Perempuan yang Tetap Aktif Bekerja Walau Menopause

Kami Perempuan Menopause, Kami Tetap Aktif Bekerja

Keputusan aktris Angelina Jolie mengangkat rahimnya di umur 42 tahun yang membuatnya mengalami menopause dini, patut kita apresiasi. Jolie membuka ruang diskusi publik soal menopause sebagai bagian dari pengalaman “normal” perempuan. 

Tidak hanya Angelina Jolie, Whoopi Goldberg aktris sekaligus komedian di AS pada 2006 berbicara secara terbuka tentang pengalaman menopause-nya. Buat Goldberg, momen menopause justru jadi tonggak baru hidupnya sebagai perempuan. “It’s wonderful and liberating. All of a sudden I don’t mind saying to people, ‘You know what? Get out of my life. You’re not right for me.”

Kehadiran figur publik macam Jolie dan Goldberg dalam hal ini pun menjadi sangat penting untuk mematahkan stigma perempuan menopause. Sebagai informasi, masyarakat kerap melabeli perempuan menopause sebagai pihak tak berdaya, tak sanggup bekerja secara produktif, orang tua.

Dalam penelitian Silence, Stigma, and Shame A Postmodern Analysis of Distress During Menopause Stigma (2010), Marcianna Nosek, Holly Powell Kennedy, Maria Gudmundsdottir memaparkan stigma seputar menopause yang lekat sekali dengan histeria, ketidakmampuan perempuan untuk menjalani rutinitasnya sehari-hari, dan rasa malu karena penuaan. 

Perempuan dan Gejala Perimenopause

Setiap perempuan yang mengalami menopause akan melewati sebuah periode transisi, disebut dengan perimenopause. Dilansir dari Hallo Sehat, sebagian perempuan yang berusia sekitar 40 tahun akan merasakan gejala dari masa transisi ini, tetapi tidak sedikit pula perempuan yang mengalami hal tersebut bahkan di usia 30-an.

Gejala-gejala yang lumrah terjadi pada perempuan dalam masa transisi ini antara lain, hot flashes (rasa panas pada wajah dan tubuh), gangguan tidur, gangguan mood, menurunnya libido, hingga vagina menjadi lebih kering. Perlu diketahui, kemungkinan setiap perempuan akan mengalaminya pada usia yang berbeda, dengan periode dan gejala yang tentunya berbeda satu dengan lainnya. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Pengalaman unik perimenopause misalnya dapat dilihat dari tiga cerita perempuan bernama Joesy (53), Fitri (54), dan “Netty” (53). Dalam wawancara bersama Magdalene (2/11), Joesy misalnya mengungkapkan, selama perimenopause, ia mengalami gejala-gejala seperti hot flashes dan gangguan tidur. Rasa panas yang menjalar ke seluruh bagian tubuhnya ini membuatnya cukup risi sampai-sampai ia harus berkali-kali mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

“Gerah, sih. Terasa aneh gitu ya, mungkin suhu tubuh kali ya. Rasanya gerah, ganti kaos itu satu malam bisa 5 sampai 6 kali saking gerahnya.”

Joesy menambahkan, selama mengalami perimenopause, ia juga sempat pergi ke dokter. Hal ini karena selama perimenopause, ia mengalami gangguan tidur hebat. Ia bahkan baru bisa tidur setelah Subuh. Segala macam cara ia lakukan agar ia bisa tidur lelap, namun usahanya kerap sia-sia. Gangguan tidurnya ini tentunya sangat memengaruhi aktivitasnya sehari-hari apalagi ia mengalaminya lumayan lama, sekitar 1 bulan.

Senada dengan Joesy, Fitri juga sempat mengalami hot flashes selama perimenopause. Namun, hot flashes yang dialaminya tidak separah Joesy yang sampai harus berganti pakaian berkali-kali. Ia pun tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Gejala yang paling Fitri rasakan selama perimenopause lebih mengarah kepada gangguan mood.

“Secara emosi jadi lebih sensitif, moody. Kok tiba-tiba sedih ya, tapi kadang-kadang pingin marah-marah. Cuma sebentar, nanti ilang lagi. Kadang tanpa sebab gitu. Kok sedih, ya? Kenapa ya? Terus jadi gampang banget tersinggung. Mungkin orang lain bisa sampai depresi tapi saya enggak, sih,” tuturnya kepada Magdalene (2/11).

Berbeda dengan Fitri maupun Joesy yang mengalami gejala fisik, Netty tidak mengalami gejala fisik apa-apa. Selama perimenopause, Netty lebih mengalami gangguan emosi sama seperti Fitri.

“Fisik aku enggak ngerasain sakit, lemes, enggak juga. Susah tidur juga enggak. Namun, aku ngalamin tiba-tiba sedih, pingin nangis, ngeliat apa pingin nangis. Di kereta liat hujan pingin nangis, kayanya sedih banget, aku ngalamin itu. Sampai mahasiswaku menyuruhku dengar lagu aja kalau sedang di kereta biar enggak melamun terus sedih gitu,” curhatnya kepada Magdalene (3/11).

Kendati ketiganya mengalami gejala perimenopause yang tidak mengenakkan dan sekarang telah mengalami fase menopause, ketiganya sepakat ini semua bukanlah sesuatu yang negatif dan harus distigmatisasi. Pasalnya, pengalaman ketubuhan unik perempuan ini merupakan sebuah fase yang harus dihadapi setiap perempuan. 

Joesy misalnya mengatakan, menopause adalah proses alami yang memang harus dilalui setiap perempuan layaknya menstruasi. Pada kenyataannya memang hal ini tidak bisa kita kendalikan. Namun, menurut Joesy selama kita dapat berpikir positif mengenai proses alami tubuh ini dan mencari informasi atau pengetahuan yang tepat soal menopause, kita tidak perlu khawatir.

Fitri menambahkan, menopause sendiri membawanya pada sebuah kebahagiaan tidak ternilai harganya secara spiritualitas dan mental. 

“Saya justru pas menopause tuh seneng karena saya bisa puasa pol, enggak usah bayar-bayar utang puasa, bisa salat terus. Setelah menopause, saya juga justru merasa lebih mencintai diri saya sendiri. Saya misalnya jadi lebih rajin merawat diri sendiri, lebih memperhatikan diri sendiri fisik atau mental, jadi punya banyak waktu untuk diri sendiri.”

Perempuan Lawan Stigma Menopause dengan Aktif Bekerja

Survei 2019 yang dilakukan oleh Bupa, perusahaan asuransi kesehatan, memperkirakan hampir 900.000 perempuan di Inggris telah meninggalkan pekerjaan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena gejala yang terkait dengan menopause. Hal ini pun tentunya berdampak langsung pada produktivitas perempuan dan status mereka sendiri di tempat kerja. Belum lagi ditambah minimnya perhatian dan pengertian dari lingkungan sekitar utamanya laki-laki atas pengalaman ketubuhan unik perempuan ini.

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Namun, di tengah segala stigma dan kendala yang dialami oleh perempuan yang mengalami menopause, Joesy, Fitri, dan Netty membuktikan menopause bukan sebuah halangan atau alasan untuk tetap aktif bekerja. Joesy misalnya adalah seorang penulis profesional. Selama menopause, ia lebih banyak menulis buku. Buku yang ia tulis adalah tulisan yang berisi ilmu dan pengalaman dari karyawan perusahaan atau BUMN yang hendak pensiun. Perusahaan atau BUMN terkait nantinya akan mengundangnya datang dan membuatkan kontrak kerja untuknya. Dari sinilah Joesy nantinya menyusun sebuah buku yang berisi arsip ilmu dan pengetahuan karyawan terkait yang akan digunakan untuk generasi mendatang.

Sama halnya dengan Joesy, Fitri yang merupakan seorang menopause kerap aktif bekerja. Sebagai pendiri, pemilik, dan guru dari sebuah tempat les bimbel di daerah Depok, jadwal Fitri bisa dibilang cukup padat. Ia bisa mengajar dari pagi hari, istirahat di siang hari, dan lanjut mengajar dari jam 1 atau jam 2 hingga jam setengah 6 sore. Apalagi semenjak pandemi, ia bisa saja dihubungi oleh muridnya di luar jam les. Tidak hanya mengajar, di tengah kesibukannya ia Fitri pun masih semangat berjualan. Jika ia sedang tidak ada jadwal mengajar, ia biasanya sibuk di dapur, memasak makanan dari pesanan kue, zuppa soup, atau macaroni schotel yang ia terima.

Netty pun sama. Menurutnya menopause bukanlah halangan berarti baginya untuk tetap aktif bekerja. Sebagai seorang dosen senior yang sudah mengajar selama 30 tahun di universitas swasta, jadwal mengajar Netty bisa dibilang luar biasa padat. Ia mengajar mahasiswa S1 hingga S2 dan masih suka diberikan tugas oleh profesor oleh kampusnya. Walau sudah disibukkan dengan urusan mengajar dan kampus, sama halnya dengan Fitri yang “tidak bisa diam”, Netty masih memberikan pelatihan kepada orang lain yang menginginkan jasa pengajarannya seputar ilmu komputer.  

Terkait stigma tak produktif ini, ketiganya angkat bicara.

“Produktivitas itu kan enggak tergantung dari kegiatan fisik juga tapi tergantung dari kemauan kita melakukan sesuatu. Menopause itu enggak hanya berpengaruh pada fisik tapi mental juga, jadi tergantung kita manage-nya gimana. Kalau capek atau merasa sedang enggak enak ya istirahat aja dulu, enggak apa-apa. Nanti baru balik lagi,” tutur Fitri.

Baca Juga: Plus-Minus Melakukan ‘Multitasking’ dalam Bekerja dan Belajar

Senada dengan Fitri, Joesy bilang, jika memang kita merasa dalam periode tersebut tidak bisa produktif, sebenarnya tak masalah. Jangan menyalahkan diri kita sendiri atas sebuah proses alami yang dialami oleh kita. Menurut Joesy yang terpenting adalah ketika periode itu telah usai, kita harus bisa bangkit lagi. Jangan menjadikan menopause dan gejala-gejala perimenopause sebagai alasan bagi kita untuk tidak menjadi produktif. Semakin produktif, umumnya kesehatan mental makin terjaga.

