Ketika Pekerjaan yang Kita Impikan Tak Sesuai dengan Harapan

Sebagian orang punya pekerjaan impian dan ketika mendapatkannya, ia mengira hal-hal baik akan terjadi sesuai harapannya. Namun, realitasnya tidak senantiasa demikian. Banyak hal tidak terduga terjadi yang membuat mereka memikirkan ulang apakah pekerjaan impiannya itu hendak diteruskan atau tidak.

Teman, konsultan karier, dan media membanjiri kita dengan rentetan nasihat yang terus-menerus mendukung kita untuk mengejar impian, menemukan kebahagiaan atas diri kita sendiri, atau mengejar passion kita dalam kehidupan profesional yang kelak ada. Namun, saran semacam ini tidak selalu mudah diikuti.

Bahkan ketika diperhatikan, saran itu bisa datang dengan kelemahan yang mengikutinya, terutama ketika ternyata pekerjaan tersebut melibatkan tugas rutin harian yang biasanya kurang disukai orang. Singkatnya, bekerja sering kali didefinisikan sebagai bekerja keras.

Contohnya, orang-orang yang mendapatkan pekerjaan di bidang ilmu data dan kecerdasan buatan berharap dapat menciptakan algoritme brilian yang akan memecahkan masalah besar. Namun, mereka malah menemukan pekerjaan tidak sesuai harapan karena mereka hanya untuk melakukan tugas-tugas menjenuhkan seperti pengumpulan dan pembersihan data kasar. Keinginan atas pekerjaan-pekerjaan di bidang teknologi kemudian meredup oleh hadirnya pekerjaan yang sulit dan membosankan yang sering kali berada di luar bidang minat utama pekerja.

Selain itu, tidak semua orang yang dipromosikan ke tingkat manajemen lebih tinggi antusias untuk melakukan tugas manajemen, atau bahkan melihat pekerjaan itu sebagai sebuah langkah maju.

Orang-orang meromantisasi berbagai pekerjaan di media, mode, film, seni rupa dan pertunjukan, serta industri budaya lainnya, tapi pekerjaan itu sering kali berakhir lebih membosankan daripada glamor. Pekerjaan apa pun, terutama di posisi pemula, memiliki unsur pekerjaan yang membosankan.

Pekerjaan Prestisius Tidak Selamanya Menyenangkan

Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan yang ada atas pekerjaan harian ini adalah fenomena yang kami namai dalam studi yang baru-baru ini diterbitkan

sebagai “glossy work” alias pekerjaan polesan atau berkilau yang ternyata membosankan. Dalam studi ini, kami mewawancarai pemeriksa fakta untuk sebuah majalah di industri yang glamor dan ternyata, mereka hanya menjalankan tugas mendasar setiap harinya. Mereka mengalami semacam ketidaksesuaian antara status pekerjaan mereka dan kenyataan yang ada.

Pemeriksa fakta tersebut mengatakan,

“Karena kamu berafiliasi dengan majalah, orang-orang berpikir bahwa kamu adalah seorang dengan tipe pekerjaan yang megah, tidak peduli bagaimana kamu sebenarnya berafiliasi di dalamnya.”

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Kami mempelajari bagaimana fenomena ini mempengaruhi mereka.

Bagi para karyawan, ketidaksesuaian pekerjaan berkilau dapat memacu upaya untuk mengubah pekerjaan sebenarnya, menciptakan frustrasi, serta keinginan untuk cepat keluar dari posisi tersebut. Pekerjaan polesan juga menimbulkan dilema tentang bagaimana pekerja dapat menghadirkan karya dan diri mereka kepada dunia. Bagaimana mereka menyeimbangkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan diri, untuk sepenuhnya dipahami, dan menjadi otentik?

Memoles Pekerjaan yang Membosankan dan Biasa Saja

Kami menemukan mereka melakukan hal ini dengan membedakan deskripsi pekerjaan mereka kepada audiens yang berbeda. Ketika berbicara dengan orang asing — orang-orang di pertemuan sosial, misalnya — mereka fokus pada aspek yang lebih glamor: Bekerja di jurnalisme dan untuk majalah yang masyhur.

Untuk penulis berstatus tinggi yang berkolaborasi dengan mereka, mereka fokus pada keahlian mereka sendiri dan pada berbagai faktor yang dapat meningkatkan status mereka. Sedangkan kepada orang dalam, mereka menyajikan pandangan yang lebih lengkap tentang pekerjaan mereka.

Menampilkan diri mereka secara berbeda – tergantung pada siapa mereka berbicara, dapat memberikan artian bahwa siapa pun yang bukan orang dalam di perusahaan akan berakhir dengan pandangan parsial atau bias tentang pekerjaan tersebut. Citra asli dari pekerjaan sering disamarkan, dan itu menjadi masalah bagi mereka yang sedang mempertimbangkan diri untuk mengajukan posisi pada pekerjaan ini.

Ketika mereka hanya mendengar tentang hal-hal yang megah, para calon karyawan akan berakhir dengan harapan palsu yang cenderung memicu siklus kekecewaan. 

Baca juga: Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Para karyawan yang berpotensi dapat menyiasati penyamaran informasi ini dengan melakukan penelitian yang lebih cermat tentang hal mendasar atas opsi pekerjaan yang sedang mereka pertimbangkan. Mereka harus mengajukan pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari dan berkonsultasi dengan berbagai orang yang saat ini memiliki pekerjaan serupa atau yang pernah memegang posisi tersebut sebelumnya.

Apa yang  Dapat Pemberi Kerja Lakukan

“Pekerjaan berkilau” juga menimbulkan kerugian bagi pemberi kerja karena mereka pun mencoba mengelola rasa frustrasi yang dialami para karyawannya dan menghadapi kasus pergantian staf. Mereka dapat menghentikan lingkaran setan ini dengan memberikan pratinjau pekerjaan yang realistis untuk menghindari karyawan berpikir mereka mendapat pekerjaan tidak sesuai harapan. Ini tidak berarti mereka dituntut untuk menunjukkan sisi negatif dari pekerjaan, tapi perlu kiranya bagi mereka untuk memberikan keseimbangan penjelasan yang jujur tentang aspek glamor dan kurang glamor dari sebuah pekerjaan.

Pemberi kerja juga bisa mempertimbangkan metode penghimpunan tugas yang dapat menjadikan pekerjaan-pekerjaan tidak-terlalu-mengenakkan bisa terbagi rata kepada seluruh karyawan dari berbagai posisi; tidak bertumpu pada posisi tertentu saja. Mereka juga mungkin bisa mempertimbangkan untuk menjadi terbuka atas usaha-usaha para karyawan untuk mengulik pekerjaannya dan menciptakan peluang baru dengan organisasinya. 

Namun, pada akhirnya, melakukan banyak tugas rutin yang biasa-biasa saja acap kali tetap menjadi kenyataan di semua pekerjaan meski ada janji bahwa kecerdasan buatan (AI) akan menghilangkan lebih banyak tugas-tugas rutin.

Lebih lanjut, manajer perekrutan harus berhati-hati saat mencantumkan narasi “passion” atau gairah sebagai persyaratan pekerjaan. Dalam analisis lebih dari 200 wawancara untuk proyek tentang perekrutan di startup, gairah telah menjadi bahan diskusi yang sudah terlalu sering digunakan. Dalam mempekerjakan manajer, memang narasi gairah perlu ada karena posisi manajer membutuhkan hal itu. Sedangkan karyawan biasa yang potensial pastilah sudah mengasaskan gairah mereka.

Namun, tidak satu pun dari manajer perekrutan yang sudah mencari gairah pada calon karyawan mereka dapat menjelaskan bagaimana mereka akan menilai gairah tersebut, atau menjelaskan seberapa penting eksistensi gairah atas pekerjaan tertentu.

Risikonya adalah mereka mempekerjakan orang-orang yang bersemangat, kemudian memberikan pekerjaan tidak sesuai harapan orang-orang tersebut sehingga gairah mereka padam, dan akhirnya menciptakan situasi bermasalah bagi pihak karyawan dan perusahaan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Lisa Cohen adalah Associate Professor bidang Administrasi Bisnis, McGill University.

Sandra E. Spataro adalah Profesor di Northern Kentucky University.

Read More
Prof. Etin Anwar

Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Di tengah masyarakat patriarkal, masih relatif banyak orang yang melarang perempuan Muslim berkarier dengan dalih interpretasi agama. Apalagi sesudah menikah, masih ada perempuan yang justru dianjurkan untuk berdiam di rumah dan mengurus kerja-kerja domestik saja, alih-alih bebas memilih sendiri.

Etin Anwar, profesor dari Hobart and William Smith Colleges, New York, Amerika Serikat dan penulis buku Feminisme Islam angkat bicara soal ini dalam Webinar bertajuk “Menjadi Wanita Karier dalam Islam”, (3/7).

Berikut kutipan penjelasan Etin Anwar dalam bincang-bincang yang dipandu oleh Hera Diani dari Magdalene tersebut.

Di Indonesia, bagaimana kondisi perempuan dalam dunia karier? Sudah cukup ideal kah kondisi itu menurut Prof. Etin Anwar?

“Untuk melihat sejauh mana baik atau tidaknya, kita bisa lihat melalui gender gap Indonesia yang berada di peringkat 85 menurut World Economic Forum. Dari sini, kita bisa melihat career choice atau career orientation di Indonesia yang masih sangat rendah. Di politik, keterwakilan perempuan di jabatan kepemimpinan di pemerintahan minim. Di bidang pendidikan, jumlah dosen yang diangkat menjadi dekan atau rektor [perempuan] juga masih sangat sedikit. 

Dalam keterbatasan itu, kita harus melihat genealogi karier yang dalam buku saya. Itu dibagi dalam lima era, yaitu era emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan proliferasi. 

Era emansipasi ini adalah awal era promosi pendidikan di Indonesia. Perempuan mulai mengembangkan dan memperluas peran publik mereka dengan tokoh perempuan pionir di bidang pendidikan, seperti R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyyah. Dari sinilah perempuan yang tadinya tidak mengenyam pendidikan, dapat bersekolah karena dulu pendidikan hanya untuk Belanda dan kaum aristokrat saja. 

