Soewarni Pringgodigdo

Soewarni Pringgodigdo Salah Satu Perintis dan Pemimpin Feminis Indonesia

Berasal dari keluarga yang tidak mampu yang memiliki enam anak, Soewarni Pringgodigdo sudah menunjukkan ketertarikan dengan isu sosial politik sejak dini. Lahir pada 31 Maret 1910 di Bogor, Soewarni pada usia 12 tahun sudah membaca buku karya Multatuli (Douwes Dekker) yang berisi tentang keserakahan Belanda serta kejahatan pemerintah kolonial yang terjadi di pertengahan abad 19.

Menginjak remaja kemudian berperan di organisasi perempuan Jong Jawa, dan selanjutnya memimpin Putri Indonesia, sayap keputrian lembaga Pemuda Indonesia pada 1926. Dari sana ia mulai senang membaca buku-buku mengenai hak pilih, feminisme, dan sosialisme. Soewarni juga sangat senang dengan ideologi dari tokoh perempuan pencetus gerakan sosial asal Amerika, seperti Charlotte Perkins Stetson.

Baca Juga: Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Pada tahun 1931, ia menikah dengan pegawai Departemen Statistik bernama AK Pringgodigdo, yang kemudian menjabag sebagai pemimpin Kantor Pusat Perencanaan.

Pada 1947, Suwarni Pringgodigdo masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta. Lalu ia bergabung dalam parlemen sementara pada tahun 1950 sampai dengan 1955.

Ia pun berperan di Partai Sosialis Indonesia. Pada tahun 1959, rumah tangga yang ia bangun bersama Pringgodigdo kandas dan mereka memutuskan untuk berpisah.

Soewarni Pringgodigdo Mengkritik Soekarno dan Menentang Poligami

Soewarni adalah salah satu nama pahlawan perempuan Jawa yang keras dan tidak pernah ragu dalam menyampaikan pendapatnya. Ia selalu tegas saat menuntut perubahan serta kemerdekaan, termasuk soal hak dan kemerdekaan perempuan di dalam pernikahan.

Soewarni termasuk yang bersuara keras pada kongres Pemuda Indonesia tahun1927 di Bandung. Kongres yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir itu diwarnai berdebatan antara Soekarno dengan Soewarni Pringgodigdo, yang merupakan ketua organisasi Putri Indonesia pada waktu itu.

Soewarni mengkritik gaya pidato Sukarno yang senang menggabungkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia-Melayu. Padahal lewat kesepakatan sebelumnya, setiap perundingan atau rapat pemuda harus memakai bahasa Indonesia-Melayu sebagai pengantar. Ia juga memprotes gaya Soekarno yang selalu meninggikan serta membesar-besarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masih baru pada waktu itu.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kritik Soewarni pada satu titik membuat Soekarno tidak bisa berkutik, sebelum ia membentak perempuan berusia 17 tahun dalam bahasa Belanda. Semua peserta rapat pun langsung tegang. 

Sjahrir, sebagai pemimpin kongres, memukul meja dengan palu. Meski berusia lebih muda sembilan tahun dibandingkan Soekarno, ia dengan gamblang meminta seniornya untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar untuk perempuan Indonesia.

Soekarno terkejut atas aksi keras Sjahrir kepada dirinya. Ia kemudian meminta maaf kepada seluruh peserta kongres, khususnya kepada Soewarni Pringgodigdo.

Beberapa tahun kemudian, Soewarni juga menolak keras hasil kongres Aisyiyah pada Maret 1932 yang mendukung poligami dengan alasan bisa mengurangi pelacuran. Menurut Soewarni, pernikahan monogami akan menciptakan harmoni karena istri tidak akan bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.

Ibu Berdaya Ala Soewarni

Pada tanggal 22/03/1930, Soewarni merombak perkumpulan Putri Indonesia yang kemudian menjadi Isteri Sedar. Organisasi ini dibentuk untuk memberdayakan perempuan yang masih terbelenggu nilai-nilai tradisional supaya tidak merasa lebih rendah dari laki-laki.

Perkumpulan buatan Soewarni ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap melanggar norma hidup orang Jawa. Kelompok tradisional sangat menentang karena kedekatan ideoloagi Isteri Sedar dengan pandangan Barat. Karena sangat menolak poligami, Isteri Sedar juga mendapatkan tentangan dari organisasi dan kelompok Islam.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Sebagaimana yang tertulis dalam anggaran dasarnya, organisasi Isteri Sedar berpondasi pada perasaan nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak pernah terjun ke dalam politik secara langsung, Isteri Sedar diketahui sering memberi dukungan kepada partai-partai pecahan PNI seperti Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.

Pada tahun 1954, Isteri Sedar mengubah kebijakan organisasinya dan mengganti namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Pada tahun keduanya, Gerwani berhubungan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadi lembaga perempuan yang punya hubungan paling baik dengan pemerintahan Soekarno.

Polemik antara Soewarni dengan Soekarno pada zaman itu tak mengganggu hubungan keduanya. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, Soekarno bertemu secara empat mata dengan Soewarni dan memintanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh perempuan dalam ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.

Soewarni lalu diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dari bulan September tahun 1945 sampai dengan bulan Desember tahun 1949. 

Read More

Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Kebijakan upah kerja minimum sebagaimana diatur dalam omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menjadi salah satu isu yang mengundang protes berbagai kalangan, terutama buruh, hingga muncul aksi-aksi protes di jalan.

Di Indonesia, kebijakan kenaikan upah minimum telah ada sejak tahun 1970-an. Namun, hal itu baru benar-benar digalakkan pada awal tahun 1990-an. Pasalnya, ketika itu Indonesia mendapat tekanan dari sejumlah negara untuk menghentikan praktik “sweatshop”: Memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan tempat kerja tidak layak.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menyoroti pentingnya penetapan upah minimum di setiap negara/wilayah. Perhatian ILO terhadap isu upah tidak lepas dari niat untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja, salah satunya mendapatkan pengupahan yang layak di berbagai negara.

Sejak itu, pemerintah kerap menaikkan upah minimum hingga mencapai 76 persen dari upah rata-rata buruh di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini yang cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara lain seperti Australia (47 persen), Jepang (36 persen), Malaysia (30 persen, tahun 2017), dan Thailand (34 persen, tahun 2017).

Akan tetapi, apakah kebijakan upah minimum yang tinggi benar-benar efektif dalam melindungi pekerja?

Untuk menjawab ini tidak mudah, karena isu kenaikan upah minimum terkait banyak faktor, di antaranya cakupan dari kebijakan upah minimum tersebut.

Selain itu, kenaikan upah minimum juga memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok pekerja yang berbeda: pekerja dengan keterampilan tinggi versus rendah; pekerja perempuan versus laki-laki.

Baca juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Pada 2019, saya melakukan sebuah studi terhadap dampak upah minimum. Dengan menggunakan data level provinsi yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2001-2015, saya menganalisis pengaruh kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal, informal, dan juga pengangguran di Indonesia. Penelitian saya menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.

Faktor-faktor Penentu Kebijakan Kenaikan Upah Minimum

Di Indonesia, kenaikan upah minimum memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pekerja di sektor formal dan di sektor informal, serta terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.

Mengikuti klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sedikit penyederhanaan, pekerja di sektor formal diartikan sebagai pekerja yang memiliki status pekerjaan “buruh/karyawan”, dan menerima upah dan tunjangan sesuai aturan ketenagakerjaan. Sedangkan pekerja informal adalah pekerja dalam bidang tertentu seperti usaha rumahan (pekerja keluarga), pekerja mandiri (seperti freelancer), dan pekerja lepas (buruh tani atau buruh konstruksi).

Penelitian ini menemukan bahwa upah minimum berkaitan dengan berkurangnya jumlah pekerja di sektor formal. Lebih khusus lagi, penurunan jumlah pekerja perempuan di sektor formal lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja laki-laki.

Kenaikan upah minimum meningkatkan jumlah biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terutama jika tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas para pekerja.

Jumlah penurunan pekerja perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki juga mencerminkan kurangnya kesetaraan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Temuan ini sesuai dengan hasil studi-studi terdahulu yang menemukan dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal.

Penelitian juga menunjukkan kemungkinan adanya perpindahan tenaga kerja, terutama laki-laki, dari sektor formal ke sektor informal ketika terjadi kenaikan upah minimum, seperti yang juga ditemukan oleh studi sebelumnya.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Perpindahan ini salah satunya adalah karena ketiadaan tunjangan atau perlindungan bagi orang yang tidak bekerja (unemployment benefits) sehingga memaksa sebagian pekerja yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk berpindah ke sektor informal karena kebutuhan untuk memiliki penghasilan.

Pada 2018, sektor formal hanya mempekerjakan 43 persen dari total orang yang bekerja di Indonesia. Terlebih lagi, walau studi tidak menemukan kaitan antara kenaikan upah minimum dan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia, kenaikan upah minimum diketahui berkaitan dengan menurunnya partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari kerja.

