newsroom ramah perempuan

Jumlah Bukan Jaminan, ‘Newsroom’ Ramah Perempuan Masih Angan-angan

Seorang jurnalis televisi di Australia, Virginia Haussegger, pernah melayangkan kritik sekaligus protes di tempat kerjanya pada 2005 karena dirinya hanya ditugasi liputan isu-isu kecil, sementara kolega laki-lakinya selalu diberikan liputan yang lebih menantang dan “berat”, seperti politik dan isu-isu internasional.

Kritik Haussegger ini diabaikan oleh sang atasan—ia disuruh diam, tidak protes, dan kembali bekerja. Beberapa jam kemudian, Haussegger bahkan mendapati sebuah penis besar berbahan karet berwarna hitam tergeletak di atas meja kerjanya.

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Apa yang Haussegger lakukan untuk merespons kejadian itu? Ia pergi ke ruangan sang atasan sambil menempelkan penis karet itu di kepalanya.

“Lihat, saya juga punya (penis). Apa sekarang saya sudah bisa mendapatkan tugas liputan di luar negeri?” ujarnya.

Kisah Haussegger itu dikisahkan Louise North dalam penelitiannya yang berjudul ‘Rejecting the ‘F-word’: How feminism and feminists are understood in the newsroom’ (2009). Selain kisah Haussegger, penelitian ini juga menyoroti bagaimana diskriminasi gender bekerja secara lebih lanjut di dalam ruang redaksi atau newsroom sehingga menimbulkan kesempatan kerja yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan jurnalis.

Salah seorang responden penelitian ini mengatakan, semua editor di media tempatnya bekerja atau newsroom adalah laki-laki. Mereka juga selalu memberikan liputan politik kepada laki-laki, sementara perempuan hanya diberikan liputan ringan dan gaya hidup populer. Padahal, kultur di kebanyakan media menganggap liputan politik sebagai topik yang lebih baik, potensial, dan menantang ketimbang liputan gaya hidup. Sehingga, para laki-laki jurnalis lah yang memiliki kesempatan untuk dipromosikan lebih cepat dan mudah.

Hal itu terdengar kontradiktif dengan jargon-jargon yang umum kita dengar di keseharian bahwa perempuan dan laki-laki sudah memiliki kesempatan yang sama di tempat kerja. Khususnya dalam dunia jurnalisme, kini banyak pihak mengatakan bahwa jurnalis bukan lagi sebuah profesi maskulin, karena sudah banyak melibatkan pekerja perempuan.

Tapi apakah kuantitas itu bisa mengakomodasi realita yang ada dalam seluruh aspeknya?

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Representasi di Level Kepemimpinan Minim

Data dari “Laporan Global dalam Status Perempuan di Media” yang diinisiasi International Women’s Media Foundation (2011) menunjukkan, ada 690 orang atau sekitar 45,5 persen perempuan jurnalis di delapan perusahaan media di Perancis. Sementara jumlah laki-laki jurnalis mencapai 826 orang atau setara 54,5 persen.

Secara kuantitas, kondisinya mungkin tidak terlalu timpang. Namun temuan Carolyn M. Byerly, profesor komunikasi gender dari Howard University, AS, yang juga merupakan peneliti dari laporan ini,  mengatakan representasi perempuan sangatlah minim di level manajemen ke atas, dan hal ini menunjukkan adanya glass-ceiling bagi para perempuan jurnalis di Prancis.

Di tingkat manajemen puncak, dari kelapa divisi keuangan sampai dewan direksi, hanya ada 33,3 persen perempuan. Keikutsertaan para perempuan dalam level pengambilan keputusan tertinggi, seperti dewan pengurus, juga sangat kecil, yaitu 16,7 persen.

Byerly juga mengatakan bahwa angka ini menunjukkan perempuan tidak mungkin bisa memberikan pengaruh besar dalam urusan keuangan perusahaan, serta pengambilan keputusan tingkat eksekutif lainnya.

Perempuan memang mendominasi dalam urusan desain, wardrobe, keuangan, administrasi, dan penjualan. Tapi mereka tidak memainkan peranan penting di level jabatan yang terlibat langsung dengan produksi dan kerja jurnalistik, termasuk pengumpulan berita.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia, sebagaimana yang disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam penelitiannya yang berjudul “Jejak Jurnalis Perempuan: Pemetaan Kondisi Kerja Jurnalis Perempuan di Indonesia” (2012). Dari total 189 orang perempuan jurnalis yang diteliti, hanya 11 di antaranya yang menduduki jabatan sebagai pengambil kebijakan redaksi, yaitu satu orang pemimpin redaksi, satu orang editor, satu orang kepala seksi program, tiga orang produser, dan lima orang redaktur.

AJI mengungkap, perusahaan media di Indonesia juga belum memperhatikan kondisi kerja para perempuan jurnalis, karena tidak memberikan waktu istirahat bagi perempuan yang sedang menyusui, tidak menyediakan ruang laktasi, dan cuti haid.

Hal itu tentu tidak terlepas dari berbagai bias, stigma, dan prasangka yang melekat pada diri perempuan pekerja, hingga melahirkan banyak tantangan dan hambatan. Seperti beban ganda antara pekerjaan domestik dan pekerjaan di kantor, maupun antara tuntutan menjadi pribadi yang ramah dan submisif serta tuntutan untuk bisa survive di kultur perusahaan yang keras dan maskulin, absennya kebijakan yang bisa merealisasikan hak-hak mereka (cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, ruang laktasi, dan sebagainya), sampai perlakuan atasan dan kolega yang seksis dan kerap melecehkan mereka.

Baca juga: Riset: Hanya 11% Perempuan Jadi Narasumber Media di Indonesia

Diskriminasi dan Pemisahan Gender di dalam Newsroom

Temuan Observatory of Press Profession and the Observatory of Audiovisual Profession and Qualifications (2011) di Perancis menunjukkan, perempuan lebih banyak menempati berbagai posisi tidak tetap di perusahaan media, seperti pekerja lepas dan pekerja kontrak.

Hal ini membuat kesenjangan gender terlihat dari upah mereka lebih rendah ketimbang para laki-laki jurnalis, dengan selisih 4.082 euro per bulan. Situasi ini juga diperburuk oleh fakta bahwa pekerja perempuan lebih sering dan rentan keluar dari bursa tenaga kerja, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi ketimbang laki-laki ketika mereka memiliki anak.

Di perusahaan media juga terdapat pemisahan vertikal dan horizontal antar gender. Pemisahan vertikal mencakup pemisahan-pemisahan yang bertingkat, seperti perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, serta representasi perempuan yang jauh lebih sedikit ketimbang laki-laki di jenjang dan posisi karier yang krusial.

Baca juga: Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Riset AJI pada 2012 tadi juga menemukan bahwa walau tidak ada perbedaan gaji dan fasilitas yang diterima perempuan dan laki-laki, tapi para perempuan jurnalis kerap mengalami diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan selama bekerja. Sebanyak 6,59 persen jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dan 14,81 persen mengalami pelecehan.

Diskriminasi umumnya didapatkan perempuan jurnalis ketika meliput di kepolisian. Menurut riset AJI, mereka kerap dipandang sebelah mata karena peliputan di kepolisian dianggap hanya untuk laki-laki.

Dari sinilah ketidak setaraan yang struktural bermula dan terus-menerus dilestarikan, hingga membuat industri media yang seharusnya mengakomodasi keberagaman tak ubahnya kebanyakan sektor publik yang menjadi boy’s club.

Baca Juga: Kebijakan SDM yang Lebih Inklusif Dorong Keberagaman di Tempat Kerja

“Akibatnya, meski bisa disimpulkan bahwa kehadiran perempuan di ruang redaksi atau newsroom terbukti mendorong dihasilkannya konten-konten berita yang mewakili suara perempuan, dampak itu terbatas karena dominasi subjek berita laki-laki yang bertahan di luar dan di dalam perusahaan media,” kata Eugenie Saitta dalam penelitiannya yang berjudul “France: A Nuanced Feminization of Journalism” (2011).

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Read More
pelecehan seksual dalam industri film

Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

Salah satu tantangan di lingkungan kerja terkait dalam industri film adalah pelecehan seksual dan kurangnya pemahaman mengenai perilaku seperti apa yang termasuk dalam tindak pelecehan seksual. Banyak yang masih mengira candaan yang merendahkan tubuh (body shaming), atau merendahkan gender (termasuk catcalling) belum termasuk pelecehan seksual dengan dalih, “Kan belum ada kontak fisik?”.

Namun, kontak fisik seperti merangkul/menyentuh (lazimnya kru perempuan) dengan dalih ekspresi keakraban padahal tidak disukai dan dianggap mengganggu, masih dianggap wajar. Jenis pelanggaran yang dianggap “enteng” semacam ini masih kerap terjadi di lingkup kerja terkait produksi film yang termasuk pelecehan seksual dalam industri film.

Berulangnya tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam industri film telah mendorong sejumlah pegiat perfilman pada 2019 untuk meluncurkan inisiatif “Sinematik Gak Harus Toxic”, yang membuka kotak aduan pelecehan dan atau kekerasan seksual di lingkungan komunitas dan kegiatan perfilman.

“Tujuan dari kampanye ini adalah menghapuskan dan mencegah terulangnya tindak pelecehan dan atau kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan komunitas film dan atau kegiatan perfilman, baik yang baru terjadi maupun yang sudah terjadi bertahun-tahun silam,” tulis mereka dalam keterangan resmi.

