5 Karakter Netflix yang Merepresentasikan Realitas Ibu Bekerja

Nestapa rasanya saat mendengar omongan tetangga dan kerabat yang menilai karakter ibu bekerja sebagai sosok yang kurang menyayangi anaknya, hanya karena mereka memutuskan untuk kembali berkarier. Situasi ini membuat perempuan pekerja seolah dihadapkan pada pilihan antara keluarga dan pekerjaan, lantas dianggap lebih mencintai kariernya dibandingkan sang buah hati. Padahal, setiap ibu pasti ingin hadir untuk anak-anaknya pada setiap kesempatan.

Tak hanya memperlihatkan kapabilitas perempuan dengan karier mereka yang melesat, sebagai sebuah medium, berbagai serial televisi mencoba merepresentasikan realitas yang dihadapi ibu bekerja melalui karakternya. Mulai dari kesulitan mereka untuk memahami anak, bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan mereka, hingga rela mengorbankan kehidupannya sendiri.

Berikut lima karakter dalam serial Netflix yang menggambarkan realitas ibu bekerja, sekaligus menjadi pengingat bagi kita untuk lebih mengapresiasi peran ibu dalam hidup sehari-hari.

(Spoiler alert)

1. Kate Mularkey – Firefly Lane

Dalam proses perceraiannya, Kate Mularkey (Sarah Chalke) mencoba untuk kembali bekerja di dunia jurnalisme. Walaupun berhasil kembali bekerja di sebuah majalah, perjalanan karakter ibu pekerja ini untuk memperoleh posisinya tidaklah mudah karena ia sudah tidak bekerja selama satu dekade terakhir. Selain itu, ia hampir melewatkan proses wawancara lantaran harus menjemput putrinya yang berulah di sekolah karena sedang melewati fase pemberontakan akibat perceraian orang tuanya.

Kate pun harus bekerja di bawah kepemimpinan seorang editor yang sangat mementingkan penampilan. Terlebih lagi, ia dimanfaatkan untuk mewawancarai Tully Hart (Katherine Heigl), seorang presenter ternama sekaligus sahabatnya, secara eksklusif.

Sumber: IMBD

Di tengah rumitnya kehidupan Kate sebagai individu, Firefly Lane menunjukkan kompleksnya realitas seorang ibu yang berusaha memberikan segalanya untuk seorang anak, mulai dari mengupayakan kehadirannya, menjalin hubungan baik dengan mantan suami, hingga kembali bekerja untuk mencari nafkah. Meskipun tak berjalan mulus, Kate tetap mencoba untuk memahami putrinya dan menunjukkan bahwa putrinya tersebut adalah prioritasnya.

Baca Juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu

2. Jen Harding – Dead To Me

Setelah kematian sang suami, Jen Harding (Christina Applegate) harus berperan sebagai ibu tunggal untuk kedua anaknya. Kesehariannya semakin sulit untuk dijalani karena perempuan yang bekerja sebagai agen real estate di California ini masih dalam tahap kesedihan dan terus menyelidiki sosok yang membunuh suaminya dalam insiden tabrak lari. Belum lagi, ia harus menghadapi karakteristik para klien yang membuatnya harus menahan diri saat emosinya tak stabil.

Karakter Jen menampilkan bagaimana seorang ibu harus bersikap tegar di depan keluarganya, meskipun sebenarnya ia membutuhkan ruang untuk berkabung. Ditambah lagi, ia tidak memiliki teman bercerita sebelum bergabung dengan support group, yang akhirnya mempertemukannya dengan Judy Hale (Linda Cardellini).

Dalam menjalani peran sebagai ibu, Jen harus berurusan dengan tingkah laku putra sulungnya, Charlie, yang menginjak usia remaja. Ia terlibat dalam pengedaran narkoba, membawa senjata tersembunyi, pergi meninggalkan rumah, hingga mengendarai mobil tanpa SIM dan tanpa seizin Jen. 

Melalui serial ini, kita juga diingatkan untuk sebisa mungkin bersedia menjadi pendengar bagi orang-orang terdekat yang membutuhkan dukungan dan perhatian agar mereka tidak merasa sendirian.

Baca Juga: Seruan Agar Perempuan Berkarya Jangan Kecilkan Perempuan Tak Berdaya

Sumber: Netflix

3. Kang Hye-soo – Marriage Contract

Dalam drama Korea Marriage Contract, Kang Hye-soo (Uee) berjuang untuk merawat anaknya sekaligus membayar utang suaminya yang telah meninggal. Untuk menanggungnya dan memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja di restoran milik Han Ji-hoon (Lee Seo-jin) yang merupakan seorang konglomerat. Nahasnya, Hye-soo menderita tumor otak yang tak bisa dioperasi. Hal ini membuatnya memikirkan masa depan anaknya.

Kemudian, ia mengetahui bahwa ibu dari atasannya itu membutuhkan transplantasi hati. Ji-hoon pun berencana untuk menikahi si pendonor secara kontrak agar prosesnya terjadi secara legal. Oleh karena itu, Hye-soo menawarkan diri untuk menikahi Ji-hoon dengan sebuah imbalan, yakni menerima sejumlah uang yang cukup untuk menafkahi anaknya hingga dewasa agar ia tak perlu khawatir jika meninggal akibat penyakitnya.

Keputusan yang diambil oleh Hye-soo menggambarkan ketulusan cinta seorang ibu terhadap anaknya dan bersedia melakukan apa saja untuk masa depan yang terjamin, meskipun jalan yang dipilih berisiko untuk nyawanya.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Kang Hye-soo karakter ibu bekerja dalam Marriage Contract
Sumber: MBC

4. Karakter Ibu Bekerja Choi Won-deok dalam Serial Start-Up

Sejak kedua orang tua Seo Dal-mi (Bae Suzy) bercerai dan sang ayah meninggal, Choi Won-deok (Kim Hae-sook) yang merupakan neneknya memberikan figur ibu untuk perempuan tersebut. Agar cucu kesayangannya tidak kesepian, ia rela berbohong sepanjang hidup dengan meminta Han Ji-pyeong (Kim Seon-ho) berperan sebagai teman penanya.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Won-deok bekerja sekaligus memiliki sebuah gerai corn dog. Ia pun memutuskan untuk menjual gerainya agar Dal-mi dapat melanjutkan pendidikan, meski pada akhirnya cucunya itu memilih untuk keluar dan melakukan berbagai pekerjaan paruh waktu untuk memberikan neneknya sebuah food truck.

Selelah apa pun Won-deok usai mencari nafkah dan mempersiapkan dagangan untuk keesokan harinya, ia selalu memberikan Dal-mi ruang untuk menceritakan keluh kesahnya. Dengan setia, Won-deok mendukung cucunya dalam merealisasikan ide dan mimpi-mimpinya, serta percaya akan kesuksesan yang akan diraih.

Karakter ibu bekerja Won-deok
Sumber: Neflix

Karakter Won-deok dalam drama Korea Start-Up merefleksikan bagaimana seorang ibu—dalam cerita ini nenek—akan bersikeras untuk memberikan yang terbaik bagi masa depan anaknya, dan memberikan dukungan yang tak melulu bersifat materi, tetapi juga moral. 

5. Georgia Miller – Ginny and Georgia

Dalam serial Netflix Ginny and Georgia, karakter Georgia Miller (Brianne Howey) tampaknya menjadi ibu idaman bagi setiap anak. Cara pendekatannya yang santai dan memosisikan diri sebagai teman dalam menyikapi kehidupan sosial anak sulungnya, Ginny Miller (Antonia Gentry), telah membangun kepercayaan di antara mereka. Bahkan, dengan mudahnya Ginny dapat menceritakan pengalaman mabuk pertamanya dan Georgia meminta agar mereka berdiskusi sebelum putrinya melakukan hubungan seks untuk pertama kali.

Walaupun demikian, masa remajanya yang kelam—saat ia dilecehkan dan harus berjuang untuk bertahan hidup—membuat Georgia bersikap protektif terhadap putrinya. Sesulit apa pun situasinya, Georgia berusaha untuk menghidupi dan melindungi Ginny, sekalipun ibu dari kekasihnya ingin mengambil hak asuh karena menilai dirinya belum siap menjadi orang tua.

GINNY & GEORGIA (L to R) DIESEL LA TORRACA as AUSTIN, BRIANNE HOWEY as GEORGIA, and ANTONIA GENTRY as GINNY in episode 101 of GINNY & GEORGIA Cr. COURTESY OF NETFLIX © 2020

Pengalamannya itu memotivasi Georgia untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia mengajak kedua anaknya hidup nomaden dan pindah ke Wellsbury, Massachusetts, kota tempat ia bekerja di kantor walikota. Pekerjaan itu didapatkannya berkat kecerdikannya dalam memberikan solusi atas sebuah permasalahan dalam diskusi orang tua.Sosok cool mom seperti yang direpresentasikan oleh Georgia tentunya kerap didambakan. Namun, caranya menyikapi kehidupan anak-anaknya kembali menarik kita untuk melihat latar belakangnya yang menjadi salah satu faktor dirinya bersikap demikian. Sama seperti para ibu lainnya, Georgia ingin memiliki keterikatan dengan anak-anaknya melalui caranya sendiri dan menjamin mereka menjalani kehidupan yang lebih baik.

Read More

Mengenal Adora, Perempuan Kunci di Balik Kesuksesan BTS

Adora – Saat debut delapan tahun lalu, grup idola BTS identik dengan lagu dan konsep hip-hop yang membuat mereka sedikit berbeda dari boyband lainnya. Berasal dari agensi kecil, mereka harus bersaing dengan berbagai grup idola baru menarik lainnya yang debut setiap bulan. BTS pun mesti menemukan strategi untuk membesarkan nama mereka. 

