Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Saya punya kesamaan dengan Jenna Rink versi 13 tahun dalam film Hollywood 13 Going 30, yakni memiliki impian menjadi perempuan sukses di usia 30-an. Bedanya, saya tidak bisa ‘mengintip’ masa depan untuk melihat apakah saya sudah sukses di umur itu seperti Jenna. Dalam film, dirinya versi 30 tahun adalah perempuan pemimpin sukses dan berdikari. Jika dilabelinya dengan istilah populer saat ini, dia adalah seorang girl boss

Namun, kesuksesan Jenna juga memiliki sisi gelap karena nyatanya dia menggunakan cara manipulatif untuk mencapai posisinya. Situasinya itu selaras dengan istilah girl boss, yang dalam satu sisi meninggikan perempuan, tapi di saat bersamaan bukan pemberdayaan yang baik.

Perempuan yang bekerja keras, visioner, dan memiliki agensi memang sudah ada sejak dulu, tapi melabeli mereka dengan girlboss bisa dibilang baru. Istilah itu kali pertama muncul pada 2014 lewat memoir #Girlboss karya pebisnis perempuan Sophia Amoruso. Pemilik Nasty Gal, bisnis pakaian untuk perempuan muda itu mengatakan, kunci agar perempuan meraih kesuksesan ialah dengan hustle culture atau menjadi perempuan yang bekerja keras untuk berada di posisi atas. Pesan dari Amoruso tersebut awalnya disambut baik karena banyak perempuan yang merasa terinspirasi dan divalidasi kerja kerasnya. Selain itu, pesannya menunjukkan dukungan pada perempuan yang bekerja mencapai posisi strategis. 

Baca juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Namun istilah girl boss, buku dan gerakannya, juga dikritik karena memberikan kekuatan yang elitis dan tidak inklusif untuk semua perempuan. Alih-alih menjatuhkan sistem yang merugikan perempuan di tempat kerja bersama-sama, girl boss menyampaikan simbol sukses adalah mendaki sistem yang menyakiti perempuan di ranah kerja tanpa niat untuk menghancurkannya. 

Mengutip sebuah artikel dari The Atlantic yang ditulis Amanda Mull, sistem yang mengeksploitasi perempuan tidak berubah. Perempuan yang memotori hal ini dengan membentuk kembali struktur berbahaya yang diwujudkan laki-laki. 

Pendapat bahwa girl boss tidak sepenuhnya aksi yang mengangkat perempuan semakin diperkuat dengan mantan pekerja Nasty Gal yang menuntut dan melaporkan Amoruso sebagai pemimpin eksploitatif, menciptakan ruang kerja yang toksik, hingga memutus kontrak kerja secara sepihak karena alasan kehamilan. 

Feminis Casira Copes untuk media The Pink menyatakan, girl boss bukan gerakan pemberdayaan perempuan karena bergerak di bawah struktur kapitalisme yang melabeli dirinya sebagai feminisme. Girl boss mendefinisikan dirinya sebagai aksi dari dan untuk perempuan tanpa menyadari dampak bahaya yang diberikannya. 

“Feminisme girl boss tergolong dalam aksi neoliberalisme. Ia mengajak perempuan untuk mengambil alih kapitalisme dan mambuatnya bekerja untuk mereka,” tulis Copes. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Reputasi Jelek ‘Girlboss’

Kritik tentang budaya girl boss memang tidak ada hentinya. Media The Boar menyatakan girl boss mengomodifikasi feminisme seutuhnya untuk bisnis. Belum lagi media Refinery29 yang menuliskan girl boss mengecilkan perempuan dengan pilihan kata ‘girl’ karena laki-laki yang memimpin tidak mungkin disebut boy boss. Singkatnya, girl boss disebut sebagai kuda Troya seksis karena dari luar tampak mengangkat perempuan, tetapi menolak agensi mereka untuk menjadi perempuan pemimpin yang ‘dewasa’. 

Senada dengan tanggapan itu, dikutip dari Vox, Alexandra Solomon, akademisi gender di Northwestern University mengatakan, label bos perempuan korporasi memberikan perempuan kesempatan untuk menunjukkan kekuatan untuk orang-orang di sekitar mereka, tetapi kata ‘girl’ juga menunjukkan aspek dan sistem tradisional yang secara historis ‘mengerdilkan’ perempuan. 

Redupnya minat terhadap girl boss juga berkaca pada naik-turunnya gerakan menguatkan perempuan di ranah kerja, Lean In. Gerakan itu dipelopori Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer dari Facebook lewat bukunya Lean In: Women, Work, and the Will To Lead

Sama dengan #Girlboss, Lean in menyampaikan pesan bahwa perempuan bisa mendapatkan karier sukses dan hidup pribadi yang berimbang dengan menjadi perempuan yang bekerja keras. Pesan itu kemudian dinilai hidup dalam gelembung dan tidak melihat realitas atau mempertimbangkan upaya dan tantangan khusus yang dihadapi ibu bekerja. Michelle Obama pun mengatakan lean in bukan resep mujarab perempuan bisa mendapatkan semuanya karena kadang hal itu tidak bisa bekerja dalam situasi tertentu. 

Copes berpendapat, tidak semua gebrakan dari perempuan paham seutuhnya tentang perjuangan atau tujuan keadilan untuk terbebas dari eksploitasi yang sarat nilai patriarki atau kapitalisme. Feminisme pun bukan gerakan individu, melainkan aksi bersama yang inklusif terhadap pengalaman perempuan dengan tujuan untuk menguatkan. 

Baca juga: ILO: Pekerja Perempuan yang Capai Posisi Atas Masih Minim

‘Girl Bossdi Media Sosial

Girl boss sudah mendapatkan reputasi buruk. Serial Girlboss yang diangkat dari buku Amoruso juga mendapat tanggapan yang beragam dan dibatalkan Netflix setelah musim pertama. 

Di media sosial, perkara bos perempuan korporasi juga menjadi bahan bulan-bulanan atau meme dengan kata-kata gaslight, gatekeep, dan girl boss. Istilah perempuan sukses juga mengindikasikan seseorang dengan kuasa yang melakukan kebohongan, diskriminasi, dan mengeksploitasi. Candaan tersebut juga memiliki nilai sarkastik yang dimaksudkan untuk menghibur. 

Tidak jarang juga tiga kata itu disebut sebagai versi baru dari Live, Love, Laugh yang menunjukkan semangat positif palsu, kemudian mendapatkan pasangannya manipulate, mansplain, dan malewife (laki-laki yang bertolak belakang dengan stereotip bos perempuan korporasi sebagai perempuan ambisius). Dalam budaya internet, media Vox  menyatakan, jika girl boss direduksi sebagai bahan candaan dan mengejek pelaku korporat eksploitatif, maka bos perempuan korporasi kehilangan kekuatan untuk menyakiti orang lain. 

Perubahan pemaknaan itu juga ada dalam tren media sosial yang menyebut perempuan fiktif, seperti Vanessa Doofenshmirtz dari kartun Phineas and Ferb, Santana Lopez dari Glee, dan Senju Kawaragi dari Tokyo Revengers sebagai girl boss karena kuat, berdaya, dan memiliki agensi. 

Jika bos perempuan korporasi dilepaskan seutuhnya dari pemahaman Amoruso yang ingin merebut patriarki atau kapitalisme untuk dirinya tanpa mengubah sistem, kemudian mengarahkannya menjadi gerakan inklusif untuk perempuan di ranah kerja, Perempuan jadi pemimpin bisa dipandang dengan cara baru. 

Diumpamakan dalam film The Devil Wears Prada, girl boss bisa menjadi Miranda Priestly, pemimpin perempuan yang melakukan gaslight dan gatekeep. Tetapi, jika dimaknai sebagai semangat pekerja perempuan, asistennya Andrea Sachs juga bisa menjadi girl boss karena memiliki ambisi untuk menjadi jurnalis yang baik, walaupun sempat terjebak di lingkar industri fashion toksik. 

Read More

Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan

Atlet senam perempuan Amerika Serikat Simone Biles baru saja memberi kabar mengejutkan kemarin di tengah perhelatan olahraga akbar Olimpiade Tokyo 2020. Perempuan kulit hitam kelahiran 14 Maret 1997 ini urung hadir dalam final tim beregu putri, (27/7) setelah penampilannya dinanti-nantikan publik mancanegara.

Setelah meninggalkan tim beregu putri sebelum final berlangsung, dan berujung pada diraihnya medali perak oleh tim AS, Biles berbicara kepada pers tentang keputusannya itu. Ia mengaku tidak sedang mengalami cedera fisik, tetapi ia merasa vault (salah satu manuver dalam senam lantai menggunakan meja lompat) yang dilakukannya masih kurang, dan Biles khawatir itu berdampak buruk terhadap performa timnya.

Sesaat sebelum Biles mundur, ia berencana melakukan Amanar, salah satu vault terpelik dalam senam lantai putri. Namun, ia gagal melakukannya dengan sempurna.

“Saya merasa lebih baik bila saya duduk di belakang dan berfokus pada mindfullness saya. Saya tidak mau tim berisiko kehilangan medali karena kesalahan saya,” kata Biles.

Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Simone Biles Peduli Isu Kesehatan Mental

Sebagai atlet senam perempuan Amerika yang prestasinya diakui dunia, Biles merasakan betul beban besar yang diembannya. Hal ini ditulisnya dalam sebuah unggahan di akun Instagram, @simonebiles, (26/7).

“Ini bukanlah hari yang mudah atau yang terbaik dari saya, tapi saya melaluinya. Saya benar-benar mengemban beban berat di pundak saya berulang kali. Saya tahu, saya mencoba mengabaikannya dan membuat tekanan itu tidak terlihat memengaruhi saya. Sialnya, kadang ini berat, hahaha! Olimpiade bukanlah hal remeh!” tutur Biles.