Sayangnya, tindak pelecehan seksual itu terus berlangsung. Awal tahun 2020, aktris Mian Tiara menulis sebuah utas di Twitter yang mengisahkan kronologi pelecehan seksual terhadapnya oleh aktor senior “Burhan”. Ia menyatakan bahwa cukup lama cerita itu ia simpan karena tidak mau mengacaukan proses syuting yang sedang berjalan. Ia kemudian berbicara kepada salah satu pemain, kemudian para sutradara dan produser yang sesama perempuan. Burhan sendiri malah tersinggung dan menampik pengakuan Tiara.

Pernyataan Tiara mendorong aktris Hannah Al Rashid dan editor film Aline Jusria untuk berbagi pengalaman mereka menghadapi pelecehan seksual dari orang yang sama. Sejumlah teman Aline juga mengisahkan pengalaman serupa, baik oleh pelaku yang sama ataupun berbeda. Tapi rata-rata para pekerja film ini enggan melaporkan atau bercerita soal pelecehan yang dialami, mungkin akibat kemunculan kesadaran akan pelecehan seksual yang terlambat di Indonesia.

Baca juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Read More
Nawal El Saadawi tutup usia

Nawal El Saadawi Aktivis Perempuan Legendaris dari Mesir

Aktivis perempuan terkemuka dari Mesir, Nawal El Saadawi, yang buah pikirannya telah menginspirasi dan memengaruhi banyak feminis di dunia, tutup usia pada Minggu, 21 Maret 2021. Semasa hidupnya, ia mengabdikan diri pada perjuangan membela hak perempuan, selain sebagai psikiater dan ahli kesehatan masyarakat.  

Baca Juga: Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Ia banyak sekali menulis tentang isu perempuan dalam Islam dan sangat menaruh perhatian terhadap praktik sunat perempuan dalam masyarakat Mesir, yang juga ia alami. 

El Saadawi adalah penulis produktif, telah menghasilkan lebih dari 55 buku yang mengangkat isu gender dalam masyarakat yang konservatif. Bukunya yang paling berpengaruh dan telah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia adalah Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) pada 1975.

Profil Penulis Feminis Mesir Nawal El Saadawi 

Nawal El Saadawi lahir pada 27 Oktober 1931 di sebuah desa bernama Kafr Tahla dan merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. 

Pada tahun 1955 ia lulus sebagai dokter dari Universitas Kairo. Di tahun itu juga El Saadawi menikah dengan Ahmad Helmi yang ia kenal saat kuliah. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang anak bernama Mona Helmi. 

El Saadawi tak hanya mendedikasikan pengetahuannya di dalam dunia kedokteran untuk pelayanan kesehatan, namun juga untuk menyoroti masalah kesehatan perempuan secara fisik dan psikologis yang disebabkan oleh budaya opresif yang mereka terima, seperti patriarki dan opresi kelas. 

Baca Juga: Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

Ia mengamati secara langsung bagaimana opresi terhadap perempuan sangat memengaruhi kesehatan fisik dan psikologis mereka saat ia membuka praktik di kampung halamannya. Saat itu, salah seorang pasiennya mengalami kekerasan domestik dan ia mencoba untuk melindungi pasiennya tersebut. Setelah kejadian tersebut ia dipanggil pulang ke Kairo dan menjadi seorang direktur di Kementerian Kesehatan Masyarakat. 

Merupakan Penulis Kontroversial mengenai Feminisme

El Saadawi punya ciri feminisme yang sangat terbuka. Dia menulis soal topik-topik kontroversial di Mesir, termasuk isu poligami serta sunat pada perempuan.

Karena kritis pada pemerintah, ia sempat dipenjara, dan juga mengalami persekusi baik dari pihak pemerintah dan kelompok Islamis. Itu sebabnya pada tahun 1993, El Saadawi menempuh pendidikan di Universitas Duke, North Carolina, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi pengajar di sana selama tiga tahun. Ia juga menjadi pengajar di University of Washington. 

Tidak hanya di dua universitas itu saja, Saadawi juga memegang posisi seperti Universitas Kairo, Harvard, Yale, Columbia, Sorbonne, dan universitas bergengsi lainnya. 

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ia kemudian kembali ke Mesir dan memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2005. Tetapi rencana itu batal, terhalang oleh persyaratan yang super ketat untuk calon-calon baru. 

Buku-bukunya yang kritis sudah berhasil diterbitkan ke dalam banyak bahasa dan juga menjadi rujukan untuk para feminis Barat, termasuk kawannya, Gloria Steinem. Ia juga mengkritik kebijakan yang dianut para pemimpin negara seperti penyerangan mantan Presiden AS, George W. Bush ke Irak dan Afghanistan.

Karier Nawal El Saadawi sebagai Penulis dan Aktivis Pembela Hak Perempuan

Saat bekerja di Kementerian Kesehatan, pada tahun 1972, Saadawi menerbitkan sebuah buku berjudul Women and Sex yang mengonfrontasi serta mengontekstualisasi berbagai agresi terhadap tubuh perempuan, salah satunya praktik sunat perempuan. Buku ini menjadi salah satu fondasi gerakan feminisme gelombang kedua. Namun buku ini membuat Saadawi dipecat dari Kementerian Kesehatan.

Baca Juga: Sonia Sotomayor Hakim Agung Perempuan dalam Pelantikan Presiden Amerika Joe Biden dan Kamala Harris

Setelah ia kehilangan posisinya di Kementerian dan Asosiasi Kesehatan Mesir, ia bekerja di Fakultas Kedokteran Ain Shams University pada 1973 hingga 1976. Pada 1979 hingga 1980, ia ditunjuk menjadi Penasihat PBB untuk program berkaitan dengan isu perempuan di Afrika dan Timur Tengah.

Tantangan Saadawi sebagai Aktivis Pembela Hak Perempuan 

Dari banyak advokasi yang ia jalankan dan sikap kritisnya terhadap pemerintah Mesir yang opresif saat itu, Saadawi dipenjara pada tahun 1981 Saadawi oleh Presiden  Mesir Anwar Sadat. Ia ditahan di penjara Qanatir.  

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Meski tubuhnya dipenjara, semangatnya untuk membela hak-hak perempuan tidak pernah padam. Ia dilarang memegang pensil atau alat tulis lainnya, tetapi ia tetap menuangkan pemikiran-pemikirannya pada kertas tisu toilet menggunakan pinsil alis. Ia dibebaskan tiga bulan kemudian dan pada tahun 1982 mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab. 

Fase ini menjadi salah satu basis dari memoarnya yang berjudul Memoirs from the Women’s Prison. Sembilan tahun sebelum ia dipenjara, ia pernah berkontak dengan salah satu tahanan di sana dan kontak ini menjadi sebuah inspirasi dari novel Woman at Point Zero

Read More
lingkungan kerja toksik

Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Pada Februari lalu, aktor Charisma Carpenter, salah satu pemeran serial 1990-an populer Buffy the Vampire Slayer dan Angel, mengungkapkan perilaku abusive dan tidak profesional sutradara kedua serial yang dibintanginya tersebut, Joss Whedon.

Dilansir Vulture, Carpenter menyatakan lewat Twitter bahwa ia menerima berbagai perlakuan buruk dari Whedon saat syuting, terutama ketika ia sedang hamil. Carpenter menyebut Whedon bersikap pasif agresif terus menerus, serta kerap merendahkan orang-orang yang bekerja dengannya. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa Whedon sering pilih kasih, mengadu domba orang, dan membuat mereka berkompetisi untuk mendapatkan perhatian dan persetujuannya.

“Dia [Whedon] bertanya apakah saya bisa ‘menyimpannya’ [soal kehamilan saya] dan secara manipulatif menggunakan keperempuanan dan kepercayaan saya untuk menyerang saya. Dia kemudian menyerang karakter saya, menghina agama yang saya anut, menuding saya menyabotase serialnya, dan secara tidak hormat memecat saya begitu saya melahirkan,” papar Carpenter.

Testimoni Carpenter ini muncul setelah pertengahan tahun lalu aktor Ray Fisher, pemeran Cyborg dalam film Justice League (2017) yang juga disutradarai Whedon, mengungkapkan hal serupa. Juga melalui Twitter, Fisher menyebut Whedon menjijikkan, abusive, tidak profesional, sama sekali tidak bisa diterima.

Ia melanjutkan, perilaku Whedon semacam ini “difasilitasi” oleh mantan co-president produksi Warner Bros, Jon Berg dan mantan DC Entertainment president and chief creative officer, Geoff Johns. Pada Oktober 2020 dalam wawancara dengan Forbes, Fisher menyebut para eksekutif di studio tersebut terang-terangan melakukan percakapan rasis saat memproduksi film superhero itu.

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

Dampak Besar Lingkungan Kerja Toksik

Kasus beberapa selebritas Hollywood ini hanya sebagian contoh kecil dari fenomena lingkungan kerja toksik yang dapat ditemukan di berbagai industri. Dalam banyak kasus, lingkungan kerja toksik sering ditoleransi dengan macam-macam alasan, seperti, memang begitulah kerasnya meniti karier; kalau ingin cepat dipromosikan atau bisa terus menerima gaji ikuti saja semua kemauan atasan; perilaku buruk yang ditemukan di kantor ini juga sama halnya dengan di kantor-kantor lain, jadi terima saja atau tinggalkan sama sekali; atau tidak ada aturan dan sanksi tegas soal tindakan apa yang tidak bisa diterima di lingkungan kerja.

Alasan-alasan yang sering dipakai tersebut pada akhirnya mendatangkan konsekuensi besar bagi korban perlakuan buruk seseorang di tempat kerja, baik rekan sejabatan atau sedivisi maupun bos atau pemilik perusahaan.

