Hubungan Ageism Bagi Perempuan Pekerja

Ketika ‘Ageism’ dan Seksisme Bersinggungan Bagi Perempuan Pekerja

Pada pertengahan 2019 lalu, saya ditugaskan oleh seorang dosen untuk meliput upacara pemakaman Presiden RI ke-3, B.J. Habibie, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Saya hampir meletakkan tripod di antara milik puluhan jurnalis profesional, saat seorang juru kamera dari sebuah stasiun televisi bertanya, “mahasiswa ya?”, dengan alis berkerut. Alih-alih mengajak berbagi tempat, dengan mudahnya dia merebut tempat yang seharusnya jadi milik saya tanpa mengatakan apa pun.

Sebagai seorang senior dalam industri ini, bukankah seharusnya dia memberi dukungan kepada calon jurnalis yang juga memiliki hak untuk memperoleh kualitas gambar yang baik? Berstatus sebagai seorang profesional tak seharusnya membuatnya merasa lebih pantas, hanya karena cakupan audiensnya lebih banyak sehingga dianggap lebih penting.

Apa Itu Ageism?

Itu pertama kalinya saya sadar bahwa tidak hanya seksisme, tapi perempuan juga menghadapi ageism alias diskriminasi usia, dalam kehidupan sehari-hari. Saat menjadi pencari kerja, saya juga sering melihat rentang usia yang tertera di lowongan pekerjaan bersama dengan sederet kualifikasi lain. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi usia karena perusahaan menginginkan kinerja maksimal dan menganggap hanya dimiliki oleh usia tertentu.

Diskriminasi usia ini sesungguhnya menghalangi perkembangan karier perempuan

Siapa pun tidak berhak dikucilkan dan dianggap tidak memiliki performa yang baik hanya karena dilihat dari usia yang jelas tidak mencerminkan kemampuan dalam melakukan pekerjaan. 

Tindakan diskriminatif ini menyebabkan individu merasa tidak dihargai, kehilangan kepercayaan diri, dan memengaruhi kinerja di masa depan. Padahal, semua insan memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja.

Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Di Indonesia, diskriminasi di tempat kerja diatur dalam UU No. 21 Tahun 1999 yang merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan. Dalam konvensi tersebut, disebutkan bahwa istilah diskriminasi meliputi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.

UU tersebut yang dapat digunakan oleh perempuan untuk bernegosiasi dengan perusahaan apabila dikeluarkan karena alasan ageism.

Ageism Merupakan Salah Satu Bentuk Seksisme

Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh David Neumark, Ian Burn, dan Patrick Button di Amerika Serikat, diskriminasi usia pada perempuan salah satunya disebabkan karena pandangan bahwa penampilan fisik perempuan adalah faktor paling penting, dan usia dianggap mengurangi penampilan fisiknya. Para peneliti dari National Bureau of Economic Research Massachusetts itu juga memaparkan bahwa hukum terkait diskriminasi usia kurang ditekankan untuk melindungi perempuan yang usianya lebih tua.

Ketidakadilan ini turut dilanggengkan oleh perusahaan karena laki-laki dianggap lebih kuat dan cekatan dalam melakukan pekerjaan. Sementara saat harus menuntut haknya sebagai seorang pekerja, perempuan merasa tidak cukup kuat untuk menempuh jalur hukum karena waktu dan uang yang dibutuhkan untuk menantang perusahaan besar.

Baca Juga: Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Diskriminasi usia berbasis gender yang dikategorikan sebagai bentuk baru dari seksisme. Nyatanya, perempuan dari usia berapa pun akan menerima diskriminasi usia di lingkungan kerjanya.

Misalnya, perempuan yang berada dalam rentang usia 25-40 tahun atau berada pada usia reproduksi aktif. Mereka menerima stereotip terkait statusnya sebagai seorang istri dan ibu. Padahal, seorang pria juga berperan sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Perempuan seperti tersudutkan hingga minim menerima promosi jabatan dan terjadi kesenjangan upah yang lebih rendah dari pria.

Andai saja masyarakat di lingkungan sekitar kita hendak melihat dengan saksama dan menyadari bahwa perempuan juga memiliki hak untuk tidak menikah atau menjadi ibu, mungkin mereka dapat lebih menyadari kapabilitas perempuan. Bahkan, bukan suatu hal yang mustahil apabila perempuan yang berkarier juga andal dalam mengurus rumah tangga. Namun, sekalipun seorang perempuan tidak berkeluarga, mereka juga belum tentu dipertimbangkan untuk menerima cuti karena tidak memiliki anak kecil untuk dirawat.

Perempuan yang berusia sekitar 40 tahun pun menghadapi ageism dalam bentuk yang berbeda. Ambisi mereka dianggap memudar dan kurang energetik dalam melakukan pekerjaan, ditambah dengan stereotip yang masih melekat. Jika perempuan muda lebih kental dengan aktivitasnya merawat anak, perempuan di usia ini pun dianggap lebih merawat orang tuanya.

Perempuan yang lebih tua juga cenderung tidak mampu dipekerjakan kembali setelah mereka secara paksa keluar dari pekerjaan.

Bagaimana Kita Mencegah Diskriminasi Usia?

Saat perusahaan hingga kini dibutakan oleh usia pekerja perempuan, setidaknya kita perlu melakukan berbagai langkah untuk melindungi diri dan menghindar dari situasi tersebut. Salah satunya adalah merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki dalam diri untuk menyadari kontribusi yang dapat diberikan pada perusahaan. Melalui langkah ini, kita dapat mengomunikasikan pencapaian karier kepada atasan agar mereka mempertimbangkan bahwa keberadaan kita dapat membantu mencapai target perusahaan.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Di sini, cara berpikir dapat memengaruhi perspektif diri dalam melihat kelayakan kita sebagai seorang pekerja. Apakah kita merasa tidak mampu melakukan pekerjaan tertentu karena usia terlalu muda yang membuat kurangnya pengalaman? Atau merasa sudah bukan saatnya untuk mengambil banyak tanggung jawab karena lebih tua dibandingkan anggota tim lainnya? Pemikiran-pemikiran tersebut yang seharusnya dibuktikan dengan kinerja maksimal sehingga mematahkan persepsi pekerja lainnya.

Jika memang perusahaan tidak memfasilitasi pelatihan, kita perlu memiliki inisiatif untuk mengeksplorasi kemampuan. Dengan langkah ini, perusahaan akan menilai bahwa perempuan memiliki keinginan untuk belajar, berkembang, dan meningkatkan keahlian yang tentunya dapat memajukan perusahaan.

Satu hal yang tak kalah penting dalam melawan diskriminasi usia perempuan adalah adanya kesadaran untuk mendukung sesama perempuan di lingkungan pekerjaan agar mampu menyuarakan aspirasinya terkait ageism. Kita harus mengingatkan perusahaan bahwa kebijakan terkait keragaman dan inklusi itu penting bagi mereka dan para pekerjanya.

Read More

Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis

Dalam perjalanannya memberikan advokasi dan edukasi pada perempuan tuli mengenai isu-isu gender, aktivis Nissi Taruli Felicia mengatakan, dirinya kerap menemukan hambatan berlapis yang dihadapi perempuan penyandang disabilitas.

Ia mencontohkan bagaimana ada ketidakadilan dalam sistem pemberian upah yang membuat perempuan tuli buruh pabrik mendapatkan upah yang lebih rendah daripada rekan-rekan kerjanya.

“Saat ditanyai, pihak pabrik tidak mau menjelaskan alasannya. Yang jelas ini berlapis, mungkin berkaitan dengan (bias) gender karena dia perempuan, ditambah lagi dia tuli. Dianggapnya kan orang tuli itu tidak berdaya, bisa dibodoh-bodohi,” kata Nissi, yang merupakan pendiri Feministhemis, sebuah kolektif kesetaraan gender bagi para perempuan tuli, kepada Magdalene (14/6).

Perempuan penyandang disabilitas harus menghadapi hambatan yang sangat berlapis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pekerjaan, ujarnya.

“Sudah dia perempuan, yang secara stigma dan stereotip gender ada di bawah laki-laki, dia punya disabilitas pula yang dianggap ada di bawah orang-orang non-disabilitas. Rentan menjadi korban kekerasan seksual iya, akses kerjanya minim juga iya,” Nissi menambahkan.

Ia mengatakan banyak sekali perempuan tuli yang belum memiliki pemahaman mengenai hak-hak yang mereka miliki di dunia kerja, seperti cuti haid dan melahirkan.

Baca juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Nissi dan kolektifnya memiliki niat dan agenda untuk mengedukasi para perempuan tuli mengenai isu dunia kerja, termasuk aksesibilitas dan hak-hak para pekerja. Tapi kemudian masalah lain datang, yaitu sulitnya untuk mendapatkan data jumlah tenaga kerja dan/atau perempuan tuli yang tercatat menjadi pekerja profesional karena tidak ada data yang benar-benar representatif, ujar Nissi. Hal ini kerap kali menghambatnya untuk memetakan kajian dan pendekatan apa yang dibutuhkan para perempuan tuli di dunia kerja.

“Padahal, kondisinya ini sangat memprihatinkan. Dari beberapa kegiatan yang pernah saya lakukan, saya tersadar kalau ternyata masih banyak perempuan tuli yang belum sadar kalau dirinya dilecehkan, belum sadar apa saja bentuk-bentuk pelecehan, belum tau kalau mereka bisa mengajukan cuti,” kata Nissi.

Stigma terhadap Penyandang Disabilitas, Minimnya Kesempatan untuk Terlibat

Aktivis disabilitas Bagja Prawira mengatakan, akar dari minimnya kesempatan kerja bagi disabilitas terletak pada akses keterlibatan penyandang disabilitas itu sendiri. Berbagai instansi swasta hingga pemerintah kerap kali mengadakan diskusi untuk merumuskan serangkaian program dan kebijakan tanpa benar-benar mendengarkan dan melibatkan kelompok disabilitas, ujar Bagja.