Pada akhirnya, menopause dan perimenopause adalah sebuah siklus yang memang harus dilalui oleh setiap perempuan. Baik Joesy, Fitri, atau Netty setuju, pengetahuan dan informasi akurat soal pengalaman ketubuhan ini penting. Tidak hanya bagi perempuan untuk menekan rasa khawatir berlebihan, tapi juga agar mereka lebih mudah menjalani siklus ini dengan baik. 

Read More
rasa takut pada atasan

Sering Takut Sama Atasan Saat Pertama Kerja? Ini Tips untuk Atasi Masalahmu

Saat pertama kali kerja sebagai karyawan di suatu perusahaan, sangat lumrah jika kamu punya rasa takut pada atasan. Namun, rasa takut ini tidak boleh terus menerus dibiarkan karena bisa-bisa hal tersebut menurunkan motivasi kerja kamu. Kamu dapat merasa kurang nyaman atau setiap hari merasa terbebani dengan pekerjaan bila takut kepada atasan.

Lalu, bagaimana cara menghadapi rasa takut pada atasan? Berikut ini beberapa tips untuk menghadapi rasa takutmu yang telah kami rangkum.

Kenali Pemicu Rasa Takut pada Atasan

Pertama-tama, kamu perlu mengenali pemicu rasa takut pada atasan yang kamu alami. Dikutip dari Forbes, perasaan ini biasa dialami oleh para fresh graduate atau seseorang yang baru memasuki dunia kerja. Rasa takut bisa muncul karena kita berpikiran bahwa kinerja kita tidak akan cukup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang di lingkungan kerja kita.

Baca Juga: Sulitnya Jadi ‘Gig Worker’ Perempuan Selama Pandemi

Selain itu, memang beberapa gaya kepemimpinan dari atasan bisa memberikan rasa takut kepada pegawainya. Hal ini dapat disebabkan karena sikap, cara berkomunikasi, sampai respons atasan terhadap masalah yang muncul dirasa kurang ramah.

Ada juga orang yang punya rasa takut kepada atasan karena perasaan inferior. Mereka menganggap dirinya tak bisa mengungkapkan pendapat atau bersuara karena berpikir bahwa atasan pasti tahu yang lebih baik seiring pengalamannya. Padahal, ide bagus bisa datang dari siapa saja dan idealnya, siapa pun boleh bersuara di tempat kerja. 

Ingat, Urusan Kantor Bukan Hanya Tentang Kamu

Dikutip dari The Muse, seorang pemimpin atau atasan umumnya lebih memperhatikan hal-hal berskala besar, karena hal tersebut lebih menentukan strategi perusahaan ke depannya.

Karena itu, untuk mengatasi rasa takut pada atasan, kamu perlu mencoba berpikir bahwa tidak semua urusan dan masalah yang timbul di kantor disebabkan olehmu.Alih-alih merasa setiap ada masalah kamu berkontribusi di dalamnya, dan akhirnya kamu jadi takut “kena semprot” atasan, kamu perlu mencoba melihat sesuatu lebih objektif lagi. Bisa saja masalah datang karena ada kerja tim yang tidak beres, hal tidak terduga yang menimpa perusahaan, atau lainnya. 

Baca Juga: Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

Pahami Bahwa Kamu Punya Nilai, dengan Begini akan Menghilangkan Rasa Takut Kamu ke Atasan

Rasa takut umumnya terjadi karena kamu merasa tidak punya kemampuan atau pengetahuan yang cukup untuk bekerja dengan atasan. Umumnya, perasaan ini timbul karena kamu merasa minder kepada rekan kerja hingga atasan.

Namun, harus diingat, kamu sudah bisa lolos melewati tahap wawancara dan akhirnya bisa diterima kerja di perusahaan sekarang ini. Itu berarti, perusahaan melihat diri kamu punya kemampuan serta nilai yang dibutuhkan perusahaan tersebut.

Baca Juga: 6 Alasan Kenapa Pemimpin Perempuan Seperti Jacqueline Carlyle Sungguh Keren

Dengan menyadari hal ini, kamu dapat menjadi lebih tenang dan mengurangi rasa minder dengan rekan kerja atau atasan ketika baru bekerja di sana. 

Beranikan Dirimu untuk Berkomunikasi dengan Atasan

Setelah memperhatikan poin-poin di atas, kamu perlu mulai memberanikan diri untuk berkomunikasi dengan atasan. Umumnya, rasa takut muncul karena kamu belum pernah coba berkomunikasi dengan atasan dan langsung membuat asumsi.

Kamu cuma melihat atasanmu dari tampilan luar saja. Padahal, bisa saja sosok atasan yang sebenarnya jauh berbeda dari yang kamu lihat dari luar. Kamu boleh, loh, mulai menginisasi obrolan ringan di luar pekerjaan untuk mencairkan suasana.

Dengan memulai komunikasi, kamu akan punya pandangan lain tentang atasanmu, dan tidak menutup kemungkinan kamu semakin mudah bekerja bersamanya.

Baca Juga: 10 Tips Buat Kamu yang Baru Lulus dan Mau Lamar Kerja

Usahakan untuk Memberikan Hasil yang Terbaik

Cara selanjutnya untuk menghadapi rasa takut pada atasan adalah dengan berusaha memberikan hasil yang terbaik.

Kamu harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk tim serta perusahaan. Kamu juga butuh selalu fokus pada proses dan tujuan yang mau kamu capai bersama perusahaan.

Memiliki kinerja yang bagus akan jadi nilai plus di mata perusahaan kamu bekerja. Kemungkinan besar, atasanmu jadi lebih memerhatikan perkembanganmu dan bahkan membantu dalam proses pengembangan kariermu ke depannya nanti. Jika relasi baik bisa kamu jalin berkat kinerjamu yang baik itu, perlahan-lahan rasa takut pada atasan yang kamu rasakan akan luntur, kok.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Nah, itulah beberapa tips menghadapi rasa takut kepada atasan. Dengan mengetahui ini, semoga kamu bisa lebih nyaman dan produktif waktu bekerja.

Read More

Sekadar Mengingatkan, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

“Kalau lu bukan seorang jurnalis, ibu dari anak lu dan istri dari suami lu, elu siapa?”

Pertanyaan ini dilontarkan kawan saat kami makan bersama pada suatu siang. Bagi saya, ini bukan pertanyaan yang bisa dijawab dalam hitungan detik atau menit, dan mungkin hal ini juga dirasakan sama oleh sebagian orang di luar sana. 

Sejak kecil, kita sering kali “diplotkan” menjalani kehidupan dengan gol-gol tertentu pada setiap periode: Lulus sekolah, kuliah, bekerja, menikah, punya anak, meningkatkan jenjang karier, punya rumah dan harta benda lainnya, lalu pensiun dengan adem ayem setelah mengantongi dana cukup untuk hari tua. 

Karena masyarakat serempak menegakkan life goals macam ini, siapa pun yang keluar dari standar itu berpotensi jadi rendah diri karena ketinggalan dari teman-teman sebayanya atau dihakimi, baik oleh keluarga sendiri maupun orang sekitar lainnya. 

Salah satu yang cukup mengusik dan bikin orang galau adalah pekerjaan. Tak dimungkiri, pekerjaan di perusahaan dengan jabatan dan gaji tertentu, seperti manajer di perusahaan minyak, pegawai negeri swasta, atau pengacara ternama jadi idaman banyak orang. Ini karena masyarakat memandang pekerjaan-pekerjaan macam itu bergengsi dan bisa menjamin hidup seseorang dalam jangka panjang. 

Kita suka akan kepastian dan cenderung menghindari perubahan. Pasalnya, kita akan diminta beradaptasi lagi dan kondisi itu biasanya tidak mengenakkan. Belum lagi kita jadi galau dan minder saat berhadapan dengan kenalan yang nodong dengan pertanyaan, “Kamu kerja di mana sekarang?”. Berapa banyak yang dengan pede menjawab, “Kerja serabutan” atau “Nganggur nih”? Bahkan mungkin sebagian perempuan yang sudah meraih gelar sarjana dan di atasnya masih malu mengaku, “Jadi ibu rumah tangga ‘aja’.” 

Baca juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bagaimana Anggapan “Kita adalah Pekerjaan Kita” Tumbuh?

Dalam jurnalnya yang berjudul “Work, Identity and Self: How We Are Formed by the Work We Do” (1998), Al Gini mengutip sejumlah pandangan orang tentang identitas didefinisikan oleh pekerjaan, yang kemudian diyakini dan dilanggengkan banyak orang hingga kini. Contohnya, Etika Kerja Protestan yang mengutamakan kerja dalam pembentukan keberhargaan hidup seseorang. Paus Yohanes Paulus II dalam On Human Work (1981) juga menyatakan, “Pekerjaan adalah hal baik bagi manusia. Baik untuk kemanusiaannya karena lewat pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam, mengadaptasinya untuk memenuhi kebutuhan dia, tetapi ia juga meraih pemenuhan diri dan merasa ‘jadi lebih manusia.’”

Sementara, novelis Elia Kazan mengatakan, karier dan identitas kita tidak terpisahkan, justru keduanya sebanding. Ia memandang, orang-orang adalah apa yang mereka kerjakan dan hal itu memengaruhi setiap aspek dirinya, apa pun keadaannya.

Di samping itu, sebagian orang benar-benar menemukan pekerjaan yang menjadi ladang aktualisasi dirinya. Mereka menemukan makna dari pekerjaan yang dijalaninya dan kondisi ini menciptakan rasa puas tersendiri yang sulit untuk dilepaskan setelah bertahun-tahun mengalaminya. Ditambah lagi, dalam perjalanannya mereka dapat memperoleh pengakuan masyarakat terkait status dan kesejahteraannya. Tidak heran bila orang begitu berusaha mempertahankan identitas dirinya yang terkait dengan pekerjaan. 

Dalam The New York Times, penulis buku Ask a Manager (2018), Alison Green berujar, sebagian orang punya cita-cita tertentu dan begitu meraihnya, mereka menganggap kariernya itu satu-satunya dorongan untuk hidup maju. 

