apa itu career switch

Apa Bedanya ‘Career Break’ dan Resign?

Dalam dunia kerja, jeda karier atau career break sering dianggap sebagai langkah yang berisiko. Banyak orang khawatir bahwa mengambil waktu istirahat dari pekerjaan bisa memperlambat perkembangan karier mereka.

Padahal, career break bukan berarti berhenti bekerja selamanya atau sekadar menganggur tanpa tujuan. Dikutip dari Indeed, What Is a Career Break?, sebaliknya, ini adalah strategi yang disengaja untuk memberi diri sendiri waktu beristirahat, mengevaluasi kembali arah karier, meningkatkan keterampilan, atau mengejar hal lain di luar pekerjaan utama.

Durasi career break juga fleksibel, bisa berlangsung beberapa bulan hingga beberapa tahun, tergantung kebutuhan dan situasi masing-masing orang. Ada yang memanfaatkannya untuk mengurus keluarga, traveling, belajar hal baru, atau bahkan mencoba membangun usaha sendiri. Jadi, daripada dianggap sebagai hambatan, jeda karier justru bisa menjadi investasi berharga untuk masa depan.

Baca Juga: Apa Itu ‘Mid-career Crisis’ dan Bagaimana Mengatasinya?

Career Break vs. Resign vs. Cuti: Apa Bedanya?

Banyak orang masih salah kaprah dan mengira jeda karier sama dengan resign atau cuti. Padahal, ketiganya punya perbedaan yang cukup signifikan:

Career Break

  • Jeda dari pekerjaan untuk sementara waktu, tapi bukan berarti keluar dari dunia kerja selamanya.
  • Bisa berlangsung dari beberapa bulan hingga beberapa tahun, tergantung kebutuhan.
  • Biasanya sudah direncanakan dengan matang.
  • Tujuannya beragam, mulai dari pengembangan diri, urusan keluarga, hingga eksplorasi karier baru.

Resign (Mengundurkan Diri)

  • Mengakhiri hubungan kerja secara permanen dengan perusahaan.
  • Tidak ada jaminan bisa kembali ke posisi yang sama.
  • Biasanya dilakukan karena alasan karier, ketidakpuasan, atau ingin mencari peluang baru.

Cuti

  • Jeda kerja dalam waktu singkat, biasanya hanya beberapa hari hingga beberapa bulan.
  • Status sebagai karyawan tetap berlaku dan bisa kembali bekerja setelah cuti selesai.
  • Biasanya diambil untuk keperluan tertentu seperti cuti tahunan, cuti hamil, atau cuti sakit.

Dibandingkan cuti, career break memberikan fleksibilitas lebih besar, tapi juga butuh perencanaan yang lebih matang dibanding resign. Kalau ingin mengambil career break, pastikan kamu punya strategi untuk kembali ke dunia kerja, entah itu dengan melanjutkan karier di perusahaan yang sama atau mencari peluang baru yang lebih sesuai dengan tujuan hidupmu.

Baca Juga: Tips Karier yang Kita Pelajari dari Film “The Devil Wears Prada”

Manfaat Career Break: Lebih dari Sekadar Jeda dari Pekerjaan

Banyak orang menganggap career break sebagai keputusan yang berisiko, terutama di dunia kerja yang serba cepat. Tapi kalau direncanakan dengan baik, jeda ini justru bisa membawa banyak manfaat, baik untuk perkembangan karier maupun kehidupan pribadi. Dikutip dari Indeed, Forbes, How To Navigate Career Breaks: Pros And Cons Of Taking Sabbaticals, berikut beberapa keuntungan yang bisa kamu dapatkan:

  • Mengatasi Burnout dan Menjaga Kesehatan Mental

Tekanan kerja yang tinggi sering bikin kita stres dan kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Kalau dibiarkan, burnout bisa mengganggu produktivitas dan kebahagiaan dalam bekerja.

Dengan mengambil career break, kamu bisa memberi waktu untuk diri sendiri, melepas stres, dan mengisi ulang energi. Hasilnya? Saat kembali bekerja, kamu bisa lebih fresh, lebih termotivasi, dan lebih produktif.

  • Kesempatan untuk Refleksi dan Evaluasi Karier

Di tengah kesibukan kerja, kita jarang punya waktu untuk benar-benar berpikir: Apakah ini pekerjaan yang benar-benar aku inginkan?

Career break bisa jadi momen buat mengevaluasi tujuan kariermu. Kamu bisa bertanya pada diri sendiri:

  • Apakah aku masih menikmati pekerjaanku?
  • Apakah jalur karierku sesuai dengan tujuan hidupku?
  • Apakah ada keterampilan baru yang ingin aku kembangkan?

Dari sini, kamu bisa merancang langkah selanjutnya, entah itu tetap di jalur yang sama atau mencoba hal baru.

  • Meningkatkan Skill dan Menambah Wawasan

Career break bukan cuma soal istirahat, banyak orang justru memanfaatkannya untuk belajar hal baru. Misalnya, mengikuti kursus online, pelatihan profesional, atau bahkan mengambil gelar tambahan.

Keuntungannya?

  • Menambah nilai di CV dengan skill baru.
  • Meningkatkan daya saing di dunia kerja.
  • Membuka peluang karier di bidang yang berbeda.

Bahkan, traveling selama career break pun bisa jadi pengalaman berharga. Berinteraksi dengan budaya baru bisa mengasah keterampilan komunikasi, adaptasi, dan cara berpikir yang lebih luas.

Baca Juga: Merasa Kehilangan Saat Teman Kerja Resign, Apa yang Bisa Dilakukan?

Kadang, kerja terlalu keras bikin kita kehilangan waktu buat keluarga, hobi, atau bahkan diri sendiri. Career break bisa jadi kesempatan buat mengembalikan keseimbangan hidup.

Dengan jeda ini, kamu bisa:

  • Menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan orang-orang tersayang.
  • Mengejar passion atau hobi yang selama ini terabaikan.
  • Menjalani hidup dengan lebih tenang, tanpa tekanan pekerjaan.

Hasilnya? Saat kembali bekerja, kamu lebih bahagia, lebih rileks, dan lebih termotivasi.

  • Meningkatkan Kreativitas dan Inovasi

Rutinitas yang monoton bisa bikin kreativitas mandek. Dengan mengambil career break, kamu bisa keluar dari pola kerja yang itu-itu saja, mengeksplorasi hal baru, dan mendapatkan inspirasi segar.

Banyak orang yang justru menemukan ide bisnis atau inovasi baru setelah mengambil jeda dari pekerjaan. Dengan perspektif yang lebih luas, kamu bisa melihat peluang yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Read More
tanda perusahaan menjunjung kesetaraan

Tanda Perusahaan yang Menjunjung Kesetaraan Gender, Apakah Kantormu Termasuk?

Kesetaraan gender di tempat kerja bukan sekadar tren, tapi kebutuhan yang harus diperjuangkan. Selama ini, perempuan sering menghadapi tantangan seperti kesenjangan gaji, diskriminasi promosi, hingga minimnya dukungan bagi ibu bekerja. Perusahaan yang benar-benar peduli akan hal ini pasti berusaha menciptakan lingkungan kerja yang adil dan nyaman bagi semua karyawan, tanpa memandang gender.

Tapi gimana cara tahu kalau sebuah perusahaan benar-benar mendukung kesetaraan? Enggak cukup hanya dengan pernyataan manis atau program simbolis. Kesetaraan harus tercermin dalam kebijakan nyata, budaya kerja, dan kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk berkembang.

Di artikel ini, kita bakal bahas tanda-tanda utama dari perusahaan yang serius menjunjung kesetaraan gender. Mulai dari kebijakan anti-diskriminasi, akses yang sama ke jenjang karier, hingga fasilitas untuk ibu bekerja. Dengan memahami hal ini, perempuan bisa lebih cermat memilih tempat kerja yang enggak cuma nyaman, tapi juga mendukung perkembangan profesional dan kesejahteraan mereka.

Baca Juga: Apakah Aturan Kenaikan Upah Minimum Sudah Efektif Lindungi Pekerja?

Tanda-Tanda Perusahaan yang Menjunjung Kesetaraan untuk Perempuan

Dikutip dari Forbes, 14 Characteristics Of A Gender-Equal Business Culture, berikut ini beberapa tanda perusahaan yang menjunjung kesetaraan:

  1. Punya Kebijakan Anti-Diskriminasi yang Tegas

Kalau sebuah perusahaan benar-benar mendukung kesetaraan gender, mereka pasti punya kebijakan anti-diskriminasi yang jelas dan enggak cuma sekadar pajangan. Kebijakan ini jadi panduan supaya semua karyawan diperlakukan adil, tanpa melihat gender.

Biasanya, perusahaan yang serius soal ini memasukkan aturan anti-diskriminasi dalam kode etik atau panduan HR mereka. Enggak cuma itu, mereka juga aktif mengedukasi karyawan soal pentingnya menghormati hak setiap individu, termasuk perempuan.

  1. Kesempatan Karier yang Sama untuk Semua

Salah satu tanda bahwa perusahaan menjunjung tinggi kesetaraan gender adalah perempuan punya peluang yang sama untuk berkembang, naik jabatan, dan mendapatkan pelatihan keterampilan.

Sayangnya, masih banyak tempat kerja yang menerapkan “glass ceiling” alias hambatan tak kasat mata yang bikin perempuan sulit mencapai posisi kepemimpinan. Perusahaan yang benar-benar fair bakal memastikan promosi dan kenaikan jabatan berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan gender.

Selain itu, kesetaraan juga harus terlihat dalam hal gaji. Faktanya, kesenjangan upah berbasis gender masih jadi masalah di banyak industri. Perusahaan yang adil enggak akan membiarkan hal ini terjadi dan bakal memastikan perempuan mendapatkan bayaran yang setara dengan rekan laki-lakinya untuk pekerjaan yang sama.

