tips produktif selama wfh

Hybrid Working Post-COVID: How We Can Optimise Our Time in the Office?

During the pandemic, around 100 million people in Europe switched to working from home – nearly half of them for the first time. This shift was rapid, with employees quickly noticing the benefits of remote work. These can include freedom from commuting, more time for personal wellbeing and increased productivity.

As we move on from pandemic restrictions, we’ve seen a strong, global demand for more flexible forms of working, particularly to retain an element of remote work. While some employees want to work from home permanently, most want what’s coming to be regarded as the best of both worlds: Hybrid working. Only a minority of workers now want to return to the office full time.

One group which may be particularly keen on hybrid working is young professionals. And for this group, time spent in the office could be especially valuable.

Also Read: In a Lockdown, Where Does Work End and Parenting Begin?

Young People and Remote Work

Surveys undertaken during the pandemic indicated that generation Z (those born after 1996) were more likely to say that they were struggling with work-life balance and post-work exhaustion than older generations.

There are several possible reasons for this. Younger people may find it more difficult to establish a good homeworking set up, depending on their living arrangements. Those early in their careers may have smaller professional networks, leading to greater isolation. Or they may simply have less experience managing the boundaries between work and life outside of work, which can be made more difficult when there’s no physical office to leave at the end of the day.

Despite this, emerging evidence suggests that younger workers want remote and flexible work rather than a return to the office full time. Surveys vary, but generally indicate that around two-thirds of members of generation Z working in office jobs want a hybrid working pattern in the future – and they’re prepared to move employers to find it.

According to a recent survey by management consulting company McKinsey, employees aged 18–34 were 59 percent more likely to say they would quit their current role to move to a job with flexible working compared with older employees aged 55–64.

It’s Worth Going into the Office Sometimes

Remote and hybrid working can bring many benefits. For employees, remote work provides the opportunity to reallocate costly and sometimes stressful commuting time into activities that support work-life balance and health. Indeed, more than three-quarters of hybrid and remote workers report improved work-life balance compared with when they worked in an office full time.

Meanwhile, hybrid work provides autonomy and choice for employees. They can combine time at home for focused and independent work with time in the office for collaboration and connection. A hybrid working model can be good for productivity, inclusion, and motivation.

However, the belief that work is best done in an office environment is pervasive – and young people in particular are thought to need to go into the office to build professional networks and to learn.

There could be some truth to the idea that young people early in their careers uniquely benefit from going into the office. Research conducted prior to the pandemic has associated being out of sight while working remotely with also being out of mind. Notably, people who work exclusively at home are less likely to receive promotions and bonuses.

Conversely, being with colleagues in person has been associated with greater career advancement. In part, this is probably because being physically present in the office appears to signal commitment to the organisation.

Can hybrid work address the risks of fully remote work and preserve the rewards associated with face-to-face interactions in the office? Only time will tell.

Also Read: Working Does Not Make You a Lesser Mom

Finding the Right Balance

Before 2020, remote work was still relatively rare. Hybrid working at scale is a new concept.

But throughout the pandemic, perceptions about working from home have improved globally. The latest UK data suggests nearly one-quarter of working adults are now hybrid. So in the future, we’ll need to understand more about the impact of remote work both on organisations and the people who undertake it.

The challenge for younger employees is to identify an effective working pattern that suits both them and their organisation – and supports their career goals. As tempting as it may be to ditch the commute as often as possible, younger employees may instead wish to consider a more strategic approach.

When in the office, they should focus on personal visibility, and building and maintaining relationships with colleagues and managers. Networking and learning must be the focus of working in-person, and wherever possible, online meetings or independent work should be saved for remote working time.

Combine this with good wellbeing practices when working from home, especially around switching off from work, and hybrid might just deliver on its promises of better work for everyone – young and not so young alike.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Gemma Dale is Lecturer, Faculty of Business and Law, Liverpool John Moores University.

Read More
teman kerja resign

Merasa Kehilangan Saat Teman Kerja Resign, Apa yang Bisa Dilakukan?

“Han, gue ada kabar buruk yang mau disampaikan. Gue sudah ngirim surat resign. Bulan depan gue terakhir di sini.” 

Di saat kami sedang beristirahat setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota, kata-kata itu tiba-tiba diucapkan oleh teman kerja sekaligus teman serumah saya. Rasa lelah yang saya rasakan langsung terganti perasaan kaget karena mendengar hal itu. Sebetulnya, saya sudah tahu bahwa dia ada rencana untuk resign dan ingin fokus pada penyembuhan diri karena selama ini ia sedang berjibaku dengan depresi, tapi tetap saja, I did not see it coming this fast

Meski sudah dari lama mengantisipasi saat teman saya ini benar-benar resign, perasaan kehilangan itu cukup membuat saya terpukul. Di kantor mungkin kami hanya sebatas rekan kerja, tapi di luar itu kami dan teman-teman yang lain sering menghabiskan waktu bersama. Rasanya aneh ketika nanti berkumpul tak ada kehadirannya. 

Sebetulnya, rasa kehilangan seperti ini bukan pertama kali saya rasakan. Setahun lalu, managing editor saya juga memutuskan untuk tak lagi terlibat di redaksi. Beberapa bulan setelahnya, disusul editor lain yang juga ikut hengkang. Tak mudah bagi saya untuk overcome kepergian mereka, mengingat keduanya adalah teman diskusi dan editor pertama saya semenjak memutuskan terjun ke dunia jurnalistik.

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Walaupun saya tahu, keputusan itu merupakan jalan terbaik yang sudah mereka pilih, pada akhirnya saya hanya bisa memberi dukungan. Akan tetapi, selayaknya menghadapi proses patah hati dengan pasangan, rasa kehilangan juga sangat mungkin dirasakan saat teman kerja kita resign. Di minggu pertama kepergian mereka misalnya, saya merasa hampa, gelisah, dan tidak nyaman. Hal serupa juga dirasakan teman kerja lain. Dia bahkan menyuruh saya bertanya pada editor sebelumnya, apakah tidak mau balik lagi saja ke redaksi. Saya bisa paham, karena memang proses beradaptasi dengan orang baru itu sangat melelahkan, apalagi jika kita sudah nyaman dengan orang lama. 

Psikolog organisasi asal New York, Amerika Serikat, Dr. Orbe-Austin, mengatakan bahwa perasaan kehilangan itu merupakan hal wajar karena kita sudah melewati banyak keseharian dengan rekan kerja. 

“Kita membagikan momen-momen sedih, kecewa, dan menggembirakan dengan rekan kerja. Ada semacam koneksi, support dan hubungan sosial yang terjalin,” ujarnya kepada The New York Times.

Meski merupakan perasaan yang wajar, kebanyakan orang masih sering kali enggan mengekspresikannya karena menganggap hal itu hanya bagian dinamika pekerjaan. Padahal, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rasa kehilangan bisa memengaruhi kinerja kita dan produktivitas. Tak jarang, kehilangan rekan kerja juga bisa membuat pekerja lain punya keinginan untuk resign

Dr. Brandon Koh dalam tulisannya Colleagues Who Resign Create an Emotional Hole in the Teams They Leave Behind juga mengatakan bahwa selain bisa berpengaruh secara psikologi, kehilangan rekan kerja bisa mempengaruhi cara kerja tim. Apalagi, jika penggantinya ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Lingkungan kerja dan teman kerja sekarang ini jadi salah satu aspek penting yang jadi pertimbangan pekerja bisa bertahan di suatu perusahaan. 

“Mereka yang ditinggalkan akan mulai berpikir bahwa tempat kerja yang dulu nyaman kini tak lagi sama,” tulis psikologi industri-organisasi dan dosen Singapore University of Social Sciences itu, seperti dikutip dari Channel News Asia.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menghadapi Rasa Kehilangan Teman Kerja yang Resign?

Hal pertama, yang penting dilakukan adalah meregulasi emosi yang dirasakan. Daripada menginvalidasi perasaan sedih dan kehilangan karena cuma tidak mau dianggap “lebay”.

Pahami bahwa apa pun yang dirasakan itu valid. Dalam tulisannya, Koh juga menyarankan untuk membicarakan apa yang kita rasakan ke sesama rekan kerja lain. Namun tentunya, kita juga harus memikirkan apakah orang yang nanti diajak bicara juga punya kesiapan mental yang sama dalam merespons hal ini. 

Selain membicarakan secara terbuka apa yang kamu rasakan, berikut ini beberapa hal lain yang juga kamu bisa lakukan: 

1. Menjaga relasi dengan rekan kerja meski sudah tidak satu kantor

Ketika mengungkapkan kesedihan setelah teman kerja saya mengabarkan resign, dia menegaskan bahwa kepergiannya dari perusahaan tak lantas membuat hubungan pertemanan kami kandas. Ia masih mau ikut berkumpul saat saya dan teman-teman lain makan bersama selepas kerja, atau sekadar nongkrong untuk melepas penat. 