Dalam kasus Carpenter, perempuan itu mengaku mengalami masalah kesehatan fisik kronis dan kecemasan berlarut-larut. Sementara dalam testimoninya yang tertuang di artikel YourTango, Rachel Reed bercerita bahwa dirinya bahkan mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) karena bekerja dengan orang berperilaku agresif.

Di samping kedua masalah kesehatan ini, korban lingkungan kerja toksik juga dapat mengalami depresi atau sering kelelahan luar biasa dan jatuh sakit. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melakukan penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol.

Lingkungan kerja toksik juga berkontribusi terhadap perasaan mudah tersinggung yang dialami para pekerja. Lebih jauh lagi, jika mereka terus terpapar lingkungan semacam ini, produktivitas para pekerja bisa menurun seiring hilangnya motivasi mereka.

Bagi banyak penyintas kekerasan, termasuk yang terjadi di tempat kerja, baik kekerasan fisik, seksual, maupun emosional, tidak mudah untuk menceritakan kasusnya karena ada kemungkinan mereka tidak dipercaya, apalagi jika pelaku adalah orang yang lebih berkuasa. Lebih lanjut, mereka bisa terancam kehilangan pekerjaan atau bahkan berurusan dengan hukum dan direviktimisasi bila melaporkan pengalamannya.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Tanda-Tanda Lingkungan Kerja Toksik

Mengetahui bahayanya dampak lingkungan kerja toksik, kita perlu mengenali berbagai tanda-tandanya sehingga di kemudian hari kita bisa mengambil langkah tepat untuk menyikapinya. Berikut ini beberapa tandanya yang perlu kita waspadai.

1. Komunikasi yang Buruk dalam Perusahaan

Lingkungan kerja toksik tidak memiliki komunikasi yang terbuka atau sangat minim antara para pekerjanya. Di lingkungan seperti ini, sering kali tidak ada komunikasi jelas tentang proyek yang sedang dikerjakan bersama sehingga muncul potensi kesalahpahaman menerima dan menyebarkan pesan.

Komunikasi buruk juga melibatkan kegagalan pekerja untuk saling mendengarkan dan ketiadaan penghargaan atas suatu pekerjaan. Karena kurangnya komunikasi, kemungkinan pekerja untuk berkembang melalui tanggapan positif atau kritik menjadi terhambat.

Dalam relasi atasan-bawahan, komunikasi buruk menimbulkan halangan dalam kerja kolaborasi di suatu perusahaan. Tidak jarang bawahan menjadi enggan bertanya atau berpendapat ketika ia merasa pola komunikasi atasannya buruk.

2. Budaya ‘Nge-geng’ dan Bergosip Ciri Lingkungan Kerja Toksik

Budaya nge-geng juga bisa ditemukan di tempat kerja, yang mengucilkan pihak tertentu. Ini menjadi hal buruk dalam konteks kerja kolaborasi, di mana setiap pihak mesti dilibatkan.

Seiring dengan budaya nge-geng, lazim pula ditemukan budaya bergosip. Dalam konteks profesional, terlalu banyak gosip adalah tanda lingkungan kerja toksik, apalagi berkaitan dengan teman kerja kita atau kondisi perusahaan kita sendiri.

Hal ini bisa memunculkan kesalahpahaman atau favoritisme karena seseorang termakan gosip. Kalau ujungnya orang yang digosipkan tahu apa yang dibicarakan suatu kelompok, bisa terjadi konflik personal yang berdampak besar terhadap kinerja bersama yang dituntut oleh kantor.

Dalam relasi perusahaan-karyawan, gosip tidak benar soal perusahaan yang beredar malah bisa menjadi bumerang yang mengancam keberlangsungan kerja si karyawan sendiri.

3. Karyawan yang Keluar-Masuk Banyak atau Turn Over Tinggi

Kalau terlalu banyak karyawan yang keluar masuk perusahaan, kita patut curiga kalau lingkungan kerjanya punya tanda-tanda toksik. Terlebih lagi, jika mereka ternyata merasa jauh lebih baik bekerja di lingkungan yang baru.

Selain tawaran gaji dan pekerjaan lebih baik dari kantor berikutnya, seorang biasanya keluar karena ada sesuatu yang tidak beres dalam kantornya; entah berhubungan dengan komunikasi buruk tadi, teman yang menusuk dari belakang, persaingan atau politik kantor yang tidak sehat, kebijakan kantor kurang mendukung, bos yang tidak apresiatif, atau target kerja yang disetel tidak realistis dan tidak sepadan dengan upah.

4. Praktik Tidak Adil

Kalau kita menemukan adanya diskriminasi, baik terkait gender, ras, maupun latar belakang tertentu, ketiadaan kesempatan berpendapat, kesenjangan gaji di posisi sama, atau tidak ada pemenuhan hak karyawan (cuti sakit, hamil, izin keluarga meninggal, jam kerja wajar, tunjangan kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja) bisa dibilang lingkungan kerja kita toksik. Dalam hukum negara kita saja hal ini sudah diatur, jadi sepatutnya perusahaan kita juga mengikuti aturan yang ada.

Di lingkungan profesional maupun di luar itu, semua tindakan tersebut tidak bisa ditoleransi dan idealnya, kantor punya aturan tegas soal ini. Kalau ternyata pihak kantor tidak memilikinya, dan diam saja waktu diskriminasi terjadi, kita tidak perlu berlama-lama bertahan di perusahaan tersebut.

Kalau kita memaksakan bekerja di bawah lingkungan serba tidak adil, kita hanya akan mengemban beban bertumpuk-tumpuk yang berpengaruh buruk terhadap performa dan produktivitas kita seperti disebut sebelumnya. Kita pun tidak akan bisa berkembang selama sistem yang diterapkan di kantor tidak inklusif dan adil bagi semua pihak.

5. Kekerasan Diwajarkan

Tanda yang satu ini sudah jadi peringatan keras agar kita cepat-cepat meninggalkan lingkungan kerja toksik. Kita tidak perlu menoleransi apa pun bentuk kekerasan di kantor baik yang fisik, verbal, seksual, atau emosional.

Sebagian teman kantor yang suka melecehkan atau melontarkan candaan seksis, atau bos yang sering main fisik, mengeluarkan kata-kata kasar, mempermalukan karyawan di depan umum, dan tidak menghargai proses kerja adalah sebagian contoh bagaimana kekerasan diwajarkan di kantor.

Saat hal ini terjadi dan sangat mempengaruhi kita, kita berhak melapor ke perusahaan. Jika perusahaan masih mengabaikan, kita juga berhak lho mengurus ini lebih lanjut secara hukum. Siapa pun sudah sewajarnya dilindungi negara dari kekerasan, bukan?

Read More
Nyai Masriyah Amva

Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

Masriyah Amva, biasa dipanggil Nyai Masriyah, adalah pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy di Cirebon, Jawa Barat. Beliau dikenal ramah serta sangat dikagumi oleh para santrinya, karena melakukan banyak terobosan. Ia adalah ulama perempuan inspiratif, namun tentu saja ia menghadapi banyak tantangan.

Dibesarkan di lingkungan pesantren, ayah dan kakek Nyai Masriyah adalah para ulama terpandang di Cirebon. Orang tuanya cukup progresif, sang ayah Amrin Khanan menginginkan semua anaknya menjadi ulama. Nyai Masriyah kemudian menimba ilmu di Pesantren Al-Muayyad Solo dan Pesantren Al-Badi’iyyah Pati di Jawa Tengah, serta Pesantren Dar Al-Lughah wa Da’wah di Bangil, Jawa Timur.

“Bapak ibu saya ini orang yang cerdas. Walaupun belum ada istilah ulama perempuan, dan meski anak-anaknya perempuan semua, mereka berdoa dengan keras anak-anaknya bisa menjadi ulama,” ujar Nyai Masriyah Amva, dalam wawancara dengan podcast How Women Lead.

Namun, tantangan pertama datang dari para kerabat yang mendorong orang tuanya untuk menikahkan Masriyah. Ini memang merupakan salah satu tantangan perempuan dalam berkarier. Masriyah akhirnya dinikahkan dengan seorang kiai pengasuh Pesantren Kebon Melati. 

“Kata pakde saya, sayang kalau dilewatkan mumpung ada laki-laki yang berilmu tinggi menginginkan saya. Pakde memaksa saya kawin. Di situlah orang tua saya merasa gagal mewujudkan cita-citanya untuk menjadikan saya ulama perempuan,” ujar Nyai Masriyah.

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

Setelah menikah, Nyai Masriyah bersama dengan sang suami, Kiai Haji Muhammad, mendirikan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy. Namun, pada 2007, suaminya meninggal dunia, meninggalkan Nyai Masriyah dalam keadaan limbung.

Kepemimpinan Membumi Ulama Perempuan Masriyah Amva 

Dalam suasana berduka yang besar, Masriyah harus dihadapkan pada tanggung jawab keberlangsungan pesantren. Namun, saat itu banyak yang tidak mempercayai perempuan berkompeten menjadi pemimpin, sehingga banyak santri yang memilih untuk keluar. 

“Waktu itu saya kaget sekali saat santri-santri meninggalkan saya. Tapi saya terpaksa tampil walaupun saya tidak memiliki modal sosial, tidak dipercaya oleh masyarakat. Saya katakan kepada mereka, saya sudah menemukan pendamping saya, yaitu Allah SWT,” kata Nyai Masriyah.

