Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Istilah “breadcrumbing” mungkin pernah kamu dengar dan sering dipakai dalam konteks relasi. Namun tahukah kamu, hal ini juga bisa terjadi di dunia kerja?

Dalam kencan online, Macmillan Dictionary mengartikan breadcrumbing sebagai kondisi ketika seseorang mengirimkan pesan yang memberi sinyal ketertarikan terhadap orang lain, meski sebenarnya orang tersebut tidak benar-benar mau berelasi dengan dia. Dengan kata lain, breadcrumbing adalah tindakan menggantungkan seseorang dengan janji-janji omong kosong, dan ini lebih dulu kita kenal dengan istilah pemberi harapan palsu (PHP). 

Lebih lanjut menurut profesor Psikologi dari California State University, Kelly Campbell dalamartikel di Bride, breadcrumbing memakai taktik manipulasi secara emosional untuk membuat seseorang bergantung kepadanya.  

Bagaimana dengan breadcrumbing di dunia kerja?

Breadcrumbing dalam konteks ini biasanya melibatkan relasi antara pemberi kerja atau orang yang berwenang dengan karyawan atau calon karyawan. Salah satu contoh kasus yang menggambarkan kondisi ini adalah saat manajer menjanjikan promosi atau kenaikan gaji kepada seorang karyawan tanpa benar-benar mengusahakannya. Tidak ada upaya untuk meningkatkan kemampuan karyawan, memberi umpan balik yang cukup, atau apa pun yang membuat si karyawan berkembang dan pada akhirnya pantas untuk menerima promosi.

Ketiadaan upaya mengembangkan karyawan ini lantaran perusahaan butuh merogoh kocek untuk itu. Karenanya, dibanding melakukannya betulan, ada sebagian pihak pemberi kerja yang berpikir lebih baik mengiming-imingi seseorang saja supaya dia bertahan. Ini senada dengan artikel BBC, di mana Emily Torres mengemukakan, karyawan yang mengundurkan diri membawa biaya besar bagi perusahaan dalam rangka mencari sumber daya manusia (SDM) penggantinya. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Menurut Karen Gately, pendiri perusahaan konsultan SDM Corporate Dojo, praktik breadcrumbing tidak etis dan tidak adil. Dalam artikel HRM ia menyatakan, daripada melakukan hal ini, pihak perusahaan semestinya melatih karyawan yang ingin menduduki suatu jabatan, misalnya manajer, dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan. Ia juga tidak menyarankan perusahaan untuk menjanjikan hal yang tidak mau mereka wujudkan kelak.

“Bila kamu menjanjikan sesuatu di masa depan dan hal itu berubah, katakan pada karyawan tentang hal tersebut sesegera mungkin. Jangan tunggu sampai enam bulan dan bilang, ‘Oh, maaf, kami masih belum bisa melakukannya [mempromosikan karyawan],” kata Gately. 

Tidak hanya antara bos-karyawan, breadcrumbing juga bisa terjadi di tataran selevel atau antar-kolega. Misalnya, ada rekan kerja yang memujimu sesaat sebelum mereka bilang mereka memerlukan bantuanmu untuk sebuah pekerjaan. Lantas, rekan kerja tersebut meninggalkanmu setelah pekerjaan selesai dan baru kembali kepadamu ketika mereka membutuhkan bantuan lagi.

Selain itu, dalam artikel di Stylist dikatakan, breadcrumbing bisa terjadi bahkan sebelum kamu diangkat sebagai pekerja di suatu kantor. Hal itu bisa berupa janji-janji hal yang bisa kamu nikmati setelah bekerja atau terlibat di suatu proyek sehingga meningkatkan keinginan untuk bergabung dengan perusahaan tersebut dan tidak melirik ke perusahaan lain. Padahal setelah bekerja, janji-janji itu tidak kunjung ditepati. 

Tanda-tanda Breadcrumbing di Dunia Kerja

Ada sejumlah tanda breadcrumbing terjadi di tempat kerja yang mesti kamu waspadai:

  1. Kamu tidak menerima umpan balik secara rutin

Torres menulis, di lingkungan kerja yang sehat, sudah sewajarnya karyawan menerima umpan balik secara rutin. Ketika bos hanya memberi dukungan atau tanda penghargaan di kala karyawannya mendekati titik burn-out, bisa saja itu hanya upaya menahan si karyawan agar tidak buru-buru undur diri. Ini dilakukan demi menghindari biaya besar turn-over atau keluarnya karyawan.

  1. Ada kesempatan kenaikan jabatan, tapi kamu dilewatkan

Walaupun kamu sudah mengikuti apa yang diinstruksikan bosmu, dan walau ada kesempatan untuk naik jabatan, kamu masih saja dilewatkan dan rekanmu yang lain yang mendapatkannya. Bisa jadi juga bosmu mengatakan kepadamu, “Nanti di lain kesempatan…” agar kamu terus bertahan dan berharap bisa mendapat lebih dari apa yang kamu terima saat ini di kantor.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Tanda breadcrumbing di dunia kerja akan semakin kentara ketika bosmu tidak henti berkata ingin melihat perkembanganmu, bahkan seraya memberi pekerjaan ekstra, tanpa pernah memberi imbalan tambahan upah atau perubahan jabatan. Hal ini pada akhirnya membuat kamu ragu melihat dirimu sendiri dan atasan: Apakah kamu benar-benar pantas naik gaji? Apakah usahamu sudah cukup? Atau memang bos saja yang suka PHP?

  1. Janji yang diberikan atasan tidak jelas

Tidak jarang atasan membuat karyawan bingung dengan membuat janji-janji yang “abu-abu”. Mereka tidak mengatakan reward spesifik apa yang akan kamu dapatkan setelah masuk kerja atau menyelesaikan tugas tertentu, entah itu kenaikan gaji, dipercaya memimpin sebuah proyek bergengsi, atau peningkatan jenjang karier. Yang ada, mereka hanya mengindikasikan kamu akan menerima imbalan sepantasnya dan membuatmu menduga-duga saja.    

Cara Menghadapi Breadcrumbing di Dunia Kerja

Menghadapi situasi seperti ini, kamu tidak sepantasnya pasif atau diam saja menerima perlakuan tidak adil tersebut. Meski sering kali pemberi kerja atau atasan dianggap sebagai pihak yang punya kontrol, kamu juga sebenarnya berhak untuk menerima kejelasan dan kesempatan untuk berkembang.

Kamu bisa mengesampingkan rasa tidak enakan dan menanyakan hal apa yang akan kamu terima setelah menjalankan sejumlah tugas yang bos berikan kepadamu. Bisa juga kamu bertanya apakah kesempatan untuk naik jabatan atau gaji itu ada. Tentu saja tidak setiap kali menyelesaikan tugas dan pada tiap kesempatan kamu bisa menanyakan hal ini. Membaca situasi dan memilih cara komunikasi yang baik tetap dibutuhkan. Bila kamu rasa kamu sudah mengerahkan usahamu yang optimal untuk berkontribusi di kantor selama sekian lama, barulah kamu bisa mengajukan pertanyaan ini. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Dalam sebuah artikel Forbes juga disampaikan beberapa hal lain yang bisa kamu lakukan ketika sudah mencium tanda-tanda breadcrumbing dari atasan. Misalnya, kamu bisa mulai mencatat rekam jejak pencapaian dan usahamu di kantor, begitu juga waktu-waktu ketika bos mengiming-imingi sesuatu. Ini nantinya bisa kamu tunjukkan kepada bos saat hendak menagih apa yang pernah mereka janjikan. Kamu juga bisa bertanya apakah ada hal yang kurang dari usahamu selama ini kepada bos dan mencari tahu mengapa mereka tidak kunjung menepati janjinya, bisa dengan bertanya secara langsung kepada yang bersangkutan, membaca situasi (misalnya: keadaan keuangan kantor yang sedang buruk dan tidak memungkinkan kenaikan gaji karyawan) atau bertanya kepada rekan kerja yang lebih dulu masuk, apakah mereka juga mengalami hal serupa. 

Saat bos tidak terlihat benar-benar mengusahakan reward seperti yang dia janjikan sementara kamu terus dihujani berbagai tugas berat, kamu bisa mempertimbangkan lagi terus bekerja di kantor itu atau tidak. Apakah beban yang kamu emban sepadan dengan yang kamu terima? Apakah kamu ingin mengembangkan karier atau sudah puas dengan gaji dan jabatan yang ada sekarang? 

Bila yang melakukan breadcrumbing adalah rekan kerja, beri batasan kepadanya tentang apa yang bisa dan tidak bisa kamu lakukan untuk membantunya sesuai kapasitas, energi, dan waktu yang kamu punya. Tidak perlu merasa tidak enak saat menolak permintaannya bila itu menginterupsi pekerjaanmu. Lagipula, tidak ada garansi dia akan melakukan hal serupa di kemudian hari setelah kamu mengorbankan banyak porsi waktu kerjamu dan berharap dia bisa mendukungmu kelak. Ketika kamu membantunya, jangan biarkan rekan kerjamu mengambil kredit sepenuhnya dan mengabaikan kontribusimu.

Read More

Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Bayangan saya soal profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pulang lebih cepat, izin jemput anak di jam makan siang, dan asyik main gim Solitaire di komputer Windows jadul. Meskipun dugaan saya cuma apriori karena mengamati segelintir tetangga saja yang jadi ambtenaar, tanpa mengalami langsung, tapi setidaknya kenikmatan beban kerja secuil ini tetap berlaku hingga sekarang. Tentu saja buat beberapa orang, karena ada juga PNS yang berdedikasi tinggi.

Saya mewawancarai teman saya, Putri Rahmawati (30) yang ngebet banget jadi PNS sejak ia masih di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Saya ingat betul, jawaban guru saat bertanya cita-cita di masa depan, ia menjawab dengan mantap, “Mau jadi PNS.” Sementara yang lain kebanyakan menjawab dengan template kanak-kanak yang jarang diraih ketika mereka dewasa: Pilot, dokter, polisi, astronaut.