Dalam kehidupan sehari-hari, sistem yang diterapkanbelum mengakomodasi kebutuhan dan keadilan bagi kelompok disabilitas. Di sisi lain, menurut Bagja, ada stigma mengakar tentang kelompok disabilitas dan ketidakberdayaannya (ableism), sebuah cara pandang yang penuh ketidakadilan.

Baca juga: 3 Alasan Penyandang Disabilitas Intelektual Masih Sulit Dapat Kerja

Selain itu, ia menambahkan, stigma akan ketidakberdayaan kelompok disabilitas sendiri disebabkan oleh minimnya akses untuk mendapatkan hal-hal fundamental dalam kehidupan yang setara dengan orang-orang non-disabilitas, dari fasilitas publik sampai pendidikan. Bagja mengatakan, sistem pendidikan bagi kelompok disabilitas belum adil dan timpang dengan sistem pendidikan bagi orang-orang non-disabilitas.

“Misalnya, di Sekolah Luar Biasa (SLB), pelajarannya itu lebih ke hal-hal praktik, seperti menjahit, berkebun, dan sebagainya. Murid-muridnya tidak diberikan akses pelajaran tentang critical thinking, design thinking, seperti murid-murid di sekolah biasa. Padahal ini juga dibutuhkan oleh anak-anak dengan disabilitas,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Lalu, kalau anak-anak di sekolah biasa itu sudah terbiasa berorganisasi, tahu caranya rapat formal, berdiskusi dengan orang-orang. Kalau anak-anak dengan disabilitas kan tidak mendapatkan kesempatan seperti ini. Ini kemudian berdampak pada kesempatan mereka di dunia kerja, jadi dianggap terbelakang, tidak berdaya. Padahal masalah aksesnya saja tidak ada.”

Dia juga menyinggung soal minimnya akses kelompok disabilitas terhadap informasi, yang salah satunya karena kebanyakan perusahaan dan lembaga pemerintah belum menyediakan informasi yang aksesibel bagi kelompok disabilitas, misalnya Juru Bahasa Isyarat (JBI). Fasilitas bagi kelompok disabilitas ini sering kali dianggap memakan biaya dan tenaga lebih ketika sebenarnya ini adalah langkah pemenuhan hak yang sudah diatur oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Baca juga: Anak-anak dengan Autisme Hadapi Masalah Akses Pendidikan

Regulasi Soal Disabilitas Baik, Implementasi Buruk

Secara substansi, UU No. 8/2016, menurut Bagja, sudah secara komprehensif mengatur berbagai pemenuhan hak kelompok disabilitas. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut masih sangat minim.

Pasal 53 UU tersebut, misalnya, mengatur bahwa instansi pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling penyandang disabilitas dengan jumlah paling sedikit 2 persen dari jumlah pegawai atau pekerja. Sementara itu, jumlah pekerja penyandang disabilitas di perusahaan swasta seharusnya mencapai sedikitnya 1 persen.

Namun, dalam penelitian berjudul “Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam Mendapatkan Pekerjaan di BUMN” (2019), Susiana dan Wardah dari Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa ketentuan dalam UU tersebut belum terpenuhi, paling tidak di Aceh. Dari empat BUMN yang ada di provinsi tersebut, hanya satu BUMN yang sudah mempekerjakan orang dengan disabilitas sebanyak tiga orang.

Hal ini juga diperburuk dengan terbatasnya kesempatan kerja untuk jenis-jenis pekerjaan dan jabatan tertentu, terbatasnya informasi yang tersedia di pasar kerja bagi kelompok disabilitas, lingkungan kerja yang sulit diakses karena fasilitas pendukung yang kurang, stigma masyarakat pada ketidakberdayaan mereka, dan masih banyak lagi.

Untuk memperbaiki situasi ini, menurut Bagja, salah satu kuncinya adalah melibatkan kelompok disabilitas dalam pengambilan keputusan di berbagai kepentingan. Hal ini bisa datang dari kesadaran setiap orang untuk mendengarkan dan menegakkan hak semua kalangan. Agar kesadaran itu bisa timbul, aktivis dan komunitas disabilitas harus solid untuk terus mengedukasi pemerintah dan masyarakat tentang disabilitas itu sendiri, ujar Bagja.

“Pemerintah juga harus berkontribusi, misalnya lewat sistem pendidikan. Selama sekolah, apakah kita pernah diajarkan bahwa kita harus memperlakukan semua orang setara, termasuk kelompok disabilitas? Saya yakin, banyak dari orang-orang non-disabilitas yang belum pernah berinteraksi dengan orang-orang disabilitas,” ujarnya.

Read More
Min Hee-jin, Otak Kreatif Industri K-pop yang Jarang di Sorot

Min Hee-jin, Eksekutif Perempuan di Balik Konsep Unik Grup K-Pop

Grup idola Korea Selatan, f(x) dan Red Velvet, selalu memiliki visualisasi konsep album yang khas, unik, dan membuat mereka menonjol dari grup lain. Pink Tape (2013), album kedua f(x), memiliki video konsep berjudul Pink Tape Art Film yang ganjil tapi lucu, dengan filter gambar jadul yang menonjolkan karakteristik eksentrik grup tersebut. Album Red Velvet pada 2018, Perfect Velvet, bertema film horor Amerika tahun 80an dan 90an tapi dibuat ngepop dengan warna mencolok—awal mula ditetapkannya konsep mistis sebagai milik mereka. 

Otak di balik kedua konsep kreatif itu adalah Min Hee-jin, yang sekarang menjadi Chief Brand Officer (CBO) HYBE Entertainment atau yang dulu dikenal sebagai BigHit Entertainment, perusahaan yang menaungi boyband nomor satu di dunia, BTS. 

Sebelum termasuk dalam jajaran eksekutif di grup perusahaan tersebut, Hee-jin adalah Direktur Kreatif di SM Entertainment, salah satu dari tiga besar perusahaan dalam industri K-pop. Ia mulai bekerja di agensi yang menaungi grup idola Girls Generation itu sejak 2002 sebagai anggota tim kreatif. Namun, butuh waktu tujuh tahun hingga Min Hee-jin diberi keleluasaan kreatif untuk menangani album-album idola SM Entertainment. 

Baca juga: Drakor ‘Start-Up’ Beri Pelajaran Soal Pemimpin Perempuan   

Awalnya, ia ditugaskan untuk menggarap visualisasi lagu Sorry Sorry (2009) milik Super Junior dan Gee (2010) dari Girls Generation, yang membuat nama keduanya semakin meledak. Sejak kesuksesan itu, Min Hee-jin diberi tugas-tugas yang lebih banyak, seperti memimpin tim untuk konsep visual album dan promosi untuk f(x)  SHINEE, EXO, dan Red Velvet. 

Selama di agensi itu, Min Hee-jin juga menunjukkan dirinya adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan karena menjadi pionir konsep visual dan visual directing di industri K-pop. 

Min Hee-jin Jadi Satu-satunya Perempuan di Antara Eksekutif Laki-laki

Min Hee-jin jadi Satu-satunya Perempuan di Antara Eksekutif Laki-laki

Setelah hampir dua dekade bekerja di SM Entertainment, Min Hee-jin, yang kini berusia 42 tahun, dibajak oleh HYBE Entertainment pada 2019. Mengutip media Korea Selatan, Tech M, Min Hee-jin menjadi satu-satunya perempuan di jajaran eksekutif di antara empat agensi hiburan terbesar Korea Selatan, SM, YG, JYP, dan BigHit Entertainment, yang berpenghasilan tinggi. 

Dikabarkan penghasilan Min Hee-jin mencapai KRW 527 juta atau sekitar Rp6.7 miliar setahun, alias Rp560 juta perbulan. Jumlah itu juga didasari pertimbangan profesionalisme, kepemimpinan, dan kontribusinya pada perusahaan. 

Meskipun begitu, fakta bahwa ia menjadi satu-satunya perempuan yang menduduki jabatan eksekutif mengukuhkan bahwa masih sedikit perempuan di posisi strategis dalam suatu perusahaan. 

Media daring Korea JoongAng Daily, yang mengutip studi yang diluncurkan organisasi pekerja, The Federation of Korean Industries, Maret lalu, menulis bahwa memang ada peningkatan perempuan di posisi CEO, dari 2,8 persen pada 2015 menjadi 3,6 persen setahun kemudian.  

Meski demikian, jumlah keseluruhan masih sangat kecil dibandingkan laki-laki. Dari total 2.716 CEO di Korea Selatan, hanya ada 75 perempuan pada 2015. Sementara itu, pada 2019 terdapat 115 perempuan CEO di antara 3.187 total CEO secara keseluruhan. 

Baca juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Situasi yang mirip terjadi pada perempuan eksekutif di jabatan tinggi. Di antara 24.628 eksekutif, hanya ada 727 perempuan pada 2015. Sedangkan pada 2019, ada 1.314 eksekutif perempuan di antara 30.000 total eksekutif. 

Min Hee-jin memang tidak sendiri menjadi perempuan di jajaran direksi industri K-pop, misalnya Hwang Bo-kyung yang menjadi CEO YG Entertainment pada 2019 dan Kim Sun-hye, CEO dan pendiri Blockberry Creative, agensi grup idola Loona. 

Namun, melihat besarnya diskriminasi terhadap idola perempuan, penolakan gerakan feminisme di Korea Selatan, dan minimnya jumlah perempuan pemimpin, perjalanan untuk kesetaraan di ruang profesional industri hiburan masih panjang. 