Dalam kesempatan lain, Biles juga mengakui betapa stresnya ia menjalani persiapan tampil di Olimpiade. Ia bahkan sempat gemetar dan sulit istirahat, suatu hal yang tidak pernah ia alami dalam kompetisi-kompetisi terdahulu.

“Saya mencoba keluar, bersenang-senang dan setelah pemanasan, saya merasa lebih baik. Namun begitu saya datang ke sini [arena kompetisi], saya merasa, tidak, mental saya tidak di situ. Saya perlu teman-teman tim saya melakukannya [melanjutkan kompetisi] dan berfokus pada diri saya sendiri,” kata Biles.

Pernyataan-pernyataan Biles ini menunjukkan betapa tinggi kesadarannya akan pentingnya kesehatan mental bagi orang-orang yang terus disoroti publik seperti dirinya. Dalam Huffingtonpost dinyatakan, Biles mengambil keputusan besar ini karena terinspirasi dari tindakan atlet tenis dunia asal Jepang, Naomi Osaka, yang juga menekankan hal serupa dalam dunia olahraga. Pada Mei 2021 lalu, Osaka pun sempat menarik diri dari kompetisi French Open dengan alasan mengutamakan kesehatan mentalnya.

Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri.

Ucapan-ucapan Biles lainnya kepada pers sehubungan dengan kesehatan mentalnya mengandung pesan besar nan menguatkan bagi orang-orang, tidak hanya di kalangan atlet, tetapi juga masyarakat secara umum.

“Kita harus melindungi tubuh dan pikiran kita, rasanya buruk sekali saat kamu berkelahi dengan isi kepalamu sendiri,” kata Biles.

Atlet Senam Perempuan AS yang Ukir Sejarah

Meski banyak orang menyayangkan keputusan Biles, upayanya mengusung kesadaran akan kesehatan mental tersebut patut diacungi jempol, begitu pula sederet prestasi yang sudah diraihnya.

Britannica mencatat, Biles telah tertarik pada senam sejak berusia enam tahun. Sejak itu, ia mengasah minat dan bakatnya di bawah didikan pelatih Aimee Boorman dan dipayungi oleh Bannon’s Gymnastic. Capaian awal Biles mencakup medali emas dalam kategori floor exercise dan perunggu dalam kategori vault pada ajang Women’s Junior Olympic National Championships 2010.

Sumber: Reuters/Lindsey Wasson

Usaha dan determinasi Biles mengantarkannya kemudian pada capaian-capaian lebih membanggakan. Pada 2013, ia memenangi gelar all-around dalam kejuaraan senam dunia yang pertama kali dia ikuti. Tahun itu, ia menjadi perempuan Afrika-Amerika pertama yang meraih gelar tersebut. Dua tahun berturut-turut setelahnya, Biles terus mencetak kemenangan di ajang serupa.

Kemenangan-kemenangan Biles ini membuatnya mengukir sejarah sebagai atlet senam Amerika (baik dari kategori laki-laki maupun perempuan) yang paling banyak mengantongi medali dari kejuaraan dunia. Tidak hanya itu, 10 medali emas dari kejuaraan dunia yang diraihnya juga menjadi jumlah paling tinggi yang pernah dicapai atlet senam perempuan dalam sejarah olahraga.

Pada November 2018, meski sempat mengalami masalah batu ginjal, Biles kembali menorehkan prestasi dengan memenangi enam medali dalam Kejuaraan Dunia di Doha, Qatar. Catatan gemilang ini dibuatnya setelah sempat hiatus dari kompetisi senam pada November 2016, dan baru kembali pada Juli 2018. Dilansir situs resmi Federasi Senam Internasional, keputusan Biles untuk mengosongkan waktu dari kompetisi senam tidak lepas dari keinginannya untuk lebih memperhatikan dirinya dulu dan menikmati masa sekarang.

Penulis autobiografi bertajuk Courage to Soar (2016) ini juga dikenal di dunia olahraga karena telah melakukan berbagai gerakan senam fenomenal yang akhirnya dikenal dengan namanya, “The Biles”. Vault ini merupakan pembaruan dari vault “Cheng”, yang terkenal sebagai salah satu vault paling sulit, dan dilakukan pertama kali oleh Biles dalam kamp seleksi Kejuaraan Dunia 2018. Keberhasilannya menampilkan vault ini dalam proses kualifikasi membuat namanya terpatri untuk manuver tersebut. Sampai Juli 2021, belum ada orang lain yang berhasil menaklukkan vault Biles ini. Selain vault, nama Biles juga diabadikan dalam gerakan di kategori balance beam dan floor exercise.

Di samping itu, belum lama ini Biles juga menaklukkan vault Yurchenko double spike yang dianggap sangat berbahaya sehingga tidak ada pesenam perempuan lain yang mencobanya. Risiko yang ditimbulkan bila vault ini gagal dilakukan adalah cedera leher atau kepala yang serius. Keberhasilan Biles melakukannya setelah 18 bulan tidak berkompetisi akibat pandemi viral di media dan semakin mengilapkan kariernya.

Kendati telah melakukan manuver sulit tersebut, juri memberinya nilai 6,6, poin yang di bawah ekspektasi Biles. Dalam berita The New York Times Mei lalu, terdapat spekulasi bahwa salah satu alasan juri melakukan hal itu adalah adanya perhatian terhadap masalah keselamatan para pesenam yang tidak semahir Biles. Dengan memberi nilai awal rendah, federasi diam-diam mendorong pesenam lain untuk tidak melakukannya. Ada juga dugaan bahwa hal ini terjadi lantaran ada kekhawatiran Biles terlalu jago sehingga ia bisa saja melenggang mulus di kompetisi mana pun, tidak seperti kompetitor lainnya.

Kendati ada kondisi seperti ini, Biles tidak ragu untuk kembali melakukan vault ini kemudian hari. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab, “Karena saya mampu”.

Simone Biles Alami Kekerasan Seksual sebagai Atlet

Di balik catatan-catatan membanggakan Biles, rupanya atlet senam perempuan Amerika ini punya pengalaman kelam sebagai korban kekerasan seksual selama terjun di dunia olahraga.

Pada Januari 2018, The Guardian mewartakan, Biles menjadi salah satu korban kekerasan seksual dokter tim senam AS, Larry Nassar. Laki-laki ini telah divonis penjara 60 tahun akibat kasus pornografi anak, dan sudah melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari 140 perempuan dan anak perempuan dengan modus perawatan medis.

Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar… Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.

Biles membuat pengakuan panjang lewat Twitternya yang mengundang banyak simpati. Melekatkan tagar #MeToo dalam unggahannya, Biles mengungkapkan, “Banyak dari kalian yang mengenal saya sebagai sosok periang dan energik, tetapi saya belakangan merasa sedikit hancur dan semakin saya mencoba bungkam, suara di kepala saya makin lantang terdengar… Saya juga satu dari banyak penyintas yang mengalami kekerasan seksual dari Larry Nassar. Percayalah saat saya berkata ini jauh lebih sulit untuk mengungkapkannya terang-terangan pada awalnya dibanding sekarang saat saya menuliskannya di atas kertas. Ada banyak alasan yang membuat saya enggan menceritakan hal ini, tetapi sekarang saya tahu, ini bukan salah saya.”

Perkara kekerasan seksual pada atlet senam perempuan seiring dengan seksualisasi terhadap mereka. Hal tersebut belum lama ini diangkat oleh para atlet senam perempuan dari Jerman yang memilih memakai longtards (dikenal juga dengan unitards), pakaian panjang yang menutupi tubuh atlet dan biasanya dipakai untuk alasan religius saja, dalam Olimpiade Tokyo 2020.

Dikutip dari Business Insider, aksi protes terhadap seksualisasi pesenam ini dimulai sejak April lalu saat atlet senam Jerman Sarah Voss mengenakan pakaian serupa di Kejuaraan Senam Artistik Eropa.

Dalam wawancaranya dengan BBC, Voss mengatakan aksi tersebut dilakukannya agar para pesenam muda lainnya merasa aman.

Read More
apa itu politik kantor

Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Perempuan sering kali dianggap sebagai multitasker yang lebih baik daripada laki-laki. Ini karena mereka terlihat “mampu” mengerjakan berbagai macam hal pada saat yang sama. Sebagian perempuan pun mengamini kemampuan multitasking yang mereka punya sebagai suatu keunggulan, padahal ada plus minus melakukan multitasking yang perlu kita ketahui.

Para psikolog telah menemukan berbagai kerugian dari multitasking. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa multitasking dapat mengurangi tingkat produktivitas. Sedangkan dalam riset-riset lain, sejumlah ahli bahkan mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan multitasking sama sekali.

Contohnya, ketika Anda menelepon sambil menyetir, kemampuan menyetir Anda memburuk karena perhatian Anda terbagi. Hukum yang memperbolehkan menelepon ketika menyetir asalkan tidak memegang teleponnya salah kaprah karena distraksi selama mengemudi tidak berkaitan dengan penggunaan tangan Anda.

Meski begitu, beberapa hasil penelitian lain justru berkesimpulan bahwa multitasking justru mendatangkan banyak manfaat. Suatu studi menunjukkan bahwa berbicara di telepon selama perjalanan yang panjang dan menjemukan dapat membantu pengemudi menjadi lebih waspada. Studi lain juga menerangkan bahwa murid yang duduk dalam kelas yang “membosankan” justru lebih baik bila mereka mencoret-coret buku atau kertasnya karena kombinasi aktivitas tersebut dapat membuat pikiran mereka tetap terjaga.