“Ketika kamu menyukai pekerjaanmu, sangat mudah bagimu untuk melekatkan identitasmu pada pekerjaan. Gagasan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat mahir dalam pekerjaanmu adalah hal yang sangat kuat,” kata Green.

Baca juga: Sudahkah Kamu Temukan Makna dalam Pekerjaan?

Apa Jadinya Kalau Identitas Didefinisikan oleh Pekerjaan Saja?

Sekilas tidak ada yang salah dengan melekatkan erat identitas diri dengan pekerjaan kita. Namun, profesor Psikologi di Wilfrid Laurier University, Ontario, Anne Wilson mengatakan dalam BBC, mereka yang membiarkan pekerjaannya “menelan” identitasnya dapat mengalami kondisi psikologis yang dinamakan “enmeshment”. Istilah ini merujuk pada situasi ketika batasan antara kerja dan kehidupan personal menjadi buram.

Enmeshment bisa terlihat misalnya saat seseorang terus memikirkan soal kerja di situasi-situasi luar kantor atau selalu membicarakan masalah pekerjaan pada berbagai kesempatan. Wilson menyatakan, hal ini membuat kita mengabaikan ruang untuk hobi dan kesenangan sendiri. Akibatnya, kita menjadi susah terkoneksi dengan orang-orang yang ada di luar lingkungan kerja.  

Saat kamu mengalami enmeshment dan pekerjaan sangat berperan mendefinisikan dirimu, nilai-nilai yang kamu pegang juga bisa terdampak. 

“Kalau kamu mengikat keberhargaan dirimu dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang kamu alami akan langsung mempengaruhi keberhargaan dirimu,” kata Wilson.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau jabatannya dan sudah kadung membiarkan identitas didefinisikan oleh pekerjaan dia, ada potensi ia mengalami depresi karena merasa kebermaknaan hidupnya hilang. Dalam The Economic Times India dikatakan, jika pekerjaanmu bergaji tinggi, kamu mungkin jadi punya standar hidup tinggi. Bila pekerjaanmu memberi kuasa besar, kamu bisa kecanduan status sosial tinggi. Ketika kamu kehilangan pekerjaanmu, kamu bisa saja kesulitan atau bahkan tak mampu menerima keadaaan hilangnya status lamamu itu.

Dalam wawancara dengan Magdalene tentang lansia aktif beberapa waktu lalu, psikolog dan pegiat isu lansia Danny Yatim menyoroti sebagian orang yang sudah pensiun dan mengalami depresi. Ia mengatakan, terlalu lama attach dengan suatu pekerjaan membuat seseorang tidak punya kehidupan atau skill di luar pekerjaan utama. 

“Ada teman [saya] yang sudah pensiun lalu bergerak di bidang bisnis kecil-kecilan. Ada yang gagal karena enggak punya skill lantaran terlalu lama bekerja kantoran. Pada teman-teman yang dulu kehidupannya cuma satu aspek saja [pekerjaan utama], sewaktu ini hilang, dia enggak punya personal resources untuk melakukan hal berbeda,” kata Danny. 

Mengubah Persepsi

Gimana kalau kita mandang pekerjaan kita sebagai aksesoris selagi kita ngejalanin hidup?”

Sebagian dari kita mungkin tidak setuju dengan perkataan kawan saya ini. Namun, saya bisa menangkap maksudnya: Aspek hidup kita itu jauh lebih luas dari kehidupan kerja kita saja. Ada orang-orang di luar sana yang tetap bekerja di kantornya sekarang hanya untuk mencari nafkah, selebihnya ia mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar kantor. Entah itu bermusik, menjadi relawan, menjelajahi berbagai kota atau negara, atau lainnya. Itu semua hal-hal ideal, yang sesuai passion, yang hanya bisa dijalankan kalau kebutuhan perut terpenuhi dulu.

Memang ada yang beranggapan, lebih baik bekerja sesuai dengan passion saja supaya tak jadi “kutu loncat”. Namun, realitasnya tentu tidak semudah ujaran itu. Berapa banyak lapangan kerja sesuai passion kita yang ditawarkan, dan apakah pekerjaan sesuai passion itu bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang tua serta anak-anak bagi sandwich generation?

Karenanya, ujaran kawan saya itu bisa saya pahami dan mungkin dapat jadi alternatif cara berpikir kita. Barangkali kita bekerja sebagai admin media sosial, customer service, atau bahkan direktur di suatu bank. Namun, itu semua tidak serta merta mendefinisikan diri kita karena pekerjaan bisa jadi hanya sarana untuk bertahan hidup, bukan aktualisasi diri yang memang benar-benar dikejar.

Pada 2018, kontributor Magdalene, Elvita Natassa menceritakan pandangannya tentang karier setelah sempat mengecap empat pekerjaan di industri-industri berbeda, sebagian dengan gaji lumayan dan tempat kerja yang nyaman. Terakhir, ia membuka usaha sendiri dengan mengajar pilates

Dari pengalamannya tersebut, ia sadar nilai yang dipegangnya selama hidup terus berubah. Namun, identitas dan keberhargaan dirinya tidak didefinisikan dari pekerjaan yang kedengarannya bergengsi. 

“Hal ini didefinisikan dari nilai, kebenaran, kontribusi saya, dan apa yang terjadi di luar jam kerja nine-to-five. Saya tahu karier saya tidak mendefinisikan identitas saya, karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan adalah dari diri saya sendiri,” tulisnya.

Selain itu, yang juga penting untuk direfleksikan supaya kita bisa menggeser persepsi bahwa kita adalah pekerjaan yang kita punya saja: Apakah kita benar-benar nyaman dan bahagia dengan profesi atau jabatan yang kita pegang sekarang? Jika tidak, bukankah pekerjaan yang kita lakukan sekarang hanya jadi topeng belaka hanya supaya kita diterima orang lain? Sebenarnya, memakai topeng sepanjang waktu itu meletihkan, disadari atau tidak. 

Jika pada suatu titik kita merasa identitas didefinisikan oleh pekerjaan kita saja, tidak ada salahnya mengevaluasi lagi pandangan kita itu. Pun tidak keliru bila suatu hari kita mau identitas kita itu berubah, selama kita merasa bahagia dengan pilihan kita. Yang terpenting, apa pun yang kita pilih dan kita anggap sebagai identitas sekarang ini, kita perlu menyadari bahwa hal itu sifatnya cair, tidak harus diterima dan diterapkan selamanya secara mutlak. 

Read More
perempuan takut sukses

Kenapa Ada Perempuan Takut Sukses, Bagaimana Mengatasinya?

Sejak kecil, “Fina” senang sekali menulis, mulai dari puisi, cerpen, hingga novel. Bahkan sejak remaja, ia kerap mengikuti berbagai kursus penulisan untuk mengasah kemampuannya. Karya-karyanya kerap diapresiasi teman-teman Fina, bahkan sebagian di antaranya membuat Fina jadi pemenang berbagai lomba. 

Namun, apresiasi serupa tak didapatkannya dari keluarga, yang menganggap kegiatan menulis tak begitu penting dan tak menjamin kehidupan seseorang di kemudian hari. Kendati sudah terbukti karyanya cukup baik hingga memenangkan lomba, Fina berulang kali berpikir hal tersebut tidak lebih dari suatu keberuntungan.

Beranjak dewasa, Fina mengambil profesi sebagai jurnalis. Memang, ini sedikit bergeser dari minatnya terhadap dunia fiksi sejak dulu, tetapi Fina tetap menikmati perannya tersebut karena masih sejalan dengan kegemarannya menulis. Bos Fina melihat perkembangan perempuan tersebut dari waktu ke waktu dan kemauan Fina yang kuat untuk terus belajar. Karenanya, ia menawarkan Fina untuk menempati jabatan lebih tinggi di perusahaan. 

Alih-alih gembira dan menerima kesempatan yang ditawarkan, Fina merasa cemas dan ragu saat mendapat promosi kerja. Ia masih merasa tidak layak memimpin teman-temannya di kantor dan membayangkan ia tidak sanggup mengemban tanggung jawab lebih besar saat itu. Pasalnya, saat mendapat promosi, Fina sudah berkeluarga dan anaknya masih balita.

Sebagian perempuan takut sukses sebagaimana Fina. Kita sering mendengar banyak orang takut gagal, sehingga mungkin berpikir ketakutan akan kesuksesan bukanlah hal nyata. Namun, sejumlah studi telah menemukan fenomena semacam ini dan menyelisik berbagai penyebab di baliknya.

Baca juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan

Alasan Perempuan Takut Sukses

Konsep ketakutan akan kesuksesan (fear of success/FOS) pertama kali diperkenalkan oleh psikolog AS Matina Horner pada 1968. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan perbedaan perilaku terhadap pencapaian yang dipengaruhi perbedaan jenis kelamin. 

Dilansir Encyclopedia.com, pada 1964, Horner membuat penelitian terhadap 90 mahasiswi dan 88 mahasiswa. Ia meminta mereka untuk menyelesaikan cerita tentang karakter “John” dan “Anne” yang keduanya merupakan mahasiswa kedokteran. Sebesar 90 persen mahasiswa menyelesaikan cerita dengan keberhasilan John yang diiringi dengan kebahagiaan dan kesejahteraan.

Sementara, 65 persen mahasiswi melihat masa depan Anne lebih negatif. Dari komentar para mahasiswi, Horner menyimpulkan, pada diri perempuan terdapat kecemasan tinggi bila mereka meraih kesuksesan karena mereka tidak bisa menjalani ekspektasi masyarakat. Perempuan yang sangat pintar, independen, atau ambisius dianggap tidak feminin, sehingga kesuksesan setara dengan laki-laki pun mereka hindari.

Di dalam negeri juga ada sejumlah riset tentang sebagian perempuan takut sukses, salah satunya yang diterbitkan dalam jurnal Palastren pada Juli 2019. Riset bertajuk “Fear of Success Perempuan Bekerja dalam Perspektif Budaya Jawa” ini menunjukkan, faktor budaya menyumbang FOS pada diri perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan dianggap sebagai kanca wingking bagi suami. Peran perempuan yang didefinisikan dalam budaya seperti ini membuat perempuan berhadapan dengan konflik antara mengejar pencapaian dan penyesuaian diri atas nilai-nilai budayanya agar tetap bisa diterima masyarakat.

