Yang Tak Dibicarakan dari Kultur Kekeluargaan di Kantor

Seorang pekerja di perusahaan startup mengaku orang-orang di jajaran atas kantornya sering mengingatkan pentingnya melayani konsumen sepanjang waktu, sekalipun tugas tersebut tidak tertera dalam deskripsi pekerjaan yang dilamarnya. Namun, hal itu tetap saja rela dia lakukan atas dasar pemikiran bekerja dengan orang-orang di kantornya perlu dianggap sebagai kerja untuk “keluarga” yang mendukung satu sama lain.

Kepada Cosmopolitan, ia menceritakan aktivitas di luar pekerjaan yang dilakukan bersama rekan kerjanya. Mulai dari mempelajari kebiasaan dan ketakutan mereka, menghadiri pernikahan, makan bersama, hingga membantu istri bosnya mengatur acara ulang tahun.

Awalnya, ia menganggap atasannya suportif. Namun, ketika ia tidak diizinkan mengundurkan diri, ia menyadari relasi mereka bukan sebagai keluarga.

Untuk memperjelas, prinsip kekeluargaan di kantor berbeda dengan menjalin pertemanan dekat bersama teman sekantor atau hubungan yang dilandaskan kepercayaan. Ini lebih kepada sebuah konsep yang digunakan pemimpin perusahaan untuk menjaga loyalitas pekerjanya, dan mempertahankan mereka sebagai sumber daya.

Selain itu, terdapat berbagai aspek dalam kultur kekeluargaan di perusahaan, seperti empati, kepedulian, rasa hormat, dan sense of belonging. Kultur tersebut juga memiliki manfaat psikologis sebagaimana ditemukan dalam riset oleh akademisi asal Norwegia, Rudi Kirkhaug bertajuk “Charisma or Group Belonging as Antecedents of Employee Work Effort?” (2010). Misalnya, membangun pertemanan dan memenuhi kebutuhan untuk memiliki dalam suatu lingkungan.

Sebetulnya, tidak ada salahnya menjalin keakraban dengan teman kantor dan menyukai pekerjaan yang dilakukan. Namun, budaya kekeluargaan yang mengikat pekerja bisa lebih membebani dirinya dibandingkan kepuasan secara psikologis. 

Baca Juga:Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Apa saja sisi buruk penerapan prinsip kekeluargaan di kantor? Berikut kami rangkum beberapa di antaranya.

1. Kaburnya Batasan Kehidupan Personal dan Profesional

Selain menjadi tempat untuk memperoleh penghasilan, lingkungan kerja bisa menjadi tempat para pekerja mendapatkan dukungan dari koleganya, saling peduli satu sama lain, dan memiliki hubungan menyenangkan. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan dari sini. 

Ketika perusahaan menerapkan prinsip kekeluargaan di kantor, pekerja akan mempertimbangkan keterbukaan terhadap kolega maupun atasannya. Kehidupan pribadi yang sebenarnya menjadi pilihan untuk tidak diketahui, justru diungkapkan sebagai salah satu cara bersosialisasi, meskipun mereka tidak ingin menjalin hubungan lebih dalam di luar urusan pekerjaan.

Studi “Organizational Family Culture: Theoretical Concept Definition, Dimensions and Implication to Business Organizations” (2018) oleh Onyebuchi Obiekwe menyebutkan, bisnis yang menggunakan metafora kekeluargaan memperlakukan pekerjanya bukan sebagai kolega, melainkan kakak dan adik.

Obiekwe menjelaskan metafora itu menciptakan budaya positif yang memotivasi dan meningkatkan moral, pun dapat mengurangi konflik dan perselisihan di dalam perusahaan.

Namun, sisi emosional pekerjanya bisa saja dikorbankan karena ia terikat dengan perusahaan. Dikhawatirkan, pekerja merasa harus memberikan informasi apa pun yang diminta atasannya, lantaran relasi mereka seperti orang tua dan anak.

Di dalam perusahaan yang menggunakan kultur kekeluargaan, seluruh aspek pekerjaan diperlakukan dan terasa personal. Karena disamakan dengan hubungan keluarga, ikatan yang terbentuk dirasa tidak memiliki batasan.

Baca Juga:5 Cara Keluar dari ‘Likeability Trap’ Bagi Pekerja Perempuan

2. Keengganan Melaporkan Sesuatu yang Tak Beres

Karena relasi antara pekerja dan atasan bisa dianggap layaknya anak dan orang tua, akan muncul kecenderungan relasi hierarkis: Atasan yang mengambil keputusan sedangkan anak mengikuti perintah. Otomatis, pekerja tidak dapat membela diri sendiri maupun keluar dari zona tersebut, dan relasi cenderung bersifat satu arah dari atasan ke mereka.

Dilansir Harvard Business Review, adanya kekuasaan di perusahaan juga membuat pekerja sulit melaporkan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan rekan kerjanya. Ini disebabkan mereka mengkhawatirkan hukuman yang diterima pelaku, dan berharap dapat menarik pengaduannya.

Pun berdasarkan National Business Ethics Survey pada 2019, 45 persen orang di seluruh dunia pernah menyaksikan pelanggaran di tempat kerjanya, tetapi sepertiga di antaranya tidak melakukan tindakan. Mereka merasa bersalah seolah melaporkan anggota keluarganya sendiri dan tidak dapat melindungi.

Baca Juga:4 Fakta Kamu Budak Korporat dan Cara Mengatasinya

3. Menciptakan Loyalitas Berlebihan

Setelah mengetahui berbagai aspek pribadi pekerjanya, atasan cenderung mengharapkan pekerja memprioritaskan kewajibannya dan loyal pada perusahaan. Loyalitas yang diharapkan ini dapat berujung pada jam kerja lebih panjang, pekerja melakukan pekerjaan yang tidak terdapat dalam deskripsi pekerjaannya, sementara ia menerima penghasilan tidak sepadan.

Dalam The Character of a Corporation (1998) oleh Rob Goffee dan Gareth Jones dijelaskan, di perusahaan yang melanggengkan budaya kekeluargaan, pekerjanya berinisiatif tinggi untuk membantu rekan kerjanya. Bahkan, secara sukarela menolong sebelum diminta hingga mengesampingkan kepentingannya sendiri. 

Tentu atasan menyukai karakter pekerja demikian. Namun, di balik kultur kekeluargaan tersebut, pekerja dieksploitasi demi memajukan perusahaan, meskipun di sisi lain loyalitas diberikan untuk mempertahankan posisi mereka.

Mungkin dapat dikatakan pantas apabila pekerja menerima haknya dengan setimpal. Sayangnya, dalam realitasnya tak selalu demikian dan tidak sedikit dari mereka yang mengajukan komplain, tetapi diabaikan. Alasannya, menurut mereka di dalam keluarga tidak ada permintaan kenaikan gaji atau waktu kerja fleksibel. 

Bagaimana Mewujudkan Kultur Perusahaan yang Positif?

Untuk menavigasikan budaya tersebut, menurut penulis dan work advice columnist Alison Green, hal terpenting yang perlu dilakukan untuk mengubah kultur ini ialah tidak menginternalisasi prinsip kekeluargaan di kantor, meskipun perusahaan menerapkannya.

“Sebagai pekerja, kita perlu memastikan diri sendiri untuk memperjelas bahwa perusahaan ini perkara bisnis, bukan keluarga. Tidak perlu mempertimbangkan yang dikatakan atasan,” tuturnya kepada The New York Times.

Hal tersebut akan membantu pekerja memisahkan relasi pribadi dan profesional, sehingga mereka dapat belajar memprioritaskan diri dan mengatakan “tidak” apabila atasan menuntut pekerjaan yang dinilai berlebihan. Green menambahkan, apabila tindakan ini dilihat oleh kolega, mereka dapat menirunya dan secara tidak langsung telah menciptakan pengaruh baik di lingkungan kerja.

Selain itu, lingkungan kerja perlu dilakukan seperti sebuah tim. Artinya, pekerja dapat dikeluarkan apabila kinerjanya tidak cukup baik. Mungkin kedengarannya kejam, tetapi tindakan itu menegaskan batasan yang sehat di perusahaan. 

Dan tidak dimungkiri, baik perusahaan maupun pekerja saling membutuhkan satu sama lain. Maka itu, apabila salah satu pihak tidak memperoleh yang dibutuhkan, mereka dapat mencarinya dari pihak lain.

John Feldmann, seorang spesialis komunikasi di sebuah perusahaan di AS menjelaskan, perusahaan perlu menekankan work-life balance kepada pekerjanya. Ia menyarankan, sebaiknya atasan menyadari bahwa peran bawahannya hanya bekerja, membutuhkan istirahat, dan memiliki kehidupannya sendiri.

Sependapat dengan Feldmann, Green menuturkan hal serupa, “Perlakukan pekerjaan layaknya pekerjaan. Lagi pula, keberadaan kita di sana karena dibayar untuk bekerja, bukan kepentingan lain.”

Pun sebenarnya tidak perlu memiliki relasi mendalam yang mengikat dengan atasan dan rekan kerja. Pasalnya, ini bisa membuat pekerja sulit menarik diri dari pekerjaan ketika seharusnya ia dapat menikmati waktu senggangnya untuk kepentingan personalnya.

Read More
perasaan languishing

Perasaan Languishing yang Banyak Terjadi Karena WFH

Selama pembatasan kegiatan luar rumah dalam masa pandemi Covid-19 diberlakukan, pernah enggak kamu merasa jenuh dan tidak semangat melakukan apa pun? Perasaan yang sedang kamu alami ini mungkin saja termasuk languishing.