Sebagai seorang yang meneliti tentang cara kerja pikiran secara umum, penemuan-penemuan yang tampaknya bertolak belakang ini sangat menarik. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah multitasking adalah suatu hal yang baik, buruk atau bahkan sesuatu yang mustahil? Berikut ini plus minus melakukan multitasking dalam bekerja atau belajar yang saya temukan.

Multitasking Membuat Fokus Berkurang

Apa yang seringkali disebut sebagai multitasking adalah sesuatu yang para psikolog kenal sebagai rapid task-switching atau peralihan tugas dengan cepat.

Contohnya, saat Anda menjawab pesan di telepon selama menonton film, perhatian Anda terbagi antara film tersebut dan pesan di layar telpon Anda. Anda tidak benar-benar memperhatikan keduanya pada saat yang bersamaan. Selagi Anda membaca pesan, pasti ada bagian film yang Anda lewatkan.

Baca juga: Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini

Ini yang dimaksud para ahli psikologi saat mereka mengatakan bahwa multitasking mustahil dilakukan. Perhatian dan kesadaran Anda hanya bisa diberikan kepada satu hal dalam suatu waktu tertentu, sehingga Anda tidak dapat melakukan dua tugas pada saat yang bersamaan.

Terlebih lagi ada harga yang harus dibayar saat Anda mengalihkan perhatian Anda dari tugas yang satu ke tugas yang lainnya. Akan ada jeda saat Anda beralih dari satu tugas ke tugas yang lain, yang sering kali diiringi oleh penurunan dalam performa Anda.

Hal tersebut tidak menjadi masalah saat Anda menghabiskan satu jam untuk melakukan suatu hal sebelum beralih ke tugas lain, sebab kerugian yang dialami dari peralihan tugas tersebut tidak begitu terasa. Namun, apabila Anda berganti tugas setiap beberapa menit atau bahkan tiap beberapa detik, beban kognitif dari peralihan pekerjaan tersebut dapat menghalangi kinerja Anda.

Bayangkan jika untuk tiap kali Anda beralih pekerjaan, Anda kehilangan dua puluh lima sen. Jika misalnya Anda menggeser fokus dari pengajar di kelas kepada layar ponsel hanya sekali atau dua kali dalam sehari, itu bukan suatu masalah besar. Namun, apabila Anda melakukannya berkali-kali dalam satu hari, Anda harus merogoh kocek cukup dalam.

Menghitung Biaya Multitasking

Untuk tugas-tugas tertentu, seperti mengidentifikasi gender pada wajah lalu beralih kepada mengenali ekspresi pada wajah tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk berganti fokus hanya sekitar 200 milidetik. Namun, bahkan jeda waktu yang demikian kecil dapat mengurangi produktivitas sebanyak 40 persen apabila Anda mencoba belajar sambil menonton film.

Penemuan seperti ini lahir dari riset di bidang psikologi kognitif saat para peneliti akan mengamati orang-orang dalam laboratorium yang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan di komputer yang membutuhkan respons kilat.

Namun, sejauh mana hasil riset tersebut dapat diterapkan dalam dunia nyata?

Dalam dunia kerja, setiap orang dapat mengalami interupsi berkali-kali selama jam kerja. Saat Anda tengah mengerjakan anggaran kerja, rekan Anda bisa saja tiba-tiba berceletuk mengenai anaknya.

Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking

Biaya dari multitasking semacam itu terus bertambah. Estimasi kerugian dari berbagai macam interupsi dalam dunia kerja di Amerika Serikat adalah US$650 miliar tiap tahun. Gloria Mark, seorang ahli ilmu komputer dari University of California, Irvine, menemukan bahwa untuk mengembalikan perhatian yang hilang setelah diinterupsi dibutuhkan waktu rata-rata 25 menit. Bahkan, beberapa orang dalam penelitiannya tidak pernah dapat mengembalikan perhatian mereka kepada pekerjaannya seperti sedia kala.

Perhitungan demikian tidak sepenuhnya akurat. Namun, saat sains menemukan rentang waktu antara 200 milidetik dan 25 menit, besar kemungkinan bahwa disparitas tersebut patut ditelusuri lebih jauh.

Para ahli psikologi kognitif melakukan percobaan mereka di dalam laboratorium yang dikendalikan. Di laboratorium tersebut, Anda akan diminta untuk melakukan tugas-tugas sederhana dengan stimuli yang cukup sederhana. Sering kali Anda hanya diperintah untuk melihat aspek-aspek yang berbeda dari gambar yang diberikan (contohnya, dari gender ke ekspresi wajah). Namun, jelas bahwa kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan situasi di mana Anda harus mengangkat telepon saat tengah mengerjakan laporan kerja.

Di dalam dunia nyata, saat Anda menerima panggilan telepon, Anda harus mengangkat teleponnya dan terdistraksi oleh hal-hal lain. Anda bahkan mungkin membutuhkan 68 detik untuk mengingat kembali apa yang sebenarnya sedang Anda lakukan.

Saran Praktis dari Plus Minus Melakukan Multitasking

Dampak negatif dari multitasking itu benar-benar ada, tetapi seringkali hal tersebut tidak disadari. Interupsi, distraksi, dan melakukan banyak hal pada saat yang bersamaan secara umum akan mengurangi laju produktivitas kita.

Saran yang cukup sederhana adalah: Saat Anda sedang melakukan sesuatu yang membutuhkan perhatian khusus, jangan mengerjakan hal lain.

Banyak hal yang harus dilakukan agar Anda dapat tetap menjaga fokus. Cobalah mengatur jam kerja Anda dalam segmen-segmen berdurasi 30 menit untuk membantu Anda menyelesaikan berbagai tugas Anda. Anda bisa mencoba melakukan tugas yang berbeda dalam tiap setengah jam.

Saya melakukan hal ini dan beberapa orang lain merasa bahwa saya melakukan multitasking. Padahal, saya sebenarnya tengah fokus melakukan sebuah pekerjaan dan tidak melakukan hal lain dalam jangka waktu setengah jam. Saya tidak melihat ponsel, e-mail atau beralih ke tugas lain selama periode waktu tersebut. Meskipun saya melakukan berbagai macam hal dalam satu hari, tiap tugas masih segar di pikiran saya pada saat saya harus kembali mengerjakannya esok hari.

Patut dicatat bahwa multitasking tidak sepenuhnya buruk, tetap saja ada plus minus melakukan multitasking. Apabila ada suatu tugas yang mudah dan dapat Anda lakukan tanpa perlu banyak berpikir, kerugian dari multitasking tidak terlalu terasa. Contohnya, mendengarkan musik saat Anda berolah raga justru dapat membuat Anda berolah raga lebih lama. Mencoret-coret selama kelas atau kuliah yang menjemukan atau mendengarkan musik instrumental selagi Anda memprogram komputer atau belajar juga dapat meningkatkan fokus Anda.

Bahkan bergonta-ganti aktivitas tidak selamanya merugikan karena justru dapat menyegarkan pikiran Anda. Banyak orang dengan sengaja melakukan hal lain untuk mencari jalan keluar saat mereka terjebak dalam suatu permasalahan.

Mengetahui bahwa Anda hanya punya waktu 30 menit untuk menyelesaikan suatu tugas juga dapat memotivasi Anda. Hal ini dikarenakan seberapa pun besar keengganan Anda untuk melakukan suatu pekerjaan, pada akhirnya Anda tahu bahwa Anda hanya harus melakukannya untuk setengah jam.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Jim Davies adalah profesor di Institute of Cognitive Science, Carleton University.

Read More

Perjuangan Naomi Osaka yang Layak Dijadikan Panutan Perempuan

Setelah satu tahun melawan pandemi, berbagai perhelatan olahraga mulai hidup kembali. Euro 2020 dan Wimbledon 2021 adalah dua dari berbagai kompetisi kelas dunia yang diadakan. Selain itu, walaupun kontroversial, Olimpiade Tokyo 2020 turut merayakan kesuksesannya dengan memulai rangkaian acara mereka sejak 23 Juli 2021. Satu tokoh publik yang menarik perhatian saya pada pembukaan kompetisi olahraga empat tahunan tersebut adalah atlet perempuan teladan, Naomi Osaka. 

Atlet tenis asal Jepang ini berperan sebagai pembawa obor dan menyalakan Api Olimpiade pada upacara pembukaan. Penampilan Naomi membuat saya senang terutama setelah mengikuti berita-berita negatif yang sempat menyorot kegiatan atlet tersebut.

Naomi sempat mengundurkan diri dari French Open atau Rolland-Garos karena kondisi mentalnya yang sempat memburuk. Pada 30 Mei 2021, Naomi mendapatkan denda sebanyak US$15.000 oleh Rolland-Garos karena tidak datang pada konferensi pers yang hukumnya wajib dihadiri oleh para atlet yang berpartisipasi. Absennya petenis keturunan Jepang dan Haiti tersebut diakibatkan oleh keinginannya menarik diri untuk memulihkan kesehatan mentalnya.

Keputusan Naomi mengutamakan dirinya sendiri adalah sikap yang patut diacungi jempol. Jika merefleksi kepada diri saya sendiri, pada usia 23 tahun, lingkungan di sekitar saya belum memiliki kesadaran yang tinggi tentang isu kesehatan mental. Selain itu, yang saya perhatikan selama menjadi atlet taekwondo di Jakarta belasan tahun yang lalu, kesuksesan atlet-atlet Indonesia belum tentu dibarengi dengan tim yang mumpuni dalam hal pendampingan kesehatan mental. Karena itu, saya salut melihat Naomi yang masih muda beserta tim yang dia miliki mampu mengutamakan kondisi psikologisnya.