Konseptor Grup Idola Perempuan Terbaru HYBE

Di posisinya yang sekarang, Min Hee-jin juga bertanggung jawab untuk menciptakan grup idola perempuan untuk HYBE Entertainment, yang selama ini baru mencetak boyband dan penyanyi solo perempuan.

Saat masih disebut sebagai BigHit Entertainment, perusahaan itu memang sempat membuat grup idola perempuan, GLAM, pada 2012. Sayangnya grup tersebut tidak berhasil sukses karena rumor anggotanya, Trinity, adalah sasaeng atau penggemar obsesif Leeteuk dari Super Junior. Selain itu, ada juga skandal pemerasan anggota lain bernama Dahee yang melibatkan aktor papan atas Lee Byung Hun.

Pada tahun 2015, grup tersebut bubar mengikuti kabar Dahee yang masuk penjara akibat kasus pemerasan tersebut. Sejak saat itu, BigHit tidak lagi memiliki grup idola perempuan dan hanya grup laki-laki, seperti BTS dan TXT. 

Kabar bahwa Min Hee-jin yang bertanggung jawab atas grup baru agensi itu secara umum disambut baik, mengingat kreativitasnya yang tergambar dalam visualisasi konsep grup yang pernah ia pegang. 

Baca juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Misalnya, album 4 Walls (2015) dari f(x) kemudian menjadi salah satu album favorit penggemar K-pop karena membawa nuansa baru untuk girlband itu. Selain itu, Min Hee-jin juga yang mendorong perubahan logo boyband EXO menjadi lebih menarik. 

Kehadiran Min Hee-jin di agensi tersebut menawarkan berbagai potensi konsep visual yang artsy. Selain itu, kemampuannya yang sudah diakui semakin mengukuhkan posisinya dan  HYBE Entertainment sebagai pemain besar di industri K-pop.

Read More
fresh graduate cari kerja

10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Tahun ini merupakan tahun kedua bagi para fresh graduate melamar pekerjaan di tengah pandemi. Dalam situasi serba tak pasti dan krisis seperti sekarang, anak-anak muda yang baru lulus atau fresh graduate menghadapi tantangan lebih besar. 

Ketika fresh graduate melamar kerja, perusahaan akan lebih selektif dan barangkali juga menawarkan upah yang tidak seperti dikehendaki si pencari kerja. Jumlah lowongan kerja pun menurun sampai 75 persen pada April 2020, seperti yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS). 

Pada akhirnya, hal ini bisa berkontribusi negatif pada kesehatan mental orang-orang yang baru di-PHK, pengangguran, termasuk para fresh graduate. Mereka rentan stres, apalagi jika mereka menghadapi kesulitan dan kegagalan dalam proses rekrutmen.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Untuk meningkatkan kesempatan lamaran dibaca oleh perekrut, saat fresh graduate melamar kerja, sebaiknya kamu menerapkan sikap sopan dan etika. Kedua hal tersebut perlu dibangun sejak mengirimkan lamaran untuk membentuk kesan yang baik dan menjadi pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap rekrutmen selanjutnya. Perekrut pun dapat melihat cerminan karakter pelamar saat bekerja berdasarkan sikap dan etika yang terbentuk dari awal.

Beberapa tips berikut ini dapat diterapkan oleh para fresh graduate dalam mencari pekerjaan. Dengan menerapkan strategi yang tepat dalam melamar kerja, kesempatan yang digunakan akan lebih efektif dan bermanfaat.

Do’s

1. Tips Pertama untuk Fresh Graduate: Kenali Tujuan Karier

Setelah lulus dari bangku perkuliahan, seorang fresh graduate sebaiknya mengenali tujuan karier serta strategi yang dapat dilakukan untuk mencapainya. Hal ini akan membantu dalam menentukan tempat kerja yang akan dilamar agar sesuai dengan karakteristik dan diperkirakan akan membantu mencapai tujuan tersebut.

Umumnya, tujuan karier menjadi salah satu pertanyaan dalam wawancara kerja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang fresh graduate memiliki rencana dalam hidupnya yang juga memberikan motivasi dalam bekerja.

2. Fresh Graduate Harus Bisa Menulis Body Email yang Baik

Cara seorang pelamar kerja menuliskan body email dapat menentukan impresi perekrut. Bagian ini akan menunjukkan bagaimana seseorang berusaha membangun interaksi yang baik dengan pihak perekrut.

Ada beberapa hal yang perlu ditulis pada body email. Pertama, sapaan pembuka untuk HRD perusahaan yang namanya dapat ditulis jika memang diketahui. 

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Kedua, pada paragraf pertama, kita dapat mengutarakan tujuan mengirimkan email tersebut dan dari mana informasi lowongan pekerjaan itu diperoleh.

Ketiga, penjelasan diri terkait relevansi diri dengan perusahaan dan posisi yang dilamar, apa saja yang dapat diberikan ke perusahaan, dan menceritakan kembali pengalaman bekerja yang sesuai, tetapi tidak dijelaskan dalam CV.

Keempat, utarakan antusiasme untuk bergabung dengan perusahaan tersebut, ucapan terima kasih pada penerima email, dan menyertakan kontak yang dapat dihubungi.

3. Menjelaskan Garis Besar Job Description di Pengalaman Kerja Sebelumnya

Dalam menyebutkan pengalaman kerja di CV, tak cukup jika hanya menyebutkan profesi yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, detail dari cakupan pekerjaan yang pernah dilakukan perlu dijelaskan secara singkat agar perekrut dapat memahami pengalaman tersebut.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Format penulisannya dapat ditulis dalam bullet point supaya lebih mudah dibaca dan tidak memakan waktu lama bagi perekrut untuk membacanya.

4. Susun Portofolio di Platform yang Mudah Diakses

Pada pekerjaan tertentu, portofolio dibutuhkan agar perekrut mengetahui kualitas dan kapabilitas pelamar kerja melalui berbagai proyek yang pernah dikerjakan. Agar terlihat profesional dan memudahkan perekrut mengaksesnya, pelamar kerja dapat memanfaatkan berbagai layanan blog gratis seperti WordPress, Wix, dan lain-lain.

Selain bermanfaat untuk perekrut, menyusun portofolio dalam sebuah platform juga mampu memudahkan pelamar kerja dalam memantau perkembangannya dalam setiap proyek yang dikerjakan.

5. Memeriksa Kesalahan Ketik dan Ejaan 

Mungkin terlihat sederhana, tetapi hal ini dapat berpengaruh besar karena mencerminkan ketelitian. Impresi yang dimiliki oleh perekrut akan kurang baik apabila dari penulisan berkas lamaran saja sudah tidak teliti. Kemungkinan mereka akan mempertanyakan kecakapan pelamar dalam melakukan pekerjaan.

Lakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan tidak terdapat kesalahan ketik dan ejaan saat dokumen selesai ditulis dan sebelum dikirimkan.

Don’ts

1. Hanya Mengirimkan CV Tanpa Surat Lamaran dan Portofolio

CV merupakan dokumen yang dapat merepresentasikan perjalanan karier seseorang. Namun, gambaran dari pekerjaan yang pernah dilakukan tidak dapat dipahami dengan baik apabila tidak disertakan dokumen pendukung yang menunjang kelengkapannya.

Baca Juga: Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Portofolio dan surat lamaran merupakan dokumen yang dapat membantu perekrut dalam mengenal kapabilitas dan pengalaman kerja secara lebih detail. Mereka akan lebih mudah menilai apakah pelamar kerja yang bersangkutan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan.

2. Menggunakan Surat Lamaran Template untuk Semua Perusahaan

Setiap perusahaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Tentunya kemampuan yang tertulis pada surat lamaran perlu disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, penting bagi pelamar untuk menyesuaikan setiap surat lamaran yang dikirim ke beberapa perusahaan. 

Selain itu, menggunakan template surat lamaran juga kurang menunjukkan besarnya antusiasme untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan, bukan sekadar melamar demi untuk mendapatkan pekerjaan. 

Hindari pula copy paste contoh surat lamaran yang beredar di internet.

3. Fresh Graduate Biasanya Melebih-lebihkan Kemampuan Diri

Penting bagi seorang pelamar kerja untuk memastikan bahwa yang tertulis dalam dokumen yang dikirimkan sesuai dengan kompetensi dalam diri, kualifikasi pekerjaan yang dilamar, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Di samping itu, kejujuran merupakan sikap yang perlu ditekankan saat melamar kerja. Lebih baik memiliki kemampuan yang terbatas dengan keinginan untuk mengembangkannya dibandingkan melebih-lebihkan, tetapi tidak dapat membuktikan kapabilitas yang sebenarnya.

4. Melamar ke Perusahaan Tanpa Melakukan Background Checking

Melakukan sebuah pekerjaan diharapkan dapat dilakukan dalam jangka panjang. Untuk mengenal budaya dan lingkungannya, pelamar kerja perlu melakukan riset untuk menelusuri latar belakang perusahaan yang ingin dituju. Langkah ini berguna untuk memastikan apakah perusahaan tersebut sesuai dengan kepribadian dan gol mereka dalam dunia karier.

5. Tidak Mengecek/Menyesuaikan Konten Media Sosial Kita

Para perekrut di berbagai perusahaan sudah kerap mengecek profil atau rekam jejak digital pelamar sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk merekrut seseorang. Karenanya, jika media sosial kita tidak digembok, tidak ada salahnya melihat lagi apa ada yang perlu dihapus/simpan dalam rangka melamar kerja. 

Tidak jarang seseorang punya pencitraan  yang jauh berbeda antara di dunia nyata (misal, lewat lamaran kerja) dan di dunia virtual. Misalnya, saat wawancara kita mengaku mendukung keberagaman, tapi ternyata kita menyimpan konten merendahkan komunitas/orang tertentu. 