Kemudian, kita masuk ke dalam era asosiasi. Dalam era ini, terdapat ekspansi ruang publik perempuan yang cukup besar yang didorong melalui ajaran agama, seperti melalui fastabiqul khairat atau ajakan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Pada era ini, Budi Utomo dan Muhammadiyah menciptakan gerakan perempuannya sendiri, termasuk Putri Mardika dan Aisyiyah. Perempuan dalam era tersebut terlibat dalam penyebaran dakwah ajaran Islam yang penting dalam hubungannya dengan jaringan karier karena perempuan mendapatkan exposure ke pendidikan. 

Masuk ke era pembangunan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang yang memiliki pendidikan dan pilihan karier yang lebih beragam. Hasil era pembangunan sendiri bisa kita lihat dari banyaknya jumlah SD Inpres. Akan tetapi, meski bisa dibilang karier perempuan meningkat, pemerintah memaksakan ideologi gender atau atas nama “kodrat”. Perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi agen pembangunan, tapi dibatasi pada peran dalam keluarga. Hal inilah yang kemudian kita kenal dengan domestifikasi perempuan atau yang lebih dikenal sebagai ibuisme dalam istilah Julia Suryakusuma.

Lalu dalam era integrasi, promosi karier yang saya namakan Islamic sphere jadi area publik. Ini artinya, area publik berangsur-angsur berorientasi pada agama Islam atau Islamic oriented. Tahapan itu tidak lepas dari munculnya “hijau royo-royo”, yakni politik Pak Harto yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. Maka kemudian muncul lah Islamic Banking, Islami Management, Islamic this, Islamic that

Era terakhir adalah proliferasi. Era ini mempromosikan pengalaman perempuan dan agensi perempuan sebagai ethical beings. Hubungan semaraknya pendidikan Islam serta integrasi kelompok sekuler dan Islam memicu kemunculan gerakan pembaharuan Islam yang dimotori tokoh-tokoh, seperti Cak Nur, Gus Dur, dan lainnya. Mereka berkontribusi pada diskusi-diskusi mengenai perempuan dan diskusi ini sangat penting karena mereka menyejajarkan perempuan sebagai ethical agent.

Lalu bagaimana pandangan Islam mengenai karier itu sendiri menurut Prof. Etin Anwar? Karena banyak sekali narasi agama yang menganggap bahwa tempat perempuan adalah di rumah. Bagaimana cara kita meng-counter narasi semacam ini?

“Nah, narasi agama seperti itu siapa yang menarasikan? Seolah-olah narasi agama itu seragam dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian. Terus terang saja, menurut saya ini ada kaitannya dengan budaya kodrat. Dari zaman Soeharto, kita sudah dicekoki nilai-nilai keibuan dan pernikahan. Seolah-olah kalau kita tidak menjadi ibu atau menikah, ada yang kurang atau something wrong with us. 

Menurut saya, counter-nya adalah dengan memperbanyak orang yang memahami [berbagai interpretasi agama] karena saya mendukung kedewasaan orang untuk memilih dalam beragama. Kalau kita masih terus mengikuti indoktrinasi agama tertentu, enggak selesai-selesai perbincangan mengenai hak perempuan Muslim untuk bekerja. Sementara, masih banyak persoalan lain yang harus kita hadapi.

Lagipula, bagaimana pandangan Islam mengenai karier tidak semata-mata mengenai halal dan haram saja. Kita butuh lepas dari pembacaan Alquran yang bersifat hierarkis. Maksudnya, pembacaan yang cuma mengandalkan kacamata lelaki sebagai imam yang cenderung menganggap posisi mereka lebih tinggi dari perempuan.

Apa yang kita pahami mengenai pesan di dalam Alquran dan ajaran agama Islam itu sendiri adalah tentang mempertahankan relasi kuasa melalui ayat-ayat tertentu. Misalnya, [Surat] An-Nisa yang ditafsirkan banyak orang memberi pesan adanya kepemimpinan absolut laki-laki. Padahal, kita juga perlu memahami Alquran juga memberikan kesejajaran relasi gender. Misalnya, tentang keluarga sakinah mawadah wa rahmah dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, yang bisa kita lihat dalam Surat Ar-Rum ayat 21.

Lalu, bagaimana menurut Prof. Etin Anwar dengan dilema perempuan yang harus mempertimbangakan kariernya karena ada pemahaman agama bahwa perempuan harus patuh pada suami? Apakah perempuan tidak bisa lepas dari hegemoni pemikiran laki-laki sebagai imam?

Perempuan itu kebanyakan punya pertimbangan ya, jika ingin melanjutkan kariernya, terutama yang sudah berkeluarga. Biasanya mereka mau promosi jabatan pun harus menanyakan pendapat suami. Namun, harus diketahui Allah sangat menghendaki tiap makhluknya termasuk perempuan untuk mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ini ditegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin.”

Kesejajaran relasi di dalam Alquran juga bisa dilihat dari ayat Ati’ullaha Wa Ati’ur Rasul pada An-Nisa ayat 59 yang menegaskan bahwa ketaatan kita sebagai Muslim hanya pada Allah dan Rasul, bukan kepada laki-laki atau dalam relasi keluarga itu suami. 

Jadi, karier perlu dipahami sebagai wacana yang selalu bergerak dengan tujuan tunggal bahwa perempuan berperan di ruang publik adalah bentuk ketaatan mereka kepada Allah dan Rasulnya. Ini juga bentuk usahha dirinya menyebar kebaikan dan manfaat bagi alam semesta, sebagai bagian dari misi manusia yang telah dijelaskan di dalam kitab suci.

Pertanyaan terakhir, karier disebutkan di awal sebagai produk kapitalisme dan kolonialisme. Apakah model tersebut sudah cukup Islami, atau kita hanya melanjutkan produk kapitalis saja?

Kata Shahab Ahmed dalam bukunya What is Islam, yang memberikan kita label Islam ya kita sendiri. Misalnya, karier saya sebagai guru saya katakan Islamic karena I think so. Sama halnya dengan terorisme, apakah itu Islamic? Kalau orang itu percaya itu Islamic, ya itu Islami. Jadi menurut Ahmed, agama Islam itu individualis bergantung pada masing-masing orang secara spesifik.

Betul, karier itu produk kapitalisme dan kolonialisme tetapi cara keluar dari lingkaran itu tak cukup dengan retorika agama saja, karena Allah menginginkan orang Islam itu kuat secara ekonomi. Dalam sejarah Islam pun, Rasul hijrah ke Madinah untuk memperjuangkan Islam dalam rangka apa? Dalam rangka livelihood. Ketika Nabi menyatukan Makkah dan Madinah, apakah enggak ada konsiderasi ekonomi? Tentu ada. 

Jadi kita enggak bisa melihatnya hitam-putih, we have to make it as Islamic. Balik lagi ke tujuannya, niatnya, Rasul ketika itu juga enggak berbicara dari haram atau halal, do and don’ts. Lebih fleksibel, kalo enggak ya Islam enggak akan mudah diterima.  

Jasmine Floretta V.D. adalah pecinta kucing garis keras yang gemar menghabiskan waktunya untuk membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Read More
Kania Suciati Perempuan di Dunia STEM

Kania Suciati dan Mimpi Inklusivitas Perempuan di Dunia STEM

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menyebut, hanya ada 30 persen perempuan di bidang STEM (sains, teknologi, engineering, dan matematika) dan 29,3 persen untuk perempuan peneliti secara global. Sementara di Asia, jumlah perempuan di bidang STEM hanya mencapai 18 persen.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga mencatat peran perempuan dalam bidang STEM lebih banyak pada pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah, misalnya menjadi buruh pabrik yang berkutat dalam bagian pengemasan atau produksi. 

Hal itu salah satunya disebabkan oleh anggapan STEM merupakan bidang yang sangat maskulin dan hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Alhasil, tak sedikit perempuan pekerja yang tak mendapatkan kesempatan sama untuk mengembangkan diri, bahkan dibenturkan dengan narasi-narasi gender non-fleksibel yang kerap menomorsekiankan perempuan dalam bidang kerja di ranah publik.  

Menurut Kania Suciati, Food Protection Specialist di perusahaan pengolahan pengemasan makanan bernama Tetra Pak, stereotip gender yang diamini masyarakat itu secara tak langsung turut melahirkan hambatan dan tantangan bagi perempuan untuk berkarier di bidang STEM. Stereotip itu hidup dari generasi ke generasi, dan itu mempengaruhi kesulitan perempuan dalam mengejar karier di bidang apapun yang didominasi laki-laki, bukan hanya STEM, ujar Kania.

Baca juga: Panutan, Kesempatan di Tempat Kerja Dorong Lebih Banyak Perempuan dalam STEM

“Misalnya, sejak kecil, kita diajarkan untuk memahami konsep femininitas bagi perempuan dan maskulinitas bagi laki-laki. Itu melahirkan anggapan yang merugikan, seperti perempuan yang berujung hanya dianggap bisa melakukan pekerjaan yang bersifat mengasuh secara alami (nurturing), sementara laki-laki melakukan pekerjaan analitis, salah satunya di bidang STEM,” kata Kania pada Magdalene. Kania sendiri kini bertugas untuk cluster MSPI (Malaysia, Singapore, Philippines, and Indonesia).

“Kebetulan, bidang yang saya sukai ini didominasi oleh laki-laki. Tetapi saya tidak membiarkan hal ini menggoyangkan minat saya untuk menggali bidang ini lebih jauh,” tambahnya. 

Simak hasil wawancara Magdalene bersama Kania Suciati selengkapnya di bawah ini, dan bagaimana dia memandang dinamika pekerja perempuan di bidang STEM.

Magdalene: Apa yang melatarbelakangi keputusan kamu untuk berkarier di industri manufaktur?

Kania: Sejak belajar mikrobiologi di universitas, saya selalu tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang aplikasi praktisnya dalam kehidupan nyata. Rasa ingin tahu inilah yang membimbing saya untuk melihat lebih ke dalam industri manufaktur makanan. Sepanjang perjalanan, saya juga belajar lebih banyak tentang mesin, konsep teknik mesin dan listrik, yang semakin mengukuhkan minat saya dalam industri manufaktur makanan dan minuman. 

Apa latar belakang pendidikan kamu? Apakah kamu benar-benar berencana untuk belajar di bidang ini dari awal? Apa relevansinya dengan posisi Anda saat ini?

Saya belajar Mikrobiologi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang ini selalu menjadi minat saya dan ketika saya mempelajarinya, saya penasaran dengan aplikasi praktisnya dalam kehidupan nyata, yang akhirnya membawa saya untuk mengejar peluang di industri manufaktur makanan.

