cuti haid bagi pekerja perempuan

Cuti Haid bagi Pekerja Perempuan: Problem Klasik yang Masih Mengusik

Suatu pagi sekitar sembilan tahun silam, ketika baru pertama kali bekerja, saya pernah merasakan nyeri hebat di bagian perut dan paha hingga membuat saya lemas. Seraya melihat jam dinding, saya menimbang-nimbang apakah saya harus meminta izin tidak masuk kantor hari itu atau tidak. Pasalnya, ada satu rapat penting yang mesti saya hadiri pada siang harinya.

Saya memutuskan tetap masuk seraya menahan nyeri yang pasang-surut. Saat seorang kolega laki-laki bertanya kenapa saya terlihat pucat pagi itu, saya cuma bilang sedang tidak enak badan. Saya tidak berani mengaku bahwa hari itu adalah hari pertama siklus haid saya.

Sampai kemudian saya mulai limbung dan nyaris jatuh dalam perjalanan menuju ruang rapat. Bos perempuan saya bertanya apa yang terjadi, dan baru saat itu saya mengaku sedang nyeri hebat karena haid. Ia mengizinkan saya pulang dan sebelumnya berkata, “Kan bisa izin kalau sakit pas haid. Kenapa enggak bilang dari tadi pagi aja?”

Saya tidak pernah ngeh bahwa izin dengan alasan haid diperbolehkan di kantor. Saya mengingat-ingat apakah ada pasal yang jelas menyebutkan soal itu di kontrak kerja. Tapi terlepas dari ada atau tidak aturan tertulis di kontrak soal itu, tetap saja saya malu bila harus meminta izin tidak kerja karena alasan haid “saja”.

Barangkali pengalaman seperti saya banyak dirasakan oleh perempuan-perempuan lain di luar sana. Kendati harus menahan sakit luar biasa saat haid, mereka tetap harus kerja seperti hari-hari biasa. Saya beruntung berkantor di tempat yang memberikan karyawati izin tidak masuk kerja saat haid, tetapi banyak perempuan lainnya yang tidak punya privilese ini karena kantornya tidak memberlakukan kebijakan serupa.

Padahal, aturan mengenai pemberian cuti haid bagi pekerja seyogianya sudah diterapkan di semua kantor di Indonesia. Lebih dari satu setengah dasawarsa lalu, melalui Pasal 81 dalam Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah sudah menerapkan regulasi tentang ini bagi perusahaan.

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid,” demikian bunyi ayat 1 Pasal 81 tersebut. Namun perlu dicatat, pelaksanaan ayat 1 ini tetap bergantung pada kebijakan kantor melalui perjanjian kerja atau peraturan perusahaan (Pasal 81 ayat 2).

Sempat ada kekhawatiran dari pekerja perempuan karena menyebarnya rumor hak cuti haid akan dihapus seiring berlakunya UU Cipta Kerja. Namun, pihak pemerintah menepis rumor tersebut dan mengatakan hak cuti haid tetap bisa diakses pekerja perempuan.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Alasan Banyak Perempuan Tidak Ambil Cuti Haid

Karena pelaksanaan pemberian cuti haid dikembalikan lagi ke pihak kantor, dan tidak ada pernyataan gamblang dalam UU Ketenagakerjaan bahwa hal tersebut adalah keharusan bagi perusahaan, sebagian pekerja perempuan tidak bisa menikmati hak cuti haid ini. Jikapun cuti haid tetap diberikan, masing-masing perusahaan menerapkan mekanisme tersendiri: Harus menyertakan surat keterangan dokter, diberikan tapi tidak mendapat upah, atau bisa dengan mudah memberikannya dan tetap menjadi cuti berbayar selama pekerja mengabarkan ke perusahaan.

Sebagai contoh, “Er” yang bekerja di PT Alpen Food Industry, produsen es krim AICE, sempat mengalami nyeri dan pendarahan berlebihan pada hari pertama haidnya tahun 2020 lalu. Namun, ia mesti tetap bekerja di pabrik es krim tersebut karena alasan sakit saat haid susah sekali diterima untuk meminta izin cuti di perusahaannya. Fasilitas kesehatan dari kantor juga mempersulit karyawan yang mengeluhkan sakit haid untuk mendapat surat keterangan dokter sehingga Er hanya bisa meminum obat pereda nyeri haid saat itu.

Selain sikap perusahaan yang tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan ini, seperti halnya saya dulu, sebagian pekerja perempuan juga tidak tahu bahwa ada aturan soal cuti haid dalam UU yang perlu diimplementasikan perusahaan. Ini terlihat dari komentar beberapa pekerja perempuan di Padang, Sumatra Barat yang terlihat bingung mendengar ada pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur soal hak cuti haid.

Dalam artikel Magdalene yang dimuat 2019 lalu, Wisfirdana Dewi (22), seorang pekerja di salah satu swalayan dan Afri Serli Salmita (20), pekerja di Gramedia Kota Padang, mengaku asing dengan pasal tersebut mengingat perusahaan mereka tidak pernah menyebut soal pasal tersebut saat mereka bekerja. Akibatnya, mereka dan banyak pekerja perempuan lainnya tetap bekerja seperti biasa kendati sedang nyeri haid.

“Lagi enggak ada bos, bisalah kita istirahat sebentar di gudang. Kalau ada bos jadi segan kita, takut diomelin,” ujar Wisfirdana.

Kekhawatirannya beralasan karena sebagian dari pihak perusahaan masih menganggap pekerja perempuan yang mengaku sakit saat haid hanya berbohong untuk tidak masuk kerja. 

Alih-alih mengakui kondisi biologis dan kebutuhan perempuan saat haid, sebagian perusahaan malah mengaitkan persoalan haid dengan produktivitas kerja yang menurun sehingga muncul stereotip negatif terhadap perempuan pekerja. 

Tidak hanya di Indonesia, stereotip negatif terhadap pekerja perempuan yang menstruasi juga terdapat di berbagai negara lain. Dalam tulisan mereka yang dimuat di buku The Palgrave Handbook of Critical Menstruation Studies (2020), Rachel Levitt dan Jessica Barnack-Tavlaris menyatakan bahwa di Cina, sebagian perempuan enggan memakai hak cuti haidnya karena dengan begitu, mereka menguatkan stereotip bahwa perempuan lemah dan tidak produktif. Levitt dan Barnack-Tavlaris juga menulis, pekerja perempuan yang sedang haid juga dinilai koleganya lebih neurotik dibanding yang sedang tidak haid.

Sementara studi di Jepang menemukan, pekerja perempuan yang hendak mengambil cuti haid masih mengalami diskriminasi dan pelecehan oleh karyawan lainnya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Read More
perempuan berkarier

Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Pemerintah menyatakan bahwa capaian Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia telah mengalami peningkatan. Indeks ini merupakan parameter kesetaraan gender yang diukur dari sumbangan pendapatan perempuan melalui keterlibatan dalam parlemen, pengambilan keputusan, jabatan sebagai tenaga profesional, hingga ekonomi, mengalami peningkatan. Pada 2019 angka IDG mencapai 75,24, sementara pada 2020, IDG kita ada di angka 68,15.

Meskipun demikian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan bahwa angka tersebut merefleksikan belum ada partisipasi maksimal dan aktif dari perempuan dalam bidang politik, pengambilan keputusan, dan ekonomi secara spesifik.

“Ini disayangkan karena perempuan adalah setengah dari potensi bangsa sesungguhnya, termasuk potensi ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2020, angkatan kerja perempuan hanya mencapai 53,15 persen, sementara laki-laki 82,4 persen,” ujarnya dalam webinar “Choose To Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja”, (24/3). Webinar yang diselenggarakan Rumah KitaB tersebut bertujuan untuk mendorong lebih banyak perempuan muslimah untuk terjun dalam ranah profesional.

Ia menambahkan, peran perempuan dalam membangun kesetaraan gender di masyarakat sangat penting untuk mencapai poin kelima Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini menjadi fokus pemerintah untuk memajukan negara.

“Dunia sudah tidak menghendaki praktik eksklusivisme masyarakat. Masa depan adalah masyarakat demokratis, terbuka bekerja sama dengan setara,” ujar Bintang.

Direktur Eksekutif Rumah KitaB, Lies Marcoes menyatakan, selama masa pandemi COVID-19, perempuan bekerja mengalami banyak tantangan karena harus mengandung beban kerja ganda sekaligus. Beban ganda tersebut ialah tanggung jawab ekonomi sebagai pekerja dan seorang ibu.

“Perempuan juga merasa terhambat karena ada peran pengasuhan yang timpang. Ini menjadi tantangan bersama untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif gender,” ujarnya.

Sinta Nuriyah Wahid, Ibu Negara Republik Indonesia keempat, juga mengatakan pemerintah harus responsif pada perubahan untuk kesetaraan gender karena perempuan merupakan bagian kekuatan suatu keluarga.

“Untuk itu, hubungan pemerintah dengan masyarakat, sektor usaha, serta pandangan keagamaan harus ikut mendukung pilihan hidup perempuan, seperti masuk ke ranah kerja,” kata Sinta.

Meski demikian, masih banyak tantangan dan hambatan yang dialami perempuan untuk masuk dan ketika berada dunia profesional, tambahnya. Berikut ini empat hal yang menjadi penyebab perempuan sulit berkiprah di ranah profesional.

Baca juga: Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

1. Patriarki Timbulkan Stigma Pada Perempuan ingin Berkarier dan Pekerja

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat terus menjadi penyebab akses pendidikan dan informasi yang dimiliki perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Paham konservatif sarat nilai patriarki yang mencari legitimasi dalam nilai keagamaan telah mempersempit kiprah perempuan di ranah kerja.

