pengertian fenomena glossing

Fenomena ‘Glossing’ di Tempat Kerja: Ketika “Biar Kelihatan Oke” Malah Jadi Bumerang

Di dunia kerja, tampil profesional sering dianggap kunci utama buat sukses. Kita dituntut buat kelihatan jago, percaya diri, dan bisa ngerjain tugas dengan mulus tanpa cela. Tapi, tekanan seperti itu kadang bikin orang jadi merasa harus nutupin kekurangan, pura-pura ngerti hal yang sebenarnya enggak paham, atau malah sembunyiin masalah yang terjadi di tim. Nah, kebiasaan ini dikenal dengan istilah glossing.

Glossing bisa kejadian di mana aja, mulai dari obrolan sesama rekan kerja, diskusi dengan atasan, sampai komunikasi antar divisi. Sekilas, kesannya kayak bikin suasana kerja tetap adem ayem. Tapi, kalau ini dibiarkan terus-terusan, justru bisa jadi bom waktu.

Soalnya, lingkungan kerja yang sehat itu dasarnya transparansi dan komunikasi yang terbuka. Kalau terlalu sering glossing, keputusan yang diambil bisa jadi enggak akurat karena informasinya tidak jujur. Dampaknya? Inovasi bisa terhambat, masalah makin numpuk, dan akhirnya budaya kerja jadi toxic, penuh basa-basi, tapi minim solusi.

Apa Sih Glossing di Tempat Kerja?

Pernah enggak sih, pura-pura paham waktu dikasih tugas, padahal di dalam hati bingung banget? Atau, pernah juga lihat tim yang pas laporan kerja cuma nunjukin hasil bagusnya aja, tapi masalah-masalah di balik layar ditutup rapat? Nah, perilaku sperti ini dikenal dengan istilah glossing.

Dikutip dari Business insider, ‘Glossing’ at work is a form of toxic positivity — and your boss may be guilty of it, glossing itu sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, artinya kurang lebih “menutupi” atau “bikin sesuatu kelihatan lebih baik dari kenyataan.” Di dunia kerja, ini berarti sikap menutupi kekurangan, pura-pura paham, atau menyembunyikan kesalahan agar citra profesional tetap aman.

Contohnya:

  • Karyawan yang manggut-manggut waktu dikasih instruksi, tapi aslinya enggak ngerti sama sekali.
  • Manajer yang nutupin konflik atau masalah tim, agar atasan enggak tahu ada yang salah.
  • Tim proyek yang waktu presentasi ke klien cuma bahas suksesnya saja, padahal di belakang layar penuh drama dan hambatan.
  • Perusahaan yang menyembunyikan kekurangan produk, agar reputasi di mata pelanggan tetap kinclong.

Baca Juga: Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu

Kenapa Orang Sering Melakukan Glossing?

Sebenarnya, ada banyak alasan kenapa orang milih buat “main aman” pakai glossing di tempat kerja:

  1. Takut Dicap Tidak Kompet

Banyak yang merasa harus selalu kelihatan jago di kantor. Mengaku salah atau bilang tidak paham kadang bikin mereka takut dianggap enggak bisa kerja, apalagi sama atasan atau rekan tim.

  1. Budaya Kantor yang Anti Salah

Ada juga lingkungan kerja yang kaku, salah dikit langsung dimarahin. Kalau sudah begini, orang jadi lebih pilih menutupi kesalahan daripada jujur, karena ruang buat belajar dari kegagalan itu sangat minim.

  1. Tekanan Harus Selalu Berprestasi

Di kantor yang atmosfernya super kompetitif, kadang cuma hasil bagus yang dihargai. Jadi, orang atau tim merasa wajib memberikan laporan yang mulus, agar kelihatan sukses, walaupun kenyataannya tidak seindah itu.

  1. Takut Konflik

Mengaku ada masalah sering kali membuat konflik, apalagi kalau melibatkan banyak orang. Agar tidak ribut, beberapa orang akhirnya lebih milih diam dan cuma memperlihatkan hal-hal positif aja.

  1. Komunikasi yang Kurang Terbuka

Kalau di kantor enggak ada budaya komunikasi yang terbuka, informasi yang sampai ke atasan sering sudah “disaring” dulu biar kelihatan bagus. Masalahnya, keputusan yang diambil jadi tidak sesuai sama kenyataan di lapangan.

Baca Juga: ‘Brilliant Jerks’: Bagaimana Menghadapi Karyawan Hebat yang Menyebalkan

Dampak Buruk Glossing di Tempat Kerja yang Sering Dianggap Sepele

Sekilas, glossing di kantor memang seperti jalan pintas yang aman, bisa buat jaga nama baik, hindari konflik, atau nutupin kekurangan agar tidak kelihatan di depan atasan. Tapi, kalau kebiasaan ini dibiarkan terus, efeknya bisa sangat merugikan, baik buat kamu sendiri, tim, maupun perusahaan tempat kamu kerja. Masih dari Business insider, berikut dampak buruknya.

  1. Kepercayaan dalam Tim Jadi Renggang

Kerja dengan tim itu kuncinya saling percaya. Tapi, kalau ada yang suka nutup-nutupin informasi atau kasih laporan yang cuma kelihatan yang bagus saja, rasa percaya bisa runtuh. Lama-lama, rekan kerja jadi saling curiga, komunikasi pun jadi kaku. Bukannya kompak, yang ada malah kerjaan makin berantakan.

  1. Keputusan Bisnis Bisa Meleset

Atasan atau manajer tuh biasanya ambil keputusan berdasarkan laporan dari tim. Nah, kalau laporan itu udah dipoles agar kelihatan mulus, hasil keputusan yang diambil bisa meleset jauh dari kenyataan. Ujung-ujungnya, strategi bisnis bisa gagal atau malah bikin masalah baru.

  1. Karyawan Jadi Makin Stres

Percaya deh, pura-pura baik-baik aja di tempat kerja itu capek banget. Orang yang sering glossing biasanya merasa tertekan untuk terus menjaga citra palsu. Ada masalah, tapi tidak bisa cerita. Ada kesalahan, tapi takut ketahuan. Akhirnya, stres sendiri dan kesehatan mental bisa terganggu.

  1. Inovasi dan Perbaikan Mandek

Tim yang sehat itu biasanya belajar dari kesalahan dan menemukan solusi bersama. Tapi, kalau kesalahan malah ditutup-tutupi, masalah asli jadi enggak pernah ketahuan. Alhasil, perbaikan pun susah dilakukan. Ide-ide kreatif buat berkembang juga jadi terhambat karena semua orang lebih fokus tampil “sempurna.”

  1. Budaya Kantor Jadi Toxic

Kalau glossing dibiarkan terus-menerus, bisa-bisa ini jadi budaya di perusahaan. Semua orang berlomba-lomba tampil bagus, padahal di balik itu banyak yang ditutupi. Lingkungan kerja jadi penuh kepalsuan, lebih mementingkan pencitraan ketimbang hasil nyata. Kalau sudah begini, produktivitas tim pasti bakal kena imbasnya.

Baca Juga: Di Balik Menolak Pujian: Rendahnya Kepercayaan Diri Hingga Budaya

Cara Mengatasi Glossing di Tempat Kerja

Glossing di kantor itu ibarat racun pelan-pelan, kalau dibiarkan, bisa jadi kebiasaan yang nempel banget di budaya kerja. Apalagi kalau lingkungan kerjanya lebih mementingkan pencitraan daripada kejujuran. Tapi tenang, ada kok langkah-langkah yang bisa dilakukan agar glossing tidak jadi budaya di tempat kerja kamu. Dikutip dari Forbes, Managers Are ‘Glossing’ Over Workplace Issues And Pushing Toxic Positivity, According To Report, ini dia beberapa cara yang bisa dicoba:

  1. Bangun Lingkungan Kerja yang Jujur dan Transparan

Seringnya, orang pilih menutupi kesalahan atau pura-pura mengerti karena takut dinilai jelek. Makanya, sangat penting untuk perusahaan menciptakan suasana kerja yang mengutamakan kejujuran. Kalau salah, ya enggak apa-apa, selama mau belajar dan memperbaiki. Jadi, karyawan tidak merasa harus selalu tampil sempurna.

  1. Jangan Takut Sama Kegagalan, Anggap Itu Proses

Tidak ada yang suka gagal, tapi kalau setiap kesalahan langsung dimarahin habis-habisan, orang pasti jadi takut melakukan kesalahan. Akhirnya, glossing jadi solusi. Padahal, gagal itu sangat wajar. Perusahaan sebaiknya memberikan ruang buat karyawan belajar dari kesalahan, tanpa harus merasa karier mereka bakal tamat.

  1. Ciptakan Komunikasi yang Terbuka dan Sehat

Komunikasi yang jujur itu kunci buat menghindari glossing. Buat suasana di mana setiap orang berani bicara soal masalah tanpa rasa takut. Misalnya:

  • Terapkan “no blame culture, jadi setiap ada masalah, fokusnya mencari solusi, bukan cari siapa yang salah.
  • Ajarkan komunikasi asertif, supaya semua orang bisa nyampaikan pendapat dengan jelas, tanpa takut dihakimi.
  • Manajer bisa lebih sering ngobrol langsung sama anggota tim, misalnya lewat sesi one-on-one, agar tahu kendala yang dihadapi karyawan sehari-hari.
  1. Nilai Kinerja Berdasarkan Hasil, Bukan Sekadar Pencitraan

Kalau sistem penilaian kerja lebih melihat siapa yang paling “terlihat sibuk” atau “paling sering dapat pujian”, glossing bakal terus tumbuh. Karena itu, pastikan evaluasi kinerja lebih fokus ke hasil nyata, bukan cuma seberapa bagus seseorang ‘menjual’ dirinya.

Read More
pengertian karyawan brilliant jerks

‘Brilliant Jerks’: Bagaimana Menghadapi Karyawan Hebat yang Menyebalkan

Di dunia kerja, pasti ada saja karyawan yang super berbakat tapi punya sikap yang enggak menyenangkan alias nyebelin. Orang seperti ini sering disebut “brilliant jerks”. Mereka dikenal karena kontribusi kerja yang luar biasa, tapi di sisi lain, sikap arogan atau kurang empati bisa bikin suasana kerja jadi enggak nyaman. 

