalam The Character of a Corporation (1998) oleh Rob Goffee dan Gareth Jones dijelaskan, di perusahaan yang melanggengkan budaya kekeluargaan, pekerjanya berinisiatif tinggi untuk membantu rekan kerjanya. Bahkan, secara sukarela menolong sebelum diminta hingga mengesampingkan kepentingannya sendiri. 

Tentu atasan menyukai karakter pekerja demikian. Namun, di balik kultur kekeluargaan tersebut, pekerja dieksploitasi demi memajukan perusahaan, meskipun di sisi lain loyalitas diberikan untuk mempertahankan posisi mereka.

Mungkin dapat dikatakan pantas apabila pekerja menerima haknya dengan setimpal. Sayangnya, dalam realitasnya tak selalu demikian dan tidak sedikit dari mereka yang mengajukan komplain, tetapi diabaikan. Alasannya, menurut mereka di dalam keluarga tidak ada permintaan kenaikan gaji atau waktu kerja fleksibel. 

Bagaimana Mewujudkan Kultur Perusahaan yang Positif?

Untuk menavigasikan budaya tersebut, menurut penulis dan work advice columnist Alison Green, hal terpenting yang perlu dilakukan untuk mengubah kultur ini ialah tidak menginternalisasi prinsip kekeluargaan di kantor, meskipun perusahaan menerapkannya.

“Sebagai pekerja, kita perlu memastikan diri sendiri untuk memperjelas bahwa perusahaan ini perkara bisnis, bukan keluarga. Tidak perlu mempertimbangkan yang dikatakan atasan,” tuturnya kepada The New York Times.

Hal tersebut akan membantu pekerja memisahkan relasi pribadi dan profesional, sehingga mereka dapat belajar memprioritaskan diri dan mengatakan “tidak” apabila atasan menuntut pekerjaan yang dinilai berlebihan. Green menambahkan, apabila tindakan ini dilihat oleh kolega, mereka dapat menirunya dan secara tidak langsung telah menciptakan pengaruh baik di lingkungan kerja.

Selain itu, lingkungan kerja perlu dilakukan seperti sebuah tim. Artinya, pekerja dapat dikeluarkan apabila kinerjanya tidak cukup baik. Mungkin kedengarannya kejam, tetapi tindakan itu menegaskan batasan yang sehat di perusahaan. 

Dan tidak dimungkiri, baik perusahaan maupun pekerja saling membutuhkan satu sama lain. Maka itu, apabila salah satu pihak tidak memperoleh yang dibutuhkan, mereka dapat mencarinya dari pihak lain.

John Feldmann, seorang spesialis komunikasi di sebuah perusahaan di AS menjelaskan, perusahaan perlu menekankan work-life balance kepada pekerjanya. Ia menyarankan, sebaiknya atasan menyadari bahwa peran bawahannya hanya bekerja, membutuhkan istirahat, dan memiliki kehidupannya sendiri.

Sependapat dengan Feldmann, Green menuturkan hal serupa, “Perlakukan pekerjaan layaknya pekerjaan. Lagi pula, keberadaan kita di sana karena dibayar untuk bekerja, bukan kepentingan lain.”

Pun sebenarnya tidak perlu memiliki relasi mendalam yang mengikat dengan atasan dan rekan kerja. Pasalnya, ini bisa membuat pekerja sulit menarik diri dari pekerjaan ketika seharusnya ia dapat menikmati waktu senggangnya untuk kepentingan personalnya.

Read More
perasaan languishing

Perasaan Languishing yang Banyak Terjadi Karena WFH

Selama pembatasan kegiatan luar rumah dalam masa pandemi Covid-19 diberlakukan, pernah enggak kamu merasa jenuh dan tidak semangat melakukan apa pun? Perasaan yang sedang kamu alami ini mungkin saja termasuk languishing.

Istilah ini sebetulnya bukan istilah mendis. Languishing merupakan istilah populer dalam psikologi untuk menggambarkan beberapa emosi negatif yang mungkin kamu alami dan masih susah untuk kamu jelaskan.

