Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Sebagai karyawan baru, “Alya”, 29 sering merasa sungkan jika pulang duluan. Selain takut di-gaslighting atasan yang biasanya sengaja berdiam di kantor sampai malam, ia juga ingin dekat dengan teman-teman. Alasannya, kata dia, berteman erat dengan orang-orang kantor bisa membantunya menggenjot produktifitas, bikin betah, dan tak membuatnya tersisih.

“Punya teman dekat di kantor penting ya, meskipun ongkos yang harus dibayar, gue harus pulang lebih malam, terus-menerus ramah, dan basa-basi lebih banyak ke orang yang sebenarnya enggak gue suka-suka amat,” ujarnya pada Magdalene, (18/10).

Perempuan asal Bogor, Jawa Barat itu mengaku punya kepribadian ekstrovert, sehingga ia tak keberatan jika harus mengorbankan waktu dan tenaganya untuk berteman dengan semua orang kantor.

“Meskipun orang kantor itu toksik?” tanya saya.

“Iya, meskipun dia toksik. Suatu saat berteman dengan orang macam itu akan membantu gue kok suatu hari.”

Pendapat yang berseberangan disampaikan oleh Rudi Wibawanto, 33, karyawan perusahaan startup berkembang di Jakarta Selatan. Ia menolak menjadi people pleaser apalagi pulang lebih malam cuma bisa dekat dengan orang-orang kantor.

Gue selalu memegang prinsip, berteman boleh tapi jangan terlalu dekat. Lo juga enggak perlu merasa punya kewajiban untuk berteman dengan semua orang jika lo enggak mau,” ungkapnya, (19/10).

Sebagai gantinya, Rudi justru sengaja menetapkan batasan (boundaries) saat berteman dengan orang-orang di tempatnya bekerja. “Cara kerjanya mirip seperti pertemanan di luar kantor. Gue bakal menyeleksi siapa orang yang cocok jadi teman. Siapa yang cuma pantas diketahui namanya saja.”

Gue juga biasanya menghindari berteman dekat dengan orang yang berpotensi banyak drama, terlibat politik kantor, dan bikin jadi enggak nyaman. Intinya, sih, gue cuma berusaha sebisa mungkin untuk profesional aja, bisnis ya bisnis, teman ya teman, susah kalau dicampur-campur,” terangnya.

Baca juga: Apa itu Politik Kantor dan Bagaimana Cara Menavigasinya

Benarkah Berteman dengan Orang-orang Kantor Nirfaedah?

Umumnya, saat membahas soal preferensi pertemanan di kantor, para karyawan terbelah. Ada yang mendukung pertemanan dekat, tapi tak sedikit menolaknya dengan pelbagai alasan.

Buat Rudi yang tak mau punya teman dekat di kantor, ia beralasan, semakin dekat dengan orang, kian besar pula gesekan dan potensi konflik di depan mata. Menurutnya, berkonflik dengan teman kantor adalah salah satu hal yang rumit, karena ujung-ujungnya berpengaruh terhadap produktivitas atau kualitas kerja.

Lalu, apa kata riset soal ini? Sayangnya, banyak riset yang juga menunjukkan hasil beragam. Gallup meneliti karyawan-karyawan di Amerika Serikat (AS) hingga berkali-kali selama sepuluh tahun dan mencatat, 63 persen responden perempuan pekerja setuju memiliki teman dekat di kantor, sedangkan mereka yang menolak berteman dekat ada 29 persen. Persahabatan dengan teman kantor ini membuat karyawan merasa aman sekaligus membantu kita untuk tampil dalam performa yang baik, tutur Donald Clifton, mantan psikolog pendidikan yang mendirikan Gallup.

Riset senada ditunjukkan oleh Virgin Pulse yang berkolaborasi dengan Future Workplace pada 2018. Meneliti lebih dari 2.000 manajer dan karyawan di 10 negara, hasilnya 1 dari 10 orang yang tak memiliki teman dekat di kantor, merasa kesepian dan tertinggal dari pekerjaan mereka. Lebih lanjut, dua per tiga responden bilang, mereka cenderung betah di tempat kerja jika menganggap orang-orang kantor sebagai teman dekat bahkan keluarga.

Sebuah studi terpisah yang dilakukan Officevibe mencatat, sebanyak 70 persen karyawan mengatakan, teman di tempat kerja adalah elemen paling penting untuk kehidupan kerja yang bahagia. Bahkan, 58 persen pria akan menolak pekerjaan bergaji lebih tinggi jika mereka tidak cocok dengan rekan kerja. Apalagi mengingat jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja dengan durasi cukup intens, mustahil jika hubungan pertemanan—entah bagaimanapun wujudnya—bisa terhindarkan.

Baca juga: Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas

Berteman Boleh Asal Ada Batasan

Di luar riset-riset di atas, ada juga pernyataan pakar yang menyebutkan, berteman terlalu dekat dengan orang kantor justru bisa jadi bumerang. Amy Cooper, psikolog industri yang dikutip oleh CNN misalnya bilang, berteman dekat dengan rekan kerja bisa meningkatkan daya saing dan bibit-bibit kebencian. Karena itulah menurut Cooper, karyawan di kantor tak perlu memaksakan diri untuk berteman dekat, tapi mencoba bersikap ramah dengan rekan-rekan.

“Kita sering menyebut orang yang dekat dengan kita di tempat kerja sebagai ‘teman’, tetapi ada perbedaannya. Meskipun bersosialisasi dapat membantu meningkatkan kebahagiaan di tempat kerja, batasan adalah kunci. Kamu bisa minum kopi atau makan siang bareng, tapi tak perlu mengundang mereka pulang ke rumah untuk pesta barbekyu atau mengikuti acara keluarga khusus,” ucapnya.

Selain menjaga jarak, Cooper juga menyarankan agar batasan yang dibuat, termasuk tidak mudah curhat semua hal sensitif dan rahasia tergelap hidup kita. Sebab, kata dia, curhat hal pribadi berlebihan, bisa membuat perasaan tak enakan rentan mendominasi hubungan profesional. Semisal, saat kamu temanmu butuh uang, tapi kamu yang dapat promosi atau penugasan proyek

Pertanyaannya, apakah mungkin membuat jarak dan batasan dengan rekan kerja di kantor? Elizabeth Grace Saunders, penulis Divine Time Management and How to Invest Your Time Like Money (2015) memberi lima tips untuk membuat batasan di kantor, untuk berteman dengan orang kantor dengan porsi yang pas:

  1. Ucapkan terima kasih hanya untuk bantuan yang berarti

Kamu tak wajib membalas semua email atau pesan teks dari rekan kerja, apalagi jika pesan-pesan itu relatif mengganggu. Silakan balas pesan dan beri apresiasi rekan-rekan kerjamu yang jelas-jelas telah melakukan pekerjaan ekstra pada suatu proyek atau berbuat baik padamu. Tunjukkan apresiasimu secara langsung dengan tatap muka jika memungkinkan.

  1. Luangkan waktu untuk bertemu

Bagian ini penting untuk memberi pesan bahwa kamu adalah rekan yang baik dan mau meluangkan waktu untuk teman-teman kerja. Namun sekali lagi kamu harus menyeleksi orang-orang yang mau kamu prioritaskan untuk bertemu demi tujuan yang jelas. Bukan sekadar haha-hihi, menggunjingkan orang, atau melakukan hal yang membuang-buang waktumu.

  1. Proaktif menawarkan dukungan

Ada saat-saat ketika teman-teman kerjamu merasa sangat rentan di kantor, entah karena masalah di kantor atau rumah. Kamu tak perlu mengobrol secara teratur sampai larut malam, pulang bareng, atau menunggunya untuk pergi bersama kemana-mana, tapi sediakan bahumu atau kupingmu jika orang kantor memercayaimu untuk bercerita masalah yang mereka hadapi.

Tips-tips itu mungkin terdengar simplistis dan penuh perhitungan, tapi penting kamu lakukan agar nyaman di kantor: Bisa berteman, tapi juga tak terjebak pada drama politik kantor karena terlalu dekat dengan rekan-rekan kerja.

Read More

In a Lockdown, Where Does Work End and Parenting Begin?

All parents work. The difference lies in the breakdown between their paid and unpaid workloads. That equation is influenced by many things, including education, qualifications, age, ethnicity, financial status, number and age of dependants, gendered and societal expectations, and personal choice.

But during COVID-19 lockdowns, many working parents have had to conduct their paid work – usually done in the workplace – at home. Personally, professionally and geographically, this is new territory — for working parents, their loved ones and their employers.

It is also largely uncharted territory for researchers. Previous academic studies of work-life integration have largely treated home and work as separate domains, with clearly demarcated tasks performed in distinct locations and at different times.

Additionally, past research into balancing those roles and working flexibly (including from home) has found parents mainly worked while children were at school or day care, or that they weren’t in full-time paid work.

Also read: Working Mothers: Enough with the Guilt Trip!

The Lockdown Effect: Zigzag Working

Lockdowns have changed that, requiring many parents to work full-time while simultaneously schooling and caring for their children.

In this context, we suggest established, seemingly distinct concepts such as “work-life conflict” or “work-life balance” are limited in their ability to reflect and describe this new pandemic reality.

To that end, we have conceived a new concept that more accurately describes the working parent’s experience of juggling paid work (formal employment) and unpaid work (such as caregiving, household duties and volunteering) when both are being performed in the same environment during the same blocks of time.

We call it “zigzag working”.

Let’s imagine a typical example: Sarah teaches 26 nine- and 10-year-olds at a local primary school and is also mum to two kids aged 11 and 15, both studying from home during lockdown. Her husband is an essential worker, so he still goes out to work during the week.