Kita tidak mau kan, memberi kesan buruk saat pertama kali melamar/wawancara kerja? Karenanya, penting memperhatikan aspek media sosial yang sering dianggap remeh banyak pelamar.  

Read More
kisah ibu pekerja

Selamat Tinggal Jepang, Tanah Para Pejuang Korporat: Kisah Seorang Ibu Pekerja

Pada usia 30, saya menemukan bahwa saya hamil. Saya telah membayangkan momen ini sepanjang hidup saya, bahwa saya akan menangis gembira. Tetapi yang membuat saya terkejut, saya malah menangis kecewa. Selama kunjungan pertama saya ke dokter kandungan dengan suami saya, saya terus menghela nafas, “Apakah terlalu dini untuk punya anak?”

Respons dari suami saya, yang sebetulnya jarang marah, sungguh tidak terlupakan. “Jangan pernah bilang begitu di depan anakmu!” dia menegaskan dengan nada keras, seolah-olah anak kita yang belum lahir sudah ada di depannya.

Karena selalu ingin bekerja di negara berkembang, saya mengejar karier di bidang kerja sama internasional. Saya terbang keliling Afrika, Timur Tengah, dan Asia, berdamai dengan posisi asisten saya, mempersiapkan kontrak untuk ditandatangani oleh bos laki-laki paruh baya saya. Tetapi ketika saya mendapatkan pengalaman yang cukup setelah tujuh tahun bekerja, kehamilan saya datang sebagai takdir yang tidak terduga.

Saya dulu percaya kesetaraan gender ada di Jepang, sampai saya melahirkan anak pertama saya.

Saya mengambil cuti melahirkan satu tahun penuh, dan menjelang akhir masa cuti, saya disela oleh sebuah panggilan telepon saat sedang berada di studio foto untuk mengambil foto bayi saya. Itu dari manajer bagian yang belum pernah berkomunikasi dengan saya sebelumnya. Dengan nada sangat formal, dia memberi tahu saya bahwa saya akan mulai bekerja di divisi baru mulai minggu depan. Pekerjaan saya di divisi baru ini tidak memerlukan perjalanan bisnis ke luar negeri.

Hati saya langsung mencelos. Saya bertanya mengapa, dia menjawab, “Saya hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah keputusan HRD. Ini adalah rotasi, jadi Anda akan berada di sana selama beberapa tahun ke depan.”

Ibu Pekerja dan Diskriminasi Gender

Ibu Pekerja dan Diskriminasi Gender

Setelah saya kembali bekerja, saya terus-menerus mendengar ungkapan, “Karena Yamamoto-san adalah seorang ibu.” Awalnya mungkin terdengar bijaksana, tapi saya kesal dengan pertimbangan yang berlebihan untuk status baru saya yang bahkan tidak pernah saya inginkan sebelumnya. Saya mencoba memberi tahu bos saya beberapa kali, tetapi sepertinya saya berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dipahami oleh laki-laki Jepang.

Baca Juga: Akademisi Perempuan Tanggung Beban Lebih Berat Selama Pandemi

Saya menunggu dengan sabar dan menahan ketidaknyamanan selama bertahun-tahun, sementara saya menyaksikan rekan laki-laki saya naik jabatan menjadi manajer proyek atau bahkan manajer bagian. Namun, subjek pekerjaan atau promosi di luar negeri terus menghindar dari saya. Ada beberapa perempuan yang dipromosikan ke posisi manajerial, namun semuanya perempuan lajang atau perempuan tanpa anak. Bagi saya, mereka diperlakukan sebagai perempuan yang bisa bekerja seperti laki-laki.

Sementara perempuan berfokus pada pengasuhan anak, laki-laki bekerja lembur, sering kali lewat tengah malam, sebagai pejuang korporat yang mendapat manfaat dari pengorbanan perempuan. Masyarakat Jepang beroperasi berdasarkan asumsi bahwa perempuan akan membesarkan anak-anaknya sendirian.

Jepang memberlakukan cuti hamil satu tahun yang dibayar, yang dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya, cukup progresif. Tetapi apakah ini membuat Jepang menjadi negara yang hebat bagi perempuan? Apa yang dilakukan laki-laki sementara perempuan mendedikasikan diri pada pengasuhan anak selama setahun penuh? Cuti ayah pada saat itu hanya mencapai 1 persen, dan kemudian hanya meningkat menjadi 6 persen. 

Dengan kata lain, sementara perempuan berfokus pada pengasuhan anak, laki-laki bekerja lembur, sering kali lewat tengah malam, sebagai pejuang korporat yang mendapat manfaat dari pengorbanan perempuan. Masyarakat Jepang beroperasi berdasarkan asumsi bahwa ibu pekerja akan membesarkan anak-anaknya sendirian tanpa bantuan pasangan.

Kata “ikumen” menjadi fenomena di Jepang beberapa waktu lalu. Istilah yang saya sangat benci itu, yang secara harfiah berarti “seorang laki-laki yang membesarkan seorang anak”, digunakan untuk memuji seorang laki-laki yang secara aktif berpartisipasi dalam pengasuhan anak. Perempuan tidak diberi pilihan untuk “berpartisipasi” atau “tidak berpartisipasi” dalam hal mengasuh anak, sedangkan laki-laki dipuji dengan “berpartisipasi” dalam membesarkan anak mereka sendiri. Setiap kali saya mendengar kata ini, saya merinding.

Ketimpangan Gender di Tempat Kerja

Ketika perusahaan memindahkan saya ke divisi yang sama dengan yang beberapa tahun yang lalu tempati untuk kedua kalinya, saya memutuskan bahwa inilah sudah saatnya untuk pergi. Setelah 17 tahun bersama organisasi tersebut, saya merasa sudah cukup. Saya putus asa mencari cara untuk bekerja di luar negeri. Ada posisi penempatan di Kedutaan Jepang di luar negeri, tetapi ketika saya bertanya kepada manajer SDM untuk lowongan apa saja, dia menjawab, “Posisi itu untuk orang yang lebih muda.”

Baca Juga: Stereotip Gender dalam Periklanan Indonesia dan Global

Betapa bodohnya saya untuk percaya bahwa seorang ibu pekerja memiliki kesempatan yang sama di Jepang. Sementara saya terlalu sibuk membesarkan anak-anak saya, rambut acak-acakan dan sebagainya, nilai pasar saya seharusnya berada pada titik tertinggi. Tetapi ketika saya akhirnya kembali ke realitas pada akhir usia tiga puluhan, saya adalah seorang karyawan biasa yang tidak dapat diberikan pekerjaan yang substansial.

Saya berharap seseorang telah memberi tahu saya tentang keberadaan jalur menjadi seorang ibu pekerja yang tak terucapkan, dan memperingatkan saya untuk tidak pernah masuk ke penjara bawah tanah ini ketika saya masih muda dengan semua mimpi ambisius. Saya merasa hancur lebur.

Saya kemudian menemukan lowongan pekerjaan di sebuah organisasi internasional yang berkantor pusat di Jakarta. Suami saya tampak agak bingung pada awalnya. “Apa yang akan saya lakukan di Jakarta? Apa yang akan kita lakukan dengan rumah kita di Tokyo? Apa yang akan terjadi dengan kucing kita?”

Perempuan tidak diberi pilihan untuk “berpartisipasi” atau “tidak berpartisipasi” dalam hal mengasuh anak, sedangkan laki-laki dipuji dengan “berpartisipasi” dalam membesarkan anak mereka sendiri.

Saya terkekeh dan mengatakan kepadanya bahwa saya mungkin tidak akan mendapatkan pekerjaan itu, sambil mengisi formulir aplikasi. Kemudian, saya diberitahu bahwa aplikasi saya lulus penyaringan, dan proses lamaran saya berlanjut ke wawancara video. Setelah pertanyaan-pertanyaan umum, di akhir wawancara, satu-satunya laki-laki Jepang di panel melontarkan pertanyaan yang tidak terduga: “Mengapa Anda ingin berganti pekerjaan di luar negeri sekarang, ketika Anda memiliki anak kecil?”

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Jangan ini lagi, pikir saya. Suara saya bergetar karena marah, karena tahu dia tidak akan pernah menanyakan pertanyaan yang sama jika aku laki-laki. “Di Jepang, ada stereotip bahwa perempuan harus bertindak dengan cara tertentu. Saya melamar posisi untuk mendobrak batasan itu agar perempuan yang lebih muda mengikuti jejak saya,” ujar saya.

Saya seharusnya tidak mengatakan itu, saya mungkin terdengar terlalu bersemangat. Tapi ketika saya larut dalam penyesalan, ada panggilan internasional dari Indonesia: “Kami ingin memberi Anda penawaran kerja. Kapan Anda bisa bergabung?”

Ibu Pekerja dan Beban Ganda

Ibu Pekerja dan Beban Ganda

Masih tidak percaya, saya segera menjalani prosedur pengunduran diri, menjual rumah saya, dan merencanakan perpindahan besar tiga bulan kemudian. Suami saya, yang tidak mengira saya akan diterima, memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah banyak konflik.

Orang tua saya, yang telah lama tinggal di Amerika Serikat dan Eropa, tanpa ragu memberi selamat kepada saya. ” Jakarta lebih dekat dari Jepang daripada Eropa. Kami berharap dapat berkeliling Asia Tenggara saat kamu berada di sana.”