Baca Juga: 3 Alasan Perusahaan Tolak Pelamar dengan Tunggakan Utang dan ‘Bi Checking’ Buruk

  1. Lingkungan Kerja yang Nyaman dan Bebas dari Pelecehan

Bekerja di tempat yang aman dan nyaman adalah hak semua orang, termasuk perempuan. Perusahaan yang benar-benar peduli terhadap kesetaraan gender bakal punya kebijakan tegas untuk mencegah segala bentuk pelecehan atau diskriminasi di tempat kerja.

Tanda-tanda perusahaan yang serius menciptakan lingkungan kerja yang aman biasanya meliputi:

  • Kebijakan zero tolerance terhadap pelecehan dan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun non-verbal.
  • Pelatihan rutin buat semua karyawan biar mereka paham soal aturan ini.
  • Saluran pelaporan yang aman dan rahasia, supaya korban berani berbicara tanpa takut dampak buruk ke karier mereka.
  1. Dukungan untuk Ibu Bekerja

Buat perempuan yang sudah jadi ibu, menyeimbangkan karier dan urusan keluarga bukan perkara mudah. Perusahaan yang benar-benar peduli terhadap kesetaraan enggak cuma kasih kesempatan karier yang adil, tapi juga memastikan ibu bekerja tetap bisa produktif tanpa mengorbankan kesehatan mental atau waktu bersama keluarga.

Salah satu bentuk dukungan yang paling penting adalah kebijakan cuti melahirkan yang layak. Perusahaan yang suportif biasanya punya kebijakan seperti:

  • Cuti melahirkan yang memadai – Enggak cuma sekadar memenuhi aturan pemerintah, tapi cukup lama untuk memberi ibu waktu memulihkan diri dan merawat bayi tanpa tekanan untuk cepat kembali bekerja.
  • Cuti ayah (paternity leave) – Supaya para ayah juga bisa ikut ambil peran dalam mengurus anak sejak awal, bukan cuma ibu yang harus berjuang sendiri.
  • Cuti fleksibel untuk orang tua – Jadi kalau ada situasi darurat, misalnya anak sakit atau ada keperluan keluarga mendadak, ibu (dan ayah) bisa izin tanpa khawatir pekerjaannya terganggu.

Dengan adanya kebijakan ini, ibu bekerja enggak perlu merasa harus memilih antara karier atau keluarga, mereka bisa menjalani keduanya dengan lebih seimbang.

Baca Juga: ‘Matahara’, Kekerasan Ibu Pekerja yang Marak di Jepang

  1. Budaya Kerja yang Inklusif dan Bebas Bias

Budaya kerja yang inklusif itu kunci utama kalau perusahaan mau benar-benar mendukung perempuan. Soalnya, kalau cuma ada kebijakan tanpa diiringi perubahan kultur kerja, hasilnya tetap enggak akan maksimal.

Bias gender di tempat kerja sering terjadi tanpa disadari, misalnya dalam proses rekrutmen atau promosi. Banyak perempuan yang akhirnya punya kesempatan lebih kecil buat naik jabatan karena stereotip lama yang masih tertanam di masyarakat.

Makanya, perusahaan yang pro-kesetaraan biasanya enggak cuma fokus ke kebijakan, tapi juga berusaha membangun lingkungan kerja yang benar-benar adil. Beberapa langkah yang bisa dilakukan misalnya:

  • Pelatihan kesadaran gender – Biar semua karyawan, terutama yang punya posisi kepemimpinan, paham tentang bias tidak sadar yang bisa mempengaruhi keputusan mereka.
  • Evaluasi berkala soal kesetaraan gender – Perusahaan harus aktif mengecek apakah kebijakan yang diterapkan sudah berjalan dengan baik atau masih ada ketimpangan yang perlu diperbaiki.

Kalau sebuah perusahaan benar-benar menerapkan budaya kerja yang inklusif, perempuan bisa berkembang tanpa harus menghadapi hambatan tak kasat mata yang menghalangi mereka mencapai potensi terbaiknya.

Read More
perempuan dan financial freedom

‘Financial Freedom’ bagi Perempuan: Penting, tapi Masih Hadapi Tantangan

Di era modern, semakin banyak perempuan yang sadar akan pentingnya financial freedom atau kebebasan finansial. Bukan cuma soal memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan dari risiko ekonomi yang tak terduga.

Sayangnya, masih ada tantangan yang dihadapi perempuan dalam mengelola keuangan, mulai dari faktor sosial, budaya, hingga ketergantungan finansial pada pasangan. Itulah mengapa memahami cara mencapai kebebasan finansial menjadi langkah penting agar perempuan bisa hidup lebih mandiri dan punya kontrol atas masa depannya.

Baca Juga: Cara Tepat Mengatasi Gaji yang Hanya Numpang Lewat

Memahami Konsep Financial Freedom

Financial freedom atau kebebasan finansial adalah impian banyak orang, termasuk perempuan. Tapi, masih banyak yang salah kaprah soal konsep ini. Banyak yang berpikir bahwa punya banyak tabungan sudah cukup untuk disebut bebas finansial. Padahal, kenyataannya financial freedom lebih dari sekadar menabung atau punya gaji besar.

Dikutip dari Forbes, It Is About The Money: The Path To Financial Freedom, kebebasan finansial berarti memiliki aset atau pendapatan pasif yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus terus bekerja secara aktif. Dengan kata lain, kamu tetap bisa menjalani hidup nyaman tanpa harus bergantung pada gaji bulanan.

Contohnya, seseorang yang punya investasi di properti, saham, atau bisnis yang menghasilkan pendapatan pasif bisa dikatakan mencapai financial freedom jika penghasilan dari asetnya sudah cukup untuk menutupi biaya hidupnya.

Bagi perempuan, kebebasan finansial juga berarti bisa hidup mandiri tanpa harus bergantung secara ekonomi pada pasangan, keluarga, atau pihak lain. Hal ini bukan cuma soal uang, tapi juga soal keamanan finansial dan kebebasan dalam mengambil keputusan hidup, baik dalam karier, keluarga, maupun gaya hidup.

Baca Juga: Trauma Finansial Bebani Perempuan, Apa Jalan Keluarnya?

Kenapa Financial Freedom Penting bagi Perempuan?

Dikutip dari Forbes, How Financial Independence Transforms Women’s Lives, bagi perempuan, mencapai financial freedom itu penting banget, terutama karena masih ada berbagai tantangan finansial yang dihadapi, seperti:

Ketimpangan Penghasilan

Di dunia kerja, masih banyak perempuan yang menerima gaji lebih rendah dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Karena itu, memiliki strategi keuangan yang matang sangat penting agar tetap bisa mencapai kebebasan finansial.

Harapan Sosial & Peran Ganda

Perempuan sering diharapkan bisa multitasking, mengurus keluarga sekaligus bekerja. Dengan financial freedom, mereka punya fleksibilitas lebih besar untuk memilih apakah ingin tetap bekerja, memulai bisnis sendiri, atau fokus pada keluarga tanpa rasa khawatir soal keuangan.

Keamanan Finansial di Masa Depan

Perempuan umumnya memiliki usia harapan hidup lebih panjang dibanding laki-laki. Itu artinya, memiliki dana pensiun dan investasi yang cukup sangat penting untuk memastikan kehidupan yang nyaman di masa tua.

Menghindari Ketergantungan Finansial

Dengan penghasilan sendiri dan aset yang terkelola dengan baik, perempuan bisa lebih siap menghadapi berbagai situasi tak terduga dalam hidup, seperti perubahan dalam hubungan atau kondisi ekonomi.

Baca Juga: Enggak Pede dengan Gaji dan Profesimu? Kamu Perlu Baca Ini

Kriteria Mencapai Financial Freedom bagi Perempuan

Mencapai financial freedom bukan cuma soal punya penghasilan tinggi atau menabung dalam jumlah besar. Dikutip dari Fidelity, As a woman, how can I achieve financial freedom?, ada beberapa aspek penting yang harus dipenuhi agar seseorang benar-benar bisa dikatakan bebas secara finansial. Ini termasuk pendapatan pasif, manajemen keuangan yang baik, investasi, dan kesiapan menghadapi risiko finansial.

Punya Sumber Pendapatan yang Stabil dan Beragam

Langkah pertama menuju financial freedom adalah memastikan ada penghasilan yang stabil. Tapi, bergantung hanya pada satu sumber penghasilan bisa berisiko, misalnya jika terjadi krisis ekonomi atau kehilangan pekerjaan. Karena itu, penting banget punya beberapa sumber pendapatan, seperti:

  • Gaji dari pekerjaan utama: Sumber utama untuk memenuhi kebutuhan harian dan menabung.
  • Pendapatan dari bisnis sampingan: Bisa berupa usaha kecil, freelance, atau pekerjaan sampingan lainnya.
  • Pendapatan pasif dari investasi: Misalnya, dividen saham, bunga deposito, hasil investasi properti, atau bisnis yang bisa berjalan tanpa keterlibatan aktif.

Dengan memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, perempuan jadi lebih siap menghadapi tantangan ekonomi tanpa harus khawatir keuangan terganggu.

Bisa Mengelola Keuangan dengan Baik

Financial freedom bukan cuma soal seberapa banyak uang yang dimiliki, tapi juga bagaimana cara mengelolanya. Beberapa keterampilan dasar dalam manajemen keuangan yang wajib dimiliki antara lain:

  • Membuat anggaran bulanan: Pisahkan penghasilan untuk kebutuhan pokok, tabungan, investasi, dan hiburan.
  • Kontrol pengeluaran : Hindari belanja impulsif dan prioritaskan kebutuhan dibanding keinginan.
  • Hindari utang konsumtif: Jika harus berutang, pastikan itu untuk sesuatu yang produktif seperti modal usaha atau properti.

