Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya?

generasi kutu loncat Selama dua dekade terakhir, generasi milenial sering disorot sebagai generasi yang gemar job hopping atau berpindah tempat kerja dalam waktu singkat, berkisar satu hingga dua tahun. Karenanya, generasi tersebut dinilai tidak loyal, tidak mampu berkomitmen pada satu perusahaan, dan suka bertindak semena-mena. Generasi milenial yang dicap gemar job hopping berbanding terbalik dengan generasi baby boomers yang cenderung bekerja di satu perusahaan selama puluhan tahun. 

Meski demikian, “Melissa”, seorang social media specialist di organisasi non-pemerintah, tidak setuju jika generasinya dicap buruk akibat job hopping ini. Ia mengatakan perlu melihat situasi dari perspektif generasi milenial untuk mengetahui alasan menjadi job hopper

Perempuan berusia 25 tahun itu mengatakan, salah satu penyebabnya mencari perusahaan yang bisa membantu seseorang terus mengembangkan kemampuannya dalam bidang yang ia tekuni. Untuk Melissa perusahaan yang mampu menawarkan perkembangan keahlian dari segi dunia digital. Melissa sendiri telah bekerja di tiga perusahaan berbeda sejak kali pertama memasuki dunia kerja profesional pada 2019. 

“Jika ada kantor yang bisa provide perkembangan pengetahuan dan kemampuan saya, ya kenapa tidak? Walaupun pada akhirnya saya lelah karena harus memegang banyak hal. Tapi, mumpung saya masih usia muda, sekalian saja deh lelahnya. Biar nanti kalau sudah matang saya bisa tahu kemampuan saya di mana,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.

Namun, faktor lain yang ia tekankan berupa beban kerja yang berlebihan berujung pada eksploitasi pekerja. Melissa mencontohkannya dengan kerja media sosial, seperti membuat konten, maintenance media sosial, dan memperhatikan perilaku target perusahaan untuk marketing digital yang tidak bisa dipegang satu atau dua orang saja. Karenanya, ia menegaskan ketika responsnya untuk mengundurkan diri bukan menandakan generasi millennial lemah, tapi menolak praktik kerja yang buruk. 

“Kerja digital dan media sosial itu luas dan tidak bisa dipegang satu orang saja. Jadi mengapa saat ini banyak yang pindah karena tidak dimungkiri ada eksploitasi di mana saja,”

“Ini juga yang mungkin harus dipahami, kalau jobdesk atau tugasnya banyak dia burn out dan resign atau job hopping. (Ini) bukan tidak bertanggung jawab atau mentalnya melempem,” tandas Melissa. 

Apakah Milenial Generasi Kutu Loncat?

Dewasa ini generasi milenial menguasai sebagian besar usia produktif. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 69,38 juta orang atau 25,87 persen generasi milenial produktif. Sedangkan Generasi X sebanyak 58,65 juta pang atau 21,88 persen. Sejatinya, penduduk terbanyak diduduki oleh Generasi Z dengan 74,93 juta orang, 27,94 persen. Meski demikian, rentang usia delapan hingga 24 tahun membuat belum semua Generasi Z berada di usia produktif. 

Pakar Sumber Daya Manusia, Floribertus mengatakan di dunia kerja, generasi milenial menawarkan ide-ide kreatif, mampu menyederhanakan tugas yang dinilai sulit, dan mengerjakan sesuatu dengan semangat karena dianggap bernilai. Selain itu, sebagai generasi yang lahir dan tumbuh besar dengan perkembangan digital, keahlian teknologi yang dimilikinya pun menjadi keunggulan untuk perusahaan. 

“Dari segi teknologi (milenial) memang lebih mudah dibanding generasi sebelumnya. Tapi, itu bisa menjadi cara untuk memfasilitasi generasi sebelumnya yang gagap teknologi. Kekurangannya, cara dan gaya berkomunikasi mereka yang masih bisa dibimbing,” ujarnya pada Magdalene November lalu. 

Meski demikian, tambah Floribertus, kemudahan yang ditawarkan dunia digital membuat generasi milenial terbiasa dengan segala sesuatu yang mudah dan instan. Hal tersebut pula yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Karena hal itu juga ketika berhadapan dengan sesuatu yang dinilai sulit, maka akan mencari tantangan baru atau tempat yang bisa memberikan kemudahan tersebut, ujarnya. 

Dilansir dari Liputan6, pada 2016 Faridah Lim, Country Manager JobStreet.com Indonesia mengatakan, riset yang dilakukan perusahaannya menunjukkan 65,8 persen generasi milenial dari 3.500 responden akan pindah kerja kurang dari satu tahun. 

Senada dengan itu, di tahun yang sama Jakpat, layanan survei dan riset berbasis online di Indonesia menunjukkan, ada 875 dari total 1.376 responden usia 24-45 tahun mengaku telah job hopping.Sekitar 78,51 persen di antara jumlah tersebut pernah menjadi job hopper sebanyak tiga kali. Durasi kerja di satu perusahaan sebelum akhirnya pindah ke perusahaan lain. Alasan menjadi ‘kutu loncat’ sebanyak 70,74 persen karena mencari upah lebih tinggi, 55,89 persen untuk meningkatkan karier, da 49,83 persen karena ruang kerja yang dinilai sudah tidak kondusif. 