Berikut ini beberapa hal tentang languishing yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber yang perlu kamu ketahui. 

Apa Itu Perasaan Languishing?

Dikutip dari Jstor, istilah languishing pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Corey Keyes sebagai antitesis dari flourishing (berkembang). Hal ini sering dideskripsikan sebagai perasaan cemas, tidak tenang, jenuh bekerja, dan hal-hal yang umumnya membuat kita tak bahagia.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Perlu dicatat bahwa languishing tidak sama dengan gangguan kecemasan atau depresi. Languishing lebih merujuk kepada rangkaian emosi, bukan termasuk penyakit mental. Akan tetapi, mereka yang pernah mengalami depresi atau gangguan kecemasan akan lebih gampang terserang languishing.

Gejala yang Muncul Jika Kamu Mengalami Languishing

Gejala languishing yang dialami akan berbeda-beda pada tiap orang. Ada orang yang merasa kalau ia susah untu fokus pada pekerjaan dan perlu waktu agak lama untuk menyelesaikannya. Sementara, ada juga orang yang merasa tidak semangat dalam melakukan pekerjaan apa pun.

Perasaan languishing ini dapat memengaruhi emosi, cara kamu membuat keputusan, dan  kepada diri sendiri dan orang lain di lingkunganmu.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Berikut ini beberapa gejala yang muncul bila seseorang terkena languishing.

  • Gelisah, namun tidak sampai cemas dan gugup
  • Merasa tidak punya semangat dalam melakukan berbagai hal
  • Tidak merasa sedih, namun tidak juga merasa bahagia
  • Merasa kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan butuh waktu lebih banyak untuk menyelesaikannya
  • Merasa asing dengan kehidupan, kegiatan, serta lingkungan sekitarnya
  • Kehilangan hasrat pada hobi serta passion
  • Merasa hidup membosankan dan tidak jarang merasa kehilangan tujuan hidup
  • Merasa sangat lelah dan enggak tertarik pada hal apa pun

Cara Mengatasi Perasaan Languishing

Kalau kamu biarkan perasaan languishing terus berlanjut, tentu nantinya hal itu bisa menggangu produktivitas kerjamu sehingga ini mempengaruhi karier kamu ke depannya.

Bahkan, efek yang lebih parahnya bisa mempengaruhi kesehatan mental kamu nantinya. Maka itu, kamu harus cepat-cepat deh, mengatasinya supaya tidak memburuk.

Berikut ini beberapa tips menghilangkan perasaan languishing dengan memprioritaskan diri kamu.

1. Ganti suasana kerja

Suasana kerja ternyata bisa memberikan pengaruh kepada mood kamu dalam bekerja. Buktinya, lingkungan kerja sering jadi faktor seseorang bertahan atau resign dari perusahaan.

Jika kantor kamu sekarang masih menerapkan WFH, kamu perlu memikirkan untuk memisahkan ruang kerja dengan ruangan untuk kamu beristirahat.

Kamu juga bisa mencoba suasana kerja baru, mulai dari hal simpel saja. Contohnya, kamu bisa mengganti warna dinding di ruang kerja atau menambahkan dekorasi. Bisa juga sesekali kamu pergi ke kafe untuk mencari suasana baru dalam bekerja.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

2. Ambil cuti

Merasa bosan dan susah untuk fokus pasti sangat berpengaruh pada pekerjaan kamu. Karena itu jika memungkinkan, ambillah cuti beberapa hari.

Memang, sih, beberapa orang merasa sayang buat menghabiskan cuti di masa pandemi seperti sekarang ini karena kegiatan di tempat jauh juga masih dibatasi. Namun, cuti sangat berguna untuk kesehatan mental.

Waktu cuti bisa dipakai untuk bersantai di rumah dan melakukan sesuatu hal yang tidak sempat kamu lakukan saat sedang bekerja. Perlu digarisbawahi, cuti enggak selalu harus traveling.