Hal ini menggambarkan ada juga pekerja yang menyerah dan berhenti mencari pekerjaan karena berkurangnya kesempatan kerja.

Bagaimana Kebijakan Kenaikan Upah Minimum untuk Pekerja Informal?

Perlu diingat bahwa sektor informal identik dengan kondisi pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan sektor formal. Ekonomi informal kerap diisi oleh pekerjaan-pekerjaan yang tidak teregulasi dan tidak terdaftar – seperti buruh harian dan pedagang kaki lima – sehingga mengakibatkan minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor tersebut. Selain itu, rata-rata upah pekerja di sektor informal pun lebih rendah dibandingkan upah di sektor formal.

Di Indonesia, perlindungan untuk mendapatkan upah minimum berlaku hanya untuk buruh/karyawan, seperti diatur UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, pasar tenaga kerja Indonesia diisi oleh pekerja-pekerja dengan status lain selain “buruh”, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal.

Sebuah studi pada 2006 memperlihatkan bahwa sebagian besar usaha informal tidak mengetahui tentang peraturan upah minimum, dan tingkat upah dari pekerja di usaha informal beragam tergantung jenis pekerjaan, keterampilan dan jenis kegiatan.

Oleh karena itu, kita harus kembali meninjau apakah kenaikan upah minimum berhasil mencapai tujuannya untuk melindungi pekerja.

Jelas bahwa kenaikan upah minimum berhasil meningkatkan pendapatan sebagian pekerja dengan mengorbankan sebagian pekerja yang lain. Terlebih, pekerja-pekerja yang rentan seperti perempuan, lebih banyak menganggung efek negatif dari kenaikan upah minimum.

Baca juga: SOS Children’s Villages Indonesia Dukung Pekerja Perempuan, Serius Tangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak kenaikan upah minimum tidak hanya bagi pekerja di sektor formal, tetapi juga pada mereka yang berada di sektor informal atau akan terpaksa pindah ke sektor informal.

Ada banyak celah hukum, yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok pengusaha untuk tidak memberi upah minimum. Dalam UU Ketenagakerjaan misalnya, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum untuk dimungkinkan untuk menggaji karyawannya dengan upah lebih rendah. Ini jelas bertentangan dengan pengertian upah minimum yang merupakan upah yang wajib dibayarkan kepada buruh.

Tingginya ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar upah lebih tinggi dari upah minimum juga merupakan masalah yang harus dituntaskan. Pada tahun 2016, 47 persen dari karyawan di sektor formal mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah minimum.

Meskipun masalah tingkat kepatuhan yang rendah soal upah minimum telah terdengar begitu lama, hukuman pidana terhadap pelanggaran pembayaran upah minimum baru terjadi pertama kali pada 2013. Ketika itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada seorang pengusaha asal Jawa Timur yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.

Putusan itu dapat dilihat sebagai dasar untuk memperkuat penegakan hukum mengenai kebijakan upah minimum.

Salah satu alasan tingginya tingkat upah minimum dibandingkan upah rata-rata di Indonesia adalah karena negosiasi upah minimum merupakan satu-satunya sarana bagi serikat pekerja melakukan peran dalam melindungi anggotanya. Maka tak mengherankan bila serikat pekerja cenderung menuntut upah yang sangat tinggi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Mengingat kondisi seperti ini, perlu dibuka ranah perundingan bersama untuk melindungi hak-hak lain pekerja di luar upah, seperti tunjangan atau keamanan dan kelayakan tempat kerja. Perbaikan yang diminta – dan kemudian harus dilakukan – tidak melulu hanya soal upah.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Tifani Husna Siregar adalah kandidat Ph.D. di Graduate School of Economics, Waseda University.

Read More
contoh pemimpin idola

Contoh Pemimpin Idola yang Bisa Dijadikan Panutan

Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, namun tantangan yang dihadapi akan semakin besar bagi perempuan. Demi mencapai posisi strategis, banyak sekali hambatan yang dihadapi perempuan, mulai dari faktor budaya, sosial, hingga politik dan agama. 

Jangankan dalam dunia kerja, akses pendidikan pun masih terhambat dan pemikiran dan budaya patriarkal juga mencari pembenaran dalam nilai keagamaan yang berujung menghambat perempuan berkarier.

Jadilah Pemimpin Perempuan Idola Bagi Tim Kamu

Dari banyaknya tantangan yang dihadapi, ada juga perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis di organisasi maupun perusahaan tempat mereka bekerja. Ketika mereka mencapai posisi strategis ini, mereka umumnya membantu karyawan perempuan mereka dengan kebijakan yang inklusif, bahkan membuat inisiatif di luar perusahaan mereka.

Baca Juga: 8 Cara Menjadi Pemimpin yang Baik dan Bijaksana dalam Perusahaan

Pemimpin perempuan seperti ini tidak hanya bisa ditemui di dunia bisnis, namun juga di dunia politik, sains, sampai hiburan. Banyak sekali pelajaran yang bisa diangkat dari kisah dan perjuangan mereka. Yuk, simak beberapa cerita dari mereka. 

Contoh Pemimpin Idola dalam Bidang Politik: Jacinda Ardern

contoh pemimpin idola dalam bidang politik

Contoh pemimpin yang menjadi idola yang akan kita bahas adalah Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern, yang juga merupakan pemimpin dari Partai Buruh. Setahun belakangan ini, nama Ardern menjadi perbincangan hangat  warga dunia sebab ia berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 di negaranya berkat respons cepat dan cara berkomunikasi dengan rakyat dengan penuh empati. 

Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada Juni 1980, Ardern memulai karier politiknya berkat perekrutan oleh bibinya, Marie Ardern yang sudah lebih dulu berkecimpung dalam dunia politik sebagai anggota Partai Buruh. 

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Saat ini Ardern sudah sukses menduduki posisi strategis di Selandia baru, dan beberapa kali ia mengeluarkan kebijakan yang inklusif, terutama untuk perempuan. Salah satunya adalah pengesahan RUU Amandemen Persamaan Gaji yang memastikan semua pekerja tidak dibayar lebih rendah karena gendernya. 

Peraturan ini tidak hanya memastikan tidak ada kesenjangan gaji di antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga memastikan pekerja perempuan dalam industri yang didominasi oleh perempuan menerima gaji yang sama dengan laki-laki dalam pekerjaan yang berbeda tetapi bernilai sama. 

Contoh Pemimpin Idola yang Berhasil Tangani Pandemi: Tsai Ing Wen

Contoh Pemimpin Idola yang Berhasil Tangani Pandemi

Seperti halnya Ardern, Tsai Ing Wen adalah pemimpin dunia yang menjadi buah bibir berkat keberhasilannya mengendalikan pandemi di Taiwan. Lahir di Taipei pada Agustus 1956, Tsai adalah anak bungsu dari 11 bersaudara dari ayah seorang pengusaha bengkel mobil dan ibu seorang ibu rumah tangga.

Tsai Ing Wen adalah perempuan pertama yang menjadi presiden di Taiwan. Dalam Pemilihan Presiden 2020, Tsai kembali memenangkan masa jabatan keduanya. Di saat yang sama, keterwakilan perempuan di pemerintah Taiwan mencapai rekor tertinggi, dengan 42 persen legislator adalah perempuan. Ini yang membuat Taiwan berada di peringkat teratas se-Asia. 

Ketika pandemi COVID-19 menghantam, Taiwan adalah salah satu negara yang secara sigap menekan kasus virus ini. Lewat kepemimpinan Tsai, Taiwan dengan cepat mengontrol perbatasan dan mengimplementasikan pembelajaran dari kasus wabah SARS pada 2002. 

Suzy Hutomo

Suzy Hutomo

Suzy Hutomo adalah CEO dan Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia. Ia tidak hanya seorang pebisnis, namun juga pegiat isu lingkungan hidup dan kesetaraan gender. Sebagai brand yang mengedepankan prinsip feminisme, Suzy menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung karyawan perempuannya untuk mengembangkan kariernya. Selain yang mendasar seperti ruang laktasi dan izin saat anak sakit, kebijakan tersebut termasuk larangan untuk melakukan rapat malam hari agar semua karyawan memiliki waktu untuk keluarga. 

Baca Juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Kami sedang dalam proses tanda tangan dengan UN Women, ada dokumen-dokumen tentang kebijakan untuk perempuan, saat ini sedang kita proses untuk menetapkan kebijakan yang lebih formal untuk memastikan ada kesetaraan gender di dalam perusahaan kita,” ujar Suzy pada Magdalene dalam podcast Magdalene’s Mind.

Risa E. Rustam

kepemimpinan perempuan

Risa Effenita Rustam adalah Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia salah satu dari sedikit perempuan yang menjabat posisi strategis dan tinggi dalam industri jasa keuangan di Indonesia.

Memiliki pengalaman panjang dalam sektor ini, perempuan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini sudah merasakan beragam tantangan yang dihadapi sebagai pekerja perempuan dalam industri ini.