Dalam riset tersebut dikatakan, alih-alih ketakutan akan pencapaian pada area yang lazimnya dipandang sebagai milik laki-laki (ranah publik), FOS lebih merupakan ketakutan pada konsekuensi negatif yang muncul akibat kesuksesan, dalam hal ini konsekuensi tersebut berupa penolakan sosial terhadap perempuan yang tak memenuhi peran sebagai kanca wingking.

Pada sebagian perempuan takut sukses, ditemukan pesimisme terhadap hal baik yang diterimanya. Bukannya memikirkan berbagai kesempatan dan keuntungan dari mencapai kesuksesan, mereka justru lebih berfokus pada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi bila mereka mengambil kesempatan untuk sukses tersebut, seperti dalam contoh kasus Fina. Ia takut ia tidak bisa menjalankan peran sebagai ibu dan istri yang baik seiring bertambahnya tugas dari kantor, dan ia khawatir orang sekitar akan menghakiminya bila ia memutuskan mengambil kesempatan promosi. 

Terlepas dari gender apa pun, ada alasan lain kenapa orang takut sukses. Dalam Forbes disebutkan, kekhawatiran akan kehilangan diri sendiri menjadi salah satu faktor penyebabnya. Banyak orang takut jika mereka sukses atau meraih banyak uang, ego mereka akan meninggi dan mereka menjadi orang berbeda yang lebih buruk.

Ada juga alasan takut menghadapi kritik ketika mereka ada di bawah sorotan. Tidak semua orang suka diperhatikan banyak orang dan siap untuk menghadapi suatu kritikan. Karenanya, mereka memilih mundur jika mereka mendapat kesempatan untuk menjadi lebih sukses.

Selain itu, FOS bisa juga dipicu oleh ketakutan akan kehilangan teman atau momen-momen berharga bersama orang terdekatnya. Ini dapat terjadi seiring meningkatnya beban kerja yang menuntut lebih banyak waktu dan energi, sehingga kesempatan untuk memiliki waktu berkualitas bersama orang terdekat harus terpangkas.

Baca juga: Masalah Kepercayaan Diri Masih Hantui Perempuan Pemimpin Bisnis

Dalam Psychology Today, terapis pernikahan dan keluarga Susanne Babel menulis, banyak orang percaya bahwa jalan menuju kesuksesan melibatkan berbagai risiko seperti naiknya harapan orang lain. Hal ini bisa memicu ketakutan tersendiri bagi seseorang, terlebih bila ia punya kecenderungan untuk menyenangkan orang lain dan tidak bisa menerima kekecewaan.

Terkait pengalaman Fina, ternyata pengalaman tak dihargai atau mengalami kekerasan verbal bisa juga berkontribusi terhadap FOS. Menurut Babel, orang-orang yang terbiasa disebut pecundang atau tidak diakui bisa menginternalisasi label seperti itu dalam dirinya sehingga kelak ia merasa tak layak sukses.  

FOS bisa mendorong seseorang pada akhirnya menyabotase dirinya sendiri. Sekalipun ia punya kapabilitas, ia tidak akan tampil baik karena ia mau menghindari konsekuensi negatif seperti penolakan sosial terkait kegagalan memenuhi ekspektasi masyarakat. Ia juga mungkin mengambil tugas-tugas yang lebih mudah dicapai dan tidak memasang target lebih tinggi walaupun ia mampu.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan ketika menyadari bahwa kamu memiliki FOS. Pertama, kamu perlu mencari tahu dulu sumber FOS yang kamu rasakan. Apakah itu berasal dari pengalaman masa kecil, misalnya pencapaianmu tidak diakui keluarga,  atau kamu pernah menerima ejekan dari orang lain atas karya kita. Lalu, kamu bisa mencoba mengkroscek pandangan mereka dengan orang-orang lainnya sehingga tidak satu suara negatif saja yang bergaung di kepalamu. 

Jika sebenarnya karyamu mereka anggap cukup baik dan orang lain puas dengan kinerjamu, artinya kamu sebenarnya layak-layak saja untuk diakui dan menerima kesempatan untuk sukses. Jangan biarkan komentar negatif sebagian pihak langsung membuat dirimu rendah diri.

Selanjutnya, coba kenali “gejala-gejala” FOS kamu. Apakah kamu cenderung menunda pekerjaan? Apakah kamu menghindari dapat proyek besar meskipun kamu sanggup? Dalam Healthline disebutkan, membuat daftar gejala-gejala FOS-mu muncul bisa menghindarkan dari upaya menyabotase jalanmu untuk sukses. Mengidentifikasi perilaku-perilaku itu berarti kamu mulai berusaha untuk melawan FOS-mu.

Ketika kamu merasa begitu pesimis kamu mampu mengemban tanggung jawab lebih besar, kamu bisa mulai menggeser fokusmu dari kecemasan berlarut-larut akan mengecewakan orang dengan memikirkan apa yang bisa kamu lakukan sekarang. Segala hal mungkin tidak akan terselesaikan sempurna, tetapi kamu tetap bisa berusaha menuntaskannya satu hal di satu waktu. Tak perlu berharap muluk-muluk kamu selalu bisa menyenangkan orang dan menghindari kritik. Lagi pula, kritik tak selamanya akan menjatuhkanmu kok. Itu bisa membuka jalan bagimu untuk bekerja dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Read More
Persiapan Sebelum Masuk ke Dunia Kerja

Persiapan Masuk Dunia Kerja yang Perlu Diketahui Para Fresh Graduate

persiapan masuk dunia kerja – Buat kamu yang baru lulus dari SMA, SMK atau kuliah, sebelum melamar pekerjaan di perusahaan, kamu perlu mempersiapkan diri sebelum masuk ke dunia kerja.

Persiapan masuk ke dunia kerja akan membentuk pola pikir serta sisi psikologis yang lebih kuat. Kenapa? Karena dunia kerja merupakan tempat kamu akan berkontribusi buat perusahaan dan ada banyak tantangan tersendiri di dalamnya.

Apabila kamu tidak melakukan persiapan apa pun, sudah pasti hasil yang akan didapatkan tidak akan maksimal. Makanya, berbagai persiapan harus kamu lakukan supaya bisa mempersiapkan diri menghadapi beragam tantangan waktu bekerja. Nah, berikut ini beberapa tips persiapan masuk dunia kerja yang sudah kami rangkum dari berbagai sumber.

Kiat Sukses Masuk Dunia Kerja: Kenali Dirimu Sendiri

Dalam prismaprofesional.com disebutkan, persiapan masuk dunia kerja yang pertama bisa kamu lakukan adalah mengenali diri sendiri. Dengan memahami diri,  kamu sepenuhnya akan bisa mengendalikan diri kamu dengan cara yang tepat. Ini yang nantinya memberikan dampak signifikan.

Baca Juga: ‘Beauty Privilege’ di Tempat Kerja, Bukti Standar Kecantikan Tak Masuk Akal

Persiapan Memasuki Dunia Kerja yang Selanjutnya, Kamu Harus Tahu Apa yang Kamu Inginkan

Dikutip dari Forbes, persiapan masuk dunia kerja yang lain dan tak kalah penting adalah mengetahui betul apa yang benar-benar kamu inginkan.

Mungkin, hal ini terdengar aneh. Memang, apa ada hubungannya antara sesuatu yang kita gemari dengan dunia profesional?

Jangan salah, paham sesuatu yang diinginkan serta punya tujuan hidup yang jelas akan membantumu dalam dunia kerja, loh. Aspek ini bisa jadi sorotan waktu kamu sedang interview.

Baca Juga: WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Bila kamu bekerja dalam suatu bidang yang memang kamu suka, otomatis kamu bekerja jadi tidak terpaksa dan kamu bisa bekerja dengan fokus. Makanya, jangan sampai kamu asal daftar dan ternyata pekerjaannya tidak kamu senangi. Mulai deh, dari sekarang untuk cari tahu hal-hal apa yang kamu inginkan.

Mengontrol Emosi

Kamu juga harus mempersiapkan diri supaya bisa mengontrol emosi. Ini sangat penting supaya tidak timbul masalah ke depannya dalam dunia kerja, entah dengan rekan kerja atau atasan.

Bagaimanapun, waktu kamu baru masuk ke suatu perusahaan, tindak tandukmu akan diperhatikan oleh rekan kerja yang lain. Kamu kemungkinan bisa jadi sasaran waktu masih dalam proses belajar serta adaptasi. Oleh karena itu, kamu harus bisa mengatur emosi di sini supayai kamu enggak gampang terprovokasi.

Jadi Fleksibel, Salah Satu Langkah Penting Persiapan Masuk ke Dunia Kerja

Apakah kamu sudah tahu bahwa banyak perusahaan yang sangat suka dengan calon karyawan yang fleksibel? Ya, kemampuan atau skill memang jadi hal penting yang perlu kamu persiapkan sebelum masuk ke dunia kerja. Namun, kamu juga perlu menjadi fleksibel dalam bekerja. 

Dalam memenuhi tugasmu di kantor, mungkin ada hal-hal di luar rencana yang terjadi. Kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu itu bisa bersikap gesit dan mampu beradaptasi dengan kepribadian orang yang berbeda.

Baca Juga: Kesehatan Mental Pekerja Rentan Selama Pandemi, Ini yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Selain itu, kamu juga harus siap mengganti jadwal saat ada kepentingan lain yang lebih mendesak serta bisa dengan cepat memecahkan sebuah masalah. Apakah kamu sekarang sudah termasuk orang yang fleksibel? Jika belum, masih ada waktu kok, buat mengembangkan diri kamu.

Bentuk Network Profesional

Dikutip dari CipHR, persiapan masuk dunia kerja yang tidak kalah penting adalah network profesional yang memadai.

Kamu bisa melakukannya dengan memanfaatkan platform media sosial seperti Linkedin. Ini sangat membantu kamu untuk terhubung dengan para profesional.

