kehilangan motivasi kerja

Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

kehilangan motivasi kerja – Perasaan jenuh saat bekerja adalah hal yang lumrah terjadi. Bisa saja hal itu muncul sebentar, tetapi bisa juga dalam jangka panjang. Ketika kejenuhan itu terus menerus berlangsung, sangat mungkin performa kerja dan produktivitas seseorang terpengaruh, sehingga menghambat kerja tim di tempat kerja. Ujung-ujungnya, performa perusahaan pun terjun.

Ketika rasa jenuh melanda, tidak jarang seseorang berpikir, buat apa saya bekerja di sini? Ia bisa mempertanyakan kenapa sejak awal memilih berkarier di tempatnya sekarang. Seiring dengan itu, ia mulai kehilangan ketertarikan serta antusiasme untuk bekerja.

Jika kamu pernah atau sedang mengalaminya, bisa jadi kamu mengalami demotivasi. Dalam kamus American Psychological Association (APA), demotivasi didefinisikan sebagai gambaran negatif atau self-talk negatif yang menekankan pada kenapa seseorang tidak bisa mengerjakan tugas dengan baik. Alhasil, itu mendorongnya untuk tidak melakukan usaha apa pun untuk memperbaikinya. Sementara dalam IGI Global disebutkan, demotivasi merupakan keadaan berkurangnya ketertarikan, antusiasme, dan keinginan untuk tampil baik dalam suatu hal karena pengaruh-pengaruh negatif tertentu. 

Dalam Linkedin, manajer sumber daya manusia dari Aktiv Software & iCreative Technologies, Vaibhavi Choksi mengatakan bahwa kehilangan motivasi kerja atau demotivasi itu bisa menular. Ketika ada satu pekerja yang merasakan hal tersebut karena berbagai faktor di kantor, pekerja lainnya bisa merasakan hal serupa.

Baca juga: Ini Alasan Kenapa Karyawan Bisa Alami ‘Burnout’ dan Cara Atasinya

Penyebab Demotivasi Kerja

Choksi mengungkapkan, ada beberapa hal yang bisa menciptakan demotivasi pada pekerja:

  1. Kurangnya apresiasi

Meskipun seseorang sudah menunjukkan usaha seoptimal mungkin, pihak atasan maupun rekan kerja lainnya masih mengabaikan hal tersebut dan tidak memberi feedback positif atau pujian kepadanya. 

Ini bisa menimbulkan perasaan sudah melakukan hal sia-sia dalam diri pekerja tersebut. Ia pun bisa mulai merasa malas untuk tampil optimal seperti dulu karena ujungnya tak ada hadiah apa pun yang diraihnya.

  1. Terlalu banyak pekerjaan

Hal ini bisa membuat seorang pekerja sangat kewalahan, sehingga berdampak buruk terhadap kemampuannya untuk bekerja dengan baik dan tepat waktu. Saat hasil kerjanya tak sesuai harapan atau jauh di bawah targetnya, hal tersebut juga dapat menurunkan motivasinya untuk bekerja.

  1. Favoritisme

Tidak jarang di kantor ada atasan yang menunjukkan sikap favoritisme atau pilih kasih terhadap sebagian karyawan. Walau seseorang sudah melakukan pekerjaan sesuai harapan dari atasannya, tetap saja ia tak diapresiasi oleh atasannya itu. Malah, rekan kerja mereka yang sebenarnya bekerja tak lebih baik darinya atau biasa-biasa saja yang lebih mendapat sorotan. 

  1. Tak ada kepercayaan

Ketika seorang pekerja tidak dipercaya oleh rekan kerja maupun atasannya, ia pun bisa merasa pekerjaan atau keberadaannya tidak bernilai. Ketidakpercayaan dari atasan atau rekan kerja bisa terlihat dari besarnya campur tangan mereka dalam pekerjaan yang seharusnya ia kerjakan sendiri, atau sikap meremehkan dan anggapan bahwa pekerja tersebut tak cukup berpengalaman atau piawai dalam melakukan suatu tugas. 

Perasaan tidak berharga atau tidak dipercayai ini pada akhirnya mengendurkan rasa keterikatannya dengan orang-orang kantor dan perusahaan, sehingga ia pun merasa tak ingin-ingin amat untuk berkontribusi lebih ke perusahaan.

  1. Miscommunication

Di sebagian kantor, ada atasan yang hanya memberi secuil informasi atau tidak sama sekali seputar perusahaannya. Hal tersebut bisa menjadi pemicu hilangnya motivasi kerja atau demotivasi karena menyiratkan sang atasan atau perusahaan tidak sepenuhnya mempercayai para pekerjanya. Padahal, membagikan informasi tentang suatu pekerjaan itu penting karena berpengaruh terhadap hasil kerja karyawan. 

Baca juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Apa yang Bisa Kita Lakukan Saat Mengalami Ini?

Ketika seorang pekerja mengalami demotivasi, sangat mungkin ia terpikirkan untuk buru-buru keluar dari tempat kerjanya. Namun tunggu dulu, bisa jadi itu bukan keputusan yang tepat untuk segera diambil. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebelum sampai pada keputusan itu.

Baca Juga: 7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Dalam The Guardian, konsultan eksekutif dari The Forum Corporation, David Robertson menyarankan pekerja yang mengalami demotivasi untuk pertama-tama mengenali pemicu demotivasinya itu. Selain hal-hal yang disebutkan Choksi tadi, pemicu demotivasi menurut Robertson bisa saja berupa perubahan dalam perusahaan atau target pasar, restrukturisasi internal, atau perampingan perusahaan. Ini semua sedikit banyak akan berpengaruh terhadap beban kerja yang akan diemban para pekerja. 

Dengan mengenali pemicu demotivasi, pekerja bisa mencari solusi yang tepat atas permasalahannya. Selain itu, Robertson juga mengingatkan, penting bagi pekerja untuk mengidentifikasi hal-hal potensial yang memicu demotivasi di kemudian hari sehingga pekerja mampu melakukan langkah pencegahan lebih awal. 

Dilansir Idealist, langkah lain yang bisa dilakukan untuk menyikapi kehilangan motivasi kerja atau demotivasi adalah berkomunikasi terbuka dengan pihak HRD atau atasan. Mungkin kamu merasa kurang puas dengan bayaran yang kamu terima karena merasa tidak setimpal dengan beban kerja yang bertambah. Atau, kamu merasa ingin dipercaya mengambil tanggung jawab lebih besar dari yang kamu pegang sekarang, tapi tak kunjung dilirik atasan. Bisa juga kamu merasa sangat bosan karena pekerjaan yang diberikan padamu hanya itu-itu saja dan tidak mendukung perkembangan dirimu. Bicarakan baik-baik tentang itu dan cobalah mencari titik tengah terbaik bagi kamu dan perusahaan.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Kamu juga bisa coba mulai mengurangi berbagai distraksi saat bekerja. Pasalnya, hal ini hanya akan membuatmu makin kewalahan ketika sedang mengemban beban kerja yang berat. Beranikan diri untuk menetapkan batasan dengan tidak menerima pekerjaan lain atau membantu rekan kerja ketika kamu sedang butuh fokus untuk mengerjakan tugasmu sendiri. Buatlah prioritas agar pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, sehingga hasilnya tidak mengecewakan.

Terakhir, kamu bisa mengambil jeda sejenak di tengah pekerjaanmu. Ini penting untuk menyalakan kembali semangatmu setelah kamu berkutat dengan kebosanan atau pekerjaan yang melimpah. Dalam jeda ini, kamu juga dapat memikirkan kembali atau mengevaluasi tujuanmu bekerja di tempat kerjamu sekarang ini. Apakah kamu merasa masih ada kemungkinan muncul perubahan ke arah lebih baik dan win-win solution bagi dirimu sendiri dan kantor atau tidak? Atau, kamu sudah tidak menemukan kenyamanan dan keuntungan lagi bekerja di sana sehingga opsi mencari tempat kerja atau profesi lain bisa saja kamu ambil.

Read More
Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

7 Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Meski perusahaan sudah diisi orang-orang berpengalaman, teknologi yang mendukung, dan kertersediaan modal yang cukup, ada kalanya posisi mereka masih berada di belakang para pesaing. Keadaan ini mungkin terjadi karena perusahaan tidak berhasil mencapai kerja sama tim yang maksimal.

Nah, berikut ini beberapa hambatan atau tantangan kerja sama tim yang umum terjadi dan cara tepat untuk mengatasinya.

Masalah atau Tantangan Kerja Sama Tim di Tempat Kerja yang Sering Terjadi

  1. Tidak ada visi yang jelas

Tidak ada visiyang jelas waktu bekerja adalah masalah yang biasa terjadi dalam kerja sama tim. Apabila tidak ada kejelasan tentang apa yang harus diselesaikan dan tujuan dari sebuah pekerjaan, setiap orang pasti akan bingung dalam bekerja.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Tidak cuma menimbulkan kebingungan dalam diri pekerja, masalah ini juga nanti bisa menimbulkan hilangnya produktivitas, motivasi kerja, dan efisiensi kerja. Solusi tepat yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan meeting secara terjadwal untuk membahas dan mengingatkan semua orang apa saja yang perlu dikerjakan.

Selama meeting, pemimpin harus juga menginformasikan kepada semua orang yang terlibat, mulai mengenai progres dari pekerjaan sampai implementasi perubahan. Hal ini akan membuat mereka paham sejauh mana sebuah pekerjaan sudah berjalan.

  1. Kurangnya rasa percaya antar anggota tim

Menurut Patrick Lencioni, penulis buku manajemen tim, pada dasarnya, masalah kerja sama tim bisa terjadi karena setiap anggotanya tidak mau memperlihatkan sisi rentannya kepada sesama anggota yang lain.

Mereka tidak mau terbuka mengenai kelemahan dan kekurangan diri, kesalahan apa yang sudah dilakukan, serta enggan meminta bantuan rekan kerjanya yang lain. Keadaan ini menunjukkan bahwa anggota tim kesulitan dalam membangun kepercayaan. Padahal, ini merupakan dasar paling utama dalam kerja sama tim.

  1. Perbedaan gaya bekerja

Gaya kerja setiap orang pasti berbeda. Hal tersebut terkadang menjadi tantangan kerja sama tim di tempat kerja. Lebih parahnya lagi, hal ini bisa menimbulkan konflik dalam tim.