Menurut Risa, sangat penting bagi perusahaan untuk mengedepankan keberagaman dan inklusivitas, serta memastikan agar semua karyawan mendapat akses yang setara terhadap kesempatan yang ditawarkan perusahaan.

Baca Juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

Selain itu, Risa juga memastikan agar perusahaan juga mendukung karyawan-karyawannya dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti  daycare, dan layanan kesehatan mental.

Azizah Assatari

Azizah Assatari

Dalam podcast  FTW Media garapan Magdalene, Pendiri dan CEO Lentera Nusantara Azizah Assattari berbagi pengalamannya mendapatkan perlakuan seksis selama merintis karier di dunia pengembangan game.

Ia bercerita bagaimana saat ia berkuliah di Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB, ia dianggap kurang kompeten dibandingkan teman-teman yang laki-laki.

“Aku sampai rela part time di sebuah perusahaan game untuk tugas kelompok. Setelah itu aku juga mengajarkan teman-teman laki-laki yang lain. Pada akhirnya mereka yang dapat A sedangkan aku B. Alasannya karena mereka enggak percaya aku yang bikin,” kata Azizah dalam wawancara bersama Magdalene.

Namun, pengalaman-pengalaman tersebut membuat Azizah pantang menyerah. Ia bahkan mendorong adik-adik kelasnya yang perempuan untuk masuk ke jurusan ini, karena ia percaya bahwa perempuan juga bisa.

Ines Atmosukarto

Dr. Ines Atmosukarto contoh pemimpin idola

Dalam wawancara dengan podcast Magdalene’s Mind, Doktor Ines Atmosukarto menceritakan bagaimana tantangan perempuan ilmuwan dalam meniti karier di bidang sains dan teknologi. Ines adalah CEO Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia.

Ia menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh pekerja perempuan dalam bidang STEM adalah beban ganda yang mereka emban sebagai ibu, istri, dan juga seorang pekerja. Karenanya, ia mengatakan sangat penting bagi perusahaan untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung para ilmuwan perempuan ini. 

Tidak hanya itu, sebagai seorang ilmuwan yang kini juga aktif meningkatkan kesadaran masyarakat tentang vaksin lewat akun media sosialnya, Ines juga berpesan pada rekan ilmuwan lainnya untuk selalu bersikap rendah hati.

Baca Juga: Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

“Kita harus menyadari bahwa kita enggak tahu segalanya dan kita bisa saja salah. Kita juga perlu belajar dari ilmuwan sosial. Peneliti ilmu pasti harus juga bersinergi dengan antropolog serta ilmuwan sosial untuk bisa menemukan cara dalam mengedukasi masyarakat,” kata Ines.

Read More

Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Maulani Rotinsulu telah berhasil lolos sampai tahap terakhir sebuah proses rekrutmen di sebuah perusahaan. Namun, ketika dalam sesi wawancara perusahaan tersebut mengetahui dirinya adalah penyandang disabilitas, namanya hilang dari daftar kandidat. Padahal, pada setiap tahapan, ia selalu berhasil menduduki peringkat 10 besar.

“Intelektualitas saya yang sebelumnya sangat diapresiasi mendadak hilang setelah saya mengatakan bahwa saya adalah penyandang disabilitas. Itu tidak terlepas dari stigma kalau penyandang disabilitas itu berbeda, dan bahwa orang harus sama kalau mau diperlakukan setara,” kata Maulani, 61, yang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

Ia berbicara dalam webinar bertajuk ‘Sudahkah Setiap Orang Punya Kesempatan Kerja yang Sama?’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (28/4).

Pengalaman Maulani terjadi bertahun-tahun lalu, namun situasi belum berubah saat ini. Stigma masih menghalangi kesempatan dan akses untuk bekerja di sektor formal, membuat mayoritas penyandang disabilitas mengandalkan pekerjaan di sektor informal.

Ada masalah struktural di mana kebanyakan perusahaan tidak memiliki kebijakan rekrutmen dan kepegawaian yang mendukung para difabel untuk bekerja, ujar Maulani. Padahal, sudah seharusnya negara dan perusahaan swasta memberikan fasilitas pendukung bagi para difabel agar mereka bisa berkembang seperti halnya orang-orang lain.

“Standar perusahaan juga kebanyakan tidak inklusif. Tidak ada tuh yang mempromosikan kalau penyandang disabilitas bisa bekerja di pekerjaan-pekerjaan mainstream. Tidak pernah dipromosikan pemerintah bahwa penyandang disabilitas bisa meraih kehidupan atau posisi yang lebih,” kata Maulani, yang kehilangan tangan kanannya karena diamputasi akibat kecelakaan waktu dia masih kanak-kanak.

Baca juga: Memimpikan Dunia Kerja di Indonesia yang Bebas Pelecehan Seksual

“Harusnya ada asesmen kebutuhan karyawan. Ini wajar banget, merefleksikan partisipasi tenaga kerja di dalam perusahaan. Misalnya, penyandang disabilitas netra, agar bisa bekerja harus diberi laptop dengan aplikasi yang bisa mengeluarkan suara untuk arahan di komputer.”

Maulani mengatakan, sistem pendidikan bagi penyandang disabilitas turut mempengaruhi sempitnya peluang mereka menjadi unggul di pasar kerja. Menurut Maulani, sekolah khusus tempat para difabel disekolahkan (sekolah luar biasa) itu belum memiliki standar yang sama dengan sekolah reguler. Akibatnya, pasar kerja tidak melihat para lulusannya memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah reguler.

“Saya pernah duduk bersama dinas pendidikan sebuah daerah yang mengatakan bahwa mereka sudah membuat sekolah inklusif yang juga menerima banyak murid dengan disabilitas. Tapi, banyak orang tua yang protes, katanya takut (para difabel) berdampak buruk pada anak-anak mereka,” ujar Maulani.

Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kesulitan Ganda dalam Bekerja

Kesempatan Kerja Bagi Kelompok Minoritas Kurang

Jessica Ayudya Lesmana, seorang transpuan yang aktif berkegiatan di Cemeti Art Institute, mengatakan bahwa komunitas transpuan mengalami nasib serupa dengan kelompok disabilitas, yaitu mengandalkan pekerjaan di sektor informal karena tak bisa masuk ke sistem formal.

“Kebanyakan transpuan tidak punya ijazah dan pengalaman mumpuni. Itu juga karena sistem yang membuat mereka tersisihkan. Kami tidak punya kesempatan yang sama dengan teman-teman heteronormatif,” ujarnya.

“Ketika masuk ke ruangan HRD, akan dipertanyakan ekspresi gendernya. Kami akan diminta memakai pakaian yang seperti laki-laki kalau mau bekerja di sana. Sedangkan transpuan kan masuk ke dalam diskursus gender, dia pasti akan berpenampilan sebagai perempuan. Itu salah satu hal yang membuat transpuan susah masuk ke ranah kerja formal,” ia menambahkan.

Jessica juga mengatakan, ketika hendak atau sudah memasuki dunia kerja, akuntabilitas dan profesionalisme para transpuan akan terus dipertanyakan karena stigma bahwa semua transpuan adalah pekerja seks dan pengamen, dua pekerjaan yang selalu dikonotasikan dengan hal negatif.

Jessica menganggap dirinya memiliki privilese karena bisa bekerja di sektor formal. Meski begitu, privilese itu baru bisa dia dapatkan setelah melalui waktu dan perjuangan yang sangat panjang.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

“Agar bisa mengirim lamaran kerja dulu, saya harus berulang kali menggunakan komputer yang disediakan di Perpustakaan Kota Yogyakarta karena ia tidak memiliki uang untuk membeli laptop,” ujarnya.

Maulani mengatakan satu-satunya alternatif untuk keluar dari masalah ekonomi bagi kelompok penyandang disabilitas adalah dengan menjadi wirausaha.

“Banyak teman-teman disabilitas yang berhasil dengan berjualan online. Tapi mereka masih mendapatkan kendala karena ketika butuh dana untuk mengembangkan usaha mereka, mereka sulit mendapatkan akses modal. Bank masih diskriminatif dan sering menolak penyandang disabilitas,” ujarnya.

Read More
Nissa Wargadipura

Nissa Wargadipura Pimpin Pesantren Ekologi, Dorong Pelestarian Lingkungan

Krisis lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian perempuan. Pasalnya, mereka merasakan betul dampaknya dalam keseharian. Dalam feminisme kemudian lahir aliran ekofeminisime yang menyoroti persoalan lingkungan dan kaitannya dengan permasalahan perempuan di berbagai tempat.

Adalah Nissa Wargadipura, seorang ekofeminis muslim yang teguh berjalan dalam perjuangannya di bidang pemulihan ekologi. Dia adalah pendiri dari dua sekolah ekologi di Indonesia, yakni Pesantren Ekologi Ath-Thariq di Garut, Jawa Barat, yang berdiri pada 2008, dan Sekolah Ekologi Indonesia di Aceh yang berdiri pada tahun 2018.