Apa itu Brilliant Jerks? 

Istilah ini mulai populer setelah CEO Netflix, Reed Hastings, sering menyebutnya. Menurut artikel Inc berjudul Why Netflix Doesn’t Tolerate Brilliant Jerks, istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang punya kemampuan hebat di pekerjaannya, tapi sikap mereka malah bikin suasana kerja jadi toxic. 

Brilliant” menggambarkan kecemerlangan mereka dalam menyelesaikan tugas, sementara “jerk” merujuk pada perilaku yang kasar atau tidak menyenangkan. Meski diakui karena ide-ide inovatif atau hasil kerja yang memukau, mereka sering kali bikin rekan kerja merasa frustrasi karena sulit diajak berkolaborasi. 

Misalnya, ada programmer yang jago banget membuat kode-kode rumit untuk aplikasi besar. Hasil kerjanya memang luar biasa, tapi dia sering mengritik rekan kerjanya dengan nada arogan atau menyakitkan. Meskipun skill-nya mengesankan, cara dia berinteraksi bisa membuat semangat tim menurun dan suasana kerja jadi tidak kondusif. 

Brilliant jerks adalah pengingat kalau kecerdasan atau bakat saja enggak cukup untuk sukses di tempat kerja, sikap dan empati juga sama pentingnya. 

Baca Juga: Rupa-rupa Manajemen di Tempat Kerja, Kantormu Tipe Mana? 

Ciri-ciri Brilliant Jerks yang Harus Kamu Tahu 

  • Arogan 
    Mereka sering merasa paling hebat dan menganggap kemampuannya jauh lebih unggul dibandingkan orang lain. Akibatnya, masukan atau ide dari rekan kerja sering diabaikan begitu saja. 
  • Minim Empati 
    Brilliant jerks cenderung enggak peduli bagaimana sikap mereka memengaruhi orang lain, baik secara emosional maupun profesional. 
  • Komunikasi Kasar 
    Bahasa mereka sering terdengar keras, suka menyalahkan rekan kerja secara terbuka, atau memberikan kritik tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. 
  • Perfeksionis Berlebihan 
    Standar kerja mereka super tinggi, dan sering kali mereka memaksakan standar itu ke orang lain tanpa memahami keterbatasan tiap individu. 
  • Antisocial di Tim 
    Kolaborasi? Enggak banget buat mereka. Mereka lebih suka kerja sendiri dan sering meremehkan pentingnya kerja sama tim

Kenapa Istilah Brilliant Jerks Penting Dibahas? 

Istilah ini muncul karena seringnya fenomena macam ini terjadi di tempat kerja modern. Banyak perusahaan yang terlalu fokus mengejar target besar atau hasil cepat sampai lupa pentingnya menjaga budaya kerja yang sehat. 

Sering kali, brilliant jerks tetap dipertahankan di organisasi karena dianggap “tidak tergantikan” berkat keahlian mereka. Padahal, efek buruknya bisa panjang: mulai dari tingkat keluar-masuk karyawan yang tinggi, rusaknya hubungan antar anggota tim, sampai turunnya kepercayaan pada pimpinan perusahaan. 

Baca Juga: Mengatasi Toxic Positivity: Menjaga Keseimbangan Emosional di Lingkungan Kerja 

Dampak Brilliant Jerks di Tempat Kerja 

Meskipun mereka sering dianggap aset berharga karena keahliannya, kehadiran Brilliant Jerks justru bisa membawa masalah besar di lingkungan kerja. Sikap mereka yang merusak bisa memengaruhi hubungan antarkaryawan, semangat tim, dan bahkan kinerja organisasi. Dikutip dari, Wellhub, berikut beberapa dampak yang mereka timbulkan: 

  1. Membuat Semangat Tim Anjlok 

Sikap arogan dan kasar dari Brilliant Jerks membuat rekan kerja merasa tidak dihargai. Kritik mereka sering tidak konstruktif dan malah menyakitkan, membuat suasana kerja jadi penuh tekanan. Kalau semangat tim turun, produktivitas pasti ikut kena imbasnya. 

  1. Turnover Karyawan Meningkat 

Tidak sedikit karyawan yang akhirnya resign karena tidak tahan dengan suasana kerja yang enggak kondusif akibat Brilliant Jerks. Ketika lingkungan kerja mulai terasa toksik, mereka lebih memilih pindah ke tempat yang bisa mendukung secara emosional. 

  1. Budaya Kerja Rusak 

Budaya kerja yang sehat itu aset penting buat perusahaan. Namun Brilliant Jerks bisa jadi penghancur utama. Mereka sering menciptakan suasana tegang, membuat orang-orang takut berpendapat atau kerja bareng. 

Kalau budaya kerja sudah toksik, sulit buat perusahaan menarik talenta baru atau mempertahankan karyawan terbaik. Bahkan, reputasi perusahaan bisa tercoreng kalau mantan karyawan menyebarkan ulasan negatif. 

  1. Inovasi dan Kreativitas Terhambat 

Brilliant Jerks sering dominan dalam diskusi dan pengambilan keputusan. Mereka cenderung meremehkan ide dari rekan kerja lain, meskipun ide tersebut punya potensi besar. Akibatnya, karyawan jadi takut berbicara atau mencoba hal baru, yang otomatis menghambat inovasi. 

  1. Stres dan Beban Kerja Meningkat 

Rekan kerja yang harus berhadapan dengan Brilliant Jerks sering mengalami tekanan emosional yang berat. Selain harus menyelesaikan tugas mereka sendiri, mereka juga harus menghadapi perilaku negatif yang membuat stres. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu burnout dan masalah kesehatan mental. 

Brilliant Jerks mungkin punya skill yang keren, tapi kalau dampaknya lebih banyak negatifnya, perusahaan harus mulai berpikir ulang untuk tetap mempertahankan mereka. 

Baca Juga: 10 Hal yang Tidak Boleh Kamu Katakan Terhadap Rekan Kerja di Kantor 

Cara Menghadapi Brilliant Jerks 

Berurusan dengan Brilliant Jerks di lingkungan kerja memang enggak mudah. Perlu kombinasi kesabaran, strategi, dan komunikasi yang cerdas untuk menjaga suasana tetap profesional. Walaupun perilakunya sering membuat jengkel, kamu tetap bisa menghadapi mereka dengan cara yang bijak. Dikutip dari, Professional Leadership Institute, How to Deal With a Brilliant Jerk, berikut beberapa langkah yang bisa dicoba: 

  1. Kenali Pola Perilaku Mereka 

Coba pelajari pola perilaku si Brilliant Jerks ini. Apakah mereka sering arogan, suka mengkritik tanpa alasan, atau cenderung mengabaikan kontribusi orang lain? Dengan memahami pola mereka, kamu bisa lebih siap menghadapi situasi yang mungkin muncul. 

  1. Tetap Profesional 

Kunci penting menghadapi Brilliant Jerks adalah menjaga sikap profesional. Jangan biarkan sikap mereka memengaruhi emosi atau kinerjamu. Fokus aja pada pekerjaanmu, dan tunjukkan kalau kamu tetap tenang dan rasional meskipun ada tekanan. 

  1. Tetapkan Batasan yang Tegas 

Rekan kerja yang toksik ini sering merasa bebas mengkritik atau melontarkan komentar yang tidak membangun. Maka dari itu, sangat penting untuk menetapkan batasan yang jelas soal bagaimana kamu ingin diperlakukan. Kalau mereka mulai melewati batas, jangan ragu untuk mengingatkan mereka. 

  1. Fokus pada Fakta, Bukan Emosi 

Saat berhadapan dengan mereka, hindari terjebak dalam konflik yang emosional. Sebaliknya, gunakan fakta dan data untuk memperkuat argumenmu. Dengan pendekatan ini, kamu bisa mengurangi peluang mereka menyerangmu secara pribadi. 

  1. Cari Dukungan 

Kalau perilaku mereka sudah mulai mengganggu produktivitas kerja atau kesejahteraanmu, jangan ragu untuk mencari dukungan dari rekan kerja atau atasan. Diskusikan masalah ini dengan cara yang profesional, dan fokus pada dampak negatif yang mereka timbulkan terhadap tim atau proyek. 

Read More
fresh graduate susah mendapatkan pekerjaan

4 Tips Buat ‘Fresh Graduate’ yang Sulit Mendapat Kerja

Bagi banyak fresh graduate, momen lulus kuliah sering kali dipenuhi rasa optimis untuk segera mendapatkan pekerjaan impian. Tapi, enggak jarang ekspektasi ini berbanding terbalik dengan realita. Kompetisi ketat dan berbagai tantangan justru menjadi batu sandungan pertama mereka di dunia kerja.

Pasar Kerja di Indonesia: Dinamika yang Menantang

Pasar kerja di Indonesia memang punya dinamika tersendiri. Setiap tahunnya, ribuan lulusan baru harus bersaing memperebutkan peluang kerja yang terbatas. Sayangnya, enggak semua lulusan bisa langsung terserap ke industri. Tingginya jumlah pelamar dibandingkan dengan ketersediaan lowongan bikin persaingan semakin sengit.

Menurut laporan CNBC Indonesia, data dari Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan ada 298.185 lowongan kerja yang terdaftar di Karirhub pada 2023. Meski meningkat 11,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya (267.107 lowongan), jumlah ini masih jauh dari cukup untuk menampung seluruh pencari kerja.

Fakta lainnya, data BPS mencatat ada 1.819.830 orang yang mencari kerja di Indonesia pada 2023, meningkat drastis hingga 94,18 persen dari tahun sebelumnya (937.176 orang). Angka ini belum termasuk pencari kerja yang tidak terdata resmi. Kalau dihitung kasar, jumlah pencari kerja bisa mencapai enam kali lebih banyak daripada lowongan yang tersedia.

Tingkat Persaingan yang Super Ketat

Persaingan ketat ini membuat perusahaan lebih selektif dalam memilih kandidat. Kebanyakan perusahaan lebih condong ke pelamar dengan pengalaman kerja atau keterampilan yang sudah teruji. Akibatnya, fresh graduate yang minim pengalaman sering kali sulit bersaing dengan kandidat lain yang lebih unggul.