Baca juga: Belajar Jadi Pemimpin dan Meniti Karier di Bidang STEM dari Nyoman Anjani

Sepanjang karier kamu di bidang STEM, apa saja tantangan yang kamu hadapi? Bagaimana kamu mengatasi tantangan tersebut?

Stereotip bahwa perempuan tidak boleh bekerja dengan atau tidak akan tahu bagaimana bekerja dengan mesin besar datang dengan warisan bidang yang didominasi laki-laki seperti teknik dan manufaktur. Ketika saya pertama kali mulai bekerja di Tetra Pak, ada perasaan ragu dari beberapa rekan laki-laki saya. Untuk meyakinkan mereka dengan kemampuan saya dalam hal teknis dan memecahkan masalah, saya harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas, melakukan upaya ekstra untuk menunjukkan kepada mereka bahwa saya juga mampu. 

Saya belajar sebanyak yang saya bisa di sepanjang perjalanan dan memastikan bahwa saya sadar diri dalam apa pun yang saya lakukan guna memastikan bahwa saya terus meningkatkan keterampilan saya. Ketika saya dapat berkontribusi dan memecahkan masalah, saya dapat memperoleh pengakuan dari tim saya. 

Apa solusi atau kebijakan yang perusahaan, atau bahkan negara, harus implementasikan untuk memperbaiki situasi tersebut (kurangnya partisipasi perempuan)?

Seluruh perusahaan sebaiknya memprioritaskan keberagaman dan inklusivitas pada budaya perusahaannya, seperti menciptakan sebuah lingkungan yang adil dan tidak diskriminatif di mana proses rekrutmen didasarkan pada hasil penilaian objektif, melihat pengalaman kandidat, prestasi, dan potensi kontribusinya kepada perusahaan. 

Saya bersyukur kepada Tetra Pak sebagai perusahaan yang senantiasa memberikan saya kesempatan untuk tumbuh dan menjadi versi terbaik saya dengan menyediakan lingkungan kerja yang aman dan adil untuk kolega saya dan saya. Saya merasa sangat beruntung karena memiliki role model perempuan yang kuat untuk dicontoh, line manager saya, yang terus menginspirasi saya secara pribadi dan profesional hingga hari ini. 

Beberapa literatur menyebutkan bahwa perempuan yang bekerja di bidang maskulin cenderung menerima perlakuan diskriminatif. Apakah kamu pernah mengalami hal ini selama bekerja secara profesional? Bagaimana kamu mengatasinya?

Selama pengalaman saya bekerja di Tetra Pak, saya tidak pernah berada dalam situasi yang tidak nyaman, dimana hak hak mendasar saya terancam. 

Baca juga: Herstory: 6 Perempuan Pionir dalam Teknologi Komputer dan Internet

Memang tentunya selalu ada tantangan-tantangan baru yang saya perlu atasi sebagai seorang perempuan di lingkungan yang didominasi oleh laki-laki, namun bukan merasa menjadi terancam, tantangan-tantangan ini hanya memotivasi dan membawa saya lebih jauh pada apa yang saya kerjakan.  

Apakah benar perempuan sulit bekerja di bidang STEM, khususnya dalam hal  menyeimbangkan antara karier dan waktu bersama keluarga?

Setiap orang memiliki kebutuhan dan prioritas yang berbeda. Kunci untuk kehidupan yang seimbang adalah bagaimana kita dapat menetapkan prioritas dan batasan yang melibatkan orang-orang di sekitar kita.

Memiliki kinerja yang baik di pekerjaan atau karier kita memang sangat penting, tetapi istirahat dan terhubung dengan orang yang kita cintai sama pentingnya. Bekerja di bidang STEM mengharuskan saya untuk mengembangkan keterampilan multitasking dan manajemen proyek yang luar biasa untuk menyelesaikan sesuatu secara bersamaan tanpa mengurangi produktivitas.

Kami berjalan seiring berjalannya waktu, jadi selama kami terus berusaha dan beradaptasi dengan dinamika dan cara kerja yang berbeda, menyeimbangkan karier dan keluarga kami, seharusnya tidak menjadi masalah, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Apa saja tips untuk memiliki work life balance sebagai seorang perempuan?

Tetapkanlah prioritas dan batasan dengan tegas. Belajarlah untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak penting atau mengesampingkan beberapa hal jika tidak mendesak atau penting untuk segera dilakukan. Selain itu, mencari pekerjaan di perusahaan yang mau memahami batasan Anda sangat penting. Budaya perusahaan harus kuat.

Baca Juga: 5 Ilmuwan Perempuan Muslim yang Sangat Berpengaruh di Dunia

Jika Anda tahu bagaimana memprioritaskan, menetapkan batasan yang jelas, dan berada di lingkungan yang mendukung, Anda akan dapat fokus pada tujuan Anda dan mencapai kehidupan yang seimbang.

Apa saja prinsip/nilai yang paling penting dalam bekerja bagi kamu? Apa saja hal-hal yang ingin dicapai sepanjang perjalanan karier kamu, baik untuk diri sendiri, orang lain, dan masyarakat di sekitar kamu?

Jadilah kuat, percaya diri, sadar diri, dan bersemangat untuk belajar. Nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini telah membantu saya tumbuh dan berkembang dalam karier saya saat ini di Tetra Pak dan sebagai perempuan karier pada umumnya. Saya bercita-cita untuk menginspirasi lebih banyak perempuan muda di STEM, terutama mereka yang merasa putus asa untuk mengejar impian mereka hanya karena mereka seorang perempuan.

Saya berharap, masyarakat kita akan tetap berpikiran terbuka untuk lebih banyak perempuan yang bekerja di STEM atau profesi yang didominasi laki-laki lainnya. Nilai-nilai, pola pikir, dan semangat kita akan membedakan kualitas pekerjaan yang kita berikan, bukan jenis kelamin kita.

Apa yang ingin kamu sampaikan kepada para perempuan Indonesia yang ingin membangun karier di industri manufaktur dan bidang STEM lainnya?

Dalam hal pencapaian diri, gender seharusnya tidak menjadi masalah. Kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan–pemimpin, insinyur, astronot, koki, atau spesialis perlindungan makanan. Yang dibutuhkan hanyalah keinginan, kemauan yang kuat, dan pola pikir untuk mencapainya.

Read More

Perempuan Dukung Perempuan di Kantor, Kenapa Ini Penting?

Meskipun sekarang peluang kerja untuk perempuan semakin terbuka, mereka kerap kali masih menghadapi aneka tantangan dalam melangkah ke jenjang karier lebih tinggi. Di sejumlah industri yang terkesan maskulin, bahkan sejak pintu masuk pun perempuan menghadapi tantangan berkali-kali lebih besar dari laki-laki.

Memilih berjalan sendiri di dunia karier bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan perempuan dalam kondisi seperti ini. Begitu pula dengan mengamini, yang terbaik adalah berkompetisi dan mengalahkan pekerja-pekerja lain. Pasalnya, riset menunjukkan, pekerja yang mengedepankan kolaborasi lebih menguntungkan perusahaan. Karena itu, perempuan memerlukan banyak dukungan sekitar, salah satunya dari sesama pekerja perempuan.  

Alasan Dukung Sesama Perempuan Penting

Dukungan dari sesama perempuan menjadi penting untuk mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan kerja. Berbagai riset telah menemukan bahwa kesetaraan gender di tempat kerja berdampak positif terhadap perusahaan. Misalnya, dari segi keterwakilan perempuan di posisi-posisi pemimpin. 

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita, perusahaan-perusahaan yang board director-nya lebih berimbang antara laki dan perempuan, lebih beragam, memiliki performa bisnis yang lebih bagus, stabil, dan secara profil lebih baik.

Dengan mendukung sesama pekerja perempuan di kantor, perasaan empati antarpekerja pun terbentuk. Saat menghadapi masalah terkait gendernya, misalnya soal pelecehan seksual atau kesenjangan upah, ia tidak akan merasa sendiri setelah berbagi dengan sesama pekerja perempuan di kantornya. Dari situ, bisa terbentuk rasa solidaritas dan upaya untuk mengidentifikasi permasalahan struktural terkait gender yang ada di perusahaan, dan kemudian bersama-sama mencari jalan keluarnya.

Baca juga: 8 Tanda Kantor Dukung Perempuan yang Patut Dicontoh

Dalam studi yang dimuat di Harvard Business Review dikatakan, perempuan yang punya jejaring sesama perempuan akan mendapat keuntungan lebih dalam perjalanannya menaiki tangga karier. Keuntungan berjejaring ini ditemukan lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki. 

Di dunia kerja yang masih lebih sering memberi kesempatan pada laki-laki untuk menjadi pemimpin, lingkaran pertemanan dengan sesamanya bisa membantu seorang perempuan untuk berbagi informasi internal perusahaan serta strategi untuk menjadi pemimpin di kemudian hari.

Dalam wawancara eksklusif Magdalene dengan Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Bursa Efek Indonesia, Risa E. Rustam beberapa waktu lalu, ia menyatakan sebagai perempuan, ada tanggung jawab moral untuk mendukung sesama, terutama bagi perempuan yang ada di posisi pemimpin atau pengambil keputusan. 

“Mereka harus lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan harus bisa lebih melihat ketidakadilan,” ujar Risa. 

Dukung Sesama Perempuan dengan Catatan

Kendati mendukung sesama pekerja perempuan adalah hal yang positif, kita tidak boleh berkacamata kuda dalam melakukannya. Keterwakilan satu gender, yakni perempuan, adalah satu hal yang memang diperjuangkan. Akan tetapi, kita juga mesti melihat bagaimana kiprahnya sebelum dan saat menduduki jabatan tertentu. 

Kita dapat mengambil contoh dari problem pemimpin-pemimpin politik perempuan yang disoroti dalam penelitian di Indonesia. Memang sudah ada Undang-Undang yang mengatur kuota perempuan dalam partai politik dan dalam pencalonan anggota legislatif. Segelintir perempuan pun sudah berhasil menduduki bangku kepala daerah. 

Akan tetapi, keberadaan mereka tidak otomatis menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada sesama perempuan. Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perludem menyampaikan kepada Magdalene, “Berdasarkan riset Perludem tahun 2015, tidak semua perempuan kandidat kepala daerah membuat perencanaan program tentang perempuan dan anak atau terkait isu kesetaraan dan keadilan gender.”