Dengan manajemen keuangan yang baik, penghasilan yang diperoleh bisa digunakan dengan lebih efektif dan enggak terbuang sia-sia.

Punya Dana Darurat yang Cukup

Dana darurat adalah pondasi utama financial freedom. Simpanan ini penting untuk menghadapi situasi tak terduga seperti kehilangan pekerjaan, biaya kesehatan mendadak, atau kebutuhan darurat lainnya. Idealnya, sisihkan dana darurat setara dengan 3-6 bulan pengeluaran agar kondisi finansial tetap aman dalam situasi sulit.

Berinvestasi untuk Masa Depan

Menabung saja enggak cukup, karena nilai uang bisa tergerus inflasi. Investasi jadi kunci agar uang terus berkembang. Pilihan investasi bisa berupa saham, reksa dana, properti , emas dan obligasi.

Punya Perlindungan Finansial dengan Asuransi

Selain menabung dan investasi, asuransi juga penting buat perlindungan finansial. Asuransi kesehatan, jiwa, atau kendaraan bisa membantu mengurangi risiko finansial akibat hal-hal tak terduga seperti sakit atau kecelakaan. Dengan asuransi, keuangan tetap aman meskipun terjadi situasi darurat.

Tidak Bergantung Finansial pada Orang Lain

Perempuan yang benar-benar bebas secara finansial enggak perlu bergantung pada pasangan, keluarga, atau orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini memberikan keleluasaan dalam mengambil keputusan hidup, baik untuk karier, gaya hidup, maupun masa depan.

Read More
wajib baca buku saat quarter life crisis

Buku Wajib Baca Saat ‘Quarter Life Crisis’ Melanda

Quarter Life Crisis adalah fase yang akrab terjadi buat mereka di usia 20-an atau awal 30-an. Biasanya ditandai sebagai masa-masa mempertanyakan banyak kebingungan tentang hidup. Rasanya kayak lagi di persimpangan jalan, bingung harus ke mana, dan mulai muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: “Sebenernya aku mau jadi apa?”, “Bener enggak sih jalan yang aku ambil?”, atau bahkan “Kenapa hidup rasanya berat banget?”

Dikutip dari Verywell Mind, Surviving Your Quarter Life Crisis: Strategies and Support, fase ini sering datang berbarengan sama stres, overthinking, sampai kecemasan yang enggak jelas arahnya. Biasanya, ada beberapa hal yang bikin Quarter Life Crisis makin terasa:

  • Karier: “Ini beneran kerjaan yang aku mau? Bisa sukses enggak ya di bidang ini?”
  • Keuangan: “Gimana sih cara agar bisa mengatur uang dengan baik tanpa selalu merasa kurang?”
  • Hubungan dan pertemanan: “Kenapa makin susah cari pasangan yang klik? Kok rasanya makin jauh dari teman-teman?”
  • Ekspektasi sosial:Temen-temen sudah pada sukses, kok aku masih begini-begini aja?”

Tapi tenang, Quarter Life Crisis itu normal. Hampir semua orang pernah mengalami ini dalam berbagai bentuk. Yang bikin beda adalah bagaimana kita menyikapinya.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Buku Motivasi untuk Perempuan Pekerja

Buku: Cara Simpel Tapi Efektif Buat Hadapi Quarter Life Crisis

Saat hidup lagi penuh tanda tanya, banyak orang cari jalan keluar dengan curhat sama teman, curhat ke mentor, atau sekadar break dari rutinitas. Salah satu cara lain yang enggak kalah ampuh? Baca buku.

Kenapa Buku Bisa Bantu Kamu Melewati Fase Ini?

  • Bantu Kenal Diri Sendiri Lebih Dalam

Ada banyak buku yang bahas self-discovery dan refleksi diri. Dari situ, kamu bisa lebih paham apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidup. Plus, belajar dari pengalaman orang lain yang sudah lebih dulu mengalami hal yang sama.

  • Memberikan Wawasan dan Cara Pandang Baru

Kadang kita stuck karena cara pikir yang terlalu sempit. Buku bisa jadi jendela buat melihat berbagai kemungkinan yang sebelumnya enggak pernah terpikirkan.

  • Memberikan Solusi Konkret

Tidak cuma motivasi saja, banyak buku pengembangan diri dan karier yang memberikan langkah-langkah nyata untuk menghadapi ketidakpastian di usia 20-an.

  • Mengurangi Stres dan Overthinking

Membaca bisa jadi semacam terapi. Buku yang inspiratif bisa bikin hati lebih tenang dan bantu kamu fokus ke solusi, bukan cuma larut dalam kecemasan.

  • Bikin Kamu Lebih Termotivasi Bertindak

Kadang kita butuh dorongan untuk mulai bergerak. Dari membaca kisah sukses atau strategi hidup orang lain, kamu bisa memperoleh inspirasi untuk mulai ambil langkah nyata dalam hidupmu.

Baca Juga: Buku-buku Sains Anak Masih Bias Gender, Kurang Representasi Perempuan

Buku-Buku yang Bisa Bantu Kamu Hadapi Quarter Life Crisis

Di usia 20-an, banyak dari kita merasa hidup penuh dengan ketidakpastian. Karier yang enggak jelas arahnya, tekanan sosial, sampai overthinking tentang masa depan. Kalau kamu lagi mengalami hal yang sama, beberapa buku ini bisa jadi penyelamat buat memberikan perspektif baru dan bantu kamu melewati masa-masa penuh kebingungan ini.

  1. The Defining Decade – Meg Jay
Buku saat Quarter life crisis

Buat kamu yang masih menganggap usia 20-an cuma waktu untuk bersenang-senang sebelum hidup “serius” dimulai di usia 30-an, buku ini akan mengajak kamu berpikir ulang. Dikutip dari Lanre Dahunsi, Book Summary: Defining Decade, Meg Jay, seorang psikolog klinis, menegaskan bahwa dekade ini justru jadi penentu bagaimana hidupmu di masa depan.

Banyak orang menunda perencanaan hidup dengan alasan masih muda, padahal keputusan yang kita buat di usia 20-an bisa berdampak besar dalam karier, hubungan, dan perkembangan diri. Lewat buku ini, Meg Jay memberikan insight dan strategi supaya kita enggak cuma “jalan di tempat” selama dekade penting ini.

  1. Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life – Hector Garcia & Francesc Miralles
Buku saat Quarter life crisis Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life

Pernah kepikiran, “Sebenarnya apa sih yang bikin hidup ini berarti?” Kalau kamu lagi merasa kehilangan arah, buku Ikigai bisa jadi bacaan yang pas.

Konsep Ikigai dari Jepang ini mengajarkan kita untuk menemukan alasan bangun di pagi hari, alias tujuan hidup yang bikin kita semangat setiap hari. Dengan memahami Ikigai, kita bisa lebih menikmati hidup, merasa lebih puas, dan punya arah yang jelas dalam menjalani keseharian.

  1. The Subtle Art of Not Giving a F*ck – Mark Manson
Buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck

Kalau kamu tipe yang suka overthinking, takut gagal, atau terlalu peduli dengan omongan orang lain, buku ini bisa jadi game changer. Mark Manson menyajikan pendekatan hidup yang beda dari buku self-help kebanyakan.

Dikutip dari Huffpost, The Subtle Art of Not Giving a F*ck – A Book Review, alih-alih menyuruh kita untuk selalu positif, buku ini mengajarkan kita untuk lebih selektif dalam menentukan apa yang benar-benar penting. Dengan gaya bahasa yang santai, humoris, dan kadang sarkastik, Manson bakal membantu kamu untuk berhenti overthinking dan fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna.

  1. Filosofi Teras – Henry Manampiring
Buku quarter life crisis Filosofi Teras – Henry Manampiring

Dikutip dari Katadata, Review Buku Filosofi Teras, Mulai Hidup Tenang Dengan Filosofi Stoic, buku ini memperkenalkan filsafat Stoa dari Yunani kuno, tapi dikemas dengan cara yang relevan buat kehidupan modern. Intinya? Banyak hal dalam hidup yang di luar kendali kita, tapi yang bisa kita atur adalah bagaimana kita meresponsnya.

Daripada stres memikirkan omongan orang atau khawatir soal hal-hal yang belum tentu terjadi, Filosofi Teras mengajarkan kita untuk lebih tenang dan bijak dalam menghadapi hidup. Bacaan ini cocok buat kamu yang ingin lebih chill dan enggak gampang kepancing emosi dalam menghadapi masalah sehari-hari.

  1. So Good They Can’t Ignore You – Cal Newport
Rekomendasi Buku So Good They Can’t Ignore You – Cal Newport

Selama ini, kita sering dengar nasihat “Ikuti passion-mu!” untuk mencari pekerjaan yang ideal. Tapi, Cal Newport punya pandangan yang berbeda.

Dikutip dari Goodreads, buku ini menjelaskan bahwa kepuasan dalam karier bukan sekadar soal menemukan passion, tapi soal membangun keterampilan hingga kamu jadi sangat ahli di bidang yang kamu tekuni. Dengan jadi expert, peluang dan kepuasan kerja akan datang dengan sendirinya.

Read More
cara menghadapi bos red flag

Bos Red Flag Bikin Stres? Ini Strategi Bertahan di Tempat Kerja

Punya bos yang asik dan suportif di kantor itu bisa jadi kunci bikin karier kamu semakin nyaman dan lancar. Atasan yang baik biasanya siap membimbing, apresiatif sama kerja keras tim, dan mampu membuat suasana kerja jadi positif. Tapi, enggak semua orang seberuntung itu. Ada juga tipe atasan yang malah membuat stres karena sikap dan kebiasaan buruknya, ini yang sering disebut sebagai bos red flag.