Meski mungkin, ini tidak semudah yang dibayangkan karena pasti nantinya kita akan punya kesibukan masing-masing. Namun, penting untuk memahami bahwa di luar pekerjaan, kita tetap teman. Kita bisa mulai dengan menjaga relasi baik walau di keseharian sudah tak ada hubungan kerja.

2. Mungkin rekan kerjamu hanya butuh dukungan

Kamu mungkin merasa sedih kehilangan rekan kerja karena tidak akan menemuinya lagi di kantor, tapi jangan lupa bahwa hal yang ia butuhkan adalah dukungan. Apalagi, jika alasan rekan kerjamu hengkang karena masalah kesehatan mental. 

Keputusannya pergi bisa jadi sudah dipikirkan matang dengan segala konsekuensinya. Pada akhirnya, kita hanya bisa mendukung mereka. 

Baca juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor

3. Merefleksikan kembali posisi dan pekerjaan

Kepergian rekan kerja sering kali membuat kita berpikir tentang posisi dan pekerjaan yang sedang kita jalani. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan hal itu. Kepergian dan kedatangan memang membuat kita berpikir bahwa kita tidak akan selamanya bekerja di tempat kerja sekarang. 

Memetakan karier, posisi, dan value dalam diri penting agar kamu tahu apa yang akan dilakukan ke depannya. 

4. Bicarakan dengan atasan

Proses resign seseorang biasanya diikuti dengan obrolan dan evaluasi dengan atasan. Orang yang akan pergi memberikan masukan agar perusahaan punya kebijakan yang lebih baik untuk pekerjanya.

Namun, selain orang yang resign, sebetulnya penting juga untuk kita terbuka pada atasan tentang apa yang dirasa setelah rekan kerja pergi. Tujuannya, untuk evaluasi tempat kerja yang sekarang, karena bukan tidak mungkin, kepergian mereka dipengaruhi faktor lingkungan kerja yang tidak suportif atau mungkin karena politik kantor. 

5. Proses adaptasi yang harus pelan-pelan dijalani

Sama halnya dengan proses orang untuk move on, kita pasti harus melalui pendekatan dengan orang baru. The truth is, fase ini tidaklah mudah untuk dijalani, apalagi jika kasusnya ternyata orang baru ini sangat berbeda dengan rekan kerja sebelumnya. Kita mungkin akan membandingkan bagaimana kenyamanan antara rekan kerja sekarang dengan sebelumnya. Hal itu berpotensi membuat kita semakin mengingat rekan kerja yang dulu. 

Daripada begitu, lebih baik kita melakukan penyesuaian pelan-pelan. Jangan bebankan ekspektasi yang sama terhadap orang baru, karena cara orang mengatasi pekerjaan itu berbeda-beda.

Read More
Startup bubble di Indonesia

Apa Itu Startup Bubble dan Mengapa Startup Melakukan PHK Besar-besaran?

Fenomena startup bubble belum lama ini sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, sejumlah startup  terkenal di Indonesia melakukan PHK massal karyawannya. Gelombang PHK massal yang melanda startup di Indonesia, dikutip bisnis.tempo.co, ternyata salah satunya disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Kabar pengurangan karyawan startup tersebut mulanya datang dari platform edutech Zenius, disusul platform fintech pembayaran LinkAja, dan terbaru adalah platform e-commerce JD.ID.

Beberapa startup yang baru saja memperoleh kucuran dana besar pun tidak selamat dari fenomena ini. Contohnya, Gojek yang mendapatkan suntikan dana sebesar Rp20 triliun pada Maret 2020, harus melakukan PHK sebanyak 430 orang, tiga bulan kemudian.

Lantas apa itu startup bubble?

Pengertian Startup Bubble

Istilah startup bubble berasal dari istilah ekonomi bubble burst. Dikutip dari investopedia.com, bubble burst adalah siklus dalam ekonomi di mana harga, baik itu produk atau aset, naik dengan sangat cepat dalam waktu singkat yang kemudian kembali turun dengan cepat pula.

Penurunan harga ini, yang biasa disebut kontraksi, merupakan sebuah keadaan ketika “burst” atau “crash” terjadi. Ledakan gelembung ini lalu disebut “bubble burst”.

Baca Juga: 7 Amunisi Sebelum Kamu Dievaluasi Rutin oleh Atasan

Umumnya, kenaikan harga yang sangat ekstrem tersebut disebabkan oleh perubahan perilaku dari para investor. Namun, dalam situasi ini performa perusahaan atau startup pun dapat menjadi pemicu utama terjadinya bubble burst.

Biarpun begitu, menurut katadata.co.id, kejadian bubble burst baru benar-benar terjadi di Indonesia di bulan Mei lalu, ketika beberapa perusahaan startup melakukan pengurangan karyawan besar-besaran.

Lalu, menghadapi kondisi startup burst, apa yang harus dilakukan sebagai pekerja di perusahaan rintisan atau startup? Berikut ulasan lengkapnya, yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

Penyebab Terjadinya Startup Bubble di Indonesia

Menurut techcrunch.com, terdapat 4 alasan utama yang menjadi penyebab utama dari fenomena startup bubble burst di Indonesia ini, di antaranya sebagai berikut:

Pangsa Pasar yang Turun

Pangsa pasar atau market share dalam sebuah perusahaan yang menurun menjadi salah satu penyebab terjadinya bubble burst. Mengingat waktu sebuah jasa atau produk ditawarkan oleh sebuah perusahaan kalah pada persaingan di pasaran, maka performanya tidak bisa memuaskan investor dan stakeholder.

Waktu perusahaan startup tidak dapat menjual jasa atau produknya, maka perusahaan startup tersebut bisa tidak mendapat keuntungan, yang berujung pada market share-nya anjlok secara signifikan.

Investor Lebih Berhati-hati dalam Pendanaan

Penyebab lain dari terjadinya startup bubble burst di Indonesia adalah para investor yang lebih berhati-hati waktu memberi pendanaan.

Hal ini dikarenakan semakin menjamurnya startup baru di Indonesia. Sehingga, hal tersebut yang menyebabkan terjadinya kompetisi antar startup untuk meyakinkan investor semakin ketat.

Ketika investor menjadi lebih ketat dalam pendanaan, alhasil startup jadi agak kesusahan untuk mencari pendanaan. Apalagi ketika performa startup tersebut tidak terlalu baik, tidak menarik perhatian investor, atau dianggap terlalu berisiko untuk menaruh uang di sana.

Pasar yang Jenuh

Dikutip dari investopedia.com, saturated market atau pasar yang jenuh juga jadi salah satu penyebab. Pasar yang jenuh adalah keadaan di mana permintaan (demand) terhadap sebuah produk atau jasa sudah mencapai puncaknya.

Baca Juga: Sering Disalahpahami, Apa Bedanya ‘Paid’ dan ‘Unpaid Leave’?

Nah, keadaan pasar yang jenuh ini juga dialami oleh beberapa perusahaan startup di Indonesia. Hal ini mengakibatkan mereka kesulitan menjual produk atau jasanya. Tak cuma itu saja, pasar juga sensitif terhadap potongan harga dan promo yang membuat startup dapat kehilangan konsumen apabila tidak menawarkan kedua hal tersebut.

Kondisi Pandemi yang Membaik

Di awal masa pandemi, banyak startup yang muncul dan menawarkan produk atau jasanya sebagai solusi buat orang-orang untuk membantu aktivitas mereka.

Akan tetapi, seiring membaiknya kondisi pandemi, startup yang muncul dan dimaksudkan untuk membantu masyarakat saat pandemi, perlahan kesusahan dalam menjual produk atau jasanya.

Akibat dari Startup Bubble

Tentunya, kejadian startup bubble di Indonesia bisa menjadi kabar buruk buat para perusahaan dan juga pekerja.

Dikutip dari techcrunch.com, berikut adalah beberapa dampak dari kejadian ini terhadap para pekerja.

  1. Terjadi PHK yang Cukup Besar

Seperti yang telah diketahui kalau belum lama ini terjadi kasus PHK dalam jumlah besar dari perusahaan startup di Indonesia dan luar negeri.

Ketika suatu perusahaan susah mendapatkan revenue dari produk atau jasanya, tentu mereka akan kesusahan dalam menggaji pekerjanya.

Sehingga, melakukan PHK menjadi salah satu jalan keluar yang umumnya diambil oleh perusahaan supaya mereka tidak mengalami kebangkrutan.