Istilah ini sebetulnya bukan istilah mendis. Languishing merupakan istilah populer dalam psikologi untuk menggambarkan beberapa emosi negatif yang mungkin kamu alami dan masih susah untuk kamu jelaskan.

Berikut ini beberapa hal tentang languishing yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber yang perlu kamu ketahui. 

Apa Itu Perasaan Languishing?

Dikutip dari Jstor, istilah languishing pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Corey Keyes sebagai antitesis dari flourishing (berkembang). Hal ini sering dideskripsikan sebagai perasaan cemas, tidak tenang, jenuh bekerja, dan hal-hal yang umumnya membuat kita tak bahagia.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Perlu dicatat bahwa languishing tidak sama dengan gangguan kecemasan atau depresi. Languishing lebih merujuk kepada rangkaian emosi, bukan termasuk penyakit mental. Akan tetapi, mereka yang pernah mengalami depresi atau gangguan kecemasan akan lebih gampang terserang languishing.

Gejala yang Muncul Jika Kamu Mengalami Languishing

Gejala languishing yang dialami akan berbeda-beda pada tiap orang. Ada orang yang merasa kalau ia susah untu fokus pada pekerjaan dan perlu waktu agak lama untuk menyelesaikannya. Sementara, ada juga orang yang merasa tidak semangat dalam melakukan pekerjaan apa pun.

Perasaan languishing ini dapat memengaruhi emosi, cara kamu membuat keputusan, dan  kepada diri sendiri dan orang lain di lingkunganmu.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Berikut ini beberapa gejala yang muncul bila seseorang terkena languishing.

  • Gelisah, namun tidak sampai cemas dan gugup
  • Merasa tidak punya semangat dalam melakukan berbagai hal
  • Tidak merasa sedih, namun tidak juga merasa bahagia
  • Merasa kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan butuh waktu lebih banyak untuk menyelesaikannya
  • Merasa asing dengan kehidupan, kegiatan, serta lingkungan sekitarnya
  • Kehilangan hasrat pada hobi serta passion
  • Merasa hidup membosankan dan tidak jarang merasa kehilangan tujuan hidup
  • Merasa sangat lelah dan enggak tertarik pada hal apa pun

Cara Mengatasi Perasaan Languishing

Kalau kamu biarkan perasaan languishing terus berlanjut, tentu nantinya hal itu bisa menggangu produktivitas kerjamu sehingga ini mempengaruhi karier kamu ke depannya.

Bahkan, efek yang lebih parahnya bisa mempengaruhi kesehatan mental kamu nantinya. Maka itu, kamu harus cepat-cepat deh, mengatasinya supaya tidak memburuk.

Berikut ini beberapa tips menghilangkan perasaan languishing dengan memprioritaskan diri kamu.

1. Ganti suasana kerja

Suasana kerja ternyata bisa memberikan pengaruh kepada mood kamu dalam bekerja. Buktinya, lingkungan kerja sering jadi faktor seseorang bertahan atau resign dari perusahaan.

Jika kantor kamu sekarang masih menerapkan WFH, kamu perlu memikirkan untuk memisahkan ruang kerja dengan ruangan untuk kamu beristirahat.

Kamu juga bisa mencoba suasana kerja baru, mulai dari hal simpel saja. Contohnya, kamu bisa mengganti warna dinding di ruang kerja atau menambahkan dekorasi. Bisa juga sesekali kamu pergi ke kafe untuk mencari suasana baru dalam bekerja.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

2. Ambil cuti

Merasa bosan dan susah untuk fokus pasti sangat berpengaruh pada pekerjaan kamu. Karena itu jika memungkinkan, ambillah cuti beberapa hari.

Memang, sih, beberapa orang merasa sayang buat menghabiskan cuti di masa pandemi seperti sekarang ini karena kegiatan di tempat jauh juga masih dibatasi. Namun, cuti sangat berguna untuk kesehatan mental.

Waktu cuti bisa dipakai untuk bersantai di rumah dan melakukan sesuatu hal yang tidak sempat kamu lakukan saat sedang bekerja. Perlu digarisbawahi, cuti enggak selalu harus traveling.

Esensinya, kamu bisa melupakan sejenak pekerjaan sehari-hari dan mengisinya waktunya dengan hal-hal yang kamu senangi.

Memasak, menonton tv, atau melakukan hobi yang kamu senangi bisa jadi opsi buat menyegarkan pikiran.

3. Belajar hal baru

Ternyata saat kita belajar hal baru, akan ada pengaruh positif buat otak yang muncul, sekaligus membuat kita jadi lebih fokus.

Tantangan baru bisa bikin kamu jadi lebih bersemangat. Apalagi, di masa pandemi ini banyak kursus-kursus online yang dibuka, baik yang berbayar maupun gratis.

4. Membuat jurnal mengurangi perasaan languishing

Menulis dalam jurnal atau buku harian memang bermanfaat buat kesehatan mental, termasuk untuk mengatasi perasaan languishing.

Baca Juga: 11 Akibat Buruk Terlalu Percaya Diri di Tempat Kerja

Menulis jurnal bisa menolongmu mengeluarkan emosi serta isi pikiranmu. Ini juga dapat menjadi salah satu cara untuk mencatat segala hal positif yang terjadi sehari-hari. Dengan begitu, diharapkan kamu bisa lebih berpikir positif.

5. Jangan mengasingkan diri dari lingkungan

Waktu mengalami perasaan languishing, keinginan buat menarik diri dari segala bentuk hubungan sosial sangat besar.

Namun, tetap berhubungan dengan sahabat serta keluarga dapat menjadi cara tepat untuk membantu kamu tetap merasa terhubung.

Ini juga bisa membuat kamu merasa didukung oleh mereka. Pastinya, ini sangat bagus buat kesehatan mental kamu.

6. Terapi dengan profesional

Bila kamu sudah melakukan berbagai cara, namun perasaan languishing tidak juga hilang, pergi ke terapis profesional adalah jawaban paling tepat.

Kamu bisa konsultasi ke psikolog. Mereka pasti dapat membantu kamu menggali apa yang kamu rasakan dan menemukan solusinya.

Baca Juga: Bertanya pada Bos Saat ‘Performance Review’, Kenapa Tidak?

Dikutip dari Hopkins Guide, menurut Magavi, seorang psikiater dari Johns Hopkins Medicine, menjelaskan bahwa metode cognitive behavioral therapy dalam konseling psikologi bisa membantu seseorang untuk berpikir positif.

Dalam situasi normal saja, perasaan languishing sering menyerang beberapa orang. Apalagi kalau mereka ternyata punya riwayat masalah mental.

Makanya, enggak heran di masa pandemi seperti sekarang, perasaan ini juga banyak muncul. Mengetahui bahwa kamu kamu tidak sendirian dan ada beragam solusi yang bisa diaplikasikan seperti disampaikan di atas tadi, pastinya akan memuat kamu jadi lebih baik.

Read More

Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya?

generasi kutu loncat Selama dua dekade terakhir, generasi milenial sering disorot sebagai generasi yang gemar job hopping atau berpindah tempat kerja dalam waktu singkat, berkisar satu hingga dua tahun. Karenanya, generasi tersebut dinilai tidak loyal, tidak mampu berkomitmen pada satu perusahaan, dan suka bertindak semena-mena. Generasi milenial yang dicap gemar job hopping berbanding terbalik dengan generasi baby boomers yang cenderung bekerja di satu perusahaan selama puluhan tahun. 

Meski demikian, “Melissa”, seorang social media specialist di organisasi non-pemerintah, tidak setuju jika generasinya dicap buruk akibat job hopping ini. Ia mengatakan perlu melihat situasi dari perspektif generasi milenial untuk mengetahui alasan menjadi job hopper

Perempuan berusia 25 tahun itu mengatakan, salah satu penyebabnya mencari perusahaan yang bisa membantu seseorang terus mengembangkan kemampuannya dalam bidang yang ia tekuni. Untuk Melissa perusahaan yang mampu menawarkan perkembangan keahlian dari segi dunia digital. Melissa sendiri telah bekerja di tiga perusahaan berbeda sejak kali pertama memasuki dunia kerja profesional pada 2019. 

“Jika ada kantor yang bisa provide perkembangan pengetahuan dan kemampuan saya, ya kenapa tidak? Walaupun pada akhirnya saya lelah karena harus memegang banyak hal. Tapi, mumpung saya masih usia muda, sekalian saja deh lelahnya. Biar nanti kalau sudah matang saya bisa tahu kemampuan saya di mana,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.

Namun, faktor lain yang ia tekankan berupa beban kerja yang berlebihan berujung pada eksploitasi pekerja. Melissa mencontohkannya dengan kerja media sosial, seperti membuat konten, maintenance media sosial, dan memperhatikan perilaku target perusahaan untuk marketing digital yang tidak bisa dipegang satu atau dua orang saja. Karenanya, ia menegaskan ketika responsnya untuk mengundurkan diri bukan menandakan generasi millennial lemah, tapi menolak praktik kerja yang buruk. 

“Kerja digital dan media sosial itu luas dan tidak bisa dipegang satu orang saja. Jadi mengapa saat ini banyak yang pindah karena tidak dimungkiri ada eksploitasi di mana saja,”

“Ini juga yang mungkin harus dipahami, kalau jobdesk atau tugasnya banyak dia burn out dan resign atau job hopping. (Ini) bukan tidak bertanggung jawab atau mentalnya melempem,” tandas Melissa. 