Kritisnya kita dalam mendukung sesama perempuan diperlukan karena tidak semua perempuan telah memiliki perspektif gender yang cukup untuk membela kepentingan sesamanya. Ditambah lagi, kuatnya budaya patriarki dan desakan berbagai pihak dalam politik atau ranah kerja lainnya membuatnya semakin jauh dari harapan untuk bisa mendukung perempuan lain yang ada di bawahnya. Jika kita tetap mendukung secara buta perempuan pemimpin yang berpikiran patriarkal, maka hal itu tidak akan membawa perubahan baik bagi individu-individu perempuan lain di tempat kerjanya, juga secara makro bagi perusahaan.   

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Cara Mendukung Sesama Pekerja Perempuan di Kantor

Berikut ini beberapa cara yang bisa kita terapkan di kantor untuk mendukung sesama pekerja perempuan.

  1. Soroti capaian sesama perempuan

Alih-alih menjadi iri atau bersemangat ingin mengalahkan teman perempuan dengan pencapaian baik, kita bisa mulai menyoroti prestasinya agar dikenali oleh para atasan dan kolega lain.

Menurut Rebecca Wiser, co-founder dan direktur Komunikasi di Womaze, sebuah aplikasi yang berfokus pada pemberdayaan diri perempuan, penting untuk memberi kredit atas kerja teman perempuan karena ini bisa berimplikasi baik juga untuk diri kita sendiri.

“Dengan melakukan ini kamu sebenarnya menunjukkan bahwa dirimu adalah pemain tim yang suportif, calon pemimpin yang menginspirasi, dan terkesan cukup percaya diri untuk bisa memuji orang lain,” kata Wiser seperti dikutip dari Forbes.  

  1. Jadi mentor untuk sesama perempuan

Ketika kita sudah memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih banyak dari teman kerja atau bawahan perempuan lainnya, tidak ada salahnya untuk menawarkan diri menjadi mentor mereka. Dengan melakukan ini, kita memberi peluang bagi mereka untuk mengembangkan diri hingga akhirnya pantas untuk menduduki posisi lebih tinggi nantinya.

Tentu saja dalam melakukan mentoring kita tidak selayaknya berlaku paling tahu segalanya karena sebanyak apa pun asam garam yang kita punya, pengalaman yang dihadapi tiap individu dalam menapaki lika-liku karier berbeda, begitu pula dengan tantangannya. Bisa saja sebagai mentor kita membagikan sejumlah strategi yang menurut kita berhasil dalam kondisi kita punya support system mumpuni di rumah. Tetapi strategi itu tidak akan berjalan bila yang melakukannya adalah teman atau bawahan kita yang misalnya serba terbatas kondisinya sebagai ibu bekerja dan tidak punya dukungan cukup di rumah. Poinnya adalah, sebagai mentor, kita perlu berbagi dengan tetap mendengarkan orang yang kita ajari dengan empati.

  1. Berani menegur bila teman kerja perempuan diinterupsi

Fenomena mansplaining dan interupsi pekerja perempuan di kantor bukan hal langka. Untuk menghadapi situasi ini, sebagai sesama perempuan kita perlu bersikap asertif dengan berani menegur kolega laki-laki yang menginterupsi omongan teman kerja perempuan.

Memang, karena dibentuk menjadi sosok pasif oleh masyarakat, kita sebagai perempuan seringkali takut atau ragu untuk melakukan hal itu. Namun, bila kita tidak pernah mulai mengoreksi perbuatan yang salah, terlebih bila kita berposisi menengah hingga tinggi di kantor, kita akan terus melanggengkan lingkungan kerja toksik yang menghindarkan perempuan dari kesuksesan di tempat kerja.

  1. Bergantian membantu 

Kita tahu bahwa perempuan pekerja masih ditempeli peran domestik yang membuat bebannya begitu berat. Menyadari hal itu, sebagai sesama perempuan kita bisa menawarkan bantuan kepada teman kerja ketika ia begitu terdesak oleh urusan rumah, meski pekerjaan yang mesti ditinggalkannya bukanlah bagian job desc kita. Selama kita masih mampu, kenapa tidak?

Hal ini akan menguatkan rasa percaya dan empati sebagai pekerja perempuan. Di waktu lain begitu kita mengalami situasi yang sama, kita bisa meminta bantuannya setelah rasa percaya itu terbangun.

  1. Kritis saat ada komentar seksis terhadap perempuan

Tidak jarang kita dengar komentar-komentar seksis terhadap kolega atau atasan perempuan saat mereka bekerja. Misalnya, bos perempuan disebut lebih cerewet, bossy, judes, atau galak saat menginstruksikan sesuatu ke bawahannya. Atau, saat ia hendak mencapai posisi tinggi dan bekerja keras, kata ambisius dilekatkan secara negatif kepadanya, baik oleh pekerja laki-laki atau sesama perempuan. Hal ini tidak dialami oleh pekerja laki-laki. 

Dikutip dari situs LeanIn, untuk menghadapi hal itu, kita bisa “menantang” orang-orang yang berkomentar demikian. Ketika ada yang menyebut seorang pekerja perempuan “bossy”, kita bisa meminta contoh tindakan dia yang mana yang memunculkan komentar tersebut, lalu bertanya kepada si pemberi komentar, “Kalau yang melakukannya laki-laki, apa reaksi kamu akan sama?”    

Read More
Fakta Kamu Budak Korporat

Fakta Budak Korporat dan Cara Mengatasinya: Solusi Efektif untuk Keseimbangan Hidup

Kamu pasti sudah sangat familier dengan istilah budak korporat. Singkatnya, budak korporat ini diasosiasikan dengan mereka yang bekerja di bawah tekanan pemimpin atau atasan. Tak hanya harus kerja, kerja, kerja, tipes, julukan budak korporat ini kerap dikaitkan dengan karyawan yang disindir atau direndahkan di depan rekan kerja yang lain. Makanya, terma budak digunakan untuk menggambarkan betapa mengerikannya kehidupan sebagai pekerja di perusahaan yang tak memanusiakan mereka.

Dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Deandels karya Pramoedya Ananta Toer, budak bukan semata-mata manusia yang tak merdeka sama sekali. Namun, karena budak yang terlibat dalam kerja paksa pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan banyak yang meninggal, istilah ini pun dipakai untuk menggambarkan penderitaan mereka di bawah pemerintah kolonial.

Baca Juga: Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Fakta-fakta Budak Korporat, Tanda Kamu Dieksploitasi Perusahaan

Berikut sejumlah indikasi bahwa kamu adalah budak korporat, dilansir dari laman kaumRebahan.id:

1. Sangat Susah Minta Cuti

Salah satu hal yang sudah sangat sering didengar dari orang-orang yang merasa jadi budak korporat adalah susahnya mendapatkan cuti. Mungkin kamu dianggap sebagai aset berharga dari perusahaan dan kinerja kamu sangat dibutuhkan oleh atasan. Sehingga, atasan tidak rela memberi waktu cuti ke kamu dengan alasan kurang profesional.

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier

Padahal setiap karyawan itu berhak mendapatkan cuti, terlebih karyawan punya kehidupan di luar pekerjaan, berhak sehat mental dengan mengambil jeda, dan ada kejadian-kejadian tak terduga, seperti sakit, melahirkan, atau lainnya.

2. Gaji yang Tak Sesuai dengan Beban Kerja

Ini indikator paling umum yang dialami, apalagi buat kamu yang baru lulus kuliah dan baru saja diterima di suatu perusahaan. Perusahaan yang menempatkanmu sebagai “budak korporat” biasanya cenderung pelit memberi gaji. Meskipun terbilang sebagai lulusan baru, bukan berarti gaji yang kamu terima tak berbanding lurus dengan beban kerja.

3. Merasa Takut dengan Atasan

Kamu merasa atasan di kantor tak cukup demokratis dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru. Jangankan terbuka, dalam urusan berkomunikasi pun ada dinding besar yang menghalangi kamu. Namun, bukan alasan hormat, kamu melakukannya karena takut pada atasanmu.

4. Setiap Harinya Lembur di Kantor

Ciri lain dari budak korporat adalah jam kerja lembur yang tak tanggung-tanggung, bahkan hingga kamu kehilangan kehidupan sosialmu di luar. Yang lebih parah, kadang usaha lemburmu ini tak diimbangi dengan gaji tambahan yang setimpal.

Pasti kamu jadi merasa sangat kesal bukan, apalagi jika waktu lemburmu harus memakan tanggal merah.

Baca Juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Agar tak jadi budak korporat, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan, sebagaimana dikutip dari Fullstopindonesia.com:

Budak Korporat Terus-terusan Mengeluh Minta Perubahan

Merasa kalau koordinasi atau sistem di perusahaan tempat kamu bekerja masih terasa tidak rapi, setiap harinya selalu lembur, atau selalu merasa pekerjaan terlalu banyak karena mendapatkan tugas yang enggak sesuai dengan deskripsi kerja? Beranikan diri untuk berbicara langsung ke atasan.

Meski kamu masih di posisi staf biasa, kamu punya hak untuk menyuarakan aspirasi. Manfaatkan setiap kesempatan yang ada. Contohnya saat rapat mingguan, evaluasi bulanan, ataupun acara perusahaan lainnya. Jangan jadi seorang pekerja yang cuma bisa mengritik sistem, tetapi enggak bisa memberikan solusi yang relevan.

Jadilah Karyawan yang Profesional

Jika kamu selalu percaya diri bisa menyelesaikan setiap pekerjaan dan selalu memenuhi target, maka kamu enggak akan merasa diperbudak perusahaan. Tunjukkan saja performa kamu memang bagus dan berguna untuk kemajuan perusahaan. Siapa tahu setelahnya kamu dianggap pantas memperoleh hak yang memang sewajarnya dapatkan, misalnya cuti, kenaikan gaji, atau dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.

Selektif dalam Berteman dengan Rekan Kerja yang Lain

Bisa jadi, kamu dari awal memang tidak pernah merasa terbebani dengan pekerjaan, melainkan rekan kerja sekantor kamu yang sering melakukannya. Lama kelamaan, pengaruh negatif ini malah menular ke diri kamu, karena kamu setiap harinya mendengar ia selalu mengeluh, dan secara tidak sadar kamu jadi punya mindset budak korporat yang keliru ini.