Esensinya, kamu bisa melupakan sejenak pekerjaan sehari-hari dan mengisinya waktunya dengan hal-hal yang kamu senangi.

Memasak, menonton tv, atau melakukan hobi yang kamu senangi bisa jadi opsi buat menyegarkan pikiran.

3. Belajar hal baru

Ternyata saat kita belajar hal baru, akan ada pengaruh positif buat otak yang muncul, sekaligus membuat kita jadi lebih fokus.

Tantangan baru bisa bikin kamu jadi lebih bersemangat. Apalagi, di masa pandemi ini banyak kursus-kursus online yang dibuka, baik yang berbayar maupun gratis.

4. Membuat jurnal mengurangi perasaan languishing

Menulis dalam jurnal atau buku harian memang bermanfaat buat kesehatan mental, termasuk untuk mengatasi perasaan languishing.

Baca Juga: 11 Akibat Buruk Terlalu Percaya Diri di Tempat Kerja

Menulis jurnal bisa menolongmu mengeluarkan emosi serta isi pikiranmu. Ini juga dapat menjadi salah satu cara untuk mencatat segala hal positif yang terjadi sehari-hari. Dengan begitu, diharapkan kamu bisa lebih berpikir positif.

5. Jangan mengasingkan diri dari lingkungan

Waktu mengalami perasaan languishing, keinginan buat menarik diri dari segala bentuk hubungan sosial sangat besar.

Namun, tetap berhubungan dengan sahabat serta keluarga dapat menjadi cara tepat untuk membantu kamu tetap merasa terhubung.

Ini juga bisa membuat kamu merasa didukung oleh mereka. Pastinya, ini sangat bagus buat kesehatan mental kamu.

6. Terapi dengan profesional

Bila kamu sudah melakukan berbagai cara, namun perasaan languishing tidak juga hilang, pergi ke terapis profesional adalah jawaban paling tepat.

Kamu bisa konsultasi ke psikolog. Mereka pasti dapat membantu kamu menggali apa yang kamu rasakan dan menemukan solusinya.

Baca Juga: Bertanya pada Bos Saat ‘Performance Review’, Kenapa Tidak?

Dikutip dari Hopkins Guide, menurut Magavi, seorang psikiater dari Johns Hopkins Medicine, menjelaskan bahwa metode cognitive behavioral therapy dalam konseling psikologi bisa membantu seseorang untuk berpikir positif.

Dalam situasi normal saja, perasaan languishing sering menyerang beberapa orang. Apalagi kalau mereka ternyata punya riwayat masalah mental.

Makanya, enggak heran di masa pandemi seperti sekarang, perasaan ini juga banyak muncul. Mengetahui bahwa kamu kamu tidak sendirian dan ada beragam solusi yang bisa diaplikasikan seperti disampaikan di atas tadi, pastinya akan memuat kamu jadi lebih baik.

Read More

Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya?

generasi kutu loncat Selama dua dekade terakhir, generasi milenial sering disorot sebagai generasi yang gemar job hopping atau berpindah tempat kerja dalam waktu singkat, berkisar satu hingga dua tahun. Karenanya, generasi tersebut dinilai tidak loyal, tidak mampu berkomitmen pada satu perusahaan, dan suka bertindak semena-mena. Generasi milenial yang dicap gemar job hopping berbanding terbalik dengan generasi baby boomers yang cenderung bekerja di satu perusahaan selama puluhan tahun. 

Meski demikian, “Melissa”, seorang social media specialist di organisasi non-pemerintah, tidak setuju jika generasinya dicap buruk akibat job hopping ini. Ia mengatakan perlu melihat situasi dari perspektif generasi milenial untuk mengetahui alasan menjadi job hopper

Perempuan berusia 25 tahun itu mengatakan, salah satu penyebabnya mencari perusahaan yang bisa membantu seseorang terus mengembangkan kemampuannya dalam bidang yang ia tekuni. Untuk Melissa perusahaan yang mampu menawarkan perkembangan keahlian dari segi dunia digital. Melissa sendiri telah bekerja di tiga perusahaan berbeda sejak kali pertama memasuki dunia kerja profesional pada 2019. 