One hour of her morning might look something like this:

9am: set up in the kitchen, designated as her “work zone”, she begins a Zoom session with her class to facilitate a 20-minute discussion

9.07am: motions to her teenage son not to eat the ingredients she is planning to use for dinner that night

9.20am: leaves the Zoom call, giving her students time to complete a task and for her to hang out a load of washing and reply to an email from a parent

9.35am: goes online again with her students for eight minutes to check their progress

9.41am: is approached by her 11-year-old daughter who needs help with her Maths

9.50am: brings her class back together on Zoom to hear about their work, while also indicating to her son what he can eat from the fridge

Also read: Working Does Not Make You a Lesser Mom

Or another imaginary example: Ananya is a senior team manager working in banking. She’s a solo mum of twin boys aged 16, also studying at home and really missing soccer, which both play at a high level. They have a Labrador puppy.

1.15pm: listening live to her CEO update, she is texting her boys to encourage them to get out for a skate rather than spend their lunchtime gaming (they ignore her)

1.30pm: after the update, she grabs some of leftovers as lunch

1.37pm: takes a phone call from a team member

1.48pm: now that her boys have resumed online classes she sits down to reply to several emails

2.07pm: encourages one son to complete an overdue school project, as well as filling the dog’s water bowl

2.11pm: starts an urgent conversation via Teams with her manager

2.17pm: realizes one of her twins is gaming when he’s meant to be working on his project

2.19pm: courier knocks on the door, no one else hears it, she interrupts another Teams meeting

New Territory for Employers

These scenarios illustrate the realities of zigzag working — the continuous and concurrent diving between paid and unpaid work as micro sessions, or managing paid and unpaid tasks simultaneously.

During lockdowns, many of the forms of support parents rely on – including relatives, paid household services, schools, day cares centres and after-school sports – are not available.

This is also new territory for employers, with many making up the rules as they go along and with large numbers of staff working at home full time.

We encourage employers to think about the roles working parents are juggling. Some tried and true forms of organizational support and being a “good employer” will no doubt apply here.

Employers might also consider tweaks for lockdown working, including:

  • recognising that working parents may be frequently interrupted, prolonged periods of “focused time” do not exist, and there is no such thing as “complete silence”
  • not starting online meetings exactly on the hour, when school class sessions typically start
  • checking in advance with working parents when is convenient to take a call, or scheduling a time for one
  • breaking up long online meetings with micro breaks for all participants
  • recording organizational updates so parents can tune in at a time to suit the family schedule
  • enabling and encouraging staff to take reasonable breaks, as they would do in a normal work environment
  • encouraging and facilitating discussions of “chaos” to counteract notions of being the ideal worker or parent.

Researching The Reality of Zigzag Working

Life was complex before COVID-19. Now it feels especially challenging. We encourage employers to understand the reality of zigzag working and to play a positive part in it. As well, they should recognize zigzag working may also be experienced by working grandparents and contractors managing several jobs on top of family responsibilities.

For a parent, the impacts of zigzag working may be magnified if they have a partner also trying to do paid work in the home.

The permutations are many. So too are the research opportunities to study and understand this new zigzag reality.

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Candice Harris is Professor of Management at Auckland University of Technology.

Jarrod Haar is Professor of Human Resource Management at Auckland University of

Read More

Maria Ressa: Penegak Kebebasan Pers Filipina, Peraih Nobel Perdamaian 2021

“Saya sangat bersyukur dan terhormat karena jurnalis mendapatkan perhatian, artinya komite menunjukkan jurnalis menerima serangan. Mungkin masa depan kita akan bergantung pada seberapa baik kita bekerja.” 

Kata-kata ini diungkapkan Maria Ressa jurnalis Filipina kepada Al Jazeera, setelah meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2021 pada 8 Oktober lalu. Bersama Dmitry Andreyevich Muratov, Ressa memenangkan penghargaan tersebut karena upayanya melindungi kebebasan berekspresi, yang merupakan prasyarat demokrasi dan perdamaian. Dengan berani ia menyoroti perihal penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan otoritarianisme di Filipina.

Berprofesi sebagai jurnalis selama puluhan tahun, perempuan berusia 58 tahun itu menyatakan kehadiran teknologi membuat platform berita kehilangan kekuatannya dalam melakukan gatekeeping. Situasi ini membuat fakta menjadi diperdebatkan di ruang publik, sehingga batas antara fakta dan kebohongan menjadi kabur.

Kepada CNN, Ressa mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pemilihan presiden Filipina pada 2022. Ia menyampaikan, jika platform yang menyampaikan berita bias terhadap fakta, integritas pemilu dipertanyakan karena yang disebarkan adalah kebohongan dan kebencian.

“Filipina tidak akan keluar dari situasi ini apabila fakta, penalaran berdasarkan bukti, dan realitas bersama tidak didapatkan,” ujarnya, menggambarkan situasi negaranya yang akan semakin terpecah.

Baca Juga: Zarifa Ghafari, Wali Kota Perempuan Termuda Afghanistan yang Diancam Taliban

Mendapat Ancaman Karena Mengkritik Pemerintah

Berawal dari sebuah laman Facebook bernama MovePH pada Agustus 2011, Ressa mendirikan Rappler pada Januari 2012 bersama sekelompok jurnalis lainnya. Mengutip Sydney Morning Herald, Founder dan Senior Editor Rappler, Chay Hofileña mengatakan, mereka melihat jurnalisme dan media sosial berpotensi membentuk perubahan sosial.

Lewat platform berita, mereka ingin menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, isu-isu misoginis, menyelidiki pengusaha ternama di Filipina, perang narkoba oleh Presiden Rodrigo Duterte, dan kampanye pembunuhan yang merenggut 20.000 nyawa.

Pada Oktober 2016, Maria Ressa jurnalis Filipina memublikasikan sebuah artikel berjudul “Propaganda war: Weaponizing the internet” di situs Rappler. Artikel ini menyoroti Duterte dan pendukungnya yang mengerahkan pasukan untuk mengintimidasi oposisi, menyebarkan disinformasi di internet, dan membungkam kritik. Artikel tersebut dianggap mendiskreditkan pemerintah, dan banyak komentar yang menyerang jurnalis atau media yang memublikasikannya.

Sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak menurut We Are Social, masyarakat Filipina menggunakan media sosial sebagai alat propaganda, sehingga disinformasi tumbuh dengan cepat. 

Dari peliputan tersebut, banyak yang mempertanyakan kredibilitas Ressa sebagai seorang jurnalis. Ada yang menuduhnya berbohong dan mengatakan informasi yang disampaikan dalam artikel tersebut tidak akurat. Lebih dari itu, ia menerima lebih dari 2000 sumpah serapah di Facebook pada 2017. Penyerang itu menjulukinya dengan istilah-istilah kotor, hingga diancam akan mati, ditangkap, dan dipenjarakan. Bahkan, seorang laki-laki menyumpahinya diperkosa hingga mati. 

Serangan itu tak hanya dilakukan oleh pendukung Duterte, sang presiden pun melakukan aksinya dengan menyebut Rappler dimiliki oleh Amerika Serikat, didanai oleh Central Intelligence Agency (CIA), dan media yang menyebarkan berita palsu. Dari serangan yang terjadi, jelas tampak bahwa kebebasan pers di Filipina terancam.

Dilansir The Guardian, persoalan tersebut membuat Securities and Exchange Commission (SEC), sebuah lembaga pemerintah Filipina yang bertanggung jawab mengatur industri sekuritas, mencabut surat izin Rappler. Namun, saat kasus tersebut dibawa ke pengadilan banding, disebutkan kasusnya tidak berdasar sehingga dikembalikan ke SEC.

Baca Juga: Mengenal Jia Ling, Sutradara Perempuan Tiongkok yang Sedang Meroket

Ditangkap Akibat Pencemaran Nama Baik

Pada Oktober 2017, Wilfredo Keng menuntut Ressa dan Reynaldo Santos, karena Rappler mempublikasikan artikel penyuapan Keng ke Hakim Agung Renato Corona. Sebetulnya artikel itu dipublikasikan pada 2012, sebelum Benigno Aquino III menandatangani UU tindakan pencemaran nama baik di dunia maya.Namun, karena ada kesalahan pengejaan, Rappler menerbitkan kembali artikel tersebut pada 2014, dan karena pada saat itu UU tindak pencemaran nama baik di internet sudah disahkan, Departemen Kehakiman menilai kasusnya dapat dilanjutkan. 

Dari kasus tersebut, Ressa baru dinyatakan bersalah pada 15 Juni 2020. Menurut hakim, Rappler tidak memberikan bukti bahwa mereka memverifikasi tuduhan kejahatan, jadi mereka dianggap mengabaikan kebenaran informasi tersebut.

Persatuan Jurnalis Nasional Filipina menilai keputusan hakim bisa membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun, juru bicara kepresidenan Harry Roque, meminta media menghargai keputusan pengadilan itu. Ia juga meyakinkan ke publik bahwa keputusan ini tidak berpengaruh ke komitmen Duterte tentang kebebasan pers.

Baca Juga: Nurul Bahrul Ulum Dakwah di Medsos Lawan Tafsir Tak Ramah Perempuan

Terlepas dari kasus pencemaran nama baik, sejak 2018 Ressa dan Rappler juga menghadapi 10 kasus investigasi lainnya, seperti penuduhan kepemilikan asing ilegal, dan penyelidikan atas pengembalian pajak.

Menanggapi persoalan ini, komunitas internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Reporters Without Borders, justru menilai perkara ini melibatkan politik.

Deputy Director Asia Division Human Rights Watch, Phil Robertson mengatakan dalam situs organisasi tersebut, vonis terhadap Ressa mencerminkan pemerintahan yang manipulatif karena menyerang kekritisan media yang menyuarakan kondisi negara. Ia mengkhawatirkan kasus ini memicu kebebasan pers di negara lain yang sebelumnya telah membebaskan media dalam peliputannya dan mengutamakan demokrasi.

Read More

WFO, WFH, atau Keduanya? Menimbang Sistem Kerja Terbaik Usai Pandemi

Seiring longgarnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sebagian kantor yang tadinya menerapkan sistem kerja dari rumah (WFH) secara penuh berangsur-angsur beralih ke kerja dari kantor (WFO) sebagian (hybrid) atau penuh. 

