cara mudah set boundaries di kantor

‘Setting Boundaries’ di Kantor: Tips Supaya Karier Tetap Sehat

Di tengah dunia kerja yang makin sibuk, enggak jarang kita merasa stres karena beban tugas yang numpuk dan tuntutan dari berbagai arah. Salah satu cara efektif buat menjaga kesehatan mental sekaligus tetap produktif adalah dengan menetapkan boundaries di tempat kerja. Tapi, gimana, sih, caranya?

Apa Itu Boundaries di Tempat Kerja?

Dikutip dari Psychology Today, dalam artikel Five Essential Boundaries in the Workplace, boundaries di tempat kerja adalah batasan yang kita tetapkan untuk menjaga kesejahteraan fisik, mental, emosional, dan profesional. Ini bisa berupa aturan soal waktu, energi, atau tanggung jawab yang masih nyaman untuk kita jalani dalam pekerjaan.

Dengan boundaries yang jelas, kita bisa tetap produktif tanpa merasa terlalu terbebani. Hasilnya? Lingkungan kerja jadi lebih sehat dan seimbang, bikin kita lebih betah dan fokus.

Baca Juga: Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Definisi Boundaries di Lingkungan Profesional

Secara sederhana, boundaries adalah batasan yang membedakan apa yang menurut kita “oke” dan “enggak oke” saat bekerja. Contohnya:

  • Batasan Waktu: Menentukan jam kerja yang jelas, misalnya tidak menerima tugas di luar jam kerja supaya waktu pribadi tetap terjaga.
  • Batasan Komunikasi: Menentukan kapan dan bagaimana kita berkomunikasi, seperti tidak membalas email atau chat kerja di malam hari.
  • Batasan Tanggung Jawab: Menolak tugas tambahan yang bukan bagian dari job desk, terutama kalau beban kerja sudah terlalu berat.
  • Batasan Emosional: Memastikan urusan pekerjaan tidak sampai merusak suasana hati atau mengganggu kehidupan pribadi.

Mengapa Boundaries Itu Penting?

Dikutip dari Psychology Today, Why Boundaries at Work Are Essential, kalau boundaries di tempat kerja tidak jelas, kita bisa gampang terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat. Misalnya, terus-terusan lembur, sulit bilang “enggak” ke permintaan rekan kerja, atau merasa harus menyelesaikan tugas yang sebenarnya di luar kemampuan kita. Lama-lama, ini bisa bikin kesehatan mental dan fisik terganggu, yang ujung-ujungnya justru menurunkan produktivitas.

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Tanda-Tanda Kamu Membutuhkan Boundaries di Tempat Kerja

Kadang kita enggak sadar kalau boundaries di tempat kerja sudah mulai kabur, bahkan menghilang sama sekali. Akibatnya, kamu jadi gampang capek, stres, atau malah kehilangan semangat kerja. Kalau kamu merasakan tanda-tanda berikut, ini saatnya mulai membuat boundaries yang jelas supaya kesejahteraan mental, fisik, dan emosionalmu tetap terjaga di kantor.

  • Selalu Ngerasa Capek dan Stres

Kalau kamu terus-terusan lelah, baik secara fisik maupun mental, bahkan setelah istirahat, itu bisa jadi tanda kamu kerja terlalu keras atau nanggung beban kerja yang tidak seimbang.

  • Susah Banget Bilangtidak

Pernah enggak, kamu merasa tidak enak untuk menolak tugas tambahan, padahal kerjaanmu sendiri sudah numpuk? Kalau iya, berarti boundaries kamu lemah. Rasa takut membuat kecewa atasan atau rekan kerja sering jadi alasan utama susah bilang “tidak.”

  • Kerjaan Ganggu Waktu Pribadi

Kalau waktu istirahat atau kehidupan pribadimu sering kepotong karena kerjaan, itu tanda boundaries perlu diperbaiki. Ini biasanya terjadi kalau kantor berharap kamu selalu standby, meskipun di luar jam kerja.

  • Produktivitas Drop dan Susah Fokus

Kalau beban kerja berlebihan membuat kamu kewalahan, kemungkinan besar produktivitasmu bakal turun. Kamu juga mungkin jadi susah fokus karena terlalu banyak hal yang harus dibereskan sekaligus.

  • Merasa Kurang Dihargai

Sering bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan bisa membuat orang lain mengangkap itu hal biasa. Lama-lama kamu mungkin merasa kontribusimu tidak dihargai karena tidak ada apresiasi yang pantas.

  • Emosi Pekerjaan Kebawa ke Kehidupan Pribadi

Kalau masalah di kantor membuat mood kamu jelek di rumah atau bahkan mengganggu hubungan sama keluarga, ini tanda boundaries emosionalmu perlu diperbaiki.

  • Tidak Punya Waktu Buat Diri Sendiri

Kalau kerjaan membuat kamu tidak punya waktu buat melakukan hal-hal yang kamu suka, seperti hobi atau sekadar me time, berarti sudah saatnya kamu membangun boundaries yang lebih tegas.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Cara Efektif Set Boundaries di Kantor

Menetapkan boundaries di kantor memang tidak selalu gampang, apalagi kalau kamu takut dianggap kurang kooperatif atau kurang profesional. Tapi, boundaries yang sehat itu penting banget buat menjaga keseimbangan antara kerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan batasan yang jelas, kamu bisa lebih fokus, terhindar dari burnout, dan tetap produktif dalam jangka panjang.

Dikutip dari Cleveland Clinic, How To Set Personal Boundaries at Work, berikut beberapa tips simpel tapi efektif untuk menetapkan boundaries di tempat kerja:

  • Pahami Apa yang Kamu Butuhkan

Langkah awal adalah memahami batasan yang sesuai dengan kebutuhanmu. Coba kenali sejauh mana kapasitasmu, waktu istirahat yang kamu perlukan, atau hal-hal yang membuat kamu gampang kewalahan. Misalnya, kalau kamu tidak nyaman menerima pesan kerjaan di malam hari, berarti kamu butuh batasan soal komunikasi di luar jam kerja.

  • Komunikasikan dengan Jelas

Setelah tahu kebutuhanmu, jangan ragu buat menyampaikan boundaries ini ke atasan atau rekan kerja. Sampaikan dengan sopan tapi tegas agar tidak ada salah paham. Misalnya, kamu bisa bilang, “Saya hanya bisa merespons email kerja sampai jam 6 sore, ya.”

  • Atur Jam Kerja dengan Tegas

Tentukan jam kerja yang jelas dan patuhi aturan itu. Ini cara yang efektif buat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan waktu pribadi. Dengan begitu, kamu bisa lebih santai tanpa harus terus kepikiran soal kerjaan di luar jam kantor.

  • Prioritaskan Tugas dengan Bijak

Beban kerja yang berlebihan sering membuat boundaries jadi berantakan. Supaya lebih terorganisir, coba buat daftar prioritas. Kerjakan tugas yang benar-benar penting dulu, dan jangan ragu buat menunda atau mendelegasikan tugas yang bisa di-handle orang lain.

  • Berani BilangTidakSecara Sopan

Kamu tidak harus selalu bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan, apalagi kalau itu sudah melebihi kapasitasmu. Belajar bilang “tidak” dengan cara yang sopan itu sangat penting untuk menjaga keseimbangan kerja dan hidup.

  • Jangan Terjebak Multitasking Berlebihan

Multitasking terlihat produktif, tapi sering membuat stres dan malah tidak efektif. Sebaiknya fokus selesaikan satu tugas sebelum pindah ke tugas lainnya, supaya kamu tetap on track dan tidak gampang merasa kewalahan.

Read More
atasi pelecehan verbal di kantor

Pelecehan Verbal di Tempat Kerja: Apa yang Harus Kamu Lakukan?

Pelecehan verbal di tempat kerja terjadi ketika seseorang menggunakan kata-kata atau ucapan yang bertujuan untuk merendahkan, menghina, mengintimidasi, atau membuat suasana kerja jadi enggak nyaman. Bentuknya bisa berupa komentar pedas, sindiran, ancaman, atau candaan yang enggak pantas. 

Meskipun tidak melibatkan kontak fisik, dampaknya tetap serius, baik untuk kondisi psikologis korban maupun dinamika kerja di tim secara keseluruhan. 

Dikutip dari Happier Human, 11 Verbal Harassment Examples in the Workplace, secara sederhana, pelecehan verbal adalah perilaku tidak etis yang menggunakan komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, untuk menyakiti seseorang secara emosional atau bahkan merusak karier mereka. Di dunia kerja, ini bisa datang dari siapa saja, mulai dari atasan ke bawahan, antar-rekan kerja, atau bahkan dari klien ke karyawan. 

Baca Juga: Kenali Bentuk Kekerasan yang Sering Terjadi di Tempat Kerja 

Contoh Pelecehan Verbal di Tempat Kerja 

  • Komentar yang Merendahkan: 

Ucapan seperti, “Kamu tuh lambat banget, kayaknya enggak cocok deh kerja di sini,” bisa membuat seseorang merasa tidak dihargai dan menurunkan kepercayaan diri mereka. 

  • Sindiran atau Lelucon yang Enggak Pantas: 

Candaan yang bernada diskriminatif, seksis, atau rasis sering kali dikemas sebagai humor, padahal sebenarnya menyakitkan dan merendahkan individu atau kelompok tertentu. 