Istilah red flag sendiri sebenarnya populer banget di media sosial untuk menunjukan tanda-tanda peringatan kalau ada sesuatu yang enggak beres. Nah, di dunia kerja, bos red flag artinya atasan yang punya sikap toksik dan berpotensi merusak kenyamanan, bahkan kesehatan mental karyawan. Contohnya, bos tipe ini suka bertindak semaunya, tidak respek sama waktu istirahat tim, suka menyalahkan tanpa memberikan solusi, atau lebih parahnya lagi, hobi bikin tekanan mental alias gaslighting.

Wajar sih kalau bos punya ekspektasi tinggi soal hasil kerja. Tapi, beda banget antara bos yang tegas sama bos yang sudah masuk kategori red flag. Pemimpin yang tegas tetap bisa memberikan arahan yang jelas dan membangun. Sementara itu, bos red flag lebih cenderung membuat suasana kantor jadi toxic lewat cara-cara yang enggak adil, kadang manipulatif, dan sering bikin karyawan jadi merasa under pressure terus-menerus.

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Kenali Tanda-Tanda Bos Red Flag di Tempat Kerja

Penting banget buat peka sama tanda-tanda bos red flag biar kamu bisa cepat ambil sikap, entah itu cari solusi, atau mulai berpikir untuk resign, dan pindah ke tempat yang lebih sehat. Perlu diingat, atasan yang tegas dan disiplin itu beda, ya, sama pemimpin yang suka bikin mental kamu babak belur. Dikutip dari Verywell Mind, 7 Signs You’ve Got a Toxic Boss, kalau atasan kamu mulai menunjukkan sikap seperti ini, bisa jadi dia masuk kategori red flag:

  1. Waktu Kamu Dianggap Enggak Berharga

Atasan yang paham pentingnya work-life balance pasti mengerti kalau karyawan juga punya hidup di luar kerjaan. Tapi,bos red flag? Beda cerita. Mereka hobi memberikan kerjaan mepet deadline, mengganggu di hari libur, atau ngechat soal tugas waktu kamu lagi quality time sama keluarga. Semua itu tanpa kompensasi yang sepadan.

  1. Suka Menyalahkan, tapi Tidak Memberikan Solusi

Dikritik sih wajar, namanya juga kerja. Tapi, kalau bos cuma bisa menunjuk kesalahan tanpa memberikan arahan atau jalan keluar, itu sih tanda bahaya. Bukannya dibantu berkembang, kamu malah jadi merasa serba salah terus.

  1. Kerja Keras Kamu Seperti Tidak Ada Artinya

Capek-capek lembur buat hasil maksimal, eh malah bosnya yang dapat pujian. Lebih nyesek lagi kalau usaha kamu enggak pernah dianggap, apalagi sekadar ucapan “terima kasih” aja tidak ada. Atasan seperti ini biasanya suka mengambil kredit atas hasil kerja tim, seolah-olah itu semua murni karena dia.

  1. Suka Drama & Main Politik Kantor

Hati-hati kalau atasan kamu suka bikin suasana kantor jadi kayak sinetron. Sering bikin gosip, adu domba tim, atau punya ‘anak emas’ yang selalu diutamakan. Atasan yang seperti ini biasanya lebih fokus jaga posisinya sendiri daripada mengembangkan tim.

  1. Antikritik

Ciri atasan yang baik adalah terbuka sama masukan. Tapi, bos red flag biasanya alergi kritik. Baru diajak diskusi sedikit, langsung defensif. Lebih parahnya lagi, kalau kamu berani ngomong, bisa-bisa malah di-blacklist atau dimusuhi secara halus.

Baca Juga: 5 Cara Tepat Terima Kritik dari Atasan

Tips Menghadapi Bos yang Red Flag

Setelah tahu tanda-tanda bos red flag, langkah berikutnya adalah cari cara agar bisa tetap kerja dengan lebih tenang, tanpa harus buru-buru mencari kerjaan baru. Soalnya, enggak semua orang punya pilihan buat langsung resign, kan? Dikutip dari Forbes, 5 Ways To Cope With A Toxic Boss (Without Quitting Your Job), berikut beberapa tips yang bisa kamu coba untuk survive di bawah tekanan bos red flag:

  • Tetap Tenang dan Profesional

Punya atasan yang suka bikin naik darah emang membuat kesabaran diuji. Tapi, sebisa mungkin tahan diri untuk tidak baper atau meledak-ledak. Tetap tunjukan sikap profesional, meskipun kamu lagi diperlakukan tidak adil. Ingat, reaksi kamu yang dewasa bisa jadi tameng agar tidak makin diserang.

  • Catat Semua Instruksi dan Obrolan Penting

Bos red flag biasanya suka melempar kesalahan atau tiba-tiba mengubah pembicaraan. Agar kamu enggak jadi sasaran empuk, biasakan untuk menyimpan bukti semua instruksi dan komunikasi. Bisa lewat email, chat, atau sekadar catatan pribadi, pokoknya, ada rekam jejak yang jelas.

  • Cari Dukungan dari Teman Sekerja

Kerja di bawah tekanan itu lebih ringan kalau kamu punya support system. Coba bangun hubungan yang solid sama rekan kerja. Bisa buat saling curhat, tukar strategi, atau sekadar jadi teman ngopi agar kepala enggak panas sendirian.

  • Kenali Pola dan Sesuaikan Pendekatan

Setiap bos red flag punya ‘gaya’ masing-masing. Ada yang suka mencari kesalahan, ada yang asal perintah, atau mungkin yang bawa-bawa urusan pribadi ke kerjaan. Nah, pelajari pola mereka agar kamu bisa cari cara yang paling pas untuk menghadapinya.

  • Berani Pasang Batasan

Kalau mulai sering diminta kerja di luar jam kantor atau diberikan tugas yang tidak masuk akal, jangan takut buat bilang “tidak” dengan sopan. Tegaskan kalau kamu siap kerja keras, tapi juga butuh waktu istirahat. Menjaga batasan itu penting buat jaga kewarasan.

  • Manfaatkan Aturan Perusahaan

Kalau situasinya sudah makin parah, jangan ragu cek kebijakan kantor soal perlindungan karyawan. Banyak perusahaan punya jalur untuk lapor perlakuan enggak adil atau aturan jelas soal jam kerja. Pakai hak kamu sebagai karyawan, jangan ragu buat speak up.

  • Utamakan Kesehatan Mental dan Fisik

Kerja di bawah tekanan bisa menguras energi dan bikin stres. Makanya, jangan lupa buat tetap jaga kesehatan. Olahraga ringan, istirahat cukup, atau sekadar nonton series favorit bisa bantu kamu recharge tenaga. Ingat, kesehatan kamu lebih penting dari deadline apa pun.

Read More
pengertian fenomena glossing

Fenomena ‘Glossing’ di Tempat Kerja: Ketika “Biar Kelihatan Oke” Malah Jadi Bumerang

Di dunia kerja, tampil profesional sering dianggap kunci utama buat sukses. Kita dituntut buat kelihatan jago, percaya diri, dan bisa ngerjain tugas dengan mulus tanpa cela. Tapi, tekanan seperti itu kadang bikin orang jadi merasa harus nutupin kekurangan, pura-pura ngerti hal yang sebenarnya enggak paham, atau malah sembunyiin masalah yang terjadi di tim. Nah, kebiasaan ini dikenal dengan istilah glossing.

Glossing bisa kejadian di mana aja, mulai dari obrolan sesama rekan kerja, diskusi dengan atasan, sampai komunikasi antar divisi. Sekilas, kesannya kayak bikin suasana kerja tetap adem ayem. Tapi, kalau ini dibiarkan terus-terusan, justru bisa jadi bom waktu.

Soalnya, lingkungan kerja yang sehat itu dasarnya transparansi dan komunikasi yang terbuka. Kalau terlalu sering glossing, keputusan yang diambil bisa jadi enggak akurat karena informasinya tidak jujur. Dampaknya? Inovasi bisa terhambat, masalah makin numpuk, dan akhirnya budaya kerja jadi toxic, penuh basa-basi, tapi minim solusi.

Apa Sih Glossing di Tempat Kerja?

Pernah enggak sih, pura-pura paham waktu dikasih tugas, padahal di dalam hati bingung banget? Atau, pernah juga lihat tim yang pas laporan kerja cuma nunjukin hasil bagusnya aja, tapi masalah-masalah di balik layar ditutup rapat? Nah, perilaku sperti ini dikenal dengan istilah glossing.

Dikutip dari Business insider, ‘Glossing’ at work is a form of toxic positivity — and your boss may be guilty of it, glossing itu sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, artinya kurang lebih “menutupi” atau “bikin sesuatu kelihatan lebih baik dari kenyataan.” Di dunia kerja, ini berarti sikap menutupi kekurangan, pura-pura paham, atau menyembunyikan kesalahan agar citra profesional tetap aman.

Contohnya:

  • Karyawan yang manggut-manggut waktu dikasih instruksi, tapi aslinya enggak ngerti sama sekali.
  • Manajer yang nutupin konflik atau masalah tim, agar atasan enggak tahu ada yang salah.
  • Tim proyek yang waktu presentasi ke klien cuma bahas suksesnya saja, padahal di belakang layar penuh drama dan hambatan.
  • Perusahaan yang menyembunyikan kekurangan produk, agar reputasi di mata pelanggan tetap kinclong.

Baca Juga: Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu

Kenapa Orang Sering Melakukan Glossing?

Sebenarnya, ada banyak alasan kenapa orang milih buat “main aman” pakai glossing di tempat kerja:

  1. Takut Dicap Tidak Kompet

Banyak yang merasa harus selalu kelihatan jago di kantor. Mengaku salah atau bilang tidak paham kadang bikin mereka takut dianggap enggak bisa kerja, apalagi sama atasan atau rekan tim.

  1. Budaya Kantor yang Anti Salah

Ada juga lingkungan kerja yang kaku, salah dikit langsung dimarahin. Kalau sudah begini, orang jadi lebih pilih menutupi kesalahan daripada jujur, karena ruang buat belajar dari kegagalan itu sangat minim.