Baca Juga: Perempuan Dukung Perempuan di Kantor, Kenapa Ini Penting?

Beberapa orang merasa lebih nyaman bekerja sendiri, tapi ada juga orang yang lebih suka bekerja dalam tim atau kelompok. Ada orang bisa memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan rekan kerja yang lain, namun ada juga orang yang butuh masukan setiap waktu.

Sama seperti poin yang sebelumnya, hal yang bisa kamu lakukan saat menghadapi tantangan seperti ini adalah mendorong adanya komunikasi untuk lebih terbuka supaya kerja sama tim bisa lebih baik.

  1. Kurangnya produktivitas

Kurangnya produktivitas merupakan masalah kerja sama di tempat kerja yang juga sering terjadi. Faktor utama yang menyebabkan kurangnya produktivitas adalah kurangnya feedback sehingga seseorang menjadi susah melakukan komunikasi dengan rekan kerja yang lain.

Solusi yang bisa kamu lakukan adalah dengan merespons secara cepat dan memberi feedback secara rutin ke rekan kerjamu.

Selain itu, bila di kantor kamu sekarang ini masih diberlakukan sistem kerja jarak jauh atau WFH, kamu dan rekan kerja bisa berkomunikasi menggunakan berbagai aplikasi pesan instan.

  1. Punya pemikiran negatif

Mindset negatif yang seseorang miliki bisa meluas dengan cepat ke semua orang dan pastinya sangat berbahaya. Sebagai contoh, jika ada salah satu anggota tim yang punya pemikiran kalau proyek yang sedang dikerjakan tidak mungkin berhasil atau susah diselesaikan tepat waktu, anggota lain pun dapat terpengaruh dan punya pemikiran yang serupa.

Baca Juga: ‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Oleh karena itu, cobalah untuk saling mendukung waktu bekerja. Hal ini bisa menjaga semangat setiap orang dan juga bisa mendorong orang lain untuk berpikir kreatif dalam memecahkan masalah yang ada.

  1. Tidak ada pembagian tanggung jawab yang jelas

Masalah kerja sama tim di tempat kerja selanjutnya adalah tidak ada pembagian tanggung jawab yang jelas setiap anggota tim. Pemimpin perlu menentukan peran serta tanggung jawab yang jelas bagi setiap karyawan. Jika perlu, buatlah skema yang berisi tugas masing-masing anggota dan bagikan kepada mereka.

Langkah tersebut bisa mencegah kebingungan dan konflik di antara anggota tim. Alur kerja dalam tim dapat menjadi lebih jelas dan tidak ada yang saling lempar tugas. Dan bila ada karyawan baru, skema tugas yang sudah dibuat tadi dapat menjadi panduan.

  1. Terlalu banyak ide

Terlalu banyak ide merupakan tantangan selanjutnya waktu melakukan kerja sama di tempat kerja. Selain itu, terlalu banyak pembuat keputusan juga akan menghambat progres pekerjaan yang hendak diselesaikan.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Solusinya sama seperti poin sebelumnya: Setiap orang harus paham peran dan tanggung jawab masing-masing. Harus ada orang yang bisa memimpin dengan baik supaya proyek berjalan, dan juga sosok yang bisa menentukan keputusan final.

Dengan begitu, tidak akan ada tumpang tindih dalam membuat keputusan dan setiap orang bisa mengerjakan tanggung jawabnya masing-masing.

Itulah beberapa tantangan kerja sama tim di tempat kerja yang sering terjadi dan cara tepat untuk mengatasinya. Semoga setelah membaca artikel ini, kamu bisa mengurangi dampak dari tantangan tersebut, ya.

Read More

5 Tokoh Perempuan yang Aktif Angkat Isu Perubahan Iklim

Perubahan iklim berdampak lebih besar bagi perempuan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ini karena secara proporsional banyak perempuan miskin yang lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam.

Secara konkret, perempuan lebih terlibat dalam perubahan sosial karena bertanggung jawab dalam urusan domestik. Sehingga, langkanya persediaan air, gagal panen, maupun minimnya keanekaragaman hayati lebih berpengaruh kepada mereka.

Belum lagi di sejumlah negara berkembang, perempuan memiliki peran utama mengumpulkan bahan bakar tradisional yang letaknya jauh dari rumah, yang secara otomatis menghambat mereka dalam melakukan aktivitas lain termasuk bekerja, menekuni keterampilan, maupun istirahat .

Oleh karena itu, Conference of Parties (COP) kembali diselenggarakan untuk ke-26 kalinya di Glasgow, Skotlandia. Konvensi ini penting dilakukan untuk menciptakan berbagai kebijakan dan langkah strategis, supaya suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat C pada 2100. 

Sebagai warga dunia, kita perlu memperhatikan isu perubahan iklim ini karena dampaknya memengaruhi kelangsungan hidup kita, mulai dari cuaca ekstrem, kenaikan curah hujan, tingginya air laut, sampai munculnya gelombang panas.

Terlepas dari ajang COP26, kita dapat meniru aksi lima tokoh perempuan inspiratif berikut ini, yang telah aktif memperjuangkan perlawanan terhadap perubahan iklim.

1. Christiana Figueres

Sejak 1995, perempuan lulusan Swarthmore College dan London School of Economics ini aktif terlibat dalam perbincangan perubahan iklim. Ia mendirikan Center for Sustainable Development, organisasi nirlaba di AS yang didedikasikan untuk partisipasi negara-negara Amerika Latin dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Di lembaga tersebut, ia menjabat selama delapan tahun sebagai executive director. Dalam UNFCCC, Figueres juga berperan sebagai perunding dari 1995 hingga 2010.

Kemudian pada 2015, ia berhasil menyatukan pemerintah, aktivis, perusahaan, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan beberapa kelompok lainnya yang berselisih, untuk menyusun Perjanjian Paris. Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius—bahkan diupayakan pada 1,5 derajat C, serta memperkuat kemampuan negara-negara dalam menangani dampak perubahan iklim.

Instagram @cfigueres

Selain itu, diplomat asal Kosta Rika ini mengusulkan, keahlian perusahaan gas dan minyak dalam menangkap dan menyimpan siklus karbon biologis dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan seperti deforestasi.

“Ini tentang bergerak untuk kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dengan kondisi kesehatan, perkotaan, dan transportasi lebih baik, serta kondisi investasi yang lebih aman,” ujarnya kepada CNN soal perjuangan melawan perubahan iklim.

2. Patricia Espinosa

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim lainnya ialah Patricia Espinosa. Perempuan inspiratif ini menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di UNFCCC sejak 2016 ini adalah sosok yang memelopori Perjanjian Cancun, yang menyalurkan dana 100 miliar dolar AS untuk perubahan iklim di negara berkembang.

Pada 2001 dan 2002, Espinosa menjabat sebagai Duta Besar Meksiko untuk Jerman. Ia juga berperan sebagai Menteri Luar Negeri Meksiko dari 2006 sampai 2012. Selama berkarier, ia kerap membawa beberapa isu dalam hubungan internasional seperti perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, kesetaraan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. 

Twitter @PEspinosaC

Selama menjadi representasi Meksiko dalam hubungan bilateral dan organisasi internasional di New York, Wina, dan Jenewa, ia terlibat aktif sebagai pemimpin dalam mengatasi tantangan global dalam perubahan iklim dan konsekuensinya.

Perempuan asal Meksiko ini memaparkan beberapa hal kunci yang dibutuhkan agar agenda COP26 tercapai. Pertama, pemenuhan janji, yakni negara-negara harus menguatkan kesepakatan yang telah dibuat, seperti pendanaan iklim oleh negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang untuk membantu mengurangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Kedua, menyelesaikan perjanjian. Menurutnya, Perjanjian Paris harus diselesaikan dan dilaksanakan karena negosiasi tentang pedoman operasinya telah berlangsung selama lima tahun, dan Espinosa menganggap sudah tidak ada waktu lagi untuk itu.

Ketiga, meningkatkan ambisi. Negara-negara harus menetapkan dan membuat aksi dari pandangannya dalam mitigasi perubahan iklim, beradaptasi, dan mendanai transformasi menuju masa depan yang netral karbon.

Keempat, bersikap inklusif karena krisis iklim ini terjadi pada masyarakat dunia sehingga harus diselesaikan bersama. Maka itu, tidak ada pendapat maupun solusi tentang perubahan iklim yang layak ditinggalkan.

3. Mikaela Loach

Sebagai mahasiswa kedokteran di University of Edinburgh, Loach memanfaatkan waktu luangnya untuk membuat gerakan iklim lebih inklusif di media sosial. Ia mengambil fokus irisan antara krisis iklim dan isu hak asasi manusia, seperti penganiayaan orang-orang migran dan supremasi kulit putih.

Selain itu, ia juga mengadvokasi keadilan lingkungan, keadilan rasial, hak-hak pengungsi, dan isu sustainability. Oleh karena itu, ia membantu pengikutnya di Instagram untuk berhenti mengenakan fast fashion karena hal itu berkaitan dengan isu rasial dan iklim.

Menurut Loach, fesyen tidak dapat dikaitkan dengan pemberdayaan apabila hanya sang pemakai saja yang merasa nyaman dan senang dengan harga yang ditawarkan, sedangkan para pembuat pakaian justru tertindas akibat eksploitasi tenaga kerja.

 Instagram @mikaelaloach

Tak hanya aktif di media sosial, pada 2019, perempuan kelahiran Jamaika ini bergabung dengan Extinction Rebellion, sebuah gerakan lingkungan global yang menggunakan pemberontakan tanpa kekerasan. Extinction Rebellion bertujuan untuk mendesak pemerintah menghindari masa kritis dalam sistem iklim, risiko keruntuhan sosial dan ekologis, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

“Kita tidak bisa bergantung pada pemerintah atau siapa pun untuk membuat perubahan iklim. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita adalah diri sendiri, dengan bergabung bersama gerakan iklim dan ikut menciptakan perubahan,” katanya dilansir Vogue.

Kepeduliannya terhadap lingkungan itu membuat Loach dinominasikan dalam Global Citizen Prize: UK’s Hero Award pada 2020. Tak heran bila ia dipandang sebagai salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif di bidang lingkungan dan perubahan iklim.