Tapi ibu mertua saya yang menghalangi kami. Dia lulusan universitas nasional dan menjadi guru sekolah dasar pada tahun 1970-an. Dia terus bekerja sambil membesarkan kedua anaknya hingga pensiun dini di usia 50-an. Saya terlalu optimis untuk berpikir bahwa dia akan mendukung keputusan kami untuk pergi ke Jakarta, jadi reaksinya tidak terduga.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Ibu mertua saya tidak ingin membiarkan putranya, lulusan universitas yang meninggalkan posisi karyawan tetapnya untuk ikut bersama istri dan anak-anaknya. Dia menyebutkan berbagai alasan lain, seperti anak-anak yang kehilangan pendidikan di Jepang dan masalah keamanan di Jakarta, tetapi itu semua bermuara pada reputasi putra sulungnya yang meninggalkan pekerjaannya karena mengikuti istrinya.

Ada ungkapan dalam bahasa Jepang yang menghargai laki-laki dan meremehkan perempuan yang berasal dari kitab Konfusianisme. Meski kami diajari bahwa laki-laki dan perempuan sama selama beberapa dekade, perempuan juga masih memegang keyakinan ini, seperti ibu mertua saya.

Meskipun demikian, suami saya meyakinkan saya bahwa kami sudah dewasa dan penolakan ibunya seharusnya tidak memengaruhi keputusan kami. Kami menulis surat untuk membujuk ibu mertua saya. Bahwa meskipun ia akan meninggalkan pekerjaannya di Jepang, kariernya selama lebih dari sepuluh tahun di bidang penjualan pasti berguna untuk mendapatkan pekerjaan di salah satu dari 1.500 perusahaan Jepang di Jakarta. Usaha kami berakhir sia-sia, karena dia masih tidak setuju. Tetapi setidaknya dia mengerti bahwa keputusan kami tidak akan berubah, jadi dia membalas bahwa dia tidak akan lagi mencoba meyakinkan kami.

Peran Aktif Perempuan di Asia Tenggara 

Peran Aktif Perempuan Asia Tenggara

Sudah hampir dua tahun sejak saya datang ke Jakarta. Peran aktif perempuan Asia Tenggara di tempat kerja sangat luar biasa. Selain itu, seorang perempuan tidak perlu membesarkan anak sendirian di sini. Saya sangat berterima kasih kepada pengasuh anak saya yang tinggal bersama kami dan seorang pekerja rumah tangga yang membantu saya dengan perawatan anak dan pekerjaan rumah. 

Saya telah berjuang selama ini untuk menangani perawatan anak dan pekerjaan sebagai ibu pekerja, yang tidak mungkin dilakukan di Jepang. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, saya bisa fokus pada pekerjaan saya tanpa merasa bersalah. Saya berterima kasih kepada suami saya, yang menemukan pekerjaan di sebuah perusahaan Jepang setelah menjadi bapak rumah tangga selama hampir satu tahun.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Novel Terbaik Untuk Perempuan Pekerja

Terkadang saya bertanya-tanya tentang diri saya di dunia paralel: Jika saya memutuskan untuk tinggal di Jepang sebagai seorang ibu pekerja, apakah saya akan menghancurkan diri saya sendiri? Saya hanya bisa mengatakan bahwa perubahan karier pertama saya pada usia 40 tahun adalah lompatan besar yang ternyata tidak terlalu buruk. Nyatanya, saya berusaha untuk tidak merasa terlalu nyaman di sini, atau saya tidak akan pernah bisa bekerja di Jepang lagi.

Sedangkan untuk ibu mertua saya, kami memberinya tablet sebagai hadiah perpisahan, alat yang belum pernah dia gunakan sebelumnya dalam hidupnya. Pada awalnya, dia bahkan enggan untuk memulai memakai gawai itu, menyalahkan penglihatannya yang sudah memburuk. Tapi saya terus mengirimkan foto cucunya dan berkomunikasi melalui LINE lebih sering daripada yang pernah kami lakukan di Jepang. Setiap kali dia melihat foto-foto kami menikmati hidup kami di sini, saya bisa merasakan hatinya semakin terbuka.

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris yang dimuat Magdalene.co.

Haru adalah perempuan Jepang yang lahir di Eropa, dibesarkan di AS dan sekarang bekerja di sebuah organisasi internasional di Jakarta. Dia adalah perempuan yang pendiam, pemalu dan sederhana dengan dua anak perempuan, satu suami dan kekuatan super untuk berbicara dengan kucing.

Read More
Wulan Tilaar

Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Seperti perusahaan lainnya, brand produk perawatan tubuh dan kecantikan Martha Tilaar yang sekarang dipimpin oleh Wulan Tilaar juga mengalami masa-masa yang sulit saat menghadapi pandemi COVID-19. Perusahaan kosmetik yang juga memiliki salon kecantikan ini harus memutar otak bagaimana tetap bisa bertahan di tengah masa-masa yang tidak menentu. 

Ini bukan kali pertama mereka menghadapi krisis, Martha Tilaar sudah pernah mengalami jatuh bangun dalam menjalankan bisnis selama beberapa dekade. Salah satu krisis terbesar yang pernah dilalui adalah krisis moneter tahun 1997. Semua ini diceritakan oleh Martha dan Wulan Tilaar dalam wawancara bersama podcast How Women Lead.

Saat krisis finansial menghantam Asia pada tahun 1997 dan membuat rupiah anjlok, Martha sebagai pendiri perusahaan tetap teguh untuk tidak mem-PHK karyawan yang berjumlah ribuan. Sebagai gantinya, perusahaan meluncurkan beragam produk inovatif, seperti lipstik empat warna dengan harga terjangkau. Dari situ, perusahaan mendapatkan keuntungan 400 persen ketika banyak industri manufaktur  sedang amburadul. Selain itu, mereka bahkan bisa mengakuisisi sejumlah perusahaan. 

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Tindakan dan keputusan yang diambil perempuan pengusaha inspiratif itu merupakan salah satu wujud dari bagaimana pemimpin seharusnya bersikap, yakni berempati terhadap para pekerjanya. Ia memiliki kepedulian tinggi yang diimplementasikan di berbagai  anak perusahaannya.

Martha Tilaar Pemimpin Perempuan Penuh Empati 

Martha pertama kali memulai bisnis kecantikannya sepulang dari mendampingi sang suami yang melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Di sana, ia tidak ingin hanya membantu suami, tapi juga menambah ilmu dan keterampilan dengan berkuliah di sebuah sekolah kecantikan. Saat itu, salah satu tugasnya adalah meneliti budaya kecantikan tradisional. 

Martha memilih untuk meneliti tentang budaya kecantikan Jepang. Alih-alih nilai bagus, yang didapat Martha adalah teguran sang dosen karena ia abai terhadap akar budaya negaranya sendiri. Teguran itu menjadi sebuah shocking therapy untuk Martha, karena ia benar-benar tidak tahu apa-apa soal budaya kecantikan Indonesia. 

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

“Saya menangis. Bagaimana, nih, kalau saya enggak lulus. Aku sudah enggak punya uang. Jujur. I don’t know about my culture. Shame on you. Baru saya sadar. Tuhan, kalau aku pulang nanti aku akan lestarikan budayaku dalam bidang kecantikan,” ujar Martha pada tim Magdalene

Sepulangnya ke Indonesia, bermodal uang saweran kakak-kakaknya dan uangnya sendiri, Martha membuka salon kecantikan berukuran 4×6 meter persegi di garasi rumahnya pada tahun 1972. Karena letaknya yang strategis di daerah Kuningan, Jakarta, ia berhasil menggaet istri-istri diplomat asing yang sangat puas dengan pelayanan salon Martha.

Definisi Cantik Indonesia ala Martha Tilaar dan Wulan Tilaar

Berdekade lamanya Martha menjalani bisnis kecantikan, ia mengamati bagaimana masih banyak orang Indonesia yang lebih berkiblat pada dunia kecantikan luar negeri. Namun semangatnya tidak surut dan malah semakin membara dalam meracik bahan-bahan tradisional asli Indonesia. 

“ Saya bingung, kalau di Amerika kan penuh di library. Tetapi ternyata eyang saya, itu 107 tahun umurnya, dia ahli jamu. Jadi dia bilang, ya sudah kamu pergi saja ke dukun-dukun beranak supaya kamu belajar langsung dari mereka. Bagaimana setelah melahirkan, (mengonsumsi) parem, pilis,” kata Martha. 

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Sayangnya, penelusurannya ke ahli-ahli kearifan lokal ini malah memunculkan gosip bahwa Martha main dukun agar cepat kaya. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh perempuan pekerja, bahkan ketika mereka sudah berada di pucuk kepemimpinan, seperti yang dihadapi oleh Martha. 

“Jangan ke salon dia, nanti kamu kena pelet,” ujar Martha, menirukan ucapan-ucapan para penggosip.

“Tapi suami saya, dia adalah guru kehidupanku. (Dia bilang) coba lihat catatanmu (mengenai ramuan tradisional) dan sebagainya. Teruskan, sebab kalau satu dukun meninggal, satu perpustakaan terbakar,” ujarnya, menirukan nasihat mendiang suaminya. 

Kegigihan dan rasa empati yang Martha tanamkan juga ia turunkan kepada anak-anaknya, termasuk Wulan Tilaar. Ia merupakan generasi kedua Martha Tilaar Group dan penerus sang ibunda sekaligus ikon brand Martha Tilaar.

“Saya merasa beauty ini bukan pupur dan lipstik saja, dan banyak sekali di luar sana ya memang cuma jualan profit, and lost. Dan itu yang juga saya syukuri. Martha Tilaar itu enggak begitu. We’re not just selling cosmetics,” kata Wulan. 

Tips Membangun Bisnis Sukses ala Wulan Tilaar 

Pemimpin perempuan inspiratif Wulan Tilaar sudah sejak kecil ia diajari sang ibu mengenai bagaimana menjalankan bisnis ini. Sepulang sekolah, ia selalu pergi ke kantor ibunya, atau ke salon atau sekolah kecantikan Sari Ayu.