Hal ini ditanggapi beragam oleh para pekerja, seperti terlihat dari komentar-komentar warganet saat kami melempar pertanyaan: Mana yang lebih mereka sukai, WFO atau WFH. Dari komentar-komentar yang masuk, hampir separuhnya lebih suka WFH, sementara sebagian sisanya lebih nyaman kerja secara hybrid.

Tren pekerja yang lebih nyaman dan  bisa bekerja jarak jauh (remote work) atau WFH memang sudah muncul jauh sebelum pandemi. Namun, pandemi menambah jumlah orang-orang yang lebih memilih remote work. Bahkan, bila orang-orang ini dituntut kerja kembali dari kantor, mereka akan mempertimbangkan akan bertahan atau tidak.

Ini tampak dari survei FlexJobs pada Maret-April 2021 terhadap 550 laki-laki dan 1.600 perempuan yang pernah atau masih melakukan remote work. Sebanyak 60% perempuan dan 52% laki-laki menyatakan akan resign bila mereka tidak bisa lanjut bekerja jarak jauh. Dalam survei Flexjobs lainnya, ditemukan pula 58% pekerja jarak jauh menyatakan pasti akan cari pekerjaan baru jika yang sekarang tak memungkinkan kerja jarak jauh pascapandemi, dan 69% laki-laki dan 80% perempuan menilai kerja jarak jauh sebagai pertimbangan penting dalam mencari pekerjaan baru itu. 

Alasan Memilih WFH

Kami menemukan sejumlah alasan yang mendasari pilihan sebagian warganet yang pro-WFH. Pertama, faktor uang, energi, dan waktu yang harus dikeluarkan untuk pergi ke kantor. Perkara ini memang menjadi keresahan yang jamak dihadapi pekerja yang tinggal jauh dari kantor dan harus menghadapi kemacetan sehari-hari di kota-kota besar. 

Dalam studi yang dimuat di The International Journal of Business and Management (2019), disebutkan bahwa kemacetan menurunkan produktivitas dan ketepatan waktu pekerja. Selain itu, mayoritas responden studi tersebut juga menyatakan hal ini berdampak buruk terhadap kesehatan mereka, baik fisik maupun psikis. Sebanyak 50,8% responden sangat setuju dan 41,3% setuju kemacetan parah meningkatkan level stres mereka. Dilansir Healthline, ketika level stres naik dan berlangsung terus menerus, ini bisa memicu berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, peningkatan gula darah, ketegangan otot, dan melemahnya sistem imun.  

Penurunan produktivitas tidak hanya dipengaruhi masalah mobilitas pekerja, tetapi juga suasana kantor. Hal ini terlihat dari komen seorang warganet yang menyatakan di kantor, ia mesti memasang headset seharian penuh saat bekerja. Ini bisa dipengaruhi oleh kebisingan atau distraksi lain yang berdampak pada konsentrasinya.

Faktor suasana kantor ini bisa dipandang berbeda berdasarkan pengalaman masing-masing pekerja. Ada pekerja yang justru bisa berkonsentrasi lebih baik ketika berada di kantor karena justru situasi rumahnya yang tidak kondusif. Misalnya, di tengah rapat, ia diinterupsi oleh anaknya atau ada kebisingan dari lingkungan rumahnya. Karena alasan ini, sebagian orang lainnya merasa WFH lebih menyulitkan mereka untuk jadi produktif. 

Alasan ketiga, WFH memungkinkan pekerja melakukan aktivitas yang sulit ia lakukan bila harus ke kantor. 

“Semenjak WFH saya sempat olahraga, ke pasar jalan kaki, dan masak sendiri (yang biasanya terbuang dengan commute rumah-kantor). Bangun lebih segar, uang lebih irit, tapi ya [ini] privilege [saya] kerja dengan orang kantor kooperatif yang ngerti [kalau] kontak kerjaan hanya saat jam kerja, kecuali urgent banget,” tulis salah satu warganet.

Alasan ini mengindikasikan pekerja memerlukan waktu tersendiri untuk melakukan hal yang dibutuhkan dan disenanginya, dan ini tersita jika ia harus bekerja dari kantor. Sering kali, alasan ingin punya waktu lebih banyak untuk kehidupan pribadi menjadi isu besar bagi ibu bekerja. Karenanya, sekalipun WFH membuatnya mesti berjibaku menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan rumah dan kantor, sebagian ibu tetap menikmati sistem kerja ini karena memungkinkan mereka punya waktu lebih banyak bersama keluarganya karena tidak harus menghabiskan berjam-jam di perjalanan.

Masa Depan Kantor Pasca-pandemi

Mempertimbangkan berbagai keuntungan yang didapat dari WFH, warganet yang berkomentar di Instagram kami berharap kantornya tetap menerapkan sistem ini berseling dengan WFO. Tak dapat dimungkiri, ada waktu-waktu tertentu ketika pekerja butuh melakukan koordinasi atau brainstorming dengan rekan-rekan atau bosnya. Hal ini oleh sebagian orang dirasa lebih efektif jika dilakukan secara langsung dibanding virtual.

Selain itu, beberapa warganet juga menyampaikan adanya kebutuhan untuk bertemu dengan orang-orang kantor setelah lama bekerja dari rumah. Dalam tulisan Stephanie Russel di The Conversation, ketiadaan kontak sosial, yang terjadi akibat kerja jarak jauh, memang disebut berkontribusi terhadap stres pekerja. Ia menyatakan, seiring lamanya para pekerja tak bertemu, mereka bisa saling melupakan. Ini bisa mengarah pada kurangnya rasa percaya, meningkatnya perasaan terasing dan potensi timbulnya konflik dengan kolega. Terkait hal terakhir, salah satu faktor yang bisa memicunya adalah kesalahpahaman yang terjadi selama melakukan komunikasi secara virtual atau via teks. 

“Tanpa bahasa tubuh yang terlihat, sulit untuk menyampaikan maksud kita sesungguhnya,” tulis Russel. 

Tak hanya pekerja yang menilai hybrid menjadi opsi terbaik untuk masa depan kantor pasca-pandemi. Di sisi perusahaan, keinginan untuk menerapkan sistem kerja hybrid juga tinggi. Ini terlihat salah satunya dari artikel McKinsey yang memaparkan hasil survei mereka terhadap 100 orang di level Csuite, wakil presiden, dan direktur dari Asia, Eropa, Amerika Latin, dan AS (Desember 2020-Januari 2021). Sebanyak 40% responden ingin proporsi kerja dari kantor sebesar 21-50%, 40% ingin proporsi 51-80%, 10% ingin proporsi >80%, 7% ingin proporsi < 20%, dan 3% ingin kerja jarak jauh total. 

Tidak hanya kemungkinan untuk bisa kembali bersosialisasi dengan kolega dan berkoordinasi lebih baik untuk pekerjaan kantor, kebaikan sistem hybrid yang membuatnya layak dipertimbangkan jadi opsi di masa depan adalah adanya independensi dan fleksibilitas. Hal ini penting mengingat kebutuhan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi. Terlebih pada pekerja perempuan yang masih mendapat tuntutan lebih banyak untuk mengurus pekerjaan domestik dan tidak punya sistem pendukung seperti dari keluarga atau asisten rumah tangga.

Fleksibilitas menjadi pelajaran penting selama perubahan sistem kerja pada masa pandemi yang perlu dimasukkan dalam perencanaan masa depan kantor pasca-pandemi. Ini bertujuan untuk mempertahankan pekerja-pekerja terbaik di suatu perusahaan yang punya berbagai tantangan seperti kelompok ibu bekerja tadi. Tanpa adanya hal ini, kemungkinan perusahaan untuk menjadi inklusif dan mengusung keberagaman semakin berkurang, dan hal ini bisa berdampak buruk kemudian terhadap performa perusahaan.

Dalam BBC, Christine Ro menulis sistem hybrid juga memungkinkan pekerjaan terselesaikan secara lebih efisien. Sebagian pekerjaan mungkin memerlukan kerja tim, tetapi sebagian lainnya bisa dilakukan maksimal sendiri. Mengutip pendapat Baruch Silverman, founder situs keuangan personal The Smart Investor, “Sebuah pekerjaan bisa saja menyita beberapa jam di kantor sementara di rumah  bisa terselesaikan dalam satu-dua jam.” 

Di samping sistem hybrid, ada sistem lain yang bisa diterapkan perusahaan pasca-pandemi: Hub and spoke. Dalam Harvard Business Review, peneliti senior di Hassel yang berfokus pada masa depan tempat kerja Daniel Davis, Ph.D. mendeskripsikan sistem kerja ini: “Karyawan bekerja dari kantor satelit yang lebih kecil di pinggiran kota atau tempat yang lebih dekat dari domisilinya alih-alih datang ke kantor besar di distrik pusat bisnis. Ini akan menghemat ongkos yang dikeluarkan dengan menjadi komuter, dan membawa keuntungan lain yaitu kesempatan interaksi tatap muka dengan kolega.” 

Untuk opsi yang satu ini, barangkali tidak semua perusahaan bisa menjadikannya masa depan kantor pasca-pandemi walau keuntungan yang didapatkan tampak menggiurkan. Tantangannya ada pada skala dan kemampuan finansial perusahaan juga untuk membentuk kantor-kantor satelit.

Komunikasi antara Karyawan-Bos Soal Sistem Kerja Penting

Menentukan masa depan kantor pasca-pandemi memang membawa dilema tersendiri bagi perusahaan, dan mereka tidak bisa menyenangkan semua karyawan yang punya kebutuhan berbeda. 

Ro menulis, ada isu ketidaksetaraan sosio-ekonomi antara siapa yang bisa bekerja di rumah dan tidak. Sebagian pekerja mungkin punya akses internet yang baik dan lingkungan rumah kondusif untuk bekerja, sebagian lainnya punya kebutuhan tinggi untuk mengasuh anak, sehingga opsi hybrid atau kerja WFH secara penuh tak jadi masalah buatnya. Namun, tidak pada sebagian pekerja lainnya.