4. Sunita Narain

Perempuan yang berprofesi sebagai peneliti kebijakan lingkungan sejak 1982 ini merupakan direktur jenderal di lembaga penelitian independen Centre for Science and Environment (CSE). Bersama koleganya, ia terlibat dalam mitigasi polusi udara.

Pada 2005, Narain mengepalai Tiger Task Force atas arahan Perdana Menteri India, untuk mengembangkan rencana aksi konservasi di negara tersebut setelah harimau di Sariska dinyatakan sudah tidak ada.

Pada tahun yang sama, ia meraih Stockholm Water Prize—penghargaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan air. Penghargaan tersebut diberikan atas kerjanya dalam panen air hujan, dan pengaruh kebijakannya dalam membangun paradigma pengelolaan air berbasis komunitas.

Twitter @sunitanar

Narain juga meraih beberapa penghargaan lain, seperti Raja-Lakshmi pada 2009 dari Sri Raja-Lakshmi Foundation di Chennai, India, dan Padma Shri pada 2005 yang diberikan oleh pemerintah India.

Kini, ia mengkhawatirkan suara minoritas di negara-negara Global South akan ditenggelamkan dalam dialog perubahan iklim. Ia memandang, pembicaraan seputar perubahan iklim harus lebih inklusif. “Setiap orang berhak atas pembangunan, artinya juga berhak atas energi bersih,” tuturnya dikutip dari TIME.

5. Kotchakorn Voraakhom

Saat masih anak-anak, Voraakhom terbiasa bermain air banjir di Bangkok, Thailand. Keluarganya pun sempat tidak memiliki rumah akibat bencana alam tersebut, dan hal itu membuatnya menginginkan perubahan untuk keluarga dan komunitasnya. Dari situ ia berpikir, jika melibatkan lebih banyak rumput dalam pembangunan, hal tersebut akan mengurangi kerusakan akibat beton.

Salah satu dari lima tokoh perempuan inspiratif dalam isu perubahan iklim ini dinobatkan sebagai salah satu arsitek terbaik di Thailand yang mendorong perubahan sosial. Ia membangun arsitektur firma, Landprocess, dan merancang Centennial Park. Taman seluas 45 ribu meter persegi itu bukan sekadar untuk rekreasi atau keindahan tata kota, melainkan ruang penyimpanan air hujan dan menyelamatkan jalanan di sekitarnya dari banjir saat hujan lebat.

“Ini bukan perkara menghilangkan banjir atau solusi rekayasa membangun bendungan besar, tetapi bagaimana kita hidup berdampingan dengan air,” ucap salah satu TED Fellow ini kepada CNN.

Instagram @kotch_voraakhom

Dengan profesinya itu, pada 2017, Voraakhom yang merupakan lulusan Chulalongkorn University dan Harvard University juga mendirikan Porous City Network (PCN), sebuah perusahaan sosial arsitektur lanskap, untuk meningkatkan ketahanan perkotaan di Bangkok terhadap perubahan iklim, terutama banjir.

PCN bekerja sama dengan masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan tantangan iklim, seperti mengubah permukaan hardscape yang kurang dimanfaatkan, menjadi ruang hijau publik yang permeabel. Voraakhom menerima beasiswa dari Echoing Green dan Equity Initiative berkat inovasinya.

Read More
Tanda Kamu Tidak Suka pada Pekerjaan

Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

tidak suka pada pekerjaan – Pernahkah kamu merasa lelah, jenuh, dan tidak bersemangat menjalani pekerjaan yang sedang kamu lakukan sekarang? Hal tersebut ternyata dialami juga oleh banyak orang. Jika berada dalam keadaan seperti ini, kemungkinan kamu akan berpikir untuk resign dari pekerjaanmu itu.

Namun, resign dari pekerjaan tentu mendatangkan berbagai konsekuensi, mulai dari kehilangan pendapatan (bila tak lanjut bekerja lagi), menjalani proses melelahkan mencari lowongan kerja, hingga harus beradaptasi di kantor baru. Karena itu, keputusan ini bukanlah pilihan yang mudah diambil. 

Di lain sisi, bila kamu memaksakan diri bekerja di perusahaan dalam keadaan seperti disebut di awal tadi, kamu bisa saja mengorbankan kesehatan mentalmu. Kamu bisa burn-out dan akhirnya performa kamu di kantor malah memburuk dan kamu bisa dapat teguran.

Perasaan lelah, jenuh, dan tidak bersemangat itu bisa jadi tanda kamu tidak suka dengan pekerjaanmu. Apa lagi, sih tanda-tanda lainnya, dan bagaimana cara mengatasinya? Berikut kami rangkum pembahasannya dari berbagai sumber.

Tanda Kamu Tidak Suka pada Pekerjaan

1. Work life balance terganggu

Apa sih, yang di maksud dengan work life balance? Secara singkat, work life balance adalah keadaan di mana individu memprioritaskan tuntutan karier dan tuntutan kehidupan pribadinya secara seimbang.

Baca Juga: Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

Bila kamu tidak suka dengan pekerjaanmu, bisa jadi work life balance-mu tidak terpenuhi. Contohnya, kamu jadi terlalu sibuk dan selalu memikirkan pekerjaan, lantas lupa untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau bahkan waktu untuk dirimu sendiri.

2. Produktivitas menurun

Rasa tidak suka pada pekerjaanmu ini juga bisa membuat produktivitasmu menurun, loh. Kamu bisa jadi sulit berkonsentrasi, bermasalah saat berkomunikasi dengan teman-teman kerja, atau setengah-setengah dalam melaksanakan tugas karena tidak bersemangat.  

Ada beragam penyebab yang membuat kamu tidak suka dengan pekerjaan, mulai dari suasana kantor yang tidak kondusif sampai lingkungan kerja toksik.

Jika kamu merasa tidak nyaman bekerja di ruangan kantor, kamu dapat berdiskusi dengan atasan atau HRD buat mengatasi masalah ini. Namun, bila ternyata lingkungan kerjamu sudah toksik, maka bagusnya kamu memikirkan untuk mencari tempat kerja baru.

3. Merasa cemas saat weekend akan berakhir

Salah satu tanda tidak suka pekerjaan adalah kamu akan merasa cemas pada hari Minggu, karena besoknya kamu harus bekerja kembali.

Dikutip dari Indeed, rasa cemas atau was-was bisa timbul karena kurang terorganisasinya gaya hidup.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Kamu dapat mengurangi rasa was-was ini dengan menyiapkan apa saja yang penting untuk hari Senin, dan sudah mulai mencicil perkerjaan untuk minggu depan pada hari Jumat sore. 

Cobalah untuk menikmati weekend kamu dengan sepenuhnya. Bila memang perlu, buat catatan supaya kamu tahu mana yang penting untuk dikerjakan lebih dahulu.

4. Tidak ada motivasi kerja merupakan tanda kamu tidak suka pada pekerjaan

Tidak punya motivasi kerja merupakan tanda bahwa kamu tidak suka pada pekerjaan. Tentunya, kamu bekerja dengan berbagai tujuan, entah untuk mencari uang, mencari pengalaman, atau menaikkan skill kamu. Jika pekerjaanmu yang sekarang ini tidak mendekatkanmu pada tujuanmu itu, kemungkinan besar kamu akan membenci pekerjaanmu.

Dalam The Balance Career disebutkan, bila kamu bekerja tanpa adanya passion atau tujuan juga bisa membuat kamu gampang terkena burn-out.

Kamu bisa mencoba berdiskusi tentang tujuan kamu dalam karier dengan atasan, supaya ia bisa membantumu mencari role yang tepat. Selain itu, bila kamu masih belum mendapatkan motivasi, kamu bisa mencoba untuk berkonsultasi dengan psikolog profesional.

5. Sering datang terlambat ke kantor

Bila kamu tidak suka pekerjaan, kamu akan jadi malas datang ke kantor. Ujung-ujungnya, kamu jadi sering terlambat masuk. Misal harusnya masuk jam 8 pagi, kamu baru sampai kantor jam 11 dengan berbagai alasan. Begitu pun esok harinya. Jika kamu merasa macam-macam alasan sudah dipakai, kamu akan memakai jatah izin sakit.

6. Selalu mengeluhkan pekerjaan

Waktu sedang ngomongin pekerjaan, coba perhatikan bagaimana kamu menceritakannya. Jika dari ceritamu kamu lebih banyak mengeluh, kemungkinan besar kamu tidak suka dengan pekerjaanmu sekarang ini.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Berkarier dalam Islam? Ini Kata Prof. Etin Anwar

Coba pikirkan dan cari tahu hal-hal apa yang membuatmu terus-terusan mengeluhkan pekerjaan. Dengan mengetahui apa yang menjadi penyebab emosi negatif tersebut, kamu bisa menangani rasa tidak suka pada pekerja dengan lebih gampang.

7. Tidak suka pada pekerjaan, kamu jadi mudah marah 

Tidak suka pada pekerjaanmu pasti membuatmu jadi stres. Kalau mood kamu lagi jelek dan kamu menghadapi pekerjaan yang tidak kamu sukai, kamu sangat mungkin bereaksi secara berlebihan atau mudah marah saat ada sesuatu tidak berjalan sesuai rencana.

Bila kamu terus menerus begini, hubunganmu dengan atasan, rekan kerja, atau klien akan memburuk. Besar kemungkinannya saat seseorang sedang stres berat, ia tidak bisa bersikap profesional.

Cara Mengatasi Rasa Tidak Suka pada Pekerjaan

Ambil Cuti dan Pergi Berlibur

Jika kamu sedang mengalami tanda-tanda di atas, segera ajukan cuti ke atasan. Ambil jatah cuti kamu buat berlibur atau sekadar beristirahat di rumah. Saat mengalami stres, kamu membutuhkan waktu untuk melepas penat tanpa diinterupsi hal lain yang menekanmu. 

Baca Juga: Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Sebaiknya, kamu juga menghindari komunikasi di ponsel, e-mail, atau mana pun yang berkaitan dengan pekerjaan. Nikmati liburan kamu supaya kamu bisa mengisi ulang tenaga serta semangat sehingga produktivitas kembali naik dan rasa tidak suka pada pekerjaan berkurang.