Rasa kagum saya semakin bertambah setelah menonton serial dokumenter Naomi Osaka di Netflix. Dari tayangan tersebut, Naomi menunjukkan kepeduliannya tidak hanya sebatas isu kesehatan mental, tetapi juga perempuan mendukung perempuan dan protes ketidakadilan ras. 

Baca juga: Bullying dan Seksualisasi: Perempuan dalam Dunia Game

Naomi Osaka dan Isu Kesehatan Mental 

Kepada majalah Time, Naomi menyatakan bahwa dirinya selalu tampil apa adanya setiap menghadiri konferensi pers. Tidak adanya pelatihan menghadapi pers membuat dirinya selalu jujur dan tidak menutup-nutupi jawaban dari segala pertanyaan yang diajukan kepadanya. 

Walaupun sikap tulus Naomi tersebut terdengar baik, ternyata tidak adanya tameng dalam menghadapi pers menjadi beban baginya. Selain itu, Naomi mengaku bahwa kepribadian introvert membuat ia semakin menarik diri dari pers saat kondisi mentalnya memburuk.

Dalam pernyataan resmi mereka, pihak Rolland-Garos menyatakan, kondisi para atlet adalah hal utama yang menjadi perhatian penyelenggara French Open tersebut. Oleh sebab itu, kehadiran para atlet dalam konferensi pers diharapkan dapat menjadi salah satu cara mereka untuk memahami kondisi para atlet. 

Namun, Naomi tidak mengindahkan pernyataan resmi tersebut dengan mudah. Dia mengusulkan agar para atlet diberi cuti sakit yang berlaku tidak hanya untuk kesehatan fisik, namun juga kesehatan mental. Selain itu, anak kedua dari Tamaki Osaka dan Leonard Francois ini berharap agar ketidakhadiran atlet pada konferensi pers tidak dicibir dan ditanggapi secara berlebihan. Terutama jika absennya atlet disebabkan oleh kondisi kesehatan mental mereka yang menurun.

Baca juga: Nasib Seniman dan Atlet Saat Pandemi: Hilang Pendapatan, Ganggu Kesehatan Mental

Naomi Osaka adalah Bukti Perempuan Dukung Perempuan

Hal lain yang membuat Naomi menjadi sosok atlet perempuan teladan tergambar dalam perjalanan Naomi yang didokumentasikan dalam Naomi Osaka. Di sana diperlihatkan kerendahan hati dan sportivitas yang dimilikinya. Sikap rendah hati dan sportif tersebut turut menunjukkan tindakan perempuan mendukung perempuan yang dilakukan olehnya. Hal ini terlihat pada akhir pertandingan US Open melawan Coco Gauff 2019 lalu. 

Naomi berhasil mengalahkan atlet remaja, Coco Gauff, yang pada saat US Open 2019 diselenggarakan baru berusia 15 tahun. Bukannya membiarkan Coco meninggalkan lapangan usai bertanding begitu saja, Naomi justru mengajaknya untuk melakukan wawancara bersama. Tidak hanya berbagi sorotan media, Naomi turut memuji tim Coco yang dinilainya telah membentuk seorang atlet yang hebat. 

Kerendahan hatinya mengingatkan saya akan sikap Serena Williams, petenis kelas dunia yang diidolakan oleh Naomi. Pada US Open 2018, Serena berkonflik dengan wasit yang bertugas dalam pertandingannya melawan Naomi. Konflik tersebut membuat Serena kehilangan banyak angka dan akhirnya harus mengakui kemenangan Naomi. 

Apa yang terjadi membuat penonton berempati pada Serena dan seolah-olah mengacuhkan pemenang yang sebenarnya. Akan tetapi, Serena merangkul dan menghibur Naomi yang meneteskan air mata sebelum menerima piala. 

Hal yang dilakukan oleh idolanya tersebut sangat berkesan dan mungkin membuat Naomi menjadi rendah hati. Karena itu, keputusannya berbagi sorotan kemenangan dengan Coco Gauff tidak hanya menunjukkan sportivitas sesama atlet. Sikap Naomi merefleksikan dukungan ke sesama perempuan yang melebihi kalah-menang dalam sebuah pertandingan. Dengan keputusannya merangkul Coco, Naomi tidak hanya menginspirasi perempuan untuk mendukung sesama di bidang olahraga, tetapi juga di berbagai ranah perjuangan perempuan lainnya

Baca juga: Pembatasan Level Testosteron pada Atlet Perempuan Munculkan Diskriminasi

Naomi Osaka dan Isu Rasialisme

Pada serial dokumenter Naomi Osaka, Naomi digambarkan sebagai keturunan orang tua Asia dan berkulit hitam yang sedang memahami posisinya dalam menghadapi isu rasialisme. Di awal episode ketiga serial dokumenternya, Naomi yang terlihat bingung menyatakan bahwa orang-orang kulit hitam tidak hanya ditemukan di Amerika Serikat (AS) saja. Banyak warga negara-negara lain yang berkulit hitam, namun tidak berkonflik seramai di AS. 

Akan tetapi, setelah kematian George Floyd, Naomi menunjukkan empatinya dan mulai memahami perjuangan ras kulit hitam yang tertindas. Naomi akhirnya menyadari bahwa dirinya memiliki hak istimewa sebagai petenis kelas dunia. Hak istimewa tersebut digunakan olehnya untuk mempromosikan Black Lives Matter (BLM) dan membela korban-korban kekerasan berbasis ras di AS.

Selain mengikuti demonstrasi, bentuk perjuangannya terlihat dari tujuh masker yang masing-masing digunakannya saat menghadiri tujuh pertandingan di US Open 2020. Setiap masker yang dia kenakan bertuliskan nama tujuh orang kulit hitam yang menjadi korban diskriminasi ras di AS. Keputusan ini dilakukan Naomi agar khalayak ramai tersentil dan mulai membicarakan ketidaknyamanan yang terjadi akibat diskriminasi ras tersebut. 

Apa yang dilakukan oleh Naomi mungkin terlihat sederhana. Namun, empati yang dimiliki oleh sosok atlet perempuan teladan tersebut belum tentu dimiliki oleh orang lain sepantaran atau lebih tua darinya. Naomi sadar betul bahwa kekuatan yang dia miliki sebagai atlet kelas dunia bisa digunakannya untuk menghasilkan perubahan dan membela sesama manusia.

Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, Naomi Osaka menunjukkan, dia jauh lebih dewasa dari usianya. Kesadarannya akan isu kesehatan mental, perempuan mendukung perempuan, dan menentang ketidakadilan ras adalah tiga dari banyaknya hal yang bisa dipelajari dari Naomi. Petenis kelas dunia ini layak disebut sosok atlet perempuan teladan yang menginspirasi bagi perempuan, terutama mereka yang sedang mencari makna hidup dan tetap bertekad untuk memberdayakan sesamanya. Sikapnya yang pantang menyerah baik di dalam maupun luar lapangan juga dapat dijadikan motivasi agar perempuan tidak mudah kalah ketika menghadapi tantangan apa pun. 

Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Topik-topik yang diminati oleh pemegang sertifikat Dan 1 Taekwondo ini adalah isu gender, kesehatan mental, filsafat, bahasa, dan sastra.

Read More

Sebuah Ode untuk Ilmuwan Perempuan Kala Pandemi

Pertandingan tenis antara Novak Djokovic melawan Jack Draper belum juga dimulai, tapi tepuk tangan 7.500 penonton sudah bergemuruh di Stadion Wimbledon, Inggris. Hari itu, 28 Juni 2021, Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford yang melepas hak patennya atas vaksin COVID-19 AstraZeneca jadi sorotan. Sarah bersama rekannya, sesama ilmuwan perempuan, Catherine Green termasuk dua di antara perempuan yang jadi buah bibir karena membantu masyarakat di dunia bisa mengakses vaksin itu dengan lebih mudah dan murah. Video yang diunggah di akun Youtube Wimbledon dan viral itu sendiri telah ditonton oleh lebih dari 70 ribu orang.

Sarah Gilbert adalah contoh ilmuwan yang mendobrak gelas kaca dan membuktikan bahwa perempuan yang berkarier di bidang pengetahuan dan riset juga patut dilirik. Kita mungkin hanya beberapa kali mendengar nama harum ilmuwan perempuan. Marie Curie, pelopor penelitian radioaktivitas dan perempuan pertama yang memenangkan hadiah Nobel contohnya. Lalu ada ilmuwan roket NASA Yvonne Brill yang menemukan pendorong roket hemat bahan bakar yang menjaga satelit tetap di orbit saat ini. Pun, Rosalind Franklin dengan penelitiannya yang paling sohor terkait dengan struktur double-helix DNA.

Ilmuwan perempuan yang berada di garda depan seperti mereka patut diapresiasi, mengingat titik berangkat mereka untuk meniti karier, proses, hingga hambatan yang dihadapi relatif berlapis. Seorang Yvonne Brill masih dianggap sebagai pengekor karier suaminya dan dikenang sebagai ibu dengan tiga anak, kendati ia berjasa buat NASA. Bahkan, obituarinya saat meninggal delapan tahun silam ditulis oleh The New York Times secara seksis dengan menyisipkan keterampikan sebagai ibu rumah tangga dengan diksi mean beef stroganoff (hidangan daging sapi terkenal ala Rusia. Red).

Baca juga: 11 Perempuan Berpengaruh dalam Bidang Sains di Dunia

Apalagi di tengah pandemi saat ini, ilmuwan perempuan dihadapkan pada beban yang jauh lebih berat ketimbang laki-laki. Sebuah riset bertajuk “Only Second-Class Tickets for Women in the COVID-19 Race” yang dilakukan oleh Flaminio Squazzoni dkk. (2020) menyebutkan, perempuan telah menerbitkan lebih sedikit makalah, memimpin lebih sedikit uji klinis, dan menerima lebih sedikit pengakuan atas keahlian mereka selama pandemi. Sebabnya sesuai dugaan: Perempuan mengalami pergolakan emosional dan tekanan pandemi, protes atas rasisme struktural, kekhawatiran tentang kesehatan mental dan pendidikan anak-anak, serta kurangnya waktu untuk berpikir atau bekerja. Celakanya beban semacam ini sudah memberatkan langkah perempuan sejak sebelum pandemi.