Nani  Zulminarni, Regional Director Ashoka Southeast Asia mengatakan, untuk mendorong peran perempuan dalam berbagai sektor ranah profesional, nilai patriarki yang menyebabkan stigma perempuan berkarier atau pekerja sebagai individu yang tidak benar, melawan kodrat, dan tidak ideal untuk masuk surga, harus dilawan.

“Jika perempuan berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam ekonomi, maka gross domestic product (GDP) global akan meningkat 26 persen tahun 2025,” ujarnya.

Nilai patriarki ini juga menghambat perempuan untuk berkarier dan mengetahui potensi yang dimilikinya untuk menduduki posisi strategis dalam suatu perusahaan.

“Hanya 12 persen perempuan yang sadar bahwa dia ingin menjadi CEO. Selebihnya baru sadar bahwa dia hebat dan luas biasa ketika ada orang lain yang mengatakannya. Perempuan tidak sadar akan potensinya karena selalu dicekoki sebagai sosok yang tidak mampu,” terang Nani.

Pada 2019, hasil riset ValueChampion, sebuah badan riset dan analisis data asal Singapura, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi kedua sebagai negara paling berbahaya untuk perempuan di Asia Pasifik setelah India. Diar Zukhrufah, seorang penulis untuk Communicaption, sebuah agensi konten digital, mengatakan masyarakat dengan paham nilai patriarkal akan menggunakan alasan Indonesia sebagai lingkungan tidak aman agar perempuan tidak bekerja.

“Kenapa perempuan harus merasa tidak aman di ruang publik? Padahal, yang salah bukan perempuan yang harus bekerja. Ini menjadi satu tantangan yang harus kita jawab,” kata Diar.

Savic Ali, pendiri Islami.co, situs yang berfokus pada isu toleransi dan kedamaian, mengatakan bahwa nilai patriarki menjadi isu struktural yang mengglobal. Untuk masyarakat Indonesia, nilai patriarki tersebut bersinggungan erat dengan ajaran keagamaan.

“Patriarki adalah masalah peradaban bukan untuk satu bangsa. Dalam konteks Indonesia, masyarakat religius Indonesia menganggap agama sangat penting sehingga banyak urusan yang merujuk pada agama,” ujar Savic.

Baca juga: Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

2. Pembagian Tugas Domestik yang Timpang

Sinta Nuriyah mengatakan, peluang perempuan untuk berkarier dan ikut berkompetisi di ranah kerja kini memang sudah lebih besar. Meski demikian, perempuan masih terhalang oleh ketimpangan pembagian tugas domestik yang menyebabkan mereka kesulitan mengembangkan profesionalitas atau keahlian.

Jika perempuan tidak didukung oleh keluarga dalam menanggung beban rumah tangga, ia akan sulit mengakses kesempatan mengembangkan dirinya. Perempuan sulit menggunakan waktu terbatas yang ia miliki untuk meningkatkan kualitas dan etos kerja mereka, imbuh Sinta.

“Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan untuk perempuan. Pintu kerja akan tertutup kembali karena tenaga kerja perempuan tidak memiliki kualifikasi yang memadai akibat peran gender dan tugas domestik yang timpang,” jelas Sinta.

Nani mengatakan, ketimpangan dalam pembagian tanggung jawab domestik dan peran gender tidak lepas dari relasi kuasa dalam keluarga.

“Durasi kerja perempuan di ranah domestik tiga kali lebih lama dibanding laki-laki. Sedihnya, peran itu dianggap ‘bukan bekerja’,” ujarnya.

Anggapan bahwa tugas domestik hanya menjadi tanggung jawab perempuan menjadi basis kelompok fundamentalis untuk melanggengkan status quo. Selain itu, hal tersebut juga memberi stigma bagi perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak berperan, ujar Nani.

Ia menambahkan, pembagian tugas yang adil memberikan perempuan untuk mencari tahu tentang kemampuannya, berkontribusi di ranah publik, dan tetap bisa bertanggung jawab di rumah.

“Ranah publik dan domestik sama-sama menjadi tanggung jawab pasangan, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan perempuan bisa semakin produktif,” kata Nani.

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer” Soal Lingkungan Kerja Toksik

3. Terpapar Ajaran Ultrakonservatif di Internet

Nilai-nilai agama berperan besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut hasil survei PEW Research Centre tahun 2008 hingga 2017, The Age Gap in Religion Around The World, 93 persen masyarakat muslim Indonesia menilai peran agama sangat penting. Angka tersebut naik menjadi 94 persen pada 2019.

Di era digital seperti sekarang, perempuan akan menelusuri internet untuk mencari informasi tentang pandangan agama terhadap perempuan yang bekerja. Savic mengatakan, perempuan yang mencari informasi tentang dalil agama lebih sering terpapar ajaran ultrakonservatif di media.

Ajaran tersebut memang tidak pro-kekerasan dan menghakimi kelompok lain. Namun, tetap mengandung pandangan konservatif yang menekankan bahwa perempuan seharusnya hanya di rumah.

“Jadi kalau mencari di Google soal hukum perempuan bekerja, yang muncul di halaman pertama adalah ajaran ultrakonservatif. Perempuan menjadi ragu untuk bekerja,” kata Savic.

Menurutnya, ajaran ultrakonservatif yang dangkal mulai bebas bermunculan di Indonesia sejak era reformasi.

“Harus diakui, sejak reformasi ada keterbukaan, masyarakat lebih beragam, namun terpecah belah. Diskursus tentang perempuan yang dulunya dikuasai negara menjadi dikuasai kelompok-kelompok agama. Akhirnya, ada keragaman pandangan terkait perempuan,” kata Savic.

Ia mengatakan, ajaran yang mengandung nilai ultakonservatif yang ditemukan di internet menjadi berbahaya jika pembaca tidak melihat situs atau artikel lain yang lebih moderat sebagai perbandingan.

“Umumnya ultrakonservatisme ini dari ajaran Salafi dan Wahabi. Menurut ulama ajaran-ajaran itu, perempuan sebaiknya di rumah saja. Kalau keluar, harus ditemani mahram karena di luar banyak fitnah, dan kehormatan perempuan akan terjaga kalau di rumah,” papar Savic.

4. Pemahaman Keagamaan yang Sempit dan Dangkal Hambat Perempuan Berkarier di Kantor

Pemahaman agama sempit dan dangkal atau ultrakonservatisme juga kerap ditemukan dalam dunia profesional yang dijalani perempuan. Savic menambahkan ajaran agama yang sempit tersebut diterima perempuan tidak hanya melalui internet, tetapi pada pengajian kantor.

Sinta Nuriyah mengatakan, ada sejumlah perempuan yang berhenti menjadi pekerja dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah.

“Ada di antara mereka [yang mengundurkan diri] yang telah menjabat di posisi strategis perusahaan. Mereka keluar karena alasan perintah agama dan mencari yang halal,” ujarnya.

Tidak hanya soal berhenti dari dunia kerja, menurut Savic, kuatnya pengaruh gerakan hijrah juga terlihat dari banyaknya narasi keagamaan yang mendorong perempuan untuk berjilbab, bahkan mengikuti standar tertentu dengan embel-embel “jilbab yang syar’i”. 

Sinta menyayangkan banyaknya perempuan yang masih terbelenggu tafsir agama tertentu yang membuat mereka mengorbankan pekerjaannya, padahal kesempatan bagi mereka sudah terbuka.

“Cara pandang seperti ini menutup pintu kesempatan perempuan berkarya dan mengembangkan diri yang juga merupakan bagian dari perintah agama,” kata Sinta.

Read More
newsroom ramah perempuan

Dari Fisik Sampai Kinerja, Jurnalis Perempuan Hadapi Tuntutan Tinggi

Jurnalis Fifi Aleyda Yahya mengatakan ia menghadapi tantangan dan tekanan ketika pertama kali bekerja di MetroTV sebagai pembawa acara perempuan.

“Muncul di televisi harus siap dikritik. Bukan hanya soal pertanyaan yang dibawakan, tapi dari penampilan pun dinilai setiap saat,” kata Fifi dalam diskusi virtual @america bertajuk Women’s Leadership in Broadcast Journalism, yang dihelat pada Hari Perempuan Internasional (8/3).

Tekanan yang dirasakan perempuan dalam dunia jurnalistik pun dibahas oleh Heather Variava, Deputy Chief of Mission dari Kedutaan Besar AS di Indonesia yang dulunya merupakan wartawan koran di AS. Variava bercerita bahwa sebagai seorang jurnalis, sering kali ia menjadi satu-satunya perempuan dalam ruangan.

“Kadang-kadang, hal tersebut membuat saya merasa terintimidasi,” kata Heather.

Ia memaparkan data dari International Women’s Media Foundation (IWMF) yang menunjukkan bahwa perempuan menempati kurang dari setengah pekerjaan media di dunia, padahal lebih dari setengah mahasiswa jurnalisme di seluruh dunia adalah perempuan. Lebih lanjut, jurnalis perempuan pada umumnya rentan menerima serangan offline maupun online, mulai dari ujaran kebencian hingga pelecehan seksual.

Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi

Apakah Perempuan Selalu Harus Memilih?