  1. Perusahaan Menunda dalam Mencari Karyawan Baru

Efek lain dari fenomena ini adalah perusahaan yang menunda mencari pekerja baru. Hal ini biasa terjadi terlebih waktu startup baru memperoleh pendanaan besar untuk kegiatan bisnisnya dari investor.

Untuk merespons hal tersebut, startup condong melakukan perekrutan secara besar-besaran supaya dapat memenuhi ekspektasi stakeholder.

Namun, saat bubble burst terjadi, hal ini memaksa perusahaan tidak melakukan perekrutan karyawan baru supaya tetap menjaga pengeluaran biayanya.

Baca Juga: Pentingnya Social Intelligence di Dunia Kerja dan Cara Meningkatkannya

  1. Perusahaan Mengetahui Kalau Mereka Overhire

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, startup cenderung melakukan perekrutan karyawan dalam jumlah besar waktu memperoleh pendanaan.

Akan tetapi, seiring semakin susahnya startup untuk mendapatkan pendanaan baru dari investor, hal ini membuat startup sadar kalau mereka telah melakukan overhire dalam proses rekrutmennya.

Akhirnya, layoff alias pengurangan karyawan mau tidak mau dilakukan startup untuk merampingkan ukuran karyawan dan mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan. Sayangnya, kebijakan seperti ini biasanya tidak diikuti kesiapan startup menggenapi hak-hak pekerjanya.

  1. Pemotongan Gaji Karyawan

Ketika perusahaan kesusahan dalam mencari dana dari investor, pemotongan gaji karyawan akan menjadi tindakan yang diambil untuk mengurangi biaya kalau perusahaan tersebut tidak ingin melakukan PHK.

Menurut washingtonpost.com, hal ini akan sangat terasa kalau seorang karyawan memperoleh gaji dalam bentuk uang dan saham dari perusahaan tempatnya bekerja.

Ketika harga saham perusahaan anjlok, tentu besaran gaji yang diperoleh pekerja akan ikut berkurang.

Apa yang Harus Disiapkan Sebagai Karyawan dalam Hadapi Startup Bubble?

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan kalau terjadinya startup bubble sangat bergantung pada manajemen perusahaan, investor, atau kebutuhan masyarakat.

Ketiga hal tersebut merupakan hal-hal eksternal yang berada di luar kendali kita sebagai karyawan.

Oleh sebab itu, berikut ini beberapa rekomendasi yang dapat kamu lakukan untuk menghadapinya.

  1. Perlihatkan Kalau Dirimu Merupakan Aset Berharga untuk Perusahaan

Hal hal pertama yang dapat kamu lakukan untuk hadapi startup bubble burst di Indonesia adalah dengan memperlihatkan dirimu sebagai aset berharga untuk perusahaan.

Menurut indeed.com, dengan menjadi aset perusahaan, kamu pastinya akan dipertahankan bila terjadi PHK.

  1. Perluas Networking

Dengan melakukan networking, kamu akan memperoleh koneksi di berbagai tempat yang dapat membantumu waktu mencari pekerjaan.

Tidak cuma itu, dari networking juga kamu dapat bertemu para profesional di beragam bidang industri. Tentunya, kamu bisa mendapatkan ilmu baru dari mereka.

  1. Memiliki Dana Darurat

Menyiapkan dana darurat merupakan tindakan selanjutnya untuk mempersiapkan diri dalam hadapi startup bubble burst.

Dana darurat bisa membantu kamu nantinya dalam proses mencari pekerjaan baru.

  1. Literasi Digital

Di zaman internet seperti sekarang ini, mempunyai literasi digital yang baik merupakan sebuah keharusan.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Sebab, hampir seluruh proses bisnis sekarang ini terhubung dan memakai perangkat teknologi. Dengan menguasai beragam perangkat teknologi, itu sangat membantu kamu dalam mengerjakan pekerjaan, yang turut menjadi nilai tambah di mata perusahaan.

  1. Upgrade skill penting dalam pekerjaanmu

Meningkatkan skill, terutama yang cocok dengan pekerjaanmu adalah salah satu langkah mempersiapkan dirimu dari sekarang untuk menghadapi bubble burst.

Hal ini menurut mckinsey.com, seorang pekerja dengan skill yang mahir membuatnya sangat dicari oleh perusahaan.

Dikutip dari investopedia.com, berikut beberapa contoh skill penting yang harus dikuasai pekerja di perusahaan teknologi maupun startup.

  • berpikir kritis
  • dapat bekerja sama
  • kemampuan komunikasi yang baik
  • kepemimpinan diri

Selain itu, kemampuan teknikal pun harus dimiliki untuk membantumu dalam mengerjakan pekerjaan dengan baik.

Hal-hal di atas merupakan beberapa informasi mengenai fenomena startup bubble burst di Indonesia yang sedang ramai jadi perbincangan.

Intinya, menyiapkan dirimu dari sekarang untuk menghadapi bubble burst merupakan hal tepat untuk kepentingan kariermu ke depannya.

Read More
persiapan performance review

7 Amunisi Sebelum Kamu Dievaluasi Rutin oleh Atasan

persiapan performance review – Apakah kamu cemas menunggu performance review di kantor? Saking cemasnya, mungkin kamu susah tidur, susah makan, dan overthinking kalau-kalau hasil “rapormu” bakal penuh warna merah.

Menurut Bamboohr.com, performance review adalah bentuk interaksi penting antara atasan dengan karyawan. Ini adalah evaluasi rutin yang harus disiapkan karena biasanya terkait dengan apresiasi, termasuk kenaikan gaji di tempatmu bekerja.

Berikut ini beberapa persiapan sebelum performance review, yang sudah kami rangkum dari beberapa sumber.

Proses Penilaian Kinerja

Sebelum membahas persiapan sebelum performance review, kamu perlu mengetahui prosesnya nanti seperti apa. Biasanya, menurut Lucidchart.com, performance review akan melewati beberapa tahapan:

  1. Menetapkan Standar Kinerja

Proses performance review dimulai dari penetapan standar kinerja. Atasan akan menentukan prestasi, kompetensi, atau output apa yang akan dievaluasi. Standar-standar kinerja ini akan dimasukkan dalam analisis dan deskripsi jabatan. Standar kinerja juga harus jelas dan objektif, tujuannya agar gampang untuk dipahami dan bisa diukur.

Baca Juga: Kehilangan Kerja karena Jejak Digital, Ini Tips Membersihkannya

  1. Mengomunikasikan Standar Kinerja yang diharapkan ke Karyawan

Setelah standar kinerja dibuat, atasan harus mengomunikasikannya kepada setiap karyawan. Sehingga, para karyawan tahu apa yang perusahaan harapkan dari mereka. Tidak adanya komunikasi, akan mempersulit penilaian kinerja nantinya. Komunikasi ini sendiri harus bersifat dua arah, yang berarti atasan harus memperoleh feedback dari karyawannya mengenai standar kinerja yang ditetapkan untuknya.

  1. Menilai Kinerja yang Nyata

Tahapan performance review yang selanjutnya adalah menilai kinerja nyata atau aktual kinerja lewat informasi-informasi yang didapat dari berbagai sumber seperti pengamatan, laporan statistik, laporan lisan dan tertulis. Perlu diketahui, pengukuran pada kinerja harus objektif berdasarkan fakta serta temuan, tidak boleh memasukan perasaan ke dalam penilaian kinerja ini.

  1. Membandingkan Kinerja Nyata dengan Standar yang Sudah Ditetapkan Sebelumnya

Pada tahap ini, kinerja nyata atau kinerja aktual akan dibandingkan dengan standar yang sudah ditentukan sebelumnya. Perbandingan ini akan memaparkan penyimpangan antara kinerja aktual dengan standar kinerja.

  1. Mendiskusikan Hasil Penilaian dengan Karyawan

Langkah ini merupakan salah satu tugas yang paling menantang yang harus dihadapi oleh atasan, karena harus memberikan penilaian yang tepat, sehingga karyawan yang bersangkutan dapat menerima hasil penilaian tersebut.

Baca Juga: 7 Pertimbangan Sebelum Memutuskan resign untuk Mulai Bisnis

Diskusi tentang penilaian ini memungkinkan karyawan untuk mengetahui apa yang jadi kekuatan dan kelemahannya, serta dampaknya terhadap kinerjanya di kemudian hari. Dampaknya mungkin positif atau negatif tergantung pada penilaian yang disajikan.