Baca Juga: Perempuan dalam Politik Kantor, ‘Dos and Don’ts’ dari Pemimpin Perempuan

Makanya, kamu harus bisa memilih dengan hati-hati soal pergaulan di lingkungan kerja. Jangan sampai omongan-omongan dari teman satu kantor ini membuat semangat kerja kamu jadi turun. Kalau kamu memang merasa beban kerja sangat berat, sebaiknya bicarakan juga ke atasan atau ke bagian HRD.

Selalu Punya Pikiran yang Positif

Jangan sampai kamu berfikir kalau kamu itu seorang budak korporat dengan membuat lingkungan kerja yang positif. Ini bisa kamu ciptakan dari hal-hal kecil, misalnya dengan mempraktikkan budaya work and life balance, atau membuat acara liburan dengan rekan kerja sekantor, atau merayakan waktu teman kerja ada yang ulang tahun, atau saat berhasil menyelesaikan proyek baru. Lingkungan kerja yang positif akan membuat semangat kerja yang tentunya positif juga.

Read More
film perempuan karier

7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

Belakangan ini saya tengah rajin mencari-cari film Asia yang menceritakan tentang kehidupan perempuan karier. Sebetulnya, alasan saya mencari film dengan tema ini lantaran penasaran dengan kehidupan perempuan pekerja di benua ini. Terlebih di empat negara Asia bagian timur seperti, Korea Selatan, Cina, Hongkong, dan Jepang. 

Keempat negara ini memang dikenal maju dalam sektor perekonomian, tapi sayangnya negara-negara itu belum ramah terhadap perempuan. Beberapa contohnya, baru-baru ini di Jepang terjadi  kasus penusukan terhadap beberapa perempuan di kereta listrik Odakyu di jalur Setagaya. Pelakunya bernama Yusuke Tsushima, seorang laki-laki berusia 36 tahun. Ia melakukan penusukan itu karena membenci para perempuan yang menampakkan ekspresi bahagia. 

Baca Juga: 4 Film yang Gambarkan ‘Ageism’ terhadap Perempuan Pekerja

Beralih ke Korea Selatan, seksisme dan sikap misoginis juga sering dialami oleh perempuan Korea Selatan. Dua contoh di antaranya adalah seksisme yang diterima oleh para idol perempuan, dan kasus lainnya dapat kamu lihat dari perlakuan netizen laki-laki Korea Selatan terhadap atlet panahan asal Korea Selatan An San yang dihujat hanya karena rambut pendeknya.  

Dengan kondisi yang sangat kompleks ini, saya jadi penasaran bagaimana industri perfilman di negara-negara tersebut memotret isu-isu yang dialami perempuan, khususnya para perempuan pekerja. Nah, berikut ini beberapa pilihan film menceritakan perempuan karier di Asia, yang memotret permasalahan perempuan dari berbagai latar belakang dan pekerjaan. 

Samjin Company English Class (2020)

Di 2019, film Kim Ji Young sebuah cerita tentang kehidupan perempuan yang mendapatkan banyak pujian, sebab memotret secara apik permasalahan perempuan. Setahun berselang, industri Korea Selatan kembali menyuguhkan film bertema perempuan namun dibungkus lebih jenaka. 

Samjin Company English Class bercerita tiga orang perempuan bernama Lee Ja -young (Ko Ah-Sung), Jung Yoo-na (Esom) dan Sim Bo-Ram (Park Hye Soo) yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan bernama Samjin. Namun, karena mereka hanya lulusan SMA, sangat sulit bagi mereka untuk menaiki tangga karier dan stuck jadi pegawai rendahan.

Suatu ketika, perusahaan mengumumkan, pegawai yang berhasil mendapat nilai tes TOEIC sebesar 600 atau lebih tinggi, akan langsung mendapat kenaikan jabatan asisten manajer. Ketiga perempuan itu pun bersemangat untuk belajar bahasa inggris di kelas bahasa inggris yang diadakan oleh perusahaan. 

Namun di saat yang bersamaan, ternyata ada sebuah skandal korupsi di perusahaan mereka, dan ketiga perempuan ini tak sengaja mengetahui hal ini. Walaupun film ini bercerita tentang bagaimana tantangan perempuan pendidikan rendah  berkompetisi untuk memperbaiki karier mereka, film ini dibungkus secara apik, tidak menggurui, dan yang paling utama penuh dengan humor.

Film Perempuan Karier 2020: Honest Candidate

Diadaptasi dari film asal Brazil berjudul sama, Honest Candidate versi Korea Selatan ini memutuskan untuk mengganti karakter utamanya menjadi seorang politikus perempuan. Pergantian karakter ini menjadi menarik sebab, tantangan yang dihadapi oleh politikus perempuan lebih berlapis ketimbang politikus laki-laki.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan

Film perempuan karier ini berkisah tentang Joo Sang-sook (Ra Mi-ran), anggota Majelis Nasional, yang sudah tiga kali terpilih dan saat ini tengah menjalani masa kampanye untuk keempat kalinya. Seperti halnya politikus pada umumnya, yang cuma bermodal mulut manis, janji-janji palsu, dan simpati masyarakat, Sang-sook pun juga melakukan hal yang sama demi mempertahankan jabatannya. Namun, suatu hari hal aneh terjadi pada sang sook, ketika ia kehilangan keahlian berbohongnya dan malah menyampaikan sebuah fakta yang seharusnya tak diucapkan, beberapa hari sebelum hari pemilihan tiba. 

Dikemas dengan bumbu humor satir, film Honest Candidate karya sutradara Jang Yu-Jeong patutlah masuk ke daftar tontonanmu untuk mengisi waktu weekend.  

Slate (2021)

Sejak kecil, Yeon-hee (Ahn Ji Hye) sudah bermimpi menjadi seorang  bintang film laga. Walaupun ia memiliki keahlian berpedang yang mumpuni, realitasnya, sulit bagi Yeon-hee untuk menggapai cita-cita.

Suatu hari, perempuan muda itu  lolos audisi dan mendapat kesempatan untuk memainkan peran dalam sebuah film laga. Namun, ketika ia datang ke lokasi syuting, Yeon-hee malah terlempar ke dunia paralel, dimana orang-orang di dalam dunia tersebut harus membunuh satu sama lain untuk bertahan hidup. Tak lama setelah terlempar ke dunia tersebut, Yeon-hee disambut oleh masyarakat di sebuah desa tanpa nama, dan menobatkan Yeon hee sebagai penjaga desa. Dengan berbekal sebilah pedang, Yeon-hee pun berusaha mengamankan desa itu dari kelompok jahat.

The Calling of a Bus Driver (2020) 

Sedih, marah, dan merasa terkhianati, hal inilah yang dirasakan Suki (Ivana Wong) seorang perempuan berusia 27 tahun, setelah mengetahui bahwa pacarnya, Chico (Edmond Leung) yang sudah tujuh tahun bersamanya berselingkuh dengan perempuan bernama Kiki (Jacky Choi). 

Satu tahun kemudian, Suki mendapatkan undangan pernikahan dari mantan pacarnya, dan tak sengaja bertemu dengan mantan pacar Kiki, bernama Manny (Philip Keung), yang menawarkan kerjasama pada Suki untuk balas dendam terhadap mantan mereka. 

Baca Juga: 10 Rekomendasi Film tentang Perempuan Pemimpin

Film perempuan karier yang dibalut dengan kisah komedi romantis yang bercerita tentang perempuan yang tengah menata kembali kehidupannya setelah diselingkuhi ini, menarik untuk ditonton dan menjadi penyemangat bagi kamu yang sedang galau setelah diselingkuhi pasangan. 

The Secret Diary of a Mom (2019) 

Bagi beberapa perempuan, anak merupakan sebuah hadiah, dan pelipur lara dalam hidup. Namun bagi Carmen (Dada-chan), menganggap bahwa anak merupakan sebuah bencana yang mengubah kehidupan perempuan.  Selama bertahun-tahun, Carmen tidak ada niatan untuk memiliki seorang anak, dan hidup bahagia bersama sang suami. Akan tetapi, kehidupan tersebut langsung berubah, ketika ia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan (KTD). Hal ini membuat rencana kepindahannya ke Amerika untuk pekerjaan baru batal seketika, dan ia pun harus merelakan hari tanpa rokok dan minuman keras. 

Film berkisah tentang perempuan karier ini menjadi gambaran bagi kita bagaimana kondisi-kondisi biologis perempuan malah menjadi hambatan bagi mereka untuk mengembakngkan karier mereka. Alih-alih mendukung apapun keputusan perempuan, perusahaan seringkali malah mengabaikan kebutuhan pekerja perempuannya. Akibatnya? Ya bisa kamu tonton dalam cerita The Secret Diary of Mom ini.   

Film Perempuan Karier yang Sangat Menginspirasi: Wild Grass (2020) 

Film ini bercerita tentang dua perempuan dan satu laki dengan latar belakang berbeda-beda yang memiliki satu tujuan, yaitu mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Ketiganya dipertemukan dalam sebuah kecelakaan yang mengubah hidup ketiga orang tersebut. Yun Qiao (Sandra Ma), ingin mengubah hidupnya seperti cerita-cerita dalam sebuah film, Li Mai (Elaine Zhong) ingin mensukseskan kariernya sebagai penari profesional, sedangkan Wu Feng ( Johnny Huang) bersiap untuk menghadapi hidupnya yang baru. 

Setelah kecelakaan itu, ketiganya terus berusaha untuk mengubah nasib mereka menjadi lebih baik, dengan kemampuan yang mereka miliki dan tantangan yang berada di hadapan mereka. 

Film Perempuan Karier yang Menjadi Seorang Mangaka: 37 Seconds (2019) 

Film perempuan karier ini bercerita tentang seorang mangaka perempuan bernama Yuma, yang sangat berbakat dalam menggambar. Namun, kariernya sedikit terhambat karena Yuma mengidap penyakit cerebral palsy yang membuat dirinya seumur hidup harus menggunakan kursi roda.   

Karena kondisinya ini, seorang sahabatnya malah memanfaatkan bakat Yuma, dan menjadikan Yuma hanya sebagai seorang ghost writer, dan mengambil seluruh kredit untuk dirinya sendiri. 

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Mengetahui hal itu, Yuma pun bertekad untuk mewujudkan mimpinya sendiri dengan melamar pekerjaan ke sebuah penerbitan manga atau komik Jepang yang berfokus pada genre erotica. Editor dari penerbit itu pun mengatakan bahwa Yuma memang berbakat dalam menggambar, namun ia ragu dengan pengalaman seksual Yuma, karena kondisi Yuma. Sang editor menambahkan, Yuma harus  merasakan pengalaman berhubungan seks untuk menjadi seorang  mangaka dalam genre hentai atau genre dewasa. 