Isi Waktu Libur dengan Melakukan Hobimu

Pada tanggal merah, kamu bisa mengisinya dengan melakukan hobi seperti nonton film, membaca buku, traveling, naik gunung, dan aktivitas positif lain. Ini berguna untuk membuat pikiranmu rileks. 

Selain itu, melakukan hobi juga membuat hidupmu tidak sepenuhnya diisi dengan pekerjaan. Kamu bisa menemukan makna dan kesenangan tersendiri dari hobimu itu. Begitu kamu senang atau mood-mu baik, perasaan tidak suka pada pekerjaanmu pun bisa perlahan-lahan terkikis.

Mulai Berolahraga

Menurut penelitian, olahraga bisa mengurangi stres. Ya kamu enggak perlu olah raga yang berat-berat, cukup jalan pagi atau jogging di kompleks rumah misalnya. Bisa juga kamu memilih olahraga yoga di rumah untuk membantumu menenangkan pikiran serta tidak membutuhkan biaya yang besar.

Read More
Perempuan yang Tetap Aktif Bekerja Walau Menopause

Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Keputusan aktris Angelina Jolie mengangkat rahimnya di umur 42 tahun yang membuatnya mengalami menopause dini, patut kita apresiasi. Jolie membuka ruang diskusi publik soal menopause sebagai bagian dari pengalaman “normal” perempuan. 

Tidak hanya Angelina Jolie, Whoopi Goldberg aktris sekaligus komedian di AS pada 2006 berbicara secara terbuka tentang pengalaman menopause-nya. Buat Goldberg, momen menopause justru jadi tonggak baru hidupnya sebagai perempuan. “It’s wonderful and liberating. All of a sudden I don’t mind saying to people, ‘You know what? Get out of my life. You’re not right for me.”

Kehadiran figur publik macam Jolie dan Goldberg dalam hal ini pun menjadi sangat penting untuk mematahkan stigma perempuan menopause. Sebagai informasi, masyarakat kerap melabeli perempuan menopause sebagai pihak tak berdaya, tak sanggup bekerja secara produktif, orang tua.

Dalam penelitian Silence, Stigma, and Shame A Postmodern Analysis of Distress During Menopause Stigma (2010), Marcianna Nosek, Holly Powell Kennedy, Maria Gudmundsdottir memaparkan stigma seputar menopause yang lekat sekali dengan histeria, ketidakmampuan perempuan untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari, dan rasa malu karena penuaan. 

Perempuan dan Gejala Perimenopause

Setiap perempuan yang mengalami menopause akan melewati sebuah periode transisi, disebut dengan perimenopause. Dilansir dari Hallo Sehat, sebagian perempuan yang berusia sekitar 40 tahun akan merasakan gejala dari masa transisi ini, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang mengalami hal tersebut bahkan di usia 30-an.

Gejala-gejala yang lumrah terjadi pada perempuan dalam masa transisi ini antara lain, hot flashes (rasa panas pada wajah dan tubuh), gangguan tidur, gangguan mood, menurunnya libido, hingga vagina menjadi lebih kering. Perlu diketahui, kemungkinan setiap perempuan akan mengalaminya pada usia yang berbeda, dengan periode dan gejala yang tentunya berbeda satu dengan lainnya. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pengalaman unik perimenopause misalnya dapat dilihat dari tiga cerita perempuan bernama Joesy (53), Fitri (54), dan “Netty” (53). Dalam wawancara bersama Magdalene (2/11), Joesy misalnya mengungkapkan, selama perimenopause, ia mengalami gejala-gejala seperti hot flashes dan gangguan tidur. Rasa panas yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya ini membuatnya cukup risi sampai-sampai ia harus berkali-kali mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

“Gerah, sih. Terasa aneh gitu ya, mungkin suhu tubuh kali ya. Rasanya gerah, ganti kaos itu satu malam bisa 5 sampai 6 kali saking gerahnya.”

Joesy menambahkan, selama mengalami perimenopause, ia juga sempat pergi ke dokter. Hal ini karena selama perimenopause, ia mengalami gangguan tidur hebat. Ia bahkan baru bisa tidur setelah Subuh. Segala macam cara ia lakukan agar ia bisa tidur lelap, namun usahanya kerap sia-sia. Gangguan tidurnya ini tentunya sangat memengaruhi aktivitasnya sehari-hari apalagi ia mengalaminya lumayan lama, sekitar 1 bulan.

Senada dengan Joesy, Fitri juga sempat mengalami hot flashes selama perimenopause. Namun, hot flashes yang dialaminya tidak separah Joesy yang sampai harus berganti pakaian berkali-kali. Ia pun tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Gejala yang paling Fitri rasakan selama perimenopause lebih mengarah kepada gangguan mood.

“Secara emosi jadi lebih sensitif, moody. Kok tiba-tiba sedih ya, tapi kadang-kadang pingin marah-marah. Cuma sebentar, nanti ilang lagi. Kadang tanpa sebab gitu. Kok sedih, ya? Kenapa ya? Terus jadi gampang banget tersinggung. Mungkin orang lain bisa sampai depresi tapi saya enggak, sih,” tuturnya kepada Magdalene (2/11).

Berbeda dengan Fitri maupun Joesy yang mengalami gejala fisik, Netty tidak mengalami gejala fisik apa-apa. Selama perimenopause, Netty lebih mengalami gangguan emosi sama seperti Fitri.

“Fisik aku enggak ngerasain sakit, lemes, enggak juga. Susah tidur juga enggak. Namun, aku ngalamin tiba-tiba sedih, pingin nangis, ngeliat apa pingin nangis. Di kereta liat hujan pingin nangis, kayanya sedih banget, aku ngalamin itu. Sampai mahasiswaku menyuruhku dengar lagu aja kalau sedang di kereta biar enggak melamun terus sedih gitu,” curhatnya kepada Magdalene (3/11).

Kendati ketiganya mengalami gejala perimenopause yang tidak mengenakkan dan sekarang telah mengalami fase menopause, ketiganya sepakat ini semua bukanlah sesuatu yang negatif dan harus distigmatisasi. Pasalnya, pengalaman ketubuhan unik perempuan ini merupakan sebuah fase yang harus dihadapi setiap perempuan. 

Joesy misalnya mengatakan, menopause adalah proses alami yang memang harus dilalui setiap perempuan layaknya menstruasi. Pada kenyataannya memang hal ini tidak bisa kita kendalikan. Namun, menurut Joesy selama kita dapat berpikir positif mengenai proses alami tubuh ini dan mencari informasi atau pengetahuan yang tepat soal menopause, kita tidak perlu khawatir.

Fitri menambahkan, menopause sendiri membawanya pada sebuah kebahagiaan tidak ternilai harganya secara spiritualitas dan mental. 

“Saya justru pas menopause tuh seneng karena saya bisa puasa pol, enggak usah bayar-bayar utang puasa, bisa salat terus. Setelah menopause, saya juga justru merasa lebih mencintai diri saya sendiri. Saya misalnya jadi lebih rajin merawat diri sendiri, lebih memperhatikan diri sendiri fisik atau mental, jadi punya banyak waktu untuk diri sendiri.”

Perempuan Lawan Stigma Menopause dengan Aktif Bekerja

Survei 2019 yang dilakukan oleh Bupa, perusahaan asuransi kesehatan, memperkirakan hampir 900.000 perempuan di Inggris telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena gejala yang terkait dengan menopause. Hal ini pun tentunya berdampak langsung pada produktivitas perempuan dan status mereka sendiri di tempat kerja. Belum lagi ditambah minimnya perhatian dan pengertian dari lingkungan sekitar utamanya laki-laki atas pengalaman ketubuhan unik perempuan ini.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Namun, di tengah segala stigma dan kendala yang dialami oleh perempuan yang mengalami menopause, Joesy, Fitri, dan Netty membuktikan menopause bukan sebuah halangan atau alasan untuk tetap aktif bekerja. Joesy misalnya adalah seorang penulis profesional. Selama menopause, ia lebih banyak menulis buku. Buku yang ia tulis adalah tulisan yang berisi ilmu dan pengalaman dari karyawan perusahaan atau BUMN yang hendak pensiun. Perusahaan atau BUMN terkait nantinya akan mengundangnya datang dan membuatkan kontrak kerja untuknya. Dari sinilah Joesy nantinya menyusun sebuah buku yang berisi arsip ilmu dan pengetahuan karyawan terkait yang akan digunakan untuk generasi mendatang.

Sama halnya dengan Joesy, Fitri yang merupakan seorang menopause kerap aktif bekerja. Sebagai pendiri, pemilik, dan guru dari sebuah tempat les bimbel di daerah Depok, jadwal Fitri bisa dibilang cukup padat. Ia bisa mengajar dari pagi hari, istirahat di siang hari, dan lanjut mengajar dari jam 1 atau jam 2 hingga jam setengah 6 sore. Apalagi semenjak pandemi, ia bisa saja dihubungi oleh muridnya di luar jam les. Tidak hanya mengajar, di tengah kesibukannya ia Fitri pun masih semangat berjualan. Jika ia sedang tidak ada jadwal mengajar, ia biasanya sibuk di dapur, memasak makanan dari pesanan kue, zuppa soup, atau macaroni schotel yang ia terima.

Netty pun sama. Menurutnya menopause bukanlah halangan berarti baginya untuk tetap aktif bekerja. Sebagai seorang dosen senior yang sudah mengajar selama 30 tahun di universitas swasta, jadwal mengajar Netty bisa dibilang luar biasa padat. Ia mengajar mahasiswa S1 hingga S2 dan masih suka diberikan tugas oleh profesor oleh kampusnya. Walau sudah disibukkan dengan urusan mengajar dan kampus, sama halnya dengan Fitri yang “tidak bisa diam”, Netty masih memberikan pelatihan kepada orang lain yang menginginkan jasa pengajarannya seputar ilmu komputer.  

Terkait stigma tak produktif ini, ketiganya angkat bicara.

“Produktivitas itu kan enggak tergantung dari kegiatan fisik juga tapi tergantung dari kemauan kita melakukan sesuatu. Menopause itu enggak hanya berpengaruh pada fisik tapi mental juga, jadi tergantung kita manage-nya gimana. Kalau capek atau merasa sedang enggak enak ya istirahat aja dulu, enggak apa-apa. Nanti baru balik lagi,” tutur Fitri.