Pada 2015, mereka merilis The Most Beautiful Moment in Life,Pt.1 dan 2 dengan galeri musik yang lebih beragam, seperti genre pop, EDM, dan R&B, tanpa menghilangkan identitas sebagai grup bergenre hip-hop. Lagu-lagu dari kedua album tersebut melejitkan nama mereka di industri K-pop. Namun, pada 2016 dengan album Wings yang juga memiliki genre beragam, kepopuleran BTS meledak dan mendapatkan pengakuan dari industri musik global. 

Salah satu produser yang ikut berkontribusi untuk kesuksesan itu ialah Adora, komponis musik perempuan pertama BigHit Entertainment yang sekarang dikenal sebagai HYBE Labels. Adora yang bernama asli Park Soo-hyun juga ikut memproduseri, menulis, dan menjadi backing vocal, untuk beberapa lagu populer BTS, seperti “Spring Day”, “Not Today”, “Seesaw”, dan “Anpanman” yang menjadi kesukaan penggemar BTS, ARMY, sampai publik umum di Korea Selatan. 

Perempuan berusia 23 tahun itu membawa warnanya sendiri ke dalam lagu-lagu BTS dengan teknik harmonisasi vokal yang membuat musik menjadi lebih lembut, misalnya “Euphoria”, lagu solo oleh anggota BTS, Jungkook. Selain itu, kemampuan Adora dalam memproduseri lagu juga berbeda dengan komposer HYBE yang mayoritas laki-laki. 

Baca juga: The Linda Lindas: Band Anak Perempuan Punk Lawan Rasialisme, Seksisme

Jika Pdogg, produser musik andalan HYBE, identik dengan lagu upbeat dengan tempo yang cepat, sedangkan Slow Rabbit yang sedikit melankolik dengan tempo lambat, Adora bak bunglon yang bisa beradaptasi semua tempo musik. Contohnya, “Epiphany”, sebuah lagu balada yang dinyanyikan Jin dari BTS, “Moonlight” dari proyek solo hip-hop dari Suga, dan  “134340” yang mencampurkan R&B, hip-hop, dan ritme musik salsa.

Oleh karena itu, Adora memanen penggemarnya sendiri di antara ARMY, yang juga antusias atas representasi perempuan di balik musik BTS. Meskipun begitu, Adora tetap menjadi enigma atau sosok yang misterius yang bekerja di balik layar dan hanya menunjukkan sekilas tentang kehidupan pribadi lewat akun Instagram miliknya.

Baca juga: Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Adora Hampir Jadi Idola K-pop

Adora memiliki hak cipta atas 32 lagu yang dicatat oleh Korea Music Copyright Association (KOMCA), di antaranya 21 lagu BTS, sembilan dari TXT, satu lagu dari Gfriend saat masih di bawah naungan HYBE, dan satu untuk boyband, ToppDogg, yang berganti nama menjadi Xeno-T. 

Sebelum menjadi produser dan penulis lagu, Adora sudah terjun ke dunia musik sebagai trainee K-pop di K Entertainment dan direncanakan debut bersama girl group The Ark. Meskipun begitu, sebelum grup idola tersebut debut pada 2015, Adora keluar tanpa alasan yang diketahui oleh publik. 

Pada 2016, ia kemudian mengikuti audisi “2016 Next New Creator” oleh BigHit yang sedang mencari produser musik. Walaupun tidak menjadi idola K-pop, Adora tetap bekerja di industri itu dengan tugas yang berbeda. 

Sumber: BigHit Music

Belum lama ini, HYBE juga memperkenalkan dua wajah baru untuk bergabung dalam tim komponis musik, Kim Chorong sebagai sound engineer dan Summergal di posisi digital editor. Adora, Kim, dan Summergal memang tidak sendiri sebagai perempuan di skena produser musik K-pop, ada Kenzie, komponis dan penulis lagu di bawah naungan SM Entertainment, yang menciptakan musik untuk Girls’ Generation, Red Velvet, hingga Twice dari agensi JYP Entertainment.

Selain itu, ada Kim Eana yang memiliki lebih dari 300 lagu yang tercatat di KOMCA, penyanyi solo IU dan Suran yang menulis lagunya sendiri. Ada juga idola K-pop yang aktif dalam menciptakan lagu untuk grupnya, seperti Soyeon dari (G)I-DLE, LE anggota girl group EXID, dan keempat anggota MAMAMOO. Kehadiran perempuan di balik layar serta idola yang memiliki agensi dan kendali atas musik mereka menjadi angin segar karena memberikan lagu yang diciptakan lewat sudut pandang perempuan atau female gaze. 

Sayangnya, nama-nama produser dan komposer perempuan itu belum cukup untuk menghapuskan ketidaksetaraan gender yang sistemik, terutama karena industri tersebut masih sarat seksisme, sering mengobjektifikasi, dan mengeksploitasi perempuan. Apalagi di tengah masyarakat Korea Selatan yang masih menolak gerakan feminisme karena disamaratakan dengan misandry atau kebencian terhadap laki-laki. 

Baca juga: Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

Produser Musik Perempuan Masih Minim

Secara umum, representasi perempuan di kursi produser musik juga masih minim. Dalam laporan Inclusion in the Recording Studio? oleh USC Annenberg Inclusion Initiative, sebuah studi tahunan tentang musik menyebutkan, bahwa profesi sebagai produser juga masih didominasi laki-laki.

adora
Sumber: BigHit Music

Jumlah perempuan produser musik untuk lagu dalam daftar HOT 100 Billboard tahun lalu hanya mencapai 2 persen. Sementara itu, untuk tahun 2012, 2015, 2017, 2018-2020 secara kolektif, produser perempuan hanya mencapai 2,6 persen. Skalanya ialah 38 produser laki-laki dibanding satu produser perempuan. Sedangkan untuk penulis lagu perempuan selama 2020 hanya mencapai 12,9 persen. Laporan itu menunjukkan bahwa representasi perempuan menjadi isu krusial untuk mencapai kesetaraan. 

Begitu pula di industri K-pop, representasi perempuan produser juga masih dibutuhkan walaupun sudah ada beberapa nama yang dikenal publik. HYBE yang mayoritas dipegang oleh laki-laki juga perlahan-lahan membuka jalan untuk inklusivitas perempuan di industri musik, seperti membajak Min Hee-jin untuk menjadi Chief Brand Officer-nya. Namun, kehadiran “Adora-adora” lainnya yang bisa menetapkan nama mereka di industri karena kemampuan menciptakan lagu juga semakin ditunggu oleh penggemar K-pop, yang terkenal melek isu sosial atau woke.  

Read More

6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Siapa sih Jacqueline Carlyle? Dia adalah tokoh fiktif dalam serial The Bold Type yang berperan sebagai pemimpin redaksi majalah Scarlet, sebuah publikasi yang mengangkat isu-isu sosial, terutama tentang pemberdayaan perempuan. Karakter bos perempuan berkarisma ini diperankan oleh Melora Hardin. 

Sejak awal kehadirannya dalam sorot kamera, karakter Jacqueline mengundang decak kagum. Dalam pilot episode The Bold Type, visual Jacqueline tidak langsung diekspos. Di menit ke 2, dia hanya digambarkan sebatas kaki yang dinaikkan di atas meja kerja dengan kuku berkuteks dan high heels merah bertali. 

Pada adegan selanjutnya, kemunculan Jacqueline dicicil sedikit demi sedikit. Wajah masih belum terlihat. Setelah kamera menyorot Jacqueline dari bawah menunjukkan langkah-langkah kakinya, adegan bergerak menyoroti tangannya yang sedang mengetik pesan, mengisyaratkannya bahwa pikirannya bekerja setiap saat bahkan ketika dia berjalan. 

Terlihat juga di layar balutan blazer merah, celana kulit yang trendi, dan tidak ketinggalan aksesoris bling-bling yang Jacqueline kenakan. Beberapa detik berikutnya, berdirilah dia di tengah ruang rapat berisi berbagai macam persona (perempuan, laki-laki, muda, tua, berpakaian kasual dan formal), “menaklukkan” para peserta rapat dengan ucapan “Good morning, everyone”. Keren!

Kemunculan pertama Jacqueline tidak menjadi “the only wow factor” dalam serial ini. Sepanjang cerita selama 4 musim (yang segera dilanjutkan ke musim 5), ada lebih banyak hal keren lainnya! Penasaran apa saja? Simak, yuk!

Baca juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

1. Jacqueline Carlyle Sosok yang Pengertian 

Dalam menghadapi kemarahan pegawainya, Jacqueline Carlyle tidak defensif. Ini terjadi ketika salah satu penulisnya, Jane Sloane (diperankan oleh Katie Stevens), “meledak” di kantor karena terbawa emosi berkaitan dengan cerita artikel yang sedang dikerjakannya. Jacqueline menyadari bahwa Jane butuh waktu untuk mengelola emosinya sehingga dia menyuruh Jane untuk menenangkan diri. Malamnya, Jacqueline mengundang Jane ke apartemennya untuk makan malam dan di situlah terjadi pembicaraan heart-to-heart antara bos dan bawahannya, yang saya rasa, jarang sekali terjadi di dunia nyata (koreksi saya kalau salah). Dari obrolan hangat itu, akhirnya Jane bisa meredam emosi dan menulis artikelnya dengan perspektif yang baru.

2. Jacqueline Carlyle Punya Karakter yang Berintegritas

Tidak semua orang mempunyai integritas, dan tidak semua orang yang mempunyai integritas bisa mempertahankannya. Soal integritas memang bukan hal yang bisa dipermainkan seenaknya. Ini terbukti ketika Jacqueline pasang badan untuk Kat Edison (diperankan oleh Aisha Dee) yang ditegur oleh dewan redaksi karena melakukan endorsement terhadap suatu produk dengan kata-kata yang ofensif. 

Kat sengaja melakukannya karena mengetahui bahwa ternyata produk yang dipromosikannya bertentangan dengan visi yang diemban Scarlet, yaitu memperjuangkan persamaan hak termasuk untuk kaum LGBTQ. Jacqueline pun membela Kat dan berkata, “Integritas Kat atau Scarlet tidak boleh dijual.” 