Dari situ, petualangan Yuma dalam merasakan seks pertamanya pun dimulai. Cerita dengan alur sederhana namun dikemas dengan baik  serta heartwarming ini, menjadi gambaran bagaimana individu difabel, masih sulit untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Selain itu, film ini juga mengangkat isu tentang seksualitas komunitas difabel, yang seringkali tidak dipandang dan diabaikan oleh masyarakat.

Read More

Fenomena ‘Breadcrumbing’ di Dunia Kerja dan Cara Menghadapinya

Istilah “breadcrumbing” mungkin pernah kamu dengar dan sering dipakai dalam konteks relasi. Namun tahukah kamu, hal ini juga bisa terjadi di dunia kerja?

Dalam kencan online, Macmillan Dictionary mengartikan breadcrumbing sebagai kondisi ketika seseorang mengirimkan pesan yang memberi sinyal ketertarikan terhadap orang lain, meski sebenarnya orang tersebut tidak benar-benar mau berelasi dengan dia. Dengan kata lain, breadcrumbing adalah tindakan menggantungkan seseorang dengan janji-janji omong kosong, dan ini lebih dulu kita kenal dengan istilah pemberi harapan palsu (PHP). 

Lebih lanjut menurut profesor Psikologi dari California State University, Kelly Campbell dalamartikel di Bride, breadcrumbing memakai taktik manipulasi secara emosional untuk membuat seseorang bergantung kepadanya.  

Bagaimana dengan breadcrumbing di dunia kerja?

Breadcrumbing dalam konteks ini biasanya melibatkan relasi antara pemberi kerja atau orang yang berwenang dengan karyawan atau calon karyawan. Salah satu contoh kasus yang menggambarkan kondisi ini adalah saat manajer menjanjikan promosi atau kenaikan gaji kepada seorang karyawan tanpa benar-benar mengusahakannya. Tidak ada upaya untuk meningkatkan kemampuan karyawan, memberi umpan balik yang cukup, atau apa pun yang membuat si karyawan berkembang dan pada akhirnya pantas untuk menerima promosi.

Ketiadaan upaya mengembangkan karyawan ini lantaran perusahaan butuh merogoh kocek untuk itu. Karenanya, dibanding melakukannya betulan, ada sebagian pihak pemberi kerja yang berpikir lebih baik mengiming-imingi seseorang saja supaya dia bertahan. Ini senada dengan artikel BBC, di mana Emily Torres mengemukakan, karyawan yang mengundurkan diri membawa biaya besar bagi perusahaan dalam rangka mencari sumber daya manusia (SDM) penggantinya. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Menurut Karen Gately, pendiri perusahaan konsultan SDM Corporate Dojo, praktik breadcrumbing tidak etis dan tidak adil. Dalam artikel HRM ia menyatakan, daripada melakukan hal ini, pihak perusahaan semestinya melatih karyawan yang ingin menduduki suatu jabatan, misalnya manajer, dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan. Ia juga tidak menyarankan perusahaan untuk menjanjikan hal yang tidak mau mereka wujudkan kelak.

“Bila kamu menjanjikan sesuatu di masa depan dan hal itu berubah, katakan pada karyawan tentang hal tersebut sesegera mungkin. Jangan tunggu sampai enam bulan dan bilang, ‘Oh, maaf, kami masih belum bisa melakukannya [mempromosikan karyawan],” kata Gately. 

Tidak hanya antara bos-karyawan, breadcrumbing juga bisa terjadi di tataran selevel atau antar-kolega. Misalnya, ada rekan kerja yang memujimu sesaat sebelum mereka bilang mereka memerlukan bantuanmu untuk sebuah pekerjaan. Lantas, rekan kerja tersebut meninggalkanmu setelah pekerjaan selesai dan baru kembali kepadamu ketika mereka membutuhkan bantuan lagi.

Selain itu, dalam artikel di Stylist dikatakan, breadcrumbing bisa terjadi bahkan sebelum kamu diangkat sebagai pekerja di suatu kantor. Hal itu bisa berupa janji-janji hal yang bisa kamu nikmati setelah bekerja atau terlibat di suatu proyek sehingga meningkatkan keinginan untuk bergabung dengan perusahaan tersebut dan tidak melirik ke perusahaan lain. Padahal setelah bekerja, janji-janji itu tidak kunjung ditepati. 

Tanda-tanda Breadcrumbing di Dunia Kerja

Ada sejumlah tanda breadcrumbing terjadi di tempat kerja yang mesti kamu waspadai:

  1. Kamu tidak menerima umpan balik secara rutin

Torres menulis, di lingkungan kerja yang sehat, sudah sewajarnya karyawan menerima umpan balik secara rutin. Ketika bos hanya memberi dukungan atau tanda penghargaan di kala karyawannya mendekati titik burn-out, bisa saja itu hanya upaya menahan si karyawan agar tidak buru-buru undur diri. Ini dilakukan demi menghindari biaya besar turn-over atau keluarnya karyawan.

  1. Ada kesempatan kenaikan jabatan, tapi kamu dilewatkan

Walaupun kamu sudah mengikuti apa yang diinstruksikan bosmu, dan walau ada kesempatan untuk naik jabatan, kamu masih saja dilewatkan dan rekanmu yang lain yang mendapatkannya. Bisa jadi juga bosmu mengatakan kepadamu, “Nanti di lain kesempatan…” agar kamu terus bertahan dan berharap bisa mendapat lebih dari apa yang kamu terima saat ini di kantor.

Baca juga: Tentang Perempuan di Dunia Kerja: Dari Cuti Melahirkan Sampai ‘Glass Ceiling’

Tanda breadcrumbing di dunia kerja akan semakin kentara ketika bosmu tidak henti berkata ingin melihat perkembanganmu, bahkan seraya memberi pekerjaan ekstra, tanpa pernah memberi imbalan tambahan upah atau perubahan jabatan. Hal ini pada akhirnya membuat kamu ragu melihat dirimu sendiri dan atasan: Apakah kamu benar-benar pantas naik gaji? Apakah usahamu sudah cukup? Atau memang bos saja yang suka PHP?

  1. Janji yang diberikan atasan tidak jelas

Tidak jarang atasan membuat karyawan bingung dengan membuat janji-janji yang “abu-abu”. Mereka tidak mengatakan reward spesifik apa yang akan kamu dapatkan setelah masuk kerja atau menyelesaikan tugas tertentu, entah itu kenaikan gaji, dipercaya memimpin sebuah proyek bergengsi, atau peningkatan jenjang karier. Yang ada, mereka hanya mengindikasikan kamu akan menerima imbalan sepantasnya dan membuatmu menduga-duga saja.    

Cara Menghadapi Breadcrumbing di Dunia Kerja

Menghadapi situasi seperti ini, kamu tidak sepantasnya pasif atau diam saja menerima perlakuan tidak adil tersebut. Meski sering kali pemberi kerja atau atasan dianggap sebagai pihak yang punya kontrol, kamu juga sebenarnya berhak untuk menerima kejelasan dan kesempatan untuk berkembang.

Kamu bisa mengesampingkan rasa tidak enakan dan menanyakan hal apa yang akan kamu terima setelah menjalankan sejumlah tugas yang bos berikan kepadamu. Bisa juga kamu bertanya apakah kesempatan untuk naik jabatan atau gaji itu ada. Tentu saja tidak setiap kali menyelesaikan tugas dan pada tiap kesempatan kamu bisa menanyakan hal ini. Membaca situasi dan memilih cara komunikasi yang baik tetap dibutuhkan. Bila kamu rasa kamu sudah mengerahkan usahamu yang optimal untuk berkontribusi di kantor selama sekian lama, barulah kamu bisa mengajukan pertanyaan ini. 

Baca juga: Selama Bukan Pemilik Modal, Kita adalah Buruh

Dalam sebuah artikel Forbes juga disampaikan beberapa hal lain yang bisa kamu lakukan ketika sudah mencium tanda-tanda breadcrumbing dari atasan. Misalnya, kamu bisa mulai mencatat rekam jejak pencapaian dan usahamu di kantor, begitu juga waktu-waktu ketika bos mengiming-imingi sesuatu. Ini nantinya bisa kamu tunjukkan kepada bos saat hendak menagih apa yang pernah mereka janjikan. Kamu juga bisa bertanya apakah ada hal yang kurang dari usahamu selama ini kepada bos dan mencari tahu mengapa mereka tidak kunjung menepati janjinya, bisa dengan bertanya secara langsung kepada yang bersangkutan, membaca situasi (misalnya: keadaan keuangan kantor yang sedang buruk dan tidak memungkinkan kenaikan gaji karyawan) atau bertanya kepada rekan kerja yang lebih dulu masuk, apakah mereka juga mengalami hal serupa. 

Saat bos tidak terlihat benar-benar mengusahakan reward seperti yang dia janjikan sementara kamu terus dihujani berbagai tugas berat, kamu bisa mempertimbangkan lagi terus bekerja di kantor itu atau tidak. Apakah beban yang kamu emban sepadan dengan yang kamu terima? Apakah kamu ingin mengembangkan karier atau sudah puas dengan gaji dan jabatan yang ada sekarang? 

Bila yang melakukan breadcrumbing adalah rekan kerja, beri batasan kepadanya tentang apa yang bisa dan tidak bisa kamu lakukan untuk membantunya sesuai kapasitas, energi, dan waktu yang kamu punya. Tidak perlu merasa tidak enak saat menolak permintaannya bila itu menginterupsi pekerjaanmu. Lagipula, tidak ada garansi dia akan melakukan hal serupa di kemudian hari setelah kamu mengorbankan banyak porsi waktu kerjamu dan berharap dia bisa mendukungmu kelak. Ketika kamu membantunya, jangan biarkan rekan kerjamu mengambil kredit sepenuhnya dan mengabaikan kontribusimu.

Read More

Balada Budak Korporat dan Solusi Lawas Jadi PNS

Bayangan saya soal profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pulang lebih cepat, izin jemput anak di jam makan siang, dan asyik main gim Solitaire di komputer Windows jadul. Meskipun dugaan saya cuma apriori karena mengamati segelintir tetangga saja yang jadi ambtenaar, tanpa mengalami langsung, tapi setidaknya kenikmatan beban kerja secuil ini tetap berlaku hingga sekarang. Tentu saja buat beberapa orang, karena ada juga PNS yang berdedikasi tinggi.