Apakah Milenial Generasi Kutu Loncat?

Dewasa ini generasi milenial menguasai sebagian besar usia produktif. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 69,38 juta orang atau 25,87 persen generasi milenial produktif. Sedangkan Generasi X sebanyak 58,65 juta pang atau 21,88 persen. Sejatinya, penduduk terbanyak diduduki oleh Generasi Z dengan 74,93 juta orang, 27,94 persen. Meski demikian, rentang usia delapan hingga 24 tahun membuat belum semua Generasi Z berada di usia produktif. 

Pakar Sumber Daya Manusia, Floribertus mengatakan di dunia kerja, generasi milenial menawarkan ide-ide kreatif, mampu menyederhanakan tugas yang dinilai sulit, dan mengerjakan sesuatu dengan semangat karena dianggap bernilai. Selain itu, sebagai generasi yang lahir dan tumbuh besar dengan perkembangan digital, keahlian teknologi yang dimilikinya pun menjadi keunggulan untuk perusahaan. 

“Dari segi teknologi (milenial) memang lebih mudah dibanding generasi sebelumnya. Tapi, itu bisa menjadi cara untuk memfasilitasi generasi sebelumnya yang gagap teknologi. Kekurangannya, cara dan gaya berkomunikasi mereka yang masih bisa dibimbing,” ujarnya pada Magdalene November lalu. 

Meski demikian, tambah Floribertus, kemudahan yang ditawarkan dunia digital membuat generasi milenial terbiasa dengan segala sesuatu yang mudah dan instan. Hal tersebut pula yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Karena hal itu juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang dinilai sulit, maka akan mencari tantangan baru atau tempat yang bisa memberikan kemudahan tersebut, ujarnya. 

Dilansir dari Liputan6, pada 2016 Faridah Lim, Country Manager JobStreet.com Indonesia mengatakan, riset yang dilakukan perusahaannya menunjukkan 65,8 persen generasi milenial dari 3.500 responden akan pindah kerja kurang dari satu tahun. 

Senada dengan itu, di tahun yang sama Jakpat, layanan survei dan riset berbasis online di Indonesia menunjukkan, ada 875 dari total 1.376 responden usia 24-45 tahun mengaku telah job hopping.Sekitar 78,51 persen di antara jumlah tersebut pernah menjadi job hopper sebanyak tiga kali. Durasi kerja di satu perusahaan sebelum akhirnya pindah ke perusahaan lain. Alasan menjadi ‘kutu loncat’ sebanyak 70,74 persen karena mencari upah lebih tinggi, 55,89 persen untuk meningkatkan karier, da 49,83 persen karena ruang kerja yang dinilai sudah tidak kondusif. 

Penelitian serupa juga dilakukan di AS. Laporan What Employees Expect in 2021 oleh Institute for Business Value (IBM) dengan 14.000 responden. Hasil risetnya menunjukkan satu dari lima pekerja berganti pekerjaan pada 2020. Pekerja yang menjadi job hopper tersebut 33 persen dari generasi z dan 25 persen generasi milenial sebanyak 25 persen. Hal yang tidak jauh berbeda juga pada 2021 dengan lebih dari satu di antara empat pekerja berencana untuk berpindah. Selain itu, 60 persen telah berganti pekerjaan pada Januari lalu. 

Senada dengan itu, lima tahun yang lalu, laporan How Millennials Want to Work and Live dari  Gallup, sebuah badan riset global, menemukan 21 persen generasi milenial di AS berganti pekerjaan tiga kali lebih atau tiga kali lebih banyak dibanding generasi non-milenial. 

Krisis ekonomi the great recession pada 2007 hingga 2009 sering disebut sebagai salah satu penyebab yang melatarbelakanginya. Sementara itu, saat ini AS juga sedang dalam masa The Great Resignation atau pengunduran diri besar-besaran karena kondisi kerja yang tidak memadai, burnout, dan situasi pandemi COVID-19. 

Meski demikian, pada 2017, Pew Research Centre meluncurkan temuan bahwa job hopping tidak hanya dilakukan generasi milenial. Pada 2016, generasi milenial kelahiran 1981 sampai 1998 rata-rata bekerja di perusahaan yang sama selama 13 bulan atau sekitar 63,4 persen. Sedangkan, sejumlah 59,9 persen generasi x dengan usia sama di tahun 2000 yang bertahan di perusahaan sama selama durasi tersebut. Berpindah tempat kerja pun tidak menjadi satu hal yang dilakukan generasi milenial, tetapi orang muda yang mencari pelbagai kesempatan kerja di tempat lain.  

Senada dengan itu, Floribertus mengatakan generasi milenial tidak bisa digeneralisir semua melakukan job hopping karena respons setiap orang akan berbeda-beda. Jika ada yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya, orang lain bisa saja mengambil pilihan berbeda.

“Jadi tidak bisa digeneralisir ada yang milenial, tapi old soul. (Dampak pada karier) juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin, (kemampuan) adaptif, dan deliverable. Jadi karier yang cepat juga bergantung pada masing-masing orang, tidak bisa digeneralisir,” ujarnya. 

Ingin Kerja dan Hidup Pribadi yang Berimbang

Job hopper kerap dinilai sebagai red flag di dunia profesional karena perpindahannya yang cepat. Dalam laporan yang sama IBM menyebutkan, alih-alih keinginan finansial yang mendorong berpindah pekerjaan, generasi milenial lebih menginginkan karier dan kehidupan pribadi yang seimbang berada di posisi tertinggi sebanyak 51 persen. Selain itu, kesempatan untuk meningkatkan karier sebanyak 43 persen, kompensasi dan keuntungan pekerjaan dengan 41 persen, dan nilai serta etika pemberi kerja dengan jumlah yang sama. 

IBM menuliskan, cara agar perusahaan secara proaktif memahami apa yang dianggap penting dalam karier pekerjanya. Selain itu membangun budaya belajar dan apresiasi atas perkembangan pekerja dan empati pada pekerja terkait kesehatan fisik, mental, dan finansial. Sementara untuk pekerja agar terus belajar, tidak berkompromi atas kesehatan dan nilai yang dimilikinya, dan mengadvokasikan keinginan kepada perusahaan untuk proses komunikasi yang transparan. 

Senada dengan hal itu, Melissa mengatakan, kantor juga perlu inklusif dengan kebijakan yang ramah perempuan agar kebutuhan pekerja terpenuhi. Selain itu, perusahaan profit maupun non-profit perlu melakukan evaluasi agar menciptakan ruang kerja tidak eksploitatif, waktu kerja berimbang, dan budaya kantor yang sehat. 

“Kantor ideal harus punya aturan tertulis dan benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang berpihak dan ramah pada perempuan dan anak,” ujarnya. 

Sementara Floribertus mengatakan, perusahaan juga perlu memahami tentang kebutuhan pekerja dan menciptakan ruang yang aman. Meski demikian, jangan sampai tujuan menciptakan ruang inklusif untuk semua orang hanya menjadi semacam janji atau lip service saja, sedangkan kantor belum bisa memfasilitasi hal itu. Selain itu, definisi inklusif masing-masing perusahaan akan berbeda dan perlu didefinisikan secara jelas dan melakukan pendekatan yang berbeda pula, seperti diskusi tentang kebutuhan dan kebijakan. 

“Namun kembali lagi apakah kebutuhan itu bisa terfasilitasi, seperti yang menerapkan keuntungan fleksibel. Kalau bicara tentang organisasi tidak hanya memikirkan kepentingan satu kelompok dan sangat bervariasi. Selain itu, butuh waktu untuk proses negosiasi yang tidak mudah. Jadi akhirnya kita yang menyesuaikan diri juga (dengan perusahaan),” ujarnya. 

Read More

Trauma Finansial Bebani Perempuan, Apa Jalan Keluarnya?

Besarnya kesenjangan gender membuat perempuan cenderung mengalami stres finansial dibandingkan laki-laki. Artinya, mereka lebih berisiko mengkhawatirkan kesejahteraan di hari tua, karena tidak memiliki uang yang cukup.

Akademisi Australia, Gary Neil Marks mencatat dalam risetnya yang bertajuk Income Poverty, Subjective Poverty and Financial Stress (2005), penyebab kekhawatiran ini memang karena pendapatan perempuan lebih rendah. Hal ini tak berlaku bagi laki-laki.

Berdasarkan riset Salary Finance, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yang membantu pekerja mengembangkan kesehatan keuangan, 68 persen dari perempuan generasi milenial, tidak menabung lantaran penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup.

Melihat kondisi tersebut, Dan Macklin, CEO Salary Finance menyampaikan beberapa faktornya.

“Perempuan menerima penghasilan lebih sedikit dibandingkan laki-laki, tidak diberikan akses pinjaman, memiliki dampak dari cuti hamil, dan berpotensi mengalami serangan panik akibat masalah keuangan,” tuturnya dilansir NBC News.

Karena itu, perempuan juga cenderung mengalami trauma finansial, yakni menurunnya kondisi fisik, emosional, dan kognitif akibat mengalami kerugian finansial, atau stres akut karena sumber penghasilannya tidak mencukupi.