Siapa yang tidak jatuh hati mendengar kalimatnya itu? Nasihat Jacqueline menunjukkan bahwa integritas adalah nomor wahid. Kata-kata itu terlontar dari seorang pemimpin sejati. Kita tidak bisa menggadaikan integritas kita dengan apa pun. 

3. Menghargai Kerja Keras 

To be honest, berapa dari kita para pekerja yang sudah bekerja keras setengah mati tapi yang dipuji orang lain yang bahkan tidak ikut andil apa-apa? Sakit hati, kan? Pasti! 

Dalam suatu episode, Sutton Brady (diperankan oleh Meghann Fahy) yang berkerja sebagai penata gaya merasa diperlakukan tidak adil oleh rekan kerjanya Cassie (diperankan oleh Jess Salgueiro). Cassie frustrasi dengan keadaan di kantor, lalu seenaknya kabur dari sesi foto yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, meninggalkan Sutton sendirian mengatur sesi tersebut. 

Saat Jacqueline melihat hasil foto-fotonya, dia sangat terkesan dan memberikan pujian kepada Cassie yang—Jacqueline pikir—berperan besar dalam sesi pemotretan. Belakangan Jacqueline mengetahui kebenarannya, dan kemudian ia memanggil dan menasihati Sutton, “Jangan biarkan siapa pun dipuji karena pekerjaanmu. You need to start speaking up for yourself.” Sebagai pucuk pimpinan, Jacqueline menyadari betul makna dari kerja keras dan sangat mengapresiasi proses dan hasilnya. Yang paling tepat menerima apresiasi dari suatu hasil adalah orang yang benar-benar bekerja di baliknya.

Jacqueline Carlyle pemimpin perempuan keren

Foto: IMDB

4. Mentor yang Sempurna

Dalam beberapa episode di musim 3, diceritakan bahwa Jane dan Jacqueline Carlyle bekerja sama dalam menggarap suatu artikel tentang seorang fotografer terkenal, Pamela Dolan (diperankan oleh Laila Robins), yang sering menyiksa para model fotonya secara psikis dan fisik supaya bisa mendapatkan foto yang fantastis. 

Jacqueline dengan tekun membimbing Jane dalam penulisan artikelnya, mulai dari meyakinkan narasumber untuk berani angkat bicara, melakukan wawancara, mengerjakan sesi foto bersama, hingga menyiapkan kemungkinan terburuk bahwa Pamela Dolan akan menuntut Scarlet. Jacqueline, yang dalam hal ini lebih superior dari Jane, tetap ikut andil dalam setiap detail pekerjaan. Dia tidak meninggalkan Jane mengurus segalanya sendirian. Malahan, ia sangat mendukung Jane dalam pekerjaannya merangkai cerita. Dia tidak menutupi kebenaran yang pahit, tapi menyarankan anak buahnya untuk bersiap-siap karena hal buruk bisa terjadi di kemudian hari. 

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Perusahaan Perlu Rekrut Pemimpin yang Berpihak pada Perempuan

5. Jacqueline Carlyle Berani Menghadapi Risiko Demi Menegakkan Prinsip

Jacqueline menyadari posisinya dalam media dapat menjadi saluran bagi suara-suara—terutama perempuan—yang selama ini tenggelam. Dalam suatu edisi musim gugur, Jacqueline dengan berani mengubah Scarlet menjadi media yang lebih mengedepankan isu-isu pemberdayaan perempuan, bukan mengeksploitasi perempuan. 

Edisi musim gugur itu—walaupun mendapat pertentangan dari dewan direksi—menampilkan orang-orang yang termarginalkan dan menjadikan mereka sebagai fokus utama yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan selama hidupnya. Jacqueline puas dengan edisi tersebut karena akhirnya Scarlet mampu menyampaikan pesan bermakna seputar pemberdayaan perempuan.

  1. Memikirkan Nasib Karyawan

Di episode pertama pada musim 4, Jacqueline Carlyle dipecat dari Scarlet karena membuat edisi musim gugur yang bertentangan dewan direksi. Jane, Sutton dan Kat bertekad membantu Jacqueline supaya bisa kembali ke Scarlet dengan menyusup ke percetakan dan mencuri beberapa eksemplar majalah untuk mereka edarkan kepada orang-orang yang berperan di baliknya. 

Gelombang dukungan kepada Scarlet pun mulai mengalir sehingga dewan direksi meminta Jacqueline kembali pada pekerjaannya. Jacqueline mengiyakan dengan syarat, “Saya butuh jaminan bahwa semua karyawan saya aman” (merujuk kepada Jane, Sutton dan Kate yang belakangan sudah terbukti mencuri).” Sikap Jacqueline ini mencerminkan empati pemimpin kepada bawahannya. 

Tanpa aksi nekat Jane, Kat dan Sutton, Jacqueline tidak akan bisa mendapatkan pekerjaannya kembali, dan Scarlet tidak bisa lagi menjadi media yang mengangkat isu-isu penting. Untuk itu, Jacqueline melindungi mereka, karena mereka bertiga merepresentasikan apa yang selama ini diperjuangkan oleh Scarlet.

Karakter Jacqueline memang fiktif. Namun, teladan kepemimpinannya patut dicontoh. Adakah di antaramu sosok perempuan pemimpin layaknya Jacqueline Carlyle?

Read More

Perempuan Bertangan Delapan: Sulitnya Jadi Ibu Bekerja pada Masa Kini

Setelah menikah dan punya anak, mengambil pilihan sebagai ibu bekerja atau menjadi ibu rumah tangga ibarat memakan buah simalakama bagi banyak perempuan. 

Ketika ibu bekerja menghabiskan waktu dan energinya lebih banyak untuk urusan kantor, mau tak mau ia mengorbankan waktu dengan anak dan suaminya serta waktu mengurus rumah. Namun bila ia memilih merelakan kariernya, itu berarti ia kehilangan kesempatan aktualisasi diri sekaligus mencari nafkah seperti halnya laki-laki untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.   

Di satu sisi, akses untuk mengenyam pendidikan tinggi dan menjalani karier sebagaimana laki-laki semakin terbuka bagi mereka, terlebih bagi mereka yang tinggal di kota-kota urban. Namun di lain sisi, secara bersamaan, norma budaya yang mendorong perempuan untuk lebih banyak mengemban tanggung jawab rumah tangga masih tumbuh subur. Ini menyebabkan mereka mesti susah payah berpijak di dua titik  agar kehidupan keluarga dan kerja mereka seimbang. 

Tidak semua ibu bekerja memiliki privilese untuk dapat menyewa asisten rumah tangga, akses ke penitipan anak  (daycare) yang terjangkau dan memadai, support system seperti suami atau orang tua yang mendukung, atau kelonggaran sistem kerja dan jam kerja fleksibel dari kantor. Karenanya, banyak sekali dari mereka yang terpaksa “bertangan delapan” bak laba-laba untuk bisa memegang pekerjaan kantor serta rumah tangga. Perempuan dengan keadaan seperti ini dikenal sebagai “juggling mom”. 

Baca juga: Konsekuensi Buruk Stereotip Perempuan Lebih Jago Multitasking

Ibu Tidak Boleh Sakit, Ibu Harus Sempurna

Kawan saya, “Diana”, menceritakan bagaimana ia susah payah mengurus bayinya dalam kondisi long distance marriage selagi bekerja dari rumah setelah masa cuti melahirkannya habis. Suatu waktu, ia jatuh sakit, tetapi mesti tetap melakukan pekerjaan domestik, mengasuh, seraya mengerjakan tugas kantor. 

Yang membuat saya prihatin adalah saat ia menulis “ibu tidak boleh sakit” dalam story-nya tersebut. Saya pernah merasakan berada di posisinya, hanya saja sedikit lebih “beruntung” karena ketika saya sakit dan mesti mengasuh bayi, saya masih belum mengambil kerja tetap lagi. 

Saya ingat betul saya terkapar di kasur, di samping anak saya yang masih di bawah enam bulan, mesti menyusui dan menenangkannya ketika rewel sembari menahan sakit maag akut plus diare yang membuat saya kelelahan bolak-balik toilet. Tak ada pembantu, tak ada keluarga lain yang memegang bayi saya dulu. Itu kejadian sebelum pandemi sehingga suami saya masih bekerja dari kantor, baru pulang malam hari dan mengambil alih kerja domestik dan pengasuhan.

Kondisi seperti yang saya dan Diana alami barangkali lebih parah lagi sekarang, ketika pandemi melanda dan banyak ibu dengan anak kecil yang terpapar COVID-19. Tak terbayangkan betapa sulitnya menjalani hidup seperti mereka, apalagi jika tak ada yang membantu.

Terlepas dari kondisi sakit, peran gender normatif terus mendesak ibu bekerja untuk jadi sempurna. Sering sekali kita mendengar atau membaca di artikel pertanyaan, “Bagaimana ibu menyeimbangkan waktu dengan keluarga dan waktu bekerja?”. Pertanyaan macam ini langka dilontarkan pada pekerja laki-laki. Ketika si ibu bekerja kedapatan lebih banyak mendedikasikan diri untuk kariernya, ia berpotensi besar dicap “ibu tak sempurna”, “ibu gagal”, atau “terlalu ambisius”. 

Sementara mereka yang (tampak) berhasil memiliki waktu berkualitas dengan keluarga dan karier menjulang, ramai-ramai diberi aplaus. Padahal, baik cap maupun bentuk apresiasi macam itu hanya melanggengkan beban ganda perempuan yang seharusnya dihapuskan. 

Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos

Stereotip Perempuan Jago Multitasking Semakin Membebani

Perempuan juga sering kali dianggap lebih piawai dalam hal multitasking dibanding laki-laki, termasuk urusan pekerjaan dan rumah tangga. Sebagian perempuan merasa itu kebanggaan, sementara lainnya merasa itu adalah label yang merugikan.