Dalam liputan Times, beberapa ilmuwan perempuan di Imperial College yang diwawancara wartawan menyebutkan, harus datang lebih pagi dan pulang ke rumah di waktu petang dalam kondisi sangat lelah. Beruntung jika mitra dan keluarga penuh memberi dukungan untuk mereka berkarier.

Buntung jika mereka terjebak dalam lingkungan yang tak cukup suportif. Ini mirip seperti kumpulan kisah ilmuwan perempuan yang dikutip The New York Times. Daniela Witten, ahli biostatistik di University of Washington di Seattle misalnya menuturkan, yang dihadapi ilmuwan perempuan tak cuma jalan curam untuk mencapai puncak karier mereka atau apresiasi yang sepadan, tapi juga seterotip yang terus menggema di mana-mana. Bahwa perempuan tak sepandai pria, bahwa perempuan yang sukses pastilah melawan kodratnya dan menelantarkan keluarga.

Bagi seorang ilmuwan perempuan yang juga menjadi ibu, tantangan dan stereotip yang dihadapi lebih ngeri-ngeri sedap. Di Amerika, bahkan selama cuti hamil, ilmuwan perempuan diharapkan tetap mengikuti praktikum, persyaratan mengajar, publikasi, dan pendampingan mahasiswa pascasarjana. Ketika mereka kembali bekerja, sebagian besar tidak memiliki penitipan anak yang terjangkau. Di buku Mothers in Science: 64 Ways to Have it All (2008) yang ditulis ahli biologi tanaman Dame Ottoline Leyser, ia menguraikan, sebanyak 64 ilmuwan perempuan terkemuka, merencanakan karier dengan melawan kehidupan rumah tangga mereka. Artinya, kecemasan ibu-ibu yang juga menjadi ilmuwan perempuan adalah valid dan jadi hal jamak.

Baca juga: Kizzmekia Corbett Ilmuwan Perempuan Kulit Hitam di Garis Depan Pengembangan Vaksin Covid-19

Ini belum termasuk dengan diskriminasi berbasis gender di dunia akademis dan riset. Dilansir dari Times, STEM Women, sebuah agen rekrutmen di Inggris mencatat, hanya 35 persen dari lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika adalah perempuan. Pun, perempuan hanya 22 persen dari angkatan kerja STEM. Survei lain tahun lalu oleh perusahaan elektronik RS Components mengklaim bahwa hanya 17 persen profesor sains adalah perempuan. Angka-angka ini cukup beralasan mengingat perempuan kerap dianggap sebagai makhluk kelas dua yang tak akan mampu mengatasi tantangan berat di dunia yang dicap oleh lelaki, maskulin ini.

Kita tentu masih ingat, peraih Nobel Inggris Sir Tim Hunt sempat melontarkan keluhan seksis bahwa ilmuwan perempuan cuma bisa menangis di laboratorium ketika dikritik. Jangankan di dunia akademis, buat saya yang jurnalis, beberapa lapangan kerja memang didesain dan ditahbiskan sebagai tempat kerja lelaki.

Beberapa teman jurnalis pernah bercerita, ia ditempatkan di desk liputan gaya hidup karena dinilai tak mampu bertahan di politik-hukum-nasional, kendati artikel-artikel ia terbilang bernas. Ada juga yang bilang, ia urung masuk tim investigasi di kantornya atau liputan bencana hanya karena ia perempuan, dan sebagaimana lazimnya perempuan, ia disebut-sebut takkan bisa tidur sembarangan di emperan atau depan gerbang rumah narasumber hingga tengah malam.

Buat saya sendiri, beberapa kisah ilmuwan perempuan di atas menjadi pengingat bahwa kondisi yang dihadapi mereka belum cukup ideal. Sehingga, dibutuhkan kebijakan afirmatif yang membuat para ilmuwan perempuan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengembangkan kariernya. Dukungan dari teman, keluarga, dan kepercayaan publik juga jadi faktor kunci agar perempuan jadi lebih berdaya berkarier di bidang ini. 

Read More

Perkara Kesetaraan di Balik Kebijakan 4 Hari Kerja per Minggu

Pada 2019 silam, Menteri Keuangan Bayangan di parlemen Inggris, John McDonnel sempat mengingatkan, “Kita mestinya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja”. Hal ini disampaikannya saat ia mengumumkan bahwa Partai Buruh akan mengurangi jam kerja standar dalam seminggu menjadi 32 jam, tanpa potongan gaji, dalam 10 tahun kepemimpinannya.

Janji itu menyusul sebuah laporan (ditugaskan oleh McDonnell) dari sejarawan ekonomi Robert Skidelsky tentang bagaimana mencapai jam kerja yang lebih pendek.

Skidelsky adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris dan penulis biografi John Maynard Keynes, yang pada 1930 memperkirakan bahwa adanya kemungkinan untuk kerja selama 15 jam per minggu dalam beberapa generasi mendatang.

Laporan ini secara khusus disesuaikan dengan kondisi di Inggris, tapi juga menyajikan agenda dengan daya tarik universal.

Jam kerja yang lebih pendek digambarkan sebagai “win-win” – meningkatkan produktivitas bagi pengusaha dengan memberi karyawan apa yang mereka inginkan.

Terkait manfaat kebijakan jam kerja lebih pendek, ia mengatakan:

Orang mestinya bekerja lebih sedikit untuk mencari nafkah. Harus bekerja lebih sedikit untuk apa yang butuh dilakukan, dan lebih banyak untuk apa yang diinginkan, untuk kesejahteraan materi dan spiritual. Dengan demikian, mengurangi waktu kerja – waktu yang harus digunakan untuk menjaga ‘jiwa dan raga’ – merupakan tujuan etis yang berharga.

Argumen untuk waktu kerja yang lebih pendek biasanya berfokus pada manfaat “ekonomi”, dalam arti alokasi sumber daya yang memaksimalkan keuntungan. Namun, laporan Skidelsky mengatakan bahwa ada alasan yang lebih penting: alasan etis.

Keinginan etis bukan hanya masalah biaya dan manfaat. Ini juga masalah keadilan dan mewujudkan kebaikan bersama (kebaikan bersama yang membutuhkan pertimbangan dan tindakan kolektif).

Argumen yang Tidak Memadai

Mengurangi jam kerja hanya bisa memajukan tujuan etis jika disertai dengan perubahan sosial dan budaya yang lebih dalam.

Pada dasarnya, argumen Skidelsky tentang keinginan etis untuk mengurangi jam kerja adalah:

  • Umumnya, orang lebih bahagia ketika menghabiskan waktu untuk apa yang diinginkan, bukan pada apa yang harus mereka lakukan demi mendapatkan penghasilan
  • Lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja, dan lebih banyak waktu luang, dengan demikian akan menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan)
  • Menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan) adalah sesuatu yang diinginkan secara etis, sehingga diinginkan pula secara etis pengurangan jumlah jam kerja seseorang.

Variasi dari argumen ini – digunakan, misalnya, oleh lembaga riset Outonomy dalam proposal jam kerja mingguan kerja yang lebih pendek – menggantikan kebebasan dengan kebahagiaan.

Dalam pandangan ini, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja (yang diharuskan oleh alasan eksternal – penghasilan) berarti lebih banyak waktu untuk melakukan apa yang diinginkan seseorang.

Dari sudut pandang filosofis, tidak ada argumen yang memadai. Masalahnya, mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja tidak serta-merta meningkatkan jumlah waktu yang tersedia untuk melakukan apa yang Anda inginkan.

Pekerjaan bukan satu-satunya konteks saat tindakan tunduk pada kendala eksternal. Kehidupan berkeluarga, misalnya, melibatkan banyak kegiatan yang perlu dilakukan alih-alih ingin dilakukan.

Masalah lain adalah keinginan etis bukan hanya masalah meningkatkan jumlah total kebutuhan (seperti kebahagiaan atau kebebasan). Ini juga menyangkut distribusi kebutuhan. Suatu hasil tidak hanya harus optimal, tapi juga adil.

Masalah Waktu Luang dan Kesetaraan

Ada argumen yang menarik tentang jam kerja yang lebih pendek secara etis: mereka memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh distribusi waktu luang yang tidak merata.

Beberapa penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa waktu luang tidak terdistribusi secara merata di antara dua jenis kelamin. Laki-laki menikmati bagian lebih besar dari waktu luang yang tersedia secara sosial, sementara perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di luar pekerjaannya untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan membesarkan dan merawat anak.

Jam kerja yang lebih pendek mungkin memberi para perempuan lebih banyak waktu luang. Namun, tidak dengan sendirinya waktu tersebut terdistribusi dengan adil dan mereka menikmati manfaat kebijakan jam kerja lebih pendek. Untuk mengatasi ketidakadilan dalam pembagian waktu luang, diperlukan beberapa redistribusi.

Ini bisa saja berarti laki-laki yang diberikan lebih banyak waktu luang, akan melakukan lebih banyak kegiatan rumah tangga. Namun, itu sebuah dugaan. Jika seorang laki-laki mendapat libur pada Sabtu dan Minggu, mengapa mengharapkan sesuatu yang berbeda terjadi jika ia juga mendapat libur pada Jumat?

Ada sesuatu yang lebih mendasar daripada perubahan jumlah waktu.