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Senada dengan Fitri, Joesy bilang, jika memang kita merasa dalam periode tersebut tidak bisa produktif, sebenarnya tak masalah. Jangan menyalahkan diri kita sendiri atas sebuah proses alami yang dialami oleh kita. Menurut Joesy yang terpenting adalah ketika periode itu telah usai, kita harus bisa bangkit lagi. Jangan menjadikan menopause dan gejala-gejala perimenopause sebagai alasan bagi kita untuk tidak menjadi produktif. Semakin produktif, umumnya kesehatan mental makin terjaga.

Pada akhirnya, menopause dan perimenopause adalah sebuah siklus yang memang harus dilalui oleh setiap perempuan. Baik Joesy, Fitri, atau Netty setuju, pengetahuan dan informasi akurat soal pengalaman ketubuhan ini penting. Tidak hanya bagi perempuan untuk menekan rasa khawatir berlebihan, tapi juga agar mereka lebih mudah menjalani siklus ini dengan baik. 

Read More
rasa takut pada atasan

Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Saat pertama kali kerja sebagai karyawan di suatu perusahaan, sangat lumrah jika kamu punya rasa takut pada atasan. Namun, rasa takut ini tidak boleh terus menerus dibiarkan karena bisa-bisa hal tersebut menurunkan motivasi kerja kamu. Kamu dapat merasa kurang nyaman atau setiap hari merasa terbebani dengan pekerjaan bila takut kepada atasan.

Lalu, bagaimana cara menghadapi rasa takut pada atasan? Berikut ini beberapa tips untuk menghadapi rasa takutmu yang telah kami rangkum.

Kenali Pemicu Rasa Takut pada Atasan

Pertama-tama, kamu perlu mengenali pemicu rasa takut pada atasan yang kamu alami. Dikutip dari Forbes, perasaan ini biasa dialami oleh para fresh graduate atau seseorang yang baru memasuki dunia kerja. Rasa takut bisa muncul karena kita berpikiran bahwa kinerja kita tidak akan cukup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang di lingkungan kerja kita.

Baca Juga: Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Selain itu, memang beberapa gaya kepemimpinan dari atasan bisa memberikan rasa takut kepada pegawainya. Hal ini dapat disebabkan karena sikap, cara berkomunikasi, sampai respons atasan terhadap masalah yang muncul dirasa kurang ramah.

Ada juga orang yang punya rasa takut kepada atasan karena perasaan inferior. Mereka menganggap dirinya tak bisa mengungkapkan pendapat atau bersuara karena berpikir bahwa atasan pasti tahu yang lebih baik seiring pengalamannya. Padahal, ide bagus bisa datang dari siapa saja dan idealnya, siapa pun boleh bersuara di tempat kerja. 

Ingat, Urusan Kantor Bukan Hanya Tentang Kamu

Dikutip dari The Muse, seorang pemimpin atau atasan umumnya lebih memperhatikan hal-hal berskala besar, karena hal tersebut lebih menentukan strategi perusahaan ke depannya.

Karena itu, untuk mengatasi rasa takut pada atasan, kamu perlu mencoba berpikir bahwa tidak semua urusan dan masalah yang timbul di kantor disebabkan olehmu.Alih-alih merasa setiap ada masalah kamu berkontribusi di dalamnya, dan akhirnya kamu jadi takut “kena semprot” atasan, kamu perlu mencoba melihat sesuatu lebih objektif lagi. Bisa saja masalah datang karena ada kerja tim yang tidak beres, hal tidak terduga yang menimpa perusahaan, atau lainnya. 

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Pahami Bahwa Kamu Punya Nilai, dengan Begini akan Menghilangkan Rasa Takut Kamu ke Atasan

Rasa takut umumnya terjadi karena kamu merasa tidak punya kemampuan atau pengetahuan yang cukup untuk bekerja dengan atasan. Umumnya, perasaan ini timbul karena kamu merasa minder kepada rekan kerja hingga atasan.

Namun, harus diingat, kamu sudah bisa lolos melewati tahap wawancara dan akhirnya bisa diterima kerja di perusahaan sekarang ini. Itu berarti, perusahaan melihat diri kamu punya kemampuan serta nilai yang dibutuhkan perusahaan tersebut.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Dengan menyadari hal ini, kamu dapat menjadi lebih tenang dan mengurangi rasa minder dengan rekan kerja atau atasan ketika baru bekerja di sana. 

Beranikan Dirimu untuk Berkomunikasi dengan Atasan

Setelah memperhatikan poin-poin di atas, kamu perlu mulai memberanikan diri untuk berkomunikasi dengan atasan. Umumnya, rasa takut muncul karena kamu belum pernah coba berkomunikasi dengan atasan dan langsung membuat asumsi.

Kamu cuma melihat atasanmu dari tampilan luar saja. Padahal, bisa saja sosok atasan yang sebenarnya jauh berbeda dari yang kamu lihat dari luar. Kamu boleh, loh, mulai menginisasi obrolan ringan di luar pekerjaan untuk mencairkan suasana.

Dengan memulai komunikasi, kamu akan punya pandangan lain tentang atasanmu, dan tidak menutup kemungkinan kamu semakin mudah bekerja bersamanya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Usahakan untuk Memberikan Hasil yang Terbaik

Cara selanjutnya untuk menghadapi rasa takut pada atasan adalah dengan berusaha memberikan hasil yang terbaik.

Kamu harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk tim serta perusahaan. Kamu juga butuh selalu fokus pada proses dan tujuan yang mau kamu capai bersama perusahaan.

Memiliki kinerja yang bagus akan jadi nilai plus di mata perusahaan kamu bekerja. Kemungkinan besar, atasanmu jadi lebih memerhatikan perkembanganmu dan bahkan membantu dalam proses pengembangan kariermu ke depannya nanti. Jika relasi baik bisa kamu jalin berkat kinerjamu yang baik itu, perlahan-lahan rasa takut pada atasan yang kamu rasakan akan luntur, kok.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Nah, itulah beberapa tips menghadapi rasa takut kepada atasan. Dengan mengetahui ini, semoga kamu bisa lebih nyaman dan produktif waktu bekerja.

Read More

Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

“Kalau lu bukan seorang jurnalis, ibu dari anak lu dan istri dari suami lu, elu siapa?”

Pertanyaan ini dilontarkan kawan saat kami makan bersama pada suatu siang. Bagi saya, ini bukan pertanyaan yang bisa dijawab dalam hitungan detik atau menit, dan mungkin hal ini juga dirasakan sama oleh sebagian orang di luar sana. 

Sejak kecil, kita sering kali “diplotkan” menjalani kehidupan dengan gol-gol tertentu pada setiap periode: Lulus sekolah, kuliah, bekerja, menikah, punya anak, meningkatkan jenjang karier, punya rumah dan harta benda lainnya, lalu pensiun dengan adem ayem setelah mengantongi dana cukup untuk hari tua. 

Karena masyarakat serempak menegakkan life goals macam ini, siapa pun yang keluar dari standar itu berpotensi jadi rendah diri karena ketinggalan dari teman-teman sebayanya atau dihakimi, baik oleh keluarga sendiri maupun orang sekitar lainnya. 

Salah satu yang cukup mengusik dan bikin orang galau adalah pekerjaan. Tak dimungkiri, pekerjaan di perusahaan dengan jabatan dan gaji tertentu, seperti manajer di perusahaan minyak, pegawai negeri swasta, atau pengacara ternama jadi idaman banyak orang. Ini karena masyarakat memandang pekerjaan-pekerjaan macam itu bergengsi dan bisa menjamin hidup seseorang dalam jangka panjang. 

Kita suka akan kepastian dan cenderung menghindari perubahan. Pasalnya, kita akan diminta beradaptasi lagi dan kondisi itu biasanya tidak mengenakkan. Belum lagi kita jadi galau dan minder saat berhadapan dengan kenalan yang nodong dengan pertanyaan, “Kamu kerja di mana sekarang?”. Berapa banyak yang dengan pede menjawab, “Kerja serabutan” atau “Nganggur nih”? Bahkan mungkin sebagian perempuan yang sudah meraih gelar sarjana dan di atasnya masih malu mengaku, “Jadi ibu rumah tangga ‘aja’.” 

Baca juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bagaimana Anggapan “Kita adalah Pekerjaan Kita” Tumbuh?

Dalam jurnalnya yang berjudul “Work, Identity and Self: How We Are Formed by the Work We Do” (1998), Al Gini mengutip sejumlah pandangan orang tentang identitas didefinisikan oleh pekerjaan, yang kemudian diyakini dan dilanggengkan banyak orang hingga kini. Contohnya, Etika Kerja Protestan yang mengutamakan kerja dalam pembentukan keberhargaan hidup seseorang. Paus Yohanes Paulus II dalam On Human Work (1981) juga menyatakan, “Pekerjaan adalah hal baik bagi manusia. Baik untuk kemanusiaannya karena lewat pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam, mengadaptasinya untuk memenuhi kebutuhan dia, tetapi ia juga meraih pemenuhan diri dan merasa ‘jadi lebih manusia.’”

Sementara, novelis Elia Kazan mengatakan, karier dan identitas kita tidak terpisahkan, justru keduanya sebanding. Ia memandang, orang-orang adalah apa yang mereka kerjakan dan hal itu memengaruhi setiap aspek dirinya, apa pun keadaannya.

Di samping itu, sebagian orang benar-benar menemukan pekerjaan yang menjadi ladang aktualisasi dirinya. Mereka menemukan makna dari pekerjaan yang dijalaninya dan kondisi ini menciptakan rasa puas tersendiri yang sulit untuk dilepaskan setelah bertahun-tahun mengalaminya. Ditambah lagi, dalam perjalanannya mereka dapat memperoleh pengakuan masyarakat terkait status dan kesejahteraannya. Tidak heran bila orang begitu berusaha mempertahankan identitas dirinya yang terkait dengan pekerjaan. 

Dalam The New York Times, penulis buku Ask a Manager (2018), Alison Green berujar, sebagian orang punya cita-cita tertentu dan begitu meraihnya, mereka menganggap kariernya itu satu-satunya dorongan untuk hidup maju. 