  • Ancaman Verbal: 

Kalimat seperti, “Kalau kamu enggak selesai tepat waktu, karier kamu bakal habis,” adalah contoh ancaman yang bikin korban merasa tertekan secara emosional. 

  • Bahasa Kasar di Depan Umum: 

Memaki atau menggunakan kata-kata yang enggak sopan, apalagi di depan banyak orang, bisa mempermalukan korban dan merusak reputasi profesionalnya. 

Kenapa Pelecehan Verbal Serius? 

Meskipun tidak meninggalkan luka fisik, pelecehan verbal bisa menimbulkan dampak psikologis yang dalam. Korban bisa merasa cemas, kehilangan percaya diri, bahkan berujung depresi. Selain itu, suasana kerja yang dipenuhi pelecehan verbal bisa membuat semangat tim menurun drastis dan akhirnya menurunkan produktivitas perusahaan. 

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan 

Ciri-ciri Pelecehan Verbal 

  • Berulang: Biasanya pelecehan verbal tidak cuma terjadi sekali, tapi terus diulang sampai membuat korban merasa tidak punya jalan keluar. 
  • Bersifat Subjektif: Tidak semua orang merasakan dampak yang sama. Tapi kalau seseorang merasa terganggu atau tersakiti, itu tetap harus dihormati. 
  • Menyasar Individu atau Kelompok: Kadang pelecehan ini ditujukan ke satu orang, tapi tidak jarang juga menyerang satu tim secara keseluruhan. 

Tanda-Tanda Kamu Menjadi Korban Pelecehan Verbal 

Pelecehan verbal di kantor kadang susah dikenali, apalagi kalau bentuknya halus atau tersirat. Banyak orang bingung, “Ini pelecehan enggak, sih?” Padahal, memahami tanda-tandanya itu penting banget buat melindungi diri dan mencari solusi.  

Dikutip dari Verywell Mind, How to Recognize and Cope With Verbal Abuse, berikut beberapa tanda yang bisa jadi alarm bahwa kamu mungkin sedang mengalaminya: 

  • Rasa Tidak Nyaman yang Terus-Menerus 

Kalau setiap berinteraksi sama seseorang di kantor membuat kamu cemas atau tegang, itu bisa jadi tanda awal. Biasanya ini muncul gara-gara komentar, sindiran, atau ucapan yang sering merendahkan. 

  • Kepercayaan Diri Turun Drastis 

Kata-kata negatif bisa membuat kamu merasa tidak kompeten atau bahkan tidak berharga. Kalau mulai sering ragu sama kemampuanmu sendiri atau takut membuat kesalahan kecil, itu mungkin karena efek pelecehan verbal. 

  • Menghindari Orang Tertentu 

Coba cek, kamu sering tidak sengaja menjauh dari seseorang di kantor? Atau malas ikut rapat karena takut kena kritik? Perilaku ini biasanya muncul sebagai respon terhadap pelaku pelecehan verbal. 

  • Emosi dan Perilaku Berubah 

Pelecehan verbal bisa bikin kamu: 

  • Cepat marah atau gampang frustrasi. 
  • Susah tidur karena terus-terusan memikirkan kejadian di tempat kerja. 
  • Dipermalukan di depan umum 

Kalau kamu sering dikritik atau direndahkan di depan rekan kerja, itu jelas pelecehan. Kritik seperti ini biasanya enggak ada tujuan membangun, cuma mau bikin kamu malu. 

  • Produktivitas Menurun 

Jadi malas kerja? Atau tidak fokus waktu ngerjain tugas? Ini bisa jadi efek pelecehan verbal yang bikin kamu kehilangan motivasi. 

  • Jadi Target Sindiran atau Lelucon Tak Pantas 

Lelucon seksis, komentar merendahkan, atau candaan yang enggak sopan sering dianggap “cuma bercanda,” tapi dampaknya bisa bikin hati sakit. Kalau ini sering terjadi, jangan ragu menganggapnya sebagai bentuk pelecehan verbal. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja 

Cara Menghadapi Pelecehan Verbal di Tempat Kerja 

Menghadapi pelecehan verbal di kantor memang bukan hal mudah. Rasanya bisa membuat frustasi dan emosi. Tapi penting banget buat kamu ingat bahwa semua orang berhak punya lingkungan kerja yang aman dan nyaman, bebas dari intimidasi atau ucapan yang tidak pantas. 

Dengan langkah-langkah yang tepat, kamu bisa melindungi diri sekaligus menyelesaikan masalah ini dengan lebih tenang. Masih dari Verywell Mind, berikut ini beberapa tips untuk menghadapi pelecehan verbal di tempat kerja: 

  • Kenali Pelecehan Verbal dengan Jelas 

Langkah awal adalah paham kalau kamu sedang jadi korban. Apakah kamu sering dapat kritik tajam yang tidak membangun, komentar yang menyakitkan, atau ancaman terselubung? Kalau iya, sadari bahwa itu nggak wajar dan enggak bisa dibiarkan. 

  • Tetap Tenang, Jangan Balas Emosi 

Sangat wajar kalau kamu emosi menghadapi pelecehan, tapi coba tahan diri untuk tidak merespons dengan marah. Reaksi emosional justru bisa membuat situasi makin keruh. Sebaliknya, usahakan tetap profesional dan tanggapi dengan kepala dingin. 

  • Buat Batasan yang Tegas 

Kadang, pelaku enggak sadar kalau perilakunya membuat orang lain tersakiti. Jadi, penting untuk bilang langsung dan tegas, tapi tetap sopan. 

  • Catat Semua Kejadian 

Setiap kali ada insiden, langsung catat detailnya. Tuliskan tanggal, waktu, tempat, apa yang dikatakan, dan siapa saja yang ada di situ. Kalau suatu saat kamu butuh bukti untuk melapor, catatan ini bakal sangat membantu. 

  • Ngobrol Langsung dengan Pelaku 

Kalau memungkinkan, coba ajak pelaku bicara empat mata. Jelaskan gimana perilakunya berdampak ke kamu, tanpa menyerang secara personal. Hindari juga konfrontasi di depan banyak orang supaya suasana tetap kondusif. 

  • Laporkan ke HR atau Atasan 

Kalau udah coba bicara baik-baik tapi tidak ada perubahan, langkah berikutnya adalah melapor ke HR atau atasan. Sebagian besar perusahaan punya aturan jelas soal pelecehan, jadi jangan ragu untuk menggunakan hakmu. 

  • Cari Dukungan Rekan Kerja 

Curhatlah ke teman kantor yang kamu percaya. Siapa tahu mereka juga pernah ngalamin hal serupa atau melihat apa yang terjadi padamu. Dukungan dari mereka bisa bikin kamu merasa lebih kuat dan enggak sendirian menghadapi masalah ini. 

Ingat, kamu enggak harus menghadapi ini sendirian. Jangan takut untuk mengambil tindakan karena kenyamanan dan kesehatan mentalmu itu penting. 

Read More
Pelajaran Karier Berharga dari Film The Devil Wears Prada

Tips Karier yang Kita Pelajari dari Film “The Devil Wears Prada”

Film The Devil Wears Prada bukan sekadar hiburan receh, tapi juga menunjukkan betapa kerasnya dunia kerja, khususnya di industri mode. Dengan visual warna-warni yang memanjakan mata, penonton tipis-tipis diberikan tips relevan untuk mereka yang sedang berjuang membangun karier atau menyesuaikan diri di tempat kerja baru

Terlebih, dunia kerja sering dianggap seperti medan perang penuh tekanan, persaingan, dan ekspektasi tinggi. Itulah yang dialami Andy Sachs, tokoh utama dalam film ini. Sebagai lulusan baru yang bermimpi jadi jurnalis, Andy harus menghadapi kenyataan pahit saat terjebak di dunia fashion sebagai asisten pribadi Miranda Priestly, editor legendaris yang terkenal keras dan perfeksionis. Perjalanan Andy yang penuh tantangan menjadi cerminan lika-liku dunia kerja yang relatable bagi banyak orang. 

Kenapa The Devil Wears Prada relate buat para pekerja? Sebab, film ini enggak hanya bicara soal gaya hidup ambis dan glamor, tapi juga dinamika di tempat kerja. Mulai dari teknik beradaptasi dengan lingkungan baru, menghadapi atasan yang demanding, sampai perjuangan mencari keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi, semuanya disajikan secara realistis. 

Lebih dari itu, film ini menyampaikan pesan tentang pentingnya memiliki visi dan tujuan dalam karier. Tidak peduli seberapa berat tantangan yang dihadapi, jika kita punya arah yang jelas dan tetap setia pada nilai-nilai pribadi, kita bisa membuat keputusan terbaik untuk masa depan. 

Magdalene mengajak kamu untuk sama-sama membedah tips karier dari The Devil Wears Prada yang bisa diterapkan dalam keseharian. Apakah kamu sedang menghadapi atasan yang keras, mencoba memahami budaya kerja yang baru, atau berjuang untuk menyeimbangkan hidup pribadi dan profesional? Kamu harus baca ini sampai selesai. 

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak? 