Selain itu, cara ini juga membantu kamu saat sedang mencari pekerjaan. Ketika kamu sudah membuat akun di sosial media tersebut, jangan ragu untuk memasukan apa yang jadi kelebihan kamu, serta meminta rekomendasi dari orang-orang dalam jaringan.

Selalu Mengasah Kemampuan Serta Tidak Mudah Menyerah

Hal ini bisa dikatakan sangat penting dalam persiapan masuk ke dunia kerja. Kamu harus terus mengasah kemampuanmu serta jangan mudah menyerah. Mengasah kemampuan diri otomatis akan membuat kamu lebih percaya diri di tempat kerja.

Mencari Tahu Perusahaan yang Kamu akan Lamar

Dikutip dari Talentculture, sebelum kamu kamu melamar suatu perusahan, lebih baik kamu melakukan riset terlebih dahulu.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Setelah kamu sudah mendapat gambaran jobdesc nanti seperti apa, jangan lupa untuk mencari tahu budaya kerja dan sifat orang-orang di dalamnya. Hal ini bisa kamu lakukan dengan mencari review perusahaan tersebut di website yang menyediakan informasi lowongan pekerjaan.

Hal ini lumayan penting untuk membantu kamu untuk beradaptasi dengan baik di lingkungan kerja pertama.

Itulah beberapa persiapan masuk ke dunia kerja yang harus kamu miliki. Ringkasnya, peralihan dari masa sekolah atau kuliah ke dunia profesional bukanlah suatu hal yang gampang. Yang terpenting, kamu jangan takut bersaing dan jangan mudah menyerah.

Read More

Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Bekerja di sebuah agensi membuat “Kania” (22) tidak percaya diri dengan profesi dia dan gaji yang dia terima. Berulang kali ia membandingkan diri dengan anggota keluarga yang dinilainya lebih terpandang.

“Kakak pertama saya karyawan swasta di perusahaan tambang dan yang kedua seorang dokter, sedangkan Papa bekerja sebagai direktur keuangan di perusahaan teknologi informasi swasta. Jadi, gaji saya enggak ada 10 persennya gaji mereka,” ujarnya kepada Magdalene (25/10).

Selain terbebani akibat membandingkan profesi dirinya dengan anggota keluarganya, Kania sendiri masih memiliki cara berpikir generasi terdahulu yang menganggap pekerjaannya baru dianggap bonafide apabila menjadi karyawan di perusahaan besar dan ternama.

Pengalaman serupa pun dirasakan Laras, (23), seorang kreator konten di perusahaan startup, sewaktu magang di perusahaan tersebut. Saat itu, ia digaji per hari dan pekerjaannya mengharuskannya lebih sering ke kantor. Sementara, rekan kerjanya yang work from home menerima upah lebih tinggi.

“Bukan membandingkan pekerjaan saya, tapi ke kantor kan perlu ongkos dan uang makan, sementara gaji saya lebih kecil. Rasanya jadi enggak adil,” katanya. 

Setelah menjadi karyawan tetap, Laras pernah iri karena melihat orang lain yang pekerjaannya dapat dilakukan dengan fleksibel tanpa harus ke kantor.

“Mereka bisa menyimpan ongkosnya untuk kerja dari Bali sekaligus have fun, sedangkan saya harus mengeluarkan sebagian gaji untuk ongkos, uang makan, dan bayar cicilan. Bahkan, untuk kasih ke orang tua aja masih sedikit,” ujar Laras.

Sebetulnya, wajar apabila kita merasa insecure tentang pekerjaan dan penghasilan, terlebih jika baru bekerja untuk pertama kali. Pun banyak konten di media sosial dan warganet yang mematok gaji setinggi mungkin sebagai standar hidup sejahtera, dengan anggapan setiap orang memiliki kebutuhan sama.

Untuk mengatasi persoalan ini, ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan agar lebih percaya diri dengan profesi maupun penghasilan kamu. 

1. Perlunya Budgeting

Budgeting atau mengatur anggaran pribadi merupakan salah satu kunci dalam mengelola keuangan agar penghasilan dapat disalurkan sesuai kebutuhan. Di media sosial, ada banyak cara yang disarankan oleh ahli keuangan, influencer, maupun warganet yang berbekal dari pengalamannya.

Salah satu caranya adalah membagi penghasilan ke dalam beberapa pos kebutuhan, dan menentukan persentase berdasarkan skala prioritas. Namun, persentase itu tidak dapat dipukul rata ke setiap orang karena perbedaan penghasilan dan pengeluaran. 

Certified Financial Planner, Annisa Steviani mengatakan, “Ada yang bilang kalau single, seharusnya 50 persen gajinya bisa ditabung. Padahal, yang paling tahu tentang gaji dan kebutuhan kan diri sendiri. Jadi, tidak bisa dibuat standar,” ujarnya pada Magdalene (26/10).

Menurut Annisa, yang penting dilakukan adalah mencatat pengeluaran dan penghasilan untuk melihat kebutuhan apa yang jumlahnya bisa dikurangi dan ditambahkan ke tabungan.

“Kalau misalnya orang lain bilang nabung sebaiknya tidak pakai uang sisa, menurutku enggak bisa. Ada yang melakukannya di awal, padahal uangnya belum tentu sisa. Ternyata, di akhir bulan uangnya enggak mencukupi untuk pengeluaran. Nabung itu kan penghasilan dikurangi pengeluaran,” tuturnya.

Jika demikian, artinya penghasilan belum cukup dan seseorang perlu ebih realistis dalam budgeting.

2. Belajar Merasa Cukup

David Ning, seorang ahli keuangan pribadi dan blogger finansial asal AS yang mendirikan situs MoneyNing, mengatakan dalam situsnya, membandingkan diri dengan orang lain selalu membuat seseorang merasa kurang, dan cenderung mengejar hal-hal lain yang dilihat sebagai sebuah ketertinggalan.

Maka itu, merasa cukup memiliki peran penting untuk mencapai ketenangan dalam hidup, sehingga kita memahami kebutuhan dan keinginan, bukan berdasarkan anggapan rumput tetangga terlihat lebih hijau.

“Ketika kita sudah mengontrol diri dengan baik, ada faktor eksternal yang bikin kita lagi-lagi mempertanyakan kondisi finansial. Contohnya saja, keluarga yang suka bertanya ‘kapan beli mobil?’ setelah melihat seorang kenalan melakukannya, padahal kita enggak butuh,” jelasnya.

Selain itu, Annisa menuturkan, menghabiskan uang untuk menuruti emosi sesaat merupakan hal lain yang membuat seseorang sulit merasa cukup dengan penghasilan.

Pada sebagian orang, menghabiskan uang menjadi pelampiasan emosi yang dirasakan, misalnya dengan membeli sesuatu atas pencapaian berkedok self-reward, menghibur diri dengan belanja online, atau menenangkan pikiran dengan jajan makanan. Disadari atau tidak, saat melakukan itu, mereka hanya menginginkan perasaan senang yang dirasakan sesaat, atau chasing pleasure.

“Uang itu jumlahnya pasti, enggak bisa dikaitkan dengan emosi manusia yang selalu berubah. Kalau begini, artinya perlu refleksi diri,” ucapnya.

3. Pekerjaan dan Gaji Tidak Mendefinisikan Diri

Tak dimungkiri, setiap bertemu seseorang, sering kali kita dapat pertanyaan, “Sekarang kerja di mana?” atau “Jabatanmu apa?”.

Pada saat tertentu, kalimat yang umumnya ditujukan untuk mengetahui kabar terkini atau latar belakang, malah menjadi tekanan bagi yang memilih hidup biasa-biasa saja, maupun belum mencapai titik tujuan.

Selain itu, sebagian orang mengaitkan kesuksesan dengan pencapaian di pekerjaan, tingginya jabatan, atau jumlah saldo di rekening bank. Tentu sah-sah saja, tetapi secara tidak langsung, identitas diri mereka dikaitkan dengan penghasilan, sehingga mereka terjebak dalam pekerjaannya.

Satu hal yang perlu kita perhatikan, menginvestasikan sebagian besar waktu dan energi untuk berkarier membuat batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan menjadi kabur. 

Anne Wilson, profesor psikologi di Wilfrid Laurier University, Kanada menjelaskan, keadaan psikologis ini merupakan enmeshment, atau jeratan, dan menyebabkan krisis identitas ketika pindah atau keluar dari pekerjaan.

“Jika keberhargaan diri terikat dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang dialami akan berdampak langsung dengan harga diri,” katanya kepada BBC. Nantinya, hal ini berpengaruh pada kesehatan mental karena dapat memicu depresi, kecemasan, dan penggunaan obat terlarang.

Maka itu, kita perlu menyadari bahwa pekerjaan adalah salah satu bagian dalam diri, bukan menggambarkan nilai diri secara keseluruhan, sekalipun pekerjaannya diidamkan atau dinikmati. Dengan begitu, kita bisa lebih percaya diri dengan profesi kita.

4. Melakukan Pekerjaan Sampingan Jika Dibutuhkan

Selain pekerjaan utama, sebagian anak muda menganggap penting memiliki pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup, memiliki uang jajan tambahan, ataupun tabungan.

Laras mengamini hal tersebut mengingat mahalnya cicilan rumah dan ia memerlukan pekerjaan untuk membahagiakan diri sendiri. Sementara, Kania ingin melakukannya untuk memenuhi passion-nya, yakni menulis, selain menambah penghasilan bulanan yang nilainyq sedikit lebih tinggi dari UMR Jakarta.

Terkait pekerjaan sampingan, Annisa menuturkan, hal tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan mengejar penghasilan orang lain yang nominalnya lebih besar.

“Pertama, kita harus tahu, uang dari penghasilan utama ini cukup atau enggak. Kalau merasa perlu tambahan untuk menghidupi keluarga, ambil kesempatan itu. Yang penting, selisih antara penghasilan dan pengeluarannya cukup memenuhi kebutuhan hidup,” jelasnya.

