Ketika Pekerjaan yang Kita Impikan Tak Sesuai dengan Harapan
Sebagian orang punya pekerjaan impian dan ketika mendapatkannya, ia mengira hal-hal baik akan terjadi sesuai harapannya. Namun, realitasnya tidak senantiasa demikian. Banyak hal tidak terduga terjadi yang membuat mereka memikirkan ulang apakah pekerjaan impiannya itu hendak diteruskan atau tidak.
Teman, konsultan karier, dan media membanjiri kita dengan rentetan nasihat yang terus-menerus mendukung kita untuk mengejar impian, menemukan kebahagiaan atas diri kita sendiri, atau mengejar passion kita dalam kehidupan profesional yang kelak ada. Namun, saran semacam ini tidak selalu mudah diikuti.
Bahkan ketika diperhatikan, saran itu bisa datang dengan kelemahan yang mengikutinya, terutama ketika ternyata pekerjaan tersebut melibatkan tugas rutin harian yang biasanya kurang disukai orang. Singkatnya, bekerja sering kali didefinisikan sebagai bekerja keras.
Contohnya, orang-orang yang mendapatkan pekerjaan di bidang ilmu data dan kecerdasan buatan berharap dapat menciptakan algoritme brilian yang akan memecahkan masalah besar. Namun, mereka malah menemukan pekerjaan tidak sesuai harapan karena mereka hanya untuk melakukan tugas-tugas menjenuhkan seperti pengumpulan dan pembersihan data kasar. Keinginan atas pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi kemudian meredup oleh hadirnya pekerjaan yang sulit dan membosankan yang sering kali berada di luar bidang minat utama pekerja.
Selain itu, tidak semua orang yang dipromosikan ke tingkat manajemen lebih tinggi antusias untuk melakukan tugas manajemen, atau bahkan melihat pekerjaan itu sebagai sebuah langkah maju.
Orang-orang meromantisasi berbagai pekerjaan di media, mode, film, seni rupa dan pertunjukan, serta industri budaya lainnya, tapi pekerjaan itu sering kali berakhir lebih membosankan daripada glamor. Pekerjaan apa pun, terutama di posisi pemula, memiliki unsur pekerjaan yang membosankan.
Pekerjaan Prestisius Tidak Selamanya Menyenangkan
Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan yang ada atas pekerjaan harian ini adalah fenomena yang kami namai dalam studi yang baru-baru ini diterbitkan
sebagai “glossy work” alias pekerjaan polesan atau berkilau yang ternyata membosankan. Dalam studi ini, kami mewawancarai pemeriksa fakta untuk sebuah majalah di industri yang glamor dan ternyata, mereka hanya menjalankan tugas mendasar setiap harinya. Mereka mengalami semacam ketidaksesuaian antara status pekerjaan mereka dan kenyataan yang ada.
Pemeriksa fakta tersebut mengatakan,
“Karena kamu berafiliasi dengan majalah, orang-orang berpikir bahwa kamu adalah seorang dengan tipe pekerjaan yang megah, tidak peduli bagaimana kamu sebenarnya berafiliasi di dalamnya.”
Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik
Kami mempelajari bagaimana fenomena ini mempengaruhi mereka.
Bagi para karyawan, ketidaksesuaian pekerjaan berkilau dapat memacu upaya untuk mengubah pekerjaan sebenarnya, menciptakan frustrasi, serta keinginan untuk cepat keluar dari posisi tersebut. Pekerjaan polesan juga menimbulkan dilema tentang bagaimana pekerja dapat menghadirkan karya dan diri mereka kepada dunia. Bagaimana mereka menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan diri, untuk sepenuhnya dipahami, dan menjadi otentik?
Memoles Pekerjaan yang Membosankan dan Biasa Saja
Kami menemukan mereka melakukan hal ini dengan membedakan deskripsi pekerjaan mereka kepada audiens yang berbeda. Ketika berbicara dengan orang asing — orang-orang di pertemuan sosial, misalnya — mereka fokus pada aspek yang lebih glamor: Bekerja di jurnalisme dan untuk majalah yang masyhur.