Pelajaran Penting dari Film The Devil Wears Prada 

Film The Devil Wears Prada menawarkan banyak pelajaran penting yang relevan untuk kamu yang sedang menjajaki dunia kerja. Perjalanan Andy Sachs sebagai asisten Miranda Priestly memberikan insight menarik tentang tantangan, pembelajaran, dan pentingnya menemukan keseimbangan dalam hidup. Dikutip dari Leaderonomics, Career Lessons from The Devil Wears Prada, berikut beberapa pelajaran yang bisa kita ambil: 

  • Pahami Budaya Kerja 

Memasuki lingkungan kerja baru sering kali membutuhkan adaptasi dengan budaya kerja dan norma yang ada. Hal ini dialami Andy saat harus bekerja di industri mode yang sama sekali tidak akrab baginya. Tantangan ini mengingatkan kita bahwa memahami budaya kerja adalah langkah pertama untuk bertahan dan berkembang di tempat baru. 

  • Fleksibilitas adalah Kunci 

Awalnya, Andy merasa bak “alien” di lingkungan kerja majalah Runway. Mulai dari cara berpakaian hingga ritme kerja, semuanya bertolak belakang dengan jati dirinya. Namun, ia memutuskan untuk belajar dan beradaptasi. Fleksibilitas dan kemauan untuk belajar membantunya menghadapi situasi baru, bahkan bersinar dalam pekerjaannya. 

  • Komunikasi Efektif Membuka Jalan 

Salah satu pengalaman terbesar Andy adalah belajar memahami perintah Miranda yang njlimet dan penuh ekspektasi. Dalam dunia kerja, kemampuan membaca situasi, memahami kebutuhan, dan menyampaikan ide secara jelas adalah kunci keberhasilan. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia 

  • Belajar dari Pemimpin yang Keras 

Miranda Priestly mungkin terlihat menakutkan, tapi melalui gaya kepemimpinannya yang tegas, Andy mempelajari nilai-nilai seperti ketelitian, disiplin, dan standar kerja yang tinggi. Meskipun sulit, bekerja dengan pemimpin seperti ini bisa membantu kita mengasah potensi maksimal. 

  • Pengembangan Diri itu Penting 

Awalnya, Andy tidak tahu apa-apa soal mode, tapi memanfaatkan pekerjaannya untuk belajar dan berkembang. Dari yang awalnya clueless, ia bertransformasi menjadi seseorang yang bisa memberikan kontribusi nyata. Pelajaran ini mengingatkan kita untuk melihat pekerjaan sebagai peluang untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi diri. 

  • Keseimbangan Karier dan Kehidupan Pribadi 

Film ini juga menyoroti betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama jika pekerjaan terlalu menuntut. Andy menghadapi dilema ini dan akhirnya mengambil keputusan penting untuk hidupnya. 

Baca Juga: 4 Film yang Gambarkan ‘Ageism’ terhadap Perempuan Pekerja 

  • Tahu Kapan Harus Berhenti 

Walaupun Andy mampu menghadapi tantangan pekerjaan, ia sadar pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai hidupnya. Keputusannya untuk berhenti adalah pengingat, tahu kapan harus berkata “cukup” adalah langkah penting untuk menjaga kebahagiaan dan kesehatan mental

  • Jangan Sekadar Mengejar Status 

Awalnya, Andy menganggap bekerja untuk Miranda adalah tiket emas menuju karier jurnalistik impiannya. Namun ia segera menyadari, status tinggi tidak selalu berarti kepuasan pribadi. Pelajaran ini mengajarkan kita untuk mengejar tujuan yang benar-benar sejalan dengan passion dan nilai hidup kita. 

  • Prioritaskan Kebahagiaan 

Pada akhirnya, Andy memilih meninggalkan pekerjaannya demi mengejar karier yang lebih sesuai dengan dirinya. Keputusan ini menunjukkan kebahagiaan bukan hanya soal pencapaian profesional, tetapi juga tentang merasa puas dengan apa yang kita lakukan setiap hari. 

Read More
ciri ciri burnout

Tanda-tanda Fase ‘Burnout’ Kerja yang Sering Diabaikan

Hampir semua orang pasti pernah merasa bosan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari, dan ini wajar banget. Tapi, kalau rasa jenuh ini sampai berubah jadi kelelahan parah atau yang biasa disebut burnout, itu bisa jadi masalah serius dan bahkan berdampak buruk buat kesehatan mental.

Dikutip dari Mayo Clinic, Job burnout: How to spot it and take action, burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang biasanya muncul karena tekanan kerja yang berat dan berlangsung terus-menerus dalam waktu lama. Kondisi ini bikin seseorang merasa stuck, kehilangan energi, dan susah menemukan motivasi buat kerja lagi.

Beberapa faktor yang sering memicu burnout di tempat kerja di antaranya tuntutan pekerjaan yang tinggi, kurangnya dukungan sosial, tekanan deadline, dan ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Fase-Fase Burnout dalam Dunia Kerja

Burnout bukanlah kondisi yang muncul tiba-tiba, melainkan berkembang secara bertahap seiring waktu. Setiap fase burnout menggambarkan bagaimana perasaan dan perilaku karyawan semakin terganggu, yang akhirnya berdampak pada kinerja dan kesejahteraan mereka. Dikutip dari Health, What Are the Stages of Burnout?, berikut adalah penjelasan dari tiap fase burnout yang sering terjadi di dunia kerja.

Fase 1: Antusiasme Tinggi

Di fase awal, karyawan biasanya sangat bersemangat dan termotivasi saat memulai pekerjaan. Ini adalah tahap penuh harapan, di mana seseorang ingin menunjukkan kemampuan dan memberikan hasil terbaik. Mereka penuh energi dan siap untuk memberi yang maksimal.

Fase 2: Stagnasi atau Mulai Jenuh

Seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang tadinya terasa menantang mulai terasa membosankan. Pada fase ini, meskipun masih ada rasa tanggung jawab, individu mulai kehilangan semangat. Mereka mungkin merasa hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan.

Fase 3: Frustrasi dan Tekanan Emosional

Di fase ini, pekerjaan terasa semakin berat, dan tekanan emosional mulai muncul. Rasa frustrasi meningkat, sementara tugas-tugas seolah terus bertambah. Mereka mungkin merasa kewalahan dengan tuntutan, baik dari atasan maupun ekspektasi diri sendiri.

Fase 4: Apatis atau Kehilangan Semangat

Fase ini ditandai dengan munculnya apatisme. Karyawan merasa tidak ada lagi yang menarik di pekerjaan mereka dan mulai kehilangan semangat. Mereka seperti menjalani rutinitas tanpa tujuan jelas dan cenderung menarik diri dari rekan kerja serta menghindari keterlibatan lebih jauh dalam tugas.

Di tahap ini, perasaan tidak berdaya makin dominan, seakan bekerja hanya menjadi sekadar rutinitas harian.

Fase Akhir: Burnout Total

Di fase terakhir burnout, seseorang benar-benar kehabisan energi, baik fisik maupun mental. Mereka merasa sangat lelah dan enggak bisa lagi bekerja dengan baik. Pada tahap ini, burnout sudah masuk level serius dan bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental.

Ciri-ciri fase ini:

  • Kelelahan Ekstrem: Rasa lelah yang luar biasa, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan butuh waktu lebih lama untuk pulih.
  • Masalah Kesehatan: Burnout bisa memicu berbagai masalah kesehatan, seperti sulit tidur (insomnia), sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga risiko penyakit jantung.
  • Depresi dan Kecemasan: Kondisi mental bisa terganggu parah, dengan perasaan nggak berharga, hilangnya minat hidup, atau bahkan perasaan putus asa.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Cara Mengidentifikasi Burnout Sejak Dini

Burnout berkembang secara perlahan, dan mengenali tanda-tanda awalnya penting banget buat mencegah dampak yang lebih serius. Ketika tanda-tanda burnout mulai muncul, biasanya ada perubahan pada perilaku, perasaan, atau kondisi fisik seseorang.

Mendeteksi gejala awal ini bisa membantu kita mengambil langkah pencegahan sebelum burnout makin parah. Masih dari Mayo Clinic, Berikut beberapa cara buat mengidentifikasi burnout sejak dini.

  • Perubahan Emosi yang Mencolok

Salah satu tanda awal burnout adalah perubahan emosi yang signifikan. Kalau seseorang mulai merasa lebih cemas, mudah frustrasi, atau merasa tertekan berlebihan, ini bisa jadi sinyal awal burnout. Emosi yang terasa enggak terkendali, seperti mudah tersinggung atau gampang marah tanpa alasan jelas, bisa jadi tanda adanya tekanan emosional.

  • Penurunan Kinerja yang Terlihat

Burnout seringkali berdampak pada kualitas dan produktivitas kerja. Karyawan yang biasanya rajin dan efektif bisa mulai mengalami keterlambatan, lebih sering membuat kesalahan, atau kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang biasa.

  • Kelelahan Fisik yang Berlanjut

Burnout enggak hanya menyerang emosi, tapi juga fisik. Kelelahan berlebih, terutama kalau merasa sangat lelah meskipun sudah cukup tidur, bisa jadi tanda burnout. Kelelahan ini muncul karena stres yang berkepanjangan dan bisa berdampak serius kalau dibiarkan terus-menerus.

  • Hilangnya Minat pada Pekerjaan

Salah satu tanda utama burnout adalah hilangnya minat atau kepuasan terhadap pekerjaan. Karyawan yang burnout sering merasa bosan atau bahkan nggak suka lagi dengan pekerjaan yang dulu mereka nikmati. Ini bisa jadi fase di mana seseorang mulai merasa jenuh.