  1. Mengambil Tindakan Perbaikan

Tahapan paling terakhir pada proses performance review adalah mengambil tindakan korektif (perbaikan) apabila diperlukan. Jika memang terjadi penyimpangan antara standar kinerja dengan kinerja aktual karyawan dan sudah dibicarakan dengan baik antara kedua pihak, maka pihak perusahaan atau karyawan nantinya harus memperbaiki kinerjanya.

Persiapan Sebelum Performance Review

Dirangkum dari Indeed.com dan Wsj.com, berikut ini beberapa persiapan penting yang harus kamu lakukan sebelum performance review.

  1. Menyiapkan mental serta respons

Dalam proses performance review, tentu nantinya kamu akan memperoleh feedback yang baik atau buruk. Kepiawaian menanggapi feedback dengan tepat tentu bisa menjadi bentuk penilaian lebih lanjut oleh atasanmu.

Kalau feedback yang diberikan negatif, sebaiknya kamu tidak bersikap denial dan mau menerima masukan serta berusaha untuk memperbaiki diri. Jika feedback yang diberikan ternyata positif, jangan langsung besar kepala dan malah menggampangkan pekerjaan. Terus bekerja dengan semaksimal mungkin, supaya kinerja kamu tetap stabil.

  1. Kumpulkan hasil kerja kamu selama bekerja

Ketika berbicara mengenai kenaikan gaji atau jabatan, perusahaan dan atasan tentu ingin melihat hasil kinerja kamu selama ini.

Kumpulkan juga prestasi yang sudah berhasil kamu dapatkan sebagai bukti kelayakan kamu menerima kenaikan gaji atau jabatan.

2. Identifikasi kemampuan yang perlu ditingkatkan

Selain mengumpulkan prestasi, kamu juga perlu mencari tahu apa saja yang perlu ditingkatkan.

Dengan memahami yang jadi kekurangan serta skill kamu, itu sangat membantu atasan dalam membangun growth plan yang baik untuk kamu.

3. Tinjau ulang target yang dimiliki

Kamu memiliki target pribadi untuk perkembangan diri sendiri, atau target yang diberikan oleh perusahaan?

Sekarang merupakan waktu paling tepat untuk meninjaunya.

Kamu dapat menilai seberapa banyak target yang berhasil kamu capai atau apa saja yang menjadi kendala dalam mencapai target tersebut.

Jangan lupa untuk berdiskusi dengan atasan untuk menentukan target baru atau mencari pemecahan untuk mencapai target yang belum tercapai sebelumnya.

4. Persiapkan pertanyaan buat atasan

Mungkin kamu tidak selalu mempunyai kesempatan berdiskusi secara personal dengan atasanmu.

Momen performance review dapat jadi momen yang tepat untuk menanyakan hal-hal yang sebelumnya kamu tidak bisa tanyakan.

Contoh pertanyaannya misalnya mengenai perkembangan karir yang mungkin kamu peroleh, atau bantuan profesional untuk menghadapi situasi di lingkungan kerja.

Baca Juga: Apa itu Surat Peringatan Kerja? dan Cara Tepat dalam Menanggapinya

5. Persiapkan diri untuk percakapan yang sulit

Merasa jenuh bekerja dan berpikir untuk mencoba ke divisi lain? Performance review adalah waktu yang tepat untuk kamu utarakan ke atasan kamu.

6. Ketahui usaha dan kerja keras kamu

Mungkin hasil performance review tidak sebaik yang kamu kira. Atau mungkin kenaikan gaji atau jabatan belum bisa perusahaan berikan.

Namun, kamu tetap perlu mengapresiasi diri sendiri karena berhasil melalui banyak tantangan dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan.

Sekarang saatnya untuk berusaha dan membuktikan lebih banyak pencapaian yang sudah kamu lakukan di performance review selanjutnya.

Itulah beberapa hal yang harus kamu perhatikan selama persiapan sebelum performance review.

Semoga tahapan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan kamu bisa memperoleh perkembangan karir yang sesuai harapan.

Read More

3 in 4 Fundraisers Have Experienced Sexual Harassment on the Job

While the #MeToo movement that raised public awareness of sexual harassment is making fewer headlines than it did in 2017 and 2018, this problem hasn’t gone away. It’s still an especially big problem for nonprofit fundraisers, the professionals responsible for developing relationships with charitable donors.

We are nonprofit scholars who have been researching sexual harassment in fundraising for several years. We’ve found that about 76 percent of fundraisers report experiencing some form of work-based sexual harassment in their careers. That’s partly because fundraisers interact with large numbers of donors, board members, and volunteers.

It’s the fundraiser’s job to keep these stakeholders happy so that they donate their money and time, which makes it hard for fundraisers to push back when their harassers behave in inappropriate ways.

Read also: Sexual Harassment at Work Harms Employment and Economy

A Persistent Problem

In addition to studying the extent of sexual harassment over the course of fundraisers’ careers, we asked about more recent experiences. We found that 42 percent of fundraisers said they had experienced behaviors defined as sexually harassing in the two years before the summer of 2020. This rate, which includes harassment by colleagues, donors and others not employed by the fundraisers’ organizations, is high by any standard.

For example, the rate of sexual harassment in the federal workplace was at 14 percent over the two years before the summer of 2016.

Our findings come from a series of 75 interviews with fundraisers and a survey of 1,782 members of the Association of Fundraising Professionals. In the survey, we looked at the source of sexual harassment. We found that in the two years before the summer of 2020, 18 percent of fundraisers had been sexually harassed by co-workers, 10 percent had been harassed by donors or someone outside the organization, and an additional 14 percent had been harassed by both.

Almost 79,000 people work in fundraising in the U.S., most of whom are white women. These professionals raise money for nonprofit organizations like hospitals, universities, food banks, and environmental groups.

“A lot of the men in these situations are just powerful,” explained “Matilda,” which is not her real name because we are protecting the privacy of the people we interviewed.

They are “men who get what they want, you know, and a lot of times that means being able to take advantage of a young woman, or any woman, and getting away with it,” continued Matilda, a fundraiser who said she had been harassed by a donor. “All of the situations I’ve told you about was men [that] haven’t experienced any consequences. And so they continue to do it.”

Some Fundraisers Face More Risk than Others

We found that lesbian, gay, and bisexual fundraisers were more likely to be sexually harassed than their straight counterparts.

The worst form of sexual harassment is sexual coercion, which includes pressure for sexual favors or dates, stalking, or even rape.

Our survey results show that fundraisers who identify as lesbian, gay, or bisexual, as people of color, or as both people of color and LGB, are more likely to experience sexual coercion than their straight white peers.

Sexual harassment of fundraisers of color can also constitute harassment on the basis of race. “Angela,” who identifies as African American and female, told us in an interview that she heard comments from donors like “I’ve never had a Black woman.”

Read also: Sexual Harassment at Workplace Moves to the Virtual World amid the Pandemic

‘Whatever it Takes’

Fundraisers’ performance is generally assessed in terms of the amount of money they bring in. Fundraisers also feel pressure to generate a lot of donations because that funding can determine whether layoffs are necessary and how many clients an organization can serve.

To understand how this can create pressure to put up with sexual harassment, imagine a fundraiser who works for a small health clinic. A potential donor shows interest in giving a large sum of money. However, he keeps asking the fundraiser to meet him for drinks in the late evening, kissing them on each cheek as a greeting and eventually propositioning them in an inappropriate, sexual text message.

Does the fundraiser endure this behavior to secure a donation that could keep the organization fully staffed and serving uninsured patients? The fundraisers we interviewed all had their own responses to this question.

Many, including “Victoria,” shrugged their shoulders and said they do “whatever it takes to get the job done.”

Some confront their harasser, but more use avoidance by making excuses for why they can’t meet in person. We also heard from fundraisers who told us they quit their job after being sexually harassed at work. Some of those left the profession for good.

Read also: Ruang (Ny)aman: How to Handle Sexual Harassment in the Workplace

Sexual Exploitation

We also found that 23 percent of fundraisers have experienced not just harassment but sexual exploitation at some point in their career.

One common example of the sexual exploitation that fundraisers experience occurs when supervisors in their own organization pressure them to dress more attractively or otherwise put themselves at greater risk of sexual harassment to get more donations. “Ruth” told us about how one of her bosses had invited her to the boss’s home to prepare for a gala.

The boss had her try on dresses that were “very fitted and very tight” and that she didn’t feel comfortable in. The boss insisted on lavish makeup and high heels.

“Carrie” told us she was encouraged to meet with a donor braless because he was going to “love it.”

Ruth, Carrie, and the other fundraisers we interviewed said they felt demeaned and humiliated by these interactions.

Fighting the Fight

Only 15 percent of fundraisers experiencing harassment by a colleague and 27 percent experiencing sexual harassment by a donor or another external stakeholder chose to report these instances, we found.