5. Mencari Tahu Arti Kesuksesan dan Tujuan Hidup

Setiap orang memiliki arti kesuksesan dan tujuan hidupnya masing-masing yang belum tentu diorientasikan dengan uang. Oleh karena itu, lihat ke dalam diri dan ketahui apa definisi kesuksesan, yang ingin dicapai lebih, mengapa hal tersebut dianggap penting, dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapainya.

Dengan demikian, kita dapat melihat apakah pekerjaan saat ini adalah salah satu langkah yang membawa diri pada titik tersebut, dan memperkirakan nominal yang diperlukan. Namun, memang tak dimungkiri, terlepas dari apa pun tujuan hidup seseorang, uang memiliki peran dalam prosesnya.

Maka itu, Annisa menyarankan, apabila modalnya masih kecil, lebih baik tidak melakukan investasi pada benda, lembaga, atau pemodal yang dianggap berharga, melainkan kemampuan diri.

Dengan mempelajari hal baru dan mengambil kursus atau sertifikasi, kita dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas diri. Hal tersebut justru membuka kesempatan baru untuk memiliki penghasilan tambahan.

“Nantinya, penghasilan yang lebih dari cukup akan memudahkan kita mencapai tujuan, karena tabungan dan hasil kerja keras akan terlihat realistis,” terangnya.

Read More

‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak?

Sebagai perempuan pekerja, saya mendambakan film karya sineas Indonesia yang menampilkan karakter pemimpin perempuan nan berdaya dan mandiri. Saya pun menelusuri film-film yang diproduksi oleh para sineas Tanah Air dari 2014 hingga 2021. Hasilnya tak banyak. Sebagian di antaranya adalah Kapan Kawin (2015), Susah Sinyal (2017), Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018), Twivortiare (2019), serta Devil on Top (2021).

Film-film tersebut saya pilih karena menampilkan karakter pemimpin perempuan di dalamnya. Selain menyusuri keberadaan mereka, saya juga menganalisis bagaimana sineas film merepresentasikan karakter bos perempuan. Kemampuan sineas Indonesia dalam merepresentasikan girl boss ini penting dijadikan sebagai tolak ukur bagi saya untuk mengetahui apakah mereka sudah bersedia meruntuhkan berbagai stereotip negatif yang kerap dilekatkan pada para bos perempuan, yang kerap beresonansi dengan pelbagai ketidakadikan gender.

Sterotip negatif mengenai girl boss sendiri memang sedang kencang-kencangnya digaungkan sejak 2014. Tepatnya ketika pebisnis Sophia Amoruso lewat memoir #Girlboss rilis. Alexandra Solomon, profesor dalam bidang gender dan peran gender di Northwestern University, mengatakan kepada Vox, istilah girl boss yang kita kenal sekarang adalah bentuk dari seksisme yang terinternalisasi. Ini menekankan pada stereotip negatif bos perempuan yang menjadi sosok yang dibenci banyak orang. Kendati perempuan, gaya kepemimpinan mereka dicitrakan sangat maskulin yang menekankan pada agresi karena berusaha untuk mendobrak dunia yang didominasi lelaki.

Baca Juga: Mulai dari Makna Pemberdayaan hingga Eksploitasi, Kompleksnya Istilah ‘Girlboss’

Berikut ini adalah temuan saya usai menonton kelima film Indonesia soal girlboss di atas.

Benarkah Film Indonesia Mampu Merepresentasikan Girl Boss?

Saya dan mungkin banyak perempuan di Indonesia sependapat, kami sudah muak sekali dengan stereotip negatif bos perempuan yang dilanggengkan di masyarakat. Stereotip mendasar dari bos perempuan itu tak jauh-jauh dari karakter bossy, secara emosional manipulatif karena suka gaslighting, melakukan abuse of power, dan tentunya bitchy. Stereotip negatif ini sudah begitu melekat pada bos perempuan sampai-sampai di kehidupan nyata sendiri, seseorang bisa langsung mengalami keringat dingin jika mengetahui atasan barunya perempuan.

Film Kapan Kawin (2015)

Stereotip negatif yang seharusnya diruntuhkan sayangnya justru kembali dilanggengkan utamanya dalam film Devil on Top (2021) yang disutradarai Anggy Umbara. Sejak awal film ini dimulai pun penonton sudah disuguhkan dengan adegan di mana semua orang di kantor takut dengan sosok bos perempuan mereka bernama Sarah. Ketika Sarah masuk kantor, suasana kantor menjadi tegang. Mereka semua heboh menyusun bangku, duduk rapi di meja kerja masing-masing agar tidak kena omel sang bos.

Angga, karakter laki-laki utama yang ketika itu telat datang rapat bersama Sarah pun kena damprat. Di dalam adegan yang sama, Sarah bahkan marah-marah kepada Boni, salah satu karyawan yang menyiapkan kopi Sarah. Sarah marah karena Boni menyiapkan kopi kepada Sarah dengan takaran gula sebanyak dua setengah sendok, padahal Sarah biasanya hanya minum kopi dengan gula setengah sendok saja.

Adegan di mana Sarah adalah bos yang sangat menyebalkan pun berulang kali ditampilkan di layar. Ia digambarkan sebagai bos perempuan yang suka marah-marah, gaslighting, dan tentunya hobi menekan karyawannya. Ia bahkan tidak segan memecat karyawannya dengan cara disidang di depan karyawan-karyawan lain tanpa memberikan kesempatan karyawan tersebut untuk mengubah perilakunya yang baru saja ia lakukan satu kali. Ia juga kerap menyuruh karyawannya yang jelas merupakan manifestasi dari power abuse. Sifat Sarah ini membuat karyawan-karyawannya sangat stress dan membencinya sampai titik di mana Angga dan ketiga teman satu gengnya berencana untuk menjatuhkan Sarah dari posisinya tersebut.

Devil on Top/DisneyHotstar

Kendati Sarah adalah bos yang menyebalkan di kantor, dalam film ini latar belakangnya makin lama terkuak. Ia dipaksa bekerja di sini oleh Pak Firman–sosok yang juga melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Sarah bertahan karena ia masih harus menghidupi anaknya yang mempunyai sindrom Williams. Namun, dari penceritaan latar belakang ini, saya justru jadi bertanya-tanya tentang intensi penulis naskah, Anggy Umbara dan Rayhan Dharmawan.

Baca Juga: Bos perempuan dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Penulis naskah tidak hanya melanggengkan stereotipe negatif bos perempuan, tetapi mereka seakan-akan menjustifikasi perilaku toksik Sarah sebagai seorang atasan dengan menyetir penonton untuk bersimpati dan memaafkan perilakunya. Hal ini jelas berbahaya, karena mau bagaimana pun latar belakang kehidupan seseorang tidak bisa menjadi alat justifikasi seseorang untuk bersikap tidak adil dan toksik terhadap orang lain.

Harapan dan Lubang Besar

Setelah menonton Devil on Top, timbul sebuah kekhawatiran mendalam mengenai representasi perempuan di budaya populer. Saya khawatir film-film yang mengangkat karakter perempuan girlboss ini justru berperan dalam melanggengkan ketidakadilan gender melalui stereotip negatif. Namun, untungnya setelah saya menonton empat film Indonesia lain, saya menemukan ada upaya dari para sineas Indonesia untuk menggambarkan karakter perempuan girl boss yang berdaya dan mandiri dengan representasi lebih baik yang perlahan mampu meruntuhkan stereotip negatif sebelumnya.

Girl boss ditampilkan sebagai karakter perempuan berdaya yang bertanggung jawab, tegas dengan gaya kepemimpinan perempuan, seperti kolaboratif, komunikatif, fleksibel, sabar, dan empatik. Tidak jarang beberapa perempuan dalam keempat film ini digambarkan dekat dengan kolega dan karyawan-karyawan yang ia pimpin. Dalam film Kapan Kawin (2015) yang disutradarai oleh Ody C, misalnya Dinda, General Manager di sebuah hotel bintang empat adalah seorang yang tidak pernah melakukan abuse of power, bossy, dan bitchy. Meski jadi atasan, ia sigap dan sebisa mungkin membantu pekerjaan karyawannya, yang sebenarnya bukan bagian dari job desk miliknya (dari memindahkan meja klien sampe nolongin orang tenggelam). Ia tidak pernah melimpahkan tanggung jawab kepada karyawannya secara semena-mena.

Baca Juga: ‘Athena Doctrine’ dan Mengapa Nilai-nilai Feminin Penting dalam Memimpin

Begitu pula dengan karakter Ellen di Susah Sinyal (2017). Ia adalah seorang ibu tunggal dan  pengacara yang membuat firma hukumnya sendiri bersama koleganya, Iwan. Selama bekerja ia menekankan pada kolaborasi bersama tim kecilnya. Ia juga tidak pernah melakukan abuse of power, hal ini bisa dilihat dari bagaimana ia bahkan tidak enak hati pada teman satu timnya jika ia tidak bisa menghadiri pengadilan atau mengambil cuti liburan bersama dengan putrinya, Kiara.

Sosok bos perempuan yang egaliter juga terlihat dalam sosok Milly di Milli & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018). Sebagai seseorang yang menggantikan posisi suaminya sebagai kepala pabrik yang dimiliki ayahnya, Milly bisa dibilang bos perempuan yang jauh dari stereotip negatif. Layaknya Ellen, kepemimpinannya dilakukan atas dasar kerjasama tanpa ada relasi timpang. Ia sangat dekat dengan karyawan-karyawannya bahkan dalam beberapa adegan dia sering bergurau dengan karyawannya seperti bersama dengan Yongki yang nantinya akan menjadi pengganti Milly. Sedangkan Alexa dalam Twivortiare (2018) walaupun tidak begitu banyak dibahas mengenai gaya kepemimpinannya, ia adalah seorang Vice President yang dapat diandalkan. Ia juga dekat dengan koleganya, Ryan berbeda dengan karakter Sarah yang benar-benar menjadi karakter antagonis di mana tidak ada seorang pun yang dekat dengan dirinya.