  • Penurunan Kesehatan Mental dan Emosional

Burnout bisa berdampak langsung pada kesehatan mental. Kalau mulai merasa depresi, cemas berlebihan, atau bahkan tertekan, ini bisa jadi tanda serius dari burnout. Di tahap ini, seseorang mungkin mulai merasa putus asa atau enggak lagi berharga.

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Tips untuk Mencegah Burnout di Tempat Kerja

Burnout adalah masalah serius yang bisa menyerang siapa saja, di berbagai jenis pekerjaan. Menghindari burnout bukan cuma penting buat kesehatan pribadi, tapi juga buat performa kerja. Pencegahan burnout dimulai dengan mengenali tanda-tandanya dan mengambil langkah tepat sebelum gejalanya makin parah.

Dikutip dari Better Up, 14 tips for dealing with burnout and loving your life again, berikut beberapa tips praktis untuk mencegah burnout di tempat kerja.

  • Jaga Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi

Salah satu kunci buat mencegah burnout adalah memastikan keseimbangan antara kerja dan waktu untuk diri sendiri. Kalau kita terus-terusan fokus kerja tanpa istirahat atau aktivitas santai, kelelahan dan stres bisa cepat muncul. Dengan menjaga keseimbangan ini, energi dan fokus kita bisa terdistribusi lebih baik, dan risiko burnout berkurang.

  • Tetapkan Harapan Kerja yang Realistis

Beban kerja yang berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis adalah pemicu utama burnout. Kalau merasa tugas yang diberikan terlalu banyak atau target terlalu tinggi, burnout bisa mudah datang. Makanya, penting banget buat menetapkan ekspektasi yang masuk akal agar pekerjaan terasa lebih ringan.

  • Kembangkan Keterampilan Manajemen Stres

Stres memang bagian dari pekerjaan, tapi kalau enggak dikelola dengan baik, stres ini bisa jadi burnout. Menguasai cara mengelola stres, seperti dengan teknik relaksasi atau time management yang efektif, bisa menjaga keseimbangan mental dan fisik kita.

  • Bangun Lingkungan Kerja yang Positif

Lingkungan kerja yang mendukung dan nyaman punya peran besar buat mencegah burnout. Saat kita merasa dihargai dan punya hubungan baik dengan rekan kerja, pekerjaan terasa lebih menyenangkan, dan tingkat stres bisa turun. Lingkungan yang positif bikin kita lebih happy dan produktif.

  • Prioritaskan Kesehatan Mental dan Fisik

Kesehatan mental dan fisik yang prima adalah pondasi penting buat menghindari burnout. Saat tubuh dan pikiran kita dalam kondisi optimal, kita lebih kuat menghadapi tekanan kerja. Dengan menjaga kesehatan, kita bisa mengatasi tantangan di tempat kerja tanpa gampang kewalahan.

Read More
stress crossover di tempat kerja

Mengenal ‘Stress Crossover’ di Tempat Kerja, Dampak, dan Tips Mengatasinya

Dalam dunia kerja, stres jadi hal yang hampir tak bisa dihindari. Namun tahukah kamu kalau stres berpotensi menular ke rekan kerja. Istilahnya stress crossover, yakni kondisi ketika kita ikut terbebani gara-gara lihat rekan kerja yang sedang tertekan. Kita seolah bisa merasakan emosi negatif yang sama, sehingga berpengaruh ke kestabilan mental. 

Apa itu Stress Crossover? 

Dikutip dari Harvard Business Review, stress crossover adalah istilah untuk menggambarkan fenomena di mana stres yang dirasakan seseorang bisa berdampak ke orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang sering berinteraksi atau punya hubungan dekat. 

Di tempat kerja, stress crossover sering terjadi ketika ada karyawan yang sedang tertekan,  “menularkan” stresnya ke rekan-rekan di sekitar. Potensi penularan kian besar ketika kita punya karakter emosional, mudah terbawa suasana, dan cenderung punya empati tinggi. 

Misalnya, kalau ada anggota tim yang tampak stres menghadapi tenggat waktu, suasana ini bisa bikin rekan lainnya ikut terpengaruh. Dampaknya bukan cuma di mood saja, tapi juga memengaruhi komunikasi, kolaborasi, dan produktivitas kerja tim secara keseluruhan. 

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas 

Faktor Penyebab Stress Crossover di Tempat Kerja 

Dikutip dari Psychology Today, Stress Contagion: Does Observing Others’ Anxiety Affect You?, ada beberapa penyebab utama yang bikin stress crossover semakin sering terjadi di tempat kerja: 

  • Lingkungan Kerja yang Tinggi Tekanan  

Lingkungan kerja yang penuh tekanan seperti target tinggi dan tenggat ketat, bisa jadi pemicu utama stress crossover. Ketika satu karyawan merasa tertekan, mood-nya bisa jadi tegang, dan ini dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ditambah lagi, dalam kondisi penuh tekanan, waktu untuk beristirahat jadi terbatas, yang membuat stres makin mudah menular. 

  • Komunikasi antar-Tim yang Kurang Efektif  

Komunikasi yang tidak jelas bisa menambah situasi stress crossover. Kesalahpahaman atau instruksi yang enggak tersampaikan dengan baik sering menimbulkan kecemasan. Misalnya, jika instruksi atasan kurang jelas, karyawan bisa merasa bingung atau takut salah, yang ujungnya bikin tim semakin stres. 

  • Beban Kerja Berlebihan 

Ketika beban kerja terlalu tinggi, karyawan bisa mulai menunjukkan tanda kelelahan atau gampang marah. Hal ini sering bikin rekan-rekan kerjanya ikut merasa terbebani secara emosional atau bahkan takut mereka bakal dapat beban kerja serupa. 

  • Gaya Kepemimpinan yang Tidak Mendukung  

Pemimpin yang terlalu menekan tanpa memikirkan kesejahteraan tim bisa memperparah stress crossover. Ketika karyawan merasa stres karena tuntutan atau kritik yang enggak ada henti, suasana ini bakal “menular” ke seluruh tim yang berinteraksi dengan pemimpin tersebut. 

  • Kurangnya Work-Life Balance  

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang tidak terjaga juga membuat stress crossover makin mudah terjadi. Ketika karyawan merasa sulit bersantai di luar jam kerja, beban emosional ini bisa terbawa ke kantor dan membuat rekan kerja lainnya ikut terpengaruh. 

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan 

Cara Mengatasi Stress Crossover di Tempat Kerja 

Untuk menangani stress crossover, diperlukan pendekatan yang mencakup peran karyawan, pemimpin, dan kebijakan perusahaan. Masih dari Psychology Today, berikut beberapa cara efektif yang bisa dilakukan: 

  1. Bangun Komunikasi yang Terbuka 

Penting untuk memiliki komunikasi yang jujur dan terbuka di tempat kerja. Ketika karyawan dan pemimpin bisa dengan bebas mengungkapkan perasaan atau masalah, stres lebih mudah dikelola, dan dukungan antar-rekan bisa diberikan. 

  1. Dukung Kesehatan Mental Karyawan 

Perusahaan sebaiknya menyediakan layanan atau program kesehatan mental, seperti konseling atau pelatihan manajemen stres, agar karyawan bisa mendapatkan bantuan saat stres terasa berat. 

  1. Pelatihan Kepemimpinan yang Berempati 

Pemimpin yang berempati bisa memahami perasaan tim mereka dan memberikan dukungan dengan tepat. Pelatihan kepemimpinan yang menekankan empati akan sangat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif. 

  1. Dorong Budaya Kerja yang Suportif 

Lingkungan kerja yang saling mendukung membantu karyawan merasa didukung oleh rekan mereka. Dengan begitu, stres tidak mudah menyebar karena ada atmosfer yang saling membantu dan kolaboratif. 

  1. Tetapkan Batasan Jelas antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci untuk mengelola stres. Perusahaan bisa bantu dengan menetapkan aturan terkait batasan jam kerja yang jelas. 

  1. Apresiasi dan Penghargaan kepada Karyawan 

Apresiasi memiliki efek besar dalam menjaga suasana hati dan motivasi karyawan. Ketika karyawan merasa dihargai, suasana positif di tempat kerja bisa lebih terjaga, sehingga stres enggak mudah menular. 

  1. Sediakan Tempat atau Waktu untuk Relaksasi 

Memberikan ruang atau waktu khusus untuk istirahat di kantor bisa bantu karyawan meredakan stres dan menghindari penumpukan tekanan. Perusahaan bisa menyediakan area khusus untuk relaksasi, misalnya ruang meditasi. 

Selain ruang fisik, perusahaan juga bisa menawarkan waktu istirahat ekstra atau fleksibilitas jam kerja bagi mereka yang sedang merasa kewalahan. Dengan adanya tempat dan waktu untuk “detoks” stres, karyawan bisa kembali bekerja dengan lebih tenang dan tidak membawa beban emosional yang bisa menular ke tim. 

Baca Juga: Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu 

  1. Atur Beban Kerja dengan Adil 

Beban kerja yang berlebihan sering jadi salah satu pemicu utama stress crossover. Pemimpin perlu memperhatikan beban tugas yang diberikan ke setiap karyawan, memastikan distribusinya adil dan sesuai kemampuan masing-masing. 