Reporting of sexual harassment is generally low in all workplaces, and research points to reasons the reluctance is justified. People who report sexual harassment often suffer negative consequences. When an incident goes unreported, though, it’s hard to do anything about it.

“Lucille” said she endured sexual harassment from a supervisor for six years before she reported it. The organization retaliated against her, rather than her boss, by demoting her. While she considered quitting, she continued to “fight the fight” because she wanted to protect others.

Having studied and shared many ways that nonprofit leaders can prevent sexual harassment, we believe that it shouldn’t just be up to fundraisers to resolve this problem.

During the early stages of the COVID-19 pandemic, much nonprofit fundraising occurred remotely, reducing opportunities for sexual harassment. As more office work and fundraising events occur in person, fundraisers inevitably face higher risks again.

Nonprofits can reduce the prevalence of sexual harassment by following the best practices we included in a toolkit informed by our research that is publicly available online.

Some of the best practices we recommend include writing an anti-harassment policy that includes donors and others outside the organization who may engage in this behavior. In addition to policies, nonprofits need to train their staff, volunteers and donors, and top leaders need to reinforce the information shared at those trainings.

Above all, fundraisers need to hear from supervisors that no donation is more important than their dignity and safety.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Erynn Beaton is Assistant Professor of Nonprofit Studies, The Ohio State University and Megan LePere-Schloop is Assistant Professor of Public and Nonprofit Management, The Ohio State University.

Ilustration by Karina Tungari

Read More
Perbedaan Paid dan Unpaid Leave

Sering Disalahpahami, Apa Bedanya ‘Paid’ dan ‘Unpaid Leave’?

Sebagai pekerja, penting untuk memahami apa perbedaan paid dan unpaid leave. Apalagi, kalau kamu merupakan karyawan baru yang belum familier dengan dua tipe cuti umum yang dapat diambil di perusahaan tempatmu bekerja.

Baca Juga: Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik

Masalahnya, letak perbedaan paid dan unpaid leave ternyata bukan sekadar cuti yang dibayar atau tidak. Bingung? Yuk, langsung saja kita bahas perbedaan kedua hal itu.

Apa itu Cuti?

Mengutip Adp.com, cuti adalah waktu yang diberikan oleh perusahaan buat para pekerjanya untuk tidak masuk kerja. Alasannya beragam, tapi umumnya karena ada kepentingan tertentu dalam hidup pribadimu.

Meskipun tidak masuk kerja dalam beberapa hari, mengajukan cuti bisa memastikan kamu tetap mempunyai status sebagai karyawan di perusahaan tersebut.

Saat cuti ini, kamu dapat berstatus paid leave (cuti berbayar) atau unpaid leave (cuti tidak berbayar).

Ada pula cuti sakit yang memang khusus diambil waktu kamu sedang sakit atau tidak dalam kondisi prima untuk bekerja.

Jadi apa perbedaan paid leave dan unpaid leave

Apa itu Paid Leave?

Menurut Thebalancecareers.com, paid leave atau cuti berbayar adalah cuti yang memberikan kamu kesempatan untuk istirahat sejenak dari perusahaan. Akan tetapi, kamu tidak perlu cemas, karena akan tetap digaji penuh kendati tidak bekerja beberapa hari.

Pertanyaannya, apakah kamu dapat memperoleh paid leave secara tidak terbatas? Tentunya tidak. setiap perusahaan jelas memiliki peraturan yang berbeda-beda.

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier

Semua peraturan perusahaan tetap harus mengacu pada peraturan negara, khususnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dikutip dari Hukumonline.com, Pasal 81 Nomor 23 dalam UU itu menyebutkan, pekerja berhak memperoleh minimal 12 hari cuti tahunan. Namun, ada juga perusahaan yang memberikan lebih. Inilah yang dimaksud dengan paid leave.

Contoh Cuti Paid Leave

Supaya lebih memahami perbedaan paid leave dan unpaid leave, berikut beberapa contoh dari paid leave yang perlu kamu ketahui.

  • Cuti untuk Liburan

Kamu dapat mengambil paid leave untuk keperluan liburan kalau merasa jenuh bekerja. Satu hal yang perlu dipastikan, tidak ada pekerjaan yang belum diselesaikan sebelum mengajukan cuti.

  • Cuti Hamil dan Melahirkan

Untuk para pekerja perempuan, ada cuti hamil dan melahirkan yang dapat diambil cukup panjang. Menurut Gajimu.com, perusahaan akan memberikan waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudahnya. Kalau ditotal, ada waktu 3 bulan. 

  • Berduka

Saat kehilangan keluarga atau orang terdekat, biasanya orang cenderung susah fokus. Maka, sangat disarankan untuk mengambil cuti pada masa-masa berkabung. Selain itu, pasti ada banyak urusan yang perlu diselesaikan pada masa seperti ini, bukan?

Apa yang Dimaksud dengan Unpaid Leave?

Menurut Charliehr.com, unpaid leave adalah cuti yang membuat gajimu dipotong.

Meskipun gajimu dipotong, statusmu sebagai karyawan di perusahaan masih tetap aktif.

Ada beberapa alasan kenapa cutimu dapat tidak dibayar. Salah satunya adalah kalau kamu sudah melewati jatah cuti yang diberikan oleh perusahaan. Contohnya bila perusahaanmu memberikan 12 hari cuti sesuai dengan UU yang sudah kita bahas sebelumnya.

Baca Juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Jika kamu terpaksa mengambil cuti karena ada urusan mendesak, itu berarti kamu harus merelakan gaji disunat.

Dikutip dari Ekrut.com, Undang-Undang memang tidak menyebutkan secara detail tentang unpaid leave. Akan tetapi, dalam Pasal 93 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan, upah tidak dibayar kalau pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan.

Jadi, perusahaan memang boleh memotong gajimu kalau kamu mengambil cuti lebih dari jatah yang diberikan.

Contoh Unpaid Leave

Alasan untuk unpaid leave bisa sangat beragam. Karena ini berhubungan dengan gaji, sebaiknya unpaid leave cuma diambil waktu kamu benar-benar tidak punya pilihan lain.

Sebagai contoh, kamu sudah mengambil cuti hamil dan melahirkan 3 bulan. Akan tetapi, keadaan memaksamu untuk tetap di rumah lebih lama karena harus fokus mengurus anak yang baru lahir.

Cuti yang lebih dari ketentuan 3 bulan tersebut adalah unpaid leave atau cuti yang tidak berbayar.

Setelah akhirnya kamu mulai kerja kembali ke kantor, tentu kamu akan mulai digaji kembali sesuai dengan kontrak kerjamu sebelumnya.

Sekarang kamu dah tahu kan perbedaan antara paid leave dan unpaid leave?

Sebagai karyawan atau pekerja profesional, sangat penting untuk dapat merencanakan waktu cuti agar work-life balance dapat seimbang.

Read More
apa itu digital nomad

Bisa Kerja dari Mana Saja yang Kamu Pilih, Tertarik Jadi ‘Digital Nomad’?

Digital nomad adalah salah satu istilah yang hari-hari ini sering terdengar selama masa work from home (WFH). Secara garis besar, digital nomad adalah seseorang yang memutuskan untuk bekerja secara lepas dan memanfaatkan teknologi, jadi ia tidak terikat oleh waktu dan tempat. Mereka pun juga setiap hari tidak perlu datang ke kantor karena bisa bekerja dari mana saja, seperti perpustakaan, coffee shop, rumah, bahkan di pantai.

Sekilas pengertiannya seperti pekerja remote, bukan? Namun, sebenarnya digital nomad dengan pekerja remote itu relatif berbeda.

Buat kamu yang sedang ingin bekerja sebagai freelancer atau pekerja remote, kamu bisa memilih opsi menjadi digital nomad.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang digital nomad, berikut penjelasannya yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.

Apa Itu Digital Nomad?

Dilihat dari asal katanya, digital nomad’berasal dari dua kata, yaitu digital’ dan nomad. Kata ‘digital’ di sini menunjuk pada pekerjaan seseorang yang dilakukan secara digital.

Sementara itu, nomad berasal dari kata nomaden, yaitu hidup berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Baca juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana?

Kalau disimpulkan, digital nomad adalah seseorang yang bekerja secara online atau memakai tools online. Mereka bisa bekerja dari mana saja yang mereka pilih secara mandiri, tulis Nomadflag.com.

Seorang digital nomad sering disebut independen secara lokasi, karena mereka yang menentukan sendiri lokasi untuk bekerja.

Lalu, apa yang membedakannya dengan pekerja remote?