Dalam tulisan Leah Ruppaner yang dimuat di The Conversation, ia membantah anggapan klasik macam ini dengan menyebut salah satu hasil riset yang dimuat di jurnal PLOS One. Di sana dikatakan bahwa perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki dalam hal mengerjakan tugas berbeda pada saat yang sama.

Label jago multitasking yang menyuburkan beban ganda perempuan menurut Ruppaner berdampak buruk pada kesehatan mental perempuan, terlebih saat mereka punya anak. 

Bagi sebagian ibu bekerja yang tidak kuat mengemban beban ini, melepaskan pekerjaan atau kesempatan mendapat promosinya menjadi pilihan tak terelakkan. Tidak hanya beban pikiran, waktu, dan tenaga untuk bekerja yang mendorong mereka melakukannya, tetapi juga beban keletihan berkomuter untuk kerja yang sering luput dari perhatian masyarakat dan pihak perusahaan.

Pada era working from home (WFH) seperti sekarang, keadaan kian memberatkan perempuan. Lagi-lagi karena anggapan perempuan jago multitasking, mereka lebih diharapkan bisa mendampingi anak sekolah dari rumah, mengikuti rapat-rapat daring yang sebagian tak kenal waktu dan membuat jam kerja tanpa disadari lebih panjang, serta memastikan soal makan atau stok kebutuhan rumah tangga terpenuhi. 

Zaman digital juga mendorong para bos untuk berorientasi pada target tanpa memperhatikan beragam faktor yang menyandung pekerja untuk berperforma optimal. E-mail dan pesan Whatsapp di tengah malam, pada hari libur, tidak terhindarkan dan menuntut ibu bekerja untuk menanggapinya demi mempertahankan kinerja atau memenuhi key performance index-nya di kantor.  

Ujungnya, ibu bekerja bisa meledak secara emosional, depresi dan dipenuhi kecemasan, sehingga tidak dapat berfungsi baik, entah itu sebagai pekerja maupun istri dan ibu. 

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Bagaimana Cara Mengakhiri Problem Ini?

Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mengurangi kesusahan ibu bekerja adalah membangun support system demi terpenuhinya kewajiban rumah tangga maupun kantor. Di rumah, suami perlu ambil andil dan lebih banyak berinisiatif terjun di urusan domestik. Pasalnya, bila mereka menunggu instruksi dari perempuan terlebih dahulu juga membuat para ibu bekerja tetap mengemban beban mental lebih berat. 

Support system semacam ini bisa diwujudkan bila pihak kantor suami juga menerapkan perspektif gender dan menyadari beban domestik karyawan yang sudah berkeluarga. Percuma saja mengharapkan peran suami apabila dari kantornya tidak menoleransi karyawan untuk mengurus rumah dan anak, berbeda dengan sikap mereka terhadap karyawati.

Pihak kantor pun perlu menerapkan kebijakan ramah perempuan yang memungkinkan ibu bekerja mendapat berbagai akses seperti jam dan tempat kerja fleksibel, fasilitas daycare atau ruang menyusui, atau izin membawa anak ke kantor. Mereka juga mesti menyadari ketimpangan garis start bagi karyawan dan karyawati sehingga dalam hal promosi kerja, mereka bisa menyiasati supaya perempuan juga mendapat kesempatan yang sama untuk meraih capaian atau jabatan tinggi di kantor. 

Satu pandangan menarik dituliskan Meredith Turits di BBC (21/6) terkait peran ibu bekerja. Sejumlah riset telah menunjukkan bahwa pemberi kerja merasa peran ibu berpengaruh buruk terhadap performa kerja individual dan perusahaan pada akhirnya. Misalnya, berdasarkan riset dari Harvard University’s Kennedy School of Public Policy, pemberi kerja menganggap para ibu bekerja 10 persen kurang kompeten dibanding pekerja tanpa anak. Mereka juga dianggap 12,1 persen kurang berkomitmen dibanding laki-laki pekerja.

Adanya anggapan seperti itu mendorong HeyMama, komunitas ibu bekerja di AS, untuk membuat kampanye “Motherhood on the Resume”. Alih-alih dipandang sebagai nilai minus, menjadi ibu semestinya menjadi hal plus yang  bisa dicantumkan di CV. 

Menurut co-founder HeyMama, Katya Libin, kampanye itu adalah upaya untuk meruntuhkan bias kultural yang merugikan perempuan di tempat kerja. Ibu justru merupakan sosok yang lebih baik dalam mendengarkan, lebih diplomatis, dan lebih baik dalam mengorganisasi sesuatu dari kacamata Libin. Karena itulah, kualitas dari seorang ibu itu yang layak dipertimbangkan oleh pemberi kerja.

Read More

Erike Kusumawati: Berdikari Sejak Pandemi lewat Jualan Roti

“Perempuan itu harus tangguh, kuat, dan cerdik. Kalau tidak begitu, dia akan musnah ditelan kehidupan,” tutur Erike Kusumawati saat ditemui di kediamannya di kawasan Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. 

Menjadi seseorang yang sempat mengidap COVID-19 membuat Erike harus mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sehari-hari seperti belanja bulanan. Hanya sekadar bertahan dengan komisi yang didapatkan suaminya, Sonwell Santoso, sebagai agen asuransi tidaklah cukup. Terlebih, ada kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat sejak resesi ekonomi karena pandemi. Oleh sebab itu, berawal dari 2020, Erike memutuskan untuk berjualan roti. 

Cikal bakal usaha kuliner ini sesungguhnya bermula dari hobi dan sekadar coba-coba. 

Sebelumnya, perempuan 48 tahun ini tidak tahu cara membuat roti dan hanya mencoba-coba memasuki dunia usaha panganan tersebut. Dengan bantuan teknologi seperti YouTube, semua orang bisa belajar apa pun, termasuk dirinya. Melalui video-video YouTube yang dia tonton, perlahan-lahan Erike belajar membuat roti dari nol. Salah satu yang dipelajarinya adalah roti baso atau biasa disebut roti Henis. 

“Dari dulu saya suka sekali sama roti Henis, tapi kalau terus-terusan beli kan mahal, ya. Jadi, saya coba bikin saja. Mumpung peminatnya banyak,” kata Erike sambil tertawa kecil saat diwawancarai pada Senin (26/04). 

Baca juga: Dian Eka Purnama Sari: Perempuan Pengusaha yang Lawan Stereotip
Dari penjualan roti tersebut, Erike bisa meraup penghasilan hingga 2 juta rupiah per harinya. Namun, hanya satu macam makanan saja tidak cukup, begitu pikir Erike. Ibu beranak satu ini juga membuat makanan kecil seperti kroket dan risol, kue, serta dessert seperti puding. 

Hampir Selalu Semua Pekerjaannya Dilakukan Sendiri

Roti buatan Erike bisa didapatkan melalui proses pemesanan terlebih dahulu atau sistem pre order (PO). Untuk pendistribusiannya yang dalam jumlah besar, mereka tidak memungut biaya alias gratis.

Proses pengerjaan roti dimulai Erika dari pukul 06.00 pagi. Pekerjaan pertamanya hari itu adalah membuat kroket–makanan kecil yang berbahan dasar kentang dan diisi dengan cincangan wortel, sayuran hijau, dan potongan ayam kecil-kecil. Olahan itu dipadukan dengan isian krim gurih yang disebut rogut–berjumlah 112 buah.

Sebagian besar pekerjaan Erike tidak dibantu siapa pun. Hanya kadang-kadang saja dia dibantu oleh pembantu paruh waktunya, Kesi, jika beban kerja yang ditanggung terlalu banyak.  

“Kalau udah orderan banyak gini, saya ngakalinnya dengan buat isinya dulu satu-dua hari sebelumnya. Hal ini juga udah termasuk ngupas dan numbuk kentangnya. Kalau semua itu sudah, akan dibumbui kentangnya supaya nggak hambar-hambar banget,” ujar Erike di sela-sela kerjanya.

Sekitar pukul 14.00 WIB, Erike itu tampak serius menguleni adonan kroket. Proses ini dilakukan selama beberapa menit sebelum akhirnya berlanjut ke tahapan selanjutnya yaitu, memecah adonan menjadi bagian-bagian kecil sebelum nantinya dibentuk seukuran bola kasti. Usai itu, adonan akan dipipihkan seukuran tidak lebih dari telapak tangan dan diisi dengan filling rogut.

Setelah berkutat selama tiga jam, kroket yang sudah jadi akan dibalur dengan lapisan telur dan tepung roti sebelum memasuki penggorengan.

Selanjutnya, Erike memasuki tahap pengerjaan yang kedua yaitu, membuat roti baso. Proses yang dilakukan untuk membuat roti tidaklah mudah dan cepat. Kalau dihitung-hitung, untuk menyiapkan satu loyang berisi 20 buah adonan, memakan waktu pengerjaan selama 3-5 jam. Mulai dari membuat adonan, menguleni, membulatkan adonan menjadi bola-bola berdiameter 2-5 cm, hingga masuk ke panggangan. 

“Total-total 12 jam untuk pesanan 200 buah, sama seperti kroket dari siang hingga malam,” kata Erike setengah menghela. 

Dari segi modal, uang yang dikeluarkan untuk usaha ini tergolong tidak besar dan relatif terjangkau. 

“Kalau dihitung-hitung, pengeluarannya sebesar 200-300 ribu. Ini sudah termasuk dari pembelian bahan-bahan, tenaga, packaging, dan waktu pengerjaan. Dan, tergantung juga dari pesanan dan jumlahnya mau apa dan seberapa,” kata Sonwell.

Bisnis Perempuan Lebih Bisa Bertahan Selama Pandemi

 Usaha yang dilakukan Erike dan Sonwell seperti ini tengah digandrungi banyak orang khususnya di tengah pandemi wabah virus COVID-19. Terlebih, mengingat semakin besarnya jumlah pekerja yang di-PHK dari hari ke hari. 