“Ketika kamu menyukai pekerjaanmu, sangat mudah bagimu untuk melekatkan identitasmu pada pekerjaan. Gagasan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat mahir dalam pekerjaanmu adalah hal yang sangat kuat,” kata Green.

Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

Apa Jadinya Kalau Identitas Didefinisikan oleh Pekerjaan Saja?

Sekilas tidak ada yang salah dengan melekatkan erat identitas diri dengan pekerjaan kita. Namun, profesor Psikologi di Wilfrid Laurier University, Ontario, Anne Wilson mengatakan dalam BBC, mereka yang membiarkan pekerjaannya “menelan” identitasnya dapat mengalami kondisi psikologis yang dinamakan “enmeshment”. Istilah ini merujuk pada situasi ketika batasan antara kerja dan kehidupan personal menjadi buram.

Enmeshment bisa terlihat misalnya saat seseorang terus memikirkan soal kerja di situasi-situasi luar kantor atau selalu membicarakan masalah pekerjaan pada berbagai kesempatan. Wilson menyatakan, hal ini membuat kita mengabaikan ruang untuk hobi dan kesenangan sendiri. Akibatnya, kita menjadi susah terkoneksi dengan orang-orang yang ada di luar lingkungan kerja.  

Saat kamu mengalami enmeshment dan pekerjaan sangat berperan mendefinisikan dirimu, nilai-nilai yang kamu pegang juga bisa terdampak. 

“Kalau kamu mengikat keberhargaan dirimu dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang kamu alami akan langsung mempengaruhi keberhargaan dirimu,” kata Wilson.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau jabatannya dan sudah kadung membiarkan identitas didefinisikan oleh pekerjaan dia, ada potensi ia mengalami depresi karena merasa kebermaknaan hidupnya hilang. Dalam The Economic Times India dikatakan, jika pekerjaanmu bergaji tinggi, kamu mungkin jadi punya standar hidup tinggi. Bila pekerjaanmu memberi kuasa besar, kamu bisa kecanduan status sosial tinggi. Ketika kamu kehilangan pekerjaanmu, kamu bisa saja kesulitan atau bahkan tak mampu menerima keadaaan hilangnya status lamamu itu.

Dalam wawancara dengan Magdalene tentang lansia aktif beberapa waktu lalu, psikolog dan pegiat isu lansia Danny Yatim menyoroti sebagian orang yang sudah pensiun dan mengalami depresi. Ia mengatakan, terlalu lama attach dengan suatu pekerjaan membuat seseorang tidak punya kehidupan atau skill di luar pekerjaan utama. 

“Ada teman [saya] yang sudah pensiun lalu bergerak di bidang bisnis kecil-kecilan. Ada yang gagal karena enggak punya skill lantaran terlalu lama bekerja kantoran. Pada teman-teman yang dulu kehidupannya cuma satu aspek saja [pekerjaan utama], sewaktu ini hilang, dia enggak punya personal resources untuk melakukan hal berbeda,” kata Danny. 

Mengubah Persepsi

Gimana kalau kita mandang pekerjaan kita sebagai aksesoris selagi kita ngejalanin hidup?”

Sebagian dari kita mungkin tidak setuju dengan perkataan kawan saya ini. Namun, saya bisa menangkap maksudnya: Aspek hidup kita itu jauh lebih luas dari kehidupan kerja kita saja. Ada orang-orang di luar sana yang tetap bekerja di kantornya sekarang hanya untuk mencari nafkah, selebihnya ia mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar kantor. Entah itu bermusik, menjadi relawan, menjelajahi berbagai kota atau negara, atau lainnya. Itu semua hal-hal ideal, yang sesuai passion, yang hanya bisa dijalankan kalau kebutuhan perut terpenuhi dulu.

Memang ada yang beranggapan, lebih baik bekerja sesuai dengan passion saja supaya tak jadi “kutu loncat”. Namun, realitasnya tentu tidak semudah ujaran itu. Berapa banyak lapangan kerja sesuai passion kita yang ditawarkan, dan apakah pekerjaan sesuai passion itu bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang tua serta anak-anak bagi sandwich generation?

Karenanya, ujaran kawan saya itu bisa saya pahami dan mungkin dapat jadi alternatif cara berpikir kita. Barangkali kita bekerja sebagai admin media sosial, customer service, atau bahkan direktur di suatu bank. Namun, itu semua tidak serta merta mendefinisikan diri kita karena pekerjaan bisa jadi hanya sarana untuk bertahan hidup, bukan aktualisasi diri yang memang benar-benar dikejar.

Pada 2018, kontributor Magdalene, Elvita Natassa menceritakan pandangannya tentang karier setelah sempat mengecap empat pekerjaan di industri-industri berbeda, sebagian dengan gaji lumayan dan tempat kerja yang nyaman. Terakhir, ia membuka usaha sendiri dengan mengajar pilates

Dari pengalamannya tersebut, ia sadar nilai yang dipegangnya selama hidup terus berubah. Namun, identitas dan keberhargaan dirinya tidak didefinisikan dari pekerjaan yang kedengarannya bergengsi. 

“Hal ini didefinisikan dari nilai, kebenaran, kontribusi saya, dan apa yang terjadi di luar jam kerja nine-to-five. Saya tahu karier saya tidak mendefinisikan identitas saya, karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan adalah dari diri saya sendiri,” tulisnya.

Selain itu, yang juga penting untuk direfleksikan supaya kita bisa menggeser persepsi bahwa kita adalah pekerjaan yang kita punya saja: Apakah kita benar-benar nyaman dan bahagia dengan profesi atau jabatan yang kita pegang sekarang? Jika tidak, bukankah pekerjaan yang kita lakukan sekarang hanya jadi topeng belaka hanya supaya kita diterima orang lain? Sebenarnya, memakai topeng sepanjang waktu itu meletihkan, disadari atau tidak. 

Jika pada suatu titik kita merasa identitas didefinisikan oleh pekerjaan kita saja, tidak ada salahnya mengevaluasi lagi pandangan kita itu. Pun tidak keliru bila suatu hari kita mau identitas kita itu berubah, selama kita merasa bahagia dengan pilihan kita. Yang terpenting, apa pun yang kita pilih dan kita anggap sebagai identitas sekarang ini, kita perlu menyadari bahwa hal itu sifatnya cair, tidak harus diterima dan diterapkan selamanya secara mutlak. 

Read More
perempuan takut sukses

Kenapa Ada Perempuan Takut Sukses, Bagaimana Mengatasinya?

Sejak kecil, “Fina” senang sekali menulis, mulai dari puisi, cerpen, hingga novel. Bahkan sejak remaja, ia kerap mengikuti berbagai kursus penulisan untuk mengasah kemampuannya. Karya-karyanya kerap diapresiasi teman-teman Fina, bahkan sebagian di antaranya membuat Fina jadi pemenang berbagai lomba. 

Namun, apresiasi serupa tak didapatkannya dari keluarga, yang menganggap kegiatan menulis tak begitu penting dan tak menjamin kehidupan seseorang di kemudian hari. Kendati sudah terbukti karyanya cukup baik hingga memenangkan lomba, Fina berulang kali berpikir hal tersebut tidak lebih dari suatu keberuntungan.

Beranjak dewasa, Fina mengambil profesi sebagai jurnalis. Memang, ini sedikit bergeser dari minatnya terhadap dunia fiksi sejak dulu, tetapi Fina tetap menikmati perannya tersebut karena masih sejalan dengan kegemarannya menulis. Bos Fina melihat perkembangan perempuan tersebut dari waktu ke waktu dan kemauan Fina yang kuat untuk terus belajar. Karenanya, ia menawarkan Fina untuk menempati jabatan lebih tinggi di perusahaan. 

Alih-alih gembira dan menerima kesempatan yang ditawarkan, Fina merasa cemas dan ragu saat mendapat promosi kerja. Ia masih merasa tidak layak memimpin teman-temannya di kantor dan membayangkan ia tidak sanggup mengemban tanggung jawab lebih besar saat itu. Pasalnya, saat mendapat promosi, Fina sudah berkeluarga dan anaknya masih balita.

Sebagian perempuan takut sukses sebagaimana Fina. Kita sering mendengar banyak orang takut gagal, sehingga mungkin berpikir ketakutan akan kesuksesan bukanlah hal nyata. Namun, sejumlah studi telah menemukan fenomena semacam ini dan menyelisik berbagai penyebab di baliknya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Alasan Perempuan Takut Sukses

Konsep ketakutan akan kesuksesan (fear of success/FOS) pertama kali diperkenalkan oleh psikolog AS Matina Horner pada 1968. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan perilaku terhadap pencapaian yang dipengaruhi perbedaan jenis kelamin. 

Dilansir Encyclopedia.com, pada 1964, Horner membuat penelitian terhadap 90 mahasiswi dan 88 mahasiswa. Ia meminta mereka untuk menyelesaikan cerita tentang karakter “John” dan “Anne” yang keduanya merupakan mahasiswa kedokteran. Sebesar 90 persen mahasiswa menyelesaikan cerita dengan keberhasilan John yang diiringi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Sementara, 65 persen mahasiswi melihat masa depan Anne lebih negatif. Dari komentar para mahasiswi, Horner menyimpulkan, pada diri perempuan terdapat kecemasan tinggi bila mereka meraih kesuksesan karena mereka tidak bisa menjalani ekspektasi masyarakat. Perempuan yang sangat pintar, independen, atau ambisius dianggap tidak feminin, sehingga kesuksesan setara dengan laki-laki pun mereka hindari.

Di dalam negeri juga ada sejumlah riset tentang sebagian perempuan takut sukses, salah satunya yang diterbitkan dalam jurnal Palastren pada Juli 2019. Riset bertajuk “Fear of Success Perempuan Bekerja dalam Perspektif Budaya Jawa” ini menunjukkan, faktor budaya menyumbang FOS pada diri perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan dianggap sebagai kanca wingking bagi suami. Peran perempuan yang didefinisikan dalam budaya seperti ini membuat perempuan berhadapan dengan konflik antara mengejar pencapaian dan penyesuaian diri atas nilai-nilai budayanya agar tetap bisa diterima masyarakat.