Tantangan selanjutnya yang ia hadapi adalah pilihan perempuan untuk berkarier di dunia jurnalistik yang masih menjadi hal yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi kepada Fifi yang kini merupakan seorang ibu dan juga Kepala Divisi Corporate Communication MetroTV. Ia mengatakan bahwa orang-orang di sekitarnya sering mempertanyakan komitmen Fifi terhadap keluarga maupun pekerjaan.

“Dari keluarga ada yang bilang, ‘Aduh, enggak kasihan ya, itu anaknya masih bayi ditinggal liputan, ditinggal kerja sampai malam, atau bangun pagi-pagi, jam 3 sudah berangkat.’ Saya jadi berpikir, apakah yang saya lakukan ini benar? Apa saya ibu yang baik?” ujarnya.

Fifi berkata bahwa isu tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang harus jurnalis perempuan hadapi. Meskipun begitu, ia tidak berhenti bertanya-tanya, “Memangnya tidak bisa terus menjadi jurnalis? Tapi, saya juga ingin tetap menjadi istri dan ibu. Memang kenapa sih, saya harus memilih?’” lanjutnya.

Desi Anwar, jurnalis senior dan Direktur CNN Indonesia TV, mengatakan, perempuan di dunia media dan jurnalistik selalu dituntut untuk memilih antara dunia kerja maupun keluarga.

“Pada satu titik, jurnalis perempuan harus menjawab pertanyaan yang tidak harus dijawab rekan lelaki mereka, seperti ‘Apakah saya harus menghabiskan lebih banyak waktu di rumah kalau sudah berkeluarga? Apakah saya akan dianggap bukan ibu yang baik kalau kerja terlalu lama di kantor?’” kata Desi dalam diskusi virtual yang sama.

Bagi Desi, pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan banyaknya hal yang harus para perempuan korbankan ketika memasuki dunia jurnalistik.

“Mungkin pada akhirnya, di semua jenis pekerjaan, ini adalah pilihan: ‘Apakah saya bersedia memiliki waktu kerja seperti ini? Apakah saya siap dengan keterbatasan waktu kerja ini?’ Semua berujung kepada pilihan-pilihan itu. Dan sayangnya, perempuan lah yang harus lebih sering menanyakan hal-hal itu dibandingkan laki-laki,” ujar Desi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa

Pentingnya Kantor Media Dukung Jurnalis Perempuan

Diskusi virtual @america spesial Hari Perempuan Internasional ini menunjukkan bahwa masih banyak batasan, norma, dan bias yang mengharuskan perempuan untuk berjuang lebih keras dibandingkan laki-laki dalam menjadi jurnalis.

Namun di sisi lain, ketiga narasumber di atas merupakan contoh perempuan yang berhasil menerobos glass ceiling dan menjadi pemimpin di medianya masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya harapan bagi para perempuan untuk mengikuti jejak mereka di masa depan.

Dari segi demografi sendiri, Desi menekankan bahwa Indonesia termasuk yang memiliki banyak jurnalis perempuan, terutama di dunia siaran. Ia juga meyakinkan peserta diskusi bahwa posisi senior di media-media Indonesia kini malah banyak diduduki perempuan.

“Media broadcast merupakan lingkungan yang cukup kondusif dan suportif bagi perempuan untuk menonjol. Buktinya, jurnalis-jurnalis senior dan prominen di Indonesia sekarang rata-rata adalah perempuan,” ujar Desi.

Peningkatan ini telah Desi lihat sejak awal ia memulai kariernya di RCTI pada tahun 1990. Pada saat itu, RCTI adalah stasiun televisi swasta pertama di Indonesia.

“Belum ada redaksi ketika saya mulai kerja di sana, hanya ada beberapa orang,” kata Desi.

“Saya merupakan salah satu yang mendirikan newsroom, dan saya juga pembawa acara pertama di RCTI. Banyak fase trial and error pada saat itu karena saya kurang tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya sambil terkekeh.

Bertahun-tahun kemudian, ketika Desi beralih ke MetroTV, Fifi Aleyda Yahya menjadi salah satu pembawa acara yang ada di bawah pimpinannya. Fifi mengawali kariernya di TVRI setelah lulus kuliah.

“Setelah itu saya menikah, hamil empat bulan, dan masuk ke MetroTV,” kata Fifi.

“Dari situ, terasa betapa pentingnya lingkungan kerja yang mendukung kondisi saya [sebagai perempuan],” ujarnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

Read More
tips mendapatkan work life balance

7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Tahun ini kita sudah memasuki tahun kedua hidup dalam kondisi pandemi. Masih banyak kantor yang melakukan kerja jarak jauh atau work from home (WFH) dan sebagian juga sudah ada yang kembali melakukan aktivitas work from office, mudah-mudahan dengan protokol kesehatan yang ketat. Sepertinya kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia ini enggak bakal kembali lagi seperti tahun 2019, ini fakta yang masih sulit banget kita hadapi. 

Di awal pandemi tahun lalu kita memang masih sangat sulit untuk beradaptasi dengan gaya hidup baru kita, harus terjebak di rumah, tidak bisa traveling ketika liburan, tidak bisa nongkrong bareng teman-teman dan lain sebagainya. Sebagian dari kita bahkan mungkin mengalami cabin fever dan membuat kesehatan mental kita menurun dan membuat jenuh bekerja akibat terlalu lama tidak keluar rumah. 

Apa itu Work Life Balance

Jadi, apa itu work life balance? secara singkat work life balance merupakan sebuah kondisi di mana individu memprioritaskan tuntutan karier dan tuntutan kehidupan pribadinya secara setara. Memang sekilas seperti mustahil dilakukan tetapi, sangat penting bagi kita untuk menjaga agar kita tidak berlebihan dalam bekerja dan berakhir sakit-sakitan. 

Baca Juga: Tips Usaha Sendiri dari Pebisnis Perempuan Sukses Cynthia Tenggara

Bagi seorang fresh graduate yang belum memiliki pengalaman bekerja, penting bagi kamu untuk mulai membaca bagaimana kondisi kerja industri yang akan kamu masuki serta bagaimana untuk tetap sehat jasmani dan mental saat bekerja.  

Kamu Perlu Mengatur Ekspektasi Kamu

Bagi beberapa orang kerja secara remot ini surga banget, tetapi bagi sebagian orang bekerja remot malah membuat mereka tertekan dan malah tidak se-produktif sebelum pandemi. 

Saya pernah berada di kondisi tersebut dan hal ini membuat saya merasa sangat bersalah dan bersedih. Akan tetapi, saya kembali mengingat bahwa saat ini kondisinya berbeda, dan saya perlu mengatur ekspektasi saya serta memaafkan diri saya. 

Untuk kamu yang baru memasuki dunia kerja pasti akan berbeda pengalamannya. Maka dari itu ada baiknya kamu pun juga mengatur pencapaianmu. Setiap hari kamu juga perlu membuat to do list agar kamu bisa melihat apa saja yang akan dan sudah kamu kerjakan hari itu. 

Jika Kamu Bekerja dari Rumah Buatlah Tempat Khusus untuk Bekerja

Nah, bagi kamu yang baru saja masuk ke Nia kerja dan harus bekerja dari rumah, kamu perlu banget memperhatikan hal ini. Sebaiknya, kamu buat sudut khusus untuk bekerja agar kamu bisa memisahkan antara waktu bekerja dan waktu untuk berisitrahat. Jika kamu masih tinggal dengan orang tuamua, pastikan bahwa orang rumah tahu bahwa sudut tersebut tempat kamu bekerja. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Ciptakan Penanda Kapan Kamu Mulai Bekerja dan Berhenti Bekerja 

Karena bekerja dari rumah, terkadang kita enggak sadar setelah bangun tidur kita langsung cek whatsapp kantor lalu buru-buru buka laptop. Ini enggak baik loh, sebab kita jadi merasa kalau kita itu non-stop bekerja tanpa ada istirahat sama sekali.

Kamu perlu memastikan untuk membuat jeda-jeda tersebut, usahakan jika istirahat makan siang, tinggalkan saja ponsel-mu dan makanlah dengan khidmat. Jangan juga makan siang di depan laptop, tentunya jadi enggak nikmat. Memiliki jeda 10-15 menit dari pekerjaan dapat membuat kamu merasa refreshed dan siap untuk kembali produktif.

Ciptakan Rutinitas Baru Supaya Terbentuknya Work Life Balance

Membuat rutinitas baru dan menjadwalkan apa saja yang akan kamu lakukan dalam sehari itu, bisa angket loh membantu kamu dalam bekerja. Dengan kedua hal ini kita merasa punya kontrol dalam hidup kita dan tidak hilang arah ketika bekerja. Tetapi yang perlu kamu ingat adalah buatlah jadwalmu dengan sedikit fleksibilitas. 

Ciptakan Work Life Balance dengan Berbaik Hati pada Diri Anda

Bagi kamu yang masih fresh graduate mungkin kondisi kerja seperti ini merupakan hal yang tidak pernah kamu bayangkan. Kamu merasa dengan bekerja di rumah malah membuatmu bekerja terus menerus dan tidak ada rekan kerja yang bisa kamu ajak ngobrol. Hal ini membuat kesehatan mentalmu menurun bahkan mengalami burnout

Baca Juga: Mahalnya Biaya Ibu Bekerja, Sebagian Putuskan ‘Resign’

Jika kamu merasa seperti ini, kamu perlu menyadari bahwa penting untuk kamu memantau emosi dan kondisi fisikmu dan jangan lupa untuk melakukan self care dengan cara menonton filmkah, mendengarkan musik, atau membaca komik atau pun novel. Akan tetapi, jika hal ini tetap tidak mempan dan kamu masih mengalami burnout, sebaiknya kamu perlu mencari bantuan profesional dan berkonsultasi ke psikolog.