Dedikasi Nissa Wargadipura dalam pemulihan ekologi didukung oleh pengalaman dia yang sempat menjadi murid akademisi dan aktivis lingkungan dari India, Vandana Shiva di University of the Earth pada tahun 2016. Di samping itu, Nissa juga pernah melakukan pendampingan para petani semasa Revolusi Hijau yang diberlakukan pada masa Orde Baru.

Melalui acara Instagram Live Magdalene, Bisik Kamis (22/04) bertajuk “Beriman Tapi Mengapa Tidak Menjaga Lingkungan”yangdipandu oleh Tabayyun Pasinringi, Nissa Wargadipura membagikan berbagai pengalaman dan pandangannya mengenai pemulihan ekologi dan kaitannya dengan ajaran agama Islam.

Magdalene: Apa yang membuat Kak Nissa Wargadipura tertarik masuk ke isu lingkungan sampai berinisiatif membuat dua sekolah dengan tema ekologi?

Nissa Wargadipura: Jalan saya terlalu panjang untuk menceritakan sampai di sini. Berasal dari berbagai pengalaman saya, utamanya pada saat itu berawal dari konflik agraria, kemudian saya melihat bahwa di tataran petani, di tataran masyarakat Indonesia mulai ada sistem Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau ini adalah sebuah sistem yang sangat terlihat secara nyata telah melakukan kerusakan di wilayah ruang hidup kita. Contohnya penggunaan pestisida. Pergaulan saya melalui pendampingan petani-petani menemukan langsung dampak-dampak kerusakan ekologi dari Revolusi Hijau itu.

Kita melihat bahwa tanah yang kemudian menjadi gersang karena terlalu banyak pupuk, petani-petani juga banyak merugi juga karena sistem pertaniannya monokultur. Sementara, monokultur itu sebenarnya sangat merugikan sekali dalam sistem pertanian karena tidak memberikan perlindungan pada tanaman monokultur itu sendiri, sehingga rentan sekali gagal panen. Kerugian yang lain selain kegagalan panen adalah hilangnya keanekaragaman hayati.

Mulai dari sana, saya mendapatkan bukti-bukti nyata dari kerusakan Revolusi Hijau yang kemudian membuat saya akhirnya mencari jalan yang teguh di pemulihan ekologi.

Itu juga yang mendorong Kak Nissa Wargadipura membuat sekolah?

Iya, karena sekolah itu tempat orang belajar. Kenapa berbasis ekologi? Karena ekologi kan membicarakan soal ekosistem. Ekosistem sendiri membicarakan keanekaragaman hayati,  tumbuh-tumbuhan, sebuah fase di mana anak-anak tidak tahu bagaimana bentuknya kunang-kunang, tidak tahu bentuknya kupu-kupu, tidak tahu asal mulanya.

Saya punya kepentingan dengan anak-anak saya. Jadi panggilan saya mengenalkan berbagai macam tanaman, yang diturunkan dari ibu saya ke saya, harus turun lagi ke anak-anak saya.

Sekolah ekologi itu adalah tempat anak-anak secara terbuka, secara merdeka melakukan pembelajaran kontekstual. Dengan begitu, mereka dapat dengan baik mencari masalahnya sendiri.

Bagaimana contoh penerapan pemeliharaan lingkungan diterapkan di sekolah/pesantren Kak Nissa Wargadipura?

Di lingkungan pesantren, kami menumbuhkan berbagai macam tanaman dan menjaga supaya lingkungan tetap bersih. Karena jika lingkungan bersih, orang-orangnya akan sehat. Jika sampah berserakan di mana-mana, itu akan menimbulkan penyakit.

Sehubungan dengan itu, kami selalu memberitahukan tamu atau anak-anak santri sejak awal bahwa kami tidak menerima sampah plastik. Kalau mau berkunjung ke tempat kami, Anda harus menyiapkan tempat minum sendiri, piring sendiri, air disediakan oleh kami. Kalaupun Anda datang membawa plastik, mohon dibawa kembali plastiknya. Karena kami mengajarkan anak-anak santri bahwa jika plastik dan sampah tidak dibuang pada tempatnya, tidak diorganisasi dengan baik, maka itu akan menimbulkan sistem yang tidak terkendali dan kemudian menjadi kebiasaan-kebiasaan yang menurut kami sangat rentan. Kebiasaan-kebiasaan itu yang harus diurus oleh kami sebagai pelaku pengajar. Penting sekali dan sangat mendasar, karena lingkungan kita adalah citra kita, adalah karakter kita.

Read More

Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Sebagaimana isu kesehatan mental secara umum, kesehatan mental karyawan sering kali luput dari perhatian atau tidak dianggap penting. Bagi banyak perusahaan, akan lebih baik mengalokasikan anggaran atau membuat kebijakan terkait hal lain dibanding urusan kesehatan mental pekerja.

Padahal, kita mestinya menyadari bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental. Karena itu, kesadaran pentingnya kesehatan mental, termasuk pada karyawan, perlu digencarkan. Tidak hanya pada momen Hari Kesehatan Mental Dunia yang dirayakan pada bulan Oktober, tetapi juga dalam keseharian di tempat kerja.

Diperkirakan satu dari empat orang di seluruh dunia mengalami problem kesehatan jiwa pada satu titik dalam kehidupan mereka. Angka ini saja mungkin sudah mengkhawatirkan, tetapi tidak mencerminkan secara memadai penderitaan manusia, isolasi, hilangnya produktivitas, hambatan bagi pembangunan manusia, dan pembangunan umum bagi negara.

Baca juga: Wujudkan Tempat Kerja Sehat untuk Kesehatan Mental Pekerja

Kesehatan mental yang buruk bisa mengisolasi, meletihkan dan kadang-kadang memicu kematian. Tetapi dampak buruk ini tidak hanya dirasakan perseorangan saja. Ini juga bisa berefek dan memakan korban lebih luas dalam organisasi dan bisnis di seluruh dunia.

Kita mungkin berpikir bahwa dunia korporat tentu gesit dalam menangani isu yang mengancam pertumbuhan dan laba. Namun, walau fenomena kesehatan mental karyawan yang buruk menguras perekonomian melalui seringnya kemangkiran dan biaya perawatan kesehatan, tabu yang tak kunjung hilang di sekitar kesehatan mental memperlambat ditemukannya solusi untuk dunia bisnis, persis yang terjadi di tingkat perorangan dan pemerintahan.

Keuntungan bagi Kantor yang Sadari Kesehatan Mental Karyawan Penting

Mestinya penanganan masalah kesehatan mental karyawan itu tidak sulit-sulit amat. Semakin banyak organisasi-organisasi di seluruh dunia yang kini mendukung investasi demi para pekerja yang sehat secara mental sebagai suatu langkah masuk akal untuk menciptakan bisnis yang baik.

Langkah ini bisa menurunkan biaya medis total, meningkatkan produktivitas, mengurangi jumlah hari-hari sakit, biaya ketidakmampuan, dan lain sebagainya. Dari perspektif investor dan pemimpin perusahaan hal itu sama saja dengan soal kinerja keuangan yang lebih baik dan reputasi yang mengemuka, dengan keuntungan tambahan pekerja yang lebih bahagia, lebih termotivasi dan lebih terlibat.

Baca juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Pada kenyataannya, tiap perusahaan sampai pada kesimpulan ini dari sudut yang agak berbeda. Sebagai bagian dari kerja Dewan Agenda Global untuk Kesehatan Mental dari Forum Ekonomi Dunia, 23 studi kasus keorganisasian korporat global tentang strategi-strategi kesehatan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis atas investasi para pemimpin korporat global dalam kesehatan mental di tempat kerja mereka tersebut tidak mengungkapkan adanya motivasi tunggal. Justru, beberapa cenderung bekerja dalam kombinasi.

  1. Pekerja yang sehat dan bahagia tenyata lebih produktif dan itu bagus bagi bisnis dan dengan demikian melindungi kesehatan mental karyawan adalah sesuatu yang sangat masuk akal bagi bisnis.
  2. Itu “hal yang benar” untuk dilakukan.
  3. Ada manfaat-manfaat yang jelas bagi organisasi dari keterlibatan dan loyalitas karyawan berkenaan dengan reputasi keorganisasian yang lebih luas.
  4. Mengelola biaya dan beban kesehatan yang buruk (termasuk kesehatan mental yang buruk) para karyawan adalah hal masuk akal.

Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan

Ada semakin banyak bukti tentang biaya ekonomi terkait kesehatan mental di tempat kerja. Ini bisa meliputi kemangkiran dan kehadiran—di mana staf menghabiskan waktu terlalu lama di tempat kerja walaupun sakit—maupun biaya lebih luas terkait keluarnya karyawan dan perekrutan karyawan baru.

Kami juga mempunyai semakin banyak bukti bahwa ada hal-hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk menangani faktor-faktor risiko dan membangun ketahanan untuk mengatasi dan mengelola stres karyawan.

Berbagai studi kasus yang kami cermati menunjukkan adanya peningkatan tren di mana kesehatan mental ditangani sebagai bagian dari strategi kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan yang lebih luas. Berbagai prakarsa semakin terintegrasi dan dibangun di sekitar kesehatan yang positif, pencegahan dan pengenalan dini, di samping dukungan dan rehabilitasi ketika diperlukan. Jadi, apa sebetulnya yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut.