Tak seperti teman yang lain, Putri termasuk yang setia pada cita-cita masa kecilnya. Saya sendiri sudah belasan kali berubah cita-cita, dari yang mulanya mau jadi manten zaman TK, dosen, ilmuwan, ahli Kimia, sampai akhirnya takdir saya mentok jadi jurnalis. Sementara, teman saya yang lahir dari keluarga PNS ini berjuang untuk menggolkan mimpinya hingga bertahun-tahun kemudian. Tentu saja ia tahu, influencer zaman sekarang bisa mendapat upah hingga Rp80 juta sekali mengunggah konten endorse di media sosial, ia juga tahu PNS di kebanyakan formasi digaji dengan ikhlas (Baca: Kecil. Red). Namun, ia teguh pendirian.

“Bukan cuma karena malu jika gagal jadi PNS. Dari yang gue lihat dari keluarga besar, hidup mereka rata-rata berkecukupan. Jika Surat Kerja (SK) sudah terbit, bisa disekolahkan untuk modal renovasi rumah, kuliahin anak, dan tentu saja beban kerjanya enggak bikin gue rentan kena penyakit gangguan mental,” ujarnya pada saya, (10/8).

Pendapat Putri ada benarnya jika mengacu pada artikel di Forbes India bertajuk Here’s why youth prefer government jobs over private jobs for building up career. Dalam artikel tersebut dinyatakan beberapa sebab mengapa profesi pegawai pemerintahan jadi magnet untuk anak muda sekali pun. Pertama, jam kerja PNS sudah dipatok secara tegas, dalam artian ketika ada kelebihan kerja, mereka akan diberikan upah lembur—sesuatu yang musykil didapatkan oleh gig workers, pekerja seni, atau jurnalis seperti saya yang cuma bisa kerja, kerja, kerja, tipes.

Baca juga: Jangan Sebut Kami Budak Korporat

Kedua, dari sisi keamanan kerja dan stabilitas, saya kira tak ada yang bisa mendebat kenapa profesi ini dianggap paling aman buat karyawannya. Apalagi di tengah kondisi yang tak bisa diprediksi seperti pandemi COVID-19, profesi ini takkan membuat kamu dipecat dengan alasan efisiensi cuan perusahaan atau karena bos enggak suka aja sama kamu tanpa alasan jelas.

Mari kita lihat angka yang timpang dengan jumlah pekerja di sektor privat Indonesia yang memecat nyaris 10 jeti pekerjanya. Melansir laman Badan Pusat Statistik per Agustus 2020, angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Jika ditotal jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Pagebluk ini sendiri telah menyebabkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berhasil ditekan di angka 5,23 persen terkerek naik jadi 7,07 persen. Saya sendiri bukan korban pemecatan, tapi di perusahaan lama, gaji saya disunat hingga 50% dengan alasan perusahaan harus mengirit pengeluaran.

Ketiga, PNS—bahkan mereka yang digaji kecil sekalipun—relatif jarang khawatir soal keuangan. Pasalnya, ada pos-pos honor lain yang didapat di luar gaji pokok, ada tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, pinjaman perumahan, perawatan anak, asuransi kesehatan, hingga tunjangan daerah. Ini belum termasuk keuntungan yang didapat ketika PNS pensiun dari pekerjaannya. Berbeda dengan para pegawai di sektor privat, pegawai pemerintahan tak perlu cemas menghidupi dirinya di masa tua karena bakal ajek menerima uang pensiun.

Putri, teman saya yang akhirnya berhasil menjadi PNS setelah dua kali kandas di tes masuk Calon PNS mengungkapkan, “Gaji gue di pemerintahan memang sedikit, apalagi sebelum diangkat, tapi ada saja ‘uang-uang gaib’ yang bikin rejeki gue enggak pernah surut.”

Contohnya, kata dia, uang perjalanan dinas. Ia pernah mengumpulkan kocek hingga melampaui gaji pokoknya lantaran diperintahkan untuk dinas ke luar kota hingga satu pekan.

Namun, yang paling jadi pertimbangan Putri adalah soal work life balance. Sebelum akhirnya berhasil diterima di kantor pemerintahan di Jawa Tengah, ia bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan finansial (consumer finance). Dalam seminggu, ia harus masuk enam hari, bekerja lembur tanpa bayaran tambahan, dipatok target-target yang enggak masuk akal, dan menjalani hari-hari panjang penuh tekanan.

Gue sampai turun berat badan 7 kilogram hanya karena bekerja di sini, bolak-balik diomelin atasan jika target tak tercapai di akhir bulan. Stres banget,” imbuhnya.

Perkara kesehatan mental dalam dunia kerja diungkapkan pula oleh teman saya lainnya, Erista (29). “Dulu, lulus perguruan tinggi, maunya sok-sok idealis kerja di bidang yang gue mau. Karena passion gue menulis, gue memilih jadi wartawan TV. Nyatanya, gue justru stres berat karena susah buat istirahat. Belum lagi problem stereotip pekerja TV yang dituntut untuk tampil cantik, pelecehan seksual verbal, dan lainnya. Berkali-kali balik ke rumah sakit dan psikiater karena kondisi mental gue. Saking parahnya, gue bisa sampai menstruasi hingga dua bulan lebih tanpa henti.”

Erista bercerita, menjadi wartawan sebenarnya menyenangkan. Namun, beban di media TV ia rasakan tak cukup memberi ruang baginya untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. “Di profesi ini, gue ngrasain putus cinta dua kali karena gue yang terlalu sibuk,” tuturnya.

Ia mengenang pengalamannya diputus saat sedang ditugaskan meliput gempa di Palu-Donggala. “Mental breakdown banget, karena di tengah hectic kerjaan, kurang tidur, cowok gue justru memutuskan buat pisah. Habis gimana, gue juga enggak bisa kontrol kesibukan,” ucapnya.

Sama seperti Putri, Erista juga memutuskan untuk mendaftar jadi Calon PNS dan berhasil masuk. Profesi kewartawanan pun ia tinggalkan. “Setelah dewasa di mana kebutuhan makin nambah, gue jadi makin realistis, cuma orang-orang beruntung yang bisa bertahan, hidupin diri bahkan keluarga dari passion-nya. Selebihnya kayak gue, kalau enggak mengidap gangguan kesehatan mental ya diputus pas lagi sayang-sayangnya karena terlalu sibuk,” ungkapnya.

Baca juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik

Antara PNS dan Karyawan Swasta

Beberapa waktu lalu di Twitter, tagar #budakkorporat sempat trending. Seperti memutar kaset rusak berulang-ulang, tagar ini mayoritas berisi cuitan betapa pekerjaan sebagai karyawan swasta bahkan freelancer tak cukup digunakan untuk menopang hidup di tengah pandemi. Gaji yang byar pet byar pet, kepastian dan keamanan kerja yang nihil, jadi pertimbangan mengapa orang-orang yang bekerja di sektor ini merasa perlu mengidentikkan dirinya sebagai budak korporat.

Budak korporat sendiri menjadi terma yang peyoratif akhir-akhir ini. Sebab, itu tak lagi merujuk pada prestise mendapatkan pekerjaan di perusahaan, tapi justru terasosiasi pada jam-jam kerja panjang tanpa ujung, honor yang tak seberapa, dan ketidakpastian karier. Budak korporat adalah mereka yang umumnya bekerja dari jam 9 pagi hingga pukul 5 sore, terkadang harus lembur, dan cepat diganti oleh karyawan baru ketika kita cabut karena sakit, punya gangguan kesehatan mental, atau mati. Sebuah pil pahit yang sayangnya harus ditelan begitu saja.

Anita Fanny (27), penulis konten di start-up media bercerita pada saya, ia harus bekerja hingga pukul 9 malam ketika tenggat tulisan belum terpenuhi. Hasilnya, penyakit maag sudah jadi sahabat karib, ujarnya. Sebagai informasi, perempuan asal Bogor itu ditargetkan menulis 10 artikel saban harinya, di mana 1 artikel terdiri atas minimal 500 kata. 

“Harus ambil pekerjaan ini karena enggak punya pilihan. Masih untung punya pekerjaan di masa pandemi saat temen-temen gue banyak yang jadi pengangguran,” terangnya, (10/8).

Nyatanya, prestise bekerja dari kantor besar di pusat kota Jakarta tak membuat ia bahagia menjadi pekerja swasta. Karena itulah, ia sepakat jika dilabeli sebagai budak korporat. Sesuai teori, perusahaan tempat bekerja ia juga memiliki turn over karyawan ekstra tinggi, sehingga Fanny pun harus berpikir berulang kali jika mau mundur dari pekerjaannya sekarang.

Masalah prestise dalam Survei Pusat Kajian Reformasi Administrasi 2017 yang dikutip Tirto, cukup penting ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja, termasuk pekerja pemerintahan. Persentase orang yang memilih bekerja jadi PNS karena faktor prestise mencapai 29,9 persen dan berada di urutan ketiga sebagai alasan terkuat mengapa memilih profesi PNS. Sementara, mereka yang memilih profesi ini karena jaminan hidup hanya 4 persen. Alasan terbesar ada pada job security yang mencapai 60 persen serta alasan gaji yang mencapai 54, 5 persen. Mereka yang memilih PNS sebagai suatu pengabdian bahkan hanya 9 persen. Sedangkan yang memilih profesi PNS sebagai passion hanya berjumlah 1 persen.


Lepas dari angka-angka itu, profesi PNS maupun pekerja swasta memang menjanjikan masing-masing keuntungan, pun kerugian. Apa saja jalan yang kamu pilih, setidaknya kamu berpegang pada koentji bahwa kebahagiaan dalam pekerjaan adalah nomor wahid. Jika kamu bahagia dengan menjadi PNS, jalani, sebaliknya jika mau jadi pekerja swasta karena perkawa idealisme dan tetek bengeknya, ya lanjutkan. Tak ada pilihan benar dan salah.

Read More

Why Women Need Men as Allies In the Workplace?