Umumnya, seseorang mulai mempertanyakan keamanannya secara finansial, walaupun sebenarnya mereka memiliki dana yang mencukupi kebutuhan hidup dalam beberapa bulan. Penyebabnya adalah pengeluaran yang lebih besar dibandingkan pendapatan dalam jangka waktu berkepanjangan. Contoh konkretnya adalah pandemi yang memengaruhi seluruh sektor pekerjaan.

Hal ini dialami oleh Etun, 32, wiraswasta yang perusahaannya bekerja sama dengan pemerintah, termasuk dalam menyelenggarakan acara. Namun, pandemi membuat semuanya terhenti. Sampai di pertengahan, event hybrid seperti wisuda online bermunculan, meskipun nilainya tidak besar.

Awalnya, kondisi ini tidak begitu memengaruhi Etun dan suaminya, tetapi pandemi yang tak kunjung selesai, membuatnya terpaksa merumahkan sebagian karyawan, dan menggaji sisanya berdasarkan proyek.

“Dulu kami masih bisa gaji 12 karyawan pakai tabungan, tapi setengah tahun berjalan, akhirnya nyerah. Malah Mei kemarin kita shock tahu-tahu punya utang hampir dua miliar,” ceritanya pada Magdalene, (29/11). Karenanya, tidak ada harta yang tersisa selain rumah, motor, mobil, dan perhiasan.

Melansir Refinery29, trauma finansial tidak melulu terjadi setelah mengalami sebuah insiden.

Fenomena ini pun dialami people pleaser, atau seseorang yang berusaha menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Karena tak dimungkiri, sebagian orang melihat uang sebagai kekuatan, kekuasaan, jaminan hidup, dan penanda kesuksesan.

Alhasil, keberhargaan diri sering diartikan dengan jabatan pekerjaan dan jumlah uang yang dimiliki, hingga berusaha menunjukkannya ke kerabat. Misalnya mentraktir di restoran mewah atau membelikan barang bernominal tinggi.

Pada kesehatan, baik fisik maupun mental, trauma finansial berdampak pada sistem saraf, memicu stres dalam wujud sesak napas, kecemasan, kelelahan, sakit kepala, hingga hilang ingatan.

Baca Juga: Anak Muda Rentan Terjerat Utang Saat Pandemi, Ini Cara Hindarinya

Etun menceritakan, saat itu kesejahteraan hidupnya sangat terganggu. Perempuan yang juga bekerja sebagai peneliti di sebuah perguruan tinggi itu merasa energinya terkuras, tidak tenang, dan tidak terpikirkan untuk melakukan aktivitas menyenangkan.

“Bayangkan aja, saya sampai meninggalkan pekerjaan itu selama tiga bulan untuk jadi full-time mother, karena asisten rumah tangga harus diberhentikan,” ucapnya.

Sementara bagi keuangan, dampaknya berupa kurangnya penghasilan, berlebihan dalam menggunakan uang, serta menghindar dan menolak dari perbincangan finansial untuk mengurangi ketidaknyamanan.

Namun, kondisi tersebut bukan sesuatu yang tidak dapat dicegah atau ditangani. Untuk mengatasinya, berikut kami merangkum lima cara agar perempuan terlepas dari jeratan trauma finansial.

1. Kenali Emosi dan Perasaan

Langkah awal adalah mengenali emosi dan perasaan, penyebab seseorang mengalami stres dan trauma atas peristiwa yang terjadi. Ini karena ia perlu memahami cara pandangnya dan bagaimana selama ini ia memperlakukan uang, apakah derajatnya dilihat berdasarkan status sosial dan kekayaan, atau alat pembayaran ini bukan tolok ukur harga diri.

Pun stres berpengaruh pada kesehatan tubuh dan cara berperilaku. Oleh sebab itu, Chantel Chapman, peneliti trauma finansial, pendidik, dan Co-Founder The Trauma Money Method, mengatakan, hal-hal yang terjadi pada tubuh juga perlu diperhatikan agar seseorang dapat meregulasi sistem saraf.

“Napas perlahan, sadari lingkungan sekitar dengan kelima panca indera; apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan,” ujarnya kepada Refinery29. Setelah itu, barulah seseorang mampu mengevaluasi pola pikir dan relasinya dengan uang. 

Kemudian, ia menyalurkan perasaannya di dalam jurnal dan menemukan ada banyak hal yang ingin disampaikan. Berdasarkan pengalamannya, kini Chapman menganggap uang sebagai bagian kecil dalam hidupnya, dan tidak mendefinisikan keberhargaannya.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan di Industri Jasa Keuangan

2. Belajar Mengontrol Pikiran

Saat mengalami trauma finansial, seseorang cenderung khawatir dan fokus terhadap materi yang tidak dimiliki, sehingga menimbulkan rasa takut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Untuk mengatasinya, diperlukan abundance thinking atau cara berpikir yang melihat adanya sumber daya dan potensi bagi setiap orang, agar dapat menemukan peluang dalam kesulitan dan hambatan, serta mengubahnya menjadi kreativitas.

Menurut Psychology Today, langkah awal mengontrol pikiran adalah menyadarinya berpotensi untuk mengelabui atau mempertanyakan hal-hal yang dipikirkan. Dengan demikian, ketenangan bisa didapatkan dan mulai berpikir rasional. Pun ini salah satu cara memulai mindfulness, atau memusatkan perhatian pada situasi saat ini.

Sementara, Ted DesMaisons, penulis dan mindfulness teacher di Stanford University’s Continuing Studies Program AS mengatakan, pikiran kita berdampak pada tubuh, sehingga kesadaran merupakan kunci untuk memberdayakan diri. Itulah sebabnya melatih mindfulness dapat mengubah regulasi emosi dan pengambilan perspektif.

Karena stres menyita pikiran dan membuat lelah, terdapat beberapa aktivitas yang dapat dilakukan agar lebih rileks, seperti olahraga selama 30 menit, meditasi, mengobrol dengan orang lain, atau aktivitas apa pun yang menyenangkan.

3. Cari Dukungan dari Teman atau Profesional

Bukan hanya sebagai teman berbagi, membuka diri kepada orang-orang di sekitar mampu memperluas perspektif dan bersikap optimis, bahwa setiap orang memiliki masanya dalam menghadapi kesulitan finansial.

Apalagi, memiliki dukungan sosial mampu mengubah reaksi seseorang terhadap stres yang disebabkan trauma finansial. Selain itu, pengalaman dan cara mereka mengatasinya dapat dijadikan pembelajaran.

Linda Gallo, ilmuwan dan akademisi di San Diego State University, AS menjelaskan kepada American Psychological Association, “Secara keseluruhan, dukungan sosial penting untuk mengatasi stres, sekaligus menjaga kesehatan dan kesejahteraan.”

Karena itu, Etun dan suaminya mencoba rekonsiliasi dengan berdiskusi untuk mencari jalan keluar, mengingat sebelumnya mereka cenderung emosional dan berargumentasi dengan kuat dalam menghadapi permasalahannya.

Namun, bantuan profesional dapat menjadi opsi lainnya apabila stres dan kepanikan sudah mendominasi pikiran dan kesehatan mental.

Baca Juga: ‘Squid Game’: Mereka yang Bertaruh Nyawa demi Cuan

4. Cari Sumber Pendapatan Baru dan Rencanakan Masa Depan

Ketika seseorang berada dalam kondisi trauma finansial, mereka akan mengupayakan cara bertahan hidup dan melihat jangka panjang, seperti mencari sumber pendapatan baru. Cara ini dilakukan oleh Etun dan suaminya, dengan investasi crypto pada Agustus lalu.

“Kita mulai dengan modal Rp20 juta, itu cukup untuk bertahan sehari-hari dan ambil keuntungan Rp2 juta per bulan. Tapi kan masih ada kewajiban besar untuk bayar utang, akhirnya sertifikat rumah digadaikan, motor dan mobil juga ditarik sama pihak yang kita utangi,” katanya. Pada akhirnya, di pertengahan September, utang tersebut telah dilunaskan dan asetnya dapat dikembalikan, sehingga kini kondisi finansialnya jauh lebih baik.

Namun sebelumnya, susun daftar kesulitan finansial yang paling mencemaskan, rencana anggaran belanja, serta langkah-langkah yang bisa menghasilkan stabilitas keuangan. Pun saat ini Etun tengah riset dan mengupayakan bisnis yang bertahan, meskipun terdapat kejadian besar seperti pandemi.

Apabila tetap tidak mampu membayar tagihan, Verywell Mind menyarankan menghubungi bank atau perusahaan kartu kredit, untuk menjelaskan kondisi finansial agar mereka mengatur rencana pembayaran sesuai kemampuan.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah membuat rencana keuangan dan menabung untuk masa pensiun, sekalipun jumlahnya kecil. Tidak hanya mempersiapkan kebutuhan hidup, melansir Forbes, menabung juga memberikan harapan akan berhasil melalui kesulitan finansial sekaligus mempersiapkan diri apabila tidak ada penghasilan yang diperoleh.

Pun mengetahui keinginan dan menyadari kondisi finansialnya membuat trauma finansial lebih mudah diatasi.

Read More
akibat buruk terlalu percaya diri

11 Akibat Buruk Terlalu Percaya Diri di Tempat Kerja

Dalam situasi apa pun, khususnya di dunia kerja, memiliki rasa percaya diri merupakan suatu hal yang positif. Banyak orang berpendapat bahwa untuk bisa sukses, kita harus bisa percaya pada diri kita sendiri. Namun, bagaimana jadinya kalau kita terlalu percaya diri? Akankah ini menimbulkan banyak hal positif, atau sebaliknya?