“Jadi sudah biasa banget ngeliatnya. Itu saya syukuri sih pengalaman observasi itu. Tapi ternyata itu enggak cukup untuk bisa berkecimpung dan terlibat dalam perusahaan karena harus punya a set of competency,” kata Wulan.

Wulan adalah lulusan Boston University dalam bidang Mass Communication-Advertising. Ia mulai terjun ke bisnis keluarga secara profesional pada tahun 2005. Wulan tidak langsung diberi kepercayaan untuk memegang perusahaan secara penuh, namun mengawali kariernya di departemen seni sebab bagian tersebut masih berkaitan dengan bidang perkuliahannya.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Wulan benar-benar belajar dan tekun dalam menjalankan pekerjaannya. Ia memperhatikan betul dan langsung terjun melihat bagaimana pekerjanya dilatih.

“Saya tahu bagaimana mereka dilatih, alatnya apa saja. Bagaimana ala tersebut berfungsi. Pertama kali ya kaget juga, tetapi sebagai terapis profesional kita enggak boleh kayak begitu. Saya juga belajar tentang macam-macam penyakit kutil. Semua saya ikuti dan saya menghargai prosesnya,” kata Wulan. 

Dengan belajar secara detail tersebut, Wulan jadi paham apa saja tantangan yang dihadapi oleh para terapisnya yang sebagian besar adalah perempuan di salon dan spa milik perusahaan Martha Tilaar. Ia tahu betul untuk menghadapi pelanggan butuh banyak upaya

Selama berkecimpung dalam bisnis keluarganya, Wulan tidak serta-merta memiliki jalan yang mulus sebagai seorang pebisnis perempuan. Ia banyak menghadapi tantangan sebagai ibu pekerja dan juga pemimpin perempuan. “Enggak semudah itu, karena tantangannya beda ya. Saya bukannya mengecilkan challenge ibu saya ya, sebab dia menciptakan sesuatu yang tidak ada jadi ada. Tapi anggapan, ‘Ah generasi kedua mah enak tinggal nerusin. It’s not easy. Sebab kita biar bagaimana pun harus menghidupi jiwa sang founder. Itu yang terus kita pelihara,” Wulan ini.

Read More
Soewarni Pringgodigdo

Soewarni Pringgodigdo Salah Satu Perintis dan Pemimpin Feminis Indonesia

Berasal dari keluarga yang tidak mampu yang memiliki enam anak, Soewarni Pringgodigdo sudah menunjukkan ketertarikan dengan isu sosial politik sejak dini. Lahir pada 31 Maret 1910 di Bogor, Soewarni pada usia 12 tahun sudah membaca buku karya Multatuli (Douwes Dekker) yang berisi tentang keserakahan Belanda serta kejahatan pemerintah kolonial yang terjadi di pertengahan abad 19.

Menginjak remaja kemudian berperan di organisasi perempuan Jong Jawa, dan selanjutnya memimpin Putri Indonesia, sayap keputrian lembaga Pemuda Indonesia pada 1926. Dari sana ia mulai senang membaca buku-buku mengenai hak pilih, feminisme, dan sosialisme. Soewarni juga sangat senang dengan ideologi dari tokoh perempuan pencetus gerakan sosial asal Amerika, seperti Charlotte Perkins Stetson.

Baca Juga: Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Pada tahun 1931, ia menikah dengan pegawai Departemen Statistik bernama AK Pringgodigdo, yang kemudian menjabag sebagai pemimpin Kantor Pusat Perencanaan.

Pada 1947, Suwarni Pringgodigdo masuk ke dalam jajaran anggota Dewan Pertimbangan Agung RI di Yogyakarta. Lalu ia bergabung dalam parlemen sementara pada tahun 1950 sampai dengan 1955.

Ia pun berperan di Partai Sosialis Indonesia. Pada tahun 1959, rumah tangga yang ia bangun bersama Pringgodigdo kandas dan mereka memutuskan untuk berpisah.

Soewarni Pringgodigdo Mengkritik Soekarno dan Menentang Poligami

Soewarni adalah salah satu nama pahlawan perempuan Jawa yang keras dan tidak pernah ragu dalam menyampaikan pendapatnya. Ia selalu tegas saat menuntut perubahan serta kemerdekaan, termasuk soal hak dan kemerdekaan perempuan di dalam pernikahan.

Soewarni termasuk yang bersuara keras pada kongres Pemuda Indonesia tahun1927 di Bandung. Kongres yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir itu diwarnai berdebatan antara Soekarno dengan Soewarni Pringgodigdo, yang merupakan ketua organisasi Putri Indonesia pada waktu itu.

Soewarni mengkritik gaya pidato Sukarno yang senang menggabungkan bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia-Melayu. Padahal lewat kesepakatan sebelumnya, setiap perundingan atau rapat pemuda harus memakai bahasa Indonesia-Melayu sebagai pengantar. Ia juga memprotes gaya Soekarno yang selalu meninggikan serta membesar-besarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masih baru pada waktu itu.

Baca Juga: Cerita Perjuangan Martha Christina Tiahahu Pahlawan dari Tanah Maluku

Kritik Soewarni pada satu titik membuat Soekarno tidak bisa berkutik, sebelum ia membentak perempuan berusia 17 tahun dalam bahasa Belanda. Semua peserta rapat pun langsung tegang. 

Sjahrir, sebagai pemimpin kongres, memukul meja dengan palu. Meski berusia lebih muda sembilan tahun dibandingkan Soekarno, ia dengan gamblang meminta seniornya untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar untuk perempuan Indonesia.

Soekarno terkejut atas aksi keras Sjahrir kepada dirinya. Ia kemudian meminta maaf kepada seluruh peserta kongres, khususnya kepada Soewarni Pringgodigdo.

Beberapa tahun kemudian, Soewarni juga menolak keras hasil kongres Aisyiyah pada Maret 1932 yang mendukung poligami dengan alasan bisa mengurangi pelacuran. Menurut Soewarni, pernikahan monogami akan menciptakan harmoni karena istri tidak akan bersaing dengan perempuan lain dalam sebuah rumah tangga.

Ibu Berdaya Ala Soewarni

Pada tanggal 22/03/1930, Soewarni merombak perkumpulan Putri Indonesia yang kemudian menjadi Isteri Sedar. Organisasi ini dibentuk untuk memberdayakan perempuan yang masih terbelenggu nilai-nilai tradisional supaya tidak merasa lebih rendah dari laki-laki.

Perkumpulan buatan Soewarni ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap melanggar norma hidup orang Jawa. Kelompok tradisional sangat menentang karena kedekatan ideoloagi Isteri Sedar dengan pandangan Barat. Karena sangat menolak poligami, Isteri Sedar juga mendapatkan tentangan dari organisasi dan kelompok Islam.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Sebagaimana yang tertulis dalam anggaran dasarnya, organisasi Isteri Sedar berpondasi pada perasaan nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak pernah terjun ke dalam politik secara langsung, Isteri Sedar diketahui sering memberi dukungan kepada partai-partai pecahan PNI seperti Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia.

Pada tahun 1954, Isteri Sedar mengubah kebijakan organisasinya dan mengganti namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Pada tahun keduanya, Gerwani berhubungan dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadi lembaga perempuan yang punya hubungan paling baik dengan pemerintahan Soekarno.

Polemik antara Soewarni dengan Soekarno pada zaman itu tak mengganggu hubungan keduanya. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, Soekarno bertemu secara empat mata dengan Soewarni dan memintanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh perempuan dalam ikut berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan.

Soewarni lalu diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dari bulan September tahun 1945 sampai dengan bulan Desember tahun 1949. 

Read More

Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Kebijakan upah kerja minimum sebagaimana diatur dalam omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menjadi salah satu isu yang mengundang protes berbagai kalangan, terutama buruh, hingga muncul aksi-aksi protes di jalan.

Di Indonesia, kebijakan kenaikan upah minimum telah ada sejak tahun 1970-an. Namun, hal itu baru benar-benar digalakkan pada awal tahun 1990-an. Pasalnya, ketika itu Indonesia mendapat tekanan dari sejumlah negara untuk menghentikan praktik “sweatshop”: Memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan tempat kerja tidak layak.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah menyoroti pentingnya penetapan upah minimum di setiap negara/wilayah. Perhatian ILO terhadap isu upah tidak lepas dari niat untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja, salah satunya mendapatkan pengupahan yang layak di berbagai negara.

Sejak itu, pemerintah kerap menaikkan upah minimum hingga mencapai 76 persen dari upah rata-rata buruh di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini yang cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara lain seperti Australia (47 persen), Jepang (36 persen), Malaysia (30 persen, tahun 2017), dan Thailand (34 persen, tahun 2017).

Akan tetapi, apakah kebijakan upah minimum yang tinggi benar-benar efektif dalam melindungi pekerja?

Untuk menjawab ini tidak mudah, karena isu kenaikan upah minimum terkait banyak faktor, di antaranya cakupan dari kebijakan upah minimum tersebut.

Selain itu, kenaikan upah minimum juga memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok pekerja yang berbeda: pekerja dengan keterampilan tinggi versus rendah; pekerja perempuan versus laki-laki.

Baca juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Pada 2019, saya melakukan sebuah studi terhadap dampak upah minimum. Dengan menggunakan data level provinsi yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2001-2015, saya menganalisis pengaruh kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal, informal, dan juga pengangguran di Indonesia. Penelitian saya menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.

Faktor-faktor Penentu Kebijakan Kenaikan Upah Minimum

Di Indonesia, kenaikan upah minimum memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pekerja di sektor formal dan di sektor informal, serta terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan.