In the struggle for advocating gender equality and fighting sexism in the workplace, women needs to involve men to become allies. Research has shown that in the absence of male support, women have to shoulder the burden of battling routine workplace sexism such as misogynist humor and microaggressions on their own. This can lead to a sense of isolation, stress and exhaustion.

But what difference can one un-sexist man make?

My colleagues and I had a hunch that the actions of individual male allies – even through simple acts such as highlighting the strengths of female colleagues or checking in on their well-being – might serve as a counterweight to the negative effects of everyday sexism. But not only that, we decided to study how that might impact men as well.

How to Behave Like an Ally

My colleagues and I tested these hunches in a new study published in the journal Psychology of Men and Masculinities.

We recruited 101 pairs of male and female colleagues employed in male-dominated departments across 64 research universities in the United States and Canada. We asked department heads to distribute our survey to female faculty members, and we then invited the women who responded to nominate a male colleague they work with regularly to take a companion survey.

Also read: Gender Inequality in Workplace and Women CEOs’ Failure to Recognize It

We asked the women to what extent the male colleague they nominated behaved as an ally and fight sexism in the workplace, such as by taking public stances on issues facing women and standing up when he sees discrimination. We also asked women if they felt like the colleague appreciated them – which is seen as a sign of inclusion – and how enthusiastic they felt working with him.

We asked the men to what extent they thought they behaved as allies, such as by reading up on the unique experiences of women or confronting sexist colleagues. We also wanted to know the extent to which they felt their support for women helped them “do better things” with their lives and acquire new skills that help them become a “better family member.” All answers were reported on a scale.

More Inclusion for Women, More Growth for Men

Just under half of women rated their male colleague as a strong ally. We found that women who perceived their male colleagues as allies reported higher levels of inclusion than those who didn’t, which is also why they said they experienced greater enthusiasm in working with them.

Also read: More Efforts Needed to Improve Gender Equality in Indonesia

In other words, having men as allies in male-dominated workplaces seems to help women feel like they belong, and this helps them function enthusiastically with their male colleagues on the job.

This pattern has important long-term implications. If women feel energized and included, they might be more likely to stay with their employer – rather than quit – and strive to fight sexism in the workplace.

Men who were more likely to act as allies to women reported proportionately higher levels of personal growth and were more likely to say they acquired skills that made them better husbands, fathers, brothers and sons. This tendency suggests the possibility that being a male ally creates positive ripple effects that extend beyond the workplace.

An Important First Step

Despite these promising results, our research has a few caveats.

Our study found men and women often have differing perceptions of who is an ally. For example, 37 percent of women whose male colleagues saw themselves as strong allies disagreed with that assessment. And just over half of the men who were perceived as strong allies by women didn’t see themselves that way.

Yet, men benefited from seeing themselves as allies whether or not their female colleagues agreed. And importantly, women gained from perceiving their male colleagues as allies, even when the latter didn’t view themselves that way.

Our findings are also limited given the small sample size. And we don’t know what the men who identified themselves as allies have actually done, if anything, to help women. But that may be somewhat beside the point.

Ultimately, even men’s mere signaling that they want to be good allies is an important first step toward a shift in the way many men have historically treated the women in their lives. We believe it also leads to more workplace equality and reducing sexism in the workplace.

When women perceive men as supportive colleagues, it makes them feel more integral to the workplace. This suggests a good starting point for men who want to be allies: find more ways to express that support at work.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Meg Warren is Associate Professor of Management, Western Washington University.

Read More
ilmuwan perempuan muslim

5 Ilmuwan Perempuan Muslim yang Sangat Berpengaruh di Dunia

Terlahir menjadi seorang perempuan tidak jadi batu sandungan untuk menciptakan suatu karya yang berkesan untuk dunia. Contohnya adalah para ilmuwan perempuan muslim berikut ini.

Mereka sangat pintar dan berani sehingga bisa melahirkan sesuatu yang mengubah dunia. Kesuksesan mereka tersebut membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa menjadi ilmuwan dan berperan dalam memajukan peradaban, tetapi perempuan juga. 

Yuk kita bahas lebih dalam mengenai ilmuwan  perempuan muslim yang sangat berpengaruh di dunia, dirangkum dari berbagai sumber berikut ini.

1. Ilmuwan Perempuan Muslim yang Ahli Matematika: Sutayta al-Mahamali

Sutayta merupakan nama ilmuwan muslim, yang merupakan seorang ahli Matematika abad ke-10. Ia sangat pintar dalam bidang aljabar. Kepandaian Sutayta dalam bidang Matematika tidak cuma didapatkanya dari sang ayah, Abu Abdallahal-Hussein. Sutayta juga memperoleh ilmu Matematika dari beberapa ahli Matematika pada zaman itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omarbin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafirbin Salamah al-Homsi.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Tidak hanya mahir di bidang tersebut, faktanya Sutayta al-Mahamali merupakan sosok perempuan yang punya pengetahuan yang sangat luas. Misalnya, ia memiliki keahlian dalam bidang hadis dan syariah. Tapi dari semua kelebihan yang ia miliki, ia lebih populer sebagai pakar matematika, khususnya aritmatika. Aritmatika adalah cabang ilmu Matematika yang mendalami bilangan bulat positif lewat penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada zaman tersebut, aritmatika menjadi cabang Matematika yang berkembang cukup baik, dan Sutayta menjadi salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sukses menemukan solusi sistem persamaan dalam Matematika. Keberhasilannya ini ternyata banyak berkontribusi terhadap pengembangan ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan Matematika lainnya.

2. Dr. Bina Shaheen Siddiqui

Prof. Dr. Bina Shaheen Siddiqui lahir di Pakistan pada tanggal 02 Februari 1948 dan merupakan ilmuwan perempuan muslim yang juga punya banyak kontribusi. Ia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Pakistan pada tahun 2001. Ia juga berhasil mendapatkan 12 paten, termasuk konstituen antikanker.

Mungkin kamu masih ada yang belum mengenalnya, namun hasil dari kerjanya sudah dipakai di seluruh dunia. Biarpun beliau lahir bukan dari keluarga kaya, ia sukses mendapatkan titel doktor (S3) dan sekarang ini ia dipercaya buat memegang jabatan sebagai Profesor HEJ Research Institute of Chemistry.

Baca Juga: Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Bina produktif dalam membuat riset di bidang pertanian serta obat-obatan. Karena itu, dalam tiga dekade terakhir ini, ia sangat banyak memperoleh penghargaan atas kinerja ilmiahnya itu.

3. Mariam Al-Ijiliya

 Mariam al-Ijliya nama ilmuwan muslim yang hidup pada abad ke-10 di Aleppo, Suriah. Dia merupakan cendikiawan yang namanya populer karena membuat rancangan serta membangun astrolabe. Astrolabe adalah piranti global positioning yang menentukan kedudukan matahari dan planet-planet. Piranti buatannya ini dipakai untuk keilmuan astronomi, astrologi, dan horoskop.

Astrolobe juga dipakai untuk melihat waktu dan sebagai navigasi dengan cara mencari lokasi lewat lintang dan bujur. Sedangkan untuk umat Muslim sendiri, astrolobe dipakai untuk memastikan arah kiblat, waktu shalat, dan awal Ramadhan serta hari raya Idul Fitri.

Mariam termasuk salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sangat sedikit diceritakan kiprahnya dalam sejarah. Sosok Mariam merupakan seorang perempuan berprestasi dalam dunia astronomi. Hal ini diceritakan dalam bibliografi oleh Al Fihrist Ibnu al-Nadim.

4. Ilmuwan Perempuan Muslim Bidang Kedokteran: Rufaida Al-Aslamia

Dikutip dari Saudi Gazette, Rufaida Al-Aslamia merupakan serorang ilmuan perempuan Islam yang tangguh dan tercatat dalam sejarah Islam. Dia merupakan perawat perempuan sekaligus dokter bedah pertama dalam dunia Islam.

Rufaida Al-Aslamia lahir pada 570 Masehi serta tinggal di Madinah, Arab Saudi. Ayahnya, Saad Al Aslami merupakan seorang dokter.

Rufaida termasuk dalam kelompok pertama yang menganut Islam di Madinah. Bersama kaum perempuan Ansor yang lain, dia ikut punya andil dalam penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Karena ayahnya merupakan seorang dokter, Rufaida yang pintar pun ikut terdorong mempelajari dunia kesehatan. Dia juga tertarik untuk merawat dan membantu pengobatan orang sakit.

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

Kemampuannya ini diperdalam dengan menangani banyak pasien dengan bermacam penyakit. Saat terjadi perang, Rufaida mengabdikan dirinya untuk ikut merawat korban akibat perang tersebut. Perempuan tangguh itu juga ikut serta dalam Perang Badar sebagai perawat, serta perang-perang yang lain seperti Perang Uhud, Khandaq dan Khaibar.

5. Profesor Nesreen Ghaddar

Nesreen Ghaddar merupakan insinyur dari Lebanon yang sudah dikenal banyak orang karena keberhasilannya. Dia merupakan profesor Teknik Mesin di American University of Beirut dan juga editor Journal of Applied Mechanics, Islamic World Academy of Sciences.

Tidak cuma itu saja, ilmuwan perempuan muslim ini sudah mendapatkan gelar Ph.D. dari MIT dan pada tahun 1984 memperoleh penghargaan makalah terbaik dalam bidang Termofisika dari American Institute of Aeronautics and Astronautics.

Read More
cara mengenali bakat diri sendiri

Baru Nyemplung ke Dunia Kerja? Ini 7 Cara Kenali Bakat Sendiri

Dulu ketika masih berada di Sekolah Dasar (SD), guru saya bertanya tentang bakat. Karena suka menulis, saya pun mengatakan kalau bakat saya menulis. Beranjak ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saya lebih sering menggambar ketimbang menulis. Teman saya pun spontan mengatakan, “Wah, lo bakat gambar ya.” Ketika itu, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya yang mana, sih bakat saya? 

Mungkin banyak dari kamu yang merasa relate dengan cerita ini. Bahkan, saking bingungnya mengidentifikasi bakat sendiri, teman saya ada yang berkata, “Bakat gue mah rebahan.”