Pemimpin juga bisa memberi izin bagi karyawan yang merasa kewalahan untuk istirahat atau meminta bantuan. Dengan manajemen beban kerja yang proporsional, karyawan bisa lebih fokus tanpa tekanan berlebih yang bikin stres. 

Read More
apa itu Glossophobia dan cara mengatasinya

Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu

Salah satu tips agar karier moncer adalah meningkatkan kemampuan public speaking atau bicara di depan umum. Menurut Indeed, kemampuan tersebut bisa meningkatkan kredibilitas, sehingga dianggap profesional. Public speaking juga bisa mengerek rasa percaya diri secara alami. Muaranya adalah soal mengambil keputusan lebih baik dan menjaga relasi dengan rekan kerja. 

Sayangnya, enggak semua orang punya kemampuan public speaking yang andal. Sebaliknya justru ada yang merasa cemas saat harus ngomong di depan umum. Kondisi ini disebut glossophobia. 

Dikutip dari Healthline, Glossophobia: What It Is and How to Treat It, glossophobia adalah ketakutan berbicara di depan umum yang intens. Sering kali itu menyebabkan seseorang merasa cemas, gugup, bahkan panik saat harus tampil di depan audiens. Ketakutan ini bisa sangat kuat, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari situasi publik yang mengharuskan berbicara di hadapan khalayak. 

Baca Juga: Cara Mengubah Mindset yang Menghambat Perkembangan Karier 

Mengapa Glossophobia Bisa Hambat Karier? 

Glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum, bisa jadi penghambat besar dalam perkembangan karier seseorang. Di dunia kerja, kemampuan komunikasi yang baik sangat berharga. Mulai dari menyampaikan ide, memimpin tim, hingga mempresentasikan proyek. Terkadang ketakutan ini bisa benar-benar jadi batu sandungan dalam mencapai target profesional 

Dikutip dari BBC, Is public speaking fear limiting your career? berikut adalah beberapa alasan kenapa glossophobia bisa menghambat kemajuan karier: 

  1. Membatasi Kesempatan untuk Menyampaikan Ide atau Pendapat 

Di tempat kerja, banyak inovasi dan perkembangan lahir dari ide-ide yang muncul di ruang diskusi atau rapat. Namun bagi mereka yang mengalami glossophobia, rasa takut ini bisa bikin mereka enggan bicara atau menyampaikan ide di depan orang lain. Akibatnya, ide-ide berharga yang bisa memberikan dampak positif malah tidak pernah terungkap. Jadi, baik perusahaan maupun individu yang mengalami glossophobia, sama-sama kehilangan peluang untuk berkembang. 

  1. Menurunkan Kepercayaan Diri yang Dibutuhkan untuk Tampil Menonjol 

Rasa takut ini sering kali muncul karena kurangnya kepercayaan diri atau takut dinilai negatif oleh orang lain. Ketika seseorang takut berbicara di depan umum, rasa percaya diri mereka juga terpengaruh dalam banyak aspek profesional lain. Mereka jadi lebih sering meragukan diri sendiri dan menghindari tantangan baru yang melibatkan komunikasi publik. Padahal, di dunia kerja yang kompetitif, kepercayaan diri penting banget untuk membangun citra profesional yang kuat. Kurangnya rasa percaya diri bisa membuat mereka tampak kurang siap dan, sayangnya, ini bisa memengaruhi kesempatan untuk maju. 

  1. Menghambat Peluang Menunjukkan Kemampuan Kepemimpinan 

Glossophobia bukan hanya soal bicara, tapi juga bisa memengaruhi kemampuan kepemimpinan seseorang. Dalam banyak posisi profesional, terutama peran pemimpin, berbicara di depan umum itu terbilang penting. Seorang pemimpin diharapkan bisa mengomunikasikan visi, menginspirasi tim, dan memberikan instruksi yang jelas. Kalau mereka takut bicara, tim mungkin merasa kurang terinspirasi atau malah tidak mendapatkan arahan yang dibutuhkan. 

  1. Memicu Stres yang Memengaruhi Kesehatan dan Produktivitas 

Glossophobia juga bisa menyebabkan stres berlebihan, terutama saat harus tampil di depan umum. Kalau dibiarkan terus-menerus, bisa berdampak pada kesehatan mental dan fisik, yang akhirnya juga berpengaruh pada produktivitas kerja. Mereka yang terus merasa cemas sering sulit fokus pada pekerjaan lain, yang mana bisa menurunkan kinerja mereka. 

Baca Juga: Mungkinkah Karyawan Tidur di Kantor? Tips Efektif Maksimalkan Istirahat 

Cara Mengatasi Glossophobia Secara Mandiri 

Mengatasi glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum memang enggak gampang, tapi bisa dilakukan secara bertahap dan mandiri. Dengan rutin latihan, teknik pernapasan, dan berpikir positif, rasa takut ini bisa dikurangi, sehingga kepercayaan diri kita dalam berbicara di depan orang banyak makin meningkat. 

Dikutip dari Indeed, How to Overcome Glossophobia Independently, berikut beberapa langkah yang bisa dicoba untuk mengatasi glossophobia secara mandiri: 

  1. Latihan di Depan Cermin 

Latihan ini ampuh buat membantumu terbiasa dengan cara berbicara dan ekspresi wajah saat menyampaikan presentasi atau pidato. Dengan berdiri di depan cermin, kita bisa lihat bahasa tubuh, ekspresi, dan gerak tubuh kita sendiri. Ini bisa jadi momen untuk menyadari kebiasaan yang bikin kita kelihatan gugup, sehingga kita bisa perbaiki. 

Selain itu, kita jadi lebih akrab dengan suara dan gaya bicara sendiri, bikin kita makin nyaman dan percaya diri. 

  1. Rekam dan Dengarkan Ulang 

Merekam diri saat latihan atau presentasi bisa membantu kita evaluasi cara ngomong dan memilih kata dengan lebih baik. Dengan mendengarkan ulang rekaman, kita bisa tahu area yang perlu diperbaiki, seperti tempo bicara, intonasi, atau kejelasan pengucapan. Dari sini, kita bisa bangun pola bicara yang bikin kita makin pede dan nyaman. 

Setelah mendengarkan ulang, coba rekam lagi dengan perbaikan yang sudah ditargetkan. Latihan ini bikin kita makin percaya diri seiring waktu. 

Baca Juga: Atasi ‘Fear of Rejection’ atau Perasaan Takut Ditolak di Dunia Kerja 

  1. Coba Latihan di Depan Keluarga atau Teman 

Dukungan dari orang terdekat penting buat membantu kita mengatasi glossophobia. Ajak keluarga atau teman untuk jadi audiens saat kita latihan atau presentasi. Mereka bisa kasih masukan, bertanya, atau sekadar memberi dukungan. 

Simulasi ini juga bikin kita terbiasa dengan situasi nyata yang melibatkan audiens. Semakin sering kita latihan dengan orang lain, makin berkurang juga rasa cemas atau takut saat berbicara di depan umum. 

  1. Biasakan Ngomong di Depan Kelompok Kecil 

Mulai dari mengobrol atau presentasi di depan kelompok kecil dulu, seperti teman atau rekan kerja. Ini langkah awal yang bagus buat meningkatkan kepercayaan diri sebelum harus bicara di depan audiens yang lebih besar. Dengan latihan di kelompok kecil, kita akan makin nyaman menyampaikan ide dan info di depan banyak orang. 

Lama-lama, jumlah audiens bisa ditambah sedikit demi sedikit. Dengan cara ini, rasa takut berbicara di depan umum akan berkurang seiring waktu. 

Read More
cara meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja

Cara Efektif Tingkatkan Kemampuan ‘Leadership’ di Tempat Kerja

Jadi pemimpin di tempat kerja bukan cuma soal punya jabatan atau kekuasaan, tapi juga kemampuan untuk memotivasi, menginspirasi, dan mengawal tim untuk tumbuh bersama. Kepemimpinan yang solid sendiri jadi kunci untuk bikin lingkungan kerja yang produktif dan nyaman. 

Masalahnya, kemampuan jadi pemimpin yang baik enggak datang begitu saja. Leadership adalah keterampilan yang perlu terus diasah. Yuk, simak beberapa cara buat meningkatkan leadership di tempat kerja. 

Baca Juga: ‘Servant Leadership’ dan Pentingnya Jadi Bos yang Membumi 

Cara Meningkatkan Kemampuan Leadership 

Meningkatkan kemampuan leadership di tempat kerja butuh waktu dan usaha. Kamu harus berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang. Dikutip dari Indeed, How to Improve Your Leadership Skills: Steps and Tips, berikut ini adalah beberapa langkah praktis yang bisa kamu lakukan untuk jadi pemimpin yang lebih baik dan efektif di lingkungan kerja. 

Ikut Pelatihan Leadership 

Pelatihan leadership adalah salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemampuanmu. Lewat pelatihan atau workshop, kamu bisa belajar berbagai pendekatan, teknik, dan strategi baru yang relevan dengan kepemimpinan zaman sekarang. Biasanya, pelatihan juga punya simulasi atau studi kasus yang membantu kamu mempraktikkan ilmu yang didapat secara langsung. 