Baca Juga: Tips Ampuh Hadapi Senioritas di Kantor untuk ‘Fresh Graduate’

Hambatan Fresh Graduate dalam Mendapatkan Pekerjaan: Tantangan dari Dalam Diri

Sulitnya fresh graduate mendapatkan pekerjaan bukan cuma karena faktor eksternal, tapi juga karena kurangnya kesiapan diri mereka sendiri. Dikutip dari Indeed, Reasons Why It’s Difficult for Fresh Graduates to Get a Job, berikut beberapa hal yang sering jadi batu sandungan:

Minimnya Pengalaman Kerja

Salah satu kelemahan utama fresh graduate adalah kurangnya pengalaman. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat yang sudah punya jam terbang, bahkan untuk posisi entry-level. Kalau belum pernah magang, kerja part-time, atau terlibat proyek organisasi, mereka sering dianggap belum siap menghadapi dunia kerja.

Padahal, pengalaman kerja lebih dari sekadar formalitas di CV. Itu jadi bukti bahwa seseorang sudah paham cara kerja profesional, bisa beradaptasi dengan lingkungan kantor, dan siap menghadapi tekanan. Makanya, mumpung masih kuliah, coba deh aktif cari pengalaman lewat magang atau kegiatan yang mendukung.

Kurangnya Soft Skill

Soft skill kayak kemampuan komunikasi, kerja tim, manajemen waktu, atau berpikir kritis itu super penting di dunia kerja. Tapi sayangnya, banyak fresh graduate yang kurang menguasai kemampuan ini karena jarang dilatih atau diasah.

Misalnya, saat wawancara kerja, kamu enggak cuma dinilai dari jawaban teknis, tapi juga dari cara kamu bicara, kepercayaan diri, sampai kemampuan membangun koneksi dengan pewawancara. Intinya, soft skill sering jadi pembeda antara kandidat yang diterima dan yang tidak.

Ekspektasi Perusahaan yang Tinggi

Perusahaan sekarang sering banget menetapkan standar tinggi, bahkan untuk posisi entry-level. Mulai dari pengalaman kerja 2-3 tahun, keahlian di berbagai tools, sampai sertifikasi tertentu sering masuk dalam daftar syarat.

Ini terjadi karena persaingan yang makin ketat. Dengan banyaknya kandidat berpengalaman di luar sana, perusahaan otomatis bakal pilih yang paling siap. Sayangnya, banyak fresh graduate yang belum bisa memenuhi ekspektasi ini karena keterbatasan pengalaman dan skill yang belum matang.

Persaingan Ketat dengan Kandidat Berpengalaman

Fresh graduate enggak cuma bersaing dengan sesama lulusan baru, tapi juga dengan kandidat yang sudah punya pengalaman. Mereka yang berpengalaman jelas punya nilai tambah, mulai dari keterampilan praktis, jaringan kerja, sampai track record yang bisa diandalkan. Jadi, fresh graduate harus lebih ekstra usaha untuk bisa menunjukkan bahwa mereka juga layak dipertimbangkan.

Perubahan Cepat di Dunia Kerja

Transformasi digital dan perkembangan teknologi membuat dunia kerja berubah cepat. Banyak pekerjaan tradisional digantikan oleh otomatisasi, sementara pekerjaan baru sering kali butuh skill teknis tertentu. Kalau fresh graduate enggak up-to-date sama tren ini, peluang mereka untuk diterima kerja jadi lebih kecil.

Baca Juga: Apa itu ‘Post Graduation Blues’ yang Sering Serang ‘Fresh Graduate’

Tips Menghadapi Tantangan dalam Mencari Kerja

Mencari pekerjaan pertama memang enggak selalu gampang, tapi bukan berarti tidak bisa diatasi. Dengan langkah-langkah strategis, kamu bisa memperbesar peluang untuk diterima kerja. Dikutip dari Forbes, 7 Strategies A New College Graduate Should Use To Land A Good Job, berikut beberapa cara yang bisa dicoba:

  1. Asah Keterampilan yang Sesuai dengan Industri

Kunci buat standout di dunia kerja adalah punya skill yang relevan. Ini beberapa cara yang bisa kamu lakukan:

Ikut Kursus Online atau Pelatihan

Banyak banget platform kursus online yang menawarkan pelajaran praktis kayak coding, desain grafis, atau analisis data. Ini kesempatan kamu buat belajar skill baru yang belum diajarkan di kampus.

Ambil Sertifikasi Profesional

Sertifikasi itu ibarat “tiket emas” buat nambah nilai jual. Misalnya, kamu bisa ambil sertifikasi digital marketing dari Google atau sertifikasi Microsoft Excel buat pekerjaan administratif.

Ikut Workshop atau Bootcamp

Mau belajar intensif dan langsung relevan dengan dunia kerja? Coba deh daftar workshop atau bootcamp, seperti coding bootcamp atau pelatihan desain UX/UI.

  1. Magang dan Freelance: Pengalaman Itu Penting

Kalau belum punya pengalaman kerja formal, magang atau freelance bisa jadi solusi.

  • Magang: Ini jalan yang pas buat kenal dunia kerja sambil belajar langsung di lapangan.
  • Freelance: Selain fleksibel, kerja freelance juga bisa nambah portofolio sekaligus asah skill yang dibutuhkan perusahaan.
  1. Bangun Koneksi Lewat Networking

Di dunia kerja, siapa yang kamu kenal bisa sama pentingnya dengan apa yang kamu tahu. Perluas jaringanmu lewat cara berikut:

Datang ke Acara Networking

Ikut seminar, job fair, atau konferensi sesuai bidangmu. Ini cara asyik buat ketemu orang-orang yang sejalan sama karier yang kamu inginkan.

Gunakan Media Sosial

Manfaatkan LinkedIn buat bikin koneksi profesional. Selain itu, pastikan profilmu menarik dan mencerminkan kemampuan serta pengalamanmu, agar perusahaan lebih gampang nemuin kamu.

Baca Juga: Dear ‘Fresh Graduate’, Siapkan Hal Ini untuk Masuk ke Dunia Kerja

  1. Susun Rencana Karier yang Jelas

Agar lebih terarah, coba susun rencana karier yang nyata.

Kenali Minat dan Tujuan

Cari tahu apa yang benar-benar kamu suka dan tujuan jangka panjangmu. Ini penting buat milih perusahaan dan posisi yang cocok sama passion-mu.

Buat Strategi Pencarian Kerja

Buat daftar perusahaan yang ingin kamu tuju, atur jadwal apply, dan tetapkan target skill yang mau kamu kembangkan. Dengan strategi yang terencana, proses pencarian kerja bakal lebih terorganisir.

Read More
tips cari side hustle

Cari Side Hustle? Begini Langkah-Langkah Mudah untuk Memulainya

Pernah dengar istilah side hustle? Ini sebutan buat pekerjaan sampingan yang dijalani di luar kerjaan utama. Bedanya sama kerjaan utama yang umumnya punya jam kerja tetap, side hustle lebih fleksibel, jadi kamu bisa atur sendiri waktunya.

Bentuknya macam-macam, mulai dari buka bisnis online, jadi freelancer, jual produk handmade, sampai bikin konten di media sosial. Sederhananya, side hustle itu cara seru buat menyalurkan minat atau keahlian sambil dapat penghasilan ekstra.

Dikutip dari The Washington Post, Gen Z embraces side hustles because ‘loyalty is dead’, belakangan, tren side hustle makin hits, terutama di kalangan milenial dan Gen Z. Enggak heran sih, soalnya perkembangan teknologi digital bikin peluang kerja jadi lebih luas. Tapi, side hustle enggak cuma soal cari uang tambahan, tapi juga soal gimana kamu bisa menyalurkan kreativitas atau hobi ke sesuatu yang lebih produktif dan bisa menghasilkan keuntungan.

Baca Juga: 7 Tips Menjaga ‘Work-Life Balance’ Buat ‘Fresh Graduate’

Mengapa Side Hustle Penting di Era Sekarang?

Di era serba digital kayak sekarang, punya side hustle udah bukan cuma opsi tambahan, tapi bisa dibilang jadi kebutuhan. Bukan cuma bikin dompet lebih tebal, side hustle juga ngebantu kamu buat belajar skill baru dan ngebuka peluang karier yang mungkin sebelumnya enggak pernah kepikiran.

Langkah-Langkah Menemukan Side Hustle yang Cocok

Memulai side hustle enggak bisa asal-asalan, apalagi kalau kamu mau hasilnya maksimal. Dikutip dari Upwork, Side Hustles: What They Are and How to Start Yours, ada beberapa langkah penting yang perlu kamu ikuti supaya pekerjaan sampingan ini benar-benar sesuai dengan minat, skill, dan kebutuhan kamu. Yuk, simak cara-caranya!

  1. Kenali Diri Sendiri

Sebelum terjun lebih jauh, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mengenal dirimu sendiri. Cari tahu apa yang kamu suka, skill apa yang kamu punya, dan apa tujuan kamu dari side hustle ini.

Apa Minat dan Keahlianmu?

Side hustle paling ideal adalah yang sesuai dengan hal-hal yang kamu suka dan kuasai. Misalnya, kalau kamu suka nulis, jadi penulis lepas bisa jadi opsi yang menarik. Kalau kamu jago desain, coba deh terjun jadi desainer grafis freelance. Pekerjaan bakal lebih santai kalau kamu menjalani sesuatu yang kamu nikmati.

Apa Tujuan Kamu?

Penting banget untuk tahu alasan di balik keinginan memulai side hustle. Mau nambah penghasilan? Mengejar passion yang selama ini terpendam? Atau sekadar pengin coba hal baru? Dengan tahu tujuan, kamu bisa lebih fokus dan terarah.

  1. Lakukan Riset Pasar

Langkah berikutnya, pahami kebutuhan pasar. Ingat, side hustle yang sukses itu adalah yang bisa memenuhi permintaan pasar.

Apa yang Lagi Dibutuhkan?

Cek tren dan cari tahu jasa atau produk apa yang lagi laris di pasaran. Misalnya, di era digital, jasa penulisan konten, desain grafis, atau digital marketing banyak dicari. Ini bisa jadi peluang besar buat kamu.

Siapa Target Pasarmu?