Di kebanyakan kasus, mengetahui kemampuan serta berani mengambil risiko merupakan kualitas diri yang mengagumkan. Namun, saat rasa percaya diri yang dimiliki malah membuat seseorang tersebut jadi tidak fleksibel, tidak mau untuk mencoba sesuatu yang baru, dan malah cenderung mengambil keputusan yang tergesa-gesa, tentu saja itu bisa merusak hal-hal yang sudah dia raih.

Tidak cuma itu, sifat ini bisa membahayakan kariermu kedepannya. Berikut ini dampak buruk dari sifat terlalu percaya diri yang sudah dirangkum dari berbagai sumber.

Dampak Terlalu Percaya Diri

Dikutip dari Corporate Finance Institute, sikap terlalu percaya diri atau overconfidence datang waktu seseorang merasa dirinya jauh lebih baik dibanding kenyataan. Ini dapat membuat kamu jadi kurang tepat dalam menganalisis dan tidak hati-hati waktu mengambil keputusan.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Menurut Halodoc, percaya diri berlebihan juga dapat membuat seseorang merasa putus asa karena tidak sanggup menjalankan pekerjaannya lagi. Ini disebabkan karena mereka sering mengiyakan atau mengambil pekerjaan apa pun meski faktanya mereka belum punya keterampilan yang mumpuni. Bukan hanya itu, orang yang punya rasa percaya diri berlebih terkadang mengasingkan rekan kerja mereka sehingga kerap dikira sombong.

Berikut ini beberapa dampak atau akibat yang bisa terjadi karena terlalu percaya diri di pekerjaan.

1. Terlalu percaya diri bisa menimbulkan kecelakaan kerja

Terlalu percaya diri menurut Small Business bisa menyebabkan kecelakaan kerja. Ini disebabkan orang yang merasa punya kepercayaan diri berlebihan menganggap dirinya tidak akan melakukan kesalahan.

Contohnya, sebagian pekerja tambang yang tidak mau memakai pelengkapan safety seperti helm kerja sesuai peraturan karena merasa sudah biasa melakukan pekerjaan tersebut.

Nah, hal ini dapat membuat mereka jadi lebih lalai dalam mematuhi peraturan. Bahkan, hal ini tidak cuma membahayakan diri mereka sendiri, tetapi orang-orang di sekitar.

2. Produktivitas menurun

Akibat percaya diri berlebih, produktivitas kerja seseorang dapat menurun. Tidak cuma terjadi pada orang tersebut, dampak buruk ini bisa merembet ke divisi di mana ia berada.

Baca Juga: 5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Overconfidence ini bisa menciptakan konflik seperti adu argumen, yang ujung-ujungnya membuat suasana canggung atau drama di tempat kerja. Ini yang akhirnya berpengaruh pada produktivitas kerja.

3. Menciptakan konflik

Terlalu percaya diri juga bisa membuat seseorang jadi terlihat arogan. Biasanya, ini lebih sering dirasakan oleh orang yang bekerja sama dengannya.

Orang yang overconfidence punya kebiasaan untuk omong besar, tidak peduli, dan suka meremehkan orang lain. Hal ini semakin memungkinkan terjadinya konflik dan membuat lingkungan kerja toksik.

4. Terlalu percaya diri bisa membuat kualitas kerja menurun

Orang yang terlalu percaya diri biasanya teramat yakin kalau hasil pekerjaannya akan sempurna. Kepercayaan diri seperti ini tentu tidak jelek kalau diimbangi dengan kenyataan yang sesuai.

Akan tetapi, hal ini akan berubah jadi masalah ketika kualitas pekerjaannya buruk.

Keyakinan bahwa mereka enggak melakukan kesalahan membuat orang yang terlalu percaya diri susah mendengarkan masukan atau kritik yang membangun. Hal ini dapat berdampak pada kinerja perusahaan secara menyeluruh.

5. Orang yang terlalu percaya diri suka menyalahkan orang lain

Sudah dijelaskan di atas, mereka yang punya kepercayaan diri berlebih amat yakin dirinya tidak pernah salah sekalipun bukti-bukti mengatakan sebaliknya.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Jadi, mereka akan selalu mencari alasan dan menyalahkan orang lain. Manajemen perusahaan harus bisa bersikap tegas untuk bisa menanggulangi permasalahan ini.

6. Tidak menghargai orang lain

Kerja sama tim yang baik pastinya butuh yang namanya sikap saling menghargai. Orang yang punya kepercayaan diri berlebih sering kali merasa semua keberhasilan di kantor disebabkan oleh usahanya sendiri dan tidak ragu menerima pujian atas pekerjaan rekan kerjanya.

Akhirnya, hal ini bisa membuatnya jadi sosok yang sering melupakan kinerja orang lain. Kalau orang tersebut berada di posisi yang lebih tinggi, tentu ini membuat anggota tim merasa sia-sia dan tidak diapresiasi.

7. Merendahkan orang lain

Menurut The Muse, orang yang terlalu percaya diri akan sering merendahkan orang lain, apalagi kalau orang tersebut tidak sengaja melakukan kesalahan.

Bukannya memberikan masukan yang membangun, orang yang punya rasa percaya diri berlebih malah menganggap orang lain tidak becus dalam melakukan pekerjaannya.

Alhasil, kesalahan yang terjadi tidak diperbaiki. Malah, hal ini menciptakan konflik.

8. Tidak punya persiapan yang matang

Mengingat bahwa orang yang overconfidence terlalu yakin dengan kemampuan dirinya, mereka sering sekali tidak punya persiapan, contohnya dalam sebuah presentasi bisnis.

Percaya diri berlebih ujung-ujungnya akan membuat seseorang luput memperhatikan hal-hal yang sebenarnya penting.

9. Sering kehilangan kesempatan berharga

Tidak punya percaya diri dan terlalu percaya diri sama-sama dapat membuat kamu kehilangan kesempatan berharga.

Baca Juga: Ketika Pekerjaan yang Kita Impikan Tak Sesuai dengan Harapan

Orang yang overconfidence akan cenderung meremehkan dan menolak pekerjaan yang ia anggap terlalu mudah atau tidak sepadan dengan kemampuannya.

Padahal, hal-hal yang diremehkan tersebut bisa saja berlanjut menjadi sesuatu yang lebih besar dan menguntungkan buat kariernya ataupun kehidupan personal.

10. Gagal dalam interview kerja

Kalau dilihat, perbedaan perlalu percaya diri dengan sombong sangat tipis. Hal ini justru bisa memberi kesan negatif ke HRD. Bukannya mereka jadi terkesan, sikap ini malah mengakibatkan kamu jadi gagal dalam interview kerja.

11. Lingkungan kerja yang tidak menyenangkan

Pada akhirnya, segala hal yang dilahirkan dari sikap overconfidence bisa menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman alias toksik.

Lingkungan kerja yang toksik ini ke depannya bisa memberikan efek domino, mulai dari menurunnya kualitas kerja, kesejahteraan karyawan, sampai berpotensi terjadi turn over tinggi.

Itulah beberapa akibat jika terlalu percaya diri. Kepercayaan diri memang merupakan sikap yang positif. Akan tetapi, ini bisa jadi suatu sikap yang buruk kalau kamu memilikinya terlalu berlebihan.

Read More
Helping Men Get Work life Balance Can Help Everyone

Helping Men Get Work-life Balance Can Help Everyone

Women’s increased participation in the labour force over the past 50 years has outpaced changes to work organization and social attitudes. This is true for issues of work life balance, which continue to polarize workers and managers.

But work life balance and gender equality are not only women’s issues. They belong to men, too.

Times Are Changing

In 2001, the Australian Bureau of Statistics declared that the model of a male breadwinner with a wife at home looking after the family was no longer the Australian norm. Having more women in the workforce is certainly a good thing. Gender equality is not only a matter of social justice, but it has also been shown to create business benefits, when managed properly.

Of course, the increase in the number of women in paid employment, particularly mothers, and the changing composition of families over the past 50 years has made the organization of paid work and care more diverse and complex.

Also read: Work-life Balance: What Really Makes Us Happy Might Surprise You

Flexible work has been identified as a significant way for employees to balance their work and outside life. Flexible work entails a variety of measures that may include reduced hours, working from home, a compressed working week and taking time in lieu. Working flexibly can be beneficial for both employees and employers, such as through increased commitment and productivity, and reduced absenteeism.

But Our Thinking Hasn’t Really Changed

Yet despite these clear changes in family and work structure, those with caring responsibilities are marginalized in many workplaces. The “ideal worker” is still conceptualized as someone who works full-time and does not let outside responsibilities impinge on their work availability or duties. Australians work long hours, in places where being present and seen is still often equated with being productive.

This may be one reason why employees often have difficulty accessing flexible work. And where it is made available, working flexibly may still have career repercussions, since using such arrangements is often equated with a lack of career ambition, meaning flexible workers are overlooked for promotion. Indeed, flexible working in poor quality jobs may increase, rather than relieve, stress about work life balance.

Actually, Maybe Times Haven’t Changed So Much

Not surprisingly, research shows that women are more likely to request and be granted flexible work than men, particularly women with children, to accommodate their caring responsibilities. Women continue to do more unpaid household work than men, often doing a “second shift” of housework after paid work, though men are doing more work than in the past, particularly in relation to childcare. 