Mendengarkan Feedback dari Tim 

Feedback itu penting banget buat tahu kelebihan dan kekuranganmu sebagai pemimpin. Mintalah umpan balik dari tim secara rutin, bisa lewat obrolan sehari-hari atau pakai cara formal seperti survei anonim. Ingat, mendengarkan saja enggak cukup, kamu juga harus menunjukkan kepedulianmu akan feedback tersebut dengan membuat perubahan nyata. 

Siap Terima dan Beri Kritik yang Membangun 

Pemimpin harus siap menerima kritik dan bisa memberi kritik yang membangun. Memang enggak selalu nyaman, tapi anggaplah kritik sebagai kesempatan untuk tumbuh. Ketika memberikan kritik, sampaikan secara positif dan fokus pada solusi, bukan hanya masalah. 

Latih Kemampuan Komunikasi  

Komunikasi yang baik adalah kunci kepemimpinan. Tanpa komunikasi yang jelas, pesanmu bisa saja enggak tersampaikan dengan baik. Kamu bisa belajar untuk menyampaikan informasi secara tepat dan jelas. Pun, cobalah mendengarkan secara aktif, biar kamu benar-benar memahami apa yang dikatakan tim tanpa buru-buru memberikan tanggapan. 

Belajar Mendelegasikan Tugas dengan Efektif 

Kamu enggak perlu mengerjakan semuanya sendiri. Dengan delegasi yang tepat, pekerjaan bisa jadi lebih efisien. Berikan kepercayaan kepada tim saat mendelegasikan tugas, tapi tetaplah terlibat dengan memberikan arahan yang jelas dan dukungan jika diperlukan. Hindari micromanagement agar tim merasa diberdayakan. 

Jaga Emosi Tetap Stabil 

Sebagai pemimpin, kamu harus punya kecerdasan emosional yang baik. Mampu mengendalikan emosi dan memahami emosi orang lain sangat penting. Kalau situasi lagi sulit, tetap tenang dan fokus, karena sikapmu akan memengaruhi tim. Cobalah lebih peka terhadap emosi diri sendiri dan orang lain, serta berempati terhadap tim. 

Asah Keterampilan Problem Solving 

Pemimpin harus bisa jadi pemecah masalah yang handal. Ketika ada masalah, kamu perlu bisa mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi terbaik. Bukan hanya soal mencari solusi cepat, tapi memahami situasi secara menyeluruh dan mendalam. 

Baca juga: Budaya Kerja Toksik Dimulai dari Kepemimpinan Medioker 

Kesalahan yang Harus Dihindari dalam Leadership 

Menjadi pemimpin memang penuh tantangan, dan kadang-kadang ada kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja. Kesalahan dalam memimpin bisa memengaruhi tim dan bahkan organisasi secara keseluruhan.  

Biar jadi pemimpin yang efektif, penting buat sadar dan menghindari beberapa kesalahan umum ini. Dikutip dari Forbes, 17 Common Mistakes Leaders Make That Can Destroy Team Trust, berikut beberapa kesalahan yang harus dihindari. 

Tidak Mendengarkan Tim 

Salah satu kesalahan besar yang sering dilakukan pemimpin adalah enggak mendengarkan anggota timnya. Kalau kamu terlalu fokus pada ide-ide sendiri dan nggak memperhatikan masukan tim, mereka bisa merasa tidak dihargai. Komunikasi yang cuma berjalan satu arah bikin tim frustrasi dan kehilangan semangat buat berkontribusi. 

Mendengarkan secara aktif itu penting. Buka telinga buat masukan dari tim bisa bikin suasana kerja lebih kolaboratif dan bikin semua orang merasa lebih dihargai. Plus, kamu jadi paham masalah yang mungkin enggak kelihatan. 

Micromanagement 

Kesalahan lainnya adalah micromanaging, di mana pemimpin terlalu banyak ikut campur dalam setiap detail pekerjaan tim. Ini bikin pemimpin sendiri kelelahan, dan anggota tim merasa kurang percaya diri karena enggak punya ruang untuk bekerja mandiri. 

Delegasi itu kuncinya. Percayalah pada tim kamu, biarkan mereka mengelola tugas mereka sendiri dengan otonomi. Hasilnya, mereka bisa berkembang lebih cepat, dan kamu bisa fokus pada hal-hal yang lebih strategis. 

Tidak Memberikan Umpan Balik yang Konstruktif 

Pemimpin yang baik harus bisa memberikan umpan balik yang membangun. Akan tetapi, kadang ada pemimpin yang terlalu takut buat kasih kritik karena khawatir bikin tim enggak nyaman. Ada juga yang malah sering mengkritik melulu tanpa memikirkan cara penyampaian yang etis. Ujung-ujungnya malah bikin tim jadi tidak semangat. 

Menghindari Keputusan yang Sulit 

Kadang, pemimpin sering ragu atau menunda pengambilan keputusan yang sulit. Ini bisa bikin tim bingung dan enggak tahu apa yang harus mereka lakukan. Menunda keputusan malah bikin masalah makin rumit. 

Sebagai pemimpin, kamu harus bisa ambil keputusan dengan tegas. Analisis situasi, pertimbangkan opsi, dan ambil langkah yang tepat. Meski kadang enggak populer, keputusan yang jelas bisa membangun kepercayaan di tim. 

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak? 

Kurang Memperhatikan Motivasi dan Penghargaan 

Pemimpin yang kurang memerhatikan motivasi dan penghargaan buat tim sering kali berhadapan dengan masalah semangat kerja. Semua orang ingin merasa dihargai, dan kurangnya apresiasi bisa bikin motivasi tim turun drastis. 

Jadi, jangan lupa untuk kasih apresiasi, sekecil apa pun. Bisa berupa pujian, ucapan terima kasih, atau bahkan pengakuan di depan tim. Hal sederhana seperti ini bisa bikin semangat tim meningkat dan produktivitas jadi lebih baik. 

Read More
alasan pria china jadi bapak rumah tangga

Ramai-ramai Cowok China ‘Resign’ dan Jadi Bapak Rumah Tangga

Fenomena “ayah penuh waktu” atau “bapak rumah tangga” lagi tren banget di China. Menurut survei 2019, lebih dari setengah pria di China setuju untuk jadi bapak rumah tangga, naik dari 17 persen di 2007, tulis Kompas

Fenomena ini membawa perubahan besar dalam norma sosial di China yang kental dengan kultur patriarkal. Diketahui, selama berabad-abad norma sosial setempat menjadikan lelaki sebagai pencari nafkah, sedangkan perempuan di rumah mengurus anak. 

Namun sekarang, banyak pria di China memilih resign dari pekerjaannya. Mereka dengan senang hati melakukan kerja domestik, seperti memasak, bersih-bersih, dan mengurus anak. Semua pekerjaan yang dikaitkan dengan perempuan. 

Apa sih yang membuat para pria di China melakukan itu? 

Baca Juga: 6 Peran Laki-laki dalam Mendorong Kepemimpinan Perempuan 

Penyebab Maraknya Bapak Rumah Tangga di China 

Dikutip dari The Straits Times, China’s ‘full-time dads’ challenge patriarchal norms, pendiri platform konseling psikologis daring di China, Pan Xingzh bilang, fenomena bapak rumah tangga muncul seiring dengan semakin diakuinya hak perempuan dan akses terhadap pendidikan tinggi di China. Di sisi lain, pasangan di China juga mulai lebih bijak soal uang. 

Para lelaki sadar walaupun tak mendapatkan gaji, tapi punya kesempatan mengurus anak sendiri. Hal ini secara keuangan sering kali membuat pengeluaran jadi lebih hemat daripada harus bayar pengasuh. 

Salah satu pria yang memutuskan resign dan fokus jadi bapak rumah tangga adalah Chen Hualiang. Dulu dia manajer proyek, tapi rela keluar dari persaingan dunia kerja dan memilih jadi bapak rumah tangga. 

Dia bilang, saat kerja, kita sering bermimpi punya karier cemerlang dan uangnya bisa digunakan untuk membantu keluarga. Kenyataannya, gaji belum tentu jadi hal yang paling dibutuhkan keluarga. Bapak dua anak itu merasa selama bekerja, dia cuma membantu keluarga dari segi finansial dan enggak banyak terlibat dalam mengurus anak. Hal itu yang bikin hubungannya dengan anak-anak jadi kurang dekat. Maka, dia mumutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jadi bapak rumah tangga. 

“Saya kepingin jadi teman buat anak-anak saya, biar mereka bisa cerita banyak,” ujarnya. 

Baca Juga: Kokok Dirgantoro: Cuti Ayah Dukung Perempuan Berkarier 

Alasan Lelaki Memilih Jadi Bapak Rumah Tangga 

Fenomena pria yang memilih menjadi bapak rumah tangga di China tak muncul tanpa sebab. Ada berbagai faktor, baik sosial, ekonomi, maupun personal, yang mendorong pria untuk mengambil peran ini. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The Stay-At-Home Dad, di bawah ini adalah beberapa alasan utama mengapa pria memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja dan mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga. 