Baca Juga: Theresa Kachindamoto Pemimpin Perempuan penyelamat Anak-Anak Perempuan Malawi

Di awal kepemimpinannya, ia banyak sekali mendapat cemoohan dari masyarakat, bahkan ulama-ulama besar. Nyai Masriyah kerap kali dihadapkan pada laki-laki yang melakukan mansplaining padanya, padahal saat itu ia sudah menjadi seorang pemimpin dan juga tidak kalah berilmu.

“Banyak sekali laki-laki yang menafikan kerja saya. Pernah ada yang datang ke rumah, ketika ada sebuah kegiatan semacam reuni. Enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba dia ngomong di depan saya, ‘Kamu tahu enggak kalau kamu itu nol besar. Kamu bukan siapa-siapa. Pesantren ini bisa berdiri dan berkembang karena anak-anak (santri laki-laki) dan berkat alumni yang solid’,” Masriyah mengatakan.

“Saya iya-iya saja,” ia menambahkan. 

Masriyah tidak menyangkal bahwa ada saat-saat dia merasa tidak percaya diri menjadi seorang pemimpin akibat hal-hal tersebut. Namun, ia tetap berteguh dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT agar selalu diberikan kekuatan.

Pemimpin Inspiratif Nyai Masriyah Amva Memimpin Pesantren Kebon Jambu di Kala Pandemi 

Sudah 13 tahun Nyai Masriyah Amva memimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy di Cirebon. Selain tantangan dari masyarakat, selama setahun ini ia juga menghadapi tantangan besar karena pandemi COVID-19. Pembelajaran yang seharusnya dilakukan secara tatap muka tidak bisa lagi dilakukan.

Pada empat bulan pertama pandemi, Nyai Masriyah Amva memutuskan untuk memberhentikan sementara semua aktivitas pesantren. Dengan sekuat tenaga dan penuh empati, Nyai Masriyah berusaha keras agar orang-orang yang bekerja di pesantren tetap bisa hidup. 

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

“Alhamdulillah, kami masih bisa memberi makan pekerja kami, dan bisa bertahan,” ujar Nyai Masriyah Amva dalam perbincangannya bersama dengan podcast How Women Lead. 

Nyai Masriyah tidak hanya bergulat menghidupi para pekerjanya. Warga di sekitar pesantren yang terkena dampak pandemi pun ia bantu dengan sepenuh hati. Ia membantu mereka dengan mempromosikan barang-barang yang dijual warga di grup-grup WhatsApp. 

“Ada yang jualan kerupuk , ikan asin, macem-macem lah. Jadi sampai sekarang situasi sudah normal perdagangan masih jalan. Kalau petani jamur, kita jualkan jamurnya, jagung, semua kita jalani,” ujarnya.

Setelah libur sekian lama, para santri kemudian datang bertahap untuk kembali mondok. 

“Minta surat kesehatan biasa. Kalau rapid e mahal ya, duitnya mereka enggak ada. Suhunya kemudian kita periksa, sampai sekarang sudah pada kembali semua,” ujarnya.

Masriyah Ulama Perempuan yang Ingin Jadi Perempuan Mandiri

Sebagai seorang ulama perempuan yang berteguh pada interpretasi ajaran Islam yang berkesetaraan gender, Nyai Masriyah bukanlah sosok yang suka memaparkan banyak teori. Ia lebih banyak mencontohkan dalam perbuatan sehari-hari atau lewat obrolan santai bersama santri dan guru. 

Baca Juga: Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

Masriyah selalu mendorong para santri perempuannya untuk selalu percaya diri dan tidak minder ketika berkompetisi dengan laki-laki. Hal ini juga merupakan salah satu contoh bagaimana mendidik anak perempuan menjadi pemimpin.

“Saya sering mengarahkan mereka bahwa perempuan dan laki-laki itu memiliki kesadaran dan kesempatan yang sama, kalau sandaran kita sama. Kalau perempuan bersandarnya kepada Tuhan, laki-laki juga begitu. Maka kekuatannya sama,” kata Masriyah

Selama 13 tahun, ulama perempuan Masriyah Amva bekerja sebagai pemimpin pondok pesantren. Ketika ada hal-hal yang membuatnya gundah, Masriyah menemukan ketenangan dalam bentuk menulis puisi. 

Hingga saat ini tercatat cukup banyak buku puisi karya Nyai Masriyah, termasuk Ketika Aku Gila Cinta, Cara Mudah Menggapai Impian, dan Matematika Allah.

Read More
Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Maria Ulfah Santoso adalah salah satu contoh bagaimana feminisme itu sudah ada di Indonesia sejak Indonesia belum terbentuk, alih-alih sebuah produk impor dari Barat sebagaimana diyakin banyak pihak. Aktivis hak perempuan dan politisi itu memiliki buah pikiran penting bagi perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ia pintar dan kritis serta berdaya juang tinggi, berkontribusi besar pada pergerakan nasional.

Lahir pada 18 Agustus 1911 di Serang, Banten, Maria yang bernama lengkap Hajjah Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo itu merupakan perempuan Indonesia pertama yang memiliki gelar bidang hukum, sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi anggota kabinet.

Baca Juga: Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Berlawanan dengan keinginan sang ayah, R.A.A. M. Achmad, seorang bupati Kuningan yang berada, Maria Ulfah tidak mengambil pendidikan dokter. Ia lebih memilih ilmu hukum karena khawatir melihat nasib kurang baik perempuan saat menghadapi perceraian.

Saat Maria Ulfah Santoso bersama keluarganya berkunjung ke Belanda pada tahun 1920-an, ia memutuskan untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Saat berkuliah Maria tinggal di rumah keluarga Belanda dan menetap bersama Siti Soendari, yang merupakan adik bungsu Soetomo, dokter dan kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

Empat tahun berlalu, Maria Ulfah Santoso berhasil menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil mendapatkan gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Ia lulus di usianya 22 tahun dan langsung kembali ke Indonesia. Pernah bekerja di wilayah Cirebon sebagai pegawai honorer dan dikontrak selama enam bulan di Cirebon.

Sosok Maria Ulfah yang Belajar dari Sjahrir

Maria Ulfah pertama kali bertemu dengan Sutan Sjahrir di Belanda pada tahun 1930. Waktu itu, Maria diundang oleh dokter Djoehana yang merupakan saudara dari Sjahrir.

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Meski kontak mereka hanya sebentar karena Sjahrir harus kembali ke Indonesia lebih dahulu tugas dari Bung Hatta, Maria Ulfah mendapat pelajaran banyak dari Sjahrir. Setelah Maria kembali ke tanah air pada tahun 1933, ia dan Sjahrir tidak bisa langsung bertemu karena Sjahrir ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Cipinang.

Kontribusi Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso memiliki jasa besar bagi pergerakan nasional. Pada tahun 1934, ia mulai bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Pergerakan Rakyat. Ia juga sangat giat membangun kursus untuk menghilangkan tingkat buta huruf di kalangan ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.

Kontribusinya buat berjuang mendapatkan hak kaum perempuan dimulai saat ia ikut Konferensi Perempuan Indonesia II tahun 1935 di Jakarta, yang waktu itu masih bernama Batavia. Setelah konferensi tersebut, Maria Ulfa Santoso diminta memimpin Biro Konsultasi yang membawahi isu perkawinan, terutama membantu perempuan-perempuan yang memiliki masalah dalam perkawinannya. 

Peran Ulfah pada Zaman Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang, Maria Ulfah memutuskan untuk bekerja di Departemen Kehakiman atau shikoku.

Baca Juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Pada saat itu, Maria Ulfah masuk ke dalam Majelis Pertimbangan yang dibuat oleh tentara Jepang pada tanggal 16 April 1943 dan dikepalai oleh empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur, serta Ki Hajar Dewantara.

Maria Ulfah juga diminta oleh Prof. Soepomo untuk bekerja di Departemen Kehakiman dari 1942 sampai dengan 1945. Maria Ulfah bertugas untuk menerjemahkan undang-undang serta peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris.

Waktu itu, semua kegiatan masyarakat berfokus untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Tercatat juga kaum perempuan terlibat dalam organisasi Fujinkai. Fujinkai dibuat pada Agustus 1943 dan berkiprah di seluruh bidang sosial yang menyokong Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Kiprah Maria Ulfah Santoso Menjelang Proklamasi

Saat menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia, Maria Ulfa Santoso bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sukses memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

BPUPKI merupakan kumpulan dari orang-orang yang memberikan gagasan mengenai pembentukan negara Republik Indonesia. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, keadaan berubah dengan munculnya pasukan sekutu yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan Pemerintah Indonesia yang sudah terbentuk pada 18/8/1945.

Namun, menurut kelompok pimpinan Soekarno serta Moh Hatta merupakan figur bentukan Jepang hingga tidak mau berdiskusi dengan mereka.

Setelah Indonesia merdeka dan para pemimpin giat membenahi pemerintahan, Sutan Sjahrir menunjuk Maria Ulfah Santoso menjadi “liaision officer“, yang merupakan penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia dengan Sekutu.

Baca Juga: Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Maria Ulfah sampai pada puncak karier berpolitik di Indonesia saat Sutan Sjahrir memilihnya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Waktu ia menjabat sebagai menteri sosial itulah Maria mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial mengenai Hari Buruh.

Pada tanggal 19 Agustus 1947 sampai dengan September 1962, ia menjadi Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Dewan Menteri yang selanjutnya jabatan tersebut diubah menjadi Direktur Kabinet RI.