  1. Tekanan Harus Selalu Berprestasi

Di kantor yang atmosfernya super kompetitif, kadang cuma hasil bagus yang dihargai. Jadi, orang atau tim merasa wajib memberikan laporan yang mulus, agar kelihatan sukses, walaupun kenyataannya tidak seindah itu.

  1. Takut Konflik

Mengaku ada masalah sering kali membuat konflik, apalagi kalau melibatkan banyak orang. Agar tidak ribut, beberapa orang akhirnya lebih milih diam dan cuma memperlihatkan hal-hal positif aja.

  1. Komunikasi yang Kurang Terbuka

Kalau di kantor enggak ada budaya komunikasi yang terbuka, informasi yang sampai ke atasan sering sudah “disaring” dulu biar kelihatan bagus. Masalahnya, keputusan yang diambil jadi tidak sesuai sama kenyataan di lapangan.

Baca Juga: ‘Brilliant Jerks’: Bagaimana Menghadapi Karyawan Hebat yang Menyebalkan

Dampak Buruk Glossing di Tempat Kerja yang Sering Dianggap Sepele

Sekilas, glossing di kantor memang seperti jalan pintas yang aman, bisa buat jaga nama baik, hindari konflik, atau nutupin kekurangan agar tidak kelihatan di depan atasan. Tapi, kalau kebiasaan ini dibiarkan terus, efeknya bisa sangat merugikan, baik buat kamu sendiri, tim, maupun perusahaan tempat kamu kerja. Masih dari Business insider, berikut dampak buruknya.

  1. Kepercayaan dalam Tim Jadi Renggang

Kerja dengan tim itu kuncinya saling percaya. Tapi, kalau ada yang suka nutup-nutupin informasi atau kasih laporan yang cuma kelihatan yang bagus saja, rasa percaya bisa runtuh. Lama-lama, rekan kerja jadi saling curiga, komunikasi pun jadi kaku. Bukannya kompak, yang ada malah kerjaan makin berantakan.

  1. Keputusan Bisnis Bisa Meleset

Atasan atau manajer tuh biasanya ambil keputusan berdasarkan laporan dari tim. Nah, kalau laporan itu udah dipoles agar kelihatan mulus, hasil keputusan yang diambil bisa meleset jauh dari kenyataan. Ujung-ujungnya, strategi bisnis bisa gagal atau malah bikin masalah baru.

  1. Karyawan Jadi Makin Stres

Percaya deh, pura-pura baik-baik aja di tempat kerja itu capek banget. Orang yang sering glossing biasanya merasa tertekan untuk terus menjaga citra palsu. Ada masalah, tapi tidak bisa cerita. Ada kesalahan, tapi takut ketahuan. Akhirnya, stres sendiri dan kesehatan mental bisa terganggu.

  1. Inovasi dan Perbaikan Mandek

Tim yang sehat itu biasanya belajar dari kesalahan dan menemukan solusi bersama. Tapi, kalau kesalahan malah ditutup-tutupi, masalah asli jadi enggak pernah ketahuan. Alhasil, perbaikan pun susah dilakukan. Ide-ide kreatif buat berkembang juga jadi terhambat karena semua orang lebih fokus tampil “sempurna.”

  1. Budaya Kantor Jadi Toxic

Kalau glossing dibiarkan terus-menerus, bisa-bisa ini jadi budaya di perusahaan. Semua orang berlomba-lomba tampil bagus, padahal di balik itu banyak yang ditutupi. Lingkungan kerja jadi penuh kepalsuan, lebih mementingkan pencitraan ketimbang hasil nyata. Kalau sudah begini, produktivitas tim pasti bakal kena imbasnya.

Baca Juga: Di Balik Menolak Pujian: Rendahnya Kepercayaan Diri Hingga Budaya

Cara Mengatasi Glossing di Tempat Kerja

Glossing di kantor itu ibarat racun pelan-pelan, kalau dibiarkan, bisa jadi kebiasaan yang nempel banget di budaya kerja. Apalagi kalau lingkungan kerjanya lebih mementingkan pencitraan daripada kejujuran. Tapi tenang, ada kok langkah-langkah yang bisa dilakukan agar glossing tidak jadi budaya di tempat kerja kamu. Dikutip dari Forbes, Managers Are ‘Glossing’ Over Workplace Issues And Pushing Toxic Positivity, According To Report, ini dia beberapa cara yang bisa dicoba:

  1. Bangun Lingkungan Kerja yang Jujur dan Transparan

Seringnya, orang pilih menutupi kesalahan atau pura-pura mengerti karena takut dinilai jelek. Makanya, sangat penting untuk perusahaan menciptakan suasana kerja yang mengutamakan kejujuran. Kalau salah, ya enggak apa-apa, selama mau belajar dan memperbaiki. Jadi, karyawan tidak merasa harus selalu tampil sempurna.

  1. Jangan Takut Sama Kegagalan, Anggap Itu Proses

Tidak ada yang suka gagal, tapi kalau setiap kesalahan langsung dimarahin habis-habisan, orang pasti jadi takut melakukan kesalahan. Akhirnya, glossing jadi solusi. Padahal, gagal itu sangat wajar. Perusahaan sebaiknya memberikan ruang buat karyawan belajar dari kesalahan, tanpa harus merasa karier mereka bakal tamat.

  1. Ciptakan Komunikasi yang Terbuka dan Sehat

Komunikasi yang jujur itu kunci buat menghindari glossing. Buat suasana di mana setiap orang berani bicara soal masalah tanpa rasa takut. Misalnya:

  • Terapkan “no blame culture, jadi setiap ada masalah, fokusnya mencari solusi, bukan cari siapa yang salah.
  • Ajarkan komunikasi asertif, supaya semua orang bisa nyampaikan pendapat dengan jelas, tanpa takut dihakimi.
  • Manajer bisa lebih sering ngobrol langsung sama anggota tim, misalnya lewat sesi one-on-one, agar tahu kendala yang dihadapi karyawan sehari-hari.
  1. Nilai Kinerja Berdasarkan Hasil, Bukan Sekadar Pencitraan

Kalau sistem penilaian kerja lebih melihat siapa yang paling “terlihat sibuk” atau “paling sering dapat pujian”, glossing bakal terus tumbuh. Karena itu, pastikan evaluasi kinerja lebih fokus ke hasil nyata, bukan cuma seberapa bagus seseorang ‘menjual’ dirinya.

Read More
pengertian karyawan brilliant jerks

‘Brilliant Jerks’: Bagaimana Menghadapi Karyawan Hebat yang Menyebalkan

Di dunia kerja, pasti ada saja karyawan yang super berbakat tapi punya sikap yang enggak menyenangkan alias nyebelin. Orang seperti ini sering disebut “brilliant jerks”. Mereka dikenal karena kontribusi kerja yang luar biasa, tapi di sisi lain, sikap arogan atau kurang empati bisa bikin suasana kerja jadi enggak nyaman. 

Apa itu Brilliant Jerks? 

Istilah ini mulai populer setelah CEO Netflix, Reed Hastings, sering menyebutnya. Menurut artikel Inc berjudul Why Netflix Doesn’t Tolerate Brilliant Jerks, istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang punya kemampuan hebat di pekerjaannya, tapi sikap mereka malah bikin suasana kerja jadi toxic. 

Brilliant” menggambarkan kecemerlangan mereka dalam menyelesaikan tugas, sementara “jerk” merujuk pada perilaku yang kasar atau tidak menyenangkan. Meski diakui karena ide-ide inovatif atau hasil kerja yang memukau, mereka sering kali bikin rekan kerja merasa frustrasi karena sulit diajak berkolaborasi. 

Misalnya, ada programmer yang jago banget membuat kode-kode rumit untuk aplikasi besar. Hasil kerjanya memang luar biasa, tapi dia sering mengritik rekan kerjanya dengan nada arogan atau menyakitkan. Meskipun skill-nya mengesankan, cara dia berinteraksi bisa membuat semangat tim menurun dan suasana kerja jadi tidak kondusif. 

Brilliant jerks adalah pengingat kalau kecerdasan atau bakat saja enggak cukup untuk sukses di tempat kerja, sikap dan empati juga sama pentingnya. 

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana? 

Ciri-ciri Brilliant Jerks yang Harus Kamu Tahu 

  • Arogan 
    Mereka sering merasa paling hebat dan menganggap kemampuannya jauh lebih unggul dibandingkan orang lain. Akibatnya, masukan atau ide dari rekan kerja sering diabaikan begitu saja. 
  • Minim Empati 
    Brilliant jerks cenderung enggak peduli bagaimana sikap mereka memengaruhi orang lain, baik secara emosional maupun profesional. 
  • Komunikasi Kasar 
    Bahasa mereka sering terdengar keras, suka menyalahkan rekan kerja secara terbuka, atau memberikan kritik tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. 
  • Perfeksionis Berlebihan 
    Standar kerja mereka super tinggi, dan sering kali mereka memaksakan standar itu ke orang lain tanpa memahami keterbatasan tiap individu. 
  • Antisocial di Tim 
    Kolaborasi? Enggak banget buat mereka. Mereka lebih suka kerja sendiri dan sering meremehkan pentingnya kerja sama tim

Kenapa Istilah Brilliant Jerks Penting Dibahas? 

Istilah ini muncul karena seringnya fenomena macam ini terjadi di tempat kerja modern. Banyak perusahaan yang terlalu fokus mengejar target besar atau hasil cepat sampai lupa pentingnya menjaga budaya kerja yang sehat. 

Sering kali, brilliant jerks tetap dipertahankan di organisasi karena dianggap “tidak tergantikan” berkat keahlian mereka. Padahal, efek buruknya bisa panjang: mulai dari tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi, rusaknya hubungan antar anggota tim, sampai turunnya kepercayaan pada pimpinan perusahaan. 