Mengurangi jam kerja memiliki manfaat, tapi tidak mengatasi masalah ketimpangan yang lebih dalam dari aktivitas kerja itu sendiri. Pengurangan jam kerja tidak berpengaruh dalam menghentikan produksi hal-hal berbahaya, atau hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan bersama.

Tujuan kesetaraan yang diinginkan secara etis dan realisasi kebaikan umum membutuhkan perubahan sosial yang lebih dalam dari bagaimana dan untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Kemajuan nyata terletak dalam terwujudnya kesetaraan dan kebaikan umum melalui pekerjaan serta memperoleh lebih banyak waktu untuk tidak bekerja.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Nicholas Smith adalah profesor Filsafat, Macquarie University.

Read More

4 Formula Ampuh untuk Memperkuat Kerja Tim

Kita mesti bersepakat, pencapaian besar organisasi atau perusahaan tak bisa dilepaskan dari kerja tim yang baik. Bukan hanya satu-dua pemimpin atau tokoh kunci, kerja tim berarti melibatkan kontribusi semua pihak dengan berbagai keahlian kerjanya. Keberhasilan yang dicapai pun merupakan perwujudan dari tujuan bersama, bukan si pemimpin atau pemilik perusahaan semata.  

Meski luwes menghafal teori di atas, terkadang kita luput memaknai nilai-nilai apa saja yang perlu diterapkan di dalam lingkungan kerja kita. Bukan hanya keterampilan praktikal, tapi juga cara pandang kita, yang secara langsung memengaruhi pengambilan keputusan dalam kerja tim. 

Simak ulasan 4 nilai penting yang perlu diterapkan untuk memperkuat kerja tim di bawah ini.

  1. Bangun Iklim Kerja yang Baik

Iklim kerja yang baik adalah kunci terbentuknya kerja tim nan kuat. Untuk mewujudkan itu, kita bisa bertanya pada tim kerja kita: Budaya kerja seperti apa yang selama ini kita miliki? Apakah itu budaya untuk saling membantu ketika ada pihak tertentu yang kesulitan? Sesederhana budaya makan malam bersama setiap ada anggota tim yang berulang tahun? Pun, justru, budaya senioritas, di mana kenaikan jabatan hanya diprioritaskan pada orang-orang yang sudah lama bekerja di perusahaan, tanpa mempertimbangkan kompetensi profesional individu, sehingga mengeliminasi talenta-talenta muda yang kontribusinya sudah terbukti di perusahaan? 

Setelah menemukan jawabannya, kita bisa berefleksi  pada perkataan Mark Batey, peneliti dan dosen senior bidang Psikologi Srganisasi di Alliance Manchester Business School, Inggiris. Menurut Batey, tempat terbaik untuk bekerja adalah tempat yang membuat orang-orang di dalamnya bisa menjadi versi terbaik diri mereka sendiri, alih-alih berpura-pura menjadi orang lain

Tak jarang kita dengar keluhan banyak orang yang bekerja di perusahaan atau instansi tertentu yang mengungkapkan kelelahan mereka harus selalu menuruti kata-kata atasan, tanpa memberi masukan. Dalam berkomunikasi pun, seolah ada tembok pembatas yang membuat dia harus memaksakan diri terlihat sopan dengan gaya bahasa formal yang kaku, bahkan ketika sebenarnya itu tidak diperlukan. 

Baca juga: Tips Berikan Jawaban Profesional Saat Wawancara Kerja

Lingkungan kerja yang baik, ditandai dengan kehadiran sosok-sosok pemimpin yang terbuka dengan masukan dan menerima ide serta inovasi para karyawan untuk pertumbuhan perusahaan. Karena kerja tim melibatkan banyak kepala, mereka juga akan terbiasa untuk saling mengungkapkan ide dan kritik pribadi, tapi juga tetap berusaha mencari jalan dan keputusan bersama.

“Tempat kerja yang baik memberikan fleksibilitas dan otonomi bagi orang-orang di dalamnya. Mereka diberikan ruang untuk bertumbuh dan diberikan kepercayaan dalam bekerja,” ujar Batey kepada The Guardian.

  1. Hargai Satu Sama lain

Penelitian Harvard Business Review dan World Bank yang dimuat dalam tulisan ‘The Secrets of Great Teamwork’ (2016) menyoroti, satu hal penting yang menjadi karakteristik kelompok-kelompok kerja era kiwari adalah keberagaman latar belakang anggota-anggotanya. Menurut penelitian tersebut, tim kerja yang kuat bisa dibangun bila tim tersebut terdiri atas anggota yang berasal dari berbagai latar belakang, entah itu kebudayaan, tempat tinggal, kelas sosial, agama, adat, dan sebagainya. 

Penelitian tersebut memaparkan studi kasus di mana tim kerja dalam bidang perbankan memiliki tugas membangun proyek pengembangan daerah kumuh di Afrika Barat. Tim itu berisi anggota-anggota dari berbagai latar belakang, yaitu para kosmopolitan, atau orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan dan dari berbagai negara, serta orang-orang lokal, atau penduduk asli daerah tersebut. Ternyata, dinamika kerja tim tersebut terjalin baik.

Para kosmopolitan berkontribusi memberikan pengetahuan serta keahlian teknis dan akademis. Sementara itu, para orang lokal berkontribusi memberikan pengetahuan mereka tentang kondisi sosial, budaya, dan politik di daerah sekitar lokasi proyek. Para orang lokal dengan cara pandang yang lebih membumi dan dekat dengan sasaran, berhasil menguak fakta bahwa penduduk setempat membutuhkan sebuah sistem kredit mikro untuk memudahkan mereka membayar layanan air bersih dan sanitasi baru. 

Baca juga: Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender

Sementara para orang kosmopolitan, memberikan analisis dan pertimbangan logis yang aplikatif, salah satunya dengan melihat implementasi kebijakan serupa di negara-negara lain. Kolaborasi dua perspektif itu berhasil membuat proyek mereka menjadi lebih sukses dan berkelanjutan (sustainable). 

Dinamika serupa bisa dicapai bila semua anggota tim memandang dan menghargai satu sama lain sebagai manusia yang setara. Hal ini juga penting untuk diwujudkan dalam level yang lebih tinggi dan menyeluruh, sehingga mempengaruhi terciptanya budaya kerja yang kolaboratif dan empatik. Hal ini juga akan melahirkan kesempatan kerja juga pengembangan karier yang setara bagi semua kalangan.

Robin Domeniconi, kepala eksekutif Thread Tales, perusahaan fesyen di Inggris, menyampaikan kiat yang telah berhasil membuatnya mewujudkan budaya kerja yang empatik di perusahaan, yang dinamai M.R.I, atau most respectful interpretation. 

“Tak semua orang harus menjadi sahabat karib. Kamu bisa mengatakan apapun kepada siapapun selama kamu mengatakan itu dengan cara yang tepat dan tidak menghakimi orang lain. Misalnya, ‘Apakah kamu bisa menjelaskan kenapa kamu tidak mau melakukan ini?’ alih-alih langsung memarahinya.”

  1. Bangun Budaya Apresiasi 

Memberikan apresiasi adalah perwujudan terdekat dari rasa hormat dan penghargaan pada orang lain. Hal ini penting untuk dijadikan kebiasaan dan budaya dalam sebuah tim kerja untuk meningkatkan kepercayaan diri setiap anggota tim dan menunjukkan rasa kepedulian terhadap satu sama lain.

Tak berarti harus dimulai dari pencapaian-pencapaian anggota tim dalam ajang atau level yang  besar. Berikanlah apresiasi dari hal-hal kecil yang signifikan terhadap kemajuan kerja tim. Misalnya, apresiasilah para anggota tim yang berhasil memberikan solusi dari permasalahan yang dihadapi tim, atau mereka yang berhasil menyampaikan ide proyeknya dengan baik dalam rapat kerja.

Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

  1. Adakan Sesi Diskusi Intim yang Rutin

Bekerja di tengah situasi krisis seperti pandemi COVID-19 belakangan ini memang jelas menjemukan dan melelahkan bagi banyak orang. Apalagi, kerja itu dilakukan dari rumah masing-masing (work from home). Interaksi yang biasa didapatkan secara tatap muka kini harus terhalang layar biru gawai masing-masing. Oleh karena itu, adakanlah sesi diskusi rutin melalui video conference. Hal ini bertujuan untuk memperkuat komunikasi antar anggota tim, juga membangun alur kerja yang efektif melalui rutinitas baru ini.

Selain itu, penting juga bagi para pemimpin tim untuk mengadakan sesi one-on-one atau tatap muka rutin dengan masing-masing anggota tim. Tak perlu terlalu sering, setidaknya satu kali dalam sebulan, jalin lah komunikasi lisan yang efektif dengan anggota tim untuk mengetahui keadaan fisik dan psikis dia selama bekerja. Ini adalah bentuk perhatian yang sering kali dianggap sepele, padahal dibutuhkan oleh setiap orang. Apalagi, di masa di mana kita tak bisa bertemu secara tatap muka, tak banyak kesempatan untuk bisa mengetahui kondisi rekan-rekan kerja kita bila itu tak dijadikan kebiasaan. 

Read More
What to Know About Disclosing Mental Illness at Work

What to Know About Disclosing Mental Illness at Work

Deciding to disclose information about a non-obvious disability such as mental ilness at work is complicated and potentially risky, no matter what you do for a living. For people with a mental health issue, like bipolar disorder or PTSD where stereotypes and bias are prevalent, the risk can be even greater.

This has become an important topic as employers try to reach voluntary affirmative action goals around disability employment. Employers are required to try to achieve a workforce including people with disabilities (these include conditions like major depression and bipolar disorder). As a result, employers are considering how to handle disability disclosure like never before.