Dari tahun 1950 sampai dengan 1961 Maria Ulfah Santoso mengemban jabatan sebagai Ketua Sekretariat Kongres Wanita Indonesia.

Dedikasi dan perjuangannya dalam memenuhi hak-hak kaum perempuan, apalagi dalam hukum keluarga dan perkawinan yang diwujudkan pada waktu Pemerintah RI mengesahkan UU No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2/01/1974.

Maria Ulfah Santoso juga merupakan tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia yang melawan poligami. Ia selalu mendorong perempuan untuk lebih maju dan berani berekspresi dalam mengeluarkan idenya dan pandangan kebangsaan yang lebih luas.

Read More
Lian Gogali

Lian Gogali: Suara dari Perempuan Poso

Merlian “Lian” Gogali merupakan aktivis yang berfokus  membangun perdamaian di Poso, Sulawesi Tengah, dengan memberdayakan perempuan di daerah yang pernah dilanda konflik mematikan tersebut. 

Baca Juga: Titi Anggraini: Perempuan Dukung Perempuan untuk Karier yang Lebih Baik

Lian lahir di Taliwan, Poso pada 28 April 1978. Saat konflik Poso pecah pada akhir dekade 1990an dan awal 2000, ia sedang melanjutkan pendidikan masternya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia terpukul melihat dampak konflik pada masyarakat, terutama perempuan. 

Podcast tentang Tips Membangun Koneksi dan Kolaborasi ala Lian Gogali

Dari pengalaman tersebut, Lian pun bertekad untuk mencari tahu apa penyebab konflik tersebut. Ia melakukan penelitian untuk tesisnya dan mewawancarai perempuan dan anak-anak di Poso. Setiap komunitas ia tanyai dan ia perhatikan bagaimana mereka berinteraksi. Dari situ Lian menemukan bahwa para perempuan Poso turut andil dalam menciptakan perdamaian  antar komunitas. 

Setelah menyelesaikan tesisnya, Lian bekerja di beberapa lembaga swadaya masyarakat hingga akhirnya ia mendirikan Institut Mosintuwu pada 2010. Dalam wawancara bersama dengan podcast Indonesia, How Women Lead, Lian mengatakan fokus dari Mosintuwu Institute adalah emansipasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat Poso, melalui pemberdayaan perempuan dan anak.

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Agar berjalan dengan lancar, Lian menggunakan metode dengan konteks lokal agar kurikulum sekolah pembaharu desa dari Mosintuwu Institute bisa relevan dengan perempuan Poso. Di sinilah Lian mulai memahami betapa membangun koneksi dengan warga lokal sangat penting untuk kemajuan desa. 

Membangun Koneksi dengan Menjadi Pendengar Aktif

Selama mengembangkan Mosintuwu Institute, Lian banyak mendapatkan pelajaran ketika berbincang dengan perempuan-perempuan Poso. Salah satunya adalah mengenai pentingnya mendengarkan secara aktif saat kita berbicara dengan orang lain. Menurut Lian,  mendengarkan berarti memberi ruang bagi orang terutama perempuan, untuk bersuara. 

Bagi Lian, mendengarkan itu bukan hanya upaya satu orang saja, tetapi dua orang yang memiliki kemauan untuk memahami hidup sehari-hari antara satu sama lain. Lian mengatakan, mendengarkan merupakan prinsip dasar dalam berkomunikasi.

Baca Juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

“Apalagi kalau kita mendengarkan cerita perempuan, itu seperti radio, padat sekali frekuensinya. Nah, untuk mendapatkan saluran yang tepat, kita perlu berhati-hati karena lapisannya banyak. Sering kali apa yang dibicarakan perempuan itu malah bukan suara mereka,” ujar Lian kepada How Women Lead

Suara perempuan sering kali tidak terdengar, menurutnya, karena mereka mengadopsi suara-suara di sekitar mereka yang sebagian besar adalah laki-laki. Padahal, Lian melihat bahwa perempuan memiliki suaranya sendiri serta memiliki cara berpikir sendiri. 

“Nah, di sekolah ini pelajaran paling pertama adalah belajar mendengarkan. Sebab mendengarkan itu sulit, soalnya semua orang ingin bercerita,” kata Lian. 

Lian Gogali: Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Saat Membangun Koneksi

Sebelum kita menyadari pentingnya mendengarkan secara teliti dan tekun apa yang ingin lawan bicara kita sampaikan, Lian menyadari ada beberapa pilihan bahasa atau slogan yang digunakan oleh lawan bicara kita, dan kita perlu memahami pilihan bahasa tersebut.

“Misalnya, kata damai. Ketika berbicara tentang damai, damai yang mereka bicarakan itu adalah damai yang ditawarkan kepada mereka untuk mereka mini sebagai keyakinan mereka. Kita perlu memeriksa betul konsep bahasa yang digunakan oleh perempuannya, apakah memang benar konsep tersebut benar-benar apa yang ingin mereka sampaikan,” kata Lian.

Baca Juga: Perempuan Indonesia Pascakemerdekaan: Perjuangkan Kesetaraan dalam Pernikahan

Menurutnya, penggunaan bahasa yang dekat dengan lawan bicara kita adalah salah satu jalan terbaik dalam membangun koneksi. Berdasarkan pengamatan Lian, selama ini pemerintah gagal terhubung dengan masyarakat sebab menggunakan bahasa yang tidak memiliki akar emosional dengan masyarakat.

“Apalagi kalau berkaitan dengan kebijakan nasional, yang paling dekat itu ngomongin soal social distancing saja, ini orang-orang desa bakal bertanya, loh itu apa? Apalagi kalau penjelasannya panjang dengan bahasa Indonesia. Itu yang membuat masyarakat memahaminya berbeda dengan yang kita tawarkan,” ujarnya.

Dari hasil pengamatan itu,  Lian pun jadi paham bahwa penggunaan bahasa lokal itu sangat penting dalam penyampaian informasi-informasi untuk warga desa.

Membangun Koneksi dan Memberdayakan Perempuan Poso

Berkat inisiatif yang dilakukan oleh Lian Gogali, saat ini banyak perempuan-perempuan Poso yang terbantu. Sekolah Perempuan dari Institut Mosintuwu tidak hanya mengajarkan cara mendengarkan yang baik, tapi juga bagaimana menguatkan ekonomi solidaritas antar perempuan. Hal ini Lian lakukan sebab ia ingin perempuan Poso mandiri secara ekonomi. 

Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

“Ketika dipraktikkan di lapangan, dia enggak bisa sendirian. Mereka perlu juga bekerja bersama-sama. Salah satu contohnya pasar Salukaya yang didirikan oleh ibu-ibu di sekolah perempuan. Jadi kemampuan yang diajarkan di sekolah perempuan harus dapat menjawab konteks daerah tersebut. Dari sini terlihat ini ah pentingnya untuk berkolaborasi dengan semua pihak,” kata Lian

Read More
Perempuan dalam Periklanan

5 Hal yang Perlu di Pahami Soal Potret Perempuan dalam Periklanan Indonesia

Semua perusahaan berlomba-lomba membuat iklan yang menarik untuk menarik perhatian masyarakat agar produk mereka dikonsumsi dan meraup untung. Untuk membuat iklan, kita memang perlu mengetahui siapa target pasar kita. Nah, untuk meraih target pasar yang dituju, para pembuat iklan kerap kali terjebak dalam stereotip gender bahkan seksisme.

Baca Juga: 10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Masih banyak iklan yang melanggengkan stereotip negatif terutama untuk perempuan. Dalam iklan-iklan bumbu dapur, misalnya, skenario umumnya adalah penggambaran perempuan dengan peran ibu yang sedang sibuk memasak dan terkadang suaminya muncul setelah pulang kerja, kemudian mencicipi makanan dengan gembira.

Dalam iklan produk rumah, misalnya cairan pembersih, perempuan juga tampil lebih banyak, hanya lagi-lagi dengan peran ibu yang sedang mencuci atau menjemur pakaian. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut tentang isu ini, kamu dengarkan podcast FTW Media yang secara lengkap mengupas isu perempuan dalam periklanan.

Memang enggak ada perubahan sampai sekarang? Ada sih, tapi iklan-iklan yang menantang atau meruntuhkan stereotip gender negatif masih sangat sedikit. Contohnya di tataran global adalah ketika Gilette, perusahaan pembuat pisau cukur, mengeluarkan iklan dengan jargon “The Best Men Can Be”, menggantikan jargon sebelumnya, “The Best a Man Can Get”. Iklan baru tersebut menggambarkan tentang bullying dan toxic masculinity, dan bagaimana bahwa laki-laki bisa lebih baik dari itu. Iklan ini banyak mendapat pujian, meski ada cemoohan tentunya. Satu hal yang pasti, perusahaan bisa kok membuat iklan yang keren sekaligus juga memutus stereotip negatif gender dalam masyarakat.  

Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang isu-isu terkait gender dalam periklanan. 

1. Perempuan dalam Iklan dan Karakter Ibu yang Mendominasi

Skenario iklan bumbu dapur atau iklan produk pembersih rumah tangga sering kali menampilkan  dengan karakter ibu yang tengah melakukan kerja domestik. Pun saat ada suami di rumah, biasanya sang suami cuma jadi tim hore saja, atau diperlihatkan sedang akan berangkat atau pulang kerja. Ini menguatkan peran gender normatif bahwa tugas-tugas rumah tangga hanya menjadi tugas seorang ibu.

Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Ketika pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia dan mengubah hidup kita secara drastis, iklan pun juga memperlihatkan perubahan itu. Tapi, lihat saja dalam iklan sebuah susu untuk anak terkenal, di situ lagi-lagi ditampilkan sang ibu, yang menemani anak sekolah online. Lantas, di mana sang ayah? 