Kenali siapa yang bakal jadi pelanggan atau pengguna jasa kamu. Dengan tahu siapa target audiensmu, kamu bisa bikin strategi yang lebih pas dan efektif.

  1. Atur Waktu dengan Baik

Waktu itu aset yang paling berharga, apalagi kalau kamu punya kerjaan utama atau tanggung jawab lain.

Seberapa Banyak Waktu yang Bisa Dialokasikan?

Hitung waktu luang yang kamu punya. Bisa 2-3 jam per hari setelah kerjaan utama selesai, atau cuma akhir pekan. Pastikan side hustle yang kamu pilih enggak membuat jadwalmu jadi kacau.

Siap Buat Berkomitmen?

Punya side hustle berarti kamu harus siap nambah tanggung jawab. Jadi, pastikan kamu benar-benar siap komit dan tahu cara menjaga keseimbangan antara side hustle, kerjaan utama, dan kehidupan pribadi.

  1. Analisis Risiko dan Peluang

Gak semua side hustle akan berhasil, jadi sangat penting buat mempertimbangkan risiko dan peluang dari setiap opsi yang ada.

Apa Risiko yang Mungkin Muncul?

Mulai dari modal yang bisa hilang, waktu yang terbuang sia-sia, sampai hasil yang gak sesuai ekspektasi. Analisis risiko ini penting supaya kamu bisa lebih siap menghadapi kemungkinan buruk.

Apa Potensinya?

Lihat juga potensi jangka panjang dari side hustle yang kamu pilih. Apakah bisa berkembang jadi sumber penghasilan utama suatu saat nanti?

  1. Mulai dari Skala Kecil

Gak perlu langsung besar-besaran. Mulai dari yang kecil dulu, pelan-pelan berkembang seiring waktu.

Kalau kamu mau jualan produk, coba dulu dengan stok kecil buat lihat respons pasar. Kalau mau jadi freelancer, ambil proyek kecil buat nambah pengalaman dan portofolio. Mulai dari kecil juga membuat kamu lebih mudah belajar dan mengelola risiko.

  1. Upgrade Skill yang Dibutuhkan

Kadang, side hustle yang kamu pilih butuh skill tertentu yang belum kamu kuasai. Jangan ragu buat belajar hal baru biar bisa lebih kompetitif.

Ikuti Kursus Online

Sekarang ada banyak banget platform belajar online yang nawarin kursus dengan harga terjangkau.

Belajar dari Pengalaman Orang Lain

Cari inspirasi dari cerita sukses orang yang udah lebih dulu terjun ke bidang tersebut. Kamu juga bisa gabung ke komunitas yang relevan buat mendapatkan insight tambahan.

Baca Juga: Yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Mulai ‘Side Job’

Kesalahan Umum Saat Memulai Side Hustle

Memulai side hustle memang seru, tapi ada beberapa kesalahan yang sering membuat usaha sampingan ini enggak berjalan mulus.Dikutip dari Inc, 5 Things to Consider Before Starting a Side Hustle, agar enggak salah langkah, yuk simak beberapa kesalahan umum berikut dan cara menghindarinya:

  1. Enggak Punya Tujuan yang Jelas

Banyak orang memulai side hustle tanpa tahu sebenarnya apa yang mau dicapai. Mau cari cuan tambahan, menyalurkan hobi, atau malah mau bangun bisnis jangka panjang? Kalau tujuannya enggak jelas, kamu bakal gampang kehilangan arah di tengah jalan.

Tanpa visi yang jelas, setiap tantangan bisa terasa berat dan membuat kamu cepat menyerah. Solusinya, coba deh tetapkan tujuan spesifik dan realistis. Misalnya, “Dalam 6 bulan, saya ingin menghasilkan Rp3 juta per bulan dari side hustle ini.” Tujuan kayak gini agar kamu tetap semangat dan fokus.

  1. Kebanyakan Coba-Coba Sekaligus

Ada juga yang kepingin coba berbagai jenis side hustle sekaligus, dengan harapan salah satunya bakal sukses. Padahal, cara ini justru bikin energi kamu kebagi-bagi dan hasilnya malah enggak maksimal.

Multitasking yang berlebihan bisa membuat kamu capek sendiri dan ujung-ujungnya enggak ada satu pun proyek yang berhasil. Biar lebih efektif, pilih satu ide side hustle yang menurut kamu paling cocok sama minat dan skill-mu. Fokus dulu sampai ada hasil yang jelas, baru nantinya memikirkan untuk coba ide lain.

  1. Gagal Mengatur Waktu dengan Baik

Karena side hustle biasanya dikerjain di luar jam kerja utama atau di sela-sela tanggung jawab pribadi, banyak yang kesulitan mengatur waktu. Akibatnya, pekerjaan utama bisa keteteran, atau malah waktu buat diri sendiri dan keluarga jadi berkurang.

Supaya lebih seimbang, coba buat jadwal khusus buat side hustle. Misalnya, alokasikan waktu tertentu setiap hari atau khusus di akhir pekan. Ingat, side hustle itu tambahan, jadi jangan sampai membuat hidup kamu jadi berantakan.

Read More
cara mudah set boundaries di kantor

‘Setting Boundaries’ di Kantor: Tips Supaya Karier Tetap Sehat

Di tengah dunia kerja yang makin sibuk, enggak jarang kita merasa stres karena beban tugas yang numpuk dan tuntutan dari berbagai arah. Salah satu cara efektif buat menjaga kesehatan mental sekaligus tetap produktif adalah dengan menetapkan boundaries di tempat kerja. Tapi, gimana, sih, caranya?

Apa Itu Boundaries di Tempat Kerja?

Dikutip dari Psychology Today, dalam artikel Five Essential Boundaries in the Workplace, boundaries di tempat kerja adalah batasan yang kita tetapkan untuk menjaga kesejahteraan fisik, mental, emosional, dan profesional. Ini bisa berupa aturan soal waktu, energi, atau tanggung jawab yang masih nyaman untuk kita jalani dalam pekerjaan.

Dengan boundaries yang jelas, kita bisa tetap produktif tanpa merasa terlalu terbebani. Hasilnya? Lingkungan kerja jadi lebih sehat dan seimbang, bikin kita lebih betah dan fokus.

Baca Juga: Bekerja Lebih Efektif dengan ‘Slow Productivity’, Apa Itu?

Definisi Boundaries di Lingkungan Profesional

Secara sederhana, boundaries adalah batasan yang membedakan apa yang menurut kita “oke” dan “enggak oke” saat bekerja. Contohnya:

  • Batasan Waktu: Menentukan jam kerja yang jelas, misalnya tidak menerima tugas di luar jam kerja supaya waktu pribadi tetap terjaga.
  • Batasan Komunikasi: Menentukan kapan dan bagaimana kita berkomunikasi, seperti tidak membalas email atau chat kerja di malam hari.
  • Batasan Tanggung Jawab: Menolak tugas tambahan yang bukan bagian dari job desk, terutama kalau beban kerja sudah terlalu berat.
  • Batasan Emosional: Memastikan urusan pekerjaan tidak sampai merusak suasana hati atau mengganggu kehidupan pribadi.

Mengapa Boundaries Itu Penting?

Dikutip dari Psychology Today, Why Boundaries at Work Are Essential, kalau boundaries di tempat kerja tidak jelas, kita bisa gampang terjebak dalam pola kerja yang tidak sehat. Misalnya, terus-terusan lembur, sulit bilang “enggak” ke permintaan rekan kerja, atau merasa harus menyelesaikan tugas yang sebenarnya di luar kemampuan kita. Lama-lama, ini bisa bikin kesehatan mental dan fisik terganggu, yang ujung-ujungnya justru menurunkan produktivitas.

Baca Juga: Bos Dilarang Kontak Karyawan di Luar Jam Kerja di Australia

Tanda-Tanda Kamu Membutuhkan Boundaries di Tempat Kerja

Kadang kita enggak sadar kalau boundaries di tempat kerja sudah mulai kabur, bahkan menghilang sama sekali. Akibatnya, kamu jadi gampang capek, stres, atau malah kehilangan semangat kerja. Kalau kamu merasakan tanda-tanda berikut, ini saatnya mulai membuat boundaries yang jelas supaya kesejahteraan mental, fisik, dan emosionalmu tetap terjaga di kantor.

  • Selalu Ngerasa Capek dan Stres

Kalau kamu terus-terusan lelah, baik secara fisik maupun mental, bahkan setelah istirahat, itu bisa jadi tanda kamu kerja terlalu keras atau nanggung beban kerja yang tidak seimbang.

  • Susah Banget Bilangtidak

Pernah enggak, kamu merasa tidak enak untuk menolak tugas tambahan, padahal kerjaanmu sendiri sudah numpuk? Kalau iya, berarti boundaries kamu lemah. Rasa takut membuat kecewa atasan atau rekan kerja sering jadi alasan utama susah bilang “tidak.”

  • Kerjaan Ganggu Waktu Pribadi

Kalau waktu istirahat atau kehidupan pribadimu sering kepotong karena kerjaan, itu tanda boundaries perlu diperbaiki. Ini biasanya terjadi kalau kantor berharap kamu selalu standby, meskipun di luar jam kerja.

  • Produktivitas Drop dan Susah Fokus

Kalau beban kerja berlebihan membuat kamu kewalahan, kemungkinan besar produktivitasmu bakal turun. Kamu juga mungkin jadi susah fokus karena terlalu banyak hal yang harus dibereskan sekaligus.

  • Merasa Kurang Dihargai

Sering bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan bisa membuat orang lain mengangkap itu hal biasa. Lama-lama kamu mungkin merasa kontribusimu tidak dihargai karena tidak ada apresiasi yang pantas.

  • Emosi Pekerjaan Kebawa ke Kehidupan Pribadi

Kalau masalah di kantor membuat mood kamu jelek di rumah atau bahkan mengganggu hubungan sama keluarga, ini tanda boundaries emosionalmu perlu diperbaiki.

  • Tidak Punya Waktu Buat Diri Sendiri

Kalau kerjaan membuat kamu tidak punya waktu buat melakukan hal-hal yang kamu suka, seperti hobi atau sekadar me time, berarti sudah saatnya kamu membangun boundaries yang lebih tegas.

Baca Juga: Benarkah Kita Dilarang Berteman Dekat dengan Orang Kantor?