Satu hal yang perlu kamu tahu, tak semua bakat itu terberi, tapi juga bisa kita pilih dan asah sendiri. Menurut saya, tak ada manusia yang sejak lahir memiliki kemampuan tertentu, akan tetapi, beberapa orang ada yang memiliki ketertarikan pada suatu aktivitas, karena itulah ia mulai mengasahnya hingga jadi bakat. Bagi saya, cara mengenali bakat diri sendiri banyak sekali jalannya, tergantung dari situasi dan kondisi individu tersebut. 

Baca Juga: 6 Hal yang Membuat Kamu Jadi Pemimpin Idola

Selain itu, menurut saya, ketika seseorang berusaha mencari tahu bakatnya, mereka sedang di fase memahami diri sendiri. Hal ini tentunya baik untuk kesehatan mental kita. Saat kita memahami diri sendiri, kita pun tahu apa disukai dan tidak, sehingga kita lebih mudah mengantisipasi stres.

Fase ini juga bagian dari upaya mencintai diri sendiri. Mencintai diri sendiri itu bentuknya beragam, kamu bisa memulai dengan memahami perasaan kamu, apa motivasi kamu, bagaimana pola pikir kamu terhadap masa depan, dan lain sebagainya. Dengan memulai dari situ, kamu bisa mencari tahu bakatmu.  

Nah, sembari memahami diri sendiri, kamu juga bisa mengeksplorasi kemampuan atau kelebihan yang kamu miliki. Untuk memulainya, yuk simak beberapa cara atau tips mengenali bakat diri sendiri berikut. 

1. Mulailah Membuka Diri pada Semua Hal

Terkadang, kita sering terpaku dengan satu hal dan melupakan banyak sekali kemungkinan. Perlu diingat, bakat bisa apa saja, tak cuma main gitar atau menulis prosa. Membaca reaksi atau bisa mengenali emosi-emosi yang lain secara akurat, itu juga merupakan sebuah kemampuan. Kamu jadi bisa mengembangkan bakatmu lebih dalam dan menjadi seorang criminal profiler contohnya.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

2. Kenali Bakat dari Aktivitas Saat Remaja 

Ada beberapa orang yang baru mengeksplorasi bakatnya di usia 20-30an, dan bingung ingin memulai dari mana. Kamu bisa memulai mengingat-ingat aktivitas apa sih yang sering kamu lakukan atau apa sih yang kamu banggakan saat remaja.

3. Gunakan Website atau Ikuti Kuis untuk Kenali Bakat Sendiri

Ketika sedang senggang, kamu bisa mengikuti kuis-kuis atau game di internet. Bentuk kuis dan gimnya beragam, dan biasanya terdiri dari pertanyaan-pertanyaan terkait dengan dirimu.

Tak hanya asyik dan seru, lewat gim ini, kamu juga bisa memahami dirimu seperti apa. Ya, sambil menyelam minum air, lah.

4. Cara Tepat Mengetahui Bakat Diri Sendiri dengan Berkonsultasi pada Psikolog

Jika kamu buntu saat mengeksplorasi bakatmu, jangan cemas, kamu bisa bertanya pada psikolog. Dengan bertanya kepada ahli, kamu bisa mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Namun, perlu kamu ingat, semua keputusan tetap berada di tangan kamu ya, pandangan dari psikolog itu cuma berfungsi untuk memberikan perspektif lain, bukan keputusan mutlak.

5. Evaluasi Hal-hal yang Kamu Kuasai untuk Kenali Bakat

Mungkin kamu orang yang serba bisa, namun sayangnya kamu tak tahu mana bakatmu. Cara mengetahui bakat diri sendiri ini , kamu bisa memulai mengevaluasi hal-hal yang sebelumnya kamu kuasai. Coba, deh berhenti sejenak dan berefleksi, mana hal yang kamu benar-benar ingin kamu kuasai lebih dalam? 

Namun sekali lagi, bakat itu terkadang hal-hal yang sebetulnya sulit buat kamu, atau sesuatu yang terkadang tidak terpikirkan oleh kamu. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk betul-betul melihat ke dalam diri.

6. Keluarlah dari Zona Nyaman untuk Mencari Bakatmu

Saya paham, beberapa di antara kita enggan keluar atau menjauh dari hal-hal yang membuat kita nyaman. Namun, hal ini sebetulnya bisa membantumu dalam mencari bakatmu. Ketika kamu keluar dari zona nyamanmu, kamu bisa menguji dan memperbaiki kemampuan yang kamu miliki.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

7. Proses Mencari Bakat Ini adalah Petualangan Menyenangkan

Lepas dari ini semua, jangan sampai proses kenali bakat ini dibawa stres ya! Anggaplah proses yang saat ini kamu jalani merupakan sebuah petualangan seru dan menyenangkan. 

Jangan terlalu memaksakan diri atau takut salah. Gunakan waktumu sebaik mungkin, kalau kamu lelah, kamu bisa beristirahat dulu kok. 

Read More
Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor

Pedihnya Nasib Ibu Tunggal Lawan Stigma di Kantor

Alih-alih menerima dukungan emosional dari masyarakat, ibu tunggal justru menghadapi stigma perempuan penggoda yang melekat pada dirinya. Seolah-olah tanggung jawab mencari nafkah sekaligus membesarkan anak belum cukup berat untuk dipikul.

Hal ini dihadapi oleh Devina (37). Saat bekerja sebagai account executive di perusahaan konstruksi, ia menerima ketidakadilan dari lingkungan kerjanya. Kejadian itu terjadi pada 2014, berawal dari HRD Manager-nya yang menempel daftar seluruh nama karyawan untuk medical check up. Sayangnya, status pernikahan turut dicantumkan di sana.

“Setelah daftar itu ditempel, sekantor jadi heboh dan sikap mereka berubah. Sebenarnya saya enggak mengingkari status janda atau ibu tunggal, tapi kan enggak perlu diumumkan ke semua orang,” tuturnya pada Magdalene, (3/8).

Sejak hari itu, banyak rekan kerjanya yang menggoda dan mengirimkan pesan di BlackBerry Messenger tengah malam, bahkan ia berhenti diajak makan siang bersama.

Devina mengatakan, ia dapat menghiraukan rekan kerja yang posisinya setara, tapi tidak dengan atasannya. “Atasan saya berusaha melakukan pendekatan, padahal dia sudah beristri. Awalnya saya menghindar, lalu saya tanya maunya apa, dia bilang ingin jadikan saya istri kedua. Ya saya menolak,” ceritanya, yang kemudian dibebani pekerjaan dari atasan tersebut hingga mengganggu kehidupan pribadinya.

Ibu dengan satu anak yang saat itu masih balita ini diminta mengurus proyek besar. Situasi itu memaksanya menangani proyek secara langsung bersama atasannya, bahkan kebanyakan rapat diminta di atas jam kantor. Alasan dari atasannya, yakni klien yang menentukan jadwal dan demi perkembangan karier Devina. 

Baca Juga: Sebuah Usaha Mendobrak Stigma, Cerita 3 Komunitas

Mengingat pekerjaannya saat itu, Devina menilai rekan kerja menganggapnya sebagai “paket komplet”, lantaran status pernikahan dan posisinya yang menuntut berpenampilan menarik dengan pakaian mini, makeup tebal, serta kepribadian akrab dengan semua orang.

“Rekan-rekan juga terlihat enggak suka dengan saya. Atasan saya itu loyal ke karyawan, tapi sejak tahu saya ibu tunggal, dia berhenti bersikap loyal ke yang lain. Mereka pikir dia hanya fokus ke saya, mungkin itu membuat mereka iri, jengkel, dan mengambil kesimpulan sendiri kalau saya godain dia,” ucap perempuan yang kini bekerja sebagai wirausaha. Ia menjelaskan, justru atasannya senang menghampiri mejanya.

Merujuk survei terhadap 7.500 karyawan penuh waktu oleh Gallup, sebuah perusahaan analisis dan penasihat di AS, perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dialami Devina merupakan alasan utama burnout dialami para pekerja.

Ketidakadilan ini termasuk bias, pilih kasih, menerima perlakuan buruk dari rekan kerja, hingga pemberian kompensasi yang tidak adil dan kebijakan perusahaan. Ikatan psikologis yang membuat pekerjaan bermakna akan rusak, ketika karyawan tidak memercayai rekan kerja dan atasannya.

Oleh karena itu, Devina memutuskan undur diri setelah mencoba bertahan selama setahun sejak kejadian tersebut. Hingga dia angkat kaki dari kantor sampai sekarang, tak pernah ada “maaf” dari HRD Manager atas kekeliruannya.

Perbedaan Perilaku pada Ibu dan Ayah Tunggal

Dalam keseharian, kita bisa melihat adanya bias perilaku masyarakat terhadap ibu dan ayah tunggal. Hal ini diutarakan oleh Marriage & Family Therapist dan Professor of Human Development and Family Science, Amanda Haire dan Christie McGeorge, dalam penelitian berjudul “Negative Perceptions of Never-Married Custodial Single Mothers and Single Fathers: Applications of a Gender Analysis for Family Therapists”.

Ayah tunggal dianggap memiliki sikap mengagumkan, karena memilih menghadapi tantangan dalam mengasuh anak sekaligus menyeimbangkan dating life. Sementara ibu tunggal diasumsikan harus mengasuh anak sebagai tanggung jawab atas perbuatan dan karakternya yang buruk sebagai individu, seperti kehamilan tidak diinginkan atau gagal mempertahankan hubungan.

Baca Juga: Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Bias tersebut turut dialami oleh Devina. Rekan kerjanya justru bersimpati dengan seorang ayah tunggal di divisinya.

“Dia tidak dianggap sebagai seseorang “berbahaya”, bahkan mereka bersikap baik dengannya. Terkadang, rekan-rekan perempuan memberikan makan siang dan menanyakan kabar anaknya,” ujar Devina.

“Kami sama-sama orang tua tunggal, bekerja di divisi Marketing, berpenampilan menarik karena tuntutan pekerjaan, dan bersikap humble. Tapi kenapa mereka enggak bisa memperlakukan saya seperti bapak itu?”