“Jika ada kantor yang bisa provide perkembangan pengetahuan dan kemampuan saya, ya kenapa tidak? Walaupun pada akhirnya saya lelah karena harus memegang banyak hal. Tapi, mumpung saya masih usia muda, sekalian saja deh lelahnya. Biar nanti kalau sudah matang saya bisa tahu kemampuan saya di mana,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.

Namun, faktor lain yang ia tekankan berupa beban kerja yang berlebihan berujung pada eksploitasi pekerja. Melissa mencontohkannya dengan kerja media sosial, seperti membuat konten, maintenance media sosial, dan memperhatikan perilaku target perusahaan untuk marketing digital yang tidak bisa dipegang satu atau dua orang saja. Karenanya, ia menegaskan ketika responsnya untuk mengundurkan diri bukan menandakan generasi millennial lemah, tapi menolak praktik kerja yang buruk. 

“Kerja digital dan media sosial itu luas dan tidak bisa dipegang satu orang saja. Jadi mengapa saat ini banyak yang pindah karena tidak dimungkiri ada eksploitasi di mana saja,”

“Ini juga yang mungkin harus dipahami, kalau jobdesk atau tugasnya banyak dia burn out dan resign atau job hopping. (Ini) bukan tidak bertanggung jawab atau mentalnya melempem,” tandas Melissa. 

Apakah Milenial Generasi Kutu Loncat?

Dewasa ini generasi milenial menguasai sebagian besar usia produktif. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 69,38 juta orang atau 25,87 persen generasi milenial produktif. Sedangkan Generasi X sebanyak 58,65 juta pang atau 21,88 persen. Sejatinya, penduduk terbanyak diduduki oleh Generasi Z dengan 74,93 juta orang, 27,94 persen. Meski demikian, rentang usia delapan hingga 24 tahun membuat belum semua Generasi Z berada di usia produktif. 

Pakar Sumber Daya Manusia, Floribertus mengatakan di dunia kerja, generasi milenial menawarkan ide-ide kreatif, mampu menyederhanakan tugas yang dinilai sulit, dan mengerjakan sesuatu dengan semangat karena dianggap bernilai. Selain itu, sebagai generasi yang lahir dan tumbuh besar dengan perkembangan digital, keahlian teknologi yang dimilikinya pun menjadi keunggulan untuk perusahaan. 

“Dari segi teknologi (milenial) memang lebih mudah dibanding generasi sebelumnya. Tapi, itu bisa menjadi cara untuk memfasilitasi generasi sebelumnya yang gagap teknologi. Kekurangannya, cara dan gaya berkomunikasi mereka yang masih bisa dibimbing,” ujarnya pada Magdalene November lalu. 

Meski demikian, tambah Floribertus, kemudahan yang ditawarkan dunia digital membuat generasi milenial terbiasa dengan segala sesuatu yang mudah dan instan. Hal tersebut pula yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Karena hal itu juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang dinilai sulit, maka akan mencari tantangan baru atau tempat yang bisa memberikan kemudahan tersebut, ujarnya. 

Dilansir dari Liputan6, pada 2016 Faridah Lim, Country Manager JobStreet.com Indonesia mengatakan, riset yang dilakukan perusahaannya menunjukkan 65,8 persen generasi milenial dari 3.500 responden akan pindah kerja kurang dari satu tahun. 

Senada dengan itu, di tahun yang sama Jakpat, layanan survei dan riset berbasis online di Indonesia menunjukkan, ada 875 dari total 1.376 responden usia 24-45 tahun mengaku telah job hopping.Sekitar 78,51 persen di antara jumlah tersebut pernah menjadi job hopper sebanyak tiga kali. Durasi kerja di satu perusahaan sebelum akhirnya pindah ke perusahaan lain. Alasan menjadi ‘kutu loncat’ sebanyak 70,74 persen karena mencari upah lebih tinggi, 55,89 persen untuk meningkatkan karier, da 49,83 persen karena ruang kerja yang dinilai sudah tidak kondusif. 