Mendapati perbedaan kebutuhan ini, penting untuk melakukan komunikasi terbuka antara karyawan dan pihak perusahaan karena akan berdampak pada performa kerjanya. Dalam Forbes, pengusaha bidang teknologi, Carren Merrick menyarankan kepada para pekerja untuk terbuka tentang kebutuhan mereka. 

“Jika kebutuhanmu–seperti tunjangan anak atau penggantian ongkos transportasi–tidak ditawarkan perusahaan, terbukalah kepada supervisor-mu dan upayakan kompromi yang memungkinkan kamu bekerja optimal dan mendapat dukungan yang dibutuhkan,” tulis Merrick.

Menurut ibu bekerja yang menjabat sebagai CEO, penting bagi pekerja untuk mengingat bahwa mengelola kehidupan pribadi tak mesti mengorbankan pekerjaan dan sebaliknya. Penting pula bagi pekerja untuk memprioritaskan self care dan kesehatan mentalnya  sehingga ketika ada perubahan kebijakan sistem kerja di kantor, pekerja bisa mengevaluasi lagi apakah itu bisa dan mau dijalankan dengan berbagai konsekuensinya atau tidak. 

Read More
tips menjadi perempuan kuat dan mandiri

Perempuan, Jangan Takut untuk Jadi Mandiri!

Sejak saya berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, ibu saya selalu berkata, sebagai perempuan, saya harus rajin belajar dan bersekolah setinggi mungkin. Di matanya, pendidikan tinggi penting bagi perempuan agar ia menjadi sosok yang kuat dan mandiri. Berbekal hal tersebut, seorang perempuan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan tidak lagi bergantung pada laki-laki yang nanti kelak akan menjadi suaminya. 

Mendengar hal itu saya lalu bertanya, mengapa perempuan mesti memiliki penghasilan sendiri. Ia pun dengan santai menjawab,

“Suatu hari, kalau amit-amit nanti pernikahanmu enggak berjalan dengan baik, kamu bisa lepas dari suamimu. Atau, kalau suamimu meninggal duluan, kamu enggak bakal ketakutan untuk menghidupi anak-anak kamu nanti.”

Benar juga apa kata ibu saya. Ia adalah salah satu perempuan yang rumah tangganya tidak berjalan dengan baik. Selama pernikahan, ibu saya yang mencari nafkah, sedangkan Ayah kerjanya cuma menyusahkan ibu saya. Dari situ, saya pun bercita-cita untuk menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti ibu saya. 

Saya membiasakan diri untuk melakukan semuanya sendiri. Ketika saya tengah menjalin hubungan romantis dengan laki-laki, saya selalu berkata pada mereka, saya lebih memilih untuk split bill ketika kami berkencan, atau bisa juga kami berganti-gantian membayari kencan. Namun, ada juga mantan saya yang kadang suka tersinggung dengan hal ini, dan memaksa untuk membayari. Aduh, memang susah sih, berhadapan dengan laki-laki yang memiliki maskulinitas rapuh seperti ini. 

Dari salah satu contoh pengalaman itu, tersirat bahwa tidak semua orang bisa menerima pemikiran ibu dan saya tentang perempuan mandiri ini. Mereka menganggap, jika perempuan diberikan kesempatan untuk menjadi kuat dan mandiri, nantinya mereka akan ngelunjak. Sebagian masyarakat takut, nantinya bakal sedikit perempuan yang enggak mau menikah dan lebih memilih untuk fokus berkarier. Ketakutan seperti ini yang disertai pembatasan ruang gerak tentunya menghambat perkembangan diri perempuan di ranah publik. Padahal, itu adalah hak perempuan, seperti halnya dengan mengambil pilihan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. 

Bagi kamu perempuan yang tengah menggapai mimpimu atau sedang galau dengan pilihan hidupmu, ingatlah bahwa  semua keputusan ada di tanganmu, dan kamulah yang akan menjalani segala konsekuensinya. Tak peduli bagaimana pun orang sekitar menekanmu supaya tidak terlalu mandiri, kamu tetap sah-sah saja menjadi sosok seperti itu karena itu juga demi kebaikanmu.

Sebagai sesama perempuan, saya ingin sedikit berbagi tips bagaimana menempa diri agar semakin menjadi perempuan kuat dan mandiri. Berikut beberapa di antaranya.

1. Patahkan Segala Pandangan Soal Perempuan yang Menghambat Perkembangan Dirimu

Sedari kecil hingga dewasa, perempuan tumbuh besar dengan pandangan dan anjuran yang menghambat dirinya. Contohnya, perempuan itu pantasnya di rumah saja, perempuan tidak baik untuk menunda pernikahan, perempuan tak perlu sekolah tinggi, perempuan tidak boleh ambisius, dan lain sebagainya. 

Walaupun sulit, sebagai seorang perempuan kita tidak boleh lelah untuk terus berjuang melawan pandangan dan anjuran tersebut. Bekali diri dengan pengetahuan tentang kesetaraan gender dan carilah teman-teman dan support system yang mendukungmu meraih mimpi.

2. Menjadi Perempuan Kuat Harus Kenali Apa Saja Kelemahanmu dan Temukan Cara Memperbaikinya

Untuk menjadi perempuan yang mandiri dan kuat, kamu juga perlu untuk melakukan refleksi, apa sih kelemahan-kelemahan dari diri kita. Ketika kita mengetahui apa saja kelemahan yang kita miliki, kita bisa mencari solusi untuk memperbaiki diri

Kamu juga bisa bertanya loh, pada teman dekatmu atau orang-orang yang  bisa melihat dirimu dengan objektif, untuk membantumu melakukan refleksi. 

3. Kamu tidak Perlu Terus Menerus Bersikap Kuat

Walau kamu sedang dalam perjalanan untuk mandiri, tidak salah loh, kalau sewaktu-waktu kamu merasa lelah dan berhenti tampak kuat. Itu manusiawi sekali. 

Kalau kamu sudah lelah secara fisik dan emosional, tapi tetap memaksakan untuk pura-pura kuat, kamu dan sekitar juga yang akan rugi nantinya. Tidak hanya buruk untuk kesehatan tubuh dan jiwamu, hal ini juga bisa berdampak negatif terhadap performa studi/kerja dan relasimu dengan orang sekitar.

Semua orang  pantas untuk mendapat jeda istirahat, termasuk kamu. Perempuan yang kuat dan mandiri adalah perempuan yang tahu kapan waktunya ia istirahat dan kembali berjuang.

4. Menjadi Perempuan Kuat dan Mandiri dengan Terus Menantang Dirimu Sendiri

Jika kamu ingin menjadi perempuan yang kuat dan mandiri, cobalah untuk terus menantang dirimu sendiri. Ada kalanya, ketika kita keluar dari zona nyamanmu, kamu bakal dihadapkan dengan berbagai hal baru yang nantinya akan membantumu bertumbuh

Memang sih, hal ini lebih sulit dilakukan ketimbang cuma jadi omongan saja, tetapi tidak ada salahnya untuk kamu coba, bukan? 

5. Jangan Bergantung pada Orang Lain untuk Membahagiakan Dirimu

Jika kamu ingin menjadi perempuan kuat dan mandiri, hal utama yang perlu kamu ingat adalah jangan bergantung pada orang lain untuk membuatmu bahagia. Tidak kepada orang tua, pasangan, anak, teman, atau siapa pun. Yang bisa menentukan kebahagiaanmu adalah dirimu sendiri.

Bayangkan jika kamu bergantung pada orang atau hal lain, lantas dia pergi tanpa kamu duga? Kamu bisa saja merasa hidupmu tak berarti lagi. Padahal, kamu punya berbagai potensi untuk dikembangan dan masih ada beragam kesempatan yang menanti di depan. Bukankah itu semua terlalu sayang untuk disia-siakan hanya karena kita terpuruk lantaran terlalu bergantung pada orang lain?

6. Berbaikhatilah pada Dirimu Sendiri

Di satu sisi, memang kita perlu menantang diri sendiri supaya setahap demi setahap bisa merasakan kehidupan dan menjadi pribadi lebih baik. Namun, di sisi lain, kamu tetap perlu ingat untuk tidak terlalu keras pada dirimu dengan terus-terusan mengkritiknya, atau menampik apresiasi orang lain yang ditujukan kepadamu. 

Ada kalanya juga karena melihat pencapaian seseorang, kita malah jadi berfokus pada hal itu dan menuntut diri kita agar bisa seperti orang tersebut. Padahal, setiap orang memiliki titik start dan proses yang berbeda-beda sehingga kapan mereka mencapai sesuatu pun tidak layak dipukul rata. Kalau memang temanmu sudah bisa mapan dan mandiri pada usia 25, sedangkan kamu yang sudah menginjak 30 saja belum bisa, tidak perlu berkecil hati. Toh hidup ini bukan semata-mata perlombaan yang mesti dimenangkan saja.

Read More
Hadapi Masalah Kesehatan Mental Pekerja

Kesehatan Mental Pekerja Rentan Selama Pandemi, Ini yang Bisa Dilakukan Perusahaan

Pandemi COVID-19 tidak hanya meningkatkan kerentanan kesehatan orang-orang secara fisik, tetapi juga psikis. Salah satu kelompok yang rentan mengalami masalah kesehatan mental ialah para pekerja. 

Berdasarkan survei pada Desember 2020 yang dilakukan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) sebanyak 38 persen karyawan di Indonesia mengalami kesehatan mental yang memburuk. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar dua persen dari survei serupa pada Mei 2020.

Survei ini dilakukan terhadap 300 pekerja laki-laki dan 300 pekerja perempuan di sektor swasta yang berusia 18-60 tahun. 

Selain temuan ini, masalah kesehatan mental pekerja juga ditemukan lebih banyak dialami perempuan dibanding laki-laki (40 persen dibanding 36 persen). Lebih banyaknya perempuan yang mengalami ini bisa terkait dengan beban domestik yang bertambah selama pandemi dan sistem kerja dari rumah (WFH) diterapkan. Sebanyak 90 persen perempuan dan 81 persen laki-laki melaporkan adanya tambahan tanggung jawab rumah tangga dalam survei Desember 2020.