Baca Juga: Mengatasi Toxic Positivity: Menjaga Keseimbangan Emosional di Lingkungan Kerja 

Dampak Brilliant Jerks di Tempat Kerja 

Meskipun mereka sering dianggap aset berharga karena keahliannya, kehadiran Brilliant Jerks justru bisa membawa masalah besar di lingkungan kerja. Sikap mereka yang merusak bisa memengaruhi hubungan antarkaryawan, semangat tim, dan bahkan kinerja organisasi. Dikutip dari, Wellhub, berikut beberapa dampak yang mereka timbulkan: 

  1. Membuat Semangat Tim Anjlok 

Sikap arogan dan kasar dari Brilliant Jerks membuat rekan kerja merasa tidak dihargai. Kritik mereka sering tidak konstruktif dan malah menyakitkan, membuat suasana kerja jadi penuh tekanan. Kalau semangat tim turun, produktivitas pasti ikut kena imbasnya. 

  1. Turnover Karyawan Meningkat 

Tidak sedikit karyawan yang akhirnya resign karena tidak tahan dengan suasana kerja yang enggak kondusif akibat Brilliant Jerks. Ketika lingkungan kerja mulai terasa toksik, mereka lebih memilih pindah ke tempat yang bisa mendukung secara emosional. 

  1. Budaya Kerja Rusak 

Budaya kerja yang sehat itu aset penting buat perusahaan. Namun Brilliant Jerks bisa jadi penghancur utama. Mereka sering menciptakan suasana tegang, membuat orang-orang takut berpendapat atau kerja bareng. 

Kalau budaya kerja sudah toksik, sulit buat perusahaan menarik talenta baru atau mempertahankan karyawan terbaik. Bahkan, reputasi perusahaan bisa tercoreng kalau mantan karyawan menyebarkan ulasan negatif. 

  1. Inovasi dan Kreativitas Terhambat 

Brilliant Jerks sering dominan dalam diskusi dan pengambilan keputusan. Mereka cenderung meremehkan ide dari rekan kerja lain, meskipun ide tersebut punya potensi besar. Akibatnya, karyawan jadi takut berbicara atau mencoba hal baru, yang otomatis menghambat inovasi. 

  1. Stres dan Beban Kerja Meningkat 

Rekan kerja yang harus berhadapan dengan Brilliant Jerks sering mengalami tekanan emosional yang berat. Selain harus menyelesaikan tugas mereka sendiri, mereka juga harus menghadapi perilaku negatif yang membuat stres. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu burnout dan masalah kesehatan mental. 

Brilliant Jerks mungkin punya skill yang keren, tapi kalau dampaknya lebih banyak negatifnya, perusahaan harus mulai berpikir ulang untuk tetap mempertahankan mereka. 

Baca Juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor 

Cara Menghadapi Brilliant Jerks 

Berurusan dengan Brilliant Jerks di lingkungan kerja memang enggak mudah. Perlu kombinasi kesabaran, strategi, dan komunikasi yang cerdas untuk menjaga suasana tetap profesional. Walaupun perilakunya sering membuat jengkel, kamu tetap bisa menghadapi mereka dengan cara yang bijak. Dikutip dari, Professional Leadership Institute, How to Deal With a Brilliant Jerk, berikut beberapa langkah yang bisa dicoba: 

  1. Kenali Pola Perilaku Mereka 

Coba pelajari pola perilaku si Brilliant Jerks ini. Apakah mereka sering arogan, suka mengkritik tanpa alasan, atau cenderung mengabaikan kontribusi orang lain? Dengan memahami pola mereka, kamu bisa lebih siap menghadapi situasi yang mungkin muncul. 

  1. Tetap Profesional 

Kunci penting menghadapi Brilliant Jerks adalah menjaga sikap profesional. Jangan biarkan sikap mereka memengaruhi emosi atau kinerjamu. Fokus aja pada pekerjaanmu, dan tunjukkan kalau kamu tetap tenang dan rasional meskipun ada tekanan. 

  1. Tetapkan Batasan yang Tegas 

Rekan kerja yang toksik ini sering merasa bebas mengkritik atau melontarkan komentar yang tidak membangun. Maka dari itu, sangat penting untuk menetapkan batasan yang jelas soal bagaimana kamu ingin diperlakukan. Kalau mereka mulai melewati batas, jangan ragu untuk mengingatkan mereka. 

  1. Fokus pada Fakta, Bukan Emosi 

Saat berhadapan dengan mereka, hindari terjebak dalam konflik yang emosional. Sebaliknya, gunakan fakta dan data untuk memperkuat argumenmu. Dengan pendekatan ini, kamu bisa mengurangi peluang mereka menyerangmu secara pribadi. 

  1. Cari Dukungan 

Kalau perilaku mereka sudah mulai mengganggu produktivitas kerja atau kesejahteraanmu, jangan ragu untuk mencari dukungan dari rekan kerja atau atasan. Diskusikan masalah ini dengan cara yang profesional, dan fokus pada dampak negatif yang mereka timbulkan terhadap tim atau proyek. 

Read More
fresh graduate susah mendapatkan pekerjaan

4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

Bagi banyak fresh graduate, momen lulus kuliah sering kali dipenuhi rasa optimis untuk segera mendapatkan pekerjaan impian. Tapi, enggak jarang ekspektasi ini berbanding terbalik dengan realita. Kompetisi ketat dan berbagai tantangan justru menjadi batu sandungan pertama mereka di dunia kerja.

Pasar Kerja di Indonesia: Dinamika yang Menantang

Pasar kerja di Indonesia memang punya dinamika tersendiri. Setiap tahunnya, ribuan lulusan baru harus bersaing memperebutkan peluang kerja yang terbatas. Sayangnya, enggak semua lulusan bisa langsung terserap ke industri. Tingginya jumlah pelamar dibandingkan dengan ketersediaan lowongan bikin persaingan semakin sengit.

Menurut laporan CNBC Indonesia, data dari Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan ada 298.185 lowongan kerja yang terdaftar di Karirhub pada 2023. Meski meningkat 11,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya (267.107 lowongan), jumlah ini masih jauh dari cukup untuk menampung seluruh pencari kerja.

Fakta lainnya, data BPS mencatat ada 1.819.830 orang yang mencari kerja di Indonesia pada 2023, meningkat drastis hingga 94,18 persen dari tahun sebelumnya (937.176 orang). Angka ini belum termasuk pencari kerja yang tidak terdata resmi. Kalau dihitung kasar, jumlah pencari kerja bisa mencapai enam kali lebih banyak daripada lowongan yang tersedia.

Tingkat Persaingan yang Super Ketat

Persaingan ketat ini membuat perusahaan lebih selektif dalam memilih kandidat. Kebanyakan perusahaan lebih condong ke pelamar dengan pengalaman kerja atau keterampilan yang sudah teruji. Akibatnya, fresh graduate yang minim pengalaman sering kali sulit bersaing dengan kandidat lain yang lebih unggul.

Baca Juga: Tips Ampuh Hadapi Senioritas di Kantor untuk ‘Fresh Graduate’

Hambatan Fresh Graduate dalam Mendapatkan Pekerjaan: Tantangan dari Dalam Diri

Sulitnya fresh graduate mendapatkan pekerjaan bukan cuma karena faktor eksternal, tapi juga karena kurangnya kesiapan diri mereka sendiri. Dikutip dari Indeed, Reasons Why It’s Difficult for Fresh Graduates to Get a Job, berikut beberapa hal yang sering jadi batu sandungan:

Minimnya Pengalaman Kerja

Salah satu kelemahan utama fresh graduate adalah kurangnya pengalaman. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat yang sudah punya jam terbang, bahkan untuk posisi entry-level. Kalau belum pernah magang, kerja part-time, atau terlibat proyek organisasi, mereka sering dianggap belum siap menghadapi dunia kerja.

Padahal, pengalaman kerja lebih dari sekadar formalitas di CV. Itu jadi bukti bahwa seseorang sudah paham cara kerja profesional, bisa beradaptasi dengan lingkungan kantor, dan siap menghadapi tekanan. Makanya, mumpung masih kuliah, coba deh aktif cari pengalaman lewat magang atau kegiatan yang mendukung.

Kurangnya Soft Skill

Soft skill kayak kemampuan komunikasi, kerja tim, manajemen waktu, atau berpikir kritis itu super penting di dunia kerja. Tapi sayangnya, banyak fresh graduate yang kurang menguasai kemampuan ini karena jarang dilatih atau diasah.

Misalnya, saat wawancara kerja, kamu enggak cuma dinilai dari jawaban teknis, tapi juga dari cara kamu bicara, kepercayaan diri, sampai kemampuan membangun koneksi dengan pewawancara. Intinya, soft skill sering jadi pembeda antara kandidat yang diterima dan yang tidak.

Ekspektasi Perusahaan yang Tinggi

Perusahaan sekarang sering banget menetapkan standar tinggi, bahkan untuk posisi entry-level. Mulai dari pengalaman kerja 2-3 tahun, keahlian di berbagai tools, sampai sertifikasi tertentu sering masuk dalam daftar syarat.

Ini terjadi karena persaingan yang makin ketat. Dengan banyaknya kandidat berpengalaman di luar sana, perusahaan otomatis bakal pilih yang paling siap. Sayangnya, banyak fresh graduate yang belum bisa memenuhi ekspektasi ini karena keterbatasan pengalaman dan skill yang belum matang.

Persaingan Ketat dengan Kandidat Berpengalaman

Fresh graduate enggak cuma bersaing dengan sesama lulusan baru, tapi juga dengan kandidat yang sudah punya pengalaman. Mereka yang berpengalaman jelas punya nilai tambah, mulai dari keterampilan praktis, jaringan kerja, sampai track record yang bisa diandalkan. Jadi, fresh graduate harus lebih ekstra usaha untuk bisa menunjukkan bahwa mereka juga layak dipertimbangkan.