Milli & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga (2018)/IMBD

Representasi cukup positif dari bos perempuan dalam keempat film ini tentu menjadi angin segar bagi perempuan, termasuk saya yang sudah lama mendambakan representasi perempuan di budaya populer. Namun, sayangnya, film-film ini masih belum memiliki fokus khusus terhadap cerita bos perempuan dalam pergulatannya dalam dunia kerja. Keempat film ini masih terfokus pada cerita romansa dengan sentuhan humor dan drama. Porsi adegan yang memperlihatkan bagaimana perempuan bekerja dan memperlihatkan gaya kepemimpinannya masih bisa dibilang cukup minim. 

Hal ini tidak lain karena karakter bos perempuan hanya dijadikan sebagai plot pelengkap saja atau pemanis yang memperlihatkan “Oh ternyata ada juga lho bos perempuan yang tidak bossy dan bitchy”. Untuk hal itu, sineas Indonesia pada kenyataannya masih memiliki PR besar untuk dapat memproduksi film dengan fokus cerita mengenai bos perempuan dengan segala gaya kepemimpinan dan kendalanya sebagai perempuan dalam menjalankan suatu perusahaan.

Read More

Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Sebagai karyawan baru, “Alya”, 29 sering merasa sungkan jika pulang duluan. Selain takut di-gaslighting atasan yang biasanya sengaja berdiam di kantor sampai malam, ia juga ingin dekat dengan teman-teman. Alasannya, kata dia, berteman erat dengan orang-orang kantor bisa membantunya menggenjot produktifitas, bikin betah, dan tak membuatnya tersisih.

“Punya teman dekat di kantor penting ya, meskipun ongkos yang harus dibayar, gue harus pulang lebih malam, terus-menerus ramah, dan basa-basi lebih banyak ke orang yang sebenarnya enggak gue suka-suka amat,” ujarnya pada Magdalene, (18/10).

Perempuan asal Bogor, Jawa Barat itu mengaku punya kepribadian ekstrovert, sehingga ia tak keberatan jika harus mengorbankan waktu dan tenaganya untuk berteman dengan semua orang kantor.

“Meskipun orang kantor itu toksik?” tanya saya.

“Iya, meskipun dia toksik. Suatu saat berteman dengan orang macam itu akan membantu gue kok suatu hari.”

Pendapat yang berseberangan disampaikan oleh Rudi Wibawanto, 33, karyawan perusahaan startup berkembang di Jakarta Selatan. Ia menolak menjadi people pleaser apalagi pulang lebih malam cuma bisa dekat dengan orang-orang kantor.

Gue selalu memegang prinsip, berteman boleh tapi jangan terlalu dekat. Lo juga enggak perlu merasa punya kewajiban untuk berteman dengan semua orang jika lo enggak mau,” ungkapnya, (19/10).

Sebagai gantinya, Rudi justru sengaja menetapkan batasan (boundaries) saat berteman dengan orang-orang di tempatnya bekerja. “Cara kerjanya mirip seperti pertemanan di luar kantor. Gue bakal menyeleksi siapa orang yang cocok jadi teman. Siapa yang cuma pantas diketahui namanya saja.”

Gue juga biasanya menghindari berteman dekat dengan orang yang berpotensi banyak drama, terlibat politik kantor, dan bikin jadi enggak nyaman. Intinya, sih, gue cuma berusaha sebisa mungkin untuk profesional aja, bisnis ya bisnis, teman ya teman, susah kalau dicampur-campur,” terangnya.

Baca juga: Apa itu Politik Kantor dan Bagaimana Cara Menavigasinya

Benarkah Berteman dengan Orang-orang Kantor Nirfaedah?

Umumnya, saat membahas soal preferensi pertemanan di kantor, para karyawan terbelah. Ada yang mendukung pertemanan dekat, tapi tak sedikit menolaknya dengan pelbagai alasan.

Buat Rudi yang tak mau punya teman dekat di kantor, ia beralasan, semakin dekat dengan orang, kian besar pula gesekan dan potensi konflik di depan mata. Menurutnya, berkonflik dengan teman kantor adalah salah satu hal yang rumit, karena ujung-ujungnya berpengaruh terhadap produktivitas atau kualitas kerja.

Lalu, apa kata riset soal ini? Sayangnya, banyak riset yang juga menunjukkan hasil beragam. Gallup meneliti karyawan-karyawan di Amerika Serikat (AS) hingga berkali-kali selama sepuluh tahun dan mencatat, 63 persen responden perempuan pekerja setuju memiliki teman dekat di kantor, sedangkan mereka yang menolak berteman dekat ada 29 persen. Persahabatan dengan teman kantor ini membuat karyawan merasa aman sekaligus membantu kita untuk tampil dalam performa yang baik, tutur Donald Clifton, mantan psikolog pendidikan yang mendirikan Gallup.

Riset senada ditunjukkan oleh Virgin Pulse yang berkolaborasi dengan Future Workplace pada 2018. Meneliti lebih dari 2.000 manajer dan karyawan di 10 negara, hasilnya 1 dari 10 orang yang tak memiliki teman dekat di kantor, merasa kesepian dan tertinggal dari pekerjaan mereka. Lebih lanjut, dua per tiga responden bilang, mereka cenderung betah di tempat kerja jika menganggap orang-orang kantor sebagai teman dekat bahkan keluarga.

Sebuah studi terpisah yang dilakukan Officevibe mencatat, sebanyak 70 persen karyawan mengatakan, teman di tempat kerja adalah elemen paling penting untuk kehidupan kerja yang bahagia. Bahkan, 58 persen pria akan menolak pekerjaan bergaji lebih tinggi jika mereka tidak cocok dengan rekan kerja. Apalagi mengingat jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja dengan durasi cukup intens, mustahil jika hubungan pertemanan—entah bagaimanapun wujudnya—bisa terhindarkan.

Baca juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Berteman Boleh Asal Ada Batasan

Di luar riset-riset di atas, ada juga pernyataan pakar yang menyebutkan, berteman terlalu dekat dengan orang kantor justru bisa jadi bumerang. Amy Cooper, psikolog industri yang dikutip oleh CNN misalnya bilang, berteman dekat dengan rekan kerja bisa meningkatkan daya saing dan bibit-bibit kebencian. Karena itulah menurut Cooper, karyawan di kantor tak perlu memaksakan diri untuk berteman dekat, tapi mencoba bersikap ramah dengan rekan-rekan.

“Kita sering menyebut orang yang dekat dengan kita di tempat kerja sebagai ‘teman’, tetapi ada perbedaannya. Meskipun bersosialisasi dapat membantu meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja, batasan adalah kunci. Kamu bisa minum kopi atau makan siang bareng, tapi tak perlu mengundang mereka pulang ke rumah untuk pesta barbekyu atau mengikuti acara keluarga khusus,” ucapnya.

Selain menjaga jarak, Cooper juga menyarankan agar batasan yang dibuat, termasuk tidak mudah curhat semua hal sensitif dan rahasia tergelap hidup kita. Sebab, kata dia, curhat hal pribadi berlebihan, bisa membuat perasaan tak enakan rentan mendominasi hubungan profesional. Semisal, saat kamu temanmu butuh uang, tapi kamu yang dapat promosi atau penugasan proyek

Pertanyaannya, apakah mungkin membuat jarak dan batasan dengan rekan kerja di kantor? Elizabeth Grace Saunders, penulis Divine Time Management and How to Invest Your Time Like Money (2015) memberi lima tips untuk membuat batasan di kantor, untuk berteman dengan orang kantor dengan porsi yang pas:

  1. Ucapkan terima kasih hanya untuk bantuan yang berarti

Kamu tak wajib membalas semua email atau pesan teks dari rekan kerja, apalagi jika pesan-pesan itu relatif mengganggu. Silakan balas pesan dan beri apresiasi rekan-rekan kerjamu yang jelas-jelas telah melakukan pekerjaan ekstra pada suatu proyek atau berbuat baik padamu. Tunjukkan apresiasimu secara langsung dengan tatap muka jika memungkinkan.

  1. Luangkan waktu untuk bertemu

Bagian ini penting untuk memberi pesan bahwa kamu adalah rekan yang baik dan mau meluangkan waktu untuk teman-teman kerja. Namun sekali lagi kamu harus menyeleksi orang-orang yang mau kamu prioritaskan untuk bertemu demi tujuan yang jelas. Bukan sekadar haha-hihi, menggunjingkan orang, atau melakukan hal yang membuang-buang waktumu.

  1. Proaktif menawarkan dukungan

Ada saat-saat ketika teman-teman kerjamu merasa sangat rentan di kantor, entah karena masalah di kantor atau rumah. Kamu tak perlu mengobrol secara teratur sampai larut malam, pulang bareng, atau menunggunya untuk pergi bersama kemana-mana, tapi sediakan bahumu atau kupingmu jika orang kantor memercayaimu untuk bercerita masalah yang mereka hadapi.

Tips-tips itu mungkin terdengar simplistis dan penuh perhitungan, tapi penting kamu lakukan agar nyaman di kantor: Bisa berteman, tapi juga tak terjebak pada drama politik kantor karena terlalu dekat dengan rekan-rekan kerja.

Read More

In a Lockdown, Where Does Work End and Parenting Begin?

All parents work. The difference lies in the breakdown between their paid and unpaid workloads. That equation is influenced by many things, including education, qualifications, age, ethnicity, financial status, number and age of dependants, gendered and societal expectations, and personal choice.

But during COVID-19 lockdowns, many working parents have had to conduct their paid work – usually done in the workplace – at home. Personally, professionally and geographically, this is new territory — for working parents, their loved ones and their employers.

It is also largely uncharted territory for researchers. Previous academic studies of work-life integration have largely treated home and work as separate domains, with clearly demarcated tasks performed in distinct locations and at different times.

Additionally, past research into balancing those roles and working flexibly (including from home) has found parents mainly worked while children were at school or day care, or that they weren’t in full-time paid work.

Also read: Working Mothers: Enough with the Guilt Trip!

The Lockdown Effect: Zigzag Working

Lockdowns have changed that, requiring many parents to work full-time while simultaneously schooling and caring for their children.

In this context, we suggest established, seemingly distinct concepts such as “work-life conflict” or “work-life balance” are limited in their ability to reflect and describe this new pandemic reality.

To that end, we have conceived a new concept that more accurately describes the working parent’s experience of juggling paid work (formal employment) and unpaid work (such as caregiving, household duties and volunteering) when both are being performed in the same environment during the same blocks of time.