Penelitian serupa juga dilakukan di AS. Laporan What Employees Expect in 2021 oleh Institute for Business Value (IBM) dengan 14.000 responden. Hasil risetnya menunjukkan satu dari lima pekerja berganti pekerjaan pada 2020. Pekerja yang menjadi job hopper tersebut 33 persen dari generasi z dan 25 persen generasi milenial sebanyak 25 persen. Hal yang tidak jauh berbeda juga pada 2021 dengan lebih dari satu di antara empat pekerja berencana untuk berpindah. Selain itu, 60 persen telah berganti pekerjaan pada Januari lalu. 

Senada dengan itu, lima tahun yang lalu, laporan How Millennials Want to Work and Live dari  Gallup, sebuah badan riset global, menemukan 21 persen generasi milenial di AS berganti pekerjaan tiga kali lebih atau tiga kali lebih banyak dibanding generasi non-milenial. 

Krisis ekonomi the great recession pada 2007 hingga 2009 sering disebut sebagai salah satu penyebab yang melatarbelakanginya. Sementara itu, saat ini AS juga sedang dalam masa The Great Resignation atau pengunduran diri besar-besaran karena kondisi kerja yang tidak memadai, burnout, dan situasi pandemi COVID-19. 

Meski demikian, pada 2017, Pew Research Centre meluncurkan temuan bahwa job hopping tidak hanya dilakukan generasi milenial. Pada 2016, generasi milenial kelahiran 1981 sampai 1998 rata-rata bekerja di perusahaan yang sama selama 13 bulan atau sekitar 63,4 persen. Sedangkan, sejumlah 59,9 persen generasi x dengan usia sama di tahun 2000 yang bertahan di perusahaan sama selama durasi tersebut. Berpindah tempat kerja pun tidak menjadi satu hal yang dilakukan generasi milenial, tetapi orang muda yang mencari pelbagai kesempatan kerja di tempat lain.  

Senada dengan itu, Floribertus mengatakan generasi milenial tidak bisa digeneralisir semua melakukan job hopping karena respons setiap orang akan berbeda-beda. Jika ada yang memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya, orang lain bisa saja mengambil pilihan berbeda.

“Jadi tidak bisa digeneralisir ada yang milenial, tapi old soul. (Dampak pada karier) juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin, (kemampuan) adaptif, dan deliverable. Jadi karier yang cepat juga bergantung pada masing-masing orang, tidak bisa digeneralisir,” ujarnya. 

Ingin Kerja dan Hidup Pribadi yang Berimbang

Job hopper kerap dinilai sebagai red flag di dunia profesional karena perpindahannya yang cepat. Dalam laporan yang sama IBM menyebutkan, alih-alih keinginan finansial yang mendorong berpindah pekerjaan, generasi milenial lebih menginginkan karier dan kehidupan pribadi yang seimbang berada di posisi tertinggi sebanyak 51 persen. Selain itu, kesempatan untuk meningkatkan karier sebanyak 43 persen, kompensasi dan keuntungan pekerjaan dengan 41 persen, dan nilai serta etika pemberi kerja dengan jumlah yang sama. 

IBM menuliskan, cara agar perusahaan secara proaktif memahami apa yang dianggap penting dalam karier pekerjanya. Selain itu membangun budaya belajar dan apresiasi atas perkembangan pekerja dan empati pada pekerja terkait kesehatan fisik, mental, dan finansial. Sementara untuk pekerja agar terus belajar, tidak berkompromi atas kesehatan dan nilai yang dimilikinya, dan mengadvokasikan keinginan kepada perusahaan untuk proses komunikasi yang transparan. 

Senada dengan hal itu, Melissa mengatakan, kantor juga perlu inklusif dengan kebijakan yang ramah perempuan agar kebutuhan pekerja terpenuhi. Selain itu, perusahaan profit maupun non-profit perlu melakukan evaluasi agar menciptakan ruang kerja tidak eksploitatif, waktu kerja berimbang, dan budaya kantor yang sehat. 

“Kantor ideal harus punya aturan tertulis dan benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang berpihak dan ramah pada perempuan dan anak,” ujarnya. 

Sementara Floribertus mengatakan, perusahaan juga perlu memahami tentang kebutuhan pekerja dan menciptakan ruang yang aman. Meski demikian, jangan sampai tujuan menciptakan ruang inklusif untuk semua orang hanya menjadi semacam janji atau lip service saja, sedangkan kantor belum bisa memfasilitasi hal itu. Selain itu, definisi inklusif masing-masing perusahaan akan berbeda dan perlu didefinisikan secara jelas dan melakukan pendekatan yang berbeda pula, seperti diskusi tentang kebutuhan dan kebijakan. 

“Namun kembali lagi apakah kebutuhan itu bisa terfasilitasi, seperti yang menerapkan keuntungan fleksibel. Kalau bicara tentang organisasi tidak hanya memikirkan kepentingan satu kelompok dan sangat bervariasi. Selain itu, butuh waktu untuk proses negosiasi yang tidak mudah. Jadi akhirnya kita yang menyesuaikan diri juga (dengan perusahaan),” ujarnya. 

Read More