Sebagai masyarakat, kita memiliki peran dalam menghapus pandangan tersebut, karena baik ibu dan ayah tunggal memiliki kesulitannya dalam mengasuh anak. Tak hanya stigma pada ibu tunggal, pemikiran parenting pada perempuan bersifat natural dibandingkan laki-laki, secara tidak langsung telah meremehkan kemampuan mereka.

Pentingnya Dukungan Perusahaan

Perusahaan memiliki peran dalam menciptakan safe space untuk seluruh pekerjanya tanpa terkecuali, dan perlu membuat budaya kerja inklusif. Mengutip Harvard Business Review, perusahaan sebaiknya mempertimbangkan pemberian kompensasi terhadap orang tua tunggal, jika mereka diharapkan bekerja atau menghadiri acara kerja di luar jam kerja. Ini dikarenakan mereka perlu memberikan perhatian tambahan dalam mengatur pekerjaan.

Saat bekerja di perusahaan India selama dua tahun, Devina justru mengalaminya.  Atasannya meminta ia mengecek dokumen selama 1 jam setelah jam pulang kantor, ia pun menerima upah tambahan sebesar 30 persen dari upah bulanan.

Baca Juga: Ibu Tunggal dan Pencarian Cinta Kedua

Selain itu, ia merasa perusahaan lebih toleran terhadap perannya sebagai ibu tunggal. “Terkadang saya datang agak terlambat dan atasan saya bisa memaklumi, katanya urusan saya lebih banyak daripada pekerja perempuan lainnya,” ucapnya.

Bagi Devina, perusahaan dapat memberikan dukungan pada ibu tunggal sesederhana memperlakukan mereka seperti pekerja lainnya.

“Kami enggak minta diperlakukan khusus, minimal perlakukan seperti pekerja lainnya. Dukungan juga enggak harus berwujud materi, dengan kata-kata dan perhatian sudah cukup,” ujarnya.

Ia berharap tidak ada perusahaan lain yang mengumumkan status pernikahan ke semua orang, sebagaimana dialaminya. “Setiap ibu tunggal kesiapannya berbeda, ada yang bersedia memberi tahu dan enggak, tergantung proses healing masing-masing. Jangan sampai kejadian itu membuat ibu tunggal semakin terpukul,” tutupnya.

Read More

7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Menjadi perempuan tidak menjadi hambatan untuk membuat hal-hal baru atau jadi seorang pemimpin. Sejak dulu ada pahlawan perempuan seperti R. A. Kartini yang sangat memperjuangkan hak-hak perempuan. Jasanya untuk mengusung pendidikan bagi kaum perempuan menunjukkan, perempuan juga memiliki andil yang besar bagi kemajuan bangsa Indonesia. Meski sosok Kartini sudah tiada, sekarang ini sudah hadir Kartini-Kartini masa depan yaitu perempuan Indonesia yang inspiratif dan pantas dijadikan panutan.

Perempuan-perempuan ini punya prestasi di bidangnya masing-masing dan memberikan pengaruh sangat besar di Indonesia. Tidak cuma mendapatkan prestasi buat diri sendiri saja, tetapi mereka juga bisa membuat perubahan untuk hal yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang. 

Perempuan-perempuan Indonesia ini sangat menginspirasi karena kinerja dan perjuangannya, bukan karena sensasi belaka. Penasaran tidak dengan para perempuan inspiratif tersebut? Yuk kita simak beberapa di antaranya.

1. Nyai Masriyah Amva, Ulama Perempuan Inspiratif dari Cirebon

perempuan inspiratif Nyai Masriyah Amva

Masriyah Amva, biasa dipanggil Nyai Masriyah, merupakan pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy di Cirebon, Jawa Barat. Beliau merupakan sosok yang sangat ramah serta  dikagumi oleh para santrinya karena berhasil melakukan banyak terobosan. Ia adalah ulama perempuan inspiratif, dan dalam perjalanannya, tentu saja ia banyak menghadapi banyak tantangan.

Baca juga: 5 Tokoh Perempuan Pembuat Kebijakan di Sektor Ekonomi dan Keuangan

Tumbuh di lingkungan pesantren, ayah dan kakek Nyai Masriyah merupakan para ulama terkemuka di Cirebon. Orang tuanya lumayan progresif. Sang ayah, Amrin Khanan ingin semua anaknya menjadi ulama. Nyai Masriyah kemudian belajar di Pesantren Al-Muayyad Solo dan Pesantren Al-Badi’iyyah Pati di Jawa Tengah, serta Pesantren Dar Al-Lughah wa Da’wah di Bangil, Jawa Timur.

Sebagai seorang ulama perempuan yang berteguh pada interpretasi ajaran Islam yang berkesetaraan gender, Nyai Masriyah bukanlah sosok yang suka memaparkan banyak teori. Ia lebih suka memberikan contoh dalam perbuatan sehari-hari atau lewat perbincangan santai bersama santri dan guru.

“Saya sering mengarahkan mereka bahwa perempuan dan laki-laki itu memiliki kesadaran dan kesempatan yang sama, kalau sandaran kita sama. Kalau perempuan bersandarnya kepada Tuhan, laki-laki juga begitu. Maka, kekuatannya sama,” kata Nyai Masriyah

2. Perempuan Inspiratif dalam Bidang Pertambangan: Retno Nartani

Perempuan Inspiratif dalam Bidang Pertambangan: Retno Nartani

Lulusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini telah berkecimpung di bidang pertambangan selama lebih dari 30 tahun. Ia sudah pernah di berbagai posisi di bidang tersebut, mulai dari engineer, superintendent, general manager, hingga direktur.

Sekarang, ia menjabat sebagai Direktur HSE Corporate di Sinar Mas Mining. Sebelumnya, perempuan inspiratif ini juga pernah menjadi direktur operasional di PT Borneo Indo Bara.

Sepak terjang Retno di bidang pertambangan membuahkan penghargaan untuknya pada 2020 lalu sebagai Best Woman in Mining ajang Temu Profesi Tahunan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ke-29.

3. Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

pengusaha perempuan sukses Susi Pudjiastuti

Populer karena karakternya yang tegas dan komentar-komentar kritisnya terhadap pemerintah, Susi Pudjiastuti dikenal masyarakat sejak ia diberi mandat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) pada periode lalu.

Baca juga: 6 Pengusaha Perempuan Sukses dan Ternama Dunia, Idolamu Termasuk?

Perempuan inspiratif Indonesia ini lahir di Pangandaran, Jawa Barat, pada 15 Januari 1965. Ia memulai kariernya sebagai pengusaha perempuan pada tahun 1983 sebagai distributor makanan laut. Dari situ, bisnisnya pun berkembang dan pada tahun 1996 meluncurkan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan nama produk “Susi Brand”. Ia juga mulai melebarkan sayapnya di Asia dan Amerika.

Permintaan yang semakin besar atas produk PT ASI Pudjiastuti menimbulkan kebutuhan untuk transportasi udara untuk distribusi. Pada tahun 2004, Susi mendirikan perusahaan penerbangan PT ASI Pudjiastuti Aviation yang mengoperasikan pesawat Cessna 208 Caravan. Pesawat Cessna tersebut diberi nama Susi Air. Pesawat ini dipakai Susi untuk pengiriman makanan laut segar ke Jakarta, serta Singapura, Hong Kong, dan Jepang.

4. Martha Tilaar Pebisnis Perempuan yang Inspiratif

Perempuan inspiratif Martha Tilaar

Perempuan inspiratif asal Indonesia ini membangun perusahaan kosmetik dan berbagai layanan kecantikan Martha Tilaar Group. Martha memulai usahanya dari nol, memulai dari modal yang sedikit, dengan mengubah garasi rumahnya. Meski ia lulusan akademi kecantikan di Amerika Serikat, perjalanan karier yang kemudian ditempuhnya ketika pulang ke Tanah Air tidaklah mudah.

Martha, yang lahir pada 1937 dengan nama Martha Handana, mengatakan bahwa cara pandang, sistem, dan budaya di masyarakat terkait perempuan sering kali menyandung langkah mereka dalam berkarier.

Menurutnya, dahulu itu perempuan kalau mau berutang ke bank itu sangat sulit karena pihak bank tidak percaya. Akhirnya, ia pergi ke Singapura untuk meminjam ke bank sebagai modal usaha. Di Indonesia menurutnya sangat aneh karena perempuan dipersulit untuk membuka usaha, padahal sudah ada prestasinya.

Baca Juga: Pebisnis Perempuan Grace Tahir dan Passion di Bidang Kesehatan

Keberhasilan kariernya tidak membuat Martha berhenti pada keinginan untuk membuat produk dan layanan kecantikan demi profit semata. Ia juga punya cita-cita kuat untuk bisa memberdayakan perempuan dan mengajarkan esensi kemandirian finansial sebagai sebuah hal penting yang bisa menyelamatkan mereka. Salah satu cita-citanya adalah untuk mencegah perdagangan perempuan.

5. Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Anne Patricia Sutanto

Awalnya, perempuan inspiratif Indonesia ini tidak punya niatan untuk terjun dalam dunia bisnis. Saat muda, ia lebih terarik dalam bidang hukum dan bercita-cita masuk sekolah hukum di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada. Namun, sang ayah menyarankan Anne untuk sekolah ke Amerika Serikat.

Pada 1990, ia bersekolah di University of Southern California (USC), AS, mengambil jurusan teknik kimia. Saat ia sudah menginjak semester dua, ayahnya terserang penyakit stroke. Akibatnya, perusahaan harus dijalankan oleh anak-anaknya, namun saat itu kakak Anne tidak bersedia.

Akhirnya ia berbicara ke ayahnya untuk melanjutkan bisnis yang ayahnya sudah bangun. Pada tahun 1992, Anne lulus kuliah dan sesuai dengan janjinya pada sang ayah, ia pun langsung bekerja di PT Kayu Lapis. Ia langsung menghadapi tantangan karena dianggap tidak memiliki latar belakang bisnis.