Perubahan Cepat di Dunia Kerja

Transformasi digital dan perkembangan teknologi membuat dunia kerja berubah cepat. Banyak pekerjaan tradisional digantikan oleh otomatisasi, sementara pekerjaan baru sering kali butuh skill teknis tertentu. Kalau fresh graduate enggak up-to-date sama tren ini, peluang mereka untuk diterima kerja jadi lebih kecil.

Baca Juga: Apa itu ‘Post Graduation Blues’ yang Sering Serang ‘Fresh Graduate’

Tips Menghadapi Tantangan dalam Mencari Kerja

Mencari pekerjaan pertama memang enggak selalu gampang, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Dengan langkah-langkah strategis, kamu bisa memperbesar peluang untuk diterima kerja. Dikutip dari Forbes, 7 Strategies A New College Graduate Should Use To Land A Good Job, berikut beberapa cara yang bisa dicoba:

  1. Asah Keterampilan yang Sesuai dengan Industri

Kunci buat standout di dunia kerja adalah punya skill yang relevan. Ini beberapa cara yang bisa kamu lakukan:

Ikut Kursus Online atau Pelatihan

Banyak banget platform kursus online yang menawarkan pelajaran praktis kayak coding, desain grafis, atau analisis data. Ini kesempatan kamu buat belajar skill baru yang belum diajarkan di kampus.

Ambil Sertifikasi Profesional

Sertifikasi itu ibarat “tiket emas” buat nambah nilai jual. Misalnya, kamu bisa ambil sertifikasi digital marketing dari Google atau sertifikasi Microsoft Excel buat pekerjaan administratif.

Ikut Workshop atau Bootcamp

Mau belajar intensif dan langsung relevan dengan dunia kerja? Coba deh daftar workshop atau bootcamp, seperti coding bootcamp atau pelatihan desain UX/UI.

  1. Magang dan Freelance: Pengalaman Itu Penting

Kalau belum punya pengalaman kerja formal, magang atau freelance bisa jadi solusi.

  • Magang: Ini jalan yang pas buat kenal dunia kerja sambil belajar langsung di lapangan.
  • Freelance: Selain fleksibel, kerja freelance juga bisa nambah portofolio sekaligus asah skill yang dibutuhkan perusahaan.
  1. Bangun Koneksi Lewat Networking

Di dunia kerja, siapa yang kamu kenal bisa sama pentingnya dengan apa yang kamu tahu. Perluas jaringanmu lewat cara berikut:

Datang ke Acara Networking

Ikut seminar, job fair, atau konferensi sesuai bidangmu. Ini cara asyik buat ketemu orang-orang yang sejalan sama karier yang kamu inginkan.

Gunakan Media Sosial

Manfaatkan LinkedIn buat bikin koneksi profesional. Selain itu, pastikan profilmu menarik dan mencerminkan kemampuan serta pengalamanmu, agar perusahaan lebih gampang nemuin kamu.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

  1. Susun Rencana Karier yang Jelas

Agar lebih terarah, coba susun rencana karier yang nyata.

Kenali Minat dan Tujuan

Cari tahu apa yang benar-benar kamu suka dan tujuan jangka panjangmu. Ini penting buat milih perusahaan dan posisi yang cocok sama passion-mu.

Buat Strategi Pencarian Kerja

Buat daftar perusahaan yang ingin kamu tuju, atur jadwal apply, dan tetapkan target skill yang mau kamu kembangkan. Dengan strategi yang terencana, proses pencarian kerja bakal lebih terorganisir.

Read More
tips cari side hustle

Cari Side Hustle? Begini Langkah-Langkah Mudah untuk Memulainya

Pernah dengar istilah side hustle? Ini sebutan buat pekerjaan sampingan yang dijalani di luar kerjaan utama. Bedanya sama kerjaan utama yang umumnya punya jam kerja tetap, side hustle lebih fleksibel, jadi kamu bisa atur sendiri waktunya.

Bentuknya macam-macam, mulai dari buka bisnis online, jadi freelancer, jual produk handmade, sampai bikin konten di media sosial. Sederhananya, side hustle itu cara seru buat menyalurkan minat atau keahlian sambil dapat penghasilan ekstra.

Dikutip dari The Washington Post, Gen Z embraces side hustles because ‘loyalty is dead’, belakangan, tren side hustle makin hits, terutama di kalangan milenial dan Gen Z. Enggak heran sih, soalnya perkembangan teknologi digital bikin peluang kerja jadi lebih luas. Tapi, side hustle enggak cuma soal cari uang tambahan, tapi juga soal gimana kamu bisa menyalurkan kreativitas atau hobi ke sesuatu yang lebih produktif dan bisa menghasilkan keuntungan.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Mengapa Side Hustle Penting di Era Sekarang?

Di era serba digital kayak sekarang, punya side hustle udah bukan cuma opsi tambahan, tapi bisa dibilang jadi kebutuhan. Bukan cuma bikin dompet lebih tebal, side hustle juga ngebantu kamu buat belajar skill baru dan ngebuka peluang karier yang mungkin sebelumnya enggak pernah kepikiran.

Langkah-Langkah Menemukan Side Hustle yang Cocok

Memulai side hustle enggak bisa asal-asalan, apalagi kalau kamu mau hasilnya maksimal. Dikutip dari Upwork, Side Hustles: What They Are and How to Start Yours, ada beberapa langkah penting yang perlu kamu ikuti supaya pekerjaan sampingan ini benar-benar sesuai dengan minat, skill, dan kebutuhan kamu. Yuk, simak cara-caranya!

  1. Kenali Diri Sendiri

Sebelum terjun lebih jauh, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mengenal dirimu sendiri. Cari tahu apa yang kamu suka, skill apa yang kamu punya, dan apa tujuan kamu dari side hustle ini.

Apa Minat dan Keahlianmu?

Side hustle paling ideal adalah yang sesuai dengan hal-hal yang kamu suka dan kuasai. Misalnya, kalau kamu suka nulis, jadi penulis lepas bisa jadi opsi yang menarik. Kalau kamu jago desain, coba deh terjun jadi desainer grafis freelance. Pekerjaan bakal lebih santai kalau kamu menjalani sesuatu yang kamu nikmati.

Apa Tujuan Kamu?

Penting banget untuk tahu alasan di balik keinginan memulai side hustle. Mau nambah penghasilan? Mengejar passion yang selama ini terpendam? Atau sekadar pengin coba hal baru? Dengan tahu tujuan, kamu bisa lebih fokus dan terarah.

  1. Lakukan Riset Pasar

Langkah berikutnya, pahami kebutuhan pasar. Ingat, side hustle yang sukses itu adalah yang bisa memenuhi permintaan pasar.

Apa yang Lagi Dibutuhkan?

Cek tren dan cari tahu jasa atau produk apa yang lagi laris di pasaran. Misalnya, di era digital, jasa penulisan konten, desain grafis, atau digital marketing banyak dicari. Ini bisa jadi peluang besar buat kamu.

Siapa Target Pasarmu?

Kenali siapa yang bakal jadi pelanggan atau pengguna jasa kamu. Dengan tahu siapa target audiensmu, kamu bisa bikin strategi yang lebih pas dan efektif.

  1. Atur Waktu dengan Baik

Waktu itu aset yang paling berharga, apalagi kalau kamu punya kerjaan utama atau tanggung jawab lain.

Seberapa Banyak Waktu yang Bisa Dialokasikan?

Hitung waktu luang yang kamu punya. Bisa 2-3 jam per hari setelah kerjaan utama selesai, atau cuma akhir pekan. Pastikan side hustle yang kamu pilih enggak membuat jadwalmu jadi kacau.

Siap Buat Berkomitmen?

Punya side hustle berarti kamu harus siap nambah tanggung jawab. Jadi, pastikan kamu benar-benar siap komit dan tahu cara menjaga keseimbangan antara side hustle, kerjaan utama, dan kehidupan pribadi.

  1. Analisis Risiko dan Peluang

Gak semua side hustle akan berhasil, jadi sangat penting buat mempertimbangkan risiko dan peluang dari setiap opsi yang ada.

Apa Risiko yang Mungkin Muncul?

Mulai dari modal yang bisa hilang, waktu yang terbuang sia-sia, sampai hasil yang gak sesuai ekspektasi. Analisis risiko ini penting supaya kamu bisa lebih siap menghadapi kemungkinan buruk.

Apa Potensinya?

Lihat juga potensi jangka panjang dari side hustle yang kamu pilih. Apakah bisa berkembang jadi sumber penghasilan utama suatu saat nanti?

  1. Mulai dari Skala Kecil

Gak perlu langsung besar-besaran. Mulai dari yang kecil dulu, pelan-pelan berkembang seiring waktu.

Kalau kamu mau jualan produk, coba dulu dengan stok kecil buat lihat respons pasar. Kalau mau jadi freelancer, ambil proyek kecil buat nambah pengalaman dan portofolio. Mulai dari kecil juga membuat kamu lebih mudah belajar dan mengelola risiko.

  1. Upgrade Skill yang Dibutuhkan

Kadang, side hustle yang kamu pilih butuh skill tertentu yang belum kamu kuasai. Jangan ragu buat belajar hal baru biar bisa lebih kompetitif.

Ikuti Kursus Online

Sekarang ada banyak banget platform belajar online yang nawarin kursus dengan harga terjangkau.

Belajar dari Pengalaman Orang Lain

Cari inspirasi dari cerita sukses orang yang udah lebih dulu terjun ke bidang tersebut. Kamu juga bisa gabung ke komunitas yang relevan buat mendapatkan insight tambahan.