Kata “nomad” menjadi sesuatu yang perlu perlu digarisbawahi. Digital nomad tidak cuma bekerja di tempat yang mereka pilih sendiri. Namun, mereka bekerja berpindah tempat sambil melakukan gaya hidup sendiri.

Contohnya, mereka dapat bekerja di pinggir pantai sambil menikmati suasana alam. Dalam kasus lain, mereka juga memilih bekerja dari cafe sambil menikmati makanan terbaik di tempat tersebut.

Di era seperti sekarang ini, pekerjaan digital nomad terus berkembang karena perkembangan teknologi. Sekarang ini, banyak perusahaan yang tidak mewajibkan karyawannya bekerja secara fisik di kantor.

Cara Menjadi Digital Nomad

Setelah tahu definisinya, sekarang waktunya kamu mempersiapkan diri untuk menjadi digital nomad. Yuk, ikuti apa saja tipsnya di bawah ini.

1. Mengajukan Kerja Remote pada Perusahaan

Karena pandemi COVID-19, perusahaan-perusahaan di seluruh dunia mau tidak mau harus beradaptasi dengan teknologi dan melakukan kerja jarak jauh (WFH).

Meskipun sekarang ini sudah banyak yang kembali bekerja dari kantor, sekarang perusahaan sudah terbiasa dengan yang namanya kerja remote.

Salah satu cara yang bisa kamu coba dengan meminta perusahaan untuk diperbolehkan kerja dari jarak jauh.

Baca Juga: Apa itu ‘Cultural Fit’ dan Manfaatnya untuk Para Pekerja?

Alternatif ini dapat kamu coba jika sekarang sudah punya pekerjaan stabil dan disukai di perusahaan.

Kamu dapat mencoba mengajukan ke perusahaan untuk menjadi full-time remote worker. Artinya, kamu bisa jadi pegawai penuh waktu, cuma tidak perlu datang dan bekerja dari kantor (WFO).

Di beberapa startup dan perusahaan berbasis teknologi hal ini bukan suatu hal yang mustahil, loh!

Siapa tahu, perusahaan yang sekarang kamu bekerja juga memperbolehkannya.

2. Cari Pekerjaan yang Tepat

Cara untuk menjadi digital nomad tentu kamu harus memilih pekerjaan yang tepat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa pekerjaan yang memang pas dengan digital nomad karena dapat dengan mudah dilakukan meski tidak dari kantor.

Kalau kamu masih bingung ingin memulainya dari mana, kamu dapat mencoba memilih menjadi seorang freelancer terlebih dahulu.

Kelebihannya menjadi freelancer adalah kamu jadi bebas bekerja dari mana dan bekerja, dan lebih leluasa dalam bekerja.

Akan tetapi, risiko menjadi freelancer adalah tidak akan ada jaminan pemasukan setiap bulan stabil. Karena itulah kamu juga dapat mulai mencari pekerjaan yang full-time dan remote. Perusahaan tidak mewajibkanmu untuk datang ke kantor, sehingga dapat bekerja dari mana saja.

Karena fleksibilitas kantor ini, kamu dapat bebas pergi kemanapun yang diinginkan dan bekerja dari sana.

3. Mulai Usaha Online

Cara lain yang bisa kamu pilih menurut Nerdwallet.com adalah mencoba bisnis online. Bisnis ini harus dapat secara penuh dipantau dan dikerjakan secara digital.

Dengan begitu, kamu dapat berada dimana saja sambil bekerja. Misalnya, bekerja sebagai freelancer. Tentunya opsi ini membuat pendapatanmu tidak akan stabil setiap bulannya.

Baca Juga: Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Akan tetapi, kamu akan punya kebebasan dalam mengatur segalanya. Pasalnya, ini merupakan bisnis milikmu sendiri dan kamu tidak perlu mengejar deadline untuk memperoleh penghasilan.

4. Siapkan Tabungan

Salah satu tantangan dari pekerja nomaden adalah penghasilan yang tidak pasti. Karena itu, kamu perlu mempersiapkan tabungan yang cukup untuk menjalaninya.

Jika di satu waktu kamu berhasil mendapatkan banyak proyek dengan bayaran tinggi, kamu masih memiliki dana lebih untuk bertahan hidup.

5. Gabung Komunitas Digital Nomad

Waktu menjadi digital nomad, tentu kamu tetap bisa merasakan jenuh bekerja. Bergabung dalam komunitas dapat menjadi alternatif solusi.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Sekarang ini banyak komunitas dan berbagai forum yang mudah ditemukan di media sosial, termasuk Facebook. Dengan masuk dalam komunitas, kamu dapat memperoleh informasi, tips, dan saran dari orang-orang yang sudah berpengalaman.

Manfaat lainnya, kamu bisa meminta bantuan saat benar-benar membutuhkan. 

Read More
apa itu surat peringatan kerja karyawan

Apa itu Surat Peringatan Kerja? dan Cara Tepat dalam Menanggapinya

Waktu bekerja sebagai karyawan di suatu perusahaan, kamu bisa saja mendapatkan tindakan disipliner. Lalu, apa yang perlu kita lakukan waktu memperoleh surat peringatan kerja dari perusahaan?

Sebenarnya tindakan disipliner dilakukan perusahaan berguna untuk menengur hasil performa kerja, perilaku, atau mengoreksi tindakan pekerjanya yang tidak pantas dilakukan di tempat kerja.

Menurut indeed.com, ada dua jenis teguran yang umum diberikan oleh perusahaan yaitu dengan caralisan dan tertulis.

Bila kita mendapatkan peringatan baik lisan atau tertulis, Sebagai karyawan harus bisa memberikan respons yang tepat dan hati-hati.

Nah, berikut ini kita akan membahas pengertian dan beberapa persiapan yang perlu dilakukan waktu mendapat surat peringatan kerja dan langkah tepat dalam memberikan tanggapan yang profesional.

Yuk, kita bahas selengkapnya di bawah ini!

Pengertian Surat Peringatan Kerja

Menurut greatdayhr.com, surat peringatan kerja adalah surat yang dibuat dan diberikan kepada karyawan yang melakukan pelanggaran atau kesalahan terhadap aturan mutlak yang sudah dibuat perusahaan. Surat ini harus diperhatikan dengan baik supaya pekerja tersebut benar-benar paham atas perbuatan yang dilakukan. Jika dihiraukan, akan berdampak buruk bagi karyawan.

Baca Juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal LingkunganKerjaToksik

Di perusahaan, divisi atau orang yang memberikan surat peringatan tersebut adalah pimpinan. Namun, ada juga yang memberikannya adalah divisi human resource.

Beberapa contoh alasan mengapa karyawan dapat memperoleh surat peringatan tersebut antara lain: absen tanpa memberikan informasi keatasan atau perusahaan, sering terlambat kerja, tidak memenuhi tanggung jawab pekerjaan, dan membocorkan rahasia perusahaan.

Surat peringatan kerja memang tidak selalu berakhir dengan pemecatan, tetapi berguna sebagai pengingat kalau karyawan tersebut perlu memperbaiki perilaku diri. Namun, harus diperhatikan dengan baik dan serius supaya ke depannya dapat memberikan perubahan baik untuk karyawan.

Hal yang Perlu Dilakukan Bila Kamu Dapat Surat Peringatan Kerja

yang perlu dilakukan bila mendapat surat peringatan kerja

1. Waktu Mendapatkan Surat Peringatan Kerja, Kamu Harus Tetap Tenang

Waktu pertama kali memperoleh teguran lewat surat peringatan kerja, mungkin kamu pasti akan kaget, panik, sampai kesal.

Namun, sebaiknya kamu jangan sampai terbawa emosi apalagi sampai bersikap defensif. Hal tersebut malah memnyebabkan situasi menjadi semakinburuk.

Karena itu, cobalah untuk tenangkan pikiran dan pahami situasi yang sedang kamu alami. Jangan sampai kamu emosi, marah, atau menangis di kantor.

Sebaiknya, segera cari tempat yang tenang yang ada di kantor dan mencoba melakukan meditasi untuk menurunkan emosi.

2. Pikirkan Terlebih Dahulu Sebelum Memberikan Bantahan

Hal penting yang harus dilakukan waktu memperoleh surat peringatan kerja dari perusahaan adalah berpikir dengan tenang sebelum bertindak.

Baca Juga: Ada LGBT dan Minoritas di Kantormu? Ini 6 Manfaatnya

Coba untuk membaca ulang surat peringatan yang kamu terima. Apabila dalam isi surat tersebut ada yang menurutmu kurang adil, kamu dapat membantahnya.