Atur Pola Makan dan Berolahraga 

Poin ini masih berhubungan untuk menjaga kesehatan jasmani dan mental kita loh. Dengan makan yang teratur juga sehat serta mengurangi snack ini bisa membuat kamu lebih sehat dan hormonmu menjadi teratur.

Baca Juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

Ada beberapa makanan dan minuman yang bis memicu perasaan cemas dan gelisah misalnya, minuman yang mengandung kafein. Selain itu, dengan berolahraga secara teratur kita juga dapat membuat peredaran darah kita lebih lancar.  

Kurangi Penggunaan Media Sosial 

Tips terakhir untuk mendapatkan work life balance tentunya berkaitan dengan digital well being kamu. Karena pandemi, aktivitas digital orang semakin meningkat apalagi dengan adanya work from home, ini yang mbikin kita semakin susah lepas dari gadget. Mungkin sebagian dari kita menganggap main hape dikala istirahat itu merupakan hiburan, tetapi ini enggak baik loh. 

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Alih-alih merasa segar, ketika kita melihat media sosial kita yang bising banget apalagi kalau kamu mengikuti akun-akun yang suka ribut dan julid, wah itu sih malah bikin kita kembali emosi. Daripada kesehatan mental kita terganggu, lebih baik kita puasa medsos dulu deh.

Sebaiknya atur juga berapa lama kamu membuka setiap media sosial kamu  agar kamu lebih sadar ketika membuka medsos tersebut. daripada bermain ponsel dan melihat medsos, mungkin kamu bisa membaca buku atau tidur ayam  10 sampai 15 menit saja untuk mengistirahatkan mata sejenak.  Nah itu beberapa tips untuk mendapatkan work life balance atau keseimbangan kehidupan kerja yang bisa kalian coba terapkan untuk sekarang ini. Intinya, apa pun yang terlalu berlebihan itu tidaklah baik, termasuk bekerja terlalu keras.

Read More
Rekomendasi Novel untuk perempuan pekerja

5 Rekomendasi Novel Terbaik Untuk Perempuan Pekerja

Banyak sekali tantangan yang dihadapi perempuan pekerja, mulai dari urusan pekerjaan, keluarga, percintaan, berbagi tugas domestik dan tempat kerja, stigma sebagai lajang, pertanyaan kapan menikah/punya anak/punya anak kedua, dan seterusnya. 

Beginilah situasi dan kondisi masyarakat patriarkal, membuat tantangan perempuan pekerja lebih besar daripada laki-laki, terutama karena adanya beban berlipat. Masyarakat cenderung menuntut perempuan menjadi seorang ibu dan mengurus rumah tangga  dengan alasan itu adalah kodrat seorang perempuan. Ini yang membuat banyak perempuan kesulitan untuk mengembangkan kariernya di kantor. 

Tantangan menjadi Perempuan Pekerja  

Selain dari lingkungan keluarga dan masyarakat, saat ini lingkungan kerja masih belum terlalu ramah terhadap pekerja perempuan. Ketiadaan fasilitas pendukung untuk ibu bekerja, kekerasan seksual di tempat kerja dan lain-lain, membuat perempuan sulit untuk mencapai posisi-posisi strategis perusahaan. 

Baca Juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Isu-isu terkait tantangan yang dihadapi perempuan pekerja sudah banyak menjadi tema buku fiksi dari para perempuan penulis di banyak negara. Menariknya (atau mirisnya), hampir semua mengalami tantangan yang sama dengan konteks yang berbeda. 

Berikut adalah beberapa novel yang kami rekomendasikan, yang ditulis oleh perempuan Asia atau keturunan Asia, dan membahas tentang perempuan pekerja. Novel-novel ini tidak cuma bercerita tentang perempuan pekerja kantoran, ada juga beberapa cerita yang berfokus pada individu yang harus memilih antara melanjutkan usaha orang tua atau kembali hidup sendiri. 

Rekomendasi Novel terbaik Goodbye, Vitamin dari Rachel Khong

Rekomendasi Novel terbaik Goodbye, Vitamin dari Rachel Khong

Ketika Ruth Young memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya untuk membantu mengurus ayahnya yang terkena penyakit Alzheimer, keputusan tersebut juga bagian dari usahanya untuk lari dari hidupnya yang sedang berantakan karena diselingkuhi tunangan dan banyak kendala di tempat kerja. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Ibunya kemudian memohon Ruth untuk menetap selama satu tahun di rumah mereka, untuk membantu merawat sang ayah yang masih bersikeras mengatakan kondisinya baik-baik saja. Ruth dan ibunya pun memulai mencari pengobatan yang cocok untuk ayahnya. Walaupun temanya kelihatannya agak berat, membahas Alzheimer, namun banyak sindiran lucu dan momen-momen menarik yang dikemas seperti sebuah diari, membuat ceritanya lebih ringan dan buku ini dapat dibaca dengan cepat. 

Strange Weather in Tokyo dari penulis Jepang Hiromi Kawakami

Rekomendasi novel Strange Weather in Tokyo

Tsukiko adalah seorang perempuan pekerja berusia 30an yang tidak memiliki teman dan jarang mengunjungi keluarganya. Dia juga sudah lelah menjalani hubungan romantis dengan laki-laki karena selalu berakhir kandas.

Suatu hari, saat sedang nongkrong sendirian di sebuah bar sake, ia bertemu dengan mantan guru SMA-nya, yang ia lupa namanya. Tsukiko pun memanggil lelaki itu dengan sebutan “sensei” (guru), dan obrolan ringan di bar berlanjut menjadi pertemuan rutin setelahnya. Ditulis dengan lancar dan menyentuh, ini adalah kisah cinta klasik di tengah modernitas Jepang. 

Rekomendasi Novel Tentang Perempuan Penulis: “Days of Distraction” oleh Alexandra Chang

Days of Distraction oleh Alexandra Chang

Buat kamu yang bekerja di perusahaan teknologi rintisan pasti akan sangat terhubung dengan karakter protagonis utama dalam Days of Distraction karya Alexandra Chang. Buku ini mengisahkan seorang perempuan berusia 24 tahun yang bekerja sebagai seorang penulis di sebuah penerbitan terkenal yang membahas soal teknologi. Ia seorang karyawan yang berdedikasi, namun ketika ia meminta kenaikan gaji, perusahaan mengabaikannya. 

Baca Juga: Cerita Cinta Toksik Dalam Fiksi: Yay or Nay?

Ketika pacarnya  mengatakan akan pindah karena ingin melanjutkan sekolahnya, ia menemukan jalan untuk  berhenti dan lari dari kondisi tersebut. Pindah ke sebuah daerah yang baru seharusnya menjadi sebuah gestur komitmen dan jalan untuk membentuk ulang dirinya. Namun ternyata banyak tantangan yang dia hadapi, terutama terkait identitasnya sebagai perempuan keturunan Asia di Amerika.

Chemistry oleh Weike Wang

Novel Chemistry oleh Weike Wang

Rekomendasi Novel yang ini membahas perempuan yang bekerja di bidang STEM. Protagonis utama dalam novel Chemistry ini adalan perempuan pekerja keturunan Cina, yang sedang menjalani pendidikan S3 di bidang Kimia. Hidupnya terkesan sempurna—otak brilian, orang tua yang bangga dengan pencapaiannya, serta pacar yang sangat mendukung kariernya baru saja melamarnya.

Tapi alih-alih merasa penuh harap, ia tertekan dengan kehidupan pekerjaannya dan merasa bimbang menjawab permintaan pacarnya untuk menikah.

Soy Sauce for Beginners oleh Kirstin Chen 

Soy Sauce for Beginners oleh Kirstin Chen

Gretchen Lin adalah perempuan berusia 30 tahun yang memutuskan untuk meninggalkan San Francisco menyusul pernikahannya yang kandas, dan kembali ke rumah orang tuanya di Singapura. Ia kemudian menghadapi dua masalah besar yang sudah lama ia hindari yaitu, ibunya yang kecanduan alkohol dan intrik dalam bisnis kecap yang dijalankan sang ayah.

Baca Juga: Aktivis perempuan dan penulis novel “Perempuan di Titik Nol”

Gretchen pun dihadapkan antara ambisi personalnya dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Rekomendasi novel terbaik ini menggambarkan tentang pengorbanan seorang perempuan yang sedang mencari tempat yang ia sebut “rumah”. Sebuah cerita tentang pencinta kuliner yang akan memberikan apresiasi yang tulus kepada pembaca atas kesetiaan keluarga, serta awal yang baru. 

Read More
Cara Jadi HRD Profesional

5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Menciptakan lingkungan kerja yang setara, terutama dalam hal gender, memerlukan dukungan semua elemen tempat kerja. Salah satu pihak yang menjadi aktor utama pencapaian kesetaraan gender di tempat kerja adalah adanya Human Resources Department (HRD) alias departemen sumber daya manusia yang profesional.

Tugas HRD ini beragam, mulai dari, perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan karyawan, manajemen performa, penggajian, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita mengatakan, banyak sekali keuntungan untuk perusahaan jika perusahaan mulai memperbaiki kebijakannya agar lebih ramah terhadap pekerja perempuan. Ia mengakui memang masih banyak perusahaan menganggap memberikan akses lebih untuk perempuan di tempat kerja adalah biaya, padahal itu justru akan memberi perusahaan lebih banyak keuntungan. 