Dalam riset tersebut dikatakan, alih-alih ketakutan akan pencapaian pada area yang lazimnya dipandang sebagai milik laki-laki (ranah publik), FOS lebih merupakan ketakutan pada konsekuensi negatif yang muncul akibat kesuksesan, dalam hal ini konsekuensi tersebut berupa penolakan sosial terhadap perempuan yang tak memenuhi peran sebagai kanca wingking.

Pada sebagian perempuan takut sukses, ditemukan pesimisme terhadap hal baik yang diterimanya. Bukannya memikirkan berbagai kesempatan dan keuntungan dari mencapai kesuksesan, mereka justru lebih berfokus pada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi bila mereka mengambil kesempatan untuk sukses tersebut, seperti dalam contoh kasus Fina. Ia takut ia tidak bisa menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik seiring bertambahnya tugas dari kantor, dan ia khawatir orang sekitar akan menghakiminya bila ia memutuskan mengambil kesempatan promosi. 

Terlepas dari gender apa pun, ada alasan lain kenapa orang takut sukses. Dalam Forbes disebutkan, kekhawatiran akan kehilangan diri sendiri menjadi salah satu faktor penyebabnya. Banyak orang takut jika mereka sukses atau meraih banyak uang, ego mereka akan meninggi dan mereka menjadi orang berbeda yang lebih buruk.

Ada juga alasan takut menghadapi kritik ketika mereka ada di bawah sorotan. Tidak semua orang suka diperhatikan banyak orang dan siap untuk menghadapi suatu kritikan. Karenanya, mereka memilih mundur jika mereka mendapat kesempatan untuk menjadi lebih sukses.

Selain itu, FOS bisa juga dipicu oleh ketakutan akan kehilangan teman atau momen-momen berharga bersama orang terdekatnya. Ini dapat terjadi seiring meningkatnya beban kerja yang menuntut lebih banyak waktu dan energi, sehingga kesempatan untuk memiliki waktu berkualitas bersama orang terdekat harus terpangkas.

Baca juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

Dalam Psychology Today, terapis pernikahan dan keluarga Susanne Babel menulis, banyak orang percaya bahwa jalan menuju kesuksesan melibatkan berbagai risiko seperti naiknya harapan orang lain. Hal ini bisa memicu ketakutan tersendiri bagi seseorang, terlebih bila ia punya kecenderungan untuk menyenangkan orang lain dan tidak bisa menerima kekecewaan.

Terkait pengalaman Fina, ternyata pengalaman tak dihargai atau mengalami kekerasan verbal bisa juga berkontribusi terhadap FOS. Menurut Babel, orang-orang yang terbiasa disebut pecundang atau tidak diakui bisa menginternalisasi label seperti itu dalam dirinya sehingga kelak ia merasa tak layak sukses.  

FOS bisa mendorong seseorang pada akhirnya menyabotase dirinya sendiri. Sekalipun ia punya kapabilitas, ia tidak akan tampil baik karena ia mau menghindari konsekuensi negatif seperti penolakan sosial terkait kegagalan memenuhi ekspektasi masyarakat. Ia juga mungkin mengambil tugas-tugas yang lebih mudah dicapai dan tidak memasang target lebih tinggi walaupun ia mampu.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan ketika menyadari bahwa kamu memiliki FOS. Pertama, kamu perlu mencari tahu dulu sumber FOS yang kamu rasakan. Apakah itu berasal dari pengalaman masa kecil, misalnya pencapaianmu tidak diakui keluarga,  atau kamu pernah menerima ejekan dari orang lain atas karya kita. Lalu, kamu bisa mencoba mengkroscek pandangan mereka dengan orang-orang lainnya sehingga tidak satu suara negatif saja yang bergaung di kepalamu. 

Jika sebenarnya karyamu mereka anggap cukup baik dan orang lain puas dengan kinerjamu, artinya kamu sebenarnya layak-layak saja untuk diakui dan menerima kesempatan untuk sukses. Jangan biarkan komentar negatif sebagian pihak langsung membuat dirimu rendah diri.

Selanjutnya, coba kenali “gejala-gejala” FOS kamu. Apakah kamu cenderung menunda pekerjaan? Apakah kamu menghindari dapat proyek besar meskipun kamu sanggup? Dalam Healthline disebutkan, membuat daftar gejala-gejala FOS-mu muncul bisa menghindarkan dari upaya menyabotase jalanmu untuk sukses. Mengidentifikasi perilaku-perilaku itu berarti kamu mulai berusaha untuk melawan FOS-mu.

Ketika kamu merasa begitu pesimis kamu mampu mengemban tanggung jawab lebih besar, kamu bisa mulai menggeser fokusmu dari kecemasan berlarut-larut akan mengecewakan orang dengan memikirkan apa yang bisa kamu lakukan sekarang. Segala hal mungkin tidak akan terselesaikan sempurna, tetapi kamu tetap bisa berusaha menuntaskannya satu hal di satu waktu. Tak perlu berharap muluk-muluk kamu selalu bisa menyenangkan orang dan menghindari kritik. Lagi pula, kritik tak selamanya akan menjatuhkanmu kok. Itu bisa membuka jalan bagimu untuk bekerja dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Read More
Persiapan Sebelum Masuk ke Dunia Kerja

Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

persiapan masuk dunia kerja – Buat kamu yang baru lulus dari SMA, SMK atau kuliah, sebelum melamar pekerjaan di perusahaan, kamu perlu mempersiapkan diri sebelum masuk ke dunia kerja.

Persiapan masuk ke dunia kerja akan membentuk pola pikir serta sisi psikologis yang lebih kuat. Kenapa? Karena dunia kerja merupakan tempat kamu akan berkontribusi buat perusahaan dan ada banyak tantangan tersendiri di dalamnya.

Apabila kamu tidak melakukan persiapan apa pun, sudah pasti hasil yang akan didapatkan tidak akan maksimal. Makanya, berbagai persiapan harus kamu lakukan supaya bisa mempersiapkan diri menghadapi beragam tantangan waktu bekerja. Nah, berikut ini beberapa tips persiapan masuk dunia kerja yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

Kiat Sukses Masuk Dunia Kerja: Kenali Dirimu Sendiri

Dalam prismaprofesional.com disebutkan, persiapan masuk dunia kerja yang pertama bisa kamu lakukan adalah mengenali diri sendiri. Dengan memahami diri,  kamu sepenuhnya akan bisa mengendalikan diri kamu dengan cara yang tepat. Ini yang nantinya memberikan dampak signifikan.

Baca Juga: ‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal

Persiapan Memasuki Dunia Kerja yang Selanjutnya, Kamu Harus Tahu Apa yang Kamu Inginkan

Dikutip dari Forbes, persiapan masuk dunia kerja yang lain dan tak kalah penting adalah mengetahui betul apa yang benar-benar kamu inginkan.

Mungkin, hal ini terdengar aneh. Memang, apa ada hubungannya antara sesuatu yang kita gemari dengan dunia profesional?

Jangan salah, paham sesuatu yang diinginkan serta punya tujuan hidup yang jelas akan membantumu dalam dunia kerja, loh. Aspek ini bisa jadi sorotan waktu kamu sedang interview.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Bila kamu bekerja dalam suatu bidang yang memang kamu suka, otomatis kamu bekerja jadi tidak terpaksa dan kamu bisa bekerja dengan fokus. Makanya, jangan sampai kamu asal daftar dan ternyata pekerjaannya tidak kamu senangi. Mulai deh, dari sekarang untuk cari tahu hal-hal apa yang kamu inginkan.

Mengontrol Emosi

Kamu juga harus mempersiapkan diri supaya bisa mengontrol emosi. Ini sangat penting supaya tidak timbul masalah ke depannya dalam dunia kerja, entah dengan rekan kerja atau atasan.

Bagaimanapun, waktu kamu baru masuk ke suatu perusahaan, tindak tandukmu akan diperhatikan oleh rekan kerja yang lain. Kamu kemungkinan bisa jadi sasaran waktu masih dalam proses belajar serta adaptasi. Oleh karena itu, kamu harus bisa mengatur emosi di sini supayai kamu enggak gampang terprovokasi.

Jadi Fleksibel, Salah Satu Langkah Penting Persiapan Masuk ke Dunia Kerja

Apakah kamu sudah tahu bahwa banyak perusahaan yang sangat suka dengan calon karyawan yang fleksibel? Ya, kemampuan atau skill memang jadi hal penting yang perlu kamu persiapkan sebelum masuk ke dunia kerja. Namun, kamu juga perlu menjadi fleksibel dalam bekerja. 

Dalam memenuhi tugasmu di kantor, mungkin ada hal-hal di luar rencana yang terjadi. Kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu itu bisa bersikap gesit dan mampu beradaptasi dengan kepribadian orang yang berbeda.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Rentan Selama Pandemi, Ini yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Selain itu, kamu juga harus siap mengganti jadwal saat ada kepentingan lain yang lebih mendesak serta bisa dengan cepat memecahkan sebuah masalah. Apakah kamu sekarang sudah termasuk orang yang fleksibel? Jika belum, masih ada waktu kok, buat mengembangkan diri kamu.

Bentuk Network Profesional

Dikutip dari CipHR, persiapan masuk dunia kerja yang tidak kalah penting adalah network profesional yang memadai.

Kamu bisa melakukannya dengan memanfaatkan platform media sosial seperti Linkedin. Ini sangat membantu kamu untuk terhubung dengan para profesional.

Selain itu, cara ini juga membantu kamu saat sedang mencari pekerjaan. Ketika kamu sudah membuat akun di sosial media tersebut, jangan ragu untuk memasukan apa yang jadi kelebihan kamu, serta meminta rekomendasi dari orang-orang dalam jaringan.

Selalu Mengasah Kemampuan Serta Tidak Mudah Menyerah

Hal ini bisa dikatakan sangat penting dalam persiapan masuk ke dunia kerja. Kamu harus terus mengasah kemampuanmu serta jangan mudah menyerah. Mengasah kemampuan diri otomatis akan membuat kamu lebih percaya diri di tempat kerja.