Cara Efektif Set Boundaries di Kantor

Menetapkan boundaries di kantor memang tidak selalu gampang, apalagi kalau kamu takut dianggap kurang kooperatif atau kurang profesional. Tapi, boundaries yang sehat itu penting banget buat menjaga keseimbangan antara kerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan batasan yang jelas, kamu bisa lebih fokus, terhindar dari burnout, dan tetap produktif dalam jangka panjang.

Dikutip dari Cleveland Clinic, How To Set Personal Boundaries at Work, berikut beberapa tips simpel tapi efektif untuk menetapkan boundaries di tempat kerja:

  • Pahami Apa yang Kamu Butuhkan

Langkah awal adalah memahami batasan yang sesuai dengan kebutuhanmu. Coba kenali sejauh mana kapasitasmu, waktu istirahat yang kamu perlukan, atau hal-hal yang membuat kamu gampang kewalahan. Misalnya, kalau kamu tidak nyaman menerima pesan kerjaan di malam hari, berarti kamu butuh batasan soal komunikasi di luar jam kerja.

  • Komunikasikan dengan Jelas

Setelah tahu kebutuhanmu, jangan ragu buat menyampaikan boundaries ini ke atasan atau rekan kerja. Sampaikan dengan sopan tapi tegas agar tidak ada salah paham. Misalnya, kamu bisa bilang, “Saya hanya bisa merespons email kerja sampai jam 6 sore, ya.”

  • Atur Jam Kerja dengan Tegas

Tentukan jam kerja yang jelas dan patuhi aturan itu. Ini cara yang efektif buat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan waktu pribadi. Dengan begitu, kamu bisa lebih santai tanpa harus terus kepikiran soal kerjaan di luar jam kantor.

  • Prioritaskan Tugas dengan Bijak

Beban kerja yang berlebihan sering membuat boundaries jadi berantakan. Supaya lebih terorganisir, coba buat daftar prioritas. Kerjakan tugas yang benar-benar penting dulu, dan jangan ragu buat menunda atau mendelegasikan tugas yang bisa di-handle orang lain.

  • Berani BilangTidakSecara Sopan

Kamu tidak harus selalu bilang “iya” ke semua permintaan kerjaan, apalagi kalau itu sudah melebihi kapasitasmu. Belajar bilang “tidak” dengan cara yang sopan itu sangat penting untuk menjaga keseimbangan kerja dan hidup.

  • Jangan Terjebak Multitasking Berlebihan

Multitasking terlihat produktif, tapi sering membuat stres dan malah tidak efektif. Sebaiknya fokus selesaikan satu tugas sebelum pindah ke tugas lainnya, supaya kamu tetap on track dan tidak gampang merasa kewalahan.

Read More
atasi pelecehan verbal di kantor

Pelecehan Verbal di Tempat Kerja: Apa yang Harus Kamu Lakukan?

Pelecehan verbal di tempat kerja terjadi ketika seseorang menggunakan kata-kata atau ucapan yang bertujuan untuk merendahkan, menghina, mengintimidasi, atau membuat suasana kerja jadi enggak nyaman. Bentuknya bisa berupa komentar pedas, sindiran, ancaman, atau candaan yang enggak pantas. 

Meskipun tidak melibatkan kontak fisik, dampaknya tetap serius, baik untuk kondisi psikologis korban maupun dinamika kerja di tim secara keseluruhan. 

Dikutip dari Happier Human, 11 Verbal Harassment Examples in the Workplace, secara sederhana, pelecehan verbal adalah perilaku tidak etis yang menggunakan komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, untuk menyakiti seseorang secara emosional atau bahkan merusak karier mereka. Di dunia kerja, ini bisa datang dari siapa saja, mulai dari atasan ke bawahan, antar-rekan kerja, atau bahkan dari klien ke karyawan. 

Baca Juga: Kenali Bentuk Kekerasan yang Sering Terjadi di Tempat Kerja 

Contoh Pelecehan Verbal di Tempat Kerja 

  • Komentar yang Merendahkan: 

Ucapan seperti, “Kamu tuh lambat banget, kayaknya enggak cocok deh kerja di sini,” bisa membuat seseorang merasa tidak dihargai dan menurunkan kepercayaan diri mereka. 

  • Sindiran atau Lelucon yang Enggak Pantas: 

Candaan yang bernada diskriminatif, seksis, atau rasis sering kali dikemas sebagai humor, padahal sebenarnya menyakitkan dan merendahkan individu atau kelompok tertentu. 

  • Ancaman Verbal: 

Kalimat seperti, “Kalau kamu enggak selesai tepat waktu, karier kamu bakal habis,” adalah contoh ancaman yang bikin korban merasa tertekan secara emosional. 

  • Bahasa Kasar di Depan Umum: 

Memaki atau menggunakan kata-kata yang enggak sopan, apalagi di depan banyak orang, bisa mempermalukan korban dan merusak reputasi profesionalnya. 

Kenapa Pelecehan Verbal Serius? 

Meskipun tidak meninggalkan luka fisik, pelecehan verbal bisa menimbulkan dampak psikologis yang dalam. Korban bisa merasa cemas, kehilangan percaya diri, bahkan berujung depresi. Selain itu, suasana kerja yang dipenuhi pelecehan verbal bisa membuat semangat tim menurun drastis dan akhirnya menurunkan produktivitas perusahaan. 

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Kenapa Perlu Lebih Banyak Pekerja Film Perempuan 

Ciri-ciri Pelecehan Verbal 

  • Berulang: Biasanya pelecehan verbal tidak cuma terjadi sekali, tapi terus diulang sampai membuat korban merasa tidak punya jalan keluar. 
  • Bersifat Subjektif: Tidak semua orang merasakan dampak yang sama. Tapi kalau seseorang merasa terganggu atau tersakiti, itu tetap harus dihormati. 
  • Menyasar Individu atau Kelompok: Kadang pelecehan ini ditujukan ke satu orang, tapi tidak jarang juga menyerang satu tim secara keseluruhan. 

Tanda-Tanda Kamu Menjadi Korban Pelecehan Verbal 

Pelecehan verbal di kantor kadang susah dikenali, apalagi kalau bentuknya halus atau tersirat. Banyak orang bingung, “Ini pelecehan enggak, sih?” Padahal, memahami tanda-tandanya itu penting banget buat melindungi diri dan mencari solusi.  

Dikutip dari Verywell Mind, How to Recognize and Cope With Verbal Abuse, berikut beberapa tanda yang bisa jadi alarm bahwa kamu mungkin sedang mengalaminya: 

  • Rasa Tidak Nyaman yang Terus-Menerus 

Kalau setiap berinteraksi sama seseorang di kantor membuat kamu cemas atau tegang, itu bisa jadi tanda awal. Biasanya ini muncul gara-gara komentar, sindiran, atau ucapan yang sering merendahkan. 

  • Kepercayaan Diri Turun Drastis 

Kata-kata negatif bisa membuat kamu merasa tidak kompeten atau bahkan tidak berharga. Kalau mulai sering ragu sama kemampuanmu sendiri atau takut membuat kesalahan kecil, itu mungkin karena efek pelecehan verbal. 

  • Menghindari Orang Tertentu 

Coba cek, kamu sering tidak sengaja menjauh dari seseorang di kantor? Atau malas ikut rapat karena takut kena kritik? Perilaku ini biasanya muncul sebagai respon terhadap pelaku pelecehan verbal. 

  • Emosi dan Perilaku Berubah 

Pelecehan verbal bisa bikin kamu: 

  • Cepat marah atau gampang frustrasi. 
  • Susah tidur karena terus-terusan memikirkan kejadian di tempat kerja. 
  • Dipermalukan di depan umum 

Kalau kamu sering dikritik atau direndahkan di depan rekan kerja, itu jelas pelecehan. Kritik seperti ini biasanya enggak ada tujuan membangun, cuma mau bikin kamu malu. 

  • Produktivitas Menurun 

Jadi malas kerja? Atau tidak fokus waktu ngerjain tugas? Ini bisa jadi efek pelecehan verbal yang bikin kamu kehilangan motivasi. 

  • Jadi Target Sindiran atau Lelucon Tak Pantas 

Lelucon seksis, komentar merendahkan, atau candaan yang enggak sopan sering dianggap “cuma bercanda,” tapi dampaknya bisa bikin hati sakit. Kalau ini sering terjadi, jangan ragu menganggapnya sebagai bentuk pelecehan verbal. 

Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja 

Cara Menghadapi Pelecehan Verbal di Tempat Kerja 

Menghadapi pelecehan verbal di kantor memang bukan hal mudah. Rasanya bisa membuat frustasi dan emosi. Tapi penting banget buat kamu ingat bahwa semua orang berhak punya lingkungan kerja yang aman dan nyaman, bebas dari intimidasi atau ucapan yang tidak pantas. 

Dengan langkah-langkah yang tepat, kamu bisa melindungi diri sekaligus menyelesaikan masalah ini dengan lebih tenang. Masih dari Verywell Mind, berikut ini beberapa tips untuk menghadapi pelecehan verbal di tempat kerja: 

  • Kenali Pelecehan Verbal dengan Jelas 

Langkah awal adalah paham kalau kamu sedang jadi korban. Apakah kamu sering dapat kritik tajam yang tidak membangun, komentar yang menyakitkan, atau ancaman terselubung? Kalau iya, sadari bahwa itu nggak wajar dan enggak bisa dibiarkan. 

  • Tetap Tenang, Jangan Balas Emosi 

Sangat wajar kalau kamu emosi menghadapi pelecehan, tapi coba tahan diri untuk tidak merespons dengan marah. Reaksi emosional justru bisa membuat situasi makin keruh. Sebaliknya, usahakan tetap profesional dan tanggapi dengan kepala dingin. 

  • Buat Batasan yang Tegas 

Kadang, pelaku enggak sadar kalau perilakunya membuat orang lain tersakiti. Jadi, penting untuk bilang langsung dan tegas, tapi tetap sopan. 

  • Catat Semua Kejadian 

Setiap kali ada insiden, langsung catat detailnya. Tuliskan tanggal, waktu, tempat, apa yang dikatakan, dan siapa saja yang ada di situ. Kalau suatu saat kamu butuh bukti untuk melapor, catatan ini bakal sangat membantu. 

