Jadi pengusaha perempuan itu, apalagi yang sedang merintis usahanya, ternyata lebih sulit dari bayangan Zena, seorang pengusaha perempuan yang saat ini memiliki online shop aksesoris dan dekorasi dinding.
Awal merintis usahanya, ia menghadapi berbagai macam tantangan, salah satunya terkait akses ke pendanaan. Saking sulitnya, ia mesti berstrategi dengan ayahnya agar pengajuan bantuan dananya dikabulkan. Tidak hanya itu, Zena juga sering kali mendapat omongan miring soal pilihannya untuk membuka usaha.
Bagaimana ya kisah Zena dalam menghadapi berbagai tantangan ini? Yuk simak cerita selengkapnya yang dituturkan oleh pengusaha, Gita Sjahrir.
“Ngapain kamu jadi jurnalis? Sering pulang malem, kayak perempuan enggak bener aja. Nanti malu diomongin tetangga.”
Sudah lama Debbie, seorang editor media online, bercita-cita menjadi jurnalis. Akan tetapi dari awal, sang ibu sangat menentang cita-citanya itu. Alasannya, sang ibu menganggap pekerjaan tersebut sangat berbahaya dan enggak pantas untuk perempuan.
Akibatnya, Debbie sering cekcok dengan ibunya dan hal ini menyebabkan kesehatan mental Debie terganggu.
Walaupun menghadapi berbagai tantangan, Debbie tetap melanjutkan cita-citanya bekerja di media. Bagaimana ya, cara Debbie menghadapi tantangan tersebut? Yuk kita dengar kisah Debbie selengkapnya yang dituturkan oleh aktivis feminis, Agri Merinda.
Pernah nggak sih di sebuah rapat, kamu sedang menyampaikan pendapat, tapi kolegamu malah menertawakan dan merendahkan pendapat kamu?
Pasti kita sedih banget saat pekerjaan dan keberadaan kita di kantor diremehkan. Rasanya pengen cepet-cepet resign karena udah nggak tahan lagi berada di lingkugan kerja kayak begitu.
Hal ini sering dirasakan oleh para pekerja, salah satunya Syufra. Ketika baru terjun ke dalam isu humanitarian, atasannya sering kali meremehkan Syufra, dan membuat dirinya merasa sangat useless.
Tapi, ada satu titik yang mengubah hidup Syufra dan membuat ia kembali bangkit. Yuk simak cerita Syufra yang dituturkan oleh musisi Dira Sugandi.
“Udah, kalau kamu disuruh berhenti sama suamimu, nurut aja. Kan memang sudah kewajiban istri buat tetep di rumah.”