Penelitian serupa juga dilakukan di AS. Laporan What Employees Expect in 2021 oleh Institute for Business Value (IBM) dengan 14.000 responden. Hasil risetnya menunjukkan satu dari lima pekerja berganti pekerjaan pada 2020. Pekerja yang menjadi job hopper tersebut 33 persen dari generasi z dan 25 persen generasi milenial sebanyak 25 persen. Hal yang tidak jauh berbeda juga pada 2021 dengan lebih dari satu di antara empat pekerja berencana untuk berpindah. Selain itu, 60 persen telah berganti pekerjaan pada Januari lalu. 

Senada dengan itu, lima tahun yang lalu, laporan How Millennials Want to Work and Live dari  Gallup, sebuah badan riset global, menemukan 21 persen generasi milenial di AS berganti pekerjaan tiga kali lebih atau tiga kali lebih banyak dibanding generasi non-milenial. 

Krisis ekonomi the great recession pada 2007 hingga 2009 sering disebut sebagai salah satu penyebab yang melatarbelakanginya. Sementara itu, saat ini AS juga sedang dalam masa The Great Resignation atau pengunduran diri besar-besaran karena kondisi kerja yang tidak memadai, burnout, dan situasi pandemi COVID-19. 

Meski demikian, pada 2017, Pew Research Centre meluncurkan temuan bahwa job hopping tidak hanya dilakukan generasi milenial. Pada 2016, generasi milenial kelahiran 1981 sampai 1998 rata-rata bekerja di perusahaan yang sama selama 13 bulan atau sekitar 63,4 persen. Sedangkan, sejumlah 59,9 persen generasi x dengan usia sama di tahun 2000 yang bertahan di perusahaan sama selama durasi tersebut. Berpindah tempat kerja pun tidak menjadi satu hal yang dilakukan generasi milenial, tetapi orang muda yang mencari pelbagai kesempatan kerja di tempat lain.  

Senada dengan itu, Floribertus mengatakan generasi milenial tidak bisa digeneralisir semua melakukan job hopping karena respons setiap orang akan berbeda-beda. Jika ada yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya, orang lain bisa saja mengambil pilihan berbeda.

“Jadi tidak bisa digeneralisir ada yang milenial, tapi old soul. (Dampak pada karier) juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin, (kemampuan) adaptif, dan deliverable. Jadi karier yang cepat juga bergantung pada masing-masing orang, tidak bisa digeneralisir,” ujarnya. 

Ingin Kerja dan Hidup Pribadi yang Berimbang

Job hopper kerap dinilai sebagai red flag di dunia profesional karena perpindahannya yang cepat. Dalam laporan yang sama IBM menyebutkan, alih-alih keinginan finansial yang mendorong berpindah pekerjaan, generasi milenial lebih menginginkan karier dan kehidupan pribadi yang seimbang berada di posisi tertinggi sebanyak 51 persen. Selain itu, kesempatan untuk meningkatkan karier sebanyak 43 persen, kompensasi dan keuntungan pekerjaan dengan 41 persen, dan nilai serta etika pemberi kerja dengan jumlah yang sama. 

IBM menuliskan, cara agar perusahaan secara proaktif memahami apa yang dianggap penting dalam karier pekerjanya. Selain itu membangun budaya belajar dan apresiasi atas perkembangan pekerja dan empati pada pekerja terkait kesehatan fisik, mental, dan finansial. Sementara untuk pekerja agar terus belajar, tidak berkompromi atas kesehatan dan nilai yang dimilikinya, dan mengadvokasikan keinginan kepada perusahaan untuk proses komunikasi yang transparan. 

Senada dengan hal itu, Melissa mengatakan, kantor juga perlu inklusif dengan kebijakan yang ramah perempuan agar kebutuhan pekerja terpenuhi. Selain itu, perusahaan profit maupun non-profit perlu melakukan evaluasi agar menciptakan ruang kerja tidak eksploitatif, waktu kerja berimbang, dan budaya kantor yang sehat. 