Di samping beban domestik, hal lain yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan mental pekerja ialah kecemasan terhadap situasi yang serba tak pasti dan rentan. Sebanyak 70 persen pekerja yang disurvei mengalami hal ini. Lalu, ada juga faktor keresahan terhadap kondisi finansial dan keluarga yang juga berkontribusi terhadap penurunan kesehatan mental pekerja.

Temuan lain dari survei IBCWE ini adalah adanya perbedaan level masalah kesehatan mental berdasarkan usia. Pada kelompok pekerja berumur 45-60, ada 24 persen yang melaporkan dampak negatif pandemi terhadap kesehatan mentalnya. Sementara pada kelompok pekerja berumur 25-34 tahun, angka ini mencapai 49 persen. 

Baca juga: Kesehatan Mental Pekerja Masih Diabaikan, Perusahaan Perlu Buat Perubahan Kebijakan

Dampak Kesehatan Mental Pekerja yang Menurun 

Ada sejumlah dampak negatif yang terjadi akibat masalah kesehatan mental pekerja, beberapa di antaranya tercantum dalam laporan WHO (2002) bertajuk “Mental health and work: Impact, issues, and good practices”. Pekerja dengan kesehatan mental buruk cenderung lebih sering absen, baik karena masalah mentalnya itu maupun masalah fisik yang mengiringi gangguan kesehatan mental seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pencernaan, gangguan tidur, sakit kepala, dan sebagainya.

Dari segi performa kerja, pekerja lebih mungkin mengalami penurunan produktivitas, melakukan kesalahan dalam bekerja, mengalami kecelakaan, atau kesulitan dalam membuat keputusan, perencanaan, dan kontrol. Selain itu, pekerja juga akan mengalami penurunan motivasi dan komitmen, burn-out, dan berpeluang bekerja dalam jangka panjang tetapi hasilnya minimal.

Masalah kesehatan mental pekerja juga berdampak tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga bagaimana ia berelasi dengan kolega dan klien. Sangat mungkin pekerja dengan masalah ini menghadapi ketegangan dan konflik dengan rekan kerjanya. Seiring dengan itu, muncul potensi peningkatan masalah kedisiplinan pekerja.

Dalam jangka panjang, penurunan kesehatan mental dapat mendorong pekerja untuk mengundurkan diri. Ini akan mendatangkan biaya besar bagi perusahaan untuk mencari orang penggantinya, terlebih bila yang mengundurkan diri duduk di level manajer ke atas. Pasalnya, tidak gampang untuk mencari orang-orang yang punya kemampuan dan sudah mengenal perusahaan dengan baik untuk menggantikan orang yang mengundurkan diri itu. Setidaknya perusahaan perlu berinvestasi lebih dalam pelatihan orang baru atau membuka rekrutmen.

Baca juga: Kiat-kiat Kantor Dukung Kesehatan Mental Karyawan yang Patut Dicoba

Peran Perusahaan

Menyadari besarnya dampak yang terjadi akibat kesehatan mental pekerja yang menurun, perusahaan perlu aktif membicarakan isu ini dan membuat sejumlah inisiatif untuk mencegah memburuknya kondisi mental pekerja, terlebih ketika masih pandemi.

Dalam artikel “Coronavirus (COVID-19): Mental health support for employees” di situs Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD), disebutkan sejumlah hal yang bisa dilakukan perusahaan, khususnya divisi sumber daya manusia (SDM) untuk mengantisipasi masalah kesehatan mental pekerja.

Pertama, memberi pengarahan pada para manajer tentang potensi dampak pandemi terhadap kesehatan mental, termasuk peran dan tanggung jawab apa saja yang mesti mereka emban untuk mendukung karyawan. 

Kemudian, perusahaan bisa mengomunikasikan secara rutin tentang dukungan kesehatan mental dalam aktivitas-aktivitas tertentu di tempat kerja. Hal ini dapat dilakukan untuk menciptakan budaya kantor yang menerima obrolan seputar kesehatan mental dan bagaimana cara mengakses dukungan ketika seseorang mengalami gangguan pada hal tersebut. 

Bagi para manajer, penting untuk melakukan pengecekan rutin dalam rapat-rapat, baik dalam kelompok maupun secara individual. Ini akan membantu mereka waspada terhadap tanda masalah kesehatan mental karyawan.

Ada pun beberapa tanda yang perlu diperhatikan untuk mulai membicarakan masalah kesehatan mental dengan karyawan adalah adanya jam kerja panjang yang tidak memungkinkan karyawan beristirahat; peningkatan absensi atau keterlambatan karyawan; perubahan mood; munculnya distraksi atau kebingungan pada diri karyawan; adanya perasaan mudah tersinggung, marah, atau agresi; masalah pada performa kerja, sikap berlebihan dalam menanggapi suatu masalah; dan perilaku anti-sosial.  

Dalam menghadapi tanda-tanda ini, penting diingat bahwa manajer tidak boleh bersikap seolah dirinya adalah pakar kesehatan mental. Alih-alih, mereka dapat merujuk karyawan yang bermasalah mentalnya ke profesional atau layanan dukungan.

Hal lain yang dapat mereka lakukan ialah menjadi panutan bagi karyawan lain. Para manajer perlu membagikan bagaimana mereka menjaga kesehatan mental sendiri dan mendorong karyawan lainnya untuk bercerita bila memiliki masalah dalam hal tersebut.

Seiring dengan itu, mereka juga dapat mendorong para karyawan untuk terkoneksi satu sama lain. Koneksi sosial, baik secara virtual selama WFH maupun secara langsung, yang dapat dilakukan melalui media sosial atau pertemuan kasual secara daring, dapat menghindari perasaan terisolasi yang memperburuk kesehatan mental pekerja.

Terakhir, para manajer bisa mereviu beban kerja yang diberikan pada karyawan. Sangat dipahami bahwa saat ini, karyawan banyak yang kewalahan dalam mengurus tugas kantor bersamaan dengan tugas domestik selama WFH. Manajer perlu lebih sensitif dalam menyikapi hal ini dan menyesuaikan kembali ekspektasi mereka pada para bawahan. 

Read More
Diskriminasi Perempuan Pekerja ‘Event’, Bukti Negara Absen

Diskriminasi Perempuan Pekerja ‘Event’, Bukti Negara Absen

Awal September lalu, Putu Dessy Fridayanthi, Master Ceremony (MC) perempuan, menerima diskriminasi usai dilarang tampil di acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, hanya karena ia perempuan. Itu bukan kali pertama, sebab berdasarkan kronologis yang diceritakannya di Instagram story, peristiwa tersebut sudah berulang selama tiga tahun terakhir.

Selain Dessy, beberapa perempuan lainnya yang pernah bekerja di sebuah acara maupun event organizer, mengalami hal serupa.

Gita, 28, periset di perguruan tinggi negeri menceritakan pengalamannya kepada Magdalene pada (22/9). “Gara-gara perawakan dan gaya saya maskulin, juga bersuara berat, saya sering dimanfaatkan atasan untuk mengurus hal-hal teknis kalau ada event,” tuturnya.

Bukan hanya itu, Gita pun mengalami pelecehan berupa catcalling, ketika mengawasi pemasangan panggung pada tengah malam hari.

Sementara “Anggun”, 22, pekerja swasta di sebuah perusahaan event mengalami diskriminasi berupa perbedaan pembagian pekerjaan, antara laki-laki dan perempuan.

“Perempuan enggak pernah in charge sebagai kru yang running event, padahal kita punya pengalaman yang cukup bagus lho. Otomatis ini ngaruh ke gaji perempuan,ceritanya.

Terlepas dari kapabilitas perempuan untuk melakukan berbagai tanggung jawab tersebut, ini jelas berkaitan dengan pola pikir diskriminatif dan bias gender. Masih banyak pihak menganggap orang-orang berpenampilan macho, lebih kuat dalam melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih. Sementara perempuan yang “lemah gemulai” terjebak di ruang gerak yang terbatas.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya 

Kurangnya Implementasi UU Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

Meskipun Indonesia telah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, atau Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), pelaksanaannya masih belum maksimal. Ini juga yang menyebabkan para perempuan pekerja di bidang event masih mengalami diskriminasi.

“Perlu diakui ada banyak perkembangan yang diupayakan pemerintah untuk menghapus diskriminasi, seperti keberadaan UU KDRT dan UU Perkawinan Anak, itu kan contoh produk perundang-undangan yang berpihak pada perspektif gender,” tutur Ketua Yayasan Kalyanamitra dan anggota CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), Listyowati, dalam wawancara bersama Magdalene pada (23/9).

Namun, menurutnya kondisi Indonesia memprihatinkan karena masih terdapat program UU yang sangat bias gender dan mendiskriminasikan perempuan, misalnya Peraturan Daerah (Perda) Syariah.

Menjadi kewajiban negara untuk menegakkan dan menyamakan perspektif kesetaraan gender, agar para stakeholders maupun pihak swasta seperti penyelenggara atau perusahaan event, dapat berpartisipasi menghapus diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

“Kalau negara ikut dan punya kebijakan jelas terhadap kesetaraan gender, pasti tujuan itu bisa tercapai. Seandainya negara saja tidak berperan dan tidak punya ketegasan, perempuan akan mengalami diskriminasi secara terus menerus,” terangnya.

Ia menambahkan, sulit bagi masyarakat sendiri untuk mendorong pihak swasta agar memenuhi hak perempuan.

Pun kondisi saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Alasannya, di berbagai bidang seperti politik, kesehatan, seksualitas, pendidikan, dan desa masih banyak terjadi.

Sebagaimana tertulis dalam laporan CWGI, yang dipublikasikan dalam situs Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) untuk Dialog Konstruktif pada Oktober mendatang, tidak ada peraturan nasional untuk menghentikan kekerasan dan pelecehan terhadap pekerja, sehingga mereka yang menjadi korban tidak dapat menuntut haknya.