“Memberikan cuti melahirkan enam bulan, misalnya. Waduh, [mereka pikir] itu nanti cost-nya gimana? Padahal, kalau mereka bikin regression analysis aja, enggak semua perempuan dalam perusahaan itu akan melahirkan lagi. Dan belum tentu ada yang  berencana mau melahirkan, atau enggak juga dalam waktu yang bersamaan semuanya cuti melahirkan,” kata Maya kepada Magdalene dalam acara BiSiK Kamis di Instagram bertema “Women on Top: Tantangan dan Peluang“. 

Fakta lainnya, kesetaraan di tempat kerja juga membantu perusahaan untuk bertahan menghadapi pandemi. Legal Counsel Citi Indonesia serta Co-Chairwoman Citi Indonesia Women’s Network (IWN), Vera Sihombing mengatakan salah satu kunci agar perusahaan bertahan di tengah pandemi adalah mewujudkan  kebijakan serta kegiatan yang meningkatkan profesionalitas pekerja perempuan. 

Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

“Perempuan merupakan pilar kemajuan perusahaan. Jadi perusahaan harus memberikan mereka kesempatan aktualisasi diri untuk mencapai pencapaian yang maksimal di kantor,” kata Vera.

Agar lingkungan kerja lebih setara gender, kami memiliki tips jitu buat kamu yang bekerja sebagai HRD profesional di perusahaanmu, berikut ini.

1. HRD Profesional Merekrut Karyawan Baru dengan Prinsip Kesetaraan Gender

Beberapa kali kita melihat iklan lowongan kerja dengan syarat-syarat yang tidak relevan dan seksis, karena kaitannya dengan fisik calon pekerja, misalnya berpenampilan menarik, berusia tertentu, tinggi badan sekian, dan sebagainya. Padahal penampilan tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan seseorang dalam sebuah bidang. 

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

Sebaiknya tidak menaruh hal-hal yang berkaitan dengan penampilan untuk syarat calon pelamar. Selain itu, di dalam proses rekrutmen, sebelum daftar para calon diajukan ke manajemen, sebaiknya nama dan gender disembunyikan dulu. Hal ini sangat membantu agar manajemen terhindar dari bias implisit. Pada tahap wawancara, pastikan ada keragaman opini di dalam ruangan. Dapatkan opini kedua dan ketiga. 

2. HRD Profesional Perlu Menerapkan Kebijakan yang Setara dan Adil 

Staf HRD profesional perlu berlaku adil dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Apa pun latar belakang karyawan dan gender karyawannya, HRD profesional harus merangkul perbedaan sebab tenaga kerja yang lebih beragam juga lebih menguntungkan. 

Kita juga perlu menanamkan pemahaman bahwa kebijakan yang adil gender akan menguntungkan kedua belah pihak baik pihak karyawan laki-laki maupun perempuan. Adakan juga pelatihan tentang kesetaraan gender di tempat kerja supaya cara pandangnya berubah.  

3. Tanamkan Keutamaan Work-Life Balance pada Karyawan

Bekerja memang sebuah kewajiban, tapi jangan sampai lupa istirahat. Para staf HRD profesional perlu menanamkan prinsip work-life balance kepada seluruh karyawan termasuk kepala-kepala divisi. Ingatkan mereka untuk saling menghormati waktu istirahat masing-masing apalagi jika sedang cuti. 

Baca Juga: 12 Cara Hilangkan Jenuh dalam Bekerja Agar Tetap Produktif

Selain itu, HRD pun perlu jeli bahwa kondisi fisik dan mental antara karyawan perempuan dan laki-laki berbeda. Utamakan juga melihat permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dengan pendekatan dan perspektif gender, sebab sering kali permasalahan yang dihadapi tertutup oleh lapisan ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan.  

4. Buat Kebijakan dan SOP yang Ketat dan Efektif Terhadap Pelecehan dan Pelanggaran di Tempat Kerja

Ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama di berbagai perusahaan, sebab pelecehan seksual di perusahaan masih luput dalam pembicaraan. Sebagai HRD profesional, kita perlu membicarakan isu ini dengan serius. 

Dalam riset yang dilakukan oleh Never Okay Project di tahun 2018, hanya 4 persen perempuan pekerja yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Bahkan, sebanyak 40 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik di tempat kerjanya. Temuan lain dari riset tersebut sebagian besar pelakunya merupakan atasan atau rekan kerja senior. 

Angka tersebut merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus yang terjadi. Sering kali korban terhambat untuk melapor sebab tidak adanya standard operational procedure (SOP) khusus yang menangani isu kekerasan seksual. Jika pun ada, SOP tersebut masih belum memihak kepada korban. 

Baca Juga: Apa Hukum Perempuan Bekerja di dalam Islam?

Karenanya, HRD profesional perlu membuat kebijakan khusus terkait dengan isu kekerasan seksual, dan yang terpenting kebijakan ini berpihak kepada korban. 

5. Dorong Kepemimpinan Perempuan 

Penting bagi HRD profesional untuk melihat apakah perusahaan sudah memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mencapai pucuk kepemimpinan. Seperti yang kita tahu, jumlah pemimpin perempuan masih minim disebabkan oleh banyak tantangan salah satunya, beban ganda yang mereka emban. 

Untuk membantu mereka mencapai pucuk kepemimpinan perusahaan perlu memberikan dukungan terhadap perempuan, seperti misalnya waktu kerja yang fleksibel, dan layanan penitipan anak.

Read More
perempuan dalam iklan

Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

Beberapa tahun lalu, ada satu iklan cat merek lokal yang membuat dahi saya berkerut. Iklan tersebut memperlihatkan seorang perempuan menggunakan gaun putih sedang berjalan di taman dan memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman biru.

Sesaat setelah duduk, seorang tukang cat langsung berteriak “Awas cat basah” dan si perempuan langsung buru-buru mengangkat roknya hingga pahanya tersibak dan kamera menyoroti daerah pahanya.

Iklan ini hanya salah satu contoh yang memperlihatkan bahwa perempuan masih diseksualisasi dalam industri periklanan.

Isu dalam periklanan Indonesia dan global tidak hanya berhenti pada seksualisasi perempuan. Ada juga peran-peran gender kaku dalam skenario iklan yang memperkuat stereotip gender. Salah satu contoh yang paling legendaris adalah pada gambar kemasan kaleng biskuit Khong Guan, yang menggambarkan ibu beserta anak-anaknya yang sedang makan bersama ini banyak mengundang pertanyaan, “Loh, bapaknya ke mana?”.

Baca Juga: Nangis atau Bengis: Stereotip Perempuan di Sinetron

Ilustrator gambar kaleng biskuit yang melegenda itu, Bernadus Prasodjo, mengatakan kepada media bahwa ia hanya mengikuti arahan dari pihak Khong Guan untuk gambar itu. Tapi ia punya teori sendiri: Itu cara Khong Guan untuk memengaruhi ibu rumah tangga agar membeli produk mereka. Jadi, karakter yang penting dalam ilustrasi tersebut adalah sang ibu, karena toh yang belanja ibu.

Dikutip dari laman Campaign setidaknya ada enam stereotip gender terhadap perempuan yang sering kali ditemukan dalam periklanan.

  1. Domestik obsessive: stereotip yang menggambarkan perempuan sangat bersemangat penuh energi ketika mengerjakan pekerjaan domestik yang biasanya berhubungan dengan membersihkan rumah.

  2. Selfless nurturer: stereotip karakter perempuan yang digambarkan mengutamakan keluarga ketimbang dirinya, biasanya karakter tersebut digambarkan sebagai seorang ibu.

  3. Sex object: Ini seperti yang terjadi pada iklan cat di awal, bagaimana karakter perempuan digambarkan sangat menggoda dengan atribut-atribut sensual.

  4. Unattainable goddes: perempuan digambarkan sangat sempurna, tidak ada kekurangan sama sekali secara fisik, sangat ideal tapi tidak realistis.
     
  5. The fraught juggler: stereotip karakter perempuan, khususnya ibu, yang digambarkan super sibuk dengan banyak pekerjaan yang ia kerjakan dari domestik hingga publik, dan ia terlihat tidak bahagia.

  6. The bit part: karakter perempuan hanya dijadikan peran pendukung karakter laki-laki.

Potret Laki-Laki yang Gagah dalam Iklan

Lalu bagaimana dengan laki-laki dalam skenario-skenario iklan? Bapak di kaleng Khong Guan menghilang entah ke mana, dan biasanya dalam iklan pembersih pakaian pun bapak juga absen. Apakah memang skenario tersebut masih relevan dalam situasi sekarang?  

Dalam podcast FTW Media episode “Stereotip Perempuan dalam Iklan”, Fauzan, dari komunitas Aliansi Laki-Laki Baru (ALB),  sebuah gerakan laki-laki untuk kesetaraan gender, mengatakan hingga saat ini ia masih belum melihat perubahan yang signifikan dalam iklan.

Baca Juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

“Meski terkadang ada beberapa konten menggambarkan perempuan di ruang publik seperti di perkantoran dan sekor bisnis, tetap saja mereka belum banyak digambarkan sebagai pembuat keputusan,” ujar Fauzan.

Ia menambahkan, laki-laki yang diposisikan di ranah domestik, mereka hanya digambarkan sebagai pembantu ibu atau bahkan cuma menonton televisi atau berkegiatan lain sementara ibu memasak.

“Pesan-pesan yang disampaikan dalam visual seperti ini bisa melanggengkan pemikiran patriarkal dalam masyarakat, dan sebetulnya sudah tidak relevan dengan keadaan seperti ini. karena pada kenyataannya peran laki-laki dan perempuan itu bisa dipertukarkan,” kata Fauzan.