1. Perhatikan Fasilitas di Tempat Kerja

Salah satu langkah utamanya sering kali adalah memusatkan perhatian pada lingkungan kerja itu sendiri. Langkah itu bisa berupa tindakan sederhana seperti meningkatkan masuknya cahaya alami, udara segara dan membawa masuk tanaman. Kelembaman rutinitas kantor bisa dikurangi dengan membeli meja-meja berdiri—atau bahkan meja treadmill.

Corak dan penampilan tempat kerja bisa digeser dengan ruang-ruang pertemuan sosial, opsi-opsi makanan sehat di tempat kerja, area istirahat makan siang yang sesuai dan fasilitas olahraga diskon di tempat kerja atau di sekitarnya, dipadu dengan pengaturan kerja yang fleksibel untuk mendorong pemanfaatan fasilitas-fasilitas tersebut.

2. Jeda Melihat E-mail Pekerjaan Saat Karyawan Rehat

Hal berikut ini juga merupakan hal yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan untuk menangani stres terkait pekerjaan. Dalam hal ini pun mereka tampaknya bisa melakukannya dengan mudah, tetapi ternyata, tidak semua melakukannya.

Salah satu langkah yang sudah diperlihatkan untuk mengurangi secara signifikan tingkat stres karyawan selama cuti tahunan adalah memasang sistem email yang menghapus pesan ketika fitur out-of-office diaktifkan. Para pengirim email diberitahu agar mengirimkan pesan kembali setelah orang yang bersangkutan kembali dan penerima email tidak pulang dari berlibur untuk menyibukkan diri dengan tumpukan email.

3. Terapi Hewan Peliharaan

Di lain sisi, beberapa bisnis korporat besar berinisiatif mendatangkan para pelatih profesional untuk memberikan pelatihan personal dan kelompok. Mereka juga menyediakan ruang istirahat untuk tidur siang demi mengembalikan tenaga maupun kontemplasi karyawan yang tenang.

Para pemilik perusahaan bahkan bisa melibatkan peran hewan peliharaan sebagai bentuk terapi. Terdapat bukti kuat bahwa meluangkan waktu mengamati, mengelus, atau mengajak berjalan-jalan anak anjing atau peliharaan lainnya bisa menurunkan kadar stres secara signifikan.

4. Aktif Berkampanye dan Beri Pelatihan Kesehatan Mental

Strategi-strategi lain yang kami jumpai meliputi perusahaan yang berkomitmen dan mengumumkannya pada pekerja untuk menangani masalah-masalah kesehatan mental. Perusahaan juga dapat terlibat dalam kampanye-kampanye kesehatan mental seperti See Me, Time to Change atau Beyond Blue.

Sebagian perusahaan besar juga berinvestasi dalam pelatihan kesehatan mental di tempat kerja, termasuk tema-tema seperti mengelola kesehatan mental, pertolongan pertama pada kesehatan mental dan membangun ketahanan bekerja, serta kemampuan beradaptasi menghadapi tantangan.

Dalam 23 studi kasus korporat global, bermunculan strategi-strategi umum untuk menangani kesehatan mental di tempat kerja. Kerja yang fleksibel membuahkan hasil, seperti yang dilakukan kebijakan mengizinkan karyawan menukar gaji dengan cuti. Konseling, Terapi Perilaku Kognitif (CBT) dan praktik mindfulness juga berhasil.

Kantor Dorong Karyawan dengan Masalah Mental Cari Pertolongan

Sebuah lingkungan kerja yang terbuka terhadap isu ini sangatlah penting. Meningkatkan melek kesehatan mental dan para jago kesehatan mental bisa mendorong karyawan untuk bersuara dan minta pertolongan.

Entah itu sebuah usaha kecil atau perusahaan multinasional, menangani kesehatan mental yang buruk adalah keharusan di dunia saat ini. Studi kasus yang dirujuk di sini hanya merepresentasikan 23 bisnis korporat global, tetapi studi kasus itu juga merepresentasikan praktik-praktik yang bisa menghasilkan perbedaan.

Baca juga: Kerja Jarak Jauh Kian Populer, Tapi Potensi Stres Saat Melakukannya Juga Besar

Masing-masing organisasi berbeda dan menghendaki serangkaian kebijakan unik yang memenuhi kebutuhan stafnya. Dengan demikian triknya adalah mengidentifikasi apa kebutuhan-kebutuhan itu, bagaimana sebuah program kesehatan mental tempat kerja bisa dimulai untuk menangani persoalan, dan mengajak seluruh karyawan saat Anda mengupayakan cara melaksanakan kebijakan penanganan kesehatan mental.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Tine Van Bortel adalah Senior Research Associate in Public Health, University of Cambridge.

Read More
perempuan penambang emas

GOLD ISMIA Bantu Perempuan Penambang Emas Kurangi Risiko Penggunaan Merkuri

Indonesia adalah salah satu penghasil dan pengekspor emas terbesar di dunia. Namun, di balik keunggulan itu, masih banyak pertambangan emas skala kecil (PESK) menggunakan merkuri yang membahayakan manusia dan lingkungan.

Pada 2017, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata yang isinya mendorong negara-negara untuk mengatur penggunaan merkuri. Ratifikasi Konvensi ini ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 21/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM).

Hal itulah yang melatarbelakangi lahirnya proyek Global Opportunities For Long-Term Development Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small Scale Gold Mining (GOLD ISMIA) pada 2018. Program ini  diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP).

Baca juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan

Dampak Merkuri bagi Kesehatan

Terlepas dari dampak negatif merkuri, masih banyak penambang emas skala kecil menggunakannya karena relatif mudah dan cepat. “Mudah” karena tak perlu pendidikan khusus untuk mengolah emas dengan merkuri. Segera setelah diolah, penambang dapat langsung menjual emasnya.

Sebanyak 20 persen merkuri yang digunakan untuk mengolah emas terbuang ke air. Jika seseorang terlalu sering mengonsumsi makanan laut dan ikan air tawar yang mengandung merkuri, mereka berisiko mengalami gangguan kekebalan tubuh dan sistem saraf.

Selain itu, telah banyak penelitian membuktikan bahwa paparan merkuri pada janin, bayi, dan anak-anak dapat menyebabkan kerusakan otak, keterbelakangan mental, gerakan tak terkoordinasi, kejang, kesulitan berbicara, kekacauan berbahasa, dan gangguan fungsi ginjal. 

Fitri Handayani, pengurus koperasi Tambang Barokah Cair Sejahtera mengatakan bahwa banyak rekan-rekannya telah merasakan dampak paparan merkuri.

“Mereka lebih cepat capek, daya tahan tubuh berkurang, mengalami gangguan kulit, dan tremor,” kata perempuan yang juga bekerja sebagai penyuluh kesehatan di Puskesmas di Desa Cendi Manik, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Sugiyanti, anggota Koperasi Amanah Duo Tompat (Kabupaten Kuantan Singingi, Riau) menceritakan dampak kesehatan yang dirasakannya akibat sering terpapar merkuri. 

“Kami mendulang emas dengan duduk atau jongkok. Di tubuh bagian belakang terasa gatal-gatal, panas, dan keluar bintik-bintik merah. Jadi, setiap hari, kami sedia obat yang dioleskan di bagian yang terpapar merkuri,” katanya. 

Alat pelindung diri (APD) juga belum sepenuhnya digunakan oleh mereka yang berkegiatan di PSEK.

“Kami para pendulang tak punya kostum khusus. Malahan kami enggak pakai sandal dan APD seperti jas hujan, sepatu bot, dan sarung tangan karena akan menghambat pekerjaan kami,” tutur Sugiyanti. 

Fitri menjelaskan, setelah para pekerja tambang diberikan penjelasan mengenai bahaya merkuri dan lokasi tambang, sudah ada sedikit perubahan pola pikir dari mereka.

“Kalau sedang di lokasi, bapak-bapaknya sudah mulai pakai sepatu. Meskipun bukan sepatu khusus, setidaknya mereka sudah pakai sepatu untuk menghindari terkena batu. Mereka juga mengenakan helm, masker, dan sarung tangan,” ujarnya.

National Project Manager GOLD ISMIA Baiq Dewi Krisnayanti mengatakan, untuk mengurangi penggunaan merkuri dan mendukung alih teknologi, proyek GOLD ISMIA telah merancang peralatan pengolahan emas tanpa merkuri.

“Sebagai contoh, kami mendesain peralatan bebas merkuri yang nantinya khusus dirancang untuk jenis batuan yang ada di Kuantan Singingi. Kami juga membantu mendesain alat yang cocok untuk jenis batuan yang ada di Sekotong,” ujarnya.

Baca juga: Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi

Kerentanan Pekerja Perempuan di Lokasi Pertambangan

Selain masalah keselamatan pekerja terkait penggunaan merkuri tadi, ada persoalan lain yang muncul di PESK: Ketidakdilan gender yang dialami kelompok perempuan penambang.