We call it “zigzag working”.

Let’s imagine a typical example: Sarah teaches 26 nine- and 10-year-olds at a local primary school and is also mum to two kids aged 11 and 15, both studying from home during lockdown. Her husband is an essential worker, so he still goes out to work during the week.

One hour of her morning might look something like this:

9am: set up in the kitchen, designated as her “work zone”, she begins a Zoom session with her class to facilitate a 20-minute discussion

9.07am: motions to her teenage son not to eat the ingredients she is planning to use for dinner that night

9.20am: leaves the Zoom call, giving her students time to complete a task and for her to hang out a load of washing and reply to an email from a parent

9.35am: goes online again with her students for eight minutes to check their progress

9.41am: is approached by her 11-year-old daughter who needs help with her Maths

9.50am: brings her class back together on Zoom to hear about their work, while also indicating to her son what he can eat from the fridge

Also read: Working Does Not Make You a Lesser Mom

Or another imaginary example: Ananya is a senior team manager working in banking. She’s a solo mum of twin boys aged 16, also studying at home and really missing soccer, which both play at a high level. They have a Labrador puppy.

1.15pm: listening live to her CEO update, she is texting her boys to encourage them to get out for a skate rather than spend their lunchtime gaming (they ignore her)

1.30pm: after the update, she grabs some of leftovers as lunch

1.37pm: takes a phone call from a team member

1.48pm: now that her boys have resumed online classes she sits down to reply to several emails

2.07pm: encourages one son to complete an overdue school project, as well as filling the dog’s water bowl

2.11pm: starts an urgent conversation via Teams with her manager

2.17pm: realizes one of her twins is gaming when he’s meant to be working on his project

2.19pm: courier knocks on the door, no one else hears it, she interrupts another Teams meeting

New Territory for Employers

These scenarios illustrate the realities of zigzag working — the continuous and concurrent diving between paid and unpaid work as micro sessions, or managing paid and unpaid tasks simultaneously.

During lockdowns, many of the forms of support parents rely on – including relatives, paid household services, schools, day cares centres and after-school sports – are not available.

This is also new territory for employers, with many making up the rules as they go along and with large numbers of staff working at home full time.

We encourage employers to think about the roles working parents are juggling. Some tried and true forms of organizational support and being a “good employer” will no doubt apply here.

Employers might also consider tweaks for lockdown working, including:

  • recognising that working parents may be frequently interrupted, prolonged periods of “focused time” do not exist, and there is no such thing as “complete silence”
  • not starting online meetings exactly on the hour, when school class sessions typically start
  • checking in advance with working parents when is convenient to take a call, or scheduling a time for one
  • breaking up long online meetings with micro breaks for all participants
  • recording organizational updates so parents can tune in at a time to suit the family schedule
  • enabling and encouraging staff to take reasonable breaks, as they would do in a normal work environment
  • encouraging and facilitating discussions of “chaos” to counteract notions of being the ideal worker or parent.

Researching The Reality of Zigzag Working

Life was complex before COVID-19. Now it feels especially challenging. We encourage employers to understand the reality of zigzag working and to play a positive part in it. As well, they should recognize zigzag working may also be experienced by working grandparents and contractors managing several jobs on top of family responsibilities.

For a parent, the impacts of zigzag working may be magnified if they have a partner also trying to do paid work in the home.

The permutations are many. So too are the research opportunities to study and understand this new zigzag reality.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Candice Harris is Professor of Management at Auckland University of Technology.

Jarrod Haar is Professor of Human Resource Management at Auckland University of

Read More

Maria Ressa: Penegak Kebebasan Pers Filipina, Peraih Nobel Perdamaian 2021

“Saya sangat bersyukur dan terhormat karena jurnalis mendapatkan perhatian, artinya komite menunjukkan jurnalis menerima serangan. Mungkin masa depan kita akan bergantung pada seberapa baik kita bekerja.” 

Kata-kata ini diungkapkan Maria Ressa jurnalis Filipina kepada Al Jazeera, setelah meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 pada 8 Oktober lalu. Bersama Dmitry Andreyevich Muratov, Ressa memenangkan penghargaan tersebut karena upayanya melindungi kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat demokrasi dan perdamaian. Dengan berani ia menyoroti perihal penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme di Filipina.

Berprofesi sebagai jurnalis selama puluhan tahun, perempuan berusia 58 tahun itu menyatakan kehadiran teknologi membuat platform berita kehilangan kekuatannya dalam melakukan gatekeeping. Situasi ini membuat fakta menjadi diperdebatkan di ruang publik, sehingga batas antara fakta dan kebohongan menjadi kabur.

Kepada CNN, Ressa mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pemilihan presiden Filipina pada 2022. Ia menyampaikan, jika platform yang menyampaikan berita bias terhadap fakta, integritas pemilu dipertanyakan karena yang disebarkan adalah kebohongan dan kebencian.

“Filipina tidak akan keluar dari situasi ini apabila fakta, penalaran berdasarkan bukti, dan realitas bersama tidak didapatkan,” ujarnya, menggambarkan situasi negaranya yang akan semakin terpecah.

Baca Juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban

Mendapat Ancaman Karena Mengkritik Pemerintah

Berawal dari sebuah laman Facebook bernama MovePH pada Agustus 2011, Ressa mendirikan Rappler pada Januari 2012 bersama sekelompok jurnalis lainnya. Mengutip Sydney Morning Herald, Founder dan Senior Editor Rappler, Chay Hofileña mengatakan, mereka melihat jurnalisme dan media sosial berpotensi membentuk perubahan sosial.

Lewat platform berita, mereka ingin menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, isu-isu misoginis, menyelidiki pengusaha ternama di Filipina, perang narkoba oleh Presiden Rodrigo Duterte, dan kampanye pembunuhan yang merenggut 20.000 nyawa.

Pada Oktober 2016, Maria Ressa jurnalis Filipina memublikasikan sebuah artikel berjudul “Propaganda war: Weaponizing the internet” di situs Rappler. Artikel ini menyoroti Duterte dan pendukungnya yang mengerahkan pasukan untuk mengintimidasi oposisi, menyebarkan disinformasi di internet, dan membungkam kritik. Artikel tersebut dianggap mendiskreditkan pemerintah, dan banyak komentar yang menyerang jurnalis atau media yang memublikasikannya.

Sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak menurut We Are Social, masyarakat Filipina menggunakan media sosial sebagai alat propaganda, sehingga disinformasi tumbuh dengan cepat. 

Dari peliputan tersebut, banyak yang mempertanyakan kredibilitas Ressa sebagai seorang jurnalis. Ada yang menuduhnya berbohong dan mengatakan informasi yang disampaikan dalam artikel tersebut tidak akurat. Lebih dari itu, ia menerima lebih dari 2000 sumpah serapah di Facebook pada 2017. Penyerang itu menjulukinya dengan istilah-istilah kotor, hingga diancam akan mati, ditangkap, dan dipenjarakan. Bahkan, seorang laki-laki menyumpahinya diperkosa hingga mati. 

Serangan itu tak hanya dilakukan oleh pendukung Duterte, sang presiden pun melakukan aksinya dengan menyebut Rappler dimiliki oleh Amerika Serikat, didanai oleh Central Intelligence Agency (CIA), dan media yang menyebarkan berita palsu. Dari serangan yang terjadi, jelas tampak bahwa kebebasan pers di Filipina terancam.

Dilansir The Guardian, persoalan tersebut membuat Securities and Exchange Commission (SEC), sebuah lembaga pemerintah Filipina yang bertanggung jawab mengatur industri sekuritas, mencabut surat izin Rappler. Namun, saat kasus tersebut dibawa ke pengadilan banding, disebutkan kasusnya tidak berdasar sehingga dikembalikan ke SEC.

Baca Juga: Mengenal Jia Ling, Sutradara Perempuan Tiongkok yang Sedang Meroket

Ditangkap Akibat Pencemaran Nama Baik

Pada Oktober 2017, Wilfredo Keng menuntut Ressa dan Reynaldo Santos, karena Rappler mempublikasikan artikel penyuapan Keng ke Hakim Agung Renato Corona. Sebetulnya artikel itu dipublikasikan pada 2012, sebelum Benigno Aquino III menandatangani UU tindakan pencemaran nama baik di dunia maya.Namun, karena ada kesalahan pengejaan, Rappler menerbitkan kembali artikel tersebut pada 2014, dan karena pada saat itu UU tindak pencemaran nama baik di internet sudah disahkan, Departemen Kehakiman menilai kasusnya dapat dilanjutkan. 

Dari kasus tersebut, Ressa baru dinyatakan bersalah pada 15 Juni 2020. Menurut hakim, Rappler tidak memberikan bukti bahwa mereka memverifikasi tuduhan kejahatan, jadi mereka dianggap mengabaikan kebenaran informasi tersebut.

Persatuan Jurnalis Nasional Filipina menilai keputusan hakim bisa membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun, juru bicara kepresidenan Harry Roque, meminta media menghargai keputusan pengadilan itu. Ia juga meyakinkan ke publik bahwa keputusan ini tidak berpengaruh ke komitmen Duterte tentang kebebasan pers.

Baca Juga: Nurul Bahrul Ulum Dakwah di Medsos Lawan Tafsir Tak Ramah Perempuan

Terlepas dari kasus pencemaran nama baik, sejak 2018 Ressa dan Rappler juga menghadapi 10 kasus investigasi lainnya, seperti penuduhan kepemilikan asing ilegal, dan penyelidikan atas pengembalian pajak.

Menanggapi persoalan ini, komunitas internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Reporters Without Borders, justru menilai perkara ini melibatkan politik.

Deputy Director Asia Division Human Rights Watch, Phil Robertson mengatakan dalam situs organisasi tersebut, vonis terhadap Ressa mencerminkan pemerintahan yang manipulatif karena menyerang kekritisan media yang menyuarakan kondisi negara. Ia mengkhawatirkan kasus ini memicu kebebasan pers di negara lain yang sebelumnya telah membebaskan media dalam peliputannya dan mengutamakan demokrasi.

Read More