  • Ngobrol Langsung dengan Pelaku 

Kalau memungkinkan, coba ajak pelaku bicara empat mata. Jelaskan gimana perilakunya berdampak ke kamu, tanpa menyerang secara personal. Hindari juga konfrontasi di depan banyak orang supaya suasana tetap kondusif. 

  • Laporkan ke HR atau Atasan 

Kalau udah coba bicara baik-baik tapi tidak ada perubahan, langkah berikutnya adalah melapor ke HR atau atasan. Sebagian besar perusahaan punya aturan jelas soal pelecehan, jadi jangan ragu untuk menggunakan hakmu. 

  • Cari Dukungan Rekan Kerja 

Curhatlah ke teman kantor yang kamu percaya. Siapa tahu mereka juga pernah ngalamin hal serupa atau melihat apa yang terjadi padamu. Dukungan dari mereka bisa bikin kamu merasa lebih kuat dan enggak sendirian menghadapi masalah ini. 

Ingat, kamu enggak harus menghadapi ini sendirian. Jangan takut untuk mengambil tindakan karena kenyamanan dan kesehatan mentalmu itu penting. 

Read More
Pelajaran Karier Berharga dari Film The Devil Wears Prada

Tips Karier yang Kita Pelajari dari Film “The Devil Wears Prada”

Film The Devil Wears Prada bukan sekadar hiburan receh, tapi juga menunjukkan betapa kerasnya dunia kerja, khususnya di industri mode. Dengan visual warna-warni yang memanjakan mata, penonton tipis-tipis diberikan tips relevan untuk mereka yang sedang berjuang membangun karier atau menyesuaikan diri di tempat kerja baru

Terlebih, dunia kerja sering dianggap seperti medan perang penuh tekanan, persaingan, dan ekspektasi tinggi. Itulah yang dialami Andy Sachs, tokoh utama dalam film ini. Sebagai lulusan baru yang bermimpi jadi jurnalis, Andy harus menghadapi kenyataan pahit saat terjebak di dunia fashion sebagai asisten pribadi Miranda Priestly, editor legendaris yang terkenal keras dan perfeksionis. Perjalanan Andy yang penuh tantangan menjadi cerminan lika-liku dunia kerja yang relatable bagi banyak orang. 

Kenapa The Devil Wears Prada relate buat para pekerja? Sebab, film ini enggak hanya bicara soal gaya hidup ambis dan glamor, tapi juga dinamika di tempat kerja. Mulai dari teknik beradaptasi dengan lingkungan baru, menghadapi atasan yang demanding, sampai perjuangan mencari keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi, semuanya disajikan secara realistis. 

Lebih dari itu, film ini menyampaikan pesan tentang pentingnya memiliki visi dan tujuan dalam karier. Tidak peduli seberapa berat tantangan yang dihadapi, jika kita punya arah yang jelas dan tetap setia pada nilai-nilai pribadi, kita bisa membuat keputusan terbaik untuk masa depan. 

Magdalene mengajak kamu untuk sama-sama membedah tips karier dari The Devil Wears Prada yang bisa diterapkan dalam keseharian. Apakah kamu sedang menghadapi atasan yang keras, mencoba memahami budaya kerja yang baru, atau berjuang untuk menyeimbangkan hidup pribadi dan profesional? Kamu harus baca ini sampai selesai. 

Baca Juga: ‘Girl Boss’ di Film Indonesia: Stereotipikal atau Tidak? 

Pelajaran Penting dari Film The Devil Wears Prada 

Film The Devil Wears Prada menawarkan banyak pelajaran penting yang relevan untuk kamu yang sedang menjajaki dunia kerja. Perjalanan Andy Sachs sebagai asisten Miranda Priestly memberikan insight menarik tentang tantangan, pembelajaran, dan pentingnya menemukan keseimbangan dalam hidup. Dikutip dari Leaderonomics, Career Lessons from The Devil Wears Prada, berikut beberapa pelajaran yang bisa kita ambil: 

  • Pahami Budaya Kerja 

Memasuki lingkungan kerja baru sering kali membutuhkan adaptasi dengan budaya kerja dan norma yang ada. Hal ini dialami Andy saat harus bekerja di industri mode yang sama sekali tidak akrab baginya. Tantangan ini mengingatkan kita bahwa memahami budaya kerja adalah langkah pertama untuk bertahan dan berkembang di tempat baru. 

  • Fleksibilitas adalah Kunci 

Awalnya, Andy merasa bak “alien” di lingkungan kerja majalah Runway. Mulai dari cara berpakaian hingga ritme kerja, semuanya bertolak belakang dengan jati dirinya. Namun, ia memutuskan untuk belajar dan beradaptasi. Fleksibilitas dan kemauan untuk belajar membantunya menghadapi situasi baru, bahkan bersinar dalam pekerjaannya. 

  • Komunikasi Efektif Membuka Jalan 

Salah satu pengalaman terbesar Andy adalah belajar memahami perintah Miranda yang njlimet dan penuh ekspektasi. Dalam dunia kerja, kemampuan membaca situasi, memahami kebutuhan, dan menyampaikan ide secara jelas adalah kunci keberhasilan. 

Baca Juga: 7 Rekomendasi Film Perempuan Karier di Asia 

  • Belajar dari Pemimpin yang Keras 

Miranda Priestly mungkin terlihat menakutkan, tapi melalui gaya kepemimpinannya yang tegas, Andy mempelajari nilai-nilai seperti ketelitian, disiplin, dan standar kerja yang tinggi. Meskipun sulit, bekerja dengan pemimpin seperti ini bisa membantu kita mengasah potensi maksimal. 

  • Pengembangan Diri itu Penting 

Awalnya, Andy tidak tahu apa-apa soal mode, tapi memanfaatkan pekerjaannya untuk belajar dan berkembang. Dari yang awalnya clueless, ia bertransformasi menjadi seseorang yang bisa memberikan kontribusi nyata. Pelajaran ini mengingatkan kita untuk melihat pekerjaan sebagai peluang untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi diri. 

  • Keseimbangan Karier dan Kehidupan Pribadi 

Film ini juga menyoroti betapa sulitnya menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, terutama jika pekerjaan terlalu menuntut. Andy menghadapi dilema ini dan akhirnya mengambil keputusan penting untuk hidupnya. 

Baca Juga: 4 Film yang Gambarkan ‘Ageism’ terhadap Perempuan Pekerja 

  • Tahu Kapan Harus Berhenti 

Walaupun Andy mampu menghadapi tantangan pekerjaan, ia sadar pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai hidupnya. Keputusannya untuk berhenti adalah pengingat, tahu kapan harus berkata “cukup” adalah langkah penting untuk menjaga kebahagiaan dan kesehatan mental

  • Jangan Sekadar Mengejar Status 

Awalnya, Andy menganggap bekerja untuk Miranda adalah tiket emas menuju karier jurnalistik impiannya. Namun ia segera menyadari, status tinggi tidak selalu berarti kepuasan pribadi. Pelajaran ini mengajarkan kita untuk mengejar tujuan yang benar-benar sejalan dengan passion dan nilai hidup kita. 

  • Prioritaskan Kebahagiaan 

Pada akhirnya, Andy memilih meninggalkan pekerjaannya demi mengejar karier yang lebih sesuai dengan dirinya. Keputusan ini menunjukkan kebahagiaan bukan hanya soal pencapaian profesional, tetapi juga tentang merasa puas dengan apa yang kita lakukan setiap hari. 

Read More
ciri ciri burnout

Tanda-tanda Fase ‘Burnout’ Kerja yang Sering Diabaikan

Hampir semua orang pasti pernah merasa bosan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari, dan ini wajar banget. Tapi, kalau rasa jenuh ini sampai berubah jadi kelelahan parah atau yang biasa disebut burnout, itu bisa jadi masalah serius dan bahkan berdampak buruk buat kesehatan mental.

Dikutip dari Mayo Clinic, Job burnout: How to spot it and take action, burnout adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang biasanya muncul karena tekanan kerja yang berat dan berlangsung terus-menerus dalam waktu lama. Kondisi ini bikin seseorang merasa stuck, kehilangan energi, dan susah menemukan motivasi buat kerja lagi.

Beberapa faktor yang sering memicu burnout di tempat kerja di antaranya tuntutan pekerjaan yang tinggi, kurangnya dukungan sosial, tekanan deadline, dan ketidakseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Baca Juga: Kerja, Kerja, ‘Burnout’: Dilema Perempuan Karier

Fase-Fase Burnout dalam Dunia Kerja

Burnout bukanlah kondisi yang muncul tiba-tiba, melainkan berkembang secara bertahap seiring waktu. Setiap fase burnout menggambarkan bagaimana perasaan dan perilaku karyawan semakin terganggu, yang akhirnya berdampak pada kinerja dan kesejahteraan mereka. Dikutip dari Health, What Are the Stages of Burnout?, berikut adalah penjelasan dari tiap fase burnout yang sering terjadi di dunia kerja.

Fase 1: Antusiasme Tinggi

Di fase awal, karyawan biasanya sangat bersemangat dan termotivasi saat memulai pekerjaan. Ini adalah tahap penuh harapan, di mana seseorang ingin menunjukkan kemampuan dan memberikan hasil terbaik. Mereka penuh energi dan siap untuk memberi yang maksimal.

Fase 2: Stagnasi atau Mulai Jenuh

Seiring berjalannya waktu, pekerjaan yang tadinya terasa menantang mulai terasa membosankan. Pada fase ini, meskipun masih ada rasa tanggung jawab, individu mulai kehilangan semangat. Mereka mungkin merasa hasil yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan.

Fase 3: Frustrasi dan Tekanan Emosional

Di fase ini, pekerjaan terasa semakin berat, dan tekanan emosional mulai muncul. Rasa frustrasi meningkat, sementara tugas-tugas seolah terus bertambah. Mereka mungkin merasa kewalahan dengan tuntutan, baik dari atasan maupun ekspektasi diri sendiri.

Fase 4: Apatis atau Kehilangan Semangat

Fase ini ditandai dengan munculnya apatisme. Karyawan merasa tidak ada lagi yang menarik di pekerjaan mereka dan mulai kehilangan semangat. Mereka seperti menjalani rutinitas tanpa tujuan jelas dan cenderung menarik diri dari rekan kerja serta menghindari keterlibatan lebih jauh dalam tugas.