Sebanyak 60 persen usaha kecil dan mikro yang paling baik bertahan dari krisis moneter, ekonomi pangan, dan energi dimotori oleh perempuan. Dilansir Katadata.id, sebanyak 49 persen perempuan merupakan pewirausaha dengan bisnis yang mereka jalankan sendiri. 

Namun, ketidakpercayaan diri, pikiran akan takut gagal masih merundungi sebagian perempuan untuk berwirausaha. Belum lagi, jeratan konstruksi sosial yang mana mengharuskan perempuan untuk hidup di ranah sumur, dapur, dan kasur yang membatasi potensi perempuan untuk lebih menggerakan UMKM dan kewirausahaan di Indonesia.

Baca juga: Dari Budaya sampai Agama, Ini 4 Hal yang Hambat Perempuan Berkarier

Oleh karenanya, dibutuhkan suatu lembaga atau pelatihan khusus untuk mendukung kemajuan perempuan dalam hal berwirausaha dan berbisnis baik dalam skala kecil maupun besar. Tentunya, pelatihan yang dimaksud tidak harus bersifat formal dan mengeluarkan uang. Tapi, bisa dimulai dari video-video YouTube, online training, dan sebagainya.


Evania Raissa, seorang introver yang doyan nulis, baca, dan fangirl soal BL. Connect with me @karinnaseraphine @evaniaraissa_99

Read More

Petani Perempuan di Garda Depan Industri Kopi

Urusan kopi, mulai dari penikmat, pebisnis, hingga petani, kerap dicap maskulin karena didominasi para lelaki. Bahkan, keterlibatan petani kopi perempuan tak otomatis membuat industri ini menjadi lebih setara. Pasalnya, mayoritas penentu keputusan, dari menentukan harga kopi sampai transaksi jual beli, masih dikontrol oleh laki-laki.

Untuk menggeser kesan maskulin di industri kopi, yang dibutuhkan adalah melibatkan perempuan lebih banyak serta menciptakan sistem yang adil untuk mereka. Dalam sebuah diskusi daring, peneliti dan spesialis gender World Agroforestry (ICRAF), Elok Mulyoutami menuturkan, kesetaraan gender dapat dihasilkan dalam sistem agroforestri kopi.

Sistem ini telah diterapkan dalam skala nasional dan internasional, dengan menanam pohon atau tanaman pelindung sesuai dengan jarak tanam yang diatur sedemikian rupa. Tujuannya untuk menggenjot produksi kopi sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim.

Mengapa sistem agroforestri ini perlu diimplementasikan pada kopi? Karena para petani kopi hanya menikmati hasil panen sebanyak satu kali dalam setahun. Karenanya, tanaman yang digunakan sebagai alternatif pun bersifat komersial, seperti rempah-rempah, buah, dan sayur.

Dari situlah, kata Elok, diharapkan ada pembagian relasi yang adil antara lelaki dan perempuan.

“Misalnya dalam pembagian tugas dalam berkebun kopi, pembagian pendapatan, akses terhadap kehidupan rumah tangga, manajemen waktu, keuangan, pengambilan keputusan rumah tangga, serta akses untuk mendapatkan pembangunan kapasitas,” ujarnya.

Baca Juga: Tak Ada Tanah dan Air untuk Perempuan

Intervensi Gender Mendesak dalam Pertanian Kopi

Berdasarkan data Lota Bertulfo dalam “The Conference Board of Canada” terkait peranan gender di industri kopi, sebagian besar tugas dalam produksi kopi masih dilakukan oleh petani laki-laki. Jika diperinci, kelompok ini mengerjakan sembilan rangkaian kerja, dari persiapan lahan, pembenihan, hingga penyimpanan. Sementara, tugas petani perempuan terbagi menjadi lima bagian, dari penanaman hingga pemilihan.

Dari pembagian itu saja sudah tampak ada perbedaan peran, di mana laki-laki lebih difokuskan untuk mengurus lahan. Intervensi gender di sini diperlukan sebagai salah satu langkah untuk menjembatani ketimpangan peran itu. 

ICRAF meneliti 125 responden pada September hingga Oktober 2020 di Kecamatan Dempo Tengah dan Dempo Utara dan terbukti, intervensi gender dalam sistem agroforestri kopi tidak berdampak negatif pada kualitas rumah tangga. Suami istri petani kopi justru jadi saling mendukung dan melengkapi. Namun, masih ada risiko ketidakseimbangan hubungan, mengingat lelaki masih dianggap sebagai kepala rumah tangga yang memegang kunci terakhir pengambilan keputusan.

Merespons ini, Do Ngoc Sy, Sustainability Manager Jacobs Douwe Egberts (JDE) menjelaskan, peran perempuan harus selalu ada dalam sistem rantai nilai kopi. 

“Jika diabaikan, maka kita akan kehilangan potensi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan bagi keluarga petani secara keseluruhan,” ujarnya.

Baca Juga: Akibat Stigma, Kelompok Minoritas Masih Sulit Mengakses Kesempatan Kerja

Keterlibatan Petani Perempuan dalam Agroforestri Kopi

Berikutnya, kerja sama antara perempuan dan laki-laki dinilai mampu mengembangkan produktivitas usaha kopi. Hubungan ini didukung oleh S&D SUCDEN COFFEE sebagai green coffee merchant berskala global.

“S&D SUCDEN COFFEE telah bekerja sama dengan beberapa mitra dalam program peningkatan kapasitas praktik pertanian yang baik, bagi para petani, khususnya petani perempuan agar dapat membuka peluang bagi mereka dalam meningkatkan kapasitasnya,” ujar Veronika Semelkova, Sustainability Manager S&D SUCDEN COFFEE.

Sayangnya, sejauh ini keterlibatan perempuan dalam agroforestri kopi tergolong masih minim. Sartika Monalisa, Robusta Master Trainer Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) berujar, di Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, hanya terdapat 20 persen kelompok petani perempuan dengan perwakilan tiga kelompok per desa. Padahal, petani perempuan memiliki pengaruh dalam kemajuan perekonomian keluarga. Mereka bisa melakukan sembilan pekerjaan laki-laki di kebun saat sedang dibutuhkan, sehingga produksi jalan terus dan pendapatan keluarga tetap stabil.

Lalu apa solusinya?

Dengan menyelenggarakan pelatihan yang tepat, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan perempuan cenderung mudah ditingkatkan. Mereka juga bisa memiliki kesadaran tentang kapabilitas diri agar terbentuk keinginan untuk terlibat.

Baca Juga: Seabad Lebih Setelah Kartini Gagas Emansipasi Perempuan, Kesetaraan Gender Masih Jadi PR

“Ada stigma di masyarakat kalau perempuan enggak perlu ikut pelatihan, lebih baik di rumah saja, sehingga mereka merasa tidak berhak mendapatkan kesempatan tersebut,” tutur Elok

Dengan memberikan ruang kontribusi lebih besar bagi perempuan, cakupan yang dibantu tak hanya sebatas perekonomian keluarga. Perempuan juga memiliki kemampuan lebih baik untuk berbagai pengetahuan secara detil kepada orang lain.

“Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan untuk berperan optimal sebagai aktor utama dalam menciptakan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan,” pungkas Elok.

Read More
pengusaha perempuan

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Banyak orang menekuni profesi yang berbeda jauh dari latar belakang pendidikan formalnya, tak terkecuali seniman daur ulang Intan Anggita Pratiwie. Ia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, yang kemudian meraih gelar master di bidang seni pertunjukan dari Institut Musik Daya Indonesia. Dunia daur ulang yang ditekuninya saat ini adalah passion sejak lama yang dipengaruhi oleh kegiatan kedua orang tuanya. 

brand setali indonesia

“Bapak saya refurbished mobil lama seperti baru lagi. Ibu saya melakukan vermak baju,” kata Intan melalui e-mail kepada Magdalene

Ketertarikannya terhadap isu pengurangan sampah fashion selalu didukung oleh sang suami, Aria Anggadwipa. Bersama Aria, Intan pernah mengadvokasi berbagai isu di Indonesia Timur, yang didokumentasikan di laman menujutimur.com (kini tidak aktif lagi). Untuk membiayai kegiatan tersebut, Intan mendirikan merek pakaian daur ulang Sight From The East, yang saat ini telah berubah nama menjadi Sight From The Earth.    

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

“Pada 2012, istilah sustainable fashion di Indonesia belum populer. Saat itu yang kami lakukan adalah mendaur ulang denim dan tenun,” ujar perempuan berusia 35 tahun ini.  

Salah satu kegiatan advokasi yang dilakukan Intan adalah mendampingi Papa Jo, seorang pegiat bank sampah dari Labuan Bajo, yang pada 2013 diundang oleh badan PBB untuk urusan lingkungan (UNEP) ke Workshop on Marine Litter di Okinawa, Jepang. 

Intan Anggita Pratiwie dan Gerakan ‘Sustainable Fashion’

Pada acara tersebut, Intan semakin memperluas wawasannya di isu keberlanjutan setelah berkenalan dengan aktivis pengelolaan sampah dari seluruh dunia. Lima tahun kemudian, dia berkontribusi dalam mendirikan Setali, sebuah yayasan yang bergerak di isu fashion berkelanjutan.  

“Saya diajak (penyanyi) Andien yang (saat itu) telah terlebih dahulu memiliki Salur Indonesia. Ada kemacetan bottle neck dalam mengelola barang donasi di Salur. Berhubung saya hobi mendaur ulang, akhirnya limbah fashion tersebut dikelola dan diperpanjang menjadi barang baru,” ujar Intan.  

“Kami akhirnya sepakat untuk mengubah misi menjadi lebih fokus di sustainable fashion dan mengganti nama menjadi Setali Indonesia,” ia menambahkan. 

Pada Oktober mendatang, Intan akan memamerkan karyanya di Paris Fashion Week. Kesuksesannya menembus salah satu pekan mode terbesar ini diraih setelah mendaftar di Fashion Division, melewati tahapan wawancara dan lainnya hingga kemudian terpilih.