  1. Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja 

Salah satu alasan yang sering muncul adalah ketidaksetaraan gender yang masih menjadi masalah di banyak sektor kerja, baik di China maupun di negara lain. Pria, terutama mereka yang bekerja di sektor dengan kompetisi ketat, sering kali merasa terjebak dalam ekspektasi tradisional yang mengharuskan mereka untuk terus-menerus bekerja keras tanpa memerhatikan keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga

Beberapa pria mungkin merasa sulit untuk berkembang atau merasa tertekan oleh tuntutan pekerjaan yang tinggi, sehingga mereka memilih untuk keluar dari situasi ini dan mengambil peran yang lebih terfokus pada rumah tangga. 

Di sisi lain, peningkatan jumlah perempuan yang lebih berhasil dalam karier juga turut memengaruhi keputusan ini. Dalam banyak keluarga, perempuan sekarang mampu menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengambil alih tanggung jawab mengurus rumah tangga. Ini mencerminkan perubahan dalam peran tradisional gender yang sudah berlangsung bertahun-tahun. 

  1. Keseimbangan Kehidupan Kerja dan Keluarga 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi faktor penting lainnya. Semakin banyak pria yang merasa penting untuk memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga, terutama anak-anak mereka. Kehidupan kota besar, dengan jadwal kerja yang padat dan kompetitif, sering kali membuat para pekerja kehilangan momen-momen penting dalam kehidupan anak-anak mereka. 

Dengan menjadi bapak rumah tangga, mereka bisa mengatur waktu lebih fleksibel untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga, mendampingi anak dalam tumbuh kembang mereka, dan bahkan mendukung pasangan yang mungkin sedang mengejar karier. 

  1. Biaya Hidup dan Efisiensi Keuangan 

Selain itu, biaya hidup yang semakin tinggi di kota-kota besar juga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan ini. Beberapa keluarga mendapati, mengelola rumah tangga dengan hanya satu orang yang bekerja dapat lebih efisien secara finansial. Menghindari biaya besar seperti daycare, pengasuh anak, atau layanan rumah tangga dapat menghemat pengeluaran keluarga. 

Dalam situasi seperti ini, jika istri memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi, maka logis bagi pria untuk memilih tinggal di rumah dan mengurus keluarga, ketimbang kedua pasangan bekerja dan mengeluarkan biaya besar untuk pengasuhan anak. 

Baca Juga: Demi Anak, Aku Berhenti Bekerja 

  1. Peran Gender yang Semakin Fleksibel 

Seiring dengan perkembangan zaman, konsep peran gender mulai mengalami perubahan yang lebih dinamis. Dulu, peran pria sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Namun, dengan munculnya gerakan kesetaraan gender dan pemahaman yang lebih luas tentang peran dalam keluarga, pria sekarang merasa lebih nyaman untuk mengambil peran yang dulu dianggap hanya milik perempuan. 

Generasi Milenial dan Gen Z lebih terbuka terhadap gagasan bahwa pria bisa sama baiknya dalam mengurus rumah tangga dan merawat anak. Hal ini mendorong banyak pria untuk mencoba peran tersebut tanpa merasa terikat oleh ekspektasi tradisional. 

  1. Peningkatan Kualitas Hidup dan Kesejahteraan 

Ada juga alasan yang lebih bersifat emosional dan psikologis, yaitu keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Menjadi bapak rumah tangga memungkinkan pria untuk keluar dari tekanan pekerjaan yang sering kali menyebabkan stres berlebihan, burnout, dan kelelahan mental. Mengambil jeda dari rutinitas pekerjaan dan berfokus pada keluarga dapat memberikan rasa damai dan kepuasan yang mungkin tidak didapatkan dari bekerja di kantor. 

Bagi sebagian pria, menjadi lebih terlibat dalam kehidupan keluarga dan melihat tumbuh kembang anak-anak secara langsung memberikan makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan pencapaian karier. 

Read More
bentuk kekerasan di tempat kerja

Kenali Bentuk Kekerasan yang Sering Terjadi di Tempat Kerja

Belum lama ini, di media sosial viral dengan berita kasus dugaan kekerasan dan pelecehan terhadap karyawan studio game Brandoville. Beberapa pekerjanya, lewat akun X yang beredar, mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari fisik, emosional, verbal, sampai diskriminasi, rasisme, seksisme, dan eksploitasi.

Kekerasan di tempat kerja itu sebenarnya bisa muncul dalam berbagai bentuk. Enggak melulu soal perkelahian fisik seperti yang kita sering lihat di film, tapi bisa lebih luas dari itu. Kekerasan di tempat kerja bisa terjadi secara verbal, psikologis, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual. Intinya, segala tindakan yang bikin orang enggak nyaman, tersakiti, atau tertekan di tempat kerja bisa dibilang sebagai bentuk kekerasan.

Kekerasan di tempat kerja juga bisa terjadi dalam situasi di mana seseorang menggunakan posisinya yang lebih tinggi (misalnya bos ke bawahan) buat memanfaatkan orang lain dengan cara yang enggak wajar. Ini bukan cuma soal bos marah-marah, tapi lebih ke situasi di mana kamu merasa enggak aman dan dihargai.

Bisa dibilang, kekerasan di tempat kerja adalah segala bentuk perilaku yang bikin orang merasa terancam, tersudut, atau tidak berdaya. Baik itu karena perkataan, perlakuan, atau tindakan yang diterima di tempat kerja. Terlepas dari apakah itu dilakukan secara sengaja atau tidak, dampaknya tetap aja bikin stres dan tidak sehat.

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja

Penyebab Terjadinya Kekerasan di Tempat Kerja

Kekerasan di tempat kerja enggak terjadi begitu saja tanpa alasan. Biasanya ada beberapa faktor yang memicu munculnya tindakan kekerasan, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.

Dikutip Canadian Centre for Occupational Health and Safety, Violence and Harassment in the Workplace, berikut ini beberapa penyebab umum yang dapat memicu kekerasan di lingkungan kerja:

Faktor Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja punya pengaruh besar terhadap perilaku karyawan. Tempat kerja yang enggak mendukung suasana nyaman atau aman bisa memicu terjadinya kekerasan. Misalnya, tempat kerja yang penuh tekanan, atau minim fasilitas keamanan. Kondisi tersebut bisa meningkatkan tingkat stres karyawan, yang pada akhirnya membuat mereka lebih rentan untuk terlibat dalam konflik.

Selain itu, jika perusahaan enggak punya kebijakan yang jelas untuk menangani kekerasan atau pelecehan, karyawan mungkin merasa tidak ada perlindungan, sehingga pelaku kekerasan merasa bebas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut dikenai sanksi.

Faktor Individu

Setiap individu punya latar belakang dan masalah masing-masing, dan kadang-kadang, masalah personal bisa terbawa ke tempat kerja. Ada beberapa individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kekerasan karena karakter atau masalah pribadi yang mereka hadapi. Misalnya, seseorang yang memiliki masalah emosi yang tidak terkontrol atau sedang berada dalam tekanan emosional dari kehidupan pribadinya, lebih mungkin untuk meledak dan berperilaku agresif di tempat kerja.

Konflik Antar Rekan Kerja

Tempat kerja sering kali menjadi ladang konflik, terutama ketika ada persaingan yang tidak sehat di antara rekan kerja. Misalnya, perebutan posisi, perbedaan pandangan atau gaya kerja. Konflik yang enggak diatasi dengan baik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan, baik secara verbal, emosional, maupun fisik.

Tekanan dan Tuntutan Kerja

Stres yang berlebihan akibat tekanan kerja yang tinggi juga menjadi salah satu penyebab utama kekerasan di tempat kerja. Karyawan yang merasa terbebani dengan target yang nggak realistis, deadline yang ketat, atau tugas yang berlebihan sering kali merespons dengan kemarahan atau frustrasi yang bisa meledak ke arah kekerasan.

Tekanan dari atasan yang terus-menerus menuntut hasil tanpa memperhatikan kondisi karyawan juga bisa memicu kekerasan.

Tekanan kerja yang tinggi ini tidak cuma datang dari manajemen, tapi juga dari harapan diri sendiri yang terlalu tinggi atau tuntutan dari lingkungan kerja yang kompetitif. Ketika seseorang merasa tidak mampu memenuhi harapan, mereka bisa merasa terpojok dan reaktif, bahkan sampai melakukan kekerasan.

Budaya Kerja yang Tidak Sehat

Budaya kerja juga punya peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman atau sebaliknya. Jika perusahaan memiliki budaya yang terlalu kompetitif tanpa memperhatikan kesejahteraan karyawan, kekerasan lebih mungkin terjadi. Di tempat kerja di mana pelecehan atau intimidasi dianggap hal yang biasa, karyawan akan merasa tidak berdaya dan kekerasan akan terus berlanjut.

Baca Juga: Stop Bullying: Langkah-langkah Cegah di Tempat Kerja

Tindakan yang Harus Dilakukan Ketika Mengalami Kekerasan

Mengalami kekerasan di tempat kerja tentu bukan hal yang mudah. Baik itu kekerasan fisik, verbal, emosional, maupun seksual, semuanya bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Namun, ada langkah-langkah penting yang bisa dilakukan untuk melindungi diri dan menghadapi situasi tersebut dengan tepat. Psychology Today, Violence in the Workplace, berikut adalah beberapa tindakan yang bisa diambil ketika mengalami kekerasan di tempat kerja:

1. Tetap Tenang dan Jangan Panik

Langkah pertama yang harus dilakukan ketika menghadapi kekerasan adalah mencoba untuk tetap tenang. Meskipun ini sangat sulit, panik hanya akan memperburuk situasi. Dengan kepala dingin, kamu bisa lebih jernih dalam mengambil keputusan dan menyusun langkah berikutnya.