Mengapa ini Terus Terjadi

Jika produsen dan pembuat iklan selalu berdalih bahwa iklan yang mereka buat sesuai dengan keinginan pasar, secara pribadi Fauzan merasa tidak terwakili oleh iklan-iklan seperti itu.

“Nyatanya yang ditampilkan dalam iklan tersebut jauh dari realitas yang ada, sebab peran laki-laki dan perempuan sangat cair banget dan bisa saling mengisi dan bisa berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.

Sebagai konsumen, Fauzan mengatakan bahwa iklan yang masih menggunakan skenario yang stereotip gender seperti ini juga bisa mempengaruhi keputusan konsumen secara sadar atau tidak sadar.

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

“Iklan yang seperti itu bisa menimbulkan pengelompokan produk berdasarkan jenis kelaminnya misalnya, kebutuhan dapur itu yang tahu hanya perempuan, lalu iklan susu anak pun juga sama diperlihatkan hanya ibu saja yang paham. Ketika laki-laki ingin mencari referensi  soal produk-produk tersebut, ya dia jadi bingung sendiri,” katanya.

Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, mengatakan bahwa narasi-narasi penuh stereotip gender ini seperti lingkaran setan yang agak sulit untuk diputus sebab terkadang stereotip tersebut juga datang dari pihak produsen.

“Agak sulit untuk keluar dari konstruksi seperti ini. produsen dan biro iklan perlu melihat lagi  sekarang di masyarakat sudah ada perubahan loh. Laki-laki ada juga yang mengerjakan pekerjaan domestik dan perempuan yang bekerja. Ini kan menjadi menarik  ketika dihadirkan dalam sebuah iklan. Dan ini butuh waktu yang panjang untuk membongkar cara pandang seperti ini,” ujarnya.

Walaupun Kecil Perubahan Tetap Ada


Meski pekerjaan rumahnya masih sangat banyak, beberapa produsen dan biro iklan sudah memulai melakukan perubahan sedikit demi sedikit. Salah satu iklan yang viral dibicarakan masyarakat adalah iklan kecap ABC dengan kampanyenya “Suami Sejati” yang menggambarkan para suami mulai memasak di dapur.

Eldon D’Cruz, Planning Lead dari  Eldon D’Cruz, Planning Lead VML&R, agensi pemasaran digital yang bekerja bersama kecap ABC dalam menggarap kampanye tersebut, mengatakan bahwa iklan yang progresif seperti kampanye ABC tadi lebih berarti bagi masyarakat sebab iklan tersebut bermakna. Hal ini secara otomatis menjadi pembeda bagi Band yang bersangkutan yang pada akhirnya berpengaruh juga pada market share serta penjualan.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

Sebetulnya sudah ada panduan bagi pengiklan dalam membuat iklan yang non-stereotip. Di Indonesia, panduan tersebut sudah tertuang dalam bentuk Etika Pariwara Indonesia yang dibuat oleh  Dewan Periklanan Indonesia yang anggotanya termasuk perusahaan pengiklan, perusahaan periklanan atau agensi, dan media periklanan.

RTS Masli, Mantan Direktur Eksekutif Dewan Periklanan Indonesia sekaligus Ketua Umum Dewan Perguruan Periklanan Indonesia, aturan itu termasuk idak boleh mempertentangkan atau membiaskan kesetaraan hak gender dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.

“Contohnya nih ya, dari segi kewenangan, laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan yang setara,” kata Masli.

Read More

Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

Rangkaian kegiatan Women Lead Forum 2021 yang berlangsung selama dua hari (7-8/4) mengupas lengkap tentang diskriminasi struktural yang dihadapi perempuan di ruang profesional, cara dukung perempuan duduk di posisi pengambil keputusan, peran media dalam kesetaraan gender, serta dampak partisipasi perempuan pada performa ekonomi negara dan perusahaan.

Webinar daring yang dihadiri hampir 700 peserta tersebut merupakan puncak dari program Women Lead dari Magdalene yang didukung Investing in Women, sebuah inisiatif pemerintah Australia, untuk mendukung perempuan pekerja dan mendorong terciptanya kesetraan gender di tempat kerja. Acara ini juga mengundang pembicara kompeten dari berbagai sektor, seperti pemerintah, swasta, dan organisasi internasional.

Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah partisipasi perempuan di ranah profesional terus meningkat, tetapi belum menunjukkan kesetaraan gender di tempat kerja. Perempuan pekerja masih bertemu dengan hambatan struktural yang disebabkan perilaku diskriminatif. beban ganda, seksisme, stereotip berbasis gender, dan pelecehan seksual.

“Ini tidak hanya berdampak secara individu dan keluarga, tapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia,” ujarnya dalam keynote speech yang memulai acara.

pemerintah dorong pemimpin perempuan
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Ida Fauziyah

Deputy Head of Mission at the Australian Embassy, H.E Allaster Cox mengatakan inisiatif ini sangat penting dalam mengubah cara pandang media dan masyarakat terhadap peran perempuan, laki-laki, dan mendukung kesetaraan gender. Hasil penelitian yang dilakukan Investing in Women menunjukkan apa yang dilihat dan didengar dari media mempengaruhi cara perempuan berpikir dan bersikap pada isu gender, ujarnya.

“Saya harap diskusi ini bisa mendorong wacana publik lebih luas tentang peran perempuan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi yang lebih besar. Mari dorong kesetaraan gender untuk bangkit lebih baik setelah pandemi COVID-19,” ujarnya pada Women Lead Forum 2021 (7/4).

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani mengatakan, perusahaan memiliki andil dalam mengubah situasi yang membatasi perempuan memaksimalkan potensi mereka itu.

“Karena itu, Women Lead Forum 2021 kami tujukan untuk menyatukan para pembuat kebijakan di pemerintahan, lembaga legislasi, maupun di perusahaan, untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka, agar ada pembelajaran dan tercipta sinergi yang kuat untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja,” ujarnya.

Kedutaan australia dorong perempuan pemimpin
Deputy Head of Mission at the Australian Embassy, H.E Allaster Cox

Baca juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Tantangan Perempuan Pekerja dan Pengusaha

Ida Swasti, pendiri dan CEO Nipplets, sebuah merek pakaian dalam, mengalami beberapa tantangan mulai dari kesulitan mencari tenaga kerja penjahit perempuan hingga komentar sarat kekerasan seksual dan kiriman dick pics lewat media sosial pribadi hingga milik Nipplets. Tidak hanya itu, ia menerima stigma hanya perempuan “tidak baik-baik” yang mau mengasosiasikan diri dengan lingerie.

Meski demikian, Ida tetap teguh dengan visi dan misinya menyampaikan bahwa perempuan tetap cantik apa adanya. Produk lingerie yang secara fungsional digunakan untuk diri sendiri akan menambah rasa percaya diri seorang perempuan, ujarnya.

“Nipplets juga menyampaikan bahwa lingerie bukan untuk kegiatan seksual, bisa untuk sehari-hari dan merasa cantik. Perempuan punya hak merasakan tubuhnya indah untuk dirinya sendiri,” tambah Ida dalam sesi bincang inspiratiif.

Untuk mendukung berbagai bentuk tubuh dan warna kulit perempuan, Nipplets meluncurkan kampanye Real People, Real Body sejak 2019. Kampanye tersebut didukung oleh pelanggan Nipplets yang menyampaikan butuh keragaman tubuh yang bisa dijadikan panutan. Melalui kampanye tersebut muse atau inspirasi Nipplets merupakan perempuan dengan bentuk tubuh yang beragam. Tidak jarang  mereka menerima komentar bernada body shaming yang digunakan untuk menyerang body positivity.

“Tapi kami mau membantah stigma tentang tubuh perempuan. Salah satu muse kami seorang perempuan 49 tahun yang juga seorang bodybuilder dan mau berotot juga tidak salah. Perempuan cantik dan menarik dengan tubuh apa adanya,” jelas Ida. 

Ida Swasti pengusaha perempuan
Ida Swasti, pendiri dan CEO Nipplets

Ida juga berpesan agar perempuan tidak takut dalam mengambil kesempatan untuk memulai suatu bisnis. Ia menambahkan edukasi untuk menghapuskan pandangan negatif untuk produk perempuan, khususnya lingerie harus diaplikasikan agar masyarakat tidak menganggapnya tabu.

“Jangan takut dan memikirkan negatifnya saja. Nikmati prosesnya, semua asal mau kerja keras dulu saja,” ujarnya.

Komika Sakdiyah Ma’ruf dan Ligwina Hananto yang tampil dalam sesi stand up comedy menyampaikan beberapa tantangan yang dihadapi perempuan pekerja.  Sakdiyah mengatakan kantor masih memiliki aturan yang mendiskriminasi produktivitas perempuan di ranah kerja karena belum memfasilitasi kebutuhan Ibu melahirkan secara maksimal.

“Perempuan bisa produktif dan maju asal bisa difasilitasi,” ujar Sakdiyah.

Ligwina menambahkan kurangnya pemimpin perempuan dipengaruhi minimnya sosok panutan. Masalah tersebut semakin memburuk dengan campur tangan kisah dongeng Disney yang memberikan representasi perempuan dari sudut pandang laki-laki.

“Kalau mau jadi pemimpin jangan biarkan role model ditulis laki-laki. Perempuan harus menulis cerita hidupnya sendiri,” ujarnya.