“Pekerja perempuan di PESK mencapai 30 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mereka tak hanya bekerja di sektor pelayanan, tetapi juga di kegiatan penambangan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam diskusi daring “Perempuan Berdaya, Kunci Kesejahteraan Komunitas Penambang Kecil” yang diadakan Katadata (21/4).

Upah perempuan juga lebih rendah, padahal mereka bekerja sama beratnya dengan laki-laki sambil menghadapi risiko kesehatan dan keselamatan yang besar,” imbuhnya.

Dewi dari GOLD ISMIA menjelaskan, peran perempuan sebagai penambang masih sering luput diperhatikan meskipun banyak dari mereka yang melakukan pekerjaan ini sejak lama. 

“Peran signifikan perempuan lebih terlihat di PESK dibandingkan sektor pertambangan skala besar atau industri. Perempuan memainkan peran-peran tambahan sebagai juru masak, penumbuk batu, pencuci karung limbah, dan pencampur merkuri,” kata Dewi. 

Dewi menambahkan, untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam industri tambang, sejak awal telah ditargetkan jumlah perempuan minimal 20 persen, baik dalam hal pembentukan regulasi, akses pembiayaan, akses terhadap teknologi, dan kampanye.

Pendapatan Pekerja Perempuan Penambang Emas Skala Kecil yang Tak Pasti

Kegiatan PESK telah menjadi sumber pemasukan bagi banyak keluarga. Kendati demikian, jumlah uang yang diperoleh dari penjualan emas masih tak menentu.

“Saya mendapatkan rata-rata Rp200.000.- per hari dan itu pun belum tentu (selalu) ada (hasilnya) setiap hari. Menurut saya pribadi, kami belum sejahtera,” ujar Sugiyanti. 

“Makanya kami enggak hanya kerja sebagai penambang. Kami juga membuka usaha laundry untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kami menolong suami untuk mencari nafkah karena penghasilannya, yang juga (didapat dari) menambang, tidak menentu,” tambahnya. 

Meskipun pendapatan penambang tak pasti, Paulien Umboh, pengurus Koperasi Batu Api di Kabupaten Minahasa Utara menilai bahwa usaha PESK prospektif. Hal itulah yang menyebabkannya beralih profesi ke sektor pertambangan.

“Sebelumnya saya adalah seorang karyawan bank. Melihat di wilayah kami ada pertambangan emas, saya melihat usaha ini bagus dan menjanjikan,” ujarnya.

Paulien sudah delapan tahun mengelola koperasi yang terdiri dari sepuluh orang penambang dan satu orang pengawas. Usaha yang dikembangkannya sudah tidak lagi menggunakan merkuri. Biasanya, dia mendapatkan rata-rata hasil bersih Rp7 juta per bulan setelah dibagi dengan para penambang dan pengawas.

Dewi mengatakan, penambang tak selalu mendapatkan hasil maksimal setiap hari karena deposit emas tergantung dari proses pembentukannya. Dengan demikian, tak dapat diprediksi tempat dan jumlahnya. Namun, aktivitas PESK telah berkontribusi terhadap perekonomian lokal dan menjadi solusi bagi perempuan yang tak memiliki pekerjaan tetap.

“Yang perlu saya garis bawahi adalah bahwa dampak pertambangan skala kecil ini justru terlihat secara lokal. Ibu-ibu ini membelanjakan apa yang didapat dari PESK untuk kegiatan ekonomi lokal,” tuturnya.

Sementara itu, Fitri dari koperasi Tambang Barokah Cair Sejahtera berharap agar proyek ini memberikan skill yang dapat digunakan oleh para perempuan untuk menambah pendapatan mereka. 

“Semoga pemerintah bisa ngasih izin (pertambangan rakyat) lebih mudah lagi. Untuk teman-teman saya dan teman-teman di sini, semoga kami semua juga bisa diajarkan membuat kerajinan emas supaya enggak perlu meninggalkan rumah untuk pergi ke lokasi tambang,” ujarnya.

Read More
apa itu politik kantor

Apa itu Politik Kantor dan Bagaimana Cara Menavigasinya

Dalam dunia profesional, setiap pekerja lazimnya melakukan cara untuk meningkatkan karier atau mendapat suatu keuntungan di kantor. Upaya seperti ini dikenal sebagai politik kantor (office politics), dan hal ini tidak terhindarkan dalam industri mana pun.

Kendati sah-sah saja ketika seseorang hendak meningkatkan karier, tidak jarang ia merugikan pihak lain dalam permainan politik kantornya. Ini yang menyebabkan sebagian merasa politik kantor adalah hal yang netral atau baik, sementara sebagian lainnya merasa hal itu adalah sesuatu yang kotor.

Dalam sebuah survei yang dilakukan CEO Women’s Leadership Coaching Jo Miller terhadap 169 karyawan di Amerika Serikat, ditemukan sebanyak 20 persen responden berusaha mengabaikan politik kantor dan 61 persen menyatakan turut bermain dalam politik ini meski enggan dan hanya jika dibutuhkan saja.

Selain survei ini, survei yang dimuat dalam Harvard Business Review juga menyebutkan banyak pihak memandang negatif politik kantor, terlebih perempuan. Dari penelitian terhadap 134 senior executive, sebanyak 68 persen responden perempuan menyatakan tidak menyukai politik kantor. Perempuan yang terlibat politik kantor juga dinilai lebih negatif oleh 81 persen responden perempuan dan 66 persen laki-laki dalam survei tersebut.

Apa Itu Politik Kantor?

Ada berbagai definisi politik kantor. Dalam Merriam Webster misalnya, hal ini didefinisikan sebagai aktivitas, sikap, atau perilaku yang dilakukan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan atau keuntungan tertentu dalam bisnis atau perusahaan.

Sementara Cambridge Dictionary mengartikan politik ini sebagai relasi dalam sebuah organisasi yang memungkinkan orang tertentu untuk memiliki kekuasaan atas pihak-pihak lain. Seiring dengan definisi ini, Collins Dictionary menyebut politik kantor dipengaruhi oleh hubungan personal antara para pekerja di suatu tempat.

Dari sejumlah definisi ini, kita dapat menarik benang merah yang menjadi elemen utama politik kantor: Cara meraih kekuasaan, keuntungan, serta relasi dengan pihak tertentu. 

Dalam wawancara Magdalene bersama Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Risa E. Rustam, ia menyatakan bahwa dalam konteks politik kantor, ada yang dinamakan “good politics” dan “bad politics”. Karena itu, politik tidak serta merta bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk.

Risa mengungkapkan, dalam berbagai situasi, politik kantor justru bisa mendorong pekerja menjadi lebih tangguhdan termotivasi untuk berprestasi atau menjadi lebih baik. Pernyataan Risa ini seiring dengan hasil riset Center for Creative Leadership yang menyebutkan para pekerja yang cakap bermain politik kantor memiliki prospek karier lebih baik dan lebih mungkin mendapat promosi kerja.

Jo Miller menyatakan bahwa di lapangan, meskipun seorang pekerja sudah bersusah payah melaksanakan tanggung jawabnya, bahkan mungkin melebihi target yang diberikan perusahaan, tetap saja ia tidak mendapat reward atau posisi yang ingin ia capai karena mengabaikan adanya politik kantor. Memang, menghindari ini sering kali menjauhkan pekerja dari konfrontasi dan konflik di kantor, tetapi hal ini juga bisa memperlambat dia mencapai target karier jangka panjangnya. 

Baca juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Read More

8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Walau kesempatan bersekolah tinggi dan bekerja semakin besar bagi perempuan Indonesia, masih banyak hambatan yang dihadapi perempuan pekerja. Mereka sering kali sulit mengembangkan kariernya karena berbagai alasan, bahkan harus rela berhenti kerja karena lebih dituntut keluarga atau masyarakat untuk mengutamakan urusan rumah tangga dan anak. Ini tidak lepas dari masih minimnya perusahaan yang menerapkan kebijakan berperspektif gender sebagai tanda kantor dukung perempuan.

Untuk mendorong mereka supaya dapat berkarier dengan baik, pemerintah telah berupaya membuat aturan yang menjamin hak-hak khusus pekerja perempuan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Tetapi sayangnya, banyak pekerja perempuan yang masih belum menyadari bahwa hal ini adalah hak dasar yang harus diterima oleh pekerja perempuan, seperti cuti haid, melahirkan, durasi jam kerja dan fasilitas antar jemput bagi mereka yang bertugas malam hari. Ditambah lagi, meski sudah tahu ada aturan semacam itu dalam UU, banyak perusahaan yang masih mengabaikannya.

Untuk terus menggaungkan isu hak-hak pekerja perempuan ini, Magdalene didukung oleh Investing in Women, sebuah inisiatif dari pemerintah Australia, dan Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menyelenggarakan kompetisi video  #KantorDukungPerempuan. Dalam video-video kompetisi tersebut yang diikuti perwakilan 64 kantor tersebut, tergambar bagaimana perusahaan dapat mendukung para pekerja perempuannya.