Ini juga yang menjadi pertanyaan semua orang ketika melihat gambar legendaris di kotak biskuit Khong Guan yang cuma memperlihatkan ibu dan anak-anaknya. 

2. Karakter Laki-laki Selalu Digambarkan Tidak Paham Soal Urusan Rumah

Mengenai peran ayah di skenario periklanan, sebuah episode podcast Indonesia FTW Media juga membahas hal ini bersama dengan Aliansi laki-laki Baru, sebuah gerakan laki-laki untuk mendukung kesetaraan gender. Fauzan dari komunitas tersebut mengatakan, walaupun sudah ada perempuan yang digambarkan sebagai perempuan pekerja, namun tetap saja skenario perempuan yang mengambil keputusan masih minim.  

“Ini juga terjadi dengan peran laki-laki yang cuma digambarkan sebagai suami yang mencicipi masakan istrinya, atau bahkan nonton di saat istrinya lagi mencuci, ini sangat melanggengkan nilai-nilai patriarki dan sudah enggak relevan dengan masa kini,” ujarnya. 

Baca Juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Menurut Fauzan, peran sosial itu tidak ditentukan dari jenis kelamin, tetapi kemampuan si manusia. Faktanya, baik laki-laki dan perempuan peran mereka dapat dipertukarkan  sesuai dengan kebutuhannya.

“Saya merasa enggak terwakili dalam iklan-iklan yang berada di media, sebab ya skenario tersebut sudah enggak relevan dengan masa kini. Seharusnya penggambaran peran perempuan dan laki-laki sangat cair,” katanya.  

3. Pembagian Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Lanskap Periklanan Indonesia

Sebetulnya, sudah banyak penelitian yang memotret isu perempuan dalam periklanan. Salah satunya dilakukan oleh Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Dalam perbincangan dengan podcast FTW Media, Liestianingsih mengatakan bahwa secara keseluruhan, dari tahun ke tahun, periklanan tidak banyak perubahan. 

“Kita bisa lihat di produk-produk kecantikan, sabun, produk dapur, itu masih didominasi oleh peran perempuan, perempuan pun bukan perempuan pekerja, tapi ibu rumah tangga. Jadi masih tidak banyak berubah,” kata Liestianingsih. 

Ia menambahkan, jika produk tersebut ditujukan kepada target pasar laki-laki, skenarionya banyak berputar di peran laki-laki ranah profesional di ranah publik. 

Temuan lain dari Liestianingsih adalah, untuk produk sabun kewanitaan, perempuan masih tetap digambarkan di posisi submisif dengan tugas memuaskan suami secara seksual.

4. Standar Kecantikan Mustahil di Periklanan

Periklanan juga menguatkan standar kecantikan normatif dan toksik dalam masyarakat. Ini berakibat buruk terutama pada anak dan remaja perempuan. Lebih lengkap tentang hal ini dapat disimak di podcast FTW Media episode (Un)filter Me

Iklan-iklan produk perawatan kulit dan kecantikan masih menampilkan standar kecantikan warisan kolonial. Misalnya, bagaimana pernyataan “aku ingin cantik natural” dalam iklan-iklan itu adalah agar kulit cerah dan lebih putih. Iklan-iklan produk pemutih kulit ini yang masih marak juga tidak menghormati keragaman kulit perempuan, dan dengan jahatnya menyatakan dengan implisit bahwa “kamu tidak akan dicintai kalau kulitmu tidak putih.”

5. Iklan-iklan Keren yang Tampilkan Kesetaraan Gender 

Kabar baiknya, sedikit-sedikit ada iklan yang muncul dan sedikit membongkar stereotip gender. Salah satunya iklan ABC tentang kampanye suami sejati. Iklan tersebut pada intinya mengajak para suami untuk lebih banyak terlibat di dapur. 

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Kampanye ini didasari penelitian Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 75 persen pekerjaan rumah tangga  dibagi antara suami dan istri. Namun untuk urusan memasak, hanya 3 dari 10 suami saja yang membantu istri di dapur. 

Read More

‘Raya and The Last Dragon’: Pesan Kolaborasi dalam Kepemimpinan Perempuan

Disney baru-baru ini menambah satu karya dalam daftar film animasi pahlawan perempuannya: Raya and The Last Dragon. Film berdurasi 107 menit yang dirilis pada awal Maret lalu di bioskop dan Disney+ ini mengangkat sosok pahlawan dari Asia Tenggara bernama Raya.

Seperti berbagai film pahlawan perempuan Disney sebelumnya, Raya and The Last Dragon mengundang dua reaksi dari para penonton. Sebagian dari mereka mengapresiasi inisiatif Disney mengangkat cerita folklor dari Asia Tenggara serta melibatkan orang-orang keturunan Asia sebagai pengisi suara tokoh-tokoh utama dan penulis ceritanya (Adele Lim seorang Malaysia-Amerika dan Qui Nguyen seorang Vietnam-Amerika).

Namun, sebagian lainnya mengkritik film tersebut karena kurang representatif kehidupan perempuan Asia Tenggara, sekadar mencomot unsur-unsur dari berbagai negara Asia Tenggara dan mencampur-adukkannya, hingga pengisi suaranya yang kebanyakan justru berasal dari Asia Timur.

Raya and The Last Dragon mengisahkan petualangan Raya (Kelly Marie Tran), putri pemimpin Negeri Hati yang berupaya menyatukan lima negeri (Negeri Hati, Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor) untuk melawan kekuatan jahat pembawa wabah bernama Druuns.

Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena masing-masing negeri—yang mulanya memang bersatu di bawah nama Kumandra—punya ambisi untuk mengungguli negeri lainnya dan mengamankan negerinya sendiri. Negeri Kuku, Taring, Tulang, dan Ekor hendak merebut permata naga, yang merupakan harta berharga penyelamat seluruh dunia dari ancaman Druuns, dari tangan Negeri Hati.

Namun, alih-alih satu negeri berhasil mendapatkan permatanya secara utuh, kekacauan justru muncul hingga menyebabkan petaka besar. Tidak ada jalan lain, Raya pun mencari sang Naga Terakhir bernama Sisu (Awkwafina) untuk membantunya menyelamatkan dunia.

Di tengah misinya itu, ia harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk yang berhubungan dengan masalah kepercayaan dan pengkhianatan.

Isu Kepercayaan dalam Film Raya and The Last Dragon

Ada dialog menarik antara Raya dan Sisu, bahwa orang-orang dari negeri lain tidak pantas dipercaya. Sikap ini tumbuh dan menetap dalam diri Raya ketika ia melihat sendiri kepercayaan yang ditunjukkan sang ayah, Benja, kepada negeri lain dalam rangka mempersatukan semua negeri, dikhianati hingga akhirnya Raya kehilangan ayahnya.

“Kepercayaan membuat dunia ini hancur,” kata Raya.

“Bukankah ketidakpercayaan yang justru membuat diri hancur?” ujar Sisu.

Dalam dunia yang berorientasi pada kompetisi, tidak jarang kepercayaan yang diberikan satu pihak disalahgunakan pihak lain demi mendapat keuntungan sendiri. Bukan hal yang langka bila kita mendengar pekerja-pekerja di suatu perusahaan saling sikut, menusuk dari belakang, hanya untuk mendapatkan posisi tinggi yang mereka inginkan atau privilese lainnya.

Di dunia usaha, masalah ketidakpercayaan ini bisa berkaitan dengan konsep “silo mentality”. Oleh Forbes, konsep ini dideskripsikan sebagai cara pikir suatu departemen, divisi, atau sektor yang tidak mau membagikan informasi kepada pihak lain dalam perusahaan yang sama. Silo mentality diasosiasikan dengan kurangnya kerja sama serta produktivitas yang lebih rendah.

Bagi orang-orang yang memilih berkompetisi dan tidak mudah percaya seperti Raya pada awalnya, sikap mereka ini menjadi tameng dalam menghadapi serangan-serangan tidak terduga. Namun, ketidakpercayaan yang terus menerus dipupuk menjadi benteng kokoh yang pada akhirnya dapat merugikan diri sendiri.

Ini terlihat dari pengalaman Raya yang ujung-ujungnya harus mengatasi tantangan dengan perkelahian karena merasa sekitarnya adalah musuh yang mesti diwaspadai. Di sini, sekilas kita bisa melihat bagaimana Raya masih memakai cara pikir maskulin bahwa untuk bisa mencapai tujuan tertentu, kita harus mengalahkan pihak lain. Menang telak atau tidak sama sekali.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Jika ditarik ke konteks lebih luas lagi, benteng kokoh ini juga membuat kita kehilangan kesempatan untuk menemukan hal-hal baru, termasuk cara pandang yang memengaruhi sikap dan tindakan kita atas sesuatu.

Pesan tentang Menjadi Rentan

Sisu yang memberi perspektif berbeda kepada Raya. Naga biru ini menawarkan pemikiran bahwa kita bisa loh, mencapai tujuan kita melalui kerja sama dengan pihak lain. Mungkin saja, loh, saat kita bersatu, justru kita punya kekuatan lebih untuk menuntaskan misi kita.

Seratus delapan puluh derajat dari Raya, Sisu justru senantiasa mengupayakan jalan damai saat mereka berhadapan dengan pemimpin-pemimpin negeri lain. Raya memandang ini konyol, tetapi pada akhirnya, jalan yang dipilih Sisu inilah yang menyelamatkan mereka.