Affirmative action goals aside, there is a business case to make for disclosure. In USA, workers with depression, for example, cost employers an estimated US$44 billion per year due to absence and reduced on-the job-productivity. Letting employees come forward about their condition to find better work arrangements and support makes financial sense.

Also read: What We Don’t Talk About When We Talk About Mental Illness

Disclosure and Risk

Along with other researchers, I examined disclosure in a study of 600 people with disabilities, half of whom had mental or emotional health conditions. We learned about the perceived risks and actual consequences of disclosure as well as about what may facilitate the decision to disclose and the role employers play.

We found that the concerns of those with mental health issues were not so different from those with other disabilities. People with all types of disabilities feared being fired, of losing out on future opportunities, and of possible ridicule or harassment by coworkers or managers. One respondent said, “I do not want to be viewed as a disabled person and then as an employee … I want to ensure that I am viewed as a valued employee who happens to have a disability.”

Also read: 5 Simple Ways to Approach People With Mental Health Problems

Why Disclose?

Under the Americans with Disabilities Act (ADA), a person must disclose their disability in order to get support or what’s formally known as an accommodation. For an individual with mental illness, this could be time, place or schedule flexibility, a service animal or another easy-to-implement, low-cost or free accommodation. They can help an employee to be more productive and engaged at work and are the biggest reasons people decide to disclose a non-visible disability in the workplace.

The dialogue between employees and their employers about accommodation should be ongoing because what works best may change over time. A flexible, creative and interactive dialogue during the accommodation process can make it more successful.

In fact, respondents rated having a supportive relationship with their supervisor as the second most important factor in deciding to disclose a mental illness. From other research, we know that individuals are much more likely to disclose a disability to a supervisor than to someone from human resources or on equal employment opportunity survey.

But supervisors need support and education to confront biases. Training on disability awareness, the ADA, and accommodation can help prepare supervisors for the disclosure conversation. Knowledge of disability-related resources both within the organization and in the community can build supervisor confidence.

Also read: Mental Health Issue a Feminist Issue Too

Respect and Trust

Despite fears of limited opportunities or harassment, the vast majority of people in our survey had neutral or even positive experiences with their disclosure. We found that those who reported positive disclosure experiences often said things like, “My boss respected me and understood the difficulties I have” and that “[disclosure] depends on the responsiveness of co-workers, supervisors, and general work environment.”

Respondents indicated that visible employer commitment to disability was important in their decision to disclose. Seeing other employees with disabilities succeed, seeing their employer actively recruit people with disabilities, or seeing disability included in a company diversity statement made the decision to disclose easier. However, company policies are not enough.

As one person said, “I would be wary of disclosing until I saw how the employer actually treated employees with mental health issues, not just their stated policy. There would have to be trust in my supervisors and colleagues.”

What and When to Disclose

A colleague compared disability disclosure to peeling an onion: There may be lots of layers to disclosure. What is shared with a coworker may be different from what is shared with human resources. Someone may choose to disclose only one of multiple disabilities to an employer – perhaps only the disability where a workplace accommodation would help. There is also the decision of when to disclose.

In our survey, people said they felt disclosure could be safer later in the employment process. This might mean waiting until after they are hired or have had a chance to prove their value. But, it can be stressful to put off this conversation, as one respondent said, “It is certainly less stressful to have it out in the open than to be concerned about having to hide it and not wanting anyone to find out”.

Disclosure can also have a positive impact for others with similar disabilities. One person said, “I am not ashamed of my disability, and I would hope that my disclosure would help someone else with a disability in seeking employment.”

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
perempuan gig worker

Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa tekanan ekonomi lebih membebani pekerja perempuan, tampaknya bukan pesan kosong. Buktinya, sektor bisnis paling banyak yang terdampak pandemi, diisi oleh para pekerja perempuan. Menurut catatan CNN Indonesia, 40 persen pekerja perempuan, seperti asisten rumah tangga, restoran, perhotelan, hingga akomodasi jadi jauh lebih miskin belakangan. Oleh The New York Times, ini disebut shecession, sebuah kondisi di mana kemerosotan pendapatan ekonomi lebih banyak dialami perempuan, berbeda dengan mancession 2008 di Amerika yang menimpa mayoritas lelaki

Jika sudah begini, perempuan pun terpaksa untuk pontang-panting bertahan hidup. Untungnya, kemajuan teknologi internet sedikit banyak mempermudah akses perempuan untuk memperoleh pendapatan. Tak heran jika kemudian istilah gig economy muncul sebagai ekses kemajuan tersebut. Dalam gig economy, perempuan bisa mencicipi lapangan kerja beragam, mulai dari mitra ojek online, kurir jasa pengiriman, dan kerja kontrak independen lainnya.

Baca Juga: Biru Terong Initiative: Berdayakan Perempuan, Picu Perubahan Sosial Lewat Video

Gig Worker Berawal dari Tuntutan

Bekerja sebagai gig worker menjadi satu-satunya pilihan bagi Natalia (40), seorang pengantar jasa titip makanan UMKM di Jakarta. Ia memilih tempat makan yang terkenal melalui Instagram @darihalte_kehalte. Mulanya, pekerjaan tersebut dilakukan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Namun, setelah seminggu tidak menerima penghasilan dari jasa ojek online-nya hingga diputus mitra, ia memutuskan untuk fokus bekerja sebagai jasa titip.

“Saya sudah mempromosikan jasa titip ini sejak 2 bulan sebelum pandemi, cuma sama sekali nggak ada yang pernah beli. Di hari saya putus mitra, kok ya Tuhan kasih jalan, langsung banyak pesanannya,” cerita Natalia.

Pekerjaan ini membuka berbagai peluang baginya. Kini ibu dua anak itu memiliki banyak pelanggan yang sering meminta tolong untuk mengantarkan paket, berbelanja ke pasar, sampai mencari 30 kaleng susu beruang yang sedang langka.

Berbeda dengan Natalia yang bekerja untuk menafkahi keluarga, Citra (30) seorang pedagang kue basah yang menjajakan dagangannya di Instagram @jajanan_salamah, memiliki tujuan berbeda dalam melakukan pekerjaannya. 

“Sebenarnya uang yang diberikan suami sudah cukup, tetapi sebagai perempuan kita harus tetap punya uang pegangan. Hitung-hitung ya penghasilan tambahan sekaligus menutupi kekurangan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan,” tuturnya. 

Ia memberlakukan sistem pre-order setiap minggunya dan memilih untuk mengantar pesanan secara langsung ke stasiun terdekat pelanggannya.

“Kalau pelanggan tinggalnya di Cilebut, saya naik Transjakarta lalu lanjut KRL. Nanti di Stasiun Cilebut baru saya pesankan ojek online untuk mengantar pesanan,” ujarnya. Citra mengaku memilih untuk mengantar langsung lantaran ingin mempertahankan kualitas kue sehingga ongkos produksinya di atas rata-rata.

“Setidaknya saya bantu mengurangi pengeluaran konsumen dengan cara seperti itu,” jelasnya.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Suka dan Duka

Selama 18 bulan terakhir, pekerjaan Natalia dalam layanan jasa titip mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Bahkan, ada sebuah peristiwa yang sangat berkesan baginya.

“Waktu itu saya pasrah banget karena harus bayar uang semesteran anak. Eh, selama 3 hari berturut-turut ada pesanan dari Kementerian, seenggaknya sudah bisa membayarkan Rp700 ribu. Enggak lama, ada seseorang yang pesan makanan di Muara Karang, akhirnya saya ambil dengan perjanjian belanja ongkir Rp75 ribu untuk antar sampai Ragunan. Pas pelanggan ini ambil pesanannya, dia kasih uang Rp400 ribu. Jadi kuliah anak saya lunas dibayar sama pelanggan tersebut. Itu saya langsung duduk dan menangis di depan rumah orang,” cerita Natalia.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Nasib berbeda dialami Citra yang justru memikirkan ketidakpastian di masa pandemi ini. Ia mempertimbangkan kehidupannya tidak bisa terus menerus bergantung dengan usaha kue, terlebih selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Keadaan ini membuatnya harus menghentikan pekerjaannya untuk sementara waktu. Keputusan itu diambil karena pekerjaannya yang mengharuskan untuk berbelanja ke pasar hingga mengantar pesanan, sehingga terlalu berisiko untuk kesehatan.

“Sekarang saya mau fokus ikut CPNS tahun ini. Syukur-syukur kalau nanti lolos, uangnya bisa memperluas usaha dan mempekerjakan orang lain. Jadinya kan bisa sekalian memberdayakan perempuan,” ucapnya menaruh harapan.

Baca Juga: ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan

Masa Depan Gig Worker di Tangan Perempuan

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Hyperwallet pada 2017, 61% perempuan gig workers di Amerika Serikat ingin menjadikan pekerjaannya sebagai karier full-time. Gig work pun dinilai lebih fleksibel, dapat memiliki work life balance yang baik, dan berpotensi mendapatkan pendapatan yang lebih besar serta setara dengan laki-laki.

Terkait lapangan kerja bagi gig worker ini turut dibahas dalam penelitian Katherine Lim dkk. berjudul “Independent Contractors in the U.S.: New Trends from 15 years of Administrative Tax Data” (2019). Mereka menunjukkan kemungkinan adanya pergeseran struktural yang luas di pasar tenaga kerja, terutama bagi perempuan yang diwakili oleh tren pertumbuhan untuk kontraktor independen.

Dengan bekerja sebagai gig worker, perempuan memiliki independensi dan kebebasan dalam menentukan pekerjaan, sehingga dapat menyesuaikan dengan peran dan tanggung jawabnya di dalam keluarga.