Baca Juga: Yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Mulai ‘Side Job’

Kesalahan Umum Saat Memulai Side Hustle

Memulai side hustle memang seru, tapi ada beberapa kesalahan yang sering membuat usaha sampingan ini enggak berjalan mulus.Dikutip dari Inc, 5 Things to Consider Before Starting a Side Hustle, agar enggak salah langkah, yuk simak beberapa kesalahan umum berikut dan cara menghindarinya:

  1. Enggak Punya Tujuan yang Jelas

Banyak orang memulai side hustle tanpa tahu sebenarnya apa yang mau dicapai. Mau cari cuan tambahan, menyalurkan hobi, atau malah mau bangun bisnis jangka panjang? Kalau tujuannya enggak jelas, kamu bakal gampang kehilangan arah di tengah jalan.

Tanpa visi yang jelas, setiap tantangan bisa terasa berat dan membuat kamu cepat menyerah. Solusinya, coba deh tetapkan tujuan spesifik dan realistis. Misalnya, “Dalam 6 bulan, saya ingin menghasilkan Rp3 juta per bulan dari side hustle ini.” Tujuan kayak gini agar kamu tetap semangat dan fokus.

  1. Kebanyakan Coba-Coba Sekaligus

Ada juga yang kepingin coba berbagai jenis side hustle sekaligus, dengan harapan salah satunya bakal sukses. Padahal, cara ini justru bikin energi kamu kebagi-bagi dan hasilnya malah enggak maksimal.

Multitasking yang berlebihan bisa membuat kamu capek sendiri dan ujung-ujungnya enggak ada satu pun proyek yang berhasil. Biar lebih efektif, pilih satu ide side hustle yang menurut kamu paling cocok sama minat dan skill-mu. Fokus dulu sampai ada hasil yang jelas, baru nantinya memikirkan untuk coba ide lain.

  1. Gagal Mengatur Waktu dengan Baik

Karena side hustle biasanya dikerjain di luar jam kerja utama atau di sela-sela tanggung jawab pribadi, banyak yang kesulitan mengatur waktu. Akibatnya, pekerjaan utama bisa keteteran, atau malah waktu buat diri sendiri dan keluarga jadi berkurang.

Supaya lebih seimbang, coba buat jadwal khusus buat side hustle. Misalnya, alokasikan waktu tertentu setiap hari atau khusus di akhir pekan. Ingat, side hustle itu tambahan, jadi jangan sampai membuat hidup kamu jadi berantakan.

Read More
cara mudah set boundaries di kantor

‘Setting Boundaries’ di Kantor: Tips Supaya Karier Tetap Sehat

Di tengah dunia kerja yang makin sibuk, enggak jarang kita merasa stres karena beban tugas yang numpuk dan tuntutan dari berbagai arah. Salah satu cara efektif buat menjaga kesehatan mental sekaligus tetap produktif adalah dengan menetapkan boundaries di tempat kerja. Tapi, gimana, sih, caranya?

Apa Itu Boundaries di Tempat Kerja?

Dikutip dari Psychology Today, dalam artikel Five Essential Boundaries in the Workplace, boundaries di tempat kerja adalah batasan yang kita tetapkan untuk menjaga kesejahteraan fisik, mental, emosional, dan profesional. Ini bisa berupa aturan soal waktu, energi, atau tanggung jawab yang masih nyaman untuk kita jalani dalam pekerjaan.

Dengan boundaries yang jelas, kita bisa tetap produktif tanpa merasa terlalu terbebani. Hasilnya? Lingkungan kerja jadi lebih sehat dan seimbang, bikin kita lebih betah dan fokus.

Baca Juga: Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Definisi Boundaries di Lingkungan Profesional

Secara sederhana, boundaries adalah batasan yang membedakan apa yang menurut kita “oke” dan “enggak oke” saat bekerja. Contohnya:

  • Batasan Waktu: Menentukan jam kerja yang jelas, misalnya tidak menerima tugas di luar jam kerja supaya waktu pribadi tetap terjaga.
  • Batasan Komunikasi: Menentukan kapan dan bagaimana kita berkomunikasi, seperti tidak membalas email atau chat kerja di malam hari.
  • Batasan Tanggung Jawab: Menolak tugas tambahan yang bukan bagian dari job desk, terutama kalau beban kerja sudah terlalu berat.
  • Batasan Emosional: Memastikan urusan pekerjaan tidak sampai merusak suasana hati atau mengganggu kehidupan pribadi.

Mengapa Boundaries Itu Penting?

Dikutip dari Psychology Today, Why Boundaries at Work Are Essential, kalau boundaries di tempat kerja tidak jelas, kita bisa gampang terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat. Misalnya, terus-terusan lembur, sulit bilang “enggak” ke permintaan rekan kerja, atau merasa harus menyelesaikan tugas yang sebenarnya di luar kemampuan kita. Lama-lama, ini bisa bikin kesehatan mental dan fisik terganggu, yang ujung-ujungnya justru menurunkan produktivitas.

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Tanda-Tanda Kamu Membutuhkan Boundaries di Tempat Kerja

Kadang kita enggak sadar kalau boundaries di tempat kerja sudah mulai kabur, bahkan menghilang sama sekali. Akibatnya, kamu jadi gampang capek, stres, atau malah kehilangan semangat kerja. Kalau kamu merasakan tanda-tanda berikut, ini saatnya mulai membuat boundaries yang jelas supaya kesejahteraan mental, fisik, dan emosionalmu tetap terjaga di kantor.

  • Selalu Ngerasa Capek dan Stres

Kalau kamu terus-terusan lelah, baik secara fisik maupun mental, bahkan setelah istirahat, itu bisa jadi tanda kamu kerja terlalu keras atau nanggung beban kerja yang tidak seimbang.

  • Susah Banget Bilangtidak

Pernah enggak, kamu merasa tidak enak untuk menolak tugas tambahan, padahal kerjaanmu sendiri sudah numpuk? Kalau iya, berarti boundaries kamu lemah. Rasa takut membuat kecewa atasan atau rekan kerja sering jadi alasan utama susah bilang “tidak.”

  • Kerjaan Ganggu Waktu Pribadi

Kalau waktu istirahat atau kehidupan pribadimu sering kepotong karena kerjaan, itu tanda boundaries perlu diperbaiki. Ini biasanya terjadi kalau kantor berharap kamu selalu standby, meskipun di luar jam kerja.

  • Produktivitas Drop dan Susah Fokus

Kalau beban kerja berlebihan membuat kamu kewalahan, kemungkinan besar produktivitasmu bakal turun. Kamu juga mungkin jadi susah fokus karena terlalu banyak hal yang harus dibereskan sekaligus.

  • Merasa Kurang Dihargai

Sering bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan bisa membuat orang lain mengangkap itu hal biasa. Lama-lama kamu mungkin merasa kontribusimu tidak dihargai karena tidak ada apresiasi yang pantas.

  • Emosi Pekerjaan Kebawa ke Kehidupan Pribadi

Kalau masalah di kantor membuat mood kamu jelek di rumah atau bahkan mengganggu hubungan sama keluarga, ini tanda boundaries emosionalmu perlu diperbaiki.

  • Tidak Punya Waktu Buat Diri Sendiri

Kalau kerjaan membuat kamu tidak punya waktu buat melakukan hal-hal yang kamu suka, seperti hobi atau sekadar me time, berarti sudah saatnya kamu membangun boundaries yang lebih tegas.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Cara Efektif Set Boundaries di Kantor

Menetapkan boundaries di kantor memang tidak selalu gampang, apalagi kalau kamu takut dianggap kurang kooperatif atau kurang profesional. Tapi, boundaries yang sehat itu penting banget buat menjaga keseimbangan antara kerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan batasan yang jelas, kamu bisa lebih fokus, terhindar dari burnout, dan tetap produktif dalam jangka panjang.

Dikutip dari Cleveland Clinic, How To Set Personal Boundaries at Work, berikut beberapa tips simpel tapi efektif untuk menetapkan boundaries di tempat kerja:

  • Pahami Apa yang Kamu Butuhkan

Langkah awal adalah memahami batasan yang sesuai dengan kebutuhanmu. Coba kenali sejauh mana kapasitasmu, waktu istirahat yang kamu perlukan, atau hal-hal yang membuat kamu gampang kewalahan. Misalnya, kalau kamu tidak nyaman menerima pesan kerjaan di malam hari, berarti kamu butuh batasan soal komunikasi di luar jam kerja.

  • Komunikasikan dengan Jelas

Setelah tahu kebutuhanmu, jangan ragu buat menyampaikan boundaries ini ke atasan atau rekan kerja. Sampaikan dengan sopan tapi tegas agar tidak ada salah paham. Misalnya, kamu bisa bilang, “Saya hanya bisa merespons email kerja sampai jam 6 sore, ya.”

  • Atur Jam Kerja dengan Tegas

Tentukan jam kerja yang jelas dan patuhi aturan itu. Ini cara yang efektif buat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan waktu pribadi. Dengan begitu, kamu bisa lebih santai tanpa harus terus kepikiran soal kerjaan di luar jam kantor.

  • Prioritaskan Tugas dengan Bijak

Beban kerja yang berlebihan sering membuat boundaries jadi berantakan. Supaya lebih terorganisir, coba buat daftar prioritas. Kerjakan tugas yang benar-benar penting dulu, dan jangan ragu buat menunda atau mendelegasikan tugas yang bisa di-handle orang lain.

  • Berani BilangTidakSecara Sopan

Kamu tidak harus selalu bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan, apalagi kalau itu sudah melebihi kapasitasmu. Belajar bilang “tidak” dengan cara yang sopan itu sangat penting untuk menjaga keseimbangan kerja dan hidup.

  • Jangan Terjebak Multitasking Berlebihan

Multitasking terlihat produktif, tapi sering membuat stres dan malah tidak efektif. Sebaiknya fokus selesaikan satu tugas sebelum pindah ke tugas lainnya, supaya kamu tetap on track dan tidak gampang merasa kewalahan.

Read More