“Kantor ideal harus punya aturan tertulis dan benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang berpihak dan ramah pada perempuan dan anak,” ujarnya. 

Sementara Floribertus mengatakan, perusahaan juga perlu memahami tentang kebutuhan pekerja dan menciptakan ruang yang aman. Meski demikian, jangan sampai tujuan menciptakan ruang inklusif untuk semua orang hanya menjadi semacam janji atau lip service saja, sedangkan kantor belum bisa memfasilitasi hal itu. Selain itu, definisi inklusif masing-masing perusahaan akan berbeda dan perlu didefinisikan secara jelas dan melakukan pendekatan yang berbeda pula, seperti diskusi tentang kebutuhan dan kebijakan. 

“Namun kembali lagi apakah kebutuhan itu bisa terfasilitasi, seperti yang menerapkan keuntungan fleksibel. Kalau bicara tentang organisasi tidak hanya memikirkan kepentingan satu kelompok dan sangat bervariasi. Selain itu, butuh waktu untuk proses negosiasi yang tidak mudah. Jadi akhirnya kita yang menyesuaikan diri juga (dengan perusahaan),” ujarnya. 

Read More

Trauma Finansial Bebani Perempuan, Apa Jalan Keluarnya?

Besarnya kesenjangan gender membuat perempuan cenderung mengalami stres finansial dibandingkan laki-laki. Artinya, mereka lebih berisiko mengkhawatirkan kesejahteraan di hari tua, karena tidak memiliki uang yang cukup.

Akademisi Australia, Gary Neil Marks mencatat dalam risetnya yang bertajuk Income Poverty, Subjective Poverty and Financial Stress (2005), penyebab kekhawatiran ini memang karena pendapatan perempuan lebih rendah. Hal ini tak berlaku bagi laki-laki.

Berdasarkan riset Salary Finance, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang membantu pekerja mengembangkan kesehatan keuangan, 68 persen dari perempuan generasi milenial, tidak menabung lantaran penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup.

Melihat kondisi tersebut, Dan Macklin, CEO Salary Finance menyampaikan beberapa faktornya.

“Perempuan menerima penghasilan lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tidak diberikan akses pinjaman, memiliki dampak dari cuti hamil, dan berpotensi mengalami serangan panik akibat masalah keuangan,” tuturnya dilansir NBC News.

Karena itu, perempuan juga cenderung mengalami trauma finansial, yakni menurunnya kondisi fisik, emosional, dan kognitif akibat mengalami kerugian finansial, atau stres akut karena sumber penghasilannya tidak mencukupi.

Umumnya, seseorang mulai mempertanyakan keamanannya secara finansial, walaupun sebenarnya mereka memiliki dana yang mencukupi kebutuhan hidup dalam beberapa bulan. Penyebabnya adalah pengeluaran yang lebih besar dibandingkan pendapatan dalam jangka waktu berkepanjangan. Contoh konkretnya adalah pandemi yang memengaruhi seluruh sektor pekerjaan.

Hal ini dialami oleh Etun, 32, wiraswasta yang perusahaannya bekerja sama dengan pemerintah, termasuk dalam menyelenggarakan acara. Namun, pandemi membuat semuanya terhenti. Sampai di pertengahan, event hybrid seperti wisuda online bermunculan, meskipun nilainya tidak besar.

Awalnya, kondisi ini tidak begitu memengaruhi Etun dan suaminya, tetapi pandemi yang tak kunjung selesai, membuatnya terpaksa merumahkan sebagian karyawan, dan menggaji sisanya berdasarkan proyek.

“Dulu kami masih bisa gaji 12 karyawan pakai tabungan, tapi setengah tahun berjalan, akhirnya nyerah. Malah Mei kemarin kita shock tahu-tahu punya utang hampir dua miliar,” ceritanya pada Magdalene, (29/11). Karenanya, tidak ada harta yang tersisa selain rumah, motor, mobil, dan perhiasan.