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion 

Intan Membumikan Isu Sampah Fashion

Industri mode adalah salah satu polutan terbesar di dunia. Menurut sebuah penelitian berjudul The environmental price of fast fashion yang diterbitkan oleh nature.com pada tahun 2020, industri ini menghasilkan 8-10 persen emisi karbondioksida global  (4-5 miliar ton per tahun). 

Industri ini juga menghabiskan banyak air (79 triliun liter per tahun), bertanggung jawab hampir 20 persen dari polusi air limbah seluruh industri setiap tahunnya, menyumbang 35 persen (190.000 ton per tahun) dari polusi mikroplastik di laut, dan menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah sangat besar (92 juta ton per tahun). 

Melihat begitu besarnya dampak sampah mode, Setali juga menerima sumbangan pakaian bekas, yang kemudian diperpanjang usianya dengan cara didaur ulang untuk dijadikan produk baru yang bernilai jual. 

Masyarakat yang ingin menyumbang harus menaati syarat-syarat yang telah ditetapkan. Misalnya, jika seseorang ingin mendonasikan kain atau pakaian tidak layak pakai, dia harus mengguntingnya untuk dijadikan perca agar lebih mudah didaur ulang. Kendati demikian, ada kalanya penyumbang melanggar ketentuan tersebut. 

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

“Banyak pula yang membuang sampah seperti boneka yang sudah tidak berbentuk lagi. Lalu, (untuk mengatasi hal ini), kami minta orang-orang mengirim foto terlebih dahulu, tapi tetap saja cara itu tidak efektif. Akhirnya, kami menjadikan (layanan ini) langganan berbayar supaya dapat mengelolanya lebih baik dan berkelanjutan,” ujar pebisnis perempuan ini.  

Mengurangi limbah fashion adalah kerja kolektif yang memerlukan kontribusi banyak pihak. Selain mengolah sampah pakaian hasil sumbangan ke Setali bersama rekan-rekannya sesama seniman daur ulang, Intan juga menjalin kerja sama dengan pihak lainnya untuk memfasilitasi agar masyarakat dapat menaruh pakaian bekas di kotak-kotak yang disediakan di tempat-tempat tertentu. 

Pebisnis Perempuan Intan Anggita Pratiwie

“Kami sempat bekerja sama dengan Carsome (tempat jual beli mobil bekas), Kirei Wash and Beyond (laundry ramah lingkungan), dan Ease (sebuah merek lokal yang menerapkan prinsip sustainable fashion) cabang Plaza Indonesia, tetapi ini hanya proyek sementara. Sekarang dropbox hanya ada di Subo Jakarta, tempat workshop upcycle kami, dan terbatas untuk pelanggan Subo saja,” tutur Intan. 

Intan mengakui bahwa hal paling sulit dari kegiatannya adalah mengedukasi masyarakat dalam memilah-milah dan memanfaatkan kembali pakaian bekas. Meskipun demikian, dia juga berpendapat bahwa kesadaran masyarakat sudah terbentuk. Untuk itu, komunitasnya tak pernah lelah memberikan edukasi mengenai apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi limbah dan memperpanjang usia pakaian. 

“Kami menyebarkan (informasi) melalui media sosial, meminta tolong influencer untuk terlibat, dan membuat acara workshop yang menarik. Anak-anak muda lebih tertarik dengan sesuatu yang menyenangkan, berbeda, dan kreatif. Kami juga mengajak masyarakat untuk bisa mendaur ulang secara mandiri dengan memberikan kelas dasar upcycling melalui workshop,” tuturnya. 

Baca Juga: Diajeng Lestari, Pengusaha Muslimah Sukses dengan Brand HIJUP

Limbah fashion berdampak serius pada lingkungan sehingga pemerintah perlu menaruh perhatian secara sungguh-sungguh. Intan berpendapat, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan penanganan secara lebih holistik. 

“Pemerintah perlu menjadikan ini sebagai suatu kebijakan, yaitu melarang  masyarakat membuang limbah fashion. Berikan mereka pilihan dengan mempercayakan pengelolaan sampah kepada lembaga seperti kami, menjual kembali ke e-commerce atau menyalurkan kepada yang membutuhkan,” katanya. 

Read More
jam kerja dan kesetaraan gender

Pangkas Jam Kerja Panjang untuk Hasil Lebih Optimal, Dorong Kesetaraan Gender

Work smart, not work hard”. 

Lebih dari 10 tahun lalu, pengusaha Tim Ferris merilis buku The 4-Hour Workweek yang mengangkat gagasan idealnya bekerja dengan jam kerja lebih pendek tapi lebih efektif dan membawa hasil kerja yang lebih optimal dibandingkan bekerja dengan jam panjang. 

Gagasan Ferris sendiri tidak lepas dari prinsip Pareto atau yang dikenal 80-20 rule. Dilansir Investopedia, prinsip ini menegakkan aksioma bahwa seseorang bisa membuahkan 80 persen hasil dari 20 persen energi yang dihabiskan untuk bekerja. Tidak hanya di dunia bisnis atau urusan kantor, prinsip ini bisa ditegakkan pula di ranah lain mulai dari pengelolaan keuangan pribadi sampai masalah relasi personal.

Syaratnya seperti yang disinggung tadi: Bekerjalah dengan cerdik. Identifikasi di mana letak kekuatan atau hal yang harus diinvestasikan demi mendapat keuntungan lebih banyak ketimbang bekerja lama-lama setiap harinya.

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Pro Kontra Jam Kerja Pendek

Tanggapan atas buku Ferris itu terbelah dua. Kubu pertama merasa gagasan Ferris tersebut cocok dengan pengalaman hidup mereka. Mereka berpikir, berlama-lama di depan laptop atau nyaris menginap di kantor demi memenuhi target kerja tidak menghasilkan output lebih banyak dan lebih baik. Yang ada, pekerja menjadi penat, kekurangan ide kreatif, hingga efek dominonya membuat diri dan perusahaannya kurang produktif.

Argumen kubu pro ini didukung temuan riset-riset terdahulu. Dalam tulisan Sarah Carmichael yang dimuat di Harvard Business Review, dinyatakan bahwa berdasarkan riset, bekerja berlebihan atau lembur tidak serta merta membuahkan hasil lebih baik dan banyak. Bisa saja seorang  karyawan menghabiskan lebih banyak waktu di kantor tetapi hasil kerjanya sama saja atau bahkan lebih buruk dibanding kolega mereka yang kelihatan bekerja dengan durasi pendek. Dalam sebuah riset bahkan dikatakan bahwa mereka yang bekerja berlebihan akan lebih rentan stres dan mengalami masalah kesehatan. 

Sementara itu, masih banyak yang percaya waktu adalah uang, dan bekerja dengan jam kerja pendek artinya menyia-nyiakan kesempatan atau penghasilan. Selain itu, ada pula yang mengungkapkan argumen kontranya terhadap buku Ferrris karena penulis itu ada di posisi berprivilese: laki-laki kulit putih. 

Sistem jam kerja pendek juga tidak bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan. Mereka yang bertugas sebagai tenaga kesehatan misalnya, harus siap dipanggil kapan saja bila dibutuhkan, termasuk bertugas dengan durasi panjang. Para spesialis dan orang-orang yang bekerja di unit gawat darurat tidak bisa menawar pada atasannya untuk punya jam kerja pendek. 

Selain di dunia medis, pekerja rumah tangga (PRT) pun hampir mustahil menerapkan gagasan Ferris. Kondisi mereka begitu senjang dengan Ferris karena mereka mayoritas perempuan dan berkulit berwarna. Jangankan di Amerika Serikat sana, di sini, PRT yang satu ras dengan majikannya pun masih sulit mendapat posisi tawar bekerja dengan durasi pendek. 

Hal serupa juga kerap terdengar dari mereka yang bekerja di bidang kreatif seperti agensi atau rumah produksi. Manalah mungkin mereka menerapkan prinsip 80-20 itu kalau tuntutan kerja terus mengejar? Selama jadi buruh dan bukan pemilik modal, bagi banyak orang menerapkan jam kerja pendek semacam utopia saja.   

Baca juga: Women Lead Forum 2021: Kesetaraan Gender di Kantor Harus Mulai dari Pemimpin

Jam Kerja Panjang Kian Parah Selama Pandemi

Di era digital seperti sekarang, bekerja dengan durasi panjang bertambah subur karena banyaknya alat dan cara yang mempermudah seseorang untuk kembali berkacamata kuda, terus memikirkan pekerjaannya. Hal ini bertambah parah ketika pandemi berlangsung dan sistem work from home (WFH). 

Memang benar karyawan jadi punya lebih banyak waktu di rumah. Tetapi efek buruknya, jumlah jam kerja banyak orang kian panjang seiring notifikasi e-mail dan chat dari klien atau orang kantor yang tidak kenal waktu di berbagai industri.

Kebiasaan bekerja dengan jam kerja panjang, baik WFH atau di kantor, tidak lepas dari paparan pandangan keliru yang diterima mayoritas masyarakat soal kerja keras. Ada yang menganggap seseorang miskin karena ia malas atau “terlalu lembek” pada diri sendiri. Ini pada akhirnya mendorong orang untuk lebih banyak mengambil pekerjaan atau menambah waktu kerja, padahal masalah kemiskinannya tidak semata karena kurang upaya. 

Budaya jam kerja panjang bahkan diwajarkan dan dikukuhkan lewat Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan kita, yang menyatakan bahwa jam kerja yang berlaku adalah 7 jam dalam sehari bagi mereka yang bekerja enam hari seminggu, dan 8 jam sehari bagi mereka yang bekerja lima hari seminggu. Sudah diatur seperti ini saja, masih banyak kantor yang menuntut tenaga dan waktu lebih dari karyawannya. Sebagian berbayar, lainnya tidak, dan lagi-lagi mayoritas karyawan memilih manut saja daripada dipecat.  

Apa Pentingnya Menyetop Jam Kerja Panjang?