Plus, women working flexibly often experience “gendered trade-offs”, where career is sacrificed for care, stalling progress on workplace gender equality more broadly.

So Let’s Really Change The Way We Think

An article in The Conversation discusses the need to challenge how we perceive women and men’s roles in society, starting with how we talk to our children (and especially our boys).

Also read: ‘Work-Life Balance’ for Women – Is It Even Possible?

Similarly, to change our ingrained social and workplace attitudes, we need to assert the value of life outside work and normalize working flexibly for both women and men alike. A large part of this change therefore involves encouraging and helping more men achieve equilibrium between work and life, through flexible working arrangements.

The Australian Government Workplace Gender Equality Agency is encouraging this with its Equilibrium Challenge campaign. The first initiative of the campaign is the production of a series of micro-documentaries. The series follows the journeys of five corporate men embarking on flexible work arrangements. Each week features a new short episode about their pursuit of equilibrium between work and life, whether that entails spending more time with family, less time commuting, or just more time pursuing their dreams.

Increasing flexibility for men is not the entire answer to workplace gender inequality, but it is a necessary and often neglected piece of breaking down the norms and beliefs that impede our progress towards a more just and productive society. Conversations like those taking place in the Equilibrium Man Challenge make a promising start in challenging our preconceptions about work and workers, ultimately dismantling the illusory trade-off between career success and life outside work.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Read More
Pertanyaan Tepat ke Atasan Waktu Performance Review

Bertanya pada Bos Saat ‘Performance Review’, Kenapa Tidak?

Performance review, performance appraisal, atau penilaian kinerja akan jadi salah satu tahapan yang harus dilewati setiap karyawan. Hal ini dilakukan pihak kantor untuk menilai produktivitasnya. Penilaian ini juga bisa jadi penentu karyawan tersebut ke depannya, apakah akan mendapatkan promosi, mutasi atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Buat para HR, melakukan performance review sudah menjadi salah satu tugas yang wajib dikerjakan. Ini mengingat salah satu tugas HRD adalah memastikan setiap karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut bisa produktif dan memberikan hasil terbaik.

Setelah melalui proses ini, HR dan atasan dapat menilai performa karyawan secara objektif selama kurun waktu tertentu, sekaligus menentukan rute pengembangan karier yang tepat untuk setiap karyawan.

Nah waktu kamu menghadapi performance review, sebenarnya ini merupakan momen yang bagus untuk mengajukan pertanyaan kepada atasan, loh. Dengan memberikan pertanyaan yang tepat, kamu bisa memperoleh gambaran lebih baik tentang karier kamu ke depannya.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Kali ini, kami akan memberikan beberapa contoh pertanyaan yang dapat kamu ajukan waktu performance review tiba. Yuk, simak beberapa poin penting berikut.

1. “Apa perkembangan yang diinginkan dari departemen atau perusahaan ini?”

Saat performance review, kamu dapat memberikan pertanyaan ini kepada atasan untuk mengetahui peluang perkembangan kariermu nanti kedepannya.

Hal sangat penting, apalagi kalau kamu memang berencana untuk bertahan di perusahaan tersebut dalam waktu yang lama.

Dengan pertanyaan ini, kamu bisa tahu apakah atasan kamu memiliki rencana buat mengembangkan departemenmu atau malah berencana buat mengurangi karyawannya.

2. Waktu Performance Review Penting TanyakanSkill apa yang perlu saya kembangkan lagi?”

Dikutip dari TheMuse, pertanyaan ini bisa diajukan untuk mengetahui ke mana arah perkembangan yang bagus bagi diri kamu.

Baca Juga: Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

Idealnya, atasan bisa memberikan dua sampai tiga aspek yang bisa kamu kembangkan dalam waktu tiga sampai enam bulan ke depan.

Nah, dari jawaban yang diberikan, kamu bisa memulai membuat rencana untuk mempelajari skill-skill tersebut supaya kamu bisa semakin andal dalam bidang pekerjaanmu.

3. “Bagaimana saya dapat menunjang keberhasilan tim ini?”

Jika kamu menanyakan hal ini ke atasan, kamu akan dinilai sebagai salah satu karyawan yang baik.Tentunya, ini merupakan kualitas positif yang diinginkan perusahaan ada di dalam diri setiap karyawannya.

Jawaban dari atasanmu akan menjadi acuan andil apa yang dapat kamu tunjukkan untuk mencapai goals dari departemen tempatmu bekerja.

4. “Apa yang perlu saya lakukan supaya mendapatkan kenaikan jabatan?”

Sesudah bekerja sekian lama di sebuah perusahaan, sangat wajar jika kamu ingin memperoleh kenaikan jabatan. Nah, pertanyaan ini dapat ditanyakan pada atasan waktu performance review.

Baca Juga: Tanda Kamu Tidak Suka Pekerjaanmu dan Apa yang Harus Kamu Lakukan

Akan tetapi, menurut situs Grove, kamu tidak boleh sampai terburu-buru. Kamu harus tahu waktu yang paling tepat untuk melontarkan pertanyaan ini. Jangan sampai terlalu cepat, misalnya waktu kamu baru bekerja setengah tahun di perusahaan tersebut.

Dari pertanyaan ini, paling enggak kamu sudah bisa tahu jenjang karier ke depannya dan apa saja skill yang perlu kamu kuasai atau tingkatkan lagi untuk bisa memperolehnya.

5. Saat Performance Review Kamu Bisa Bertanya “Apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan saya?”

Menurut Jennifer Kraszewski dari SDM online Paycom, kamu tidak perlu malu meminta feedback kepada atasan, bahkan untuk hal-hal kecil. Mengetahui kelebihanmu merupakan cara tepat untuk menumbuhkan motivasi kerja, supaya kamu bisa berkerja lebih baik lagi ke depannya.

Selain itu, kamu juga dapat menanyakan apa yang jadi kelemahanmu ketika performance review. Dengan mengetahui kelemahan diri selama ini, kamu bisa belajar memperbaiki hal tersebut dan termotivasi untuk mengembangkan diri.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Memang tidak gampang untuk bisa menerima kekurangan diri, tetapi jawaban dari atasan harus kamu jadikan sebuah dorongan agar kamu bisa menjadi lebih baik lagi.

6. “Apa yang menjadi tantangan paling besar bagi perusahaan sekarang ini?”

Jawaban dari pertanyaan ini sangat perlu kamu catat. Setelah mengetahui permasalahan perusahaan, kamu bisa mencari cara untuk berkontribusi sebaik mungkin dalam memecahkan permasalahan tersebut.

Selain itu, pertanyaan ini juga dapat memberikan gambaran tentang masa depan perusahaan. Hal ini juga merupakan bahan pertimbangan untuk kariermu selanjutnya.

Jika perusahaan kelihatan tidak bisa menjadi tempat yang bagus untuk berkarier jangka panjang, kamu dapat mulai memikirkan resign dan mencari tempat kerja yang baru.

7. “Siapa orang lain yang bisa memberi saya masukan?”

Selain atasanmu langsung, kamu juga dapat dinilai oleh orang lain yang bekerja denganmu, loh.

Baca Juga: Kalau Kamu Lelah Bekerja, Ambil Jeda Jangan Berhenti

Memperoleh feedback dari orang lain atau rekan kerja bisa memperdalam pemahamanmu tentang performa diri sendiri serta mengoreksi kinerja supaya lebih maksimal.

Mengajukan pertanyaan ini juga memperlihatkan kepada atasan kalau kamu memang sungguh-sungguh dalam menjadi bagian dari tim serta perusahaan.

Nah, itulah tujuh pertanyaan yang dapat menjadi referensimu untuk performance review ke depannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuat sesi penilaian dengan atasanmu menjadi lebih bermanfaat dan berarti.

Read More
meningkatkan produktivitas kerja

6 Cara Tepat dan Mudah Meningkatkan Produktivitas Kerja

cara meningkatkan produktivitas kerja – Dalam bekerja, kita selalu dituntut untuk bisa produktif supaya pekerjaan bisa cepat terselesaikan dan kita bisa mengerjakan perkerjaan yang lain. Kita mungkin sering mengakalinya dengan membuat semacam planner, to-do-list, mencatat di sticky notes, bahkan menyetel alarm atau reminder untuk mengingatkan kita. Namun, hal ini ternyata tidak selalu efektif.

Tampaknya, ada saja kejadian di mana kita sangat terdistraksi dan ujung-ujungnya membuat produktivitas kerja menurun.

Baca Juga: Kehilangan Motivasi Kerja, Penyebab dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Lalu, bagaimana cara meningkatkan produktivitas supaya kita dapat bekerja dengan maksimal? Dan, apa sih, arti dari produktivitas itu sendiri?

Pengertian Produktivitas Kerja

Dikutip dari SmallBusiness, pengertian produktivitas adalah ukuran perbandingan kualitas dan kuantitas dari seorang tenaga kerja dalam satuan waktu untuk dapat mencapai hasil atau performa kerja secara efektif dan efisien dengan sumber daya yang digunakan.

Jadi, produktivitas kerja punya dua aspek. Aspek yang pertama adalah efektivitas yang mengacu pada pencapaian kerja maksimal (berhubungan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu). Aspek yang kedua adalah efektivitas yang berkenaan dengan upaya membandingkan input dengan realisasi penggunaannya.

Cara Meningkatkan Produktivitas Kerja

Di antara kita pasti ada yang sering banget merasa sedang tidak produktif dalam bekerja. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, seperti mood, gangguan dari luar, dan sebagainya.