Komika Sakdiyah Ma’ruf dorong pemimpin perempuan
Komika Sakdiyah Ma’ruf

Baca juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

Kompetisi Kantor Dukung Perempuan Dorong Regulasi Kantor Lain

Maya Juwita, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), juga juri kompetisi video  #KantorDukungPerempuan mengatakan melihat banyak organisasi dan perusahaan di Indonesia yang memberikan kebijakan ramah perempuan. Kompetisi tersebut merupakan satu bagian dari inisiatif Women Lead yang menyorot cara kantor mendukung perempuan dengan kebijakan yang setara.

“Menarik melihatnya (kebijakan kantor) dari perspektif karyawan dan bagaimana kebijakan tersebut menguntungkan dan dihargai” ujarnya.

“Ini juga bisa mendorong perusahaan memberikan kebijakan lain, bahwa regulasi ini diapresiasi. Ini juga menjadi suatu investasi karena memastikan kesejahteraan karyawannya, bisa bekerja lama dan produktif,” tambah Maya.

Ketiga pemenang dan pemenang pilihan pembaca kompetisi #KantorDukungPerempuan diumumkan pada hari kedua Women Lead Forum 2021. Para pemenang adalah Astridinar V. Elderia dari SOS Children’s Village Indonesia; Sisilya Fujiya dari BTPN; dan Elisabet Tening dari Radio Volare. Sementara pemenang pilihan pembaca adalah Dita Agustia dari The Body Shop Indonesia.

Astridinar mengatakan ia mengikuti kompetisi #KantorDukungPerempuan karena tertarik dengan isu kebijakan yang setara di ranah profesional.

“Selain itu kompetisi ini bisa menjadi cara edukasi sesama pekerja atau pengambil keputusan agar lebih mendukung perempuan di ranah kerja,” ujarnya kepada Magdalene (5/4).

“Selama ini suka mendengar dari teman di kantor lain karyawan perempuan didiskriminasi karena butuh cuti melahirkan, izin mengurus sekolah anak. Belum lagi ada isu pelecehan seksual, tetapi orang kantor malah memojokkan korban,”  ujar Astridinar, yang menjabat sebagai Public Relations and Communications Executive.

Kebijakan ramah perempuan yang diaplikasikan di kantornya berupa kemudahan cuti melahirkan selama tiga bulan dan hari pertama menstruasi, perlindungan dari aksi pelecehan seksual dengan sistem penanganan yang tegas, menjunjung kesetaraan agar perempuan mudah menduduki posisi strategis, jam kerja fleksibel, disediakan ruang istirahat untuk Ibu hamil dan menyusui, serta leluasa membawa anak saat kerja.

“Dengan kompetisi  ini saya bisa riset dan memberi masukan ke kantor tentang apa yang bisa diberikan untuk lebih mendukung pekerja perempuan,” tambah Astridinar.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Women Lead Forum 2021 Berikan Edukasi Kesetaraan

Bunga Manggiasih, manajer komunikasi Koalisi Seni yang juga mengikuti kompetisi video #KantorDukung Perempuan, mengatakan isu yang dibahas mampu menginspirasi pembuat kebijakan di perusahaan agar menciptakan regulasi yang dukung perempuan berkarya.

Ia menemukan beberapa poin menarik dari sesi diskusi hari kedua Women Lead Forum 2021, diantaranya: penggunaan kata “cantik” dalam berita yang mengobjektifikasi perempuan, kalimat “women are encouraged to apply” yang memberi perempuan keberanian terjun ke ranah kerja, dan konsep flexible working hours yang telah diterapkan di kantornya.

Bunga berharap sesama pekerja perempuan bisa terus mencari tahu tentang hak dan berani meminta pemenuhan hak tersebut ada manajemen perusahaan. Sementara itu, tempat-tempat kerja sebaiknya tidak sekadar mengikuti regulasi yang tercantum dalam undang-undang, tetapi berinisiatif lebih dari aturan itu, ujarnya.

“Kantor beri kebijakan yang membuat perempuan pekerja nyaman dan betah, sehingga mereka bisa menghasilkan kinerja yang baik. Investasi pada perempuan itu multiplier effect-nya banyak, sehingga perlu digenjot lagi,” ujar Bunga kepada Magdalene (8/4).

Pemenang Kompetisi #KantorDukungPerempuan

Sementara itu, Grasiana Cicilia, Human Resource dan General Affair Manager PT Mitra Inovasi Bisnis, mengatakan ia sengaja mengikuti rangkaian acara Women Lead Forum 2021 karena tertarik mengetahui lebih dalam tentang isu kesetaraan gender.

“Dengan mengikuti acara ini, saya mendapat banyak pengetahuan tentang isu kesetaraan dan empowerment perempuan khususnya di Indonesia,” ujarnya kepada Magdalene (8/4).

Kantornya sendiri telah menerapkan beberapa regulasi ramah perempuan, seperti memberikan waktu cuti menstruasi selama 1-2 hari atau sesuai kebutuhan. Selain itu sedang dalam proses pembangunan daycare untuk penitipan anak agar para Ibu bisa bekerja dengan nyaman.

“Sejauh ini (Women Lead Forum 2021) sudah bagus, semoga bisa diadakan secara reguler,” ujarnya.

Read More

Women Lead Forum 2021: Pentingnya Perspektif Gender di Media Massa

Hal pertama yang dilakukan Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, begitu ia bekerja di media daring tersebut adalah membuat Standard Operational Procedure (SOP) dan stylebook mengenai pembuatan konten berita yang berperspektif gender. Salah satunya, Uni melarang penggunaan embel-embel kata “cantik” ketika menyebut profesi perempuan dalam berita—sesuatu yang kerap kali dilakukan oleh media.

Menurutnya, itu merupakan usahanya untuk meredefinisi sosok perempuan yang selalu disoroti aspek ketubuhannya, dan representasinya cenderung berbalut stigma dan seksisme di media massa.

“Misalnya, waktu ada kasus prostitusi yang menimpa seorang aktris, saya dan beberapa perempuan pemimpin redaksi (pemred) merasa tidak sreg dengan cara media memberitakannya, karena cenderung menjatuhkan perempuan,” ujar Uni dalam panel hari kedua ‘Women Lead Forum 2021, yang diselenggarakan oleh Magdalene dan didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia, Kamis (8/4).

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Uni juga menyoroti minimnya representasi narasumber perempuan yang diwawancarai jurnalis. Dalam konteks global, keterwakilan narasumber perempuan di media hanya mencapai 24 persen, ujarnya.

“Ini karena di era digital ini, jurnalis semakin dituntut dari segi kecepatan membuat berita, sehingga mereka cenderung memilih untuk mewawancarai narasumber yang sudah ada, yang mayoritas adalah laki-laki. Padahal, ada banyak sekali perempuan yang kompeten untuk diwawancarai,” ujarnya.

Tak cukup dari kebijakan media, menurut Uni, perspektif gender itu juga harus dimiliki oleh setiap perusahaan agar representasi perempuan bisa meningkat di berbagai sektor publik.

Baca juga: Jumlah Bukan Jaminan, ‘Newsroom’ Ramah Perempuan Masih Angan-angan

“Banyak lembaga yang tidak menempatkan perempuan di level pembuat kebijakan, sehingga sulit untuk diwawancarai media. Jurnalis kan diajarkan, kalau bisa wawancara petingginya langsung. Tapi perempuan di jajaran C-level belum banyak,” katanya.

Terkait masih tidak seimbangnya proporsi perempuan jurnalis dan pemimpin di perusahaan media, Uni mengatakan, bahwa masih ada norma dan budaya yang menghambat perempuan jurnalis dalam meniti kariernya, seperti beban domestik dan pola kerja yang tidak ramah perempuan.

“Ada ekosistem yang harus dibangun untuk mendukung perempuan mencapai posisi tinggi di kantor media, yaitu dari keluarga dan lingkungan di sekitarnya. Misalnya, dulu saya sering harus pulang jam 12 malam. Mungkin tetangga nanya, ini kerjanya apa? Jika punya pasangan yang tidak mendukung, pasti tidak boleh,” ujarnya.

Konsumen Punya Daya untuk Mengubah Media

Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani, menilai bahwa persoalan representasi perempuan di media ini ibarat ayam dan telur. Di satu sisi, media merefleksikan budaya masyarakatnya. Tapi di sisi lain, media akan mengukuhkan kondisi masyarakat yang patriarkal.

Bukan hanya dalam berita, konten-konten hiburan seperti film dan video games pun menggambarkan perempuan lewat male gaze atau perspektif maskulin, di mana perempuan hanya dilihat sebagai objek seks, ujar Devi.

“Kita tidak bisa hanya menyasar jurnalisnya, karena banyak sekali jurnalis-jurnalis yang sudah dapat pembekalan soal gender, tapi begitu kembali ke newsroom, mereka akan berhadapan dengan redaktur-redaktur yang tidak punya perspektif gender ini. Tulisannya diubah jadi mengobjektifikasi perempuan lagi dan lagi,” ujarnya.

perspektif gender di media

Menurut Devi, salah satu langkah yang bisa dilakukan media adalah dengan menguatkan perspektif gender khalayaknya melalui konten-konten maupun kampanye dari media itu sendiri. Hal itu kemudian akan melahirkan tuntutan bagi media-media lain untuk memperbaiki cara mereka merepresentasikan perempuan.