“Cara mendapat kepercayaan adalah dengan percaya lebih dulu,” demikian pesan dalam film itu.

Memang, memberikan kepercayaan membuat kita lebih rentan. Tapi dari Raya and The Last Dragon, kita menangkap pesan bahwa tidak apa-apa menjadi rentan, mendapat serangan, karena setelah itu kita akan menjadi lebih tangguh dan memetik banyak pelajaran dari situasi itu. Kita juga bisa mendapat atau mengalami hal positif di luar ekspektasi dengan menjadi rentan.

Raya and The Last Dragon Ajarkan Pentingnya Kolaborasi dalam Kepemimpinan

Memberi kepercayaan adalah kunci penting yang ditunjukkan oleh Raya dalam memimpin suatu misi. Dengan melakukan hal ini, ia membuka jalan untuk berkolaborasi dengan negeri-negeri lain hingga akhirnya mereka dapat mengalahkan Druun.

Jika ditilik lebih jauh, kolaborasi adalah salah satu aspek yang terkandung dalam gaya kepemimpinan feminis. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti, gaya kepemimpinan ini tidak eksklusif ditunjukkan oleh perempuan, tetapi bisa juga oleh laki-laki.

“Kita bisa mengambil hal-hal positif dari sifat-sifat feminin yang mementingkan kolaborasi, bukan zero sum games (yang satu menang, yang lain kalah). Lebih ke long term thinking, ada fleksibilitas, menggunakan empati,” ujar Dini.

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Ada berbagai alasan mengapa kolaborasi penting diterapkan dalam kepemimpinan seseorang. Salah satunya ialah dengan melibatkan orang dari beragam latar belakang serta pemikiran, gagasan atau solusi-solusi kreatif lebih dimungkinkan untuk muncul. Kolaborasi juga memungkinkan beragam sudut pandang dalam melihat suatu masalah, sehingga kemungkinan pemimpin luput memperhatikannya sampai akhirnya memunculkan masalah baru bisa tereduksi.

Selain itu, satu pemimpin tentu saja tidak memiliki seluruh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu misi atau pekerjaan. Ia akan membutuhkan orang-orang lain yang punya macam-macam kompetensi untuk melengkapi dirinya hingga akhirnya misi dapat terselesaikan.

Ini ditunjukkan dalam Raya and The Dragon: Begitu besarnya kekuatan Druuns, Raya tidak akan sanggup menanganinya sendiri. Ia bahkan mesti “kalah” sejenak dan mempercayakan pesaing-yang-kemudian-jadi-sekutunya, Namaari (Gemma Chan) dari Negeri Taring, untuk mengatasi masalah yang belum dapat ia selesaikan.

Bagi sebagian orang, mengesampingkan kompetisi dan menjajal kolaborasi barangkali bukanlah hal yang gampang dilakukan, apalagi bila mereka sudah terbiasa dijejali doktrin harus selalu jadi pemenang atas yang lainnya. Tapi kita perlu meneladani Raya. Terlepas dari segala keraguan dan trauma pengkhianatan yang dimilikinya, ia memilih, “Biar saya jadi yang pertama memulainya [percaya pada orang lain]”.  

Read More
Jurnalis perempuan

10+ Jurnalis Perempuan Hebat dari Berbagai Belahan Dunia

Ketika kita membaca daftar jurnalis ternama atau bersejarah dari mancanegara di berbagai artikel atau buku, biasanya hanya sedikit jurnalis perempuan yang disebutkan. Padahal, tidak sedikit jurnalis perempuan yang berkontribusi terhadap perkembangan dunia jurnalistik di seluruh dunia. Usaha mereka untuk membantu kelompok minoritas dan memperjuangkan kebebasan berpendapat dapat kita telusuri jejaknya dari abad ke abad.

Dalam dunia jurnalistik yang patriarkal sejak awal perkembangannya, perempuan mesti berusaha keras untuk mencari ruang agar bisa bersuara dan didengar. Sering kali, mereka yang memperoleh posisi strategis di bidang jurnalistik mendapatkan perlawanan keras, pelecehan, hingga penindasan. Para jurnalis perempuan pun kadang dipandang tidak cukup mampu untuk meliput berita-berita “berat” seperti politik dan perang.

Namun, setelah melalui perjuangan di berbagai belahan dunia, perlahan jurnalis perempuan membuktikan bahwa peran mereka terlalu besar dan penting untuk dikucilkan.

Berikut ini kami rangkum sejumlah nama jurnalis perempuan terkemuka dunia yang perlu kamu ketahui.

1. Anne-Marguerite Petit du Noyer

Perempuan asal Perancis ini merupakan salah satu jurnalis perempuan tersohor pada abad ke-18. Berbeda dari kebanyakan jurnalis perempuan lainnya pada masa itu, du Noyer tidak berasal dari sektor percetakan.

Lahir dalam keluarga Protestan pada tahun 1663, du Noyer menjadi seorang Katolik ketika kaum Huguenots (Protestan) dipersekusi. Namun, pada akhirnya ia kembali menjadi seorang Protestan dan diusir dari Perancis karena hal tersebut.

Ia mulai menulis dalam surat kabar mingguan Quintessence of News mengenai Perjanjian Utrecht antara Inggris dan Spanyol (1713-1715) yang mengakhiri perang Spanyol. Hasil laporannya sangat diapresiasi dan sejak itu, ia dikenal oleh masyarakat umum.

Sosok dan sepak terjang du Noyer yang terukir dalam sejarah menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi perempuan lainnya dalam menulis tentang kontroversi-kontroversi penting di sekitar mereka. Laporan yang mereka kirim ke surat kabar pada tahun-tahun berikutnya tidak lepas dari semangat du Noyer dalam mengungkap skandal yang patut untuk diketahui masyarakat setempat.

Baca juga: 7 Tokoh Perempuan yang Berperan dalam Proklamasi Kemerdekaan

2. Jurnalis Perempuan Hebat: Maria Ilnicka

Maria Ilnicka adalah seorang penyair, novelis, penerjemah, dan juga jurnalis asal Polandia. Ia dikenal karena partisipasinya dalam pemberontakan melawan Kekaisaran Rusia yang menduduki negaranya pada awal 1860an.

Maria Ilnicka bertindak sebagai juru arsip Polish National Government selama Pemberontakan Januari yang dilakukan Polandia pada tahun 1863. Dua tahun kemudian, ia menjadi pemimpin redaksi jurnal mingguan untuk perempuan bernama Bluszczu.

Ia dikenal sebagai sosok yang mendukung pendidikan untuk seluruh rakyat. Setelah dirinya, jurnalis-jurnalis perempuan lain bermunculan dan meneruskan perjuangannya tersebut hingga saat ini.

3. Jurnalis Perempuan Jepang Pertama: Hani Motoko

Berbicara mengenai pengaruh dan upaya para jurnalis dalam bidang pendidikan, pengaruh Hani Motoko juga tidak dapat dilewatkan. Hani Motoko adalah jurnalis perempuan pertama di Jepang dan juga pelopor pengembangan pendidikan untuk perempuan negata itu. Kariernya berlangsung selama lebih dari setengah abad, dari akhir masa Kekaisaran Meiji hingga pertengahan abad ke-20.

Pendidikan untuk perempuan masih merupakan subjek kontroversial pada Zaman Meiji. Pandangan pemerintahan terhadap perempuan pada masa itu dinyatakan dalam slogan “istri yang baik, ibu yang bijak”. Edukasi yang diperoleh perempuan hanya terbatas dalam aspek “kewanitaan” dan persiapan untuk menikah, berbeda dengan laki-laki yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dan kepala rumah tangga.

Motoko meniti karier dari penyunting naskah hingga reporter dan penulis editorial Hochi Shinbun pada tahun 1897, di saat surat kabar lain hanya membolehkan perempuan menulis perihal rumah tangga. Melihat sekolah negeri terus mengajarkan perempuan untuk menjadi sosok yang tunduk dan patuh, ia bersama sejumlah pendidik lain pun mendirikan Jiyu Gakuen, sebuahsekolah khusus perempuan.

Di sekolah tersebut, Hani Motoko dan kawan-kawan mengajarkan individualisme bagi perempuan dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pengurus finansial dalam keluarga. Nilai kebebasan, harga diri, dan kemerdekaan terus digaungkan Motoko di sepanjang kariernya sebagai jurnalis dan pengajar.

4. Jovita Idár

Jurnalis perempuan yang tercatat dalam sejarah tidak hanya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan semata. Jovita Idár adalah jurnalis Meksiko-Amerika yang dikenal karena jerih payahnya dalam melindungi hak-hak kaum minoritas.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

Lahir di Laredo, Texas, pada tahun 1885, Idár mulai meniti karier di surat kabar milik ayahnya, La Crónica, yang mengecam dan melawan penganiayaan terhadap orang Meksiko-Amerika. Ia pun kerap menulis tentang rasisme di Meksiko dan turut mendukung revolusi yang mulai berkembang di sana. Idár juga menjadi presiden organisasi perempuan Meksiko bernama La Liga Femenil Mexicanista yang menawarkan pendidikan gratis kepada anak-anak Meksiko.

Selama berlangsungnya Revolusi Meksiko pada tahun 1913, ia pergi ke Meksiko untuk merawat korban luka-luka. Tetapi, Idár kembali ke AS pada tahun berikutnya untuk mengambil alih La Crónica dan terus berkampanye mengangkat isu kehidupan kaum Meksiko-Amerika yang buruk. Idár pun tidak henti-hentinya mengadvokasikan hak-hak perempuan, terutama ketika ia menduduki posisi dalam Partai Demokrat di Texas.