Baca Juga: Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Kalau kamu merasakan itu, jangan khawatir. Produktivitas dapat ditingkatkan dengan cara-cara sederhana yang selama ini kita tidak sadari. Dikutip dari Entrepreneur, ada beberapa cara sederhana untuk kamu meningkatkan produktivitas kerja. 

1. Hindari multitasking 

Apakah kamu sering banget kerja multitasking? Mungkin kamu merasa sangat produktif bila melakukan multitasking, namun faktanya ternyata tidak sama sekali.

Mengerjakan beberapa pekerjaan bersamaan dalam satu waktu ternyata malah bisa membuat kamu merasa lebih lelah. Kamu akan menjadi kurang fokus dengan pekerjaan yang sedang kamu kerjakan dan akhirnya justru membuat produktivitas kamu menurun. Selain itu, multitasking juga bisa mendorongmu membuat banyak kesalahan dan pada akhirnya kreativitasmu pun jadi menurun.

Maka dari itu, lebih bagus fokus pada satu hal, selesaikan, dan baru kerjakan perkerjaan yang lain.

2. Jangan lupa bersihkan meja kerja

Supaya bisa tetap merasa nyaman dan tidak mudah terditraksi waktu bekerja, rapikan dan bersihkan meja yang biasa kamu gunakan. Rapikan dokumen atau kertas-kertas yang berantakan di atas meja, yang bisa membuat kamu merasa kurang nyaman dalam bekerja. 

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Atur dokumen di atas meja kerjamu sesuai dengan project yang sedang kamu kerjakan.

Supaya meja kerjamu tetap terlihat rapi, sediakan waktu kurang lebih 10 menit sebelum bekerja untuk menyortir dokumen apa saja yang dibutuhkan pada hari itu.

3. Membuat to-do-list penting buat meningkatkan produktivitas kerja

Meningkatkan produktivitas kerja bisa dilakukan dengan membuat semacam catatan kecil atau to-do-list. Usahakan untuk mengerjakannya satu per satu, supaya kamu bisa berkerja lebih fokus.

Tulis secara berurutan, pekerjaan mana yang harus segera di selesaikan di hari tersebut. Ingat, dalam membuat to-do-list, kamu harus tetap rasional untuk menentukan goals serta tugas yang akan diselesaikan.

To-do-list sangat membantu kamu supaya tetap berada di jalur saat menyelesaikan hal-hal yang mesti kamu kerjakan.

Hindari memaksakan diri untuk bisa menyelesaikan pekerjaan di hari yang sama. Hal ini akan membuat kamu bekerja di luar kemampuan.

Buatlah tugas menjadi poin-poin kecil, spesifik, dan simpel untuk membantu kamu mengukur sampai di mana batas kemampuanmu.

4. Menghilangkan gangguan

Mungkin kamu sering merasa tidak produktif karena ada beberapa gangguan yang memecahkan konsentrasimu. Kamu bisa melakukan beberapa cara mudah untuk meminimalisasi gangguan tersebut, seperti men-silent handphone dan menjadwal ulang meeting atau kegiatan yang dirasa kurang penting.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Kamu juga bisa menghindari rekan kerja yang malas-malasan, karena umumnya rasa malas dapat menular. Rekan kerja yang malas biasanya akan mengajakmu mengobrol hal-hal yang kurang penting, sehingga bisa menghilangkan konsentrasi dan fokus kamu dalam bekerja.

5. Seminggu sekali melakukan evaluasi

Untuk meningkatkan produktivitas kerja, kamu juga dapat melakukan evaluasi setiap minggu. Ini bertujuan untuk melihat kembali pekerjaan mana yang sudah berhasil diselesaikan sesuai target dan mana yang belum. Dengan melakukan evaluasi, diharapkan kamu bisa tahu penyebab kenapa kamu tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai target.

6. Tips terakhir untuk meningkatkan produktivitas kerja: rutin berolahraga

Stamina yang baik juga sangat membantu meningkatkan produktivitas kerja kamu. Oleh karena itu, kamu disarankan untuk rutin berolahraga. Enggak harus melakukan olahraga yang berat-berat, kamu dapat melakukan aktivitas olahraga ringan seperti jogging atau jalan kaki selama 30 menit.

Itulah beberapa informasi yang perlu kamu ketahui tentang produktivitas kerja dan cara meningkatkannya. Semoga kamu bisa terus produktif ya, saat bekerja.

Read More

Perempuan Pekerja, Simak Cara Ini untuk Keluar dari ‘Likeability Trap’

likeability trap – Keinginan untuk disukai orang lain cenderung muncul ketika berada di lingkungan baru. Ini mendorong seseorang untuk mempertanyakan kemampuan, penampilan, sikap, dan caranya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.

Di tempat kerja, keinginan tersebut menjadi tekanan bagi pekerja perempuan, yang disebut likeability trap. Celakanya, tekanan ini kerap kali membuat perempuan justru menjadi terhambat karena ada unsur bias gender di sini. Masyarakat menciptakan karakter perempuan sebagai sosok lemah lembut dan sopan, sedangkan laki-laki dikenal ambisius dan kompetitif.

Oleh sebab itu, dalam negosiasi upah atau meminta promosi jabatan, laki-laki dianggap tegas karena mampu mengekspresikan dirinya, dan percaya diri dalam menyuarakan hak yang pantas didapatkan. Namun, jika pekerja perempuan melakukannya dianggap menuntut dan ingin memerintah.

Jurnalis dan penulis asal Amerika Serikat (AS), Alicia Menendez, menjelaskan Goldilocks conundrum sebagai salah satu faktor perempuan terjebak dalam likeability trap. “Perempuan dianggap berkepribadian terlalu hangat atau dingin, dan keduanya tidak menguntungkan,” jelasnya kepada NPR.

Umumnya, perempuan yang berkepribadian terlalu hangat disukai rekan kerjanya, tetapi dinilai tidak cukup berkompeten dalam melakukan pekerjaan. Sementara, perempuan yang bersikap dingin, meskipun memiliki kemampuan memimpin, mereka dilihat terlalu kuat, tegas, menuntut banyak hal, dan pandai melobi. Karena itu, mereka diminta agar tidak terlalu dominan.

Artinya, di lingkungan kerja perempuan sulit menunjukkan citra diri yang sebenarnya, karena menyesuaikan tuntutan orang-orang di sekitar. Pun ketika perempuan memiliki jabatan tinggi, cenderung dikritik dan disalahkan karena perempuan dinilai tidak perlu mengejar kesuksesan karier.

Namun, bukan berarti perempuan harus terjerat dalam likeability trap yang menahan perkembangan kariernya. Berikut kami merangkum beberapa langkah yang dapat dilakukan.

Baca Juga: 6 Tantangan Perempuan Bekerja dari Dulu Sampai Sekarang

1. Pertahankan Integritas Diri

Studi berjudul “Negotiating gender roles: gender differences in assertive negotiating are mediated by women’s fear of backlash and attenuated when negotiating on behalf of others” (2010) oleh akademisi asal US, Emily Amanatullah dan Michael Morris menunjukkan penemuan terhadap perempuan penurut.

Berdasarkan penelitian tersebut, perempuan yang cenderung meminta maaf dan tunduk, hanya melemahkan diri mereka sendiri. Karena itu, integritas perlu dipertahankan melalui nilai-nilai dalam diri, misalnya dengan bertanggung jawab, berbicara dengan konsisten, menjaga pembicaraan, menghindari sikap defensif dan menyalahkan orang lain, serta mampu mempertahankan argumen.

“Integritas artinya jujur pada diri sendiri, dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan diri,” ujar Dr. Kavita Makan, seorang reumatologi asal Bara, Nepal, kepada The Daily Vox. Dengan membangun integritas, kepercayaan yang merupakan kunci kesuksesan dan kepemimpinan juga dapat dipertahankan.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

2. Bangun Koneksi dengan Rekan Kerja

Memupuk kepercayaan dan dukungan dari rekan kerja dapat dilakukan lewat membangun koneksi dengan mereka. Mengutip Forbes, kemanusiaan merupakan fondasi kuat sebagai dasar kepemimpinan dan relasi.

Dengan membuka diri, rekan kerja mengetahui karakter, keinginan, dan aspirasi lawan bicaranya. Pun sebaliknya, mendengarkan kisah mereka menunjukkan kepedulian dan keinginan untuk memahami, sekaligus melatih empati dan menguatkan kecerdasan emosional.

Terlepas dari penilaian mereka yang tidak bisa diubah, setidaknya dapat dipengaruhi melalui cara berpikir dan perilaku. “Nantinya, Anda akan menemukan rekan yang dapat dipercaya, mampu melihat kemampuan dan nilai dalam diri Anda, serta memberikan pandangannya tentang apakah kepribadian Anda benar seperti dikatakan rekan-rekan kerja tersebut,” kata Menendez.

Baca Juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

3. Kesalahan Bukan pada Anda

Adanya bias gender membuat perjalanan mencapai kesuksesan karier lebih sulit bagi perempuan. Tak dimungkiri, bias tersebut memengaruhi cara berpikir dan bersikap sebagian orang, sehingga timbul kesan tidak suka melihat perkembangan perempuan yang signifikan.