Dari sana ia berpikir bahwa ilmunya mungkin masih sangat kurang, dan memutuskan untuk kuliah lagi dan mengambil program MBA di bidang keuangan di AS selama satu tahun. Setelah lulus, ia langsung kembali ke PT Kayu Lapis, namun ternyata pamannya tetap tidak menerima Anne. Ia pun didepak keluar di pertengahan 1996 dan pindah ke tempat lain.

Baca Juga: 11 Pengusaha Perempuan Indonesia Sukses Membangun Bisnis Sendiri

Saat ia mau dipanggil interview, paman dari pihak ibu mengajak Anne untuk mengakuisisi PT Pan Brothers. Awalnya ia memang sedikit enggan sebab tidak mau menghadapi situasi kerumitan hubungan keluarga yang sama seperti di PT Kayu Lapis. Namun, sang paman menjanjikan akan memperlakukan Anne sama dengan pegawainya yang lain, dan ia akan mengarahkan Anne secara langsung. Saat ini, Anne menjabat sebagai wakil CEO di PT Pan Brothers.

Selama pandemi,  PT Pan Brothers justru mencatatkan penjualan sebesar US$326 juta sepanjang semester I 2020, naik 15 persen dari US$284 juta pada semester I tahun 2019. Ini tidak lepas dari kiprah Anne selama bekerja di sana. Pengalaman-pengalaman yang ia dapat selama bertahun-tahun secara tidak langsung telah mematangkan kemampuannya dalam berbisnis dan beradaptasi dengan segala situasi sampai sekarang.

6. Ines Atmosukarto, Perempuan Inspiratif di Bidang Sains

Dr. Ines Atmosukarto

Ines Atmosukarto merupakan seorang peneliti vaksin dan doktor di bidang Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Adelaide Australia, tempat ia menempuh pendidikan S1 sampai S3. Ia kini menjadi CEO perusahaan Australia, Lipotek Pty, Ltd, perusahaan rintisan di bidang bioteknologi yang berpusat di Canberra, Australia. Perusahaan ini berfokus pada pengembangan teknologi vaksin, objek yang menjadi pusat perhatian seluruh dunia saat ini.

Ternyata sosok perempuan inspiratif ini merupakan perempuan ilmuwan Indonesia pertama, dan satu dari lima ilmuwan dunia yang berhasil mendapatkan UNESCO L’Oreal Fellowship for Women in Science pada 2004.

7. Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip

Pengusaha Perempuan Di Balik Brand Ketak Nusantara

Dian Eka Purnama Sari merupakan perempuan inspiratif Indonesia yang sekarang ini sedang sibuk mengembangkan sebuah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yang sebelumnya masih dikelola oleh kedua orang tuanya.

Baca Juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Alih-alih memilih banyaknya alternatif pekerjaan yang ditawarkan kota-kota besar bagi lulusan universitas seperti dia, perempuan 23 tahun itu malah mengambil pilihan yang penuh tantangan di lingkaran ekonomi skala lokal, yakni di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam semangat yang dibawanya, Dian ingin memulai inovasi digital dari pelaku UMKM, yang menurutnya belum banyak dikerjakan oleh pengusaha Lombok.

Ketergantungan para pelaku UMKM pada acara-acara kerajinan yang diselenggarakan pemerintah–dan kini jadi sepi lantaran pandemi–membuat banyak UMKM perlu memutar otak dalam bertahan di situasi penuh kemungkinan ini. Namun, dalam upaya Dian keluar dari situasi tersebut, ia kerap terjebak dalam perdebatan dengan orang tuanya yang masih menganggap pasar digital bukanlah hal yang mesti disentuh.

Itulah tujuh perempuan inspiratif asal Indonesia yang bisa kamu jadikan role model. Masing-masing punya prestasi di bidangnya sendiri dan tidak pernah menyerah untuk mendapatkan kesuksesannya. 

Read More

Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Saya punya kesamaan dengan Jenna Rink versi 13 tahun dalam film Hollywood 13 Going 30, yakni memiliki impian menjadi perempuan sukses di usia 30-an. Bedanya, saya tidak bisa ‘mengintip’ masa depan untuk melihat apakah saya sudah sukses di umur itu seperti Jenna. Dalam film, dirinya versi 30 tahun adalah perempuan pemimpin sukses dan berdikari. Jika dilabelinya dengan istilah populer saat ini, dia adalah seorang girl boss

Namun, kesuksesan Jenna juga memiliki sisi gelap karena nyatanya dia menggunakan cara manipulatif untuk mencapai posisinya. Situasinya itu selaras dengan istilah girl boss, yang dalam satu sisi meninggikan perempuan, tapi di saat bersamaan bukan pemberdayaan yang baik.

Perempuan yang bekerja keras, visioner, dan memiliki agensi memang sudah ada sejak dulu, tapi melabeli mereka dengan girlboss bisa dibilang baru. Istilah itu kali pertama muncul pada 2014 lewat memoir #Girlboss karya pebisnis perempuan Sophia Amoruso. Pemilik Nasty Gal, bisnis pakaian untuk perempuan muda itu mengatakan, kunci agar perempuan meraih kesuksesan ialah dengan hustle culture atau menjadi perempuan yang bekerja keras untuk berada di posisi atas. Pesan dari Amoruso tersebut awalnya disambut baik karena banyak perempuan yang merasa terinspirasi dan divalidasi kerja kerasnya. Selain itu, pesannya menunjukkan dukungan pada perempuan yang bekerja mencapai posisi strategis. 

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Namun istilah girl boss, buku dan gerakannya, juga dikritik karena memberikan kekuatan yang elitis dan tidak inklusif untuk semua perempuan. Alih-alih menjatuhkan sistem yang merugikan perempuan di tempat kerja bersama-sama, girl boss menyampaikan simbol sukses adalah mendaki sistem yang menyakiti perempuan di ranah kerja tanpa niat untuk menghancurkannya. 

Mengutip sebuah artikel dari The Atlantic yang ditulis Amanda Mull, sistem yang mengeksploitasi perempuan tidak berubah. Perempuan yang memotori hal ini dengan membentuk kembali struktur berbahaya yang diwujudkan laki-laki. 

Pendapat bahwa girl boss tidak sepenuhnya aksi yang mengangkat perempuan semakin diperkuat dengan mantan pekerja Nasty Gal yang menuntut dan melaporkan Amoruso sebagai pemimpin eksploitatif, menciptakan ruang kerja yang toksik, hingga memutus kontrak kerja secara sepihak karena alasan kehamilan. 

Feminis Casira Copes untuk media The Pink menyatakan, girl boss bukan gerakan pemberdayaan perempuan karena bergerak di bawah struktur kapitalisme yang melabeli dirinya sebagai feminisme. Girl boss mendefinisikan dirinya sebagai aksi dari dan untuk perempuan tanpa menyadari dampak bahaya yang diberikannya. 

“Feminisme girl boss tergolong dalam aksi neoliberalisme. Ia mengajak perempuan untuk mengambil alih kapitalisme dan mambuatnya bekerja untuk mereka,” tulis Copes. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Reputasi Jelek ‘Girlboss’

Kritik tentang budaya girl boss memang tidak ada hentinya. Media The Boar menyatakan girl boss mengomodifikasi feminisme seutuhnya untuk bisnis. Belum lagi media Refinery29 yang menuliskan girl boss mengecilkan perempuan dengan pilihan kata ‘girl’ karena laki-laki yang memimpin tidak mungkin disebut boy boss. Singkatnya, girl boss disebut sebagai kuda Troya seksis karena dari luar tampak mengangkat perempuan, tetapi menolak agensi mereka untuk menjadi perempuan pemimpin yang ‘dewasa’. 

Senada dengan tanggapan itu, dikutip dari Vox, Alexandra Solomon, akademisi gender di Northwestern University mengatakan, label bos perempuan korporasi memberikan perempuan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan untuk orang-orang di sekitar mereka, tetapi kata ‘girl’ juga menunjukkan aspek dan sistem tradisional yang secara historis ‘mengerdilkan’ perempuan. 

Redupnya minat terhadap girl boss juga berkaca pada naik-turunnya gerakan menguatkan perempuan di ranah kerja, Lean In. Gerakan itu dipelopori Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer dari Facebook lewat bukunya Lean In: Women, Work, and the Will To Lead

Sama dengan #Girlboss, Lean in menyampaikan pesan bahwa perempuan bisa mendapatkan karier sukses dan hidup pribadi yang berimbang dengan menjadi perempuan yang bekerja keras. Pesan itu kemudian dinilai hidup dalam gelembung dan tidak melihat realitas atau mempertimbangkan upaya dan tantangan khusus yang dihadapi ibu bekerja. Michelle Obama pun mengatakan lean in bukan resep mujarab perempuan bisa mendapatkan semuanya karena kadang hal itu tidak bisa bekerja dalam situasi tertentu. 

Copes berpendapat, tidak semua gebrakan dari perempuan paham seutuhnya tentang perjuangan atau tujuan keadilan untuk terbebas dari eksploitasi yang sarat nilai patriarki atau kapitalisme. Feminisme pun bukan gerakan individu, melainkan aksi bersama yang inklusif terhadap pengalaman perempuan dengan tujuan untuk menguatkan. 

Baca juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim

‘Girl Bossdi Media Sosial

Girl boss sudah mendapatkan reputasi buruk. Serial Girlboss yang diangkat dari buku Amoruso juga mendapat tanggapan yang beragam dan dibatalkan Netflix setelah musim pertama. 

Di media sosial, perkara bos perempuan korporasi juga menjadi bahan bulan-bulanan atau meme dengan kata-kata gaslight, gatekeep, dan girl boss. Istilah perempuan sukses juga mengindikasikan seseorang dengan kuasa yang melakukan kebohongan, diskriminasi, dan mengeksploitasi. Candaan tersebut juga memiliki nilai sarkastik yang dimaksudkan untuk menghibur. 