Secara psikis, Carmichael mengatakan bahwa kita menghabiskan banyak waktu untuk bekerja karena adanya rasa bersalah kalau tidak tampak banyak bekerja, bercampur dengan ambisi untuk mencapai standar kesuksesan arus utama, kecemasan, serta gengsi dengan orang di sekitar tempat kerja. 

Pernyataan sesederhana “Kalau aku/dia bisa, kamu juga mestinya bisa, dong” bisa jadi mempersulit keadaan seseorang, terlebih perempuan pekerja, yang juga punya banyak tanggung jawab di luar kantor. Bak pisau bermata dua, kalimat seperti itu ada kalanya memotivasi orang, ada kalanya justru membuat si pekerja kian tertekan hingga burn-out karena pekerjaan kantor

Kondisi karyawan burn-out ini merugikan diri mereka secara individu dan perusahaan. Ini menjadi alasan pertama mengapa perusahaan perlu mempertimbangkan jam kerja pendek, namun tetap berorientasi pada hasil berkualitas. 

Bekerja dengan durasi lebih pendek juga dapat meningkatkan fokus karyawan, memperbaiki manajemen waktu dalam bekerja, dan kepuasan mereka secara keseluruhan, demikian argumen Medy Navani dalam Entrepreneur Middle East. Dengan begitu, perusahaan pun akan menikmati buah keuntungan lebih besar. 

Dalam infografik yang dirilis di situs Ohio University dinyatakan bahwa menurut studi di Swedia, bekerja 6 jam sehari (alih-alih 8 jam), bisa memompa produktivitas karyawan dan mengurangi potensi absensi mereka. Karyawan pun cenderung lebih sehat dan produktif dengan adanya pengurangan jam kerja. Dalam konteks responden studi adalah perawat, ditemukan bahwa para perawat dengan durasi kerja enam jam 20 persen lebih bahagia dan 64 persen lebih  produktif. 

Negara-negara Skandinavia bisa dibilang paling progresif soal aturan jam kerja ini. Perdana menteri Finlandia yang tengah menjabat, Sanna Marin, sempat menggagas enam jam kerja fleksibel dan empat hari kerja dalam sebuah diskusi panel sebelum ia menduduki posisinya sekarang.

“Saya percaya orang-orang layak menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, orang-orang tersayangnya, atau melakukan hobi dan aspek lain dalam hidup. Ini bisa menjadi langkah maju bagi kita dalam kehidupan karier,” kata Marin sebagaimana dikutip Forbes.

Di Inggris, tuntutan untuk bekerja dengan durasi lebih pendek juga disuarakan oleh Partai Buruh. Di sana, ada kebijakan empat hari kerja dalam seminggu tanpa pengurangan gaji. Efeknya tidak hanya dirasakan karyawan, tetapi lebih makro lagi, yakni mengurangi emisi karbon yang muncul akibat mobilisasi karyawan. 

Waktu Kerja dan Kaitannya dengan Kesetaraan Gender

Bagi perempuan, bisa mendapat durasi kerja pendek atau sistem jam kerja fleksibel dari kantor adalah suatu keistimewaan, terlebih bagi yang sudah berkeluarga. Di tengah budaya patriarkal, perempuan masih diharapkan memegang peran dominan dalam mengurus rumah tangga dan anak. Ini berekor pada beban ganda yang mesti mereka emban jika memilih tetap berkarier.

Namun, jam kerja pendek tidak seharusnya diberikan kepada perempuan saja. Laki-laki pun patut melakukan hal ini agar ia bisa mengimbangi perempuan terkait peran di luar kantornya. 

Banyak studi mengatakan, keterlibatan laki-laki di ranah domestik, terlebih dalam hal mengurus anak, berdampak positif terhadap perkembangan anaknya tersebut. Dalam sebuah laporan yang dimuat di The Guardian dikatakan, laki-laki yang turut berperan dalam urusan rumah tangga mendorong anak lebih bahagia dan teredukasi dengan baik. Sementara bagi dirinya sendiri, hal tersebut memberi manfaat bagi kesehatan mental dan fisiknya.

Sementara dari laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) berjudul “Decent Working Time” (2007) disebutkan bahwa “waktu kerja yang layak” mendukung kesetaraan gender. Tidak jarang kita temukan karyawan lebih banyak menghabiskan waktu kerja dibanding karyawati karena adanya “kewajiban” rumah tangga berbasis peran gender tradisional. Ini pada akhirnya menciptakan segregasi gender di tempat kerja, di mana perempuan menghadapi lebih banyak hambatan untuk memasuki dunia kerja dan promosi karier.

“Untuk mempromosikan kesetaraan gender, kebijakan jam kerja harus dibuat sedemikian rupa untuk mendorong  perempuan pekerja berada setara dengan laki-laki (misalnya dalam hal level posisi, perkembangan karier, dan sebagainya)…Pertama, dengan menutup kesenjangan gender dalam hal jam kerja untuk laki-laki dan perempuan. Ini bisa dilakukan dengan cara membatasi jam kerja berlebihan bagi para pekerja purnawaktu…” demikian petikan laporan ILO tersebut.

Read More
sebelum jadi anak magang

5 Hak Anak Magang yang Perlu Dipahami Sebelum Tanda Tangan Kontrak

Tak sedikit pengalaman buruk yang dibagi para mahasiswa yang melakukan praktik kerja magang. Ada yang melakukan pekerjaan tidak sesuai dengan yang dideskripsikan pada awal rekrutmen, bekerja di luar jam kantor, tidak menerima upah, hingga melakukan pekerjaan karyawan lainnya yang tidak menjadi kewajibannya.

Cerita serupa yang datang dari start-up Ruangguru meramaikan Twitter di pertengahan Maret lalu. Sebagian warganet menuding perusahaan tersebut dengan sengaja mempekerjakan karyawan magang karena upahnya lebih rendah.

Kejadian-kejadian tersebut membuktikan bahwa tampaknya perusahaan masih abai dalam penerapan hak dan kewajiban karyawan magang. Tentunya kita dapat belajar dari pengalaman mereka sehingga tidak perlu mengalaminya, serta bersikap lebih kritis dan selektif dalam membaca hak dan kewajiban yang diberikan oleh perusahaan.

Karenanya, kita perlu memahami lima hak anak magang berikut ini sebelum memulai praktik kerja magang. Hak-hak ini penting untuk dipahami sebelum menandatangani kontrak, agar dapat menghindar dari eksploitasi pekerjaan, yakni dipekerjakan dengan upah rendah atau tidak sama sekali, dan beban kerja yang terlalu berat untuk seorang anak magang.

Baca Juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

1. Menerima Uang Saku atau Uang Transpor

Meskipun bukan karyawan tetap, karyawan magang juga memiliki hak untuk menerima uang saku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Sering kali hak yang satu ini berada di ranah abu-abu dan anak magang pun hanya pasrah dan diam saat perusahaan tidak dapat memberikan upah. Hal ini karena mereka lebih mengutamakan pengalaman bekerja sebagai modal yang dicantumkan dalam CV-nya nanti. Memang sih, anak magang akan mendapatkan pengalaman berharga yang akan mempersiapkan mereka sebelum masuk ke dunia kerja. Tapi apa iya, dibayar dengan pengalaman itu sudah cukup?

2. Memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang dimaksud jaminan sosial di sini adalah jaminan kecelakaan kerja dan kematian.

Dicantumkannya hak ini dalam UU merepresentasikan pentingnya jaminan sosial tenaga kerja. Dengan adanya jaminan sosial, anak magang tak perlu khawatir apabila risiko yang tidak diinginkan terjadi karena tidak mendapat pertanggungjawaban dari perusahaan. Jaminan sosial juga menjadi kebutuhan mendasar yang layak diterima.

3. Mendapatkan Bimbingan dari Supervisor Magang

Anak magang tentunya membutuhkan peran seorang supervisor dalam melaksanakan pekerjaannya. Peran ini dibutuhkan untuk memberikan arahan terkait sistem dan rangkaian pekerjaan yang harus dilakukan, menyampaikan ilmu terkait bidang pekerjaan dan realitas dalam dunia kerja, serta mengevaluasi kinerja agar dapat dikembangkan. Supervisor juga yang akan memastikan kalau praktik kerja magang yang dilakukan berjalan dengan lancar.

Apabila tidak ada keterlibatan seorang supervisor, anak magang akan kehilangan ilmu yang seharusnya bisa mereka peroleh. Meskipun mereka dapat bertanya dan belajar dari karyawan lainnya, komunikasi utama yang harus dibangun dalam lingkungan kerja tersebut ialah dengan supervisor-nya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

4. Anak Magang harus Mendapatkan Jobdesk atau Pekerjaan yang Jelas

Di sebagian tempat kerja, karyawan magang kerap dianggap sebagai sosok yang gampang disuruh-suruh. Padahal, sebagaimana karyawan tetap, mereka juga butuh kejelasan dalam hal deskripsi kerja dan kewajiban utamanya. Karyawan tetap sering kali menyuruh anak magang melakukan ini itu demi meringankan kerja mereka sendiri, tapi tidak memikirkan beban kerja si karyawan magang.

Maka itu, penting bagi karyawan magang untuk memahami dan memastikan bahwa pekerjaan yang dilakukannya masuk ke dalam cakupan deskripsi pekerjaan secara tertulis yang dijelaskan sebelum periode magang dimulai.

Bila masih tetap disuruh mengerjakan hal-hal di luar deskripsi kerjanya, sebaiknya anak magang mengomunikasikannya kepada pembimbing magang agar kejadian tersebut tidak terulang dan karyawan lain pun berhenti untuk berperilaku sesukanya.