Saya mewawancarai teman saya, Putri Rahmawati (30) yang ngebet banget jadi PNS sejak ia masih di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Saya ingat betul, jawaban guru saat bertanya cita-cita di masa depan, ia menjawab dengan mantap, “Mau jadi PNS.” Sementara yang lain kebanyakan menjawab dengan template kanak-kanak yang jarang diraih ketika mereka dewasa: Pilot, dokter, polisi, astronaut.

Tak seperti teman yang lain, Putri termasuk yang setia pada cita-cita masa kecilnya. Saya sendiri sudah belasan kali berubah cita-cita, dari yang mulanya mau jadi manten zaman TK, dosen, ilmuwan, ahli Kimia, sampai akhirnya takdir saya mentok jadi jurnalis. Sementara, teman saya yang lahir dari keluarga PNS ini berjuang untuk menggolkan mimpinya hingga bertahun-tahun kemudian. Tentu saja ia tahu, influencer zaman sekarang bisa mendapat upah hingga Rp80 juta sekali mengunggah konten endorse di media sosial, ia juga tahu PNS di kebanyakan formasi digaji dengan ikhlas (Baca: Kecil. Red). Namun, ia teguh pendirian.

“Bukan cuma karena malu jika gagal jadi PNS. Dari yang gue lihat dari keluarga besar, hidup mereka rata-rata berkecukupan. Jika Surat Kerja (SK) sudah terbit, bisa disekolahkan untuk modal renovasi rumah, kuliahin anak, dan tentu saja beban kerjanya enggak bikin gue rentan kena penyakit gangguan mental,” ujarnya pada saya, (10/8).

Pendapat Putri ada benarnya jika mengacu pada artikel di Forbes India bertajuk Here’s why youth prefer government jobs over private jobs for building up career. Dalam artikel tersebut dinyatakan beberapa sebab mengapa profesi pegawai pemerintahan jadi magnet untuk anak muda sekali pun. Pertama, jam kerja PNS sudah dipatok secara tegas, dalam artian ketika ada kelebihan kerja, mereka akan diberikan upah lembur—sesuatu yang musykil didapatkan oleh gig workers, pekerja seni, atau jurnalis seperti saya yang cuma bisa kerja, kerja, kerja, tipes.

Baca juga: Jangan Sebut Kami Budak Korporat

Kedua, dari sisi keamanan kerja dan stabilitas, saya kira tak ada yang bisa mendebat kenapa profesi ini dianggap paling aman buat karyawannya. Apalagi di tengah kondisi yang tak bisa diprediksi seperti pandemi COVID-19, profesi ini takkan membuat kamu dipecat dengan alasan efisiensi cuan perusahaan atau karena bos enggak suka aja sama kamu tanpa alasan jelas.

Mari kita lihat angka yang timpang dengan jumlah pekerja di sektor privat Indonesia yang memecat nyaris 10 jeti pekerjanya. Melansir laman Badan Pusat Statistik per Agustus 2020, angka pengangguran meningkat 2,67 juta orang. Jika ditotal jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Pagebluk ini sendiri telah menyebabkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang berhasil ditekan di angka 5,23 persen terkerek naik jadi 7,07 persen. Saya sendiri bukan korban pemecatan, tapi di perusahaan lama, gaji saya disunat hingga 50% dengan alasan perusahaan harus mengirit pengeluaran.

Ketiga, PNS—bahkan mereka yang digaji kecil sekalipun—relatif jarang khawatir soal keuangan. Pasalnya, ada pos-pos honor lain yang didapat di luar gaji pokok, ada tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, pinjaman perumahan, perawatan anak, asuransi kesehatan, hingga tunjangan daerah. Ini belum termasuk keuntungan yang didapat ketika PNS pensiun dari pekerjaannya. Berbeda dengan para pegawai di sektor privat, pegawai pemerintahan tak perlu cemas menghidupi dirinya di masa tua karena bakal ajek menerima uang pensiun.

Putri, teman saya yang akhirnya berhasil menjadi PNS setelah dua kali kandas di tes masuk Calon PNS mengungkapkan, “Gaji gue di pemerintahan memang sedikit, apalagi sebelum diangkat, tapi ada saja ‘uang-uang gaib’ yang bikin rejeki gue enggak pernah surut.”

Contohnya, kata dia, uang perjalanan dinas. Ia pernah mengumpulkan kocek hingga melampaui gaji pokoknya lantaran diperintahkan untuk dinas ke luar kota hingga satu pekan.

Namun, yang paling jadi pertimbangan Putri adalah soal work life balance. Sebelum akhirnya berhasil diterima di kantor pemerintahan di Jawa Tengah, ia bekerja sebagai tenaga pemasaran di perusahaan finansial (consumer finance). Dalam seminggu, ia harus masuk enam hari, bekerja lembur tanpa bayaran tambahan, dipatok target-target yang enggak masuk akal, dan menjalani hari-hari panjang penuh tekanan.

Gue sampai turun berat badan 7 kilogram hanya karena bekerja di sini, bolak-balik diomelin atasan jika target tak tercapai di akhir bulan. Stres banget,” imbuhnya.

Perkara kesehatan mental dalam dunia kerja diungkapkan pula oleh teman saya lainnya, Erista (29). “Dulu, lulus perguruan tinggi, maunya sok-sok idealis kerja di bidang yang gue mau. Karena passion gue menulis, gue memilih jadi wartawan TV. Nyatanya, gue justru stres berat karena susah buat istirahat. Belum lagi problem stereotip pekerja TV yang dituntut untuk tampil cantik, pelecehan seksual verbal, dan lainnya. Berkali-kali balik ke rumah sakit dan psikiater karena kondisi mental gue. Saking parahnya, gue bisa sampai menstruasi hingga dua bulan lebih tanpa henti.”

Erista bercerita, menjadi wartawan sebenarnya menyenangkan. Namun, beban di media TV ia rasakan tak cukup memberi ruang baginya untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. “Di profesi ini, gue ngrasain putus cinta dua kali karena gue yang terlalu sibuk,” tuturnya.

Ia mengenang pengalamannya diputus saat sedang ditugaskan meliput gempa di Palu-Donggala. “Mental breakdown banget, karena di tengah hectic kerjaan, kurang tidur, cowok gue justru memutuskan buat pisah. Habis gimana, gue juga enggak bisa kontrol kesibukan,” ucapnya.

Sama seperti Putri, Erista juga memutuskan untuk mendaftar jadi Calon PNS dan berhasil masuk. Profesi kewartawanan pun ia tinggalkan. “Setelah dewasa di mana kebutuhan makin nambah, gue jadi makin realistis, cuma orang-orang beruntung yang bisa bertahan, hidupin diri bahkan keluarga dari passion-nya. Selebihnya kayak gue, kalau enggak mengidap gangguan kesehatan mental ya diputus pas lagi sayang-sayangnya karena terlalu sibuk,” ungkapnya.

Baca juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik

Antara PNS dan Karyawan Swasta

Beberapa waktu lalu di Twitter, tagar #budakkorporat sempat trending. Seperti memutar kaset rusak berulang-ulang, tagar ini mayoritas berisi cuitan betapa pekerjaan sebagai karyawan swasta bahkan freelancer tak cukup digunakan untuk menopang hidup di tengah pandemi. Gaji yang byar pet byar pet, kepastian dan keamanan kerja yang nihil, jadi pertimbangan mengapa orang-orang yang bekerja di sektor ini merasa perlu mengidentikkan dirinya sebagai budak korporat.

Budak korporat sendiri menjadi terma yang peyoratif akhir-akhir ini. Sebab, itu tak lagi merujuk pada prestise mendapatkan pekerjaan di perusahaan, tapi justru terasosiasi pada jam-jam kerja panjang tanpa ujung, honor yang tak seberapa, dan ketidakpastian karier. Budak korporat adalah mereka yang umumnya bekerja dari jam 9 pagi hingga pukul 5 sore, terkadang harus lembur, dan cepat diganti oleh karyawan baru ketika kita cabut karena sakit, punya gangguan kesehatan mental, atau mati. Sebuah pil pahit yang sayangnya harus ditelan begitu saja.

Anita Fanny (27), penulis konten di start-up media bercerita pada saya, ia harus bekerja hingga pukul 9 malam ketika tenggat tulisan belum terpenuhi. Hasilnya, penyakit maag sudah jadi sahabat karib, ujarnya. Sebagai informasi, perempuan asal Bogor itu ditargetkan menulis 10 artikel saban harinya, di mana 1 artikel terdiri atas minimal 500 kata. 

“Harus ambil pekerjaan ini karena enggak punya pilihan. Masih untung punya pekerjaan di masa pandemi saat temen-temen gue banyak yang jadi pengangguran,” terangnya, (10/8).

Nyatanya, prestise bekerja dari kantor besar di pusat kota Jakarta tak membuat ia bahagia menjadi pekerja swasta. Karena itulah, ia sepakat jika dilabeli sebagai budak korporat. Sesuai teori, perusahaan tempat bekerja ia juga memiliki turn over karyawan ekstra tinggi, sehingga Fanny pun harus berpikir berulang kali jika mau mundur dari pekerjaannya sekarang.

Masalah prestise dalam Survei Pusat Kajian Reformasi Administrasi 2017 yang dikutip Tirto, cukup penting ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pekerja, termasuk pekerja pemerintahan. Persentase orang yang memilih bekerja jadi PNS karena faktor prestise mencapai 29,9 persen dan berada di urutan ketiga sebagai alasan terkuat mengapa memilih profesi PNS. Sementara, mereka yang memilih profesi ini karena jaminan hidup hanya 4 persen. Alasan terbesar ada pada job security yang mencapai 60 persen serta alasan gaji yang mencapai 54, 5 persen. Mereka yang memilih PNS sebagai suatu pengabdian bahkan hanya 9 persen. Sedangkan yang memilih profesi PNS sebagai passion hanya berjumlah 1 persen.