Tidak jarang juga tiga kata itu disebut sebagai versi baru dari Live, Love, Laugh yang menunjukkan semangat positif palsu, kemudian mendapatkan pasangannya manipulate, mansplain, dan malewife (laki-laki yang bertolak belakang dengan stereotip bos perempuan korporasi sebagai perempuan ambisius). Dalam budaya internet, media Vox  menyatakan, jika girl boss direduksi sebagai bahan candaan dan mengejek pelaku korporat eksploitatif, maka bos perempuan korporasi kehilangan kekuatan untuk menyakiti orang lain. 

Perubahan pemaknaan itu juga ada dalam tren media sosial yang menyebut perempuan fiktif, seperti Vanessa Doofenshmirtz dari kartun Phineas and Ferb, Santana Lopez dari Glee, dan Senju Kawaragi dari Tokyo Revengers sebagai girl boss karena kuat, berdaya, dan memiliki agensi. 

Jika bos perempuan korporasi dilepaskan seutuhnya dari pemahaman Amoruso yang ingin merebut patriarki atau kapitalisme untuk dirinya tanpa mengubah sistem, kemudian mengarahkannya menjadi gerakan inklusif untuk perempuan di ranah kerja, Perempuan jadi pemimpin bisa dipandang dengan cara baru. 

Diumpamakan dalam film The Devil Wears Prada, girl boss bisa menjadi Miranda Priestly, pemimpin perempuan yang melakukan gaslight dan gatekeep. Tetapi, jika dimaknai sebagai semangat pekerja perempuan, asistennya Andrea Sachs juga bisa menjadi girl boss karena memiliki ambisi untuk menjadi jurnalis yang baik, walaupun sempat terjebak di lingkar industri fashion toksik. 

Read More

Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan

Atlet senam perempuan Amerika Serikat Simone Biles baru saja memberi kabar mengejutkan kemarin di tengah perhelatan olahraga akbar Olimpiade Tokyo 2020. Perempuan kulit hitam kelahiran 14 Maret 1997 ini urung hadir dalam final tim beregu putri, (27/7) setelah penampilannya dinanti-nantikan publik mancanegara.

Setelah meninggalkan tim beregu putri sebelum final berlangsung, dan berujung pada diraihnya medali perak oleh tim AS, Biles berbicara kepada pers tentang keputusannya itu. Ia mengaku tidak sedang mengalami cedera fisik, tetapi ia merasa vault (salah satu manuver dalam senam lantai menggunakan meja lompat) yang dilakukannya masih kurang, dan Biles khawatir itu berdampak buruk terhadap performa timnya.

Sesaat sebelum Biles mundur, ia berencana melakukan Amanar, salah satu vault terpelik dalam senam lantai putri. Namun, ia gagal melakukannya dengan sempurna.

“Saya merasa lebih baik bila saya duduk di belakang dan berfokus pada mindfullness saya. Saya tidak mau tim berisiko kehilangan medali karena kesalahan saya,” kata Biles.

Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Simone Biles Peduli Isu Kesehatan Mental

Sebagai atlet senam perempuan Amerika yang prestasinya diakui dunia, Biles merasakan betul beban besar yang diembannya. Hal ini ditulisnya dalam sebuah unggahan di akun Instagram, @simonebiles, (26/7).

“Ini bukanlah hari yang mudah atau yang terbaik dari saya, tapi saya melaluinya. Saya benar-benar mengemban beban berat di pundak saya berulang kali. Saya tahu, saya mencoba mengabaikannya dan membuat tekanan itu tidak terlihat memengaruhi saya. Sialnya, kadang ini berat, hahaha! Olimpiade bukanlah hal remeh!” tutur Biles.

Dalam kesempatan lain, Biles juga mengakui betapa stresnya ia menjalani persiapan tampil di Olimpiade. Ia bahkan sempat gemetar dan sulit istirahat, suatu hal yang tidak pernah ia alami dalam kompetisi-kompetisi terdahulu.

“Saya mencoba keluar, bersenang-senang dan setelah pemanasan, saya merasa lebih baik. Namun begitu saya datang ke sini [arena kompetisi], saya merasa, tidak, mental saya tidak di situ. Saya perlu teman-teman tim saya melakukannya [melanjutkan kompetisi] dan berfokus pada diri saya sendiri,” kata Biles.

Pernyataan-pernyataan Biles ini menunjukkan betapa tinggi kesadarannya akan pentingnya kesehatan mental bagi orang-orang yang terus disoroti publik seperti dirinya. Dalam Huffingtonpost dinyatakan, Biles mengambil keputusan besar ini karena terinspirasi dari tindakan atlet tenis dunia asal Jepang, Naomi Osaka, yang juga menekankan hal serupa dalam dunia olahraga. Pada Mei 2021 lalu, Osaka pun sempat menarik diri dari kompetisi French Open dengan alasan mengutamakan kesehatan mentalnya.

Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri.

Ucapan-ucapan Biles lainnya kepada pers sehubungan dengan kesehatan mentalnya mengandung pesan besar nan menguatkan bagi orang-orang, tidak hanya di kalangan atlet, tetapi juga masyarakat secara umum.

“Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri,” kata Biles.

Atlet Senam Perempuan AS yang Ukir Sejarah

Meski banyak orang menyayangkan keputusan Biles, upayanya mengusung kesadaran akan kesehatan mental tersebut patut diacungi jempol, begitu pula sederet prestasi yang sudah diraihnya.

Britannica mencatat, Biles telah tertarik pada senam sejak berusia enam tahun. Sejak itu, ia mengasah minat dan bakatnya di bawah didikan pelatih Aimee Boorman dan dipayungi oleh Bannon’s Gymnastic. Capaian awal Biles mencakup medali emas dalam kategori floor exercise dan perunggu dalam kategori vault pada ajang Women’s Junior Olympic National Championships 2010.

Sumber: Reuters/Lindsey Wasson

Usaha dan determinasi Biles mengantarkannya kemudian pada capaian-capaian lebih membanggakan. Pada 2013, ia memenangi gelar all-around dalam kejuaraan senam dunia yang pertama kali dia ikuti. Tahun itu, ia menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang meraih gelar tersebut. Dua tahun berturut-turut setelahnya, Biles terus mencetak kemenangan di ajang serupa.

Kemenangan-kemenangan Biles ini membuatnya mengukir sejarah sebagai atlet senam Amerika (baik dari kategori laki-laki maupun perempuan) yang paling banyak mengantongi medali dari kejuaraan dunia. Tidak hanya itu, 10 medali emas dari kejuaraan dunia yang diraihnya juga menjadi jumlah paling tinggi yang pernah dicapai atlet senam perempuan dalam sejarah olahraga.

Pada November 2018, meski sempat mengalami masalah batu ginjal, Biles kembali menorehkan prestasi dengan memenangi enam medali dalam Kejuaraan Dunia di Doha, Qatar. Catatan gemilang ini dibuatnya setelah sempat hiatus dari kompetisi senam pada November 2016, dan baru kembali pada Juli 2018. Dilansir situs resmi Federasi Senam Internasional, keputusan Biles untuk mengosongkan waktu dari kompetisi senam tidak lepas dari keinginannya untuk lebih memperhatikan dirinya dulu dan menikmati masa sekarang.

Penulis autobiografi bertajuk Courage to Soar (2016) ini juga dikenal di dunia olahraga karena telah melakukan berbagai gerakan senam fenomenal yang akhirnya dikenal dengan namanya, “The Biles”. Vault ini merupakan pembaruan dari vault “Cheng”, yang terkenal sebagai salah satu vault paling sulit, dan dilakukan pertama kali oleh Biles dalam kamp seleksi Kejuaraan Dunia 2018. Keberhasilannya menampilkan vault ini dalam proses kualifikasi membuat namanya terpatri untuk manuver tersebut. Sampai Juli 2021, belum ada orang lain yang berhasil menaklukkan vault Biles ini. Selain vault, nama Biles juga diabadikan dalam gerakan di kategori balance beam dan floor exercise.

Di samping itu, belum lama ini Biles juga menaklukkan vault Yurchenko double spike yang dianggap sangat berbahaya sehingga tidak ada pesenam perempuan lain yang mencobanya. Risiko yang ditimbulkan bila vault ini gagal dilakukan adalah cedera leher atau kepala yang serius. Keberhasilan Biles melakukannya setelah 18 bulan tidak berkompetisi akibat pandemi viral di media dan semakin mengilapkan kariernya.

Kendati telah melakukan manuver sulit tersebut, juri memberinya nilai 6,6, poin yang di bawah ekspektasi Biles. Dalam berita The New York Times Mei lalu, terdapat spekulasi bahwa salah satu alasan juri melakukan hal itu adalah adanya perhatian terhadap masalah keselamatan para pesenam yang tidak semahir Biles. Dengan memberi nilai awal rendah, federasi diam-diam mendorong pesenam lain untuk tidak melakukannya. Ada juga dugaan bahwa hal ini terjadi lantaran ada kekhawatiran Biles terlalu jago sehingga ia bisa saja melenggang mulus di kompetisi mana pun, tidak seperti kompetitor lainnya.

Kendati ada kondisi seperti ini, Biles tidak ragu untuk kembali melakukan vault ini kemudian hari. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Karena saya mampu”.

Simone Biles Alami Kekerasan Seksual sebagai Atlet

Di balik catatan-catatan membanggakan Biles, rupanya atlet senam perempuan Amerika ini punya pengalaman kelam sebagai korban kekerasan seksual selama terjun di dunia olahraga.

Pada Januari 2018, The Guardian mewartakan, Biles menjadi salah satu korban kekerasan seksual dokter tim senam AS, Larry Nassar. Laki-laki ini telah divonis penjara 60 tahun akibat kasus pornografi anak, dan sudah melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 140 perempuan dan anak perempuan dengan modus perawatan medis.

Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar… Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.

Biles membuat pengakuan panjang lewat Twitternya yang mengundang banyak simpati. Melekatkan tagar #MeToo dalam unggahannya, Biles mengungkapkan, “Banyak dari kalian yang mengenal saya sebagai sosok periang dan energik, tetapi saya belakangan merasa sedikit hancur dan semakin saya mencoba bungkam, suara di kepala saya makin lantang terdengar… Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar. Percayalah saat saya berkata ini jauh lebih sulit untuk mengungkapkannya terang-terangan pada awalnya dibanding sekarang saat saya menuliskannya di atas kertas. Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.”