Akan tetapi, sebelum membuat bantahan sebaiknya kamu mencari bukti-bukti terlebih dahulu yang dapat menguatkan argumenmu nantinya.

Kamu bisa mencoba membuat jadwal untuk membicarakannya langsung dengan atasan dan menyampaikan pendapatmu. Selanjutnya kamu membuat sanggahan tertulis untuk membela diri.

3. Sediakan Waktu untuk Introspeksi Diri

Wajar kalau kamu merasa stres dan bingung apa yang harus dilakukan waktu mendapatkan surat peringatan kerja.

Sebenarnya dari kejadian tersebut dapat kamu manfaatkan supaya bisa menjadi karyawan yang lebih baik lagi nanti ke depannya.

Sayangnya, tidak semua orang dapat dengan gampang menerima kritikan meskipun hal tersebut bertujuan supaya kamu dapat berubah menjadi lebih baik.

Itulah mengapa kamu perlu menyediakan sedikit waktu untuk memahami semua hal yang sudah terjadi dan mencoba introspeksi diri.

4. Tanyakan ke Atasan Apa yang Perlu Kamu Lakukan untuk Berubah

Menurut theladders.com, terlebih dulu kamu harus paham tentang kesalahan yang sudah dilakukan dan bagaimana cara menghindarinya di masa depan.

Setelah itu, kamu dapat bertanya kepada atasan apa yang perlu dilakukan untuk berubah sesuai yang diharapkan oleh perusahaan.

Baca Juga: Jangan Datang dengan Kepala Kosong, 4 Alasan ‘Kepoin’ Calon Perusahaan

Contohnya, kamu disalahkan karena bersikap buruk kepada rekan kerja lain. Dalam kasus tersebut, pastinya kamu perlu melihat dari sudut pandang orang lain dan mencari tahu kenapa sampai kamu dicap buruk.

Setelah kamu tahu yang menjadi penyebabnya, kamu dapat membuat rencana untuk berubah dan menghindari kesalahan tersebut terulang.

5. Jadikan Hal Tersebut Jadi Sebuah Pembelajaran

Tidak salah kalau kamu jadi merasa kecil hati atau stres karena memperoleh teguran langsung dari atasan.

Namun, setelah itu hal yang harus kamu lakukan adalah memperbaiki diri dan jadikan hal tersebut sebagai pelajaran ke depannya.

Perhatikan nasihat yang diberikan atasanmu dan pahami apa yang dapat kamu lakukan supaya bisa menjadi karyawan yang lebih baik.

Manfaatkan kesempatan tersebut untuk belajar jadi lebih baik lagi dan mempertimbangkan kekuranganmu di tempat kerja.

6. Minta Waktu untuk Memperbaiki Kesalahanmu

Umumnya perusahaan yang akan memberikan jangka waktu tertentu untuk karyawannya supaya mereka dapat memperbaiki perilakunya, menurut zippia.com.

Nah, kamu dapat meminta waktu kepada atasan atau HRD yang dapat kamu pergunakan untuk mengkoreksi diri.

Kamu juga harus menerima apabila jangka waktu yang sudah diberikan tersebuthabis dan tidak ada perubahan dari performa kerjamu, maka perusahaan akan memutus hubungan kerja.

Supaya kamu dapat menghindari kejadian tersebut, kamu dapat meminta masukan yang spesifik kepada atasan mengenai apa yang harus dicapai dalam jangka waktu tersebut.

7. Coba Pikirkan untuk Mencari Pekerjaan Baru

Mendapatkan surat peringatan kerja, bukan berarti kamu akan langsung dipecat dari perusahaan. Namun, apabila kesalahan yang kamu buat fatal, pastinya kemungkinan tersebut jadi cukup tinggi.

Karena itu, kamu dapat mulai memikirkan mencari pekerjaan baru. Mulai update CV dan porto foliomu, lalu kamu dapat menghubungi rekan kerja atau kenalan untuk mencari info lowongan kerja.

Keputusan ini sebaiknya diambil waktu kamu merasa sudah tidak ada lagi pilihan atau harapan untuk terus berada di perusahaan tersebut.

Baca Juga: Ciri Rekan Kerja yang Baik, Apakah Kamu Salah Satunya?

Kalau kamu masih merasa dapat memperbaiki diri dan tetap inginbekerja di perusahaan tersebut, tentunya lebih baik kamu fokus pada perbaikan diri.

Akan tetapi, waktu sudah memantapkan hati untuk mencari pekerjaan di tempat lain, cobalah cari pekerjaan yang memiliki budaya kerja yang cocok dengan gaya kerjamu.

Lalu, sebelum ada keputusan dari perusahaan untuk memberhentikan kamu dan kamu belum memberikan surat resign, tetaplah berusaha untuk bekerja dengan baik.

Read More
cara atasi digital fatigue

Kehilangan Kerja karena Jejak Digital, Ini Tips Membersihkannya

Mendaftar pekerjaan baru buat lulusan anyar bisa jadi memakan waktu lama. Sebab, ini melibatkan rentetan proses, dari membuat surat lamaran, tes psikologi, wawancara hingga berpartisipasi dalam proses penilaian baik langsung maupun daring.

Dalam prosesnya, perusahaan tempat kamu melamar bisa saja melakukan pemeriksaan terhadap jejak digitalmu.

Di belakang layar, 80 persen perusahaan dan agen rekrutmen menggunakan konten media sosial sebagai bagian dari penilaian kecocokan kandidat. Berperilaku terbuka di dunia maya mengenai kondisi kesehatan, masalah kecanduan atau kehamilan dapat mempengaruhi derajat kesuksesan ketika melamar pekerjaan. Sama halnya dengan profil pengguna yang menunjukkan pandangan memihak, gaya hidup yang tidak umum, atau kebiasaan berpesta secara berlebihan.

Ketika sudah mulai bekerja, pegawai bisa saja menghadapi tindakan disipliner hingga pemecatan karena perilaku mereka di media sosial, bahkan ketika mengunggah konten di luar jam kerja sekali pun. Membocorkan informasi sensitif walaupun tidak disengaja -— seperti rahasia dagang, properti intelektual dan detail personal rekan kerja –- dapat menjadi ancaman keamanan bagi organisasi. Hal ini dapat menyebabkan perusahaan kehilangan keuntungan kompetitif, reputasi, dan kepercayaan klien.

Gambaran jelas dari ancaman keamanan ini misalnya terlihat dari unggahan dua orang personel Angkatan Laut Inggris yang membagikan aktivitas intim mereka di markas nuklir bawah laut lewat media sosial pornografi OnlyFans. Keduanya mendapat hukuman disipliner.

Tim kami menyelidiki bagaimana jejak digital pekerja dapat merugikan diri mereka maupun perusahaan tempat mereka bekerja. Melalui wawancara ekstensif dengan 26 orang, kami menemukan, banyak dari responden yang kesulitan untuk mengingat dan menggambarkan keseluruhan jejak digital mereka, atau membayangkan bagaimana orang lain mungkin mengaitkan unggahan-unggahan mereka dan menarik kesimpulan yang tidak diduga.

Hal ini penting bagi anak muda yang memasuki pasar tenaga kerja. Pasalnya, mereka biasanya memiliki jejak digital yang masif dan berlangsung selama bertahun-tahun di berbagai platform. Jejak digital ini bisa saja merefleksikan versi diri mereka terdahulu, dan merupakan eksperimen dari identitas dan pendapat mereka selama mereka bertambah dewasa dan menemukan jati diri mereka.

Responden kami menyampaikan bagaimana mereka menghadapi tekanan teman sebaya (peer pressure) untuk berkomentar mengenai topik-topik yang tengah hangat, seperti mengenai Black Lives Matter dan #MeToo, walaupun tanpa keinginan untuk mengekspresikan pendapat mereka di ranah publik.

Sebagian lainnya menyatakan penyesalan atas pendapat yang mereka ungkapkan secara kasar seputar isu politik, ras, dan seksualitas – pendapat yang tampaknya dapat diterima sebagai remaja namun tidak elok dalam pandangan orang dewasa. Bertahannya konten online ini dapat mempengaruhi para anak muda ini dengan cara yang mungkin sulit dipahami oleh orang tua mereka, yang masa lalunya yang kelam cenderung disimpan rapat di album foto di bawah tempat tidur.

Baca juga: Mengapa Anak-anak Perlu Diajarkan Membangun Jejak Digital Positif?

Merapikan Jejak Digital

Membersihkan jejak digital secara teliti seringkali membuat orang kewalahan. Mereka kesulitan untuk mengingat apa yang pernah mereka unggah di berbagai kanal selama bertahun-tahun, dan menghindari merapikan media sosialnya – sambil berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa konten mereka membosankan dan tidak akan menarik perhatian orang lain.