5. Peggy Hull

Peggy Hull sebenarnya adalah nama pena yang singkat milik Henrietta Eleanor Goodnough Deuell, jurnalis perempuan pertama yang diakreditasi secara resmi oleh Departemen Perang Amerika Serikat.

Awalnya, Hull menulis di berbagai surat kabar, seperti Honolulu Star di Hawaii, Cleveland Plain Dealer di Ohio, atau Junction City Daily di Kansas, tempat ia tumbuh besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memasuki ranah berita militer. Ia terjun meliput Perang Dunia I dan II.

Dalam meliput kedua perang tersebut, Hull melintasi berbagai kontinen dan negara dari Perancis hingga Siberia. Kariernya sebagai jurnalis perang dan tulisan yang ia hasilkan lantas membuatnya memperoleh penghargaan Angkatan Laut Amerika Serikat. Kesuksesannya pun menunjukkan bahwa perempuan mampu meliput topik peperangan yang sering dianggap tidak layak bagi mereka.

6. Minna Lewinson

Tumbuh dan besar di New York City, Minna Lewinson mengenyam pendidikan jurnalisme di Barnard College, Columbia University. Dari situ, ia bekerja sebagai reporter di berbagai publikasi seperti Daily Investment News dan Women’s Wear Daily. Ia juga merupakan jurnalis perempuan pertama yang direkrut oleh The Wall Street Journal pada tahun 1918.

Lewinson adalah jurnalis perempuan pertama yang memenangi Penghargaan Pulitzer untuk jurnalisme pada tahun 1918, bersama Henry Beetle Hough. Penghargaan tersebut mereka terima setelah menulis sejarah surat kabar.

Lewinson pun menjadi pembuka gerbang untuk jurnalis-jurnalis perempuan selanjutnya untuk memenangi penghargaan ini. Meski begitu, kategori sejarah surat kabar hanya pernah diberikan kepada Lewinson dan sejak itu tidak pernah ada lagi.

7. Munira Thabit

Munira Thabit adalah perempuan asal Mesir dan merupakan salah satu jurnalis perempuan yang merintis perjuangan meraih kesetaraan gender. Thabit mengawali kariernya sebagai pengacara di Mesir dan menjadi perempuan pertama di ranah tersebut. Namun, karena banyaknya halangan terhadap partisipasi perempuan di ranah pengadilan Mesir, ia berpindah haluan ke jurnalisme.

Thabit selalu mengutarakan bahwa perempuan berhak untuk memperoleh kesetaraan di ruang kerja, pendidikan, bahkan lingkup keluarga. Ia menerbitkan surat kabar mingguan bernama al-Amal pada tahun 1926 dengan slogan “Surat Kabar yang Melindungi Hak Politik Perempuan”. Meskipun ia mendapat perlawanan dari para tokoh agama dan aparat pemerintah, Thabit tidak berhenti dan terus menulis beragam artikel mengenai hak-hak perempuan.

Di tingkat internasional, Munira Thabit telah dipandang sebagai jurnalis terbaik Mesir pada masanya. Ia menjadi perwakilan Mesir di konferensi jurnalisme internasional di Jerman, partisipan di Egyptian Feminist Union (EFU), dan turut mendirikan Perserikatan Jurnalis Mesir.

Memoarnya yang berjudul A Revolution in the Ivory Tower: My Memories of Twenty Years of Struggle for Women’s Political Rights berisi komentar-komentar politik yang telah ia tulis di sepanjang kariernya.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

8. Frances FitzGerald

Tulisan jurnalis lepas Frances FitzGerald mengenai Perang Vietnam adalah salah satu bukti perempuan bisa menelurkan karya yang diakui dunia internasional. Berkat karya non-fiksinya yang bertajuk Fire in the Lake: The Vietnamese and the Americans in Vietnam, FitzGerald diganjar Penghargaan Pulitzer pada 1973. Tulisannya itu disebut sebagai salah satu analisis terbaik mengenai keadaan di Vietnam.

Tumbuh besar di New York City, FitzGerald lulus dengan magna cum laude dari Radcliffe College pada tahun 1962. Ia memulai karier jurnalistiknya di majalah New York Herald Tribune sebelum akhirnya pergi ke Vietnam sebagai jurnalis lepas dan menghabiskan waktu selama 16 bulan di sana.

FitzGerald pun mempelajari budaya serta sejarah Vietnam dan Cina sedalam mungkin. Jika para jurnalis laki-laki melaporkan aksi eksplosif peperangan yang sedang terjadi di sana, ia lebih berfokus kepada dampak perang tersebut terhadap kondisi politik dan masyarakat Vietnam Selatan.

FitzGerald dianggap berhasil memandang perang dengan perspektif alternatif telah menunjukkan pentingnya peran perempuan di berbagai ranah jurnalistik.

9. Christiane Amanpour

Christiane Amanpour adalah jurnalis Inggris yang merupakan salah satu koresponden perang ternama di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Pemberitaannya dapat kita temui di program-program CNN, ABC, dan PBS.

Amanpour dibesarkan di Tehran hingga umur 11 tahun sebelum kembali ke Inggris, tempat kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikannya di University of Rhode Island, Amerika Serikat, dan setelah lulus pada tahun 1983, ia memperoleh pekerjaan pertamanya di CNN sebagai asisten untuk ruang redaksi berita internasional.

Ketika Perang Teluk Persia pecah pada tahun 1990, Amanpour mulai dikenal sebagai reporter yang meliput konflik dengan baik. Ia disebut dapat menarasikan kebiadaban perang dan kejinya suatu konflik ke khalayak umum. Amanpour meliput invasi Irak ke Kuwait, kedatangan Amerika Serikat, dan setelahnya berlanjut ke pemberontakan Kurdi.

Begitu andalnya Amanpour meliput di medan perang, hingga kini namanya dipakai dalam program serial CNN dan PBS sebagai pembawa acara di kedua saluran TV tersebut.

10. Jurnalis Perempuan Asal Filipina: Maria Ressa

Nama dan profil Maria Ressa muncul pada majalah TIME edisi Person of the Year tahun 2018. Ia disebut sebagai salah satu jurnalis yang tidak henti melawan berita sesat atau hoaks. Upaya Ressa dalam memperjuangkan kebebasan pers pun bukan kisah yang asing lagi.

Maria Ressa merupakan jurnalis Filipina yang telah meniti kariernya di berbagai belahan dunia: menjadi reporter investigasi Asia untuk CNN, pemimpin divisi berita di ABS-CBN, menulis untuk The Wall Street Journal, dan mengajar di Princeton University. Ia kemudian mendirikan bisa dibilang adalah Rappler, media berita online yang didirikannya pada tahun 2012.

Di bawah kepemimpinannya, kritik terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengenai kebijakan-kebijakannya mengisi laman media berita tersebut. Karena sosoknya yang vokal tersebut, Ressa bahkan sempat beberapa kali ditangkap.

Rappler kini telah meraih berbagai macam penghargaan dan menjadi salah satu portal berita terbesar di Filipina.

11. Jurnalis Perempuan Indonesia: Roehana Koeddoes

Roehana Koeddoes Lahir di Sumatra Barat pada tanggal 20 Desember 1884, Roehana Koeddoes merupakan figur seorang pejuang intelektual yang dipanggil sebagai Wartawati Pertama Indonesia dan pelopor Pers Indonesia.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme


Hidup di era yang sama dengan R.A Kartini di mana pada waktu itu kaum perempuan masih tidak bisa mendapatkan pendidikan formal, Roehana beruntung karena punya sosok ayah yang mau mengajarinya banyak hal dari ia kecil, terutama dalam soal membaca, menulis, dan berbahasa.

Sejak ia kecil sudah banyak membaca buku-buku, Roehana tumbuh dewasa dengan pemikiran yang semakin hari semakin tajam, apalagi mengenai politik dan sadar pada isu-isu emansipasi, satu hal yang mendapat tentangan keras tidak cuma dari pemerintah Belanda, tapi juga kaidah agama serta budaya setempat.

Merasa tidak puas cuma berhasil membuat sekolah keterampilan buat perempuan Indonesia, Roehana pun membuat surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912, yang faktanya ternyata surat kabar yang ia bangun merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang dipimpin, dijalankan, dan ditujukan untuk kaum perempuan.

Dengan isu nasionalisme dan emansipasi perempuan dalam soal pendidikan, Roehana mengemban tugas sebagai pemimpin redaksi yang ikut dibantu oleh sosok Zubaidah Ratna Djuwita. Tak cuma jadi tempat untuk berpendapat para perempuan di Sumatra Barat, Sunting Melayu yang terbit seminggu sekali dan bertahan terbit sampai 9 tahun juga menerima tulisan dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Baca Juga: 10 Nama Pahlawan Perempuan Indonesia yang Harus Kalian Ketahui

Selain Sunting Melayu, Roehana juga pernah menjadi pemimpin surat kabar Perempuan Bergerak di Medan serta surat kabar Radio dan Cahaya Sumatera di Padang. Karena jasanya yang besar dalam dunia jurnalistik, edukasi, dan politik, Roehana yang wafat pada tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta pun dianugerahi Bintang Jasa Utama oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2007 yang lalu.

Kisah-kisah sepuluh jurnalis perempuan ini tentu tidak cukup untuk menggambarkan kiprah dan prestasi jurnalis perempuan  di seluruh dunia. Namun, daftar ini dapat menjadi awal kita untuk menghargai perjuangan perempuan di dunia jurnalistik!

Read More