Lepas dari angka-angka itu, profesi PNS maupun pekerja swasta memang menjanjikan masing-masing keuntungan, pun kerugian. Apa saja jalan yang kamu pilih, setidaknya kamu berpegang pada koentji bahwa kebahagiaan dalam pekerjaan adalah nomor wahid. Jika kamu bahagia dengan menjadi PNS, jalani, sebaliknya jika mau jadi pekerja swasta karena perkawa idealisme dan tetek bengeknya, ya lanjutkan. Tak ada pilihan benar dan salah.

Read More

Why Women Need Men as Allies In the Workplace?

In the struggle for advocating gender equality and fighting sexism in the workplace, women needs to involve men to become allies. Research has shown that in the absence of male support, women have to shoulder the burden of battling routine workplace sexism such as misogynist humor and microaggressions on their own. This can lead to a sense of isolation, stress and exhaustion.

But what difference can one un-sexist man make?

My colleagues and I had a hunch that the actions of individual male allies – even through simple acts such as highlighting the strengths of female colleagues or checking in on their well-being – might serve as a counterweight to the negative effects of everyday sexism. But not only that, we decided to study how that might impact men as well.

How to Behave Like an Ally

My colleagues and I tested these hunches in a new study published in the journal Psychology of Men and Masculinities.

We recruited 101 pairs of male and female colleagues employed in male-dominated departments across 64 research universities in the United States and Canada. We asked department heads to distribute our survey to female faculty members, and we then invited the women who responded to nominate a male colleague they work with regularly to take a companion survey.

Also read: Gender Inequality in Workplace and Women CEOs’ Failure to Recognize It

We asked the women to what extent the male colleague they nominated behaved as an ally and fight sexism in the workplace, such as by taking public stances on issues facing women and standing up when he sees discrimination. We also asked women if they felt like the colleague appreciated them – which is seen as a sign of inclusion – and how enthusiastic they felt working with him.

We asked the men to what extent they thought they behaved as allies, such as by reading up on the unique experiences of women or confronting sexist colleagues. We also wanted to know the extent to which they felt their support for women helped them “do better things” with their lives and acquire new skills that help them become a “better family member.” All answers were reported on a scale.

More Inclusion for Women, More Growth for Men

Just under half of women rated their male colleague as a strong ally. We found that women who perceived their male colleagues as allies reported higher levels of inclusion than those who didn’t, which is also why they said they experienced greater enthusiasm in working with them.

Also read: More Efforts Needed to Improve Gender Equality in Indonesia

In other words, having men as allies in male-dominated workplaces seems to help women feel like they belong, and this helps them function enthusiastically with their male colleagues on the job.

This pattern has important long-term implications. If women feel energized and included, they might be more likely to stay with their employer – rather than quit – and strive to fight sexism in the workplace.

Men who were more likely to act as allies to women reported proportionately higher levels of personal growth and were more likely to say they acquired skills that made them better husbands, fathers, brothers and sons. This tendency suggests the possibility that being a male ally creates positive ripple effects that extend beyond the workplace.

An Important First Step

Despite these promising results, our research has a few caveats.

Our study found men and women often have differing perceptions of who is an ally. For example, 37 percent of women whose male colleagues saw themselves as strong allies disagreed with that assessment. And just over half of the men who were perceived as strong allies by women didn’t see themselves that way.

Yet, men benefited from seeing themselves as allies whether or not their female colleagues agreed. And importantly, women gained from perceiving their male colleagues as allies, even when the latter didn’t view themselves that way.

Our findings are also limited given the small sample size. And we don’t know what the men who identified themselves as allies have actually done, if anything, to help women. But that may be somewhat beside the point.

Ultimately, even men’s mere signaling that they want to be good allies is an important first step toward a shift in the way many men have historically treated the women in their lives. We believe it also leads to more workplace equality and reducing sexism in the workplace.

When women perceive men as supportive colleagues, it makes them feel more integral to the workplace. This suggests a good starting point for men who want to be allies: find more ways to express that support at work.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Meg Warren is Associate Professor of Management, Western Washington University.

Read More
ilmuwan perempuan muslim

5 Ilmuwan Perempuan Muslim yang Sangat Berpengaruh di Dunia

Terlahir menjadi seorang perempuan tidak jadi batu sandungan untuk menciptakan suatu karya yang berkesan untuk dunia. Contohnya adalah para ilmuwan perempuan muslim berikut ini.

Mereka sangat pintar dan berani sehingga bisa melahirkan sesuatu yang mengubah dunia. Kesuksesan mereka tersebut membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki saja yang bisa menjadi ilmuwan dan berperan dalam memajukan peradaban, tetapi perempuan juga. 

Yuk kita bahas lebih dalam mengenai ilmuwan  perempuan muslim yang sangat berpengaruh di dunia, dirangkum dari berbagai sumber berikut ini.

1. Ilmuwan Perempuan Muslim yang Ahli Matematika: Sutayta al-Mahamali

Sutayta merupakan nama ilmuwan muslim, yang merupakan seorang ahli Matematika abad ke-10. Ia sangat pintar dalam bidang aljabar. Kepandaian Sutayta dalam bidang Matematika tidak cuma didapatkanya dari sang ayah, Abu Abdallahal-Hussein. Sutayta juga memperoleh ilmu Matematika dari beberapa ahli Matematika pada zaman itu, di antaranya Abu Hamza bin Qasim, Omarbin Abdul Aziz al-Hashimi, Ismail bin al-Abbas al-Warraq, dan Abdul Alghafirbin Salamah al-Homsi.

Baca Juga: 7 Perempuan Inspiratif Indonesia yang Layak jadi Panutan

Tidak hanya mahir di bidang tersebut, faktanya Sutayta al-Mahamali merupakan sosok perempuan yang punya pengetahuan yang sangat luas. Misalnya, ia memiliki keahlian dalam bidang hadis dan syariah. Tapi dari semua kelebihan yang ia miliki, ia lebih populer sebagai pakar matematika, khususnya aritmatika. Aritmatika adalah cabang ilmu Matematika yang mendalami bilangan bulat positif lewat penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian serta digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada zaman tersebut, aritmatika menjadi cabang Matematika yang berkembang cukup baik, dan Sutayta menjadi salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sukses menemukan solusi sistem persamaan dalam Matematika. Keberhasilannya ini ternyata banyak berkontribusi terhadap pengembangan ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan Matematika lainnya.

2. Dr. Bina Shaheen Siddiqui

Prof. Dr. Bina Shaheen Siddiqui lahir di Pakistan pada tanggal 02 Februari 1948 dan merupakan ilmuwan perempuan muslim yang juga punya banyak kontribusi. Ia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. dari Universitas Pakistan pada tahun 2001. Ia juga berhasil mendapatkan 12 paten, termasuk konstituen antikanker.

Mungkin kamu masih ada yang belum mengenalnya, namun hasil dari kerjanya sudah dipakai di seluruh dunia. Biarpun beliau lahir bukan dari keluarga kaya, ia sukses mendapatkan titel doktor (S3) dan sekarang ini ia dipercaya buat memegang jabatan sebagai Profesor HEJ Research Institute of Chemistry.

Baca Juga: Ines Atmosukarto, Perempuan di Bidang Sains, dan Segala Hal tentang Vaksin

Dr. Bina produktif dalam membuat riset di bidang pertanian serta obat-obatan. Karena itu, dalam tiga dekade terakhir ini, ia sangat banyak memperoleh penghargaan atas kinerja ilmiahnya itu.

3. Mariam Al-Ijiliya

 Mariam al-Ijliya nama ilmuwan muslim yang hidup pada abad ke-10 di Aleppo, Suriah. Dia merupakan cendikiawan yang namanya populer karena membuat rancangan serta membangun astrolabe. Astrolabe adalah piranti global positioning yang menentukan kedudukan matahari dan planet-planet. Piranti buatannya ini dipakai untuk keilmuan astronomi, astrologi, dan horoskop.

Astrolobe juga dipakai untuk melihat waktu dan sebagai navigasi dengan cara mencari lokasi lewat lintang dan bujur. Sedangkan untuk umat Muslim sendiri, astrolobe dipakai untuk memastikan arah kiblat, waktu shalat, dan awal Ramadhan serta hari raya Idul Fitri.

Mariam termasuk salah satu ilmuwan perempuan muslim yang sangat sedikit diceritakan kiprahnya dalam sejarah. Sosok Mariam merupakan seorang perempuan berprestasi dalam dunia astronomi. Hal ini diceritakan dalam bibliografi oleh Al Fihrist Ibnu al-Nadim.

4. Ilmuwan Perempuan Muslim Bidang Kedokteran: Rufaida Al-Aslamia

Dikutip dari Saudi Gazette, Rufaida Al-Aslamia merupakan serorang ilmuan perempuan Islam yang tangguh dan tercatat dalam sejarah Islam. Dia merupakan perawat perempuan sekaligus dokter bedah pertama dalam dunia Islam.

Rufaida Al-Aslamia lahir pada 570 Masehi serta tinggal di Madinah, Arab Saudi. Ayahnya, Saad Al Aslami merupakan seorang dokter.

Rufaida termasuk dalam kelompok pertama yang menganut Islam di Madinah. Bersama kaum perempuan Ansor yang lain, dia ikut punya andil dalam penyambutan Nabi Muhammad SAW di Madinah.

Karena ayahnya merupakan seorang dokter, Rufaida yang pintar pun ikut terdorong mempelajari dunia kesehatan. Dia juga tertarik untuk merawat dan membantu pengobatan orang sakit.

Baca Juga: Jejak Pemimpin Perempuan dalam Islam: Dari Khadijah sampai Fatima Al-Fihri

Kemampuannya ini diperdalam dengan menangani banyak pasien dengan bermacam penyakit. Saat terjadi perang, Rufaida mengabdikan dirinya untuk ikut merawat korban akibat perang tersebut. Perempuan tangguh itu juga ikut serta dalam Perang Badar sebagai perawat, serta perang-perang yang lain seperti Perang Uhud, Khandaq dan Khaibar.

5. Profesor Nesreen Ghaddar

Nesreen Ghaddar merupakan insinyur dari Lebanon yang sudah dikenal banyak orang karena keberhasilannya. Dia merupakan profesor Teknik Mesin di American University of Beirut dan juga editor Journal of Applied Mechanics, Islamic World Academy of Sciences.

Tidak cuma itu saja, ilmuwan perempuan muslim ini sudah mendapatkan gelar Ph.D. dari MIT dan pada tahun 1984 memperoleh penghargaan makalah terbaik dalam bidang Termofisika dari American Institute of Aeronautics and Astronautics.

Read More