Di tahap ini, perasaan tidak berdaya makin dominan, seakan bekerja hanya menjadi sekadar rutinitas harian.

Fase Akhir: Burnout Total

Di fase terakhir burnout, seseorang benar-benar kehabisan energi, baik fisik maupun mental. Mereka merasa sangat lelah dan enggak bisa lagi bekerja dengan baik. Pada tahap ini, burnout sudah masuk level serius dan bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental.

Ciri-ciri fase ini:

  • Kelelahan Ekstrem: Rasa lelah yang luar biasa, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, dan butuh waktu lebih lama untuk pulih.
  • Masalah Kesehatan: Burnout bisa memicu berbagai masalah kesehatan, seperti sulit tidur (insomnia), sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga risiko penyakit jantung.
  • Depresi dan Kecemasan: Kondisi mental bisa terganggu parah, dengan perasaan nggak berharga, hilangnya minat hidup, atau bahkan perasaan putus asa.

Baca Juga: Jam Kerja Efektif: Jurus Anti ‘Burn Out’ dan Stres

Cara Mengidentifikasi Burnout Sejak Dini

Burnout berkembang secara perlahan, dan mengenali tanda-tanda awalnya penting banget buat mencegah dampak yang lebih serius. Ketika tanda-tanda burnout mulai muncul, biasanya ada perubahan pada perilaku, perasaan, atau kondisi fisik seseorang.

Mendeteksi gejala awal ini bisa membantu kita mengambil langkah pencegahan sebelum burnout makin parah. Masih dari Mayo Clinic, Berikut beberapa cara buat mengidentifikasi burnout sejak dini.

  • Perubahan Emosi yang Mencolok

Salah satu tanda awal burnout adalah perubahan emosi yang signifikan. Kalau seseorang mulai merasa lebih cemas, mudah frustrasi, atau merasa tertekan berlebihan, ini bisa jadi sinyal awal burnout. Emosi yang terasa enggak terkendali, seperti mudah tersinggung atau gampang marah tanpa alasan jelas, bisa jadi tanda adanya tekanan emosional.

  • Penurunan Kinerja yang Terlihat

Burnout seringkali berdampak pada kualitas dan produktivitas kerja. Karyawan yang biasanya rajin dan efektif bisa mulai mengalami keterlambatan, lebih sering membuat kesalahan, atau kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang biasa.

  • Kelelahan Fisik yang Berlanjut

Burnout enggak hanya menyerang emosi, tapi juga fisik. Kelelahan berlebih, terutama kalau merasa sangat lelah meskipun sudah cukup tidur, bisa jadi tanda burnout. Kelelahan ini muncul karena stres yang berkepanjangan dan bisa berdampak serius kalau dibiarkan terus-menerus.

  • Hilangnya Minat pada Pekerjaan

Salah satu tanda utama burnout adalah hilangnya minat atau kepuasan terhadap pekerjaan. Karyawan yang burnout sering merasa bosan atau bahkan nggak suka lagi dengan pekerjaan yang dulu mereka nikmati. Ini bisa jadi fase di mana seseorang mulai merasa jenuh.

  • Penurunan Kesehatan Mental dan Emosional

Burnout bisa berdampak langsung pada kesehatan mental. Kalau mulai merasa depresi, cemas berlebihan, atau bahkan tertekan, ini bisa jadi tanda serius dari burnout. Di tahap ini, seseorang mungkin mulai merasa putus asa atau enggak lagi berharga.

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas

Tips untuk Mencegah Burnout di Tempat Kerja

Burnout adalah masalah serius yang bisa menyerang siapa saja, di berbagai jenis pekerjaan. Menghindari burnout bukan cuma penting buat kesehatan pribadi, tapi juga buat performa kerja. Pencegahan burnout dimulai dengan mengenali tanda-tandanya dan mengambil langkah tepat sebelum gejalanya makin parah.

Dikutip dari Better Up, 14 tips for dealing with burnout and loving your life again, berikut beberapa tips praktis untuk mencegah burnout di tempat kerja.

  • Jaga Keseimbangan Kerja dan Kehidupan Pribadi

Salah satu kunci buat mencegah burnout adalah memastikan keseimbangan antara kerja dan waktu untuk diri sendiri. Kalau kita terus-terusan fokus kerja tanpa istirahat atau aktivitas santai, kelelahan dan stres bisa cepat muncul. Dengan menjaga keseimbangan ini, energi dan fokus kita bisa terdistribusi lebih baik, dan risiko burnout berkurang.

  • Tetapkan Harapan Kerja yang Realistis

Beban kerja yang berlebihan dan ekspektasi yang tidak realistis adalah pemicu utama burnout. Kalau merasa tugas yang diberikan terlalu banyak atau target terlalu tinggi, burnout bisa mudah datang. Makanya, penting banget buat menetapkan ekspektasi yang masuk akal agar pekerjaan terasa lebih ringan.

  • Kembangkan Keterampilan Manajemen Stres

Stres memang bagian dari pekerjaan, tapi kalau enggak dikelola dengan baik, stres ini bisa jadi burnout. Menguasai cara mengelola stres, seperti dengan teknik relaksasi atau time management yang efektif, bisa menjaga keseimbangan mental dan fisik kita.

  • Bangun Lingkungan Kerja yang Positif

Lingkungan kerja yang mendukung dan nyaman punya peran besar buat mencegah burnout. Saat kita merasa dihargai dan punya hubungan baik dengan rekan kerja, pekerjaan terasa lebih menyenangkan, dan tingkat stres bisa turun. Lingkungan yang positif bikin kita lebih happy dan produktif.

  • Prioritaskan Kesehatan Mental dan Fisik

Kesehatan mental dan fisik yang prima adalah pondasi penting buat menghindari burnout. Saat tubuh dan pikiran kita dalam kondisi optimal, kita lebih kuat menghadapi tekanan kerja. Dengan menjaga kesehatan, kita bisa mengatasi tantangan di tempat kerja tanpa gampang kewalahan.

Read More
stress crossover di tempat kerja

Mengenal ‘Stress Crossover’ di Tempat Kerja, Dampak, dan Tips Mengatasinya

Dalam dunia kerja, stres jadi hal yang hampir tak bisa dihindari. Namun tahukah kamu kalau stres berpotensi menular ke rekan kerja. Istilahnya stress crossover, yakni kondisi ketika kita ikut terbebani gara-gara lihat rekan kerja yang sedang tertekan. Kita seolah bisa merasakan emosi negatif yang sama, sehingga berpengaruh ke kestabilan mental. 

Apa itu Stress Crossover? 

Dikutip dari Harvard Business Review, stress crossover adalah istilah untuk menggambarkan fenomena di mana stres yang dirasakan seseorang bisa berdampak ke orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang sering berinteraksi atau punya hubungan dekat. 

Di tempat kerja, stress crossover sering terjadi ketika ada karyawan yang sedang tertekan,  “menularkan” stresnya ke rekan-rekan di sekitar. Potensi penularan kian besar ketika kita punya karakter emosional, mudah terbawa suasana, dan cenderung punya empati tinggi. 

Misalnya, kalau ada anggota tim yang tampak stres menghadapi tenggat waktu, suasana ini bisa bikin rekan lainnya ikut terpengaruh. Dampaknya bukan cuma di mood saja, tapi juga memengaruhi komunikasi, kolaborasi, dan produktivitas kerja tim secara keseluruhan. 

Baca Juga: Stres di Tempat Kerja? Prioritaskan Istirahat Berkualitas 

Faktor Penyebab Stress Crossover di Tempat Kerja 

Dikutip dari Psychology Today, Stress Contagion: Does Observing Others’ Anxiety Affect You?, ada beberapa penyebab utama yang bikin stress crossover semakin sering terjadi di tempat kerja: 

  • Lingkungan Kerja yang Tinggi Tekanan  

Lingkungan kerja yang penuh tekanan seperti target tinggi dan tenggat ketat, bisa jadi pemicu utama stress crossover. Ketika satu karyawan merasa tertekan, mood-nya bisa jadi tegang, dan ini dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ditambah lagi, dalam kondisi penuh tekanan, waktu untuk beristirahat jadi terbatas, yang membuat stres makin mudah menular. 

  • Komunikasi antar-Tim yang Kurang Efektif  

Komunikasi yang tidak jelas bisa menambah situasi stress crossover. Kesalahpahaman atau instruksi yang enggak tersampaikan dengan baik sering menimbulkan kecemasan. Misalnya, jika instruksi atasan kurang jelas, karyawan bisa merasa bingung atau takut salah, yang ujungnya bikin tim semakin stres. 

  • Beban Kerja Berlebihan 

Ketika beban kerja terlalu tinggi, karyawan bisa mulai menunjukkan tanda kelelahan atau gampang marah. Hal ini sering bikin rekan-rekan kerjanya ikut merasa terbebani secara emosional atau bahkan takut mereka bakal dapat beban kerja serupa. 

  • Gaya Kepemimpinan yang Tidak Mendukung  

Pemimpin yang terlalu menekan tanpa memikirkan kesejahteraan tim bisa memperparah stress crossover. Ketika karyawan merasa stres karena tuntutan atau kritik yang enggak ada henti, suasana ini bakal “menular” ke seluruh tim yang berinteraksi dengan pemimpin tersebut. 

  • Kurangnya Work-Life Balance  

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang tidak terjaga juga membuat stress crossover makin mudah terjadi. Ketika karyawan merasa sulit bersantai di luar jam kerja, beban emosional ini bisa terbawa ke kantor dan membuat rekan kerja lainnya ikut terpengaruh. 

Baca Juga: ‘Holiday Stress’: Memahami Stres yang Datang Menjelang Liburan 

Cara Mengatasi Stress Crossover di Tempat Kerja 

Untuk menangani stress crossover, diperlukan pendekatan yang mencakup peran karyawan, pemimpin, dan kebijakan perusahaan. Masih dari Psychology Today, berikut beberapa cara efektif yang bisa dilakukan: 

  1. Bangun Komunikasi yang Terbuka 

Penting untuk memiliki komunikasi yang jujur dan terbuka di tempat kerja. Ketika karyawan dan pemimpin bisa dengan bebas mengungkapkan perasaan atau masalah, stres lebih mudah dikelola, dan dukungan antar-rekan bisa diberikan. 