Melansir Refinery29, trauma finansial tidak melulu terjadi setelah mengalami sebuah insiden.

Fenomena ini pun dialami people pleaser, atau seseorang yang berusaha menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Karena tak dimungkiri, sebagian orang melihat uang sebagai kekuatan, kekuasaan, jaminan hidup, dan penanda kesuksesan.

Alhasil, keberhargaan diri sering diartikan dengan jabatan pekerjaan dan jumlah uang yang dimiliki, hingga berusaha menunjukkannya ke kerabat. Misalnya mentraktir di restoran mewah atau membelikan barang bernominal tinggi.

Pada kesehatan, baik fisik maupun mental, trauma finansial berdampak pada sistem saraf, memicu stres dalam wujud sesak napas, kecemasan, kelelahan, sakit kepala, hingga hilang ingatan.

Baca Juga: Anak Muda Rentan Terjerat Utang Saat Pandemi, Ini Cara Hindarinya

Etun menceritakan, saat itu kesejahteraan hidupnya sangat terganggu. Perempuan yang juga bekerja sebagai peneliti di sebuah perguruan tinggi itu merasa energinya terkuras, tidak tenang, dan tidak terpikirkan untuk melakukan aktivitas menyenangkan.

“Bayangkan aja, saya sampai meninggalkan pekerjaan itu selama tiga bulan untuk jadi full-time mother, karena asisten rumah tangga harus diberhentikan,” ucapnya.

Sementara bagi keuangan, dampaknya berupa kurangnya penghasilan, berlebihan dalam menggunakan uang, serta menghindar dan menolak dari perbincangan finansial untuk mengurangi ketidaknyamanan.

Namun, kondisi tersebut bukan sesuatu yang tidak dapat dicegah atau ditangani. Untuk mengatasinya, berikut kami merangkum lima cara agar perempuan terlepas dari jeratan trauma finansial.

1. Kenali Emosi dan Perasaan

Langkah awal adalah mengenali emosi dan perasaan, penyebab seseorang mengalami stres dan trauma atas peristiwa yang terjadi. Ini karena ia perlu memahami cara pandangnya dan bagaimana selama ini ia memperlakukan uang, apakah derajatnya dilihat berdasarkan status sosial dan kekayaan, atau alat pembayaran ini bukan tolok ukur harga diri.

Pun stres berpengaruh pada kesehatan tubuh dan cara berperilaku. Oleh sebab itu, Chantel Chapman, peneliti trauma finansial, pendidik, dan Co-Founder The Trauma Money Method, mengatakan, hal-hal yang terjadi pada tubuh juga perlu diperhatikan agar seseorang dapat meregulasi sistem saraf.

“Napas perlahan, sadari lingkungan sekitar dengan kelima panca indera; apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan,” ujarnya kepada Refinery29. Setelah itu, barulah seseorang mampu mengevaluasi pola pikir dan relasinya dengan uang. 

Kemudian, ia menyalurkan perasaannya di dalam jurnal dan menemukan ada banyak hal yang ingin disampaikan. Berdasarkan pengalamannya, kini Chapman menganggap uang sebagai bagian kecil dalam hidupnya, dan tidak mendefinisikan keberhargaannya.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan di Industri Jasa Keuangan

2. Belajar Mengontrol Pikiran

Saat mengalami trauma finansial, seseorang cenderung khawatir dan fokus terhadap materi yang tidak dimiliki, sehingga menimbulkan rasa takut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Untuk mengatasinya, diperlukan abundance thinking atau cara berpikir yang melihat adanya sumber daya dan potensi bagi setiap orang, agar dapat menemukan peluang dalam kesulitan dan hambatan, serta mengubahnya menjadi kreativitas.

Menurut Psychology Today, langkah awal mengontrol pikiran adalah menyadarinya berpotensi untuk mengelabui atau mempertanyakan hal-hal yang dipikirkan. Dengan demikian, ketenangan bisa didapatkan dan mulai berpikir rasional. Pun ini salah satu cara memulai mindfulness, atau memusatkan perhatian pada situasi saat ini.