Mengikuti klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sedikit penyederhanaan, pekerja di sektor formal diartikan sebagai pekerja yang memiliki status pekerjaan “buruh/karyawan”, dan menerima upah dan tunjangan sesuai aturan ketenagakerjaan. Sedangkan pekerja informal adalah pekerja dalam bidang tertentu seperti usaha rumahan (pekerja keluarga), pekerja mandiri (seperti freelancer), dan pekerja lepas (buruh tani atau buruh konstruksi).

Penelitian ini menemukan bahwa upah minimum berkaitan dengan berkurangnya jumlah pekerja di sektor formal. Lebih khusus lagi, penurunan jumlah pekerja perempuan di sektor formal lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja laki-laki.

Kenaikan upah minimum meningkatkan jumlah biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terutama jika tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas para pekerja.

Jumlah penurunan pekerja perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki juga mencerminkan kurangnya kesetaraan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Temuan ini sesuai dengan hasil studi-studi terdahulu yang menemukan dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal.

Penelitian juga menunjukkan kemungkinan adanya perpindahan tenaga kerja, terutama laki-laki, dari sektor formal ke sektor informal ketika terjadi kenaikan upah minimum, seperti yang juga ditemukan oleh studi sebelumnya.

Baca juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Perpindahan ini salah satunya adalah karena ketiadaan tunjangan atau perlindungan bagi orang yang tidak bekerja (unemployment benefits) sehingga memaksa sebagian pekerja yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk berpindah ke sektor informal karena kebutuhan untuk memiliki penghasilan.

Pada 2018, sektor formal hanya mempekerjakan 43 persen dari total orang yang bekerja di Indonesia. Terlebih lagi, walau studi tidak menemukan kaitan antara kenaikan upah minimum dan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia, kenaikan upah minimum diketahui berkaitan dengan menurunnya partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari kerja.

Hal ini menggambarkan ada juga pekerja yang menyerah dan berhenti mencari pekerjaan karena berkurangnya kesempatan kerja.

Bagaimana Kebijakan Kenaikan Upah Minimum untuk Pekerja Informal?

Perlu diingat bahwa sektor informal identik dengan kondisi pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan sektor formal. Ekonomi informal kerap diisi oleh pekerjaan-pekerjaan yang tidak teregulasi dan tidak terdaftar – seperti buruh harian dan pedagang kaki lima – sehingga mengakibatkan minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor tersebut. Selain itu, rata-rata upah pekerja di sektor informal pun lebih rendah dibandingkan upah di sektor formal.

Di Indonesia, perlindungan untuk mendapatkan upah minimum berlaku hanya untuk buruh/karyawan, seperti diatur UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, pasar tenaga kerja Indonesia diisi oleh pekerja-pekerja dengan status lain selain “buruh”, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal.

Sebuah studi pada 2006 memperlihatkan bahwa sebagian besar usaha informal tidak mengetahui tentang peraturan upah minimum, dan tingkat upah dari pekerja di usaha informal beragam tergantung jenis pekerjaan, keterampilan dan jenis kegiatan.

Oleh karena itu, kita harus kembali meninjau apakah kenaikan upah minimum berhasil mencapai tujuannya untuk melindungi pekerja.

Jelas bahwa kenaikan upah minimum berhasil meningkatkan pendapatan sebagian pekerja dengan mengorbankan sebagian pekerja yang lain. Terlebih, pekerja-pekerja yang rentan seperti perempuan, lebih banyak menganggung efek negatif dari kenaikan upah minimum.

Baca juga: SOS Children’s Villages Indonesia Dukung Pekerja Perempuan, Serius Tangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak kenaikan upah minimum tidak hanya bagi pekerja di sektor formal, tetapi juga pada mereka yang berada di sektor informal atau akan terpaksa pindah ke sektor informal.

Ada banyak celah hukum, yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok pengusaha untuk tidak memberi upah minimum. Dalam UU Ketenagakerjaan misalnya, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum untuk dimungkinkan untuk menggaji karyawannya dengan upah lebih rendah. Ini jelas bertentangan dengan pengertian upah minimum yang merupakan upah yang wajib dibayarkan kepada buruh.

Tingginya ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar upah lebih tinggi dari upah minimum juga merupakan masalah yang harus dituntaskan. Pada tahun 2016, 47 persen dari karyawan di sektor formal mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah minimum.

Meskipun masalah tingkat kepatuhan yang rendah soal upah minimum telah terdengar begitu lama, hukuman pidana terhadap pelanggaran pembayaran upah minimum baru terjadi pertama kali pada 2013. Ketika itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada seorang pengusaha asal Jawa Timur yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.

Putusan itu dapat dilihat sebagai dasar untuk memperkuat penegakan hukum mengenai kebijakan upah minimum.

Salah satu alasan tingginya tingkat upah minimum dibandingkan upah rata-rata di Indonesia adalah karena negosiasi upah minimum merupakan satu-satunya sarana bagi serikat pekerja melakukan peran dalam melindungi anggotanya. Maka tak mengherankan bila serikat pekerja cenderung menuntut upah yang sangat tinggi.

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Mengingat kondisi seperti ini, perlu dibuka ranah perundingan bersama untuk melindungi hak-hak lain pekerja di luar upah, seperti tunjangan atau keamanan dan kelayakan tempat kerja. Perbaikan yang diminta – dan kemudian harus dilakukan – tidak melulu hanya soal upah.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Tifani Husna Siregar adalah kandidat Ph.D. di Graduate School of Economics, Waseda University.

Read More
contoh pemimpin idola

Contoh Pemimpin Idola yang Bisa Dijadikan Panutan

Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah, namun tantangan yang dihadapi akan semakin besar bagi perempuan. Demi mencapai posisi strategis, banyak sekali hambatan yang dihadapi perempuan, mulai dari faktor budaya, sosial, hingga politik dan agama. 

Jangankan dalam dunia kerja, akses pendidikan pun masih terhambat dan pemikiran dan budaya patriarkal juga mencari pembenaran dalam nilai keagamaan yang berujung menghambat perempuan berkarier.

Jadilah Pemimpin Perempuan Idola Bagi Tim Kamu

Dari banyaknya tantangan yang dihadapi, ada juga perempuan yang berhasil menduduki posisi strategis di organisasi maupun perusahaan tempat mereka bekerja. Ketika mereka mencapai posisi strategis ini, mereka umumnya membantu karyawan perempuan mereka dengan kebijakan yang inklusif, bahkan membuat inisiatif di luar perusahaan mereka.

Baca Juga: 8 Cara Menjadi Pemimpin yang Baik dan Bijaksana dalam Perusahaan

Pemimpin perempuan seperti ini tidak hanya bisa ditemui di dunia bisnis, namun juga di dunia politik, sains, sampai hiburan. Banyak sekali pelajaran yang bisa diangkat dari kisah dan perjuangan mereka. Yuk, simak beberapa cerita dari mereka. 

Contoh Pemimpin Idola dalam Bidang Politik: Jacinda Ardern

contoh pemimpin idola dalam bidang politik

Contoh pemimpin yang menjadi idola yang akan kita bahas adalah Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern, yang juga merupakan pemimpin dari Partai Buruh. Setahun belakangan ini, nama Ardern menjadi perbincangan hangat  warga dunia sebab ia berhasil mengendalikan pandemi COVID-19 di negaranya berkat respons cepat dan cara berkomunikasi dengan rakyat dengan penuh empati. 

Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada Juni 1980, Ardern memulai karier politiknya berkat perekrutan oleh bibinya, Marie Ardern yang sudah lebih dulu berkecimpung dalam dunia politik sebagai anggota Partai Buruh. 

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Saat ini Ardern sudah sukses menduduki posisi strategis di Selandia baru, dan beberapa kali ia mengeluarkan kebijakan yang inklusif, terutama untuk perempuan. Salah satunya adalah pengesahan RUU Amandemen Persamaan Gaji yang memastikan semua pekerja tidak dibayar lebih rendah karena gendernya. 

Peraturan ini tidak hanya memastikan tidak ada kesenjangan gaji di antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga memastikan pekerja perempuan dalam industri yang didominasi oleh perempuan menerima gaji yang sama dengan laki-laki dalam pekerjaan yang berbeda tetapi bernilai sama. 

Contoh Pemimpin Idola yang Berhasil Tangani Pandemi: Tsai Ing Wen

Contoh Pemimpin Idola yang Berhasil Tangani Pandemi

Seperti halnya Ardern, Tsai Ing Wen adalah pemimpin dunia yang menjadi buah bibir berkat keberhasilannya mengendalikan pandemi di Taiwan. Lahir di Taipei pada Agustus 1956, Tsai adalah anak bungsu dari 11 bersaudara dari ayah seorang pengusaha bengkel mobil dan ibu seorang ibu rumah tangga.

Tsai Ing Wen adalah perempuan pertama yang menjadi presiden di Taiwan. Dalam Pemilihan Presiden 2020, Tsai kembali memenangkan masa jabatan keduanya. Di saat yang sama, keterwakilan perempuan di pemerintah Taiwan mencapai rekor tertinggi, dengan 42 persen legislator adalah perempuan. Ini yang membuat Taiwan berada di peringkat teratas se-Asia. 

Ketika pandemi COVID-19 menghantam, Taiwan adalah salah satu negara yang secara sigap menekan kasus virus ini. Lewat kepemimpinan Tsai, Taiwan dengan cepat mengontrol perbatasan dan mengimplementasikan pembelajaran dari kasus wabah SARS pada 2002. 