  1. Dukung Kesehatan Mental Karyawan 

Perusahaan sebaiknya menyediakan layanan atau program kesehatan mental, seperti konseling atau pelatihan manajemen stres, agar karyawan bisa mendapatkan bantuan saat stres terasa berat. 

  1. Pelatihan Kepemimpinan yang Berempati 

Pemimpin yang berempati bisa memahami perasaan tim mereka dan memberikan dukungan dengan tepat. Pelatihan kepemimpinan yang menekankan empati akan sangat membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif. 

  1. Dorong Budaya Kerja yang Suportif 

Lingkungan kerja yang saling mendukung membantu karyawan merasa didukung oleh rekan mereka. Dengan begitu, stres tidak mudah menyebar karena ada atmosfer yang saling membantu dan kolaboratif. 

  1. Tetapkan Batasan Jelas antara Pekerjaan dan Kehidupan Pribadi 

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi adalah kunci untuk mengelola stres. Perusahaan bisa bantu dengan menetapkan aturan terkait batasan jam kerja yang jelas. 

  1. Apresiasi dan Penghargaan kepada Karyawan 

Apresiasi memiliki efek besar dalam menjaga suasana hati dan motivasi karyawan. Ketika karyawan merasa dihargai, suasana positif di tempat kerja bisa lebih terjaga, sehingga stres enggak mudah menular. 

  1. Sediakan Tempat atau Waktu untuk Relaksasi 

Memberikan ruang atau waktu khusus untuk istirahat di kantor bisa bantu karyawan meredakan stres dan menghindari penumpukan tekanan. Perusahaan bisa menyediakan area khusus untuk relaksasi, misalnya ruang meditasi. 

Selain ruang fisik, perusahaan juga bisa menawarkan waktu istirahat ekstra atau fleksibilitas jam kerja bagi mereka yang sedang merasa kewalahan. Dengan adanya tempat dan waktu untuk “detoks” stres, karyawan bisa kembali bekerja dengan lebih tenang dan tidak membawa beban emosional yang bisa menular ke tim. 

Baca Juga: Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu 

  1. Atur Beban Kerja dengan Adil 

Beban kerja yang berlebihan sering jadi salah satu pemicu utama stress crossover. Pemimpin perlu memperhatikan beban tugas yang diberikan ke setiap karyawan, memastikan distribusinya adil dan sesuai kemampuan masing-masing. 

Pemimpin juga bisa memberi izin bagi karyawan yang merasa kewalahan untuk istirahat atau meminta bantuan. Dengan manajemen beban kerja yang proporsional, karyawan bisa lebih fokus tanpa tekanan berlebih yang bikin stres. 

Read More
apa itu Glossophobia dan cara mengatasinya

Apa itu ‘Glossophobia’: Rasa Takut yang Bisa Hambat Kemajuan Kariermu

Salah satu tips agar karier moncer adalah meningkatkan kemampuan public speaking atau bicara di depan umum. Menurut Indeed, kemampuan tersebut bisa meningkatkan kredibilitas, sehingga dianggap profesional. Public speaking juga bisa mengerek rasa percaya diri secara alami. Muaranya adalah soal mengambil keputusan lebih baik dan menjaga relasi dengan rekan kerja. 

Sayangnya, enggak semua orang punya kemampuan public speaking yang andal. Sebaliknya justru ada yang merasa cemas saat harus ngomong di depan umum. Kondisi ini disebut glossophobia. 

Dikutip dari Healthline, Glossophobia: What It Is and How to Treat It, glossophobia adalah ketakutan berbicara di depan umum yang intens. Sering kali itu menyebabkan seseorang merasa cemas, gugup, bahkan panik saat harus tampil di depan audiens. Ketakutan ini bisa sangat kuat, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari situasi publik yang mengharuskan berbicara di hadapan khalayak. 

Baca Juga: Cara Mengubah Mindset yang Menghambat Perkembangan Karier 

Mengapa Glossophobia Bisa Hambat Karier? 

Glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum, bisa jadi penghambat besar dalam perkembangan karier seseorang. Di dunia kerja, kemampuan komunikasi yang baik sangat berharga. Mulai dari menyampaikan ide, memimpin tim, hingga mempresentasikan proyek. Terkadang ketakutan ini bisa benar-benar jadi batu sandungan dalam mencapai target profesional 

Dikutip dari BBC, Is public speaking fear limiting your career? berikut adalah beberapa alasan kenapa glossophobia bisa menghambat kemajuan karier: 

  1. Membatasi Kesempatan untuk Menyampaikan Ide atau Pendapat 

Di tempat kerja, banyak inovasi dan perkembangan lahir dari ide-ide yang muncul di ruang diskusi atau rapat. Namun bagi mereka yang mengalami glossophobia, rasa takut ini bisa bikin mereka enggan bicara atau menyampaikan ide di depan orang lain. Akibatnya, ide-ide berharga yang bisa memberikan dampak positif malah tidak pernah terungkap. Jadi, baik perusahaan maupun individu yang mengalami glossophobia, sama-sama kehilangan peluang untuk berkembang. 

  1. Menurunkan Kepercayaan Diri yang Dibutuhkan untuk Tampil Menonjol 

Rasa takut ini sering kali muncul karena kurangnya kepercayaan diri atau takut dinilai negatif oleh orang lain. Ketika seseorang takut berbicara di depan umum, rasa percaya diri mereka juga terpengaruh dalam banyak aspek profesional lain. Mereka jadi lebih sering meragukan diri sendiri dan menghindari tantangan baru yang melibatkan komunikasi publik. Padahal, di dunia kerja yang kompetitif, kepercayaan diri penting banget untuk membangun citra profesional yang kuat. Kurangnya rasa percaya diri bisa membuat mereka tampak kurang siap dan, sayangnya, ini bisa memengaruhi kesempatan untuk maju. 

  1. Menghambat Peluang Menunjukkan Kemampuan Kepemimpinan 

Glossophobia bukan hanya soal bicara, tapi juga bisa memengaruhi kemampuan kepemimpinan seseorang. Dalam banyak posisi profesional, terutama peran pemimpin, berbicara di depan umum itu terbilang penting. Seorang pemimpin diharapkan bisa mengomunikasikan visi, menginspirasi tim, dan memberikan instruksi yang jelas. Kalau mereka takut bicara, tim mungkin merasa kurang terinspirasi atau malah tidak mendapatkan arahan yang dibutuhkan. 

  1. Memicu Stres yang Memengaruhi Kesehatan dan Produktivitas 

Glossophobia juga bisa menyebabkan stres berlebihan, terutama saat harus tampil di depan umum. Kalau dibiarkan terus-menerus, bisa berdampak pada kesehatan mental dan fisik, yang akhirnya juga berpengaruh pada produktivitas kerja. Mereka yang terus merasa cemas sering sulit fokus pada pekerjaan lain, yang mana bisa menurunkan kinerja mereka. 

Baca Juga: Mungkinkah Karyawan Tidur di Kantor? Tips Efektif Maksimalkan Istirahat 

Cara Mengatasi Glossophobia Secara Mandiri 

Mengatasi glossophobia atau rasa takut berbicara di depan umum memang enggak gampang, tapi bisa dilakukan secara bertahap dan mandiri. Dengan rutin latihan, teknik pernapasan, dan berpikir positif, rasa takut ini bisa dikurangi, sehingga kepercayaan diri kita dalam berbicara di depan orang banyak makin meningkat. 

Dikutip dari Indeed, How to Overcome Glossophobia Independently, berikut beberapa langkah yang bisa dicoba untuk mengatasi glossophobia secara mandiri: 

  1. Latihan di Depan Cermin 

Latihan ini ampuh buat membantumu terbiasa dengan cara berbicara dan ekspresi wajah saat menyampaikan presentasi atau pidato. Dengan berdiri di depan cermin, kita bisa lihat bahasa tubuh, ekspresi, dan gerak tubuh kita sendiri. Ini bisa jadi momen untuk menyadari kebiasaan yang bikin kita kelihatan gugup, sehingga kita bisa perbaiki. 

Selain itu, kita jadi lebih akrab dengan suara dan gaya bicara sendiri, bikin kita makin nyaman dan percaya diri. 

  1. Rekam dan Dengarkan Ulang 

Merekam diri saat latihan atau presentasi bisa membantu kita evaluasi cara ngomong dan memilih kata dengan lebih baik. Dengan mendengarkan ulang rekaman, kita bisa tahu area yang perlu diperbaiki, seperti tempo bicara, intonasi, atau kejelasan pengucapan. Dari sini, kita bisa bangun pola bicara yang bikin kita makin pede dan nyaman. 

Setelah mendengarkan ulang, coba rekam lagi dengan perbaikan yang sudah ditargetkan. Latihan ini bikin kita makin percaya diri seiring waktu. 

Baca Juga: Atasi ‘Fear of Rejection’ atau Perasaan Takut Ditolak di Dunia Kerja 

  1. Coba Latihan di Depan Keluarga atau Teman 

Dukungan dari orang terdekat penting buat membantu kita mengatasi glossophobia. Ajak keluarga atau teman untuk jadi audiens saat kita latihan atau presentasi. Mereka bisa kasih masukan, bertanya, atau sekadar memberi dukungan. 

Simulasi ini juga bikin kita terbiasa dengan situasi nyata yang melibatkan audiens. Semakin sering kita latihan dengan orang lain, makin berkurang juga rasa cemas atau takut saat berbicara di depan umum. 

  1. Biasakan Ngomong di Depan Kelompok Kecil 

Mulai dari mengobrol atau presentasi di depan kelompok kecil dulu, seperti teman atau rekan kerja. Ini langkah awal yang bagus buat meningkatkan kepercayaan diri sebelum harus bicara di depan audiens yang lebih besar. Dengan latihan di kelompok kecil, kita akan makin nyaman menyampaikan ide dan info di depan banyak orang. 

Lama-lama, jumlah audiens bisa ditambah sedikit demi sedikit. Dengan cara ini, rasa takut berbicara di depan umum akan berkurang seiring waktu. 

Read More