4. Anak Magang Berhak Mendapatkan sertifikat magang

Berdasarkan hak dan kewajiban anak magang yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 22 Ayat (2), seorang anak magang juga berhak untuk mendapatkan sertifikat magang apabila lulus pada akhir program.Tentunya sertifikat ini berguna sebagai bukti bahwa mereka telah memiliki pengalaman kerja secara resmi di sebuah perusahaan. Kinerja karyawan magang juga dapat dilihat dalam sertifikat tersebut, yang kemudian akan jadi pertimbangan bagi perusahaan tempat mereka melamar pekerjaan berikutnya.

Read More

Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Akhir Mei lalu, seorang pengusaha meramaikan jagat Twitter dengan sebuah video yang diunggahnya di TikTok. Ia mengatakan bahwa karyawan yang kebanyakan izin sakit sebenarnya hanya ingin menyabotase perusahaan. Menurutnya, apabila seseorang masih bisa bangun, jalan, makan, dan naik motor, artinya bisa ke kantor. Ini mengindikasikan bagaimana kesehatan mental karyawan belum dianggap penting oleh pengusaha tersebut. 

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah tertera dengan jelas bahwa dalam mempekerjakan tenaga kerja, pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Sayangnya, UU tersebut belum diimplementasikan oleh banyak perusahaan dalam konteks kesehatan mental. 

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Mental Karyawan

Sejatinya, bekerja memiliki dampak positif untuk kesehatan mental seseorang. Alasannya, dengan bekerja, kita bisa mengaktualisasi diri selain mendapat upah untuk menunjang hidup. Bekerja juga membentuk struktur dan tujuan hidup seseorang yang membuat orang-orang termotivasi untuk melanjutkan hidup karena ada yang dikejar. Di samping itu, bekerja juga membuka kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain dan menjalin pertemanan, serta sebagai sarana untuk meningkatkan harga diri seseorang dengan dihargai oleh orang lain.

Namun, dalam situasi tertentu seperti lingkungan kerja yang toksik, terus bekerja justru menimbulkan tekanan hingga memicu gangguan kecemasan, dan depresi.

Di berbagai kasus, ada bos-bos menilai beban kerja seorang karyawan tak begitu banyak sehingga tidak akan ada risiko kesehatan apa pun yang akan muncul. Tapi,  masih ada faktor lain yang menyebabkan karyawan tidak bekerja sebagaimana biasanya, yang luput dari perhatian. Lingkungan kerja toksik yang mencakup interaksi dengan kolega yang buruk di kantor, budaya kantor yang minim apresiasi, tidak memperhatikan kebutuhan khusus karyawan per individu secara psikologis bisa menjadi faktor-faktor lain pemicu masalah kesehatan mental karyawan.

Kita ambil contoh, jika seorang pekerja menerima pelecehan atau dirundung oleh rekan-rekan kerjanya hingga ia merasa tak nyaman, sangat mungkin dia mengalami penurunan performa kerja. 

Masalah jam kerja juga menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental karyawan. Sebagian perusahaan memberlakukan jam kerja yang fleksibel. Hal ini jadi dua sisi mata uang. Di satu titik, jam kerja fleksibel memungkinkan karyawan memenuhi target kerjanya, terlebih bagi perempuan pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Adanya kebijakan jam kerja ini membuat mereka bisa mengatur kapan harus berhadapan dengan laptop atau ponsel untuk bekerja, dan kapan harus mengurus anak dan rumah. 

Tapi di titik lain, khususnya selama pandemi ini, jam kerja fleksibel juga berarti kita mesti siap dipanggil, rapat, atau mengumpulkan tugas kantor kapan pun. Sebagian orang masih mengisi waktu istirahat malamnya atau mengorbankan waktu main dengan anaknya karena perusahaan masih berorientasi pada hasil. Ujungnya,work-life balance karyawan pun jadi berantakan, dan ini berisiko pada penurunan kesehatan mentalnya. 

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kenapa Perusahaan Perlu Sadari Pentingnya Kesehatan Mental Karyawan?

Masih banyak pihak, termasuk perusahaan, yang perlu disadarkan bahwa kesehatan manusia tidak hanya dilihat dari fisik saja, tetapi juga mental. Kantor menjadi salah satu tempat yang memengaruhi kesehatan mental seseorang karena adanya beban kerja berlebih yang diemban para pekerja.

Saya sering menemukan sebuah kalimat yang sepertinya dijadikan pengingat oleh para pengguna Twitter, “kerja sewajarnya karena kalau sakit, mati, keluarga yang sedih. Kantor mah tinggal cari karyawan lagi.”

Terkadang, beban kerja memang sering membuat kita lupa dengan kesehatan. Mengerjakan sesuatu sesuai deadline seperti dianggap sebagai keutamaan, tak peduli alarm burnout si karyawan sudah berbunyi. 

Alih-alih terus melanggengkan kondisi memprihatinkan seperti ini, perusahaan punya peran penting dalam membuat kebijakan yang mendukung pemenuhan kesehatan mental karyawannya. Jika tidak, ujung-ujungnya perusahaan juga merugi. 

Selain performa karyawan tak optimal lagi sehingga kurang produktif, reputasi perusahaan yang tak peduli masalah kesehatan mental juga tercoreng. Belum lagi perusahaan mesti mencari karyawan baru bila karyawan lamanya tidak tahan lagi mengemban beban kerjanya dan memutuskan resign

Perusahaan juga dapat berkontribusi positif terhadap kesehatan mental karyawan dengan menyosialisasikan cara mengelola stres serta cara berinteraksi dengan orang lain sebelum membuat keputusan terkait kerja.Komunikasi terbuka soal masalah mental pekerja dan inklusi menjadi kunci kesuksesan perusahaan, khususnya yang melibatkan kerja tim yang tinggi. 

Baca Juga: Diskriminasi di Tempat Kerja Hantui Orang dengan Gangguan Bipolar

Apa yang Perlu Dilakukan Perusahaan?

Jika seorang pekerja yang mengalami radang sendi langsung berobat ke dokter, mengapa saat dia mengalami burnout, depresi, dan kecemasan lebih memilih untuk menyimpan situasi tersebut pada diri sendiri dan terus memaksakan diri bekerja?

Bisa jadi mereka ragu untuk mengungkapkannya ke perusahaan karena khawatir tidak mendapat toleransi. Bisa jadi pula, masalah kesehatan mental di kantor hanya dikaitkan dengan kurangnya seseorang beribadah, terlalu ‘lembek’ saat diberi pekerjaan menantang, dan berbagai persepsi keliru lainnya.

Untuk mengubah kondisi itu, pihak perusahaan perlu membuat perubahan atau inisiasi kebijakan dalam menyikapi kesehatan mental karyawan. Mereka dapat membentuk ruang dengar untuk menerima keluh kesah pekerjanya dan memberikan fasilitas yang sama dengan kesehatan fisik. Bagi sebagian perusahaan, hal ini hanya membuang-buang anggaraan saja, padahal ditegakkannya kesadaran atas pentingnya kesehatan mental bisa berdampak positif dalam jangka panjang.

Sebuah regulasi dapat ditetapkan untuk mendukung kesehatan mental para pekerja. Misalnya, dengan membentuk Employee Assistance Program (EAP). Menurut sekelompok peneliti dari Illinois, Amerika Serikat, program ini berfungsi sebagai layanan pendampingan untuk membantu para pekerja dalam mengenal dan menyelesaikan permasalahan yang menghambat produktivitas kerja. Permasalahan yang pekerja hadapi sampai mengalami penurunan kesehatan mental bisa disebabkan oleh gangguan emosional, stres, kesehatan fisik, keuangan, keluarga, atau masalah pribadi yang memengaruhi kinerja.

Toleransi Perusahaan pada Karyawan Bermasalah Mental

Meskipun masih terganjal stigma, isu kesehatan mental semakin menjadi kesadaran masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Hal ini dialami oleh Agni Larasati (40), yang berprofesi sebagai seorang pekerja media. Beban kerja yang berat di industri media membuatnya seperti tidak memiliki batasan antara kehidupan dan pekerjaan karena dapat dihubungi kapan pun.

Saat ia menyadari bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja, Agni memilih untuk menceritakan situasinya setelah hasil medis keluar karena saat itu, kondisinya tidak semua orang paham tentang kesehatan mental.

“Saya pergi ke psikiater dan melakukan sejumlah tes. Ternyata hasilnya memang buruk sehingga enggak bisa bekerja dengan kompeten untuk sementara waktu. Saya pun mengajukan resign karena kalau cuti tak berbayar, takutnya masih dihubungi kantor untuk urusan pekerjaan dan jadi beban untuk segera pulih,” tuturnya.

Agni mengatakan bahwa perusahaannya sempat memberikan beberapa opsi selain cuti tak berbayar, seperti diizinkan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan si pekerja saat itu. Namun, rehat dari seluruh aktivitasnya saat itu menjadi hal yang paling diperlukan.

Ia pun menyatakan bahwa perusahaannya justru memberikan dukungan untuk memulihkan kesehatan mental. “Dari kantor memang belum ada fasilitas kesehatan mental, tetapi mereka memberikan kelonggaran untuk mengatur jadwal pekerjaan dan ruang bagi pekerjanya untuk mengomunikasikan kondisi diri yang tengah dialami. Selain itu, kami juga bisa me-reimburse biaya konseling,” ceritanya.

Berdasarkan pengalaman Agni, tampaknya langkah baik memang sudah dimulai oleh beberapa perusahaan di Indonesia dengan memfasilitasi layanan EAP untuk para pekerja. Setidaknya hal ini telah dilakukan oleh Allianz, AirNav Indonesia, dan PTPN. Ketiganya menyadari bahwa di tengah ketidakpastian yang disebabkan oleh situasi pandemi, kesehatan pekerjanya semakin perlu diprioritaskan karena mereka adalah aset terpenting bagi perusahaan.

Bukan tanpa sebab, tapi korporasi yang melek dengan kesehatan mental dan berusaha untuk memberikan fasilitas, akan menciptakan pekerja yang sadar akan kesejahteraannya. Lingkungan pekerjaan pun menjadi lebih positif, serta mendorong dan memberdayakan mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja.

Read More