Sebagian orang memilih untuk menghapus beberapa atau semua akun media sosial mereka. Tetapi, menghapus adalah kemewahan. Beberapa anak muda yang kami wawancarai merasa terdorong untuk memiliki eksistensi online melalui akun media sosial saat mencari pekerjaan – terutama untuk pekerjaan kerah putih – sehingga calon pemberi kerja dapat memeriksanya.

Visibilitas online membangun legitimasi dan menjadi representasi identitas – siapa kita, dengan siapa kita bergaul, serta aktivitas dan opini kita. Perlu diakui, identitas tersebut mungkin menampilkan sosok kita yang sudah “dibersihkan” dan dikonstruksi secara hati-hati dengan mempertimbangkan audiensi daring, namun begitu pula CV.

Perasaan bahwa pencari kerja harus memiliki visibilitas online menjadi kompleks ketika dihadapkan kepada upaya perlindungan diri. Salah satu responden kami, yang keluarganya mencari suaka di Inggris, menekankan bagaimana para pencari suaka menghadapi dilema:

Saya pernah bertemu dengan … orang-orang yang … lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. informasi yang mereka unggah di dunia maya akan langsung diburu, sehingga mereka berusaha menjauh dari segala bentuk media sosial … Akan tetapi mereka juga dihadapkan pada kebutuhan untuk muncul di dunia digital agar bisa berprogres … untuk menampilkan diri mereka, karena jika tidak orang-orang akan berpikir keberadaanmu tidak sah.

Baca juga: ‘Sharenting’ di Media Sosial: Hobi Orang Tua yang Ganggu Privasi Anak

Serupa, korban kekerasan domestik juga memiliki keinginan untuk menjauhi eksistensi di dunia maya demi menghindar dari kemungkinan dilacak oleh pelaku kekerasan.

Merapikan jejak digital memang melelahkan, tetapi penting untuk memasuki dunia kerja. Google dirimu sendiri. Minta teman dari temanmu untuk mencarimu secara daring dan lihat apa yang mereka temukan. Jika memungkinkan, hapus konten yang muncul yang membuatmu terlihat buruk. Jika kamu disertakan dalam konten yang diunggah oleh orang lain, minta mereka untuk menurunkannya. Lepaskan namamu dari tag (tanda) yang dibubuhkan temanmu. Jika semuanya gagal, putuskan koneksi online dengan mereka yang menandaimu pada saat-saat terburukmu, sehingga konten-konten tersebut tidak lagi terasosiasi dengan dirimu.

Jika terlalu banyak konten yang mengancam potensimu mendapatkan pekerjaan, perketat pengaturan privasimu sehingga pemberi kerja potensial tidak dapat melihatnya. Jika keanggotaan suatu media sosial memiliki kaitan dengan masa lalu yang tak lagi berhubungan denganmu – seperti akun OnlyFans -– lepaskan tanda dan menghapus akun adalah tindakan terbaik.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Wendy Moncur adalah Profesor bidang Computer and Information Sciences, University of Strathclyde.

Read More
mengenal cultural fit di tempat kerja

Apa itu ‘Cultural Fit’ dan Manfaatnya untuk Para Pekerja?

Apa yang jadi pertimbangan kamu dalam mencari karier? Kalau jawabanmu adalah gaji dan pekerjaan itu sendiri, tidak salah, tetapi kamu mungkin melupakan salah satu faktor penting, yaitu cultural fit.

Menurut breathehr.com, cultural fit akan membantu kamu bisa bekerja dengan nyaman dalam suatu perusahaan.

Kamu pasti tidak ingin membuang waktu serta tenaga melamar pekerjaan, tapi malah merasa kalau pekerjaan atau perusahaan tersebut ternyata tidak sesuai dengan kamu, kan?

Nah, supaya terhindar dari kejadian tersebut, dibutuhkan cultural fit. Lalu, apa sih cultural fit itu dan mengapa kamu penting untuk mengetahuinya? Berikut penjelasan singkat yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber!

Apa Itu Cultural Fit?

Cultural fit atau culture fit adalah kecocokan antara kepribadian kamu dengan budaya perusahaan dan cara bekerja yang dimilikinya.

Perlu diketahui juga kalau culture fit bukan berarti semua orang yang ada di perusahaan tersebut mempunyai perilaku yang serupa.

Makanya, supaya kamu bisa paham cultural fit lebih jauh, sebaiknya kamu juga memahami istilah business atau company culture.

Baca Juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Semua perusahaan, menurut cultureamp.com, selalu mempunyai nilai serta prinsip yang dipegang. Hal ini membentuk ‘kepribadian’ dari sebuah perusahaan tersebut.

Sehingga, setiap pekerja di dalam perusahaan diharapkan untuk mempunyai nilai dan prinsip yang dipegang karena hal tersebut ikut memengaruhi proses bisnis perusahaan.

Kalau ternyata nilai dan prinsip pribadimu cocok dengan visi dan misi perusahaan, situasi itu bisa disebut cultural fit.

Mengapa Cultural Fit Penting Buat Para Pekerja?

Buat perusahaan, culture fit menjadi salah satu pertimbangan waktu merekrut calon karyawan.

Hal ini karena cocok atau tidaknya seseorang dengan budaya perusahaan dapat berpengaruh pada lingkungan kerja sampai workflow di perusahaan tersebut nantinya.

Lalu, kenapa kita harus merasa cocok di suatu perusahaan? Mengutip dari  firstbird.com, berikut merupakan beberapa alasannya.

Menurunkan Stres Waktu Bekerja

Salah satu manfaat dari cultural fit, yaitu menurunkan stres waktu bekerja. Waktu tingkat stres tinggi, pastinya kamu sulit untuk bekerja dengan maksimal.

Karena itu, bekerja di lingkungan yang tepat bisa membantumu dalam menurunkan tingkat stres tersebut.

Di sisi lain, waktu kamu merasa cocok dengan lingkungan serta rekan kerja, kamu juga akan dengan mudah bercerita atau meminta bantuan mereka untuk meringankan beban stres.

Cultural Fit dapat Menaikan Produktivitas Kerja

Kalau kamu merasa cocok dengan lingkungan kerja, hal ini juga akan turut menaikan produktivitas kerja kamu. Dengan naiknya produktivitas, hal ini akan membuatmu merasa puas dengan hasil kerja yang kamu kerjakan.

Baca Juga:Budaya Patriarkal, Konservatisme Agama Hambat Perempuan Jadi Ketua OSIS

Tidak cuma itu, kamu juga akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memperoleh kebahagian dalam pekerjaan ataupun karier.

Kamu akan Merasa Betah di Tempat Kerja

Manfaat lain adalah kamu akan merasa betah di tempat kerja. Ketika kamu cocok dengan lingkungan kerja, ada kemungkinan besar kamu akan jadi nyaman untuk berpartisipasi di dalamnya.

Sehingga, hal ini akan membuatmu jadi fokus dan memberikan hasil terbaik waktu bekerja.

Membantu Kamu untuk Cocok Bekerja di Perusahaan

Manfaat lain cultural fit adalah membuat kamu bisa cocok dengan orang-orang yang ada di perusahaan.

Perasaan cocok itu tidak sebatas pada interaksi dengan rekan kerjamu. Hal ini juga berdampak pada bagaimana kamu dapat merasa serasi dengan cara perusahaan bekerja.

Waktu kamu merasa sesuai dengan cara perusahaan bekerja, hal ini bisa membuat kamu mencapai work-life balance.

Di sisi lain, kamu juga bisa merasa lebih jadi bagian dalam sebuah tim atau perusahaan. Ini penting buat menaikan kualitas kerja sama atau kolaborasi.

Memudahkan Komunikasi

Alasan lain mengapa cultural fit penting adalah memudahkan kamu berkomunikasi. Dalam menyelesaikan sebuah rencana kerja, pastinya kamu tidak mungkin mengerjakannya sendirian.

Komunikasi dan kerja sama dengan rekan kerja akan jadi kewajiban, baik itu waktu meeting atau diskusi. Tidak cuma itu, kolaborasi dengan rekan kerja pun butuh komunikasi yang terbuka dan jelas.

Baca Juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Sehingga, waktu berada di lingkungan kerja yang cocok, hal ini bisa membuatmu lebih mudah dan nyaman dalam berkomunikasi atau menyampaikan ide.

Itulah penjelasan singkat yang perlu kamu ketahui mengenai cultural fit. Sebab, bekerja di perusahaan yang cocok denganmu ternyata punya efek signifikan pada kebahagiaan kita, baik dalam karier dan kehidupan.

Read More