Sementara, Ted DesMaisons, penulis dan mindfulness teacher di Stanford University’s Continuing Studies Program AS mengatakan, pikiran kita berdampak pada tubuh, sehingga kesadaran merupakan kunci untuk memberdayakan diri. Itulah sebabnya melatih mindfulness dapat mengubah regulasi emosi dan pengambilan perspektif.

Karena stres menyita pikiran dan membuat lelah, terdapat beberapa aktivitas yang dapat dilakukan agar lebih rileks, seperti olahraga selama 30 menit, meditasi, mengobrol dengan orang lain, atau aktivitas apa pun yang menyenangkan.

3. Cari Dukungan dari Teman atau Profesional

Bukan hanya sebagai teman berbagi, membuka diri kepada orang-orang di sekitar mampu memperluas perspektif dan bersikap optimis, bahwa setiap orang memiliki masanya dalam menghadapi kesulitan finansial.

Apalagi, memiliki dukungan sosial mampu mengubah reaksi seseorang terhadap stres yang disebabkan trauma finansial. Selain itu, pengalaman dan cara mereka mengatasinya dapat dijadikan pembelajaran.

Linda Gallo, ilmuwan dan akademisi di San Diego State University, AS menjelaskan kepada American Psychological Association, “Secara keseluruhan, dukungan sosial penting untuk mengatasi stres, sekaligus menjaga kesehatan dan kesejahteraan.”

Karena itu, Etun dan suaminya mencoba rekonsiliasi dengan berdiskusi untuk mencari jalan keluar, mengingat sebelumnya mereka cenderung emosional dan berargumentasi dengan kuat dalam menghadapi permasalahannya.

Namun, bantuan profesional dapat menjadi opsi lainnya apabila stres dan kepanikan sudah mendominasi pikiran dan kesehatan mental.

Baca Juga: ‘Squid Game’: Mereka yang Bertaruh Nyawa demi Cuan

4. Cari Sumber Pendapatan Baru dan Rencanakan Masa Depan

Ketika seseorang berada dalam kondisi trauma finansial, mereka akan mengupayakan cara bertahan hidup dan melihat jangka panjang, seperti mencari sumber pendapatan baru. Cara ini dilakukan oleh Etun dan suaminya, dengan investasi crypto pada Agustus lalu.

“Kita mulai dengan modal Rp20 juta, itu cukup untuk bertahan sehari-hari dan ambil keuntungan Rp2 juta per bulan. Tapi kan masih ada kewajiban besar untuk bayar utang, akhirnya sertifikat rumah digadaikan, motor dan mobil juga ditarik sama pihak yang kita utangi,” katanya. Pada akhirnya, di pertengahan September, utang tersebut telah dilunaskan dan asetnya dapat dikembalikan, sehingga kini kondisi finansialnya jauh lebih baik.

Namun sebelumnya, susun daftar kesulitan finansial yang paling mencemaskan, rencana anggaran belanja, serta langkah-langkah yang bisa menghasilkan stabilitas keuangan. Pun saat ini Etun tengah riset dan mengupayakan bisnis yang bertahan, meskipun terdapat kejadian besar seperti pandemi.

Apabila tetap tidak mampu membayar tagihan, Verywell Mind menyarankan menghubungi bank atau perusahaan kartu kredit, untuk menjelaskan kondisi finansial agar mereka mengatur rencana pembayaran sesuai kemampuan.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah membuat rencana keuangan dan menabung untuk masa pensiun, sekalipun jumlahnya kecil. Tidak hanya mempersiapkan kebutuhan hidup, melansir Forbes, menabung juga memberikan harapan akan berhasil melalui kesulitan finansial sekaligus mempersiapkan diri apabila tidak ada penghasilan yang diperoleh.

Pun mengetahui keinginan dan menyadari kondisi finansialnya membuat trauma finansial lebih mudah diatasi.

Read More