Baca Juga: 5 Tips Jadi HRD Profesional untuk Lingkungan Kerja Setara

Selain itu, Listyowati menuturkan tantangan CWGI dalam menerapkan perlindungan dan pemajuan hak perempuan pekerja, seperti tidak ada kejelasan negara untuk melaksanakan komitmennya membangun perspektif dan kesetaraan gender, serta memenuhi hak perempuan pekerja.

Hal ini berhubungan dengan pihak swasta, dan membicarakan pekerja, artinya berkaitan dengan mereka.

“Kita melihat pihak swasta masih melakukan kekerasan, untuk melakukan gender mainstreaming pun masih sulit. Lalu mereka hanya mendengarkan negara, sedangkan negaranya malah tunduk terhadap hal tersebut. Bagaimana enggak rumit?” katanya.

Ciptakan Ruang Kerja Inklusif dan Kondusif

Terdapat empat indikator yang perlu diterapkan untuk menciptakan ruang kerja inklusif dan kondusif bagi perempuan, yaitu tidak membedakan kesempatan, akses, kontrol dan manfaat, serta partisipasi.

Dari keempat indikator tersebut akan diimplementasikan dalam tahap perekrutan pekerja, penempatan pekerjaan, pembagian tanggung jawab kerja, pemberian upah, serta perlindungan hak dan jaminan, sebagaimana tertera dalam Pasal 11 CEDAW.

Baca Juga: Kantor Berbudaya Maskulin Tambah Beban bagi Pekerja Perempuan

“Hak kesehatan reproduksi perempuan juga perlu diperhatikan karena memiliki kekhususan, misalnya memberikan cuti hamil, haid, lalu kesempatan menyusui atau memerah ASI di ruang laktasi yang bersih dan higienis,” ujar Listyowati.

Menurutnya, penting bagi perempuan bersikap kritis sebelum memutuskan bekerja di sebuah perusahaan. “Kita harus paham jenis pekerjaan, hak dan kewajiban, serta kejelasan kontrak kerjanya seperti apa. Supaya ada kejelasan tentang lingkungan kerjanya,” jelasnya.

Yang disayangkan, perempuan kurang memperhatikan hal-hal tersebut karena membutuhkan pekerjaan dan mengutamakan menerima penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bersedia melakukan apa pun pekerjaannya. Secara sepihak, tentu ini menguntungkan perusahaan.

Kemudian, para pekerja perempuan yang berjuang menuntut haknya di tempat kerja, dapat membentuk komunitas untuk mengekspresikan kebutuhannya. Dari sini, mereka memiliki pengaruh cukup besar dan memiliki potensi didengarkan oleh para petinggi perusahaan.

Sebenarnya, ini tak hanya kewajiban pekerja perempuan, tetapi seluruh lapisan masyarakat berperan untuk tetap saling mengedukasi isu ketidakadilan gender.

“Ini kewajiban bersama untuk meningkatkan kapasitas terhadap masyarakat, khususnya perempuan, agar paham dan kritis tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang harus dilawan,” ucapnya.

Read More

5 Karakter Pemimpin Perempuan dengan Tipe Maskulin di Sinema

Girlboss, gaslight, dan gatekeep. Bagi generasi milenial, kalimat itu kerap digunakan untuk perempuan di posisi strategis yang cara memimpinnya justru membawa kerugian untuk orang lain. Dari situasi itu, perkara menjadi pemimpin perempuan memang tidak ada habisnya. Jika perempuan di posisi strategis menunjukkan sifat yang lembut, maka disebut tidak cocok untuk memimpin karena terlalu emosional. Sementara jika dia menunjukkan diri sebagai tegas akan menerima cemoohan sebagai terlalu kolot. Karenanya, pemimpin perempuan pun berada di posisi double bind atau apa saja yang dilakukannya adalah salah. 

Meskipun begitu, perempuan pemimpin tidak seharusnya takut menunjukkan sifat yang dikategorikan sebagai feminin, lembut, dan berempati. Pasalnya, kepemimpinan dengan tipe feminin dinilai lebih efektif untuk mencapai kesuksesan. John Gerzema dan Michael D’Antonio dalam bukunya Athena Doctrine: How Women (and the Men Who Think Like Them) Will Rule The Future menyampaikan hal yang senada. 

Gerzema da D’Antonio menemukan fakta pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai ‘feminin’, seperti empati, kolaborasi, dan kesabaran dapat menangani krisis dengan lebih baik. Alih-alih menganggap karakteristik tersebut sebagai kelemahan karena segala hal yang berkaitan dengan perempuan, sebaiknya dirayakan sebagai kelebihan. 

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Efektivitas gaya kepemimpinan tersebut dapat dilihat dari cara menangani kasus pandemi COVID-19 di negara yang dipimpin perempuan. Misalnya, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern. Dia disorot media dunia karena menangani situasi pandemi dengan cepat dan melakukan pendekatan penuh empati. Singkatnya, ia menjadi pemimpin yang diidolakan. Gaya kepemimpinan seperti itu tentunya ikut diadopsi dalam karya budaya populer. Jacqueline Carlyle dari serial The Bold Type, misalnya, seorang pemimpin redaksi majalah yang perhatian, empatik, dan siap membantu karyawan dan penulis yang dibimbingnya. 

Meskipun tipe kepemimpinan seperti itu memang sudah sangat sering diidamkan sampai diadopsi ke layar kaca, gaya kepemimpinan yang maskulin menjadi tipe yang lebih sering ‘populer’. Dalam podcast  Bye Kepemimpinan Macho! Saras Dewi, dosen Fakultas Filsafat Universitas Indonesia mengatakan, minat pada gaya kepemimpinan maskulin menjadi kontras karena  sudah terbukti gagal. 

“Kepemimpinan maskulin masih dianut karena masyarakat dalam memahami ekonomi, politik, dan budaya berlomba-lomba untuk berkompetisi dan menguasai yang satu di atas lainnya. Berlomba-lomba untuk mendominasi,” ujarnya. 

Psikolog Alice H. Eagly dan Blair T. Johnson dalam beberapa penelitian mereka juga menyebutkan gaya kepemimpinan maskulin menunjukkan sikap transaksional yang autokrat atau setiap keputusan menjadi mutlak. Gaya kepemimpinan yang berbanding terbalik dengan kepemimpinan feminin yang pendekatannya lebih demokratis dan mendorong perubahan. 

Kegagalan efektivitas tipe kepemimpinan maskulin pun juga dilihat dari cara menangani situasi pandemi dengan penuh hambatan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, misalnya, media menyebutnya menggunakan gaya kepemimpinan hyper-masculine dalam menangani situasi pandemi. Karenanya, upaya mitigasi penting dalam mencegah penyebaran virus mengalami keterlambatan, seperti lockdown dan penyuluhan mengenakan masker yang tertunda. Tipe maskulin itu juga ada dalam masa kepresidenan Donald Trump yang penuh kontroversi. 

Tipe tersebut tentunya tidak melulu pada laki-laki di posisi strategis.Contoh yang paling dekat dengan tipe kepemimpinan tersebut ialah Sophia Amoruso, pionir dari istilah Girlboss itu sendiri. Walaupun digadang-gadang sebagai inovasi dari dan untuk perempuan, tetap saja pendekatannya tidak inklusif dan cenderung membawa kerugian. Pasalnya, Amoruso juga tersandung skandal karena karyawannya menuduh tidak memiliki rasa empati dan eksploitatif. 

Baca juga: Perempuan Lebih Emosional dan Mitos-mitos Soal Perempuan di Dunia Profesional

Di era yang sangat menjunjung tinggi political correctness dan tidak ragu menyudutkan hal-hal dinilai ‘menyimpang’, penggambaran tokoh publik atau perempuan di posisi strategis yang ‘adil’ menjadi hal yang terus diidamkan. Harapan tersebut pun kemudian diadaptasi di karya-karya sinema. Namun, tidak semua perempuan pemimpin di budaya populer memiliki kualitas tersebut. Ada kalanya perempuan pemimpin di karya sinema mengadopsi gaya kepemimpinan maskulin yang tentunya membawa mereka ke arah kegagalan, seperti:

  1. Hope Haddon (‘Sex Education’)

Kepala sekolah baru untuk Moordale Secondary dalam serial Sex Education mulanya mengemban citra sebagai karakter pemimpin perempuan yang ingin mengubah cara pandang ‘buruk’ orang lain soal sekolahnya. Selain itu, dia berjanji akan bersifat inklusif bagi semua siswa yang memiliki ekspresi gender yang beragam. Namun, itu semua semacam kedok karena Hope sebenarnya ingin mengkotakkan semua orang dalam konsep rigid dan biner dengan gaya kepemimpinannya yang kolot. Bisa dibilang dia cukup fasis. 

Hope memang ‘berjanji’ akan mendengarkan apa usulan dan saran dari siswa agar peraturan sekolah tidak timpang. Namun, itu hanya bualan semata karena ujung-ujungnya hanya pendapat darinya yang harus diaminkan. Semua hal yang diusung Hope sifatnya mutlak, tidak heran jika semua siswa jadi pemberontak. Gaya kepemimpinan Hope memang sangat maskulin, otoriter, tidak berempati, dan cenderung merugikan sesama perempuan. Hal ini pun yang membuat dia gagal menjadi kepala sekolah. 

Sumber: Netflix
  1. Dolores Umbridge (‘Harry Potter’)

Guru praktik ilmu hitam di sekolah sihir Hogwarts ini memang karakter fiksi yang dibenci sepanjang sejarah. Pasalnya, dia selalu menampilkan dirinya sebagai orang yang tidak berbahaya, terlebih lagi dengan pakaiannya yang konstan warna merah jambu. Namun, diam-diam dia rela melakukan apa saja, termasuk menyakiti siswanya secara fisik, hanya untuk mendapatkan informasi yang diinginkannya. Situasi pun semakin parah ketika Umbridge menduduki posisi kepala sekolah dan menyingkirkan Dumbledore. Dia semakin otoriter bahkan melakukan ‘penyisiran’ untuk mencari siswa yang melawan. 