Menurut Menendez, perempuan dapat mendorong tanggapan yang konkret dan lebih subjektif. “Ketika disebut terlalu vokal misalnya, tanyakan dengan siapa kita dibandingkan, apakah ada rekan kerja lain yang bisa memberikan saran lebih baik, atau meminta diberikan seseorang yang patut dicontoh dalam bekerja,” ujarnya.

Dengan demikian, seseorang yang mengkritik secara subjektif akan mempertimbangkan dirinya bias atau tidak. Karena itu, berusahalah untuk tidak menginternalisasi hingga menyalahkan diri sendiri. Pun terdapat gambaran lebih besar yang perlu diperhatikan dan dilakukan, yakni pekerjaan dan tujuan yang ingin dicapai.

4. Tidak Perlu Merasa Kecil

Rekan kerja yang tidak menyukai mungkin akan bersikap mengintimidasi. Namun, tidak seharusnya mereka memengaruhi kinerja. Justru gunakan kekuatan yang dimiliki dalam memberikan kontribusi bermakna, untuk membuktikan adanya kapabilitas diri dalam meraih kesuksesan karier. 

Joan C. Williams, seorang penulis, feminis, dan profesor hukum, mengutarakan opininya dalam New York Times. Menurutnya, perempuan harus berperilaku asertif dan apa adanya, untuk melihat apakah menjadi dirinya sendiri memicu ketidaksukaan dari rekan kerja. Dengan demikian, ada kemungkinan perempuan akan didengar, dilihat sebagai sosok yang tegas dan berani.

Namun, apabila itu penyebab ketidaksukaan, perempuan dapat memutuskan langkah selanjutnya, apakah ia ingin menjadi dirinya sendiri atau “berlindung” di balik tuntutan rekan kerja. Pun Menendez menyebutkan, perempuan sebaiknya mempertimbangkan perkembangannya di tempat kerja tersebut. Apabila ingin bekerja secara maksimal, lebih baik mereka mengutamakan tempat kerja yang mendukung dirinya berperan sebagai diri sendiri.

Read More
resign untuk Mulai Bisnis

7 Pertimbangan Sebelum Memutuskan resign untuk Mulai Bisnis

Punya bisnis dan menjadi bos untuk diri sendiri memang menjadi cita-cita sebagian orang. Nah, sebelum akhirnya kamu memutuskan buat resign dari pekerjaan sekarang untuk mulai bisnis, kamu harus mempertimbangkan berbagai hal lebih dulu.

Yang pasti, kamu tidak boleh terburu-buru memutuskan berhenti dari pekerjaan sekarang. Kamu perlu memastikan bahwa melepas stabilitas finansialmu sebagai karyawan akan jadi keputusan tepat dalam hidupmu, bukan malah nantinya membuat kamu menyalahkan diri sendiri karena kurangnya persiapan.

Baca Juga: Martha Tilaar dan Wulan Tilaar Berbisnis dengan Empati, Selamatkan Pekerja

Kamu juga perlu ingat bahwa menjalankan usaha sendiri enggak berarti kamu bisa lebih santai dibanding menjadi karyawan di perusahaan. Tanggung jawab serta pekerjaan kamu bukan malah jadi berkurang, loh. 

Berikut ini beberapa pertimbangan yang sudah kami rangkum sebelum kamu memutuskan resign untuk mulai bisnis.

Pertimbangan resign untuk Mulai Bisnis

1. Apakah kamu benar-benar resign karena ingin mulai bisnis?

Dikutip dari Forbes, ini adalah pertimbangan pertama sebelum resign yang harus kamu tanya ke diri sendiri.

Apakah alasan kamu resign karena jenuh bekerja? Atau karena kamu menemukan masalah di kantor dan tidak bisa kamu selesaikan?

Sebaiknya, jangan membuat perpindahan karier jika alasanmu adalah punya masalah dengan orang lain. Karena dalam dunia bisnis, kamu pun nantinya harus berhubungan atau berhadapan dengan banyak orang.

2. Apakah kamu yakin dengan memulai bisnis akan membuatmu lebih bahagia?

Sebelum memberanikan diri menjadi wirausahawan, perlu dipastikan lagi bahwa memulai usaha sendiri merupakan suatu hal yang benar-benar kamu inginkan. Ya, banyak orang yang ternyata tidak suka dengan pekerjaan di kantornya sekarang. Namun, itu bukan alasan yang tepat untuk akhirnya langsung banting setir ke dunia wirausaha.

Pastikan bahwa dengan menjadi wirausahawan, kamu akan dapat menemukan kebahagiaan dan aktualisasi diri. Jika kamu masih merasa ragu, mungkin kamu perlu waktu lebih banyak untuk melihat ke dalam dirimu sendiri dan cari tahu pekerjaan apa yang benar-benar membuat kamu enjoy mengerjakannya.

Memulai usaha sendiri tidaklah gampang. Ketika kamu akhirnya sangat yakin bahwa memang ini yang kamu mau, saat nantinya berada di masa sulit pun, kamu akan bisa bertahan.

3. Apakah kamu siap untuk bekerja tak kenal waktu?

Mulai berbisnis setelah resign memang terkesan ideal. Namun, apakah kamu sudah siap bekerja lebih keras dan tidak kenal waktu? Hal ini harus kamu pikirkan sebelum memutuskan buat resign dan mulai mengembangkan bisnis.

Baca Juga: Anne Patricia Sutanto Pebisnis Tangguh yang Bertahan di Tengah Pandemi

Perlu digarisbawahi, ketika berbisnis, kamu akan bekerja tidak ditentukan oleh waktu kapan mulai dan selesai. Pasalnya, kamu perlu bekerja lebih keras tanpa ada jaminan pemasukan yang stabil.

Selain itu, untuk bisa menjadi entrepreneur yang berhasil, kamu harus punya dorongan untuk terus berkembang, baik terkait diri sendiri ataupun bisnis yang sedang digeluti.

4. Bagaimana kamu bisa pede bahwa sekarang merupakan waktu paling tepat memulai bisnis?

Memimpin usahamu sendiri memang harus punya keberanian. Namun, enggak cuma asal berani saja, kamu juga harus tahu waktu yang tepat dan paling kondusif untuk meninggalkan status karyawanmu dan beranjak menjadi pengusaha penuh waktu. Artinya, jangan pernah merasa bersalah menunda rencana resign untuk memulai usaha jika kamu yakin semua itu untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Waktu yang tepat enggak cuma masalah modal yang cukup atau kematangan rencana bisnis, tapi juga kesiapanmu mengemban semua tanggung jawab tanpa adanya pendapatan yang selama ini terjadwal masuk ke kantongmu. Jika kamu sudah berkeluarga atau kamu jadi seorang tulang punggung keluarga, pilihan meninggalkan jaminan finansial yang diberikan kantormu sekarang mungkin perlu dipertimbangkan lagi.

Bahkan sebelum memulai bisnismu pun, kamu harus sudah bisa membuat langkah secara realistis dan terbuka.

5. Apakah kamu sudah punya mindset yang tepat untuk mulai bisnis?

Menurut Jeffrey Shaw, penulis buku The Self-Employed Life, tantangan paling berat yang perlu dihadapi oleh self-employed adalah perubahan mindset.

Maksudnya, beralih dari lingkungan kerja yang terstruktur, di mana sudah ada jadwal setiap harinya, ke rutinitas mengerjakan sesuatu dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Baca Juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

Selain itu, kamu pun dituntut untuk terus bisa berkembang supaya bisnis yang sedang dijalankan tetap bisa berjalan dan menghasilkan uang.

Karena itu, memastikan bahwa kamu punya mindset yang tepat dan mampu mengatur waktu dengan baik merupakan sebuah keharusan sebelum memutuskan resign untuk memulai bisnis.

6. Apakah kamu senang menjual sesuatu dan berbicara dengan orang lain?

Hal ini memang terdengar klise, namun tetap harus kamu pikirkan untuk kamu sebelum resign dan mulai melakukan bisnis.

Ketika berbisnis, kamu harus berhasil menjual sebuah produk atau jasa ke orang lain agar menghasilkan uang. Hal ini tentu saja membutuhkan minat dan kemampuan tersendiri yang perlu diasah. Kalau kamu bisa membuat produk yang unik, logo menarik, atau social media presence yang mantap, tetap saja percuma bila tidak ada orang yang mau membeli produk yang kamu tawarkan.

Baca Juga: Suzy Hutomo dan Bisnis Ramah Lingkungan, Ramah Gender

Kamu juga perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kamu termasuk orang yang suka berbicara dengan orang lain? Biasanya, pada awal membuat usaha sendiri, kita belum mampu untuk memperkerjakan orang lain. Saat ada banyak konsumen yang bertanya di WhatsApp misalnya, kamu harus dengan sabar menjawab pertanyaannya satu per satu.

7. Apakah kamu sudah mempersiapkan business plan untuk mulai bisnis?

Penting buat kamu untuk sudah mempersiapkan business plan sebelum akhirnya resign dan menjadi pengusaha. Sebelum memulai bisnis, tentunya kamu harus membuat beberapa rencana, misalnya seperti apa target konsumen kamu nanti, produk kamu itu punya kelebihan apa dibanding kompetitor, hingga berapa target penjualan yang harus dicapai tiap bulannya, supaya bisnismu bisa terus berjalan.

Nah, itu adalah beberapa pertimbangan yang perlu kamu pikirkan sebelum memutuskan resign untuk mulai bisnis. Semoga setelah membaca artikel ini, keputusan kamu semakin mantap dan jelas, ya.

Read More