Mencari Tahu Perusahaan yang Kamu akan Lamar

Dikutip dari Talentculture, sebelum kamu kamu melamar suatu perusahan, lebih baik kamu melakukan riset terlebih dahulu.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Setelah kamu sudah mendapat gambaran jobdesc nanti seperti apa, jangan lupa untuk mencari tahu budaya kerja dan sifat orang-orang di dalamnya. Hal ini bisa kamu lakukan dengan mencari review perusahaan tersebut di website yang menyediakan informasi lowongan pekerjaan.

Hal ini lumayan penting untuk membantu kamu untuk beradaptasi dengan baik di lingkungan kerja pertama.

Itulah beberapa persiapan masuk ke dunia kerja yang harus kamu miliki. Ringkasnya, peralihan dari masa sekolah atau kuliah ke dunia profesional bukanlah suatu hal yang gampang. Yang terpenting, kamu jangan takut bersaing dan jangan mudah menyerah.

Read More

Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bekerja di sebuah agensi membuat “Kania” (22) tidak percaya diri dengan profesi dia dan gaji yang dia terima. Berulang kali ia membandingkan diri dengan anggota keluarga yang dinilainya lebih terpandang.

“Kakak pertama saya karyawan swasta di perusahaan tambang dan yang kedua seorang dokter, sedangkan Papa bekerja sebagai direktur keuangan di perusahaan teknologi informasi swasta. Jadi, gaji saya enggak ada 10 persennya gaji mereka,” ujarnya kepada Magdalene (25/10).

Selain terbebani akibat membandingkan profesi dirinya dengan anggota keluarganya, Kania sendiri masih memiliki cara berpikir generasi terdahulu yang menganggap pekerjaannya baru dianggap bonafide apabila menjadi karyawan di perusahaan besar dan ternama.

Pengalaman serupa pun dirasakan Laras, (23), seorang kreator konten di perusahaan startup, sewaktu magang di perusahaan tersebut. Saat itu, ia digaji per hari dan pekerjaannya mengharuskannya lebih sering ke kantor. Sementara, rekan kerjanya yang work from home menerima upah lebih tinggi.

“Bukan membandingkan pekerjaan saya, tapi ke kantor kan perlu ongkos dan uang makan, sementara gaji saya lebih kecil. Rasanya jadi enggak adil,” katanya. 

Setelah menjadi karyawan tetap, Laras pernah iri karena melihat orang lain yang pekerjaannya dapat dilakukan dengan fleksibel tanpa harus ke kantor.

“Mereka bisa menyimpan ongkosnya untuk kerja dari Bali sekaligus have fun, sedangkan saya harus mengeluarkan sebagian gaji untuk ongkos, uang makan, dan bayar cicilan. Bahkan, untuk kasih ke orang tua aja masih sedikit,” ujar Laras.

Sebetulnya, wajar apabila kita merasa insecure tentang pekerjaan dan penghasilan, terlebih jika baru bekerja untuk pertama kali. Pun banyak konten di media sosial dan warganet yang mematok gaji setinggi mungkin sebagai standar hidup sejahtera, dengan anggapan setiap orang memiliki kebutuhan sama.

Untuk mengatasi persoalan ini, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan agar lebih percaya diri dengan profesi maupun penghasilan kamu. 

1. Perlunya Budgeting

Budgeting atau mengatur anggaran pribadi merupakan salah satu kunci dalam mengelola keuangan agar penghasilan dapat disalurkan sesuai kebutuhan. Di media sosial, ada banyak cara yang disarankan oleh ahli keuangan, influencer, maupun warganet yang berbekal dari pengalamannya.

Salah satu caranya adalah membagi penghasilan ke dalam beberapa pos kebutuhan, dan menentukan persentase berdasarkan skala prioritas. Namun, persentase itu tidak dapat dipukul rata ke setiap orang karena perbedaan penghasilan dan pengeluaran. 

Certified Financial Planner, Annisa Steviani mengatakan, “Ada yang bilang kalau single, seharusnya 50 persen gajinya bisa ditabung. Padahal, yang paling tahu tentang gaji dan kebutuhan kan diri sendiri. Jadi, tidak bisa dibuat standar,” ujarnya pada Magdalene (26/10).

Menurut Annisa, yang penting dilakukan adalah mencatat pengeluaran dan penghasilan untuk melihat kebutuhan apa yang jumlahnya bisa dikurangi dan ditambahkan ke tabungan.

“Kalau misalnya orang lain bilang nabung sebaiknya tidak pakai uang sisa, menurutku enggak bisa. Ada yang melakukannya di awal, padahal uangnya belum tentu sisa. Ternyata, di akhir bulan uangnya enggak mencukupi untuk pengeluaran. Nabung itu kan penghasilan dikurangi pengeluaran,” tuturnya.

Jika demikian, artinya penghasilan belum cukup dan seseorang perlu ebih realistis dalam budgeting.

2. Belajar Merasa Cukup

David Ning, seorang ahli keuangan pribadi dan blogger finansial asal AS yang mendirikan situs MoneyNing, mengatakan dalam situsnya, membandingkan diri dengan orang lain selalu membuat seseorang merasa kurang, dan cenderung mengejar hal-hal lain yang dilihat sebagai sebuah ketertinggalan.

Maka itu, merasa cukup memiliki peran penting untuk mencapai ketenangan dalam hidup, sehingga kita memahami kebutuhan dan keinginan, bukan berdasarkan anggapan rumput tetangga terlihat lebih hijau.

“Ketika kita sudah mengontrol diri dengan baik, ada faktor eksternal yang bikin kita lagi-lagi mempertanyakan kondisi finansial. Contohnya saja, keluarga yang suka bertanya ‘kapan beli mobil?’ setelah melihat seorang kenalan melakukannya, padahal kita enggak butuh,” jelasnya.

Selain itu, Annisa menuturkan, menghabiskan uang untuk menuruti emosi sesaat merupakan hal lain yang membuat seseorang sulit merasa cukup dengan penghasilan.

Pada sebagian orang, menghabiskan uang menjadi pelampiasan emosi yang dirasakan, misalnya dengan membeli sesuatu atas pencapaian berkedok self-reward, menghibur diri dengan belanja online, atau menenangkan pikiran dengan jajan makanan. Disadari atau tidak, saat melakukan itu, mereka hanya menginginkan perasaan senang yang dirasakan sesaat, atau chasing pleasure.

“Uang itu jumlahnya pasti, enggak bisa dikaitkan dengan emosi manusia yang selalu berubah. Kalau begini, artinya perlu refleksi diri,” ucapnya.

3. Pekerjaan dan Gaji Tidak Mendefinisikan Diri

Tak dimungkiri, setiap bertemu seseorang, sering kali kita dapat pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” atau “Jabatanmu apa?”.

Pada saat tertentu, kalimat yang umumnya ditujukan untuk mengetahui kabar terkini atau latar belakang, malah menjadi tekanan bagi yang memilih hidup biasa-biasa saja, maupun belum mencapai titik tujuan.

Selain itu, sebagian orang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian di pekerjaan, tingginya jabatan, atau jumlah saldo di rekening bank. Tentu sah-sah saja, tetapi secara tidak langsung, identitas diri mereka dikaitkan dengan penghasilan, sehingga mereka terjebak dalam pekerjaannya.

Satu hal yang perlu kita perhatikan, menginvestasikan sebagian besar waktu dan energi untuk berkarier membuat batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi kabur. 

Anne Wilson, profesor psikologi di Wilfrid Laurier University, Kanada menjelaskan, keadaan psikologis ini merupakan enmeshment, atau jeratan, dan menyebabkan krisis identitas ketika pindah atau keluar dari pekerjaan.

“Jika keberhargaan diri terikat dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang dialami akan berdampak langsung dengan harga diri,” katanya kepada BBC. Nantinya, hal ini berpengaruh pada kesehatan mental karena dapat memicu depresi, kecemasan, dan penggunaan obat terlarang.

Maka itu, kita perlu menyadari bahwa pekerjaan adalah salah satu bagian dalam diri, bukan menggambarkan nilai diri secara keseluruhan, sekalipun pekerjaannya diidamkan atau dinikmati. Dengan begitu, kita bisa lebih percaya diri dengan profesi kita.

4. Melakukan Pekerjaan Sampingan Jika Dibutuhkan

Selain pekerjaan utama, sebagian anak muda menganggap penting memiliki pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup, memiliki uang jajan tambahan, ataupun tabungan.

Laras mengamini hal tersebut mengingat mahalnya cicilan rumah dan ia memerlukan pekerjaan untuk membahagiakan diri sendiri. Sementara, Kania ingin melakukannya untuk memenuhi passion-nya, yakni menulis, selain menambah penghasilan bulanan yang nilainyq sedikit lebih tinggi dari UMR Jakarta.

Terkait pekerjaan sampingan, Annisa menuturkan, hal tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan mengejar penghasilan orang lain yang nominalnya lebih besar.

“Pertama, kita harus tahu, uang dari penghasilan utama ini cukup atau enggak. Kalau merasa perlu tambahan untuk menghidupi keluarga, ambil kesempatan itu. Yang penting, selisih antara penghasilan dan pengeluarannya cukup memenuhi kebutuhan hidup,” jelasnya.

5. Mencari Tahu Arti Kesuksesan dan Tujuan Hidup

Setiap orang memiliki arti kesuksesan dan tujuan hidupnya masing-masing yang belum tentu diorientasikan dengan uang. Oleh karena itu, lihat ke dalam diri dan ketahui apa definisi kesuksesan, yang ingin dicapai lebih, mengapa hal tersebut dianggap penting, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapainya.

Dengan demikian, kita dapat melihat apakah pekerjaan saat ini adalah salah satu langkah yang membawa diri pada titik tersebut, dan memperkirakan nominal yang diperlukan. Namun, memang tak dimungkiri, terlepas dari apa pun tujuan hidup seseorang, uang memiliki peran dalam prosesnya.

Maka itu, Annisa menyarankan, apabila modalnya masih kecil, lebih baik tidak melakukan investasi pada benda, lembaga, atau pemodal yang dianggap berharga, melainkan kemampuan diri.

Dengan mempelajari hal baru dan mengambil kursus atau sertifikasi, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas diri. Hal tersebut justru membuka kesempatan baru untuk memiliki penghasilan tambahan.

“Nantinya, penghasilan yang lebih dari cukup akan memudahkan kita mencapai tujuan, karena tabungan dan hasil kerja keras akan terlihat realistis,” terangnya.

Read More