2. Kumpulkan Bukti

Saat kamu menjadi korban, sangat penting untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Bukti ini bisa dalam bentuk rekaman percakapan, email, pesan teks, atau bahkan saksi mata. Semakin lengkap bukti yang kamu miliki, semakin kuat kasus kamu jika nantinya perlu melapor kepada pihak berwenang atau HRD.

3. Cari Dukungan dari Rekan Kerja

Dukungan dari rekan kerja bisa sangat membantu dalam menghadapi situasi kekerasan di tempat kerja. Teman-teman di kantor bisa menjadi saksi yang memperkuat laporan kamu, sekaligus memberikan dukungan emosional yang kamu butuhkan. Jangan ragu untuk berbicara kepada rekan kerja, terutama jika mereka juga mengalami situasi serupa.

Baca Juga: Apa itu ‘Power Harassment’, Kekerasan yang Dinormalisasi di Dunia Kerja

4. Pertimbangkan Bantuan Hukum

Jika perusahaan tidak menindaklanjuti laporan kekerasan atau jika kekerasan yang kamu alami sangat serius, mencari bantuan hukum mungkin menjadi pilihan yang tepat. Banyak organisasi yang menyediakan dukungan hukum bagi korban kekerasan di tempat kerja, termasuk konseling gratis dan pendampingan hukum.

Kamu dapat mencoba menghubungi lembaga perlindungan tenaga kerja untuk mendapatkan saran tentang langkah hukum yang bisa diambil. Mereka bisa membantu kamu dalam memahami hak-hak sebagai pekerja dan apa yang bisa dilakukan jika perusahaan tidak melindungi kamu sebagai karyawannya.

Read More
apa itu slow productivity

Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Slow productivity adalah pendekatan bekerja yang lebih lambat tetapi lebih efisien. Dikutip dari Forbes, The Rise Of The ‘Slow Productivity’ Movement, fokus utama dari slow productivity adalah meningkatkan kualitas daripada kuantitas pekerjaan yang dilakukan. Ini bertentangan dengan pendekatan hustle culture yang menekankan kecepatan dan produktivitas tanpa henti. Slow productivity mendorong seseorang untuk bekerja dengan cara yang lebih berkelanjutan, menghindari burnout, dan memberikan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang.

Berbeda dengan Hustle Culture

Hustle culture adalah gaya hidup yang menekankan kerja keras tanpa henti, dengan fokus pada pencapaian hasil yang maksimal dalam waktu singkat. Dikutip dari Forbes, Is The Hustle Culture and Mentality Out of Control, dalam hustle culture, keberhasilan diukur dari seberapa banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan, seberapa cepat target bisa dicapai, dan seberapa sibuk seseorang terlihat. Hustle culture sering kali mempromosikan gagasan bahwa semakin banyak dan semakin cepat seseorang bekerja, semakin sukses hidupnya.

Pada intinya, hustle culture tidak memberi ruang bagi keseimbangan hidup. Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini biasanya merasa harus terus “bergerak,” sering kali tanpa mempertimbangkan kesehatan fisik atau mental mereka.

Baca Juga: ‘Lazy Girl Job’: Tren Kerja Santai yang Viral di TikTok

Dampak Negatif Hustle Culture

Meskipun sekilas hustle culture tampak mengagungkan produktivitas, banyak dampak negatif yang muncul dari penerapan gaya hidup ini. Salah satu dampak paling umum adalah burnout, yaitu kondisi fisik dan mental yang sangat kelelahan akibat tekanan kerja yang berlebihan. Burnout dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja, kualitas pekerjaan yang buruk, hingga masalah kesehatan serius seperti gangguan tidur, depresi, dan kecemasan.

Bagaimana Slow Productivity Menjadi Solusi Alternatif?

Berbeda dengan hustle culture, slow productivity menekankan keseimbangan, fokus, dan kualitas daripada kecepatan dan kuantitas. Pendekatan ini mendorong seseorang untuk bekerja secara efisien namun tetap menjaga kesehatan mental dan fisiknya. Dikutip The New Yorker, It’s Time to Embrace Slow Productivity, slow productivity berangkat dari gagasan bahwa bekerja secara lambat dan penuh perhatian tidak hanya memberikan hasil yang lebih baik, tetapi juga lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dalam slow productivity, fokus tidak lagi pada seberapa banyak pekerjaan yang diselesaikan dalam waktu tertentu, melainkan pada kualitas pekerjaan itu sendiri. Alih-alih menyelesaikan banyak tugas sekaligus, slow productivity mendorong individu untuk bekerja lebih selektif, memilih tugas yang benar-benar penting dan memberikan dampak terbesar. Dengan cara ini, setiap tugas bisa diselesaikan dengan lebih baik, tanpa tekanan untuk terus-menerus beralih ke pekerjaan berikutnya.

Slow productivity juga memberikan ruang bagi istirahat yang cukup dan pentingnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dalam slow productivity, istirahat dilihat sebagai bagian integral dari produktivitas itu sendiri, bukan sebagai penghambat. Dengan memberikan waktu untuk istirahat, seseorang bisa bekerja dengan pikiran yang lebih segar dan hasil kerja yang lebih baik.

Baca Juga: Cara Tepat Mengatasi Demotivasi Kerja Buat Karyawan

Langkah-Langkah Menerapkan Slow Productivity

Slow productivity menekankan pada kerja yang lebih lambat namun fokus, dengan tujuan mencapai kualitas tinggi tanpa terburu-buru atau tekanan berlebihan. Masih dikutip dari The New Yorker, berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk menerapkan slow productivity dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Memahami Prioritas

Langkah pertama dalam slow productivity adalah memahami prioritas . Ini berarti mengidentifikasi tugas atau proyek yang paling penting dan memberikan dampak terbesar pada pekerjaan. Terlalu banyak pekerjaan tanpa fokus yang jelas bisa membuat kamu jadi merasa kewalahan.

  1. Membuat Jadwal yang Fleksibel

Jadwal yang kaku sering kali menambah tekanan, terutama jika Anda mencoba menyesuaikan banyak hal dalam waktu terbatas. Oleh karena itu, dalam slow productivity, jadwal yang fleksibel sangat dianjurkan. Buatlah jadwal yang memungkinkan kamu untuk menyesuaikan ritme kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental.

Berikan ruang bagi perubahan, karena kondisi setiap hari bisa berbeda-beda. Dengan jadwal yang fleksibel, kamu juga bisa merespons hal-hal mendadak tanpa merasa kehilangan kendali atas tugas-tugas yang telah direncanakan.

  1. Mengatur Waktu Istirahat

Istirahat merupakan bagian penting dari slow productivity. Banyak orang menganggap bahwa produktivitas berarti bekerja terus-menerus tanpa henti, namun hal ini justru bisa menyebabkan kelelahan dan menurunkan kualitas kerja. Mengatur waktu istirahat dengan baik membantu memulihkan energi dan menjaga fokus dalam jangka panjang.

Baca Juga: ‘Skill’ Manajemen Waktu buat Kamu dengan Beban Kerja Bejibun

  1. Fokus pada Satu Tugas (Single-Tasking)

Multitasking mungkin terlihat produktif, tetapi sebenarnya justru dapat mengurangi efisiensi dan meningkatkan kesalahan. Slow productivity mendorong single-tasking, yaitu fokus pada satu tugas dalam satu waktu. Ini memungkinkan kamu untuk memberikan perhatian penuh pada setiap tugas, sehingga hasilnya lebih berkualitas.

Single-tasking juga membantu mengurangi stres karena kamu tidak perlu berpindah-pindah antara berbagai tugas yang berbeda. Alih-alih terburu-buru menyelesaikan banyak hal sekaligus, kamu bisa lebih menikmati proses setiap tugas yang sedang dikerjakan. Setelah satu tugas selesai, barulah pindah ke tugas berikutnya.

  1. Menetapkan Batasan yang Jelas

Dalam era di mana teknologi memungkinkan kita bekerja di mana saja dan kapan saja, menetapkan batasan yang jelas menjadi sangat penting. Slow productivity menekankan pada pentingnya membatasi jam kerja dan tidak membawa pekerjaan ke dalam waktu pribadi. Setelah jam kerja berakhir, berhenti sejenak dan beristirahatlah.

  1. Berlatih Mindfulness dalam Bekerja

Mindfulness, atau kesadaran penuh, adalah teknik yang dapat sangat membantu dalam slow productivity. Mindfulness mengajarkan kamu untuk hadir secara penuh dalam setiap tugas yang sedang dikerjakan, tanpa terganggu oleh hal-hal lain di luar pekerjaan tersebut. Dengan fokus penuh pada saat ini, kamu dapat bekerja lebih efisien dan tenang.

  1. Menciptakan Ruang Kerja yang Mendukung

Lingkungan kerja kamu memainkan peran besar dalam produktivitas. Untuk menerapkan slow productivity, penting untuk menciptakan ruang kerja yang nyaman, rapi, dan minim gangguan. Ruang yang bersih dan terorganisir membantu kamu tetap fokus dan merasa lebih rileks saat bekerja.

Read More