Perkara kekerasan seksual pada atlet senam perempuan seiring dengan seksualisasi terhadap mereka. Hal tersebut belum lama ini diangkat oleh para atlet senam perempuan dari Jerman yang memilih memakai longtards (dikenal juga dengan unitards), pakaian panjang yang menutupi tubuh atlet dan biasanya dipakai untuk alasan religius saja, dalam Olimpiade Tokyo 2020.

Dikutip dari Business Insider, aksi protes terhadap seksualisasi pesenam ini dimulai sejak April lalu saat atlet senam Jerman Sarah Voss mengenakan pakaian serupa di Kejuaraan Senam Artistik Eropa.

Dalam wawancaranya dengan BBC, Voss mengatakan aksi tersebut dilakukannya agar para pesenam muda lainnya merasa aman.

Read More
apa itu politik kantor

Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Perempuan sering kali dianggap sebagai multitasker yang lebih baik daripada laki-laki. Ini karena mereka terlihat “mampu” mengerjakan berbagai macam hal pada saat yang sama. Sebagian perempuan pun mengamini kemampuan multitasking yang mereka punya sebagai suatu keunggulan, padahal ada plus minus melakukan multitasking yang perlu kita ketahui.

Para psikolog telah menemukan berbagai kerugian dari multitasking. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa multitasking dapat mengurangi tingkat produktivitas. Sedangkan dalam riset-riset lain, sejumlah ahli bahkan mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan multitasking sama sekali.

Contohnya, ketika Anda menelepon sambil menyetir, kemampuan menyetir Anda memburuk karena perhatian Anda terbagi. Hukum yang memperbolehkan menelepon ketika menyetir asalkan tidak memegang teleponnya salah kaprah karena distraksi selama mengemudi tidak berkaitan dengan penggunaan tangan Anda.

Meski begitu, beberapa hasil penelitian lain justru berkesimpulan bahwa multitasking justru mendatangkan banyak manfaat. Suatu studi menunjukkan bahwa berbicara di telepon selama perjalanan yang panjang dan menjemukan dapat membantu pengemudi menjadi lebih waspada. Studi lain juga menerangkan bahwa murid yang duduk dalam kelas yang “membosankan” justru lebih baik bila mereka mencoret-coret buku atau kertasnya karena kombinasi aktivitas tersebut dapat membuat pikiran mereka tetap terjaga.

Sebagai seorang yang meneliti tentang cara kerja pikiran secara umum, penemuan-penemuan yang tampaknya bertolak belakang ini sangat menarik. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah multitasking adalah suatu hal yang baik, buruk atau bahkan sesuatu yang mustahil? Berikut ini plus minus melakukan multitasking dalam bekerja atau belajar yang saya temukan.

Multitasking Membuat Fokus Berkurang

Apa yang seringkali disebut sebagai multitasking adalah sesuatu yang para psikolog kenal sebagai rapid task-switching atau peralihan tugas dengan cepat.

Contohnya, saat Anda menjawab pesan di telepon selama menonton film, perhatian Anda terbagi antara film tersebut dan pesan di layar telpon Anda. Anda tidak benar-benar memperhatikan keduanya pada saat yang bersamaan. Selagi Anda membaca pesan, pasti ada bagian film yang Anda lewatkan.

Baca juga: Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini

Ini yang dimaksud para ahli psikologi saat mereka mengatakan bahwa multitasking mustahil dilakukan. Perhatian dan kesadaran Anda hanya bisa diberikan kepada satu hal dalam suatu waktu tertentu, sehingga Anda tidak dapat melakukan dua tugas pada saat yang bersamaan.

Terlebih lagi ada harga yang harus dibayar saat Anda mengalihkan perhatian Anda dari tugas yang satu ke tugas yang lainnya. Akan ada jeda saat Anda beralih dari satu tugas ke tugas yang lain, yang sering kali diiringi oleh penurunan dalam performa Anda.

Hal tersebut tidak menjadi masalah saat Anda menghabiskan satu jam untuk melakukan suatu hal sebelum beralih ke tugas lain, sebab kerugian yang dialami dari peralihan tugas tersebut tidak begitu terasa. Namun, apabila Anda berganti tugas setiap beberapa menit atau bahkan tiap beberapa detik, beban kognitif dari peralihan pekerjaan tersebut dapat menghalangi kinerja Anda.

Bayangkan jika untuk tiap kali Anda beralih pekerjaan, Anda kehilangan dua puluh lima sen. Jika misalnya Anda menggeser fokus dari pengajar di kelas kepada layar ponsel hanya sekali atau dua kali dalam sehari, itu bukan suatu masalah besar. Namun, apabila Anda melakukannya berkali-kali dalam satu hari, Anda harus merogoh kocek cukup dalam.

Menghitung Biaya Multitasking

Untuk tugas-tugas tertentu, seperti mengidentifikasi gender pada wajah lalu beralih kepada mengenali ekspresi pada wajah tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk berganti fokus hanya sekitar 200 milidetik. Namun, bahkan jeda waktu yang demikian kecil dapat mengurangi produktivitas sebanyak 40 persen apabila Anda mencoba belajar sambil menonton film.

Penemuan seperti ini lahir dari riset di bidang psikologi kognitif saat para peneliti akan mengamati orang-orang dalam laboratorium yang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan di komputer yang membutuhkan respons kilat.

Namun, sejauh mana hasil riset tersebut dapat diterapkan dalam dunia nyata?

Dalam dunia kerja, setiap orang dapat mengalami interupsi berkali-kali selama jam kerja. Saat Anda tengah mengerjakan anggaran kerja, rekan Anda bisa saja tiba-tiba berceletuk mengenai anaknya.

Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking

Biaya dari multitasking semacam itu terus bertambah. Estimasi kerugian dari berbagai macam interupsi dalam dunia kerja di Amerika Serikat adalah US$650 miliar tiap tahun. Gloria Mark, seorang ahli ilmu komputer dari University of California, Irvine, menemukan bahwa untuk mengembalikan perhatian yang hilang setelah diinterupsi dibutuhkan waktu rata-rata 25 menit. Bahkan, beberapa orang dalam penelitiannya tidak pernah dapat mengembalikan perhatian mereka kepada pekerjaannya seperti sedia kala.

Perhitungan demikian tidak sepenuhnya akurat. Namun, saat sains menemukan rentang waktu antara 200 milidetik dan 25 menit, besar kemungkinan bahwa disparitas tersebut patut ditelusuri lebih jauh.

Para ahli psikologi kognitif melakukan percobaan mereka di dalam laboratorium yang dikendalikan. Di laboratorium tersebut, Anda akan diminta untuk melakukan tugas-tugas sederhana dengan stimuli yang cukup sederhana. Sering kali Anda hanya diperintah untuk melihat aspek-aspek yang berbeda dari gambar yang diberikan (contohnya, dari gender ke ekspresi wajah). Namun, jelas bahwa kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan situasi di mana Anda harus mengangkat telepon saat tengah mengerjakan laporan kerja.

Di dalam dunia nyata, saat Anda menerima panggilan telepon, Anda harus mengangkat teleponnya dan terdistraksi oleh hal-hal lain. Anda bahkan mungkin membutuhkan 68 detik untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya sedang Anda lakukan.

Saran Praktis dari Plus Minus Melakukan Multitasking

Dampak negatif dari multitasking itu benar-benar ada, tetapi seringkali hal tersebut tidak disadari. Interupsi, distraksi, dan melakukan banyak hal pada saat yang bersamaan secara umum akan mengurangi laju produktivitas kita.

Saran yang cukup sederhana adalah: Saat Anda sedang melakukan sesuatu yang membutuhkan perhatian khusus, jangan mengerjakan hal lain.

Banyak hal yang harus dilakukan agar Anda dapat tetap menjaga fokus. Cobalah mengatur jam kerja Anda dalam segmen-segmen berdurasi 30 menit untuk membantu Anda menyelesaikan berbagai tugas Anda. Anda bisa mencoba melakukan tugas yang berbeda dalam tiap setengah jam.

Saya melakukan hal ini dan beberapa orang lain merasa bahwa saya melakukan multitasking. Padahal, saya sebenarnya tengah fokus melakukan sebuah pekerjaan dan tidak melakukan hal lain dalam jangka waktu setengah jam. Saya tidak melihat ponsel, e-mail atau beralih ke tugas lain selama periode waktu tersebut. Meskipun saya melakukan berbagai macam hal dalam satu hari, tiap tugas masih segar di pikiran saya pada saat saya harus kembali mengerjakannya esok hari.

Patut dicatat bahwa multitasking tidak sepenuhnya buruk, tetap saja ada plus minus melakukan multitasking. Apabila ada suatu tugas yang mudah dan dapat Anda lakukan tanpa perlu banyak berpikir, kerugian dari multitasking tidak terlalu terasa. Contohnya, mendengarkan musik saat Anda berolah raga justru dapat membuat Anda berolah raga lebih lama. Mencoret-coret selama kelas atau kuliah yang menjemukan atau mendengarkan musik instrumental selagi Anda memprogram komputer atau belajar juga dapat meningkatkan fokus Anda.

Bahkan bergonta-ganti aktivitas tidak selamanya merugikan karena justru dapat menyegarkan pikiran Anda. Banyak orang dengan sengaja melakukan hal lain untuk mencari jalan keluar saat mereka terjebak dalam suatu permasalahan.

Mengetahui bahwa Anda hanya punya waktu 30 menit untuk menyelesaikan suatu tugas juga dapat memotivasi Anda. Hal ini dikarenakan seberapa pun besar keengganan Anda untuk melakukan suatu pekerjaan, pada akhirnya Anda tahu bahwa Anda hanya harus melakukannya untuk setengah jam.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Jim Davies adalah profesor di Institute of Cognitive Science, Carleton University.

Read More