Untuk penulis berstatus tinggi yang berkolaborasi dengan mereka, mereka fokus pada keahlian mereka sendiri dan pada berbagai faktor yang dapat meningkatkan status mereka. Sedangkan kepada orang dalam, mereka menyajikan pandangan yang lebih lengkap tentang pekerjaan mereka.
Menampilkan diri mereka secara berbeda – tergantung pada siapa mereka berbicara, dapat memberikan artian bahwa siapa pun yang bukan orang dalam di perusahaan akan berakhir dengan pandangan parsial atau bias tentang pekerjaan tersebut. Citra asli dari pekerjaan sering disamarkan, dan itu menjadi masalah bagi mereka yang sedang mempertimbangkan diri untuk mengajukan posisi pada pekerjaan ini.
Ketika mereka hanya mendengar tentang hal-hal yang megah, para calon karyawan akan berakhir dengan harapan palsu yang cenderung memicu siklus kekecewaan.
Baca juga: Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya
Para karyawan yang berpotensi dapat menyiasati penyamaran informasi ini dengan melakukan penelitian yang lebih cermat tentang hal mendasar atas opsi pekerjaan yang sedang mereka pertimbangkan. Mereka harus mengajukan pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari dan berkonsultasi dengan berbagai orang yang saat ini memiliki pekerjaan serupa atau yang pernah memegang posisi tersebut sebelumnya.
Apa yang Dapat Pemberi Kerja Lakukan
“Pekerjaan berkilau” juga menimbulkan kerugian bagi pemberi kerja karena mereka pun mencoba mengelola rasa frustrasi yang dialami para karyawannya dan menghadapi kasus pergantian staf. Mereka dapat menghentikan lingkaran setan ini dengan memberikan pratinjau pekerjaan yang realistis untuk menghindari karyawan berpikir mereka mendapat pekerjaan tidak sesuai harapan. Ini tidak berarti mereka dituntut untuk menunjukkan sisi negatif dari pekerjaan, tapi perlu kiranya bagi mereka untuk memberikan keseimbangan penjelasan yang jujur tentang aspek glamor dan kurang glamor dari sebuah pekerjaan.
Pemberi kerja juga bisa mempertimbangkan metode penghimpunan tugas yang dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan tidak-terlalu-mengenakkan bisa terbagi rata kepada seluruh karyawan dari berbagai posisi; tidak bertumpu pada posisi tertentu saja. Mereka juga mungkin bisa mempertimbangkan untuk menjadi terbuka atas usaha-usaha para karyawan untuk mengulik pekerjaannya dan menciptakan peluang baru dengan organisasinya.
Namun, pada akhirnya, melakukan banyak tugas rutin yang biasa-biasa saja acap kali tetap menjadi kenyataan di semua pekerjaan meski ada janji bahwa kecerdasan buatan (AI) akan menghilangkan lebih banyak tugas-tugas rutin.
Lebih lanjut, manajer perekrutan harus berhati-hati saat mencantumkan narasi “passion” atau gairah sebagai persyaratan pekerjaan. Dalam analisis lebih dari 200 wawancara untuk proyek tentang perekrutan di startup, gairah telah menjadi bahan diskusi yang sudah terlalu sering digunakan. Dalam mempekerjakan manajer, memang narasi gairah perlu ada karena posisi manajer membutuhkan hal itu. Sedangkan karyawan biasa yang potensial pastilah sudah mengasaskan gairah mereka.
Namun, tidak satu pun dari manajer perekrutan yang sudah mencari gairah pada calon karyawan mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka akan menilai gairah tersebut, atau menjelaskan seberapa penting eksistensi gairah atas pekerjaan tertentu.
Risikonya adalah mereka mempekerjakan orang-orang yang bersemangat, kemudian memberikan pekerjaan tidak sesuai harapan orang-orang tersebut sehingga gairah mereka padam, dan akhirnya menciptakan situasi bermasalah bagi pihak karyawan dan perusahaan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Lisa Cohen adalah Associate Professor bidang Administrasi Bisnis, McGill University.
Sandra E. Spataro adalah Profesor di Northern Kentucky University.
Read More