Umbridge sebenarnya tidak sekadar ‘jahat’ dan licik saja, tapi juga menginternalisasi karakteristik buruk kepemimpinan maskulin, menutup telinga atas pendapat orang lain. Dia bahkan lebih buruk dari Voldemort karena keinginannya untuk kekuasan bukan yang utama, tapi membawa kekerasan untuk mereka yang ingin perubahan inklusif di dunia sihir. 

Sumber: Wikipedia.org

Baca juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia

  1. Choi Myung-hee (‘Vincenzo’)

Karakter pemimpin perempuan yang diperankan Kim Yeo-jin ini seorang mantan jaksa yang memang problematik karena sangat korup. Dia kemudian pindah ke firma hukum Wusang sebagai senior partner dan semakin berbahaya.  Dia tampak tidak memiliki hati karena tega membunuh orang tanpa ada rasa bersalah. Semua demi mencapai hal yang dia inginkan. Singkatnya Choi Myung-hee adalah orang yang ambisius tapi sangat toksik. Dalam drama Vincenzo, dia tampak sengaja dibuat maskulin dengan penampilan yang ‘jauh’ dari perempuan. Hal itu pun menambah kesan dia memang sosok yang tamak, kolot, dan fasis ketika berinteraksi dengan orang lain bahkan untuk mencapai satu tujuan. 

Sumber: TVN
  1. Cersei Lannister (‘Game of Thrones’)

Layaknya semua orang yang terlahir di klan Lannister, Cersei tentu saja memiliki sifat arogan. Sebagai pemimpin, terlebih lagi perempuan, arogansi itu tampaknya bekerja karena dia menjadi tidak tersentuh. Bahkan dengan mudahnya ia merencanakan kematian suaminya si raja Westeros , Robert Baratheon secara diam-diam. 

Dia bisa disebut sebagai karakter perempuan pemimpin yang kuat dalam serial Game of Thrones karena membuktikan dia adalah pemain gim politik kerajaan yang tidak bisa dipandang enteng. Orang-orang pun menakutinya karena itu. Namun, karena arogansi, sikapnya yang keras kepala, anti kritik, menolak nasihat orang lain, dan sangat otoriter Cersei secara tidak langsung membunuh kariernya sebagai ratu yang menguasai Kings Landing. Sifat-sifat kepemimpinan maskulin itu yang menamatkannya. 

Sumber: gameofthrone.fandom.com
  1. Baroness Von Hellman (‘Cruella’)

Dalam film Cruella, kita tentu berpikir karakter pemimpin perempuan, Cruella De Vil adalah karakternya yang antagonis. Apalagi kita sudah mengenal Cruella yang keji karena tega membuat anjing dalmatian sebagai mantel. Namun, sekejinya Cruella, Baroness Von Hellman jauh lebih jahat. Selain sosialita dengan status bangsawan, Baroness memiliki bisnis fesyen. Selain itu, juga terkenal sebagai desainer ternama. Namun dia sangat arogan, tidak memiliki empati pada karyawannya, dan sangat anti kritik. Dia adalah mimpi buruk untuk semua orang. Sifatnya itu juga memenuhi semua kriteria gaya kepemimpinan maskulin yang membawanya pada kegagalan. 

Sumber: DinesyPlus
Read More

‘Bullying’ di Tempat Kerja: Apa Saja Bentuknya dan Bagaimana Menyikapinya?

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan pengakuan MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami kekerasan seksual dan perundungan (bullying) oleh sesama pegawai selama bertahun-tahun. Sejak pertama mengalaminya pada 2012, ia sudah ajek bersuara. Di 2017, ia sempat mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan dari sana ia dirujuk melaporkan hal tersebut ke polisi. Dua tahun berselang, ketika ia melapor ke Polsek Gambir, ia disarankan menyelesaikan perundungan di tempat kerja lewat atasan dulu, alih-alih ditindaklanjuti langsung.

Merespons aduan MS, pihak atasan hanya memindahkannya ke ruangan lain yang dianggap lebih aman bagi MS. Tahun lalu, saat MS hendak melanjutkan proses hukum kasusnya, polisi kembali mengecewakannya dengan tidak menanggapi secara serius.

Ketidakadilan yang lama dialami MS ini pada akhirnya mendorong dia untuk menceritakan secara kronologis kasus penganiayaan fisik dan psikis yang didapatkannya dari sesama rekan kerja ke internet pada September 2021. Baru setelah viral, pihak-pihak terkait angkat suara: Pihak KPI pusat melakukan investigasi, polisi menerima laporan MS. Namun, perkara terus berlanjut seiring dengan niat terduga pelaku untuk menuntut MS balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. MS juga disebut-sebut memicu perundungan siber oleh warganet, yang setelah pengakuan MS tersebar, menyerang identitas pribadi serta keluarga terduga pelaku.

Baca juga: Kekerasan Seksual di KPI, Jangan Pakai Alasan Basi ‘Nama Baik Instansi’

Dampak Serius Perundungan di Tempat Kerja

Kasus seperti yang dialami MS ini tentu bukan hal langka dalam kehidupan profesional. Masalahnya, hanya sedikit saja yang buka suara tentang itu. Bahkan mungkin di antara para korban, ada yang tidak sadar dirinya telah mengalami bentuk-bentuk perundungan karena masih minimnya pengetahuan pribadi atau sosialisasi dari pihak kantor akan hal tersebut. Padahal, ini penting disadari siapa saja, bahkan anak-anak muda yang belum menginjak dunia karier, untuk menghindari terjadinya kasus pelik serupa MS di kemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan MS dalam rilisnya, ia mengalami gangguan psikis dan fisik setelah berulang kali mengalami siksaan fisik, disuruh-suruh, dicaci maki, dan dilecehkan oleh rekan-rekan kerjanya. Stres berkepanjangan membuatnya mengalami gangguan lambung dan membuatnya mengidap post traumatic stress disorder (PTSD), sehingga dalam kesehariannya pun, MS tidak dapat berfungsi dengan baik. Ia kerap marah tiba-tiba serta menangis mengingat hal traumatis yang dialaminya dulu. 

Gangguan kesehatan yang dialami MS ini memang sering muncul pada korban perundungan di tempat kerja. Selain hal itu, dikutip dari Verywell Mind, korban perundungan juga bisa mengalami kecemasan, serangan panik, masalah tidur, dan tekanan darah tinggi. Sebuah riset yang dilakukan para peneliti di University of Copenhagen pada 2018 juga menyebutkan, korban perundungan berkemungkinan mengalami masalah jantung 59 persen lebih tinggi daripada yang tidak pernah dirundung di kantor. Di samping itu, korban perundungan juga bisa mengalami penyakit fisik lain yang dipicu perilaku koping terkait perundungan yang dia alami, misalnya dengan mengonsumsi makanan tidak sehat atau alkohol secara berlebihan.

Performa kerja korban pun terdampak seperti hilangnya konsentrasi, turunnya penilaian diri, motivasi kerja, serta produktivitas, dan kesulitan mengambil keputusan. Akibat terus terpikirkan soal perundungan yang pernah atau masih akan terjadi, korban akan menghabiskan banyak waktu, entah untuk menghindari perundung, terus termenung dan larut dalam perasaan terisolasi, memikirkan cara mempertahankan diri, atau mencari bantuan. Padahal, waktu tersebut dapat digunakan untuk bekerja dengan optimal seandainya dia tidak perlu tenggelam dalam masalah seperti ini. 

Tidak hanya berdampak buruk bagi individu korban, perusahaan pun akan merasakan kerugian akibat adanya perundungan di tempat kerja. Dalam berbagai studi ditemukan level ketidakhadiran yang lebih tinggi pada pegawai korban perundungan. Ini tentunya menghambat performa perusahaan, terlebih yang kecil dan menengah mengingat kehadiran satu orang saja berpengaruh sekali terhadap kinerja tim. Dalam sebuah riset yang dimuat di Frontiers in Psychology (2016), disebutkan perusahaan bisa mengalami kerugian lain berupa pengunduran diri karyawan. Ini merupakan biaya besar yang mesti ditanggung perusahaan karena tidak mudah untuk mencari pegawai pengganti dan melatihnya kembali supaya memiliki kemampuan sepadan dengan pegawai korban perundungan di tempat kerja yang resign.    

Baca juga: Pelajaran dari ‘Buffy the Vampire Slayer’ Soal Lingkungan Kerja Toksik

Sementara, Investopedia bilang, pada sejumlah kasus, pihak perusahaan bisa berhadapan dengan tuntutan hukum bila membiarkan perundungan terjadi di tempatnya. Selain itu, korban juga bisa menuntut pembiayaan rehabilitasi fisik atau psikis yang mesti dijalaninya mengingat masalah kesehatan yang ia alami muncul dari tempat kerja. 

Lebih buruk lagi, pada era media sosial seperti sekarang, sangat mudah reputasi perusahaan hancur karena seseorang mengadukan masalah terkait tempat kerjanya. Dari kasus perundungan di KPI kemarin misalnya, makin banyak warganet yang antipati terhadap institusi tersebut, dan mengaitkan kejadian viral kemarin dengan “borok-borok” KPI terdahulu. Hilangnya legitimasi dari masyarakat bisa berdampak kemudian terhadap penjualan atau kampanye yang dilakukan suatu perusahaan.

Bentuk-bentuk ‘Bullying’ di Tempat Kerja

Setelah mengetahui betapa seriusnya dampak perundungan di tempat kerja, kita perlu menyadari hal-hal apa saja yang termasuk perundungan. Selain siksaan fisik, ada hal-hal lain dalam keseharian di kantor yang masuk perundungan dan sering dianggap wajar. Berikut beberapa di antaranya.