Suzy Hutomo

Suzy Hutomo

Suzy Hutomo adalah CEO dan Executive Chairwoman The Body Shop Indonesia. Ia tidak hanya seorang pebisnis, namun juga pegiat isu lingkungan hidup dan kesetaraan gender. Sebagai brand yang mengedepankan prinsip feminisme, Suzy menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung karyawan perempuannya untuk mengembangkan kariernya. Selain yang mendasar seperti ruang laktasi dan izin saat anak sakit, kebijakan tersebut termasuk larangan untuk melakukan rapat malam hari agar semua karyawan memiliki waktu untuk keluarga. 

Baca Juga: Jadi Perempuan Pemimpin di Kampus Bantu Persiapkan Diri Di Dunia Kerja

Kami sedang dalam proses tanda tangan dengan UN Women, ada dokumen-dokumen tentang kebijakan untuk perempuan, saat ini sedang kita proses untuk menetapkan kebijakan yang lebih formal untuk memastikan ada kesetaraan gender di dalam perusahaan kita,” ujar Suzy pada Magdalene dalam podcast Magdalene’s Mind.

Risa E. Rustam

kepemimpinan perempuan

Risa Effenita Rustam adalah Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia salah satu dari sedikit perempuan yang menjabat posisi strategis dan tinggi dalam industri jasa keuangan di Indonesia.

Memiliki pengalaman panjang dalam sektor ini, perempuan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini sudah merasakan beragam tantangan yang dihadapi sebagai pekerja perempuan dalam industri ini.

Menurut Risa, sangat penting bagi perusahaan untuk mengedepankan keberagaman dan inklusivitas, serta memastikan agar semua karyawan mendapat akses yang setara terhadap kesempatan yang ditawarkan perusahaan.

Baca Juga: Apa Itu Kepemimpinan Feminin Serta Apa Manfaatnya

Selain itu, Risa juga memastikan agar perusahaan juga mendukung karyawan-karyawannya dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti  daycare, dan layanan kesehatan mental.

Azizah Assatari

Azizah Assatari

Dalam podcast  FTW Media garapan Magdalene, Pendiri dan CEO Lentera Nusantara Azizah Assattari berbagi pengalamannya mendapatkan perlakuan seksis selama merintis karier di dunia pengembangan game.

Ia bercerita bagaimana saat ia berkuliah di Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain di ITB, ia dianggap kurang kompeten dibandingkan teman-teman yang laki-laki.

“Aku sampai rela part time di sebuah perusahaan game untuk tugas kelompok. Setelah itu aku juga mengajarkan teman-teman laki-laki yang lain. Pada akhirnya mereka yang dapat A sedangkan aku B. Alasannya karena mereka enggak percaya aku yang bikin,” kata Azizah dalam wawancara bersama Magdalene.

Namun, pengalaman-pengalaman tersebut membuat Azizah pantang menyerah. Ia bahkan mendorong adik-adik kelasnya yang perempuan untuk masuk ke jurusan ini, karena ia percaya bahwa perempuan juga bisa.

Ines Atmosukarto

Dr. Ines Atmosukarto contoh pemimpin idola

Dalam wawancara dengan podcast Magdalene’s Mind, Doktor Ines Atmosukarto menceritakan bagaimana tantangan perempuan ilmuwan dalam meniti karier di bidang sains dan teknologi. Ines adalah CEO Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia.

Ia menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh pekerja perempuan dalam bidang STEM adalah beban ganda yang mereka emban sebagai ibu, istri, dan juga seorang pekerja. Karenanya, ia mengatakan sangat penting bagi perusahaan untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung para ilmuwan perempuan ini. 

Tidak hanya itu, sebagai seorang ilmuwan yang kini juga aktif meningkatkan kesadaran masyarakat tentang vaksin lewat akun media sosialnya, Ines juga berpesan pada rekan ilmuwan lainnya untuk selalu bersikap rendah hati.

Baca Juga: Tidak Pede Jadi Pemimpin? Simak Podcast Indonesia ini

“Kita harus menyadari bahwa kita enggak tahu segalanya dan kita bisa saja salah. Kita juga perlu belajar dari ilmuwan sosial. Peneliti ilmu pasti harus juga bersinergi dengan antropolog serta ilmuwan sosial untuk bisa menemukan cara dalam mengedukasi masyarakat,” kata Ines.

Read More

Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Maulani Rotinsulu telah berhasil lolos sampai tahap terakhir sebuah proses rekrutmen di sebuah perusahaan. Namun, ketika dalam sesi wawancara perusahaan tersebut mengetahui dirinya adalah penyandang disabilitas, namanya hilang dari daftar kandidat. Padahal, pada setiap tahapan, ia selalu berhasil menduduki peringkat 10 besar.

“Intelektualitas saya yang sebelumnya sangat diapresiasi mendadak hilang setelah saya mengatakan bahwa saya adalah penyandang disabilitas. Itu tidak terlepas dari stigma kalau penyandang disabilitas itu berbeda, dan bahwa orang harus sama kalau mau diperlakukan setara,” kata Maulani, 61, yang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

Ia berbicara dalam webinar bertajuk ‘Sudahkah Setiap Orang Punya Kesempatan Kerja yang Sama?’ yang diselenggarakan oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (28/4).

Pengalaman Maulani terjadi bertahun-tahun lalu, namun situasi belum berubah saat ini. Stigma masih menghalangi kesempatan dan akses untuk bekerja di sektor formal, membuat mayoritas penyandang disabilitas mengandalkan pekerjaan di sektor informal.

Ada masalah struktural di mana kebanyakan perusahaan tidak memiliki kebijakan rekrutmen dan kepegawaian yang mendukung para difabel untuk bekerja, ujar Maulani. Padahal, sudah seharusnya negara dan perusahaan swasta memberikan fasilitas pendukung bagi para difabel agar mereka bisa berkembang seperti halnya orang-orang lain.

“Standar perusahaan juga kebanyakan tidak inklusif. Tidak ada tuh yang mempromosikan kalau penyandang disabilitas bisa bekerja di pekerjaan-pekerjaan mainstream. Tidak pernah dipromosikan pemerintah bahwa penyandang disabilitas bisa meraih kehidupan atau posisi yang lebih,” kata Maulani, yang kehilangan tangan kanannya karena diamputasi akibat kecelakaan waktu dia masih kanak-kanak.

Baca juga: Memimpikan Dunia Kerja di Indonesia yang Bebas Pelecehan Seksual

“Harusnya ada asesmen kebutuhan karyawan. Ini wajar banget, merefleksikan partisipasi tenaga kerja di dalam perusahaan. Misalnya, penyandang disabilitas netra, agar bisa bekerja harus diberi laptop dengan aplikasi yang bisa mengeluarkan suara untuk arahan di komputer.”

Maulani mengatakan, sistem pendidikan bagi penyandang disabilitas turut mempengaruhi sempitnya peluang mereka menjadi unggul di pasar kerja. Menurut Maulani, sekolah khusus tempat para difabel disekolahkan (sekolah luar biasa) itu belum memiliki standar yang sama dengan sekolah reguler. Akibatnya, pasar kerja tidak melihat para lulusannya memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah reguler.

“Saya pernah duduk bersama dinas pendidikan sebuah daerah yang mengatakan bahwa mereka sudah membuat sekolah inklusif yang juga menerima banyak murid dengan disabilitas. Tapi, banyak orang tua yang protes, katanya takut (para difabel) berdampak buruk pada anak-anak mereka,” ujar Maulani.

Baca juga: Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kesulitan Ganda dalam Bekerja

Kesempatan Kerja Bagi Kelompok Minoritas Kurang

Jessica Ayudya Lesmana, seorang transpuan yang aktif berkegiatan di Cemeti Art Institute, mengatakan bahwa komunitas transpuan mengalami nasib serupa dengan kelompok disabilitas, yaitu mengandalkan pekerjaan di sektor informal karena tak bisa masuk ke sistem formal.

“Kebanyakan transpuan tidak punya ijazah dan pengalaman mumpuni. Itu juga karena sistem yang membuat mereka tersisihkan. Kami tidak punya kesempatan yang sama dengan teman-teman heteronormatif,” ujarnya.

“Ketika masuk ke ruangan HRD, akan dipertanyakan ekspresi gendernya. Kami akan diminta memakai pakaian yang seperti laki-laki kalau mau bekerja di sana. Sedangkan transpuan kan masuk ke dalam diskursus gender, dia pasti akan berpenampilan sebagai perempuan. Itu salah satu hal yang membuat transpuan susah masuk ke ranah kerja formal,” ia menambahkan.

Jessica juga mengatakan, ketika hendak atau sudah memasuki dunia kerja, akuntabilitas dan profesionalisme para transpuan akan terus dipertanyakan karena stigma bahwa semua transpuan adalah pekerja seks dan pengamen, dua pekerjaan yang selalu dikonotasikan dengan hal negatif.

Jessica menganggap dirinya memiliki privilese karena bisa bekerja di sektor formal. Meski begitu, privilese itu baru bisa dia dapatkan setelah melalui waktu dan perjuangan yang sangat panjang.

Baca juga: Kenyamanan, Kesempatan Kerja bagi Perempuan: Kunci Adaptasi Perusahaan Era Pandemi

“Agar bisa mengirim lamaran kerja dulu, saya harus berulang kali menggunakan komputer yang disediakan di Perpustakaan Kota Yogyakarta karena ia tidak memiliki uang untuk membeli laptop,” ujarnya.

Maulani mengatakan satu-satunya alternatif untuk keluar dari masalah ekonomi bagi kelompok penyandang disabilitas adalah dengan menjadi wirausaha.

“Banyak teman-teman disabilitas yang berhasil dengan berjualan online. Tapi mereka masih mendapatkan kendala karena ketika butuh dana untuk mengembangkan usaha mereka, mereka sulit mendapatkan akses modal. Bank masih diskriminatif dan sering menolak penyandang disabilitas,” ujarnya.

Read More