Read More

‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal

Kita memang benar-benar punya masalah serius tentang standar kecantikan. Khususnya bagi perempuan, tuntutan agar seseorang bertubuh langsing, tinggi, berwajah mulus tanpa cela, dan berpenampilan feminin sesuai standar yang banyak beredar, selalu membayang-bayangi keseharian sejak dini. Mereka yang dinilai cantik akan mendapatkan banyak keuntungan, sebaliknya, perempuan berwajah biasa saja, tidak pernah mendapat akses akan keuntungan itu.

Penelitian Langlois dkk. berjudul ‘Infant Attractiveness Predicts Maternal Behaviors and Attitudes’ (1995) menunjukkan, bayi yang tampilannya lucu dan menggemaskan (terutama berkulit putih) mendapat lebih banyak ungkapan kasih sayang dari para orang dewasa, termasuk orang tuanya, dibanding bayi yang tampilannya biasa aja.

Beranjak kanak-kanak dan remaja, hal itu semakin kentara, bahkan divalidasi oleh lembaga pendidikan formal termasuk sekolah. Riset Ritts dkk. yang berjudul ‘Expectations, Impressions, and Judgments of Physically Attractive Students: A Review’ (1992) menunjukkan, para guru di sekolah memiliki ekspektasi yang lebih tinggi kepada murid-murid yang penampilannya menarik, cantik, atau tampan, ketimbang murid-murid yang dianggap terlihat biasa saja.

“Bahkan, murid-murid yang punya penampilan menarik cenderung mendapat nilai yang lebih tinggi dan berpeluang lebih besar untuk mendapatkan gelar di universitas ketimbang mereka yang memiliki penampilan fisik biasa saja,” ujar Rachel A. Gordon dkk. dalam penelitiannya yang berjudul ‘Physical Attractiveness and the Accumulation of Social and Human Capital in Adolescence and Young Adulthood Assets and Distractions’ (2013).

Tahukah kamu, hal itu bahkan turut merembet ke dunia kerja profesional? 

Menurut Dario Maestripieri dkk. dalam penelitian mereka ‘Explaining financial and prosocial biases in favor of attractive people: Interdisciplinary perspectives from economics, social psychology, and evolutionary psychology’ (2016), orang-orang yang berpenampilan menarik berpeluang untuk mendapatkan kesempatan kerja lebih besar daripada orang-orang yang berpenampilan biasa saja. Mereka juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan kariernya melalui berbagai promosi, bahkan mendapatkan gaji yang lebih banyak. Ketertarikan fisik dalam hal ini juga mencakup orang-orang yang penampilannya mewakilkan standar normalitas dalam kehidupan sosial.

Baca juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan

Kita mungkin akrab dengan teman-teman kita atau orang-orang di luar sana yang memiliki gaya berpakaian unik. Bukan blus dan rok, ataupun kemeja, dasi, dan celana bahan, ketika berangkat kerja, mungkin mereka lebih memilih mengenakan jaket warna hijau neon yang dipadukan dengan celana kulot berwarna ungu, atau, para lelaki yang menggunakan pakaian berwarna pink dengan model feminin, lengkap dengan tato tubuh yang tampak jelas. Mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang tidak memenuhi standar penampilan masyarakat, atau tidak sesuai kriteria estetika dominan masyarakat dalam istilah Maestripieri, sehingga kesempatannya di dunia kerja tak sebanyak mereka yang dianggap sesuai standar tadi. 

Hal ini menunjukkan, beauty privilege atau privilese kecantikan di dunia kerja memang benar-benar ada, dan itu turut menyuburkan lookism, istilah untuk merujuk pemikiran dan kebiasaan yang diskriminatif dalam memperlakukan orang-orang yang dianggap tidak menarik, aneh, dan tidak sesuai standar masyarakat. Pada dasarnya, lookism adalah bentuk lain dari perilaku mengkotak-kotakan manusia serta kebiasaan menghakimi orang lain hasil kemalasan berpikir untuk melihat suatu hal dari berbagai sisi. Mereka yang dinilai superior mendapatkan keuntungan, sementara yang dinilai inferior kehilangan hak-hak mereka, bahkan mengalami kerugian.

Dilanggengkannya hal tersebut oleh perusahaan dan dunia kerja profesional secara umum menunjukkan bagaimana celah ketidakadilan bagi kelompok minoritas itu selalu ada. Hal itu disebabkan karena dunia selalu terkungkung atau bahkan sengaja mengungkung dirinya sendiri dengan cara pandang yang hitam putih, selalu mencari yang salah di antara yang benar. Padahal, tak pernah ada Standar Operasional Prosedur (SOP) ataupun kriteria cantik atau tampan, layak atau tidak layak, yang benar-benar merepresentasikan ide-ide masyarakat tersebut.

Baca juga:  Tantangan Perempuan Bekerja: Standar Ganda dalam Masyarakat

info grafik beauty privilege di Indonesia

Langgengkan Seksisme dan Rasisme

Kita bisa sepakat penampilan hanyalah satu (bukan kunci) dari banyak hal yang menentukan kualitas diri seorang manusia, terutama dalam dunia kerja profesional. Menjaga dan memperhatikan penampilan memang hal yang penting sebagai bentuk penghargaan dan kasih sayang pada diri sendiri. Namun, penampilan bukanlah satu-satunya penentu kualitas diri seseorang.

Kompetensi dia dalam pekerjaannya, latar belakang pendidikan, soft skill dan hard skill, kemampuan berkomunikasi, empati, dan kerja tim adalah hal-hal yang jauh lebih layak mendapat perhatian besar dalam menilai atau merekrut seorang karyawan.

Namun, kenyataannya tentu tak sesederhana itu. Terlebih bagi perempuan, kompetensi mereka di dunia kerja dan aspek lain dalam ranah publik selalu dibenturkan dengan narasi penampilan ideal, standar kecantikan, dan pembawaan sikap yang submisif dan lemah lembut. 

Ketiga hal tersebut tak selalu, bila tidak sama sekali, menentukan kompetensi seseorang di dunia kerja. Hal itu tercermin dalam lahirnya narasi lowongan karyawan baru yang tak masuk akal, seperti menyertakan kriteria berat badan maksimal, tinggi badan minimal, belum menikah, atau belum mempunyai anak. Padahal, merujuk kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO), berjudul ‘ABC of women workers’ rights and gender equality’ (2007) sudah menetapkan larangan bagi perusahaan untuk melakukan rekrutmen pekerja dengan melakukan diskriminasi seks termasuk membuat spesifikasi yang mengatur tinggi dan berat badan minimal, atau status pernikahan dan kehamilan. 

Selain lowongan pekerjaan, beberapa perusahaan bahkan memberlakukan standar pakaian yang sangat seksis. Misalnya, mengharuskan para pekerja perempuan untuk mengenakan sepatu hak tinggi atau high heels untuk menunjang penampilan tubuh menjadi lebih tinggi, kurus, dan menonjolkan bentuk bokongPadahal alas kaki yang tidak nyaman untuk dikenakan serta memiliki dampak buruk bagi kesehatan otot dan tulang kaki. 

Salah satu negara yang memberlakukan peraturan ketat terkait busana para pekerja perempuannya adalah Jepang. Menurut riset the Japanese Trade Union Confederation (Rengo), lebih dari 11 persen perusahaan di Jepang memiliki aturan yang mengharuskan pegawai perempuannya untuk mengenakan high heels

Baca juga: ‘Effortless Beauty’: Standar Ganda Kecantikan yang Mustahil Dicapai

Beauty Privilege Melanggengkan Rasisme

Karena penampilan fisik dan cara berpakaian merupakan ekspresi minat, konsep diri, hingga gender, bawaan lahir dan keturunan, bahkan latar belakang sosial dan ekonomi seseorang, tidak adil rasanya membebankan standar yang sama pada setiap perempuan pekerja. Pada akhirnya, kecantikan menjadi sebuah privilese yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Beauty privilege memberikan akses lebih bagi sekelompok perempuan, tapi menutup akses pada perempuan-perempuan lainnya. 

Beauty privilege juga bekerja dalam melanggengkan rasisme. Standar kecantikan yang beredar di masyarakat di hampir seluruh belahan dunia hari ini berpatokan pada penampilan fisik perempuan dan orang-orang Eropa. Kita akrab menyebut ini dengan standar kecantikan eurocentrist, yang merupakan manifestasi, juga hal yang melanggengkan, rasisme dan kolonialisme.

Kulit putih dan cerah, tubuh tinggi dan langsing, rambut lurus atau ikal pirang, bahkan mata biru, adalah fitur-fitur perempuan Eropa yang berusaha dijadikan acuan oleh masyarakat, bahkan terus-menerus direproduksi oleh berbagai produk di media dan media massa, termasuk di Indonesia. Alhasil, 22 persen orang Indonesia tak merasa puas dan bahagia dengan tubuhnya sendiri, menurut riset YouGov yang dipublikasikan dalam tulisan berjudul ‘Over a third of Brits are unhappy with their bodies’ (2015).

Jadi, bayangkan kalau kamu adalah seorang perempuan Indonesia, berwarna kulit gelap, memiliki tubuh berisi yang tidak terlalu tinggi, berambut keriting, dan berwajah sedikit berjerawat, tapi kamu memiliki segelintir prestasi dan pengalaman kerja yang sesuai dengan kualifikasi posisi sebuah perusahaan.

Apakah adil bila kamu tak diterima bekerja, atau tak mendapatkan promosi di kantor, hanya karena penampilanmu dinilai tak menarik, sementara peluang itu diberikan kepada temanmu yang kurang kompeten tapi dinilai lebih cantik?

Entah budaya, mentalitas, bahkan hasil kerja seperti apa yang akan terbentuk bila kebiasaan ini terus dilestarikan. 

Read More