  1. Julukan, cacian

Sebagian orang merasa jika dirinya dipanggil dengan sebutan “Gendut”, “Jelek”, atau “Monyet” itu hal yang biasa, bahkan di beberapa kasus dianggap sebagai candaan semata. Akan tetapi, julukan-julukan tersebut telah merendahkan seseorang dan masuk dalam pelecehan verbal. Begitu pula dengan cacian menggunakan bahasa binatang atau kata-kata umpatan, baik dari sesama kolega maupun bos-bos. 

  1. Fitnah

Sering kali hal ini terjadi saat seseorang hendak melaju sendiri dengan menjatuhkan pihak kompetitornya. Tidak jarang orang yang mendapat fitnah di kantor terkendala kerjanya karena terusik pandangan miring orang sekitar hingga kepercayaan dirinya merosot. Jika kamu mengalami ini, jangan ragu bersuara karena ini juga merupakan bentuk perundungan.

  1. Pengabaian

Jika kamu berada dalam satu tim kerja dan rekan-rekan mengabaikan eksistensimu atau pendapatmu, kamu bisa saja tengah menjadi korban perundungan, apalagi bila ini terus menerus berlangsung. Kamu tidak pernah tahu letak kesalahanmu di mana, tetapi rekan kerja mendiamkanmu. Bahkan buruknya, sekalipun kamu berkontribusi dalam suatu proyek, mereka mengabaikan kontribusimu itu. Ini jelas merugikan sekali karena atasan akan menganggap kamu sekadar numpang nama di suatu proyek dan tidak memperhatikan kualitas dirimu sesungguhnya.

Baca juga: Riset di Aceh: Trauma Perundungan dari SD Terbawa hingga Dewasa

  1. Membombardir dengan pekerjaan

Seperti disebutkan MS, dirinya sempat disuruh-suruh melakukan hal yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Ibarat Nobita yang sering dijadikan kacung oleh Giant dan Suneo, ini juga situasi perundungan yang mesti kita sadari. Tak berarti senior atau atasan itu bisa sewenang-wenang membebani kita dengan pekerjaan di luar kesepakatan awal. 

  1. Mengancam

Dalam beberapa kasus, ada pegawai yang diancam tidak akan naik jabatan bila tidak melayani atasannya. Ada juga yang oleh koleganya diancam akan dilaporkan perbuatan buruknya yang tidak diketahui atasan bila ia tidak mau mengikuti kemauan si kolega. Hal ini penting disadari sebagai bagian dari perundungan dan harus disikapi dengan tegas. Saat pegawai merasa tidak aman, ia akan kesulitan bekerja dengan optimal dan ujungnya ia dan perusahaanlah yang merugi. 

  1.  Prank dan plonco

Sebagian orang merasa hal ini tidak bermasalah, tetapi sebenarnya prank dan plonco, terlebih yang sudah merendahkan seperti disuruh memakan hal yang sama sekali tidak pantas adalah hal serius yang tidak bisa ditoleransi. Apa pun alasannya, entah “tradisi”, sekadar bercanda, atau bagian dari usaha membuat pegawai baru jadi tahan banting, tidak ada yang mengeluarkan tindakan ini dari kategori perundungan.   

Apa yang Bisa Kita Lakukan?  

Dalam situs Australian Human Rights Commision, disebutkan beberapa hal yang bisa kita lakukan saat menjadi korban perundungan di tempat kerja. Di antaranya adalah mengecek apakah di kantor ada kebijakan khusus terkait perundungan, mendokumentasikan tiap peristiwa perundungan yang kita alami, dan mencoba menceritakan hal tersebut kepada orang-orang di tempat kerja, entah rekan yang dipercaya atau atasan supaya ada tindakan terhadap pelaku. 

Akan tetapi, mengadukan masalah ke atasan atau rekan kerja bisa menjadi pedang bermata dua juga. Dalam beberapa kasus, hal ini bisa dianggap sebagai upaya seseorang untuk menyabotase rekan kerjanya yang disebut sebagai pelaku. Seperti halnya dalam kasus kekerasan seksual, korban perundungan juga sering tidak dipercaya atau dianggap lebay, apalagi bila mereka berbicara tanpa membawa bukti. 

Jika situasinya demikian, jalan lain yang dapat ditempuh adalah mengadukan kasus ke layanan advokasi di luar perusahaan yang peduli isu kekerasan dan hak asasi manusia. Harapannya, layanan ini dapat membantu kita bila nanti kita memilih memproses secara hukum, mencari pendampingan psikologis, atau fasilitas perlindungan saksi dan korban.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Selain mengadukan masalah ini, jalan lain yang bisa ditempuh adalah menghadapi langsung perundung. Memang tidak semua orang bisa melakukannya, tetapi hal ini perlu dilakukan supaya perundung tahu tindakannya itu salah dan merugikan kita. Ini juga kita lakukan untuk menunjukkan kita bukanlah orang pasif yang bisa selamanya ditindas sesuka hati perundung. 

Untuk yang ragu melakukan ini, ada strategi yang bisa kita lakukan. Dilansir Healthline, saat hendak mengonfrontasi perundung, kita bisa melibatkan saksi yang terpercaya seperti kolega atau supervisor. Mintalah perundung untuk berhenti menyakiti setenang mungkin, secara langsung dan sopan. Tentu kita tidak mau berlaku sama buruknya dengan perundung dengan balas mencaci maki atau melukainya secara fisik saat konfrontasi, bukan? 

Seiring dengan upaya-upaya itu, kita, dengan mengumpulkan kekuatan dukungan dari rekan-rekan kerja yang lain, juga bisa mendorong pihak perusahaan untuk membuat kebijakan atau standard operational procedure (SOP) terkait perundungan di kantor. Hal ini memuat bentuk-bentuk perundungan di tempat kerja dan sanksi apa yang menanti jika orang melakukannya. Tanpa adanya kebijakan tertulis, besar kemungkinan perundungan kembali terjadi dan dinormalisasi.

Read More
Perempuan Bekerja dalam Islam

Proper Child Care Boosts Women’s Participation in The Workforce

On March 8 each year, trade unions and women’s rights organisations mark International Women’s Day by calling for policies and legislation that better support working women. Such calls relate to wage equality, maternity leave and early child care programmes.

But these demands tend to overlook the needs of some of the most vulnerable: the millions of poor working women in cities in developing countries who are forced to take their kids with them to work or miss out on better paid opportunities because they’re caring for young children.

Some women take up work out of their homes – from stitching clothes to making snacks to sell at a market – to take care of their children. The earnings may be lower than in formal employment, but they have no other option as both decent work opportunities and quality child care services are rare in poor urban areas.

Also read: Housewives vs Working Mom: Enough with the Arguing!

Across 31 developing countries, less than one percent of women living in poverty have access to a child care service.

Low-cost and unregulated child care services may exist, but are often still too expensive for women informal workers. Public child care services may not be available in informal settlements or poor urban areas. City plans don’t set aside enough designated spaces for child care centres either near workers’ homes or their places of work.

Ultimately, women informal workers earn even less when they have young children in their care. A new report by UN Women has found that, across 89 countries, women are 22 percent more likely than men to live in extreme poverty during their prime reproductive years (ages 25 – 34). Women are also less likely to receive a pension or will have lower benefit levels than men.

Adequate and quality childcare is not just a critical need for the children involved. It also determines women’s participation in the labour force and the type of work they can take on.

A coherent policy response is needed to bring together women informal workers and their organisations with municipal authorities, urban planners, early childhood development experts and relevant national ministries. There is no doubt that quality public child care services are expensive to set up and run. Yet the returns on investment are great.

In South Africa, for instance, UN Women estimates that a gross annual investment of 3,2 percent of Gross Domestic Product into child care services would extend universal coverage to all 0-5-year olds. It would also create 2,3 million new jobs and raise female employment rates by 10 percent. These new jobs would generate new tax and social security revenue of up to USD$3,8 million. These gains offset some of the costs to the state and can reduce inequalities brought on by spatial, class, gender and racial or ethnic segregation.

Women Workers Demanding Change

Women are now calling for change. Informal workers organisations in collaboration with trade unions representing formal sector workers are organising a global campaign for quality public child care services.

Home-based workers, domestic workers, street vendors, market traders and waste pickers are engaging municipalities and governments from Lima to Bangkok, calling attention to their child care needs. They’re also organising to find their own solutions when the state does not listen.

In India the Self-Employed Women’s Association, a trade union representing close to 2 million women informal workers, runs a child care cooperative for its members in Ahmadabad. The Market Traders Association in Accra, Ghana manage a child care centre in a major market for traders, street vendors and others who have to bring their children to work.

However, all of these child care services also require support from a country’s government to be sustainable and remain accessible to the working poor.

We conducted a study on these issues for Women in Informal Employment: Globalizing and Organising (WIEGO), a global research-policy-action network focused on securing livelihoods for the working poor in the informal economy.

One Brazilian waste picker said, “Without day care, I can’t work. When there is no day care, I don’t work.”

Some child care centres in poorer areas may be affordable, but manage this only by not employing enough staff. A street vendor from South Africa told us:

The caregiver had too many children to look after…I used to receive calls notifying me that my child is sitting alone outside our home. The child had left the care facility without the caregiver’s awareness.

Also read: Can Women Have It All? Working and Mothering in Jakarta

Child Care for A Brighter Future

Of course, the provision of quality public child care services is no silver bullet. But it is urgently needed: a quarter of the world’s urban population – close to 1 billion people – lives in slums today without access to basic services and social security.

The number of urban dwellers is expected to double in South Asia and sub-Saharan Africa over the next two decades; more and more people will seek homes in slums and informal settlements. Quality public child care services guarantee a better and healthier future for children in these areas and elsewhere, and the many women who work and care for them.

One street trader we interviewed in Accra, Ghana, had managed to enrol her son in pre-school while she continued to work, secure in the knowledge that he was cared for. She knew just how valuable this was, saying, “I take my child to the school to get a bright future – I don’t want him to be like me.”

This article was first published on The Conversation, a global media resource that provides cutting edge ideas and people who know what they are talking about.

Laura Alfers is Post-doctoral Fellow at the Neil Aggett Labour Studies Unit, Rhodes University.

Read More