Berikut ini beberapa tanda kantor dukung perempuan yang diceritakan para peserta kompetisi tersebut terkait inisiatif dan kebijakan di perusahaannya. Mereka menilai, kebijakan ramah perempuan tersebut telah menciptakan kondisi yang aman dan nyaman bagi perempuan untuk bekerja serta meniti tangga kariernya.

1. Penuhi Hak-hak Dasar Pekerja Perempuan

Perusahaan-perusahaan yang mengikuti kompetisi #KantorDukungPerempuan setidaknya sudah memenuhi beberapa hak-hak dasar pekerja perempuan seperti cuti hamil dan melahirkan, cuti haid, serta cuti saat keguguran. Mereka juga menyediakan ruang laktasi dan pekerja perempuan dapat mengakses fasilitas khusus seperti antar-jemput pada jam tertentu.

Berbeda dari perusahaan-perusahaan ini, perusahaan lain masih mempersulit pekerja perempuannya mendapat cuti haid, salah satunya di pabrik es krim AICE yang kasusnya diekspos media tahun lalu.

Ada argumen perusahaan bahwa ketika pekerja perempuan mengajukan cuti haid, mereka bisa saja berbohong dan tidak benar-benar sakit parah ketika haid, sehingga berdampak pada produktivitas mereka. Padahal, sakit atau pun tidak, cuti haid merupakan hak yang semestinya bisa perempuan ambil.

Beberapa perusahaan mengharuskan adanya surat keterangan dokter lebih dulu saat pekerja perempuan hendak mengambil cuti ini. Tetapi di sebagian perusahaan lainnya seperti Radio Volare, sebuah radio lokal di Kalimantan Barat, dan Organisasi Koalisi Seni, pekerja perempuan mendapat kemudahan untuk mengambil cuti haid selama mengomunikasikannya ke pihak kantor.

2. Dukung Pekerja Perempuan Capai Posisi Strategis

Perempuan sulit naik ke posisi strategis di perusahaan masih menjadi isu kesenjangan gender di tempat kerja hingga saat ini. Hambatan ini dikenal dengan konsep glass ceiling, yakni hambatan tidak terlihat yang dialami oleh perempuan atau kelompok minoritas untuk menempati posisi atas.

Hambatan ini dimulai dari level individual, di mana perempuan mesti berupaya ekstra dari laki-laki untuk memperlihatkan kemampuan diri mereka. Dalam banyak kasus, meski sudah memperlihatkan kapabilitasnya, pekerja perempuan masih tidak dipercaya sebagai pemimpin karena stereotip negatif yang dilekatkan kepada mereka (lebih emosional, kurang berdedikasi karena harus membagi waktu dengan urusan domestik, tidak sejago laki-laki dalam mengelola perusahaan, dan sebagainya).

Namun, di beberapa perusahaan seperti Bank BTPN, Organisasi SOS Children Village, dan Koalisi Seni Indonesia, hambatan bagi pekerja perempuan seperti ini diminimalisasi. Mereka membuka peluang seluas-luasnya untuk jenjang karier lebih tinggi, baik bagi pekerja perempuan maupun laki-laki. Ini menjadi tanda kantor dukung perempuan lainnya.

Contohnya di Bank BTPN Indonesia, setiap tahunnya para pegawai dinilai melalui Key perfomance index (KPI)-nya. Dalam penilaian tersebut, tidak ada penilaian yang dipengaruhi oleh gender para karyawan.

3. Ada SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Walaupun kasus kekerasan seksual fisik maupun nonfisik jamak ditemukan di kantor-kantor, belum banyak perusahaan yang memiliki standard operational procedure (SOP) penanganan hal tersebut. Tapi, tidak demikian di kantor SOS Children’s Village dan Bank BTPN.

Kedua institusi ini sudah memiliki sistem penanganan keluhan kekerasan seksual yang jelas. Dalam SOP SOS Children’s Village, sesuatu yang tergolong pelecehan seksual mencakup “melontarkan lelucon berbau seksual”, “tuntutan atau permintaan pelayanan seksual (permainan orang yang mempunyai otoritas dalam menawarkan kenaikan/promosi, dengan imbalan pelayanan seksual)”, “panggilan telepon/SMS/surat/e-mail yang bermuatan seksual”, dan “gerakan tubuh dan sikap yang tidak senonoh”.  

Jika seorang pekerja menjadi korban pelecehan seksual dan tak berani menegur langsung pelakunya, dia dapat menyampaikan keluhan kepada departemen SDM melalui penyelia yang bersangkutan.

Sementara di Bank BTPN, bahkan tersedia juga layanan konsultasi hukum untuk kasus perceraian dan lain-lain, agar karyawan perempuan BTPN tidak buta hukum.  

4. Layanan Konseling dengan Psikolog untuk Pekerja

Saat ini  kesadaran tentang isu kesehatan mental di level individu sedang meningkat, termasuk yang berkaitan dengan beban pekerjaan. Akan tetapi di level perusahaan, hal ini masih belum menjadi isu penting. Padahal, kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap kinerja pekerja.

Sisiliya Fujiya salah seorang karyawan BTPN mengatakan bahwa kantornya sudah mulai menyadari bahwa isu ini sangat penting, terutama bagi pekerja perempuan. Di kantornya tersebut disediakan layanan konseling dengan psikolog bagi para karyawan sehingga mereka bisa menceritakan keluhan-keluhan yang tidak dapat mereka sampaikan ke keluarga atau rekan kerja lainnya.  Layanan konseling ini sangat membantu karyawan, terlebih pekerja perempuan karena kerap kali mereka mengalami tekanan mental besar akibat beban ganda bekerja di kantor dan mengurus tugas domestik di rumah.

5. Jam Kerja Fleksibel

Sebelum pandemi, banyak pekerja yang harus  berjam-jam berada di jalan untuk menuju ke kantor. Hal ini tentu saja melelahkan, apalagi jika kamu adalah seorang ibu bekerja. Kamu perlu bangun lebih pagi dari semua orang di rumah untuk mempersiapkan segala macam keperluan keluarga di rumah, kadang ada yang harus mengantar anaknya sekolah dulu, dan baru berangkat ke kantor. Belum lagi bila ada urusan di sekolah anak yang mengharuskan orang tuanya datang atau ketika anak tiba-tiba sakit. Beban seperti ini yang membuat banyak ibu bekerja tidak sanggup mengatur waktu, pikiran, dan energi antara urusan domestik dan publik, hingga akhirnya mereka memilih resign.

Perusahaan sering kali  kurang memahami konteks dan hambatan berlapis yang dialami oleh pekerja perempuan seperti ini. Namun, beruntung bagi sebagian perempuan yang bekerja di beberapa kantor peserta kompetisi video #KantorDukungPerempuan. Di perusahaan asuransi FWD, Koalisi Seni, SOS Children’s Village, misalnya, diterapkan kebijakan jam kerja fleksibel yang memudahkan pekerja perempuan menjalankan perannya, baik secara profesional maupun sebagai istri dan ibu.

6. Dapat Membawa Anak ke Kantor

Bagi ibu bekerja, apalagi jika anaknya masih kecil dan tidak ada babysitter yang membantu mengurus anak, sering kali mereka was-was saat meninggalkan anaknya. Selain itu, akses untuk day care pun tidak terlalu banyak dan kalaupun ada, sering kali biayanya mahal.

Di sebagian perusahaan, pekerja tidak diperkenankan membawa anak karena berpotensi mengganggu kinerja harian mereka. Tetapi tidak demikian di kantor Radio Volare, Koalisi Seni, dan SOS Children’s Village. Mereka memahami betul kebutuhan pekerja saat memiliki anak, apalagi yang masih kecil dan butuh pengawasan lebih. Karena itu, mereka menunjukkan tanda kantor dukung perempuan lainnya dengan memperbolehkan  pekerjanya untuk membawa anak ke kantor.

7. Dukungan bagi Pekerja Hamil Selain Cuti Melahirkan

Tidak hanya memenuhi hak dasar seperti cuti hamil dan melahirkan saja, sudah ada juga loh perusahaan yang mendukung pekerjanya yang tengah hamil agar mereka lebih nyaman bekerja. Contohnya seperti dirasakan oleh pekerja perempuan di PT Adis Dimension Footwear.

Di perusahaan ini, mereka bisa mengakses konsultasi gratis dengan dokter kandungan dan bidan yang sudah disediakan oleh perusahaan. Tidak hanya itu, PT Adis Dimension Footwear juga menyediakan katering makanan untuk pekerja perempuannya, agar para pekerjanya mendapat asupan makanan bergizi.

8. Cuti Ayah untuk Bantu Istri Pasca-melahirkan

Cuti melahirkan baik untuk pekerja perempuan maupun laki-laki memang masih menjadi pro dan kontra, sebab bersinggungan dengan keuangan dan produktivitas pekerja di perusahaan. Jenis cuti ini sering banget dianggap membawa kerugian untuk perusahaan karena mereka tetap harus membayar pekerja yang cuti selama beberapa bulan. Maka itu, tidak jarang perusahaan yang belum memberi hak cuti melahirkan memadai bagi pekerjanya, apalagi pekerja laki-laki.

Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan pasal 93 ayat 2 disebutkan, “Pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia”. Lebih lanjut dalam pasal 92 ayat 4 dinyatakan, pekerja yang tidak masuk karena istri melahirkan atau keguguran dibayar selama dua hari.

Cuti berbayar selama dua hari bagi ayah ini dirasa sangat kurang mengingat sakit atau beratnya beban perempuan sehabis melahirkan. Karenanya, beberapa perusahaan berinisiatif membuat kebijakan progresif seperti pemberian cuti ayah bagi pekerja laki-laki yang istrinya baru melahirkan. Hal ini bisa ditemukan misalnya di Bank BTPN, Opal Communication, dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari. Di Opal Communication, pekerja laki-laki bahkan bisa mengakses cuti ayah selama sebulan untuk membantu istrinya di rumah.

Durasi cuti ayah di tiap perusahaan memang masih berbeda-beda. Tetapi, mengingat sudah ada perusahaan yang memperhatikan isu ini, seharusnya masalah cuti ayah mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan juga perusahaan lainnya. Dengan mengakomodasi laki-laki untuk berperan lebih dalam urusan rumah tangga dan anak, pemerintah dan perusahaan sebenarnya juga membantu meringankan beban ganda perempuan yang kerap menyandungnya dalam perjalanan menapaki tangga karier.

Read More
Gaya Kepemimpinan Feminis

SOS Children’s Villages Indonesia Dukung Pekerja Perempuan, Serius Tangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Kesempatan perempuan Indonesia untuk berpendidikan tinggi dan masuk dunia profesional kian meningkat. Badan Pusat Statistik melaporkan, pada 2018 terdapat 47,95 pekerja perempuan dan angkanya naik menjadi 48,75 juta orang pada tahun berikutnya.   

Akan tetapi, pekerja perempuan masih harus menghadapi banyak hambatan dalam menjalani kariernya karena minimnya kebijakan ramah perempuan yang diterapkan di kantor-kantor. Tidak jarang kita mendengar pekerja perempuan yang kesulitan untuk mendapatkan izin cuti haid, mempunyai jam kerja fleksibel, atau mengakses kesempatan berkembang dan menduduki berbagai posisi strategis di perusahaan seperti laki-laki.

Hanya sebagian kecil pekerja perempuan yang tidak menemukan kendala-kendala seperti tadi, di antaranya adalah mereka yang bekerja di kantor SOS Children’s Villages Indonesia, sebuah organisasi nonprofit di bidang pengasuhan alternatif berbasis keluarga untuk anak-anak yang berisiko atau telah kehilangan pengasuhan orang tua.

Baca juga: Women Lead Forum 2021 Kupas Hambatan Diskriminatif, Dorong Perempuan Pemimpin

Profil SOS Children’s Village Indonesia terkait kebijakan kantornya yang ramah perempuan menarik perhatian para juri kompetisi video #KantorDukungPerempuan yang diselenggarakan Magdalene bekerja sama dengan Investing in Women, sebuah inisiatif pemerintah Australia. Public Relations and Communications Executive.SOS Children’s Villages Indonesia Astridinar V. Elderia yang mengirimkan video tentang kantornya itu akhirnya diumumkan sebagai pemenang pertama kompetisi tersebut dalam acara Women Lead Forum 2021 #KantorDukungPerempuan pada 7 dan 8 April lalu.  

Penerapan Kebijakan Ramah Perempuan di Kantor

Astridinar mengatakan, kantornya menyediakan ruang istirahat untuk ibu hamil dan menyusui, bahkan memperbolehkan untuk membawa anak-anak. Fleksibilitas jam kerja juga diterapkan bagi perempuan hamil dan menyusui.

“Mereka cukup bisa ‘bernapas’. [Sebelum pandemi] seorang teman di divisi saya hamil dan dan perlu memeriksakan diri  ke dokter. Akhirnya pada hari itu, dia bekerja dari rumah dan itu enggak dipotong cuti tahunan,” kata perempuan berusia 25 tahun ini kepada Magdalene melalui telepon.

Pemenang kompetisi kantor dukung perempuan ini menjelaskan, kantornya juga membuka kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan karier. Peluang mendapatkan promosi jabatan selalu diumumkan ke semua pegawai.  

“Kalau ada training, informasi ini disebar kepada semua pegawai. Melalui e-mail, kami juga mengumumkan kesempatan bagi siapa pun untuk naik jabatan melalui prosedur rekrutmen internal. Bagi yang berminat, mereka bisa mengikuti tes,” ujar Astridinar.

“Belum lama ini ada salah satu manajer kami yang akan pindah dan anak buahnya sudah mengetahui hal ini. Yang mengundurkan diri laki laki, dan yang akan naik [jabatan] adalah seorang perempuan,” tambahnya.

SOS Children’s Villages Indonesia memiliki 467 pekerja dan 60 persennya adalah perempuan. Lembaga ini juga diperkuat para perempuan yang bertugas sebagai ibu asuh bagi anak-anak yang tinggal di SOS villages.

“Kekuatan kami ada pada ibu-ibu ini. Kami sangat mengedepankan para perempuan sehingga kami membangun support system bagi mereka. Core business kami melibatkan ibu-ibu, jadi wajar mereka lebih diistimewakan,” kata Direktur Nasional SOS Children’s Villages Indonesia Gregor Hadi Nitihardjo melalui Zoom.  

Serius dalam Penanganan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Tidak hanya membuat kebijakan kantor ramah perempuan, SOS Children’s Villages Indonesia juga berupaya memastikan tempat kerjanya bebas dari kasus pelecehan seksual.

Upaya ini dilakukan mengingat maraknya kasus tersebut di berbagai kantor. Dalam salah satu survei Never Okay Project pada November-Desember 2018 lalu, disebutkan bahwa 94 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

Sayangnya, meski kejadian seperti ini marak, masih sedikit kantor yang mempunyai standard operational procedure (SOP) penanganan kasus pelecehan seksual. Padahal, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 membuat aturan bahwa lingkungan kerja harus merumuskan mekanisme pencegahan kekerasan seksual.

Sejak 2012, SOS Children’s Villages Indonesia memasukkan pelecehan seksual sebagai salah satu bentuk pelanggaran peraturan kerja. Lahirnya prosedur penanganan pelecehan seksual ini terinspirasi dari mekanisme penanganan kekerasan terhadap anak yang telah ada sejak lama.

Berdasarkan kebijakan departemen sumber daya manusia (SDM) di organisasi ini, beberapa hal yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual di antaranya adalah “melontarkan lelucon berbau seksual”, “tuntutan atau permintaan pelayanan seksual (permainan orang yang mempunyai otoritas dalam menawarkan kenaikan/promosi, dengan imbalan pelayanan seksual)”, “panggilan telepon/SMS/surat/e-mail yang bermuatan seksual”, dan “gerakan tubuh dan sikap yang tidak senonoh”.  

Jika seorang pekerja menjadi korban pelecehan seksual dan tak berani menegur langsung pelakunya, dia dapat menyampaikan keluhan kepada departemen SDM melalui penyelia yang bersangkutan.

Bagi Astridinar, prosedur penanganan ini penting untuk melindungi para pekerja.

“Awalnya saya pikir SOP ini ada di setiap kantor. Ada teman di kantor lain bercerita bahwa kalau mau naik jabatan, dia harus dekat dengan atasan dan atasannya ‘kurang ajar’. Dia enggak tahu mau ngomong ke siapa,” tutur Astridinar.  

“Meskipun saya tak pernah mengalami hal seperti itu, adanya SOP ini membuat saya tahu saya bisa lapor ke mana,” ujarnya.

Kendati telah delapan tahun memiliki prosedur ini, pihak kantor terus-menerus mengingatkan pekerjanya mengenai pentingnya tempat kerja yang bebas dari kekerasan seksual.  

“Kesadaran [mengenai pentingnya hal ini] dibangun sampai sekarang. Kalau ada karyawan baru, kami juga menyosialisasikannya,” kata Hadi dari SOS Children’s Villages Indonesia.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

Hadi juga mengatakan bahwa lembaganya membangun mekanisme agar laporan dapat ditangani secara cepat.

“Andaikan ada seseorang yang mengirimkan SMS dari nomor yang tidak saya kenal  [untuk mengadukan kasus kekerasan seksual], baik anonim atau tidak, saya harus meresponnya,” ujarnya.   

Keseriusan SOS Children’s Villages Indonesia dalam menyikapi perkara pelecehan seksual di tempat kerja terlihat dari dibentuknya investigator internal yang telah terlatih untuk menangani kasus seperti ini. Organisasi ini juga memiliki prosedur untuk melaporkan petinggi yang menjadi pelaku pelecehan seksual.

“Jika seorang petinggi melakukannya, ada sistem pelaporannya juga. Hanya saja mekanismenya berbeda. Orang-orang tahu bahwa sistem itu ada dan karena itu, keteladanan leader menjadi sangat penting,” kata Hadi.

Read More