“Sering kali, media-media yang kontennya mendapatkan kritik dari masyarakat karena seksis dan tidak adil itu akhirnya mengubah kontennya. Magdalene sendiri punya sebuah kampanye bernama #WTFMedia, yang aktif meng-call out media-media yang menggambarkan perempuan secara tidak adil. Itu bersambut baik dari audiens kami,” tambahnya.

“Konsumen media harus mengetahui bahwa mereka layak mendapatkan yang lebih baik dan mengonsumsi media yang tidak mengeksklusi kelompok lain, atau gender tertentu. Konsumen harus lebih banyak menuntut media untuk berubah,” ujarnya.

Baca juga: Jurnalis Diminta Berempati pada Penyintas Kekerasan Seksual

Redaktur dan Petinggi Media Harus Punya Perspektif Gender

Direktur Pemberitaan Media Group, Usman Kansong mengatakan, literasi gender dalam kantor berita masih kurang, bahkan di kalangan redaktur perempuan sendiri. Untuk itu, ia mendorng media agar menanamkan perspektif gender dalam diri para redaktur dan petinggi-petinggi lainnya.

“Saya pernah minta agar media saya mengangkat isu soal sunat perempuan. Tapi akhirnya malah berdebat keras, karena teman-teman redaktur perempuan sendiri banyak yang mempertanyakan. Padahal, mereka seharusnya bisa memberi teladan, mengajak teman-temannya berdiskusi tentang pentingnya perspektif gender,” ujar Usman, yang juga salah satu pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Menurut Usman, hal lain yang penting diperhatikan dalam menanamkan perspektif gender di media adalah dengan meningkatkan kinerja pengawasan dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Usman menilai, kedua lembaga tersebut belum berfungsi optimal dalam menanamkan perspektif gender.

“Misalnya, KPI menyensor bagian tubuh atlet loncat indah yang pakai baju renang. Perempuan yang memang pasti pakai baju renang, masa disensor? Alih-alih mengadvokasi isu gender, mereka malah jadi lebih banyak melarang,” kata Usman.

Sependapat dengan Usman, Uni berkomentar, “Saya sering kritik panel-panel Dewan Pers yang sering lupa menempatkan narasumber perempuan.”

Menurut Usman, dalam tatanan kode etik, Dewan Pers memang sudah mengimbau dengan baik. Tapi masih banyak koran-koran kuning yang sering melecehkan perempuan dalam berita-beritanya, yang tetap dibiarkan beroperasi, ujarnya.

“Dewan Pers harus sering-sering berdiskusi supaya perspektif gender mereka jadi terang menderang di media. Supaya mereka lebih peduli pada konten-konten media yang melanggar perspektif gender dan mendukung pengarusutamaan gender. Jadi jangan hanya menunggu ada laporan masuk,” tambah Usman.

Read More

Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

Kesetaraan gender di tempat kerja bisa dicapai salah satunya lewat kebijakan dan perubahan norma, termasuk soal perekrutan kepemimpinan. Astiti Sukatrilaksana, Head of Human Resource Unit UNDP Indonesia, mengatakan perusahaan perlu merekrut para pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada kelompok marginal atau rentan seperti perempuan.

“Pemimpin seperti itu dapat membangun lingkungan kerja yang saling menghormati antara rekan kerja yang memiliki gender yang berbeda, posisi/level, usia yang berbeda guna mengatasi ketidaksetaraan gender,” ujarnya dalam Women Lead Forum 2021 (8/4) yang diselenggarakan Magdalene dengan dukungan Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia.

Baca juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

UNDP Indonesia sendiri pada tahun 2020 menerima Gold Gender Equality Seal Certification, sebuah penghargaan dan pengakuan dari dunia usaha serta organisasi multilateral yang menyatakan bahwa program dan mesin penjalan UNDP di Indonesia telah mempromosikan kesetaraan gender.  

“Kami menggunakan topi non-diskriminatif dalam proses perekrutan, training, sampai penilaian kinerja. Kami tidak memberikan pelabelan gender untuk sebuah peran (kerja), maka di setiap lowongan memasukkan women are encourage to apply,” kata Astiti.

“Kami juga membangun mekanisme pencegahan terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual dengan membuat kanal pelaporan khusus, membuat kegiatan-kegiatan pembelajaran gender untuk semua staf, serta tidak memperbolehkan adanya all male panel dalam semua kegiatan yang dilakukan UNDP,” ia menambahkan.

Selain itu, Astiti mengatakan penghitungan sistematis tentang progres kesetaraan gender di ruang kerja berguna untuk memantau perusahaan dalam membangun akuntabilitas, kepercayaan publik, kinerja profesional yang positif, dan bertanggung jawab dalam pemenuhan hak asasi manusia.

“Di manajemen itu ada pepatah klasik yang mengatakan, ‘You can’t manage what you can’t measure’.  Kalau kita tidak menggunakan sistem pengukuran secara sistematis, bagaimana kita bisa tahu kemajuan kita? Menurut saya , pengukuran sistematis seperti melalui proses sertifikasi gender, bukan hanya perlu dilakukan untuk lembaga yang bekerja di sektor pembangunan seperti UNDP, tetapi juga diperlukan untuk perusahaan-perusahaan publik atau swasta,” ujarnya.

“Dampaknya, akan terjadi produktivitas kerja yang baik dan keuntungan maksimal bagi perusahaan,” kata Astiti.

Hapus Stereotip Gender di Tempat Kerja

Membangun lingkungan profesional yang dukung kesetaraan gender tidak lepas dari upaya menanggalkan stereotip gender, misalnya bahwa perempuan hanya cocok di bidang administrasi atau finansial karena “lebih teliti”, ujar Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE). Selain itu, ruang yang menghargai kolega juga mencakup tidak membagikan tanggung jawab kerja berdasarkan diskriminasi usia.

Maya mengatakan, stereotip gender yang menyatakan perempuan tidak bisa masuk ke ranah kerja berat karena memiliki potensi cedera lebih besar harus dipertimbangkan ulang.

Baca juga: Kekerasan Seksual pada AOC Bukti Kerentanan Perempuan Bahkan di Level Pemimpin

“Ini masalah keselamatan dan keamanan dalam bekerja, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Makanya untuk kerja berat ada alat, seperti forklift,” tambahnya.

Untuk mendorong perempuan dalam posisi strategis, ujar Maya, tidak bisa melihat hanya dari berapa total perempuan di ruang kerja. Namun, juga melihat jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen atau pengambil keputusan.

“Perempuan terkonsentrasi di level bawah, seperti operator. Begitu di level eksekusi kebijakan masih lebih banyak laki-laki dibanding perempuan,” ujarnya.

Maya mengatakan, upaya menambah dan menguatkan pemimpin perempuan dapat dilakukan dengan mendorong kebijakan kesetaraan gender yang dipotret secara lengkap, termasuk menghitung dan menimbang seberapa banyak representasi perempuan dalam posisi manajer.

Sementara untuk ranah pemerintah, Maya mengatakan perlu diberlakukan sistem pelaporan investasi dan bidang usaha dengan indikator pro kesetaraan gender yang lebih spesifik. Sistem ini berkaitan dengan apakah perusahaan memiliki perspektif gender dalam proses perekrutan pekerja.

“Ini untuk mendorong kepemimpinan perempuan yang bebas dari stigma, seperti bahwa kepemimpinan perempuan melanggar agama, bahwa perempuan emosional, dan budaya yang menghambat kiprah perempuan,” ujarnya.

Baca juga: Guru Perlu Hapus Stereotip Gender untuk Dorong Kepemimpinan Perempuan

Tokoh Publik Dorong Kampanye Kesetaraan Gender dengan Pemimpin Berpihak Perempuan

Menurut Maya, salah satu solusi lain untuk memudahkan perempuan di ruang kerja adalah dengan menerapkan tugas domestik yang setara dengan laki-laki karena hal itu tanggung jawab semua orang.

Ia juga mendorong cara agar laki-laki ikut menjunjung aksi kesetaraan gender dengan lead by example atau memberikan contoh mengenai pembagian tanggung jawab domestik. Kampanye atau aksi tersebut mampu mendorong banyak orang meninggalkan pandangan patriarkal, stigma, dan stereotip usang untuk ruang keluarga yang paham kesetaraan gender, ujar Maya.

“Saya ingin melihat Presiden Joko Widodo bersama Bu Iriana menyiapkan makanan, walaupun mungkin makanan mereka disiapkan dapur istana. Maksudnya, hal ini bisa mendorong orang lain atau lead by example,” kata Maya dalam panel Women Lead Forum 2021 (8/4).

Selain itu, tokoh publik tidak boleh meninggalkan komentar bernada seksis di media sosial, melakukan kampanye yang tidak mengatur cara perempuan berperilaku, dan terus menunjukkan contoh nyata pemimpin negara mendukung tugas domestik yang adil, ujarnya.

Baca Juga: Memperkenalkan Kesetaraan Gender Mulai dari Buku-buku Teks Anak

“Jawaban saya tentang apa yang bisa dilakukan untuk mendukung kesetaraan ini sederhana, help your spouse at home,” kata Maya.

Ia menambahkan, cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam mendukung kesetaraan gender ialah jangan mendorong regulasi yang menghambat kiprah perempuan di ranah kerja, seperti RUU Ketahanan Keluarga.

“Sudah bagus Presiden Joko Widodo ditunjuk oleh PBB beberapa tahun lalu sebagai duta He for She untuk kesetaraan gender. Namun, di sisi lain ada RUU yang mendorong perempuan kembali ke ranah domestik. Pendidikan anak dan mengurus keluarga menjadi tanggung jawab untuk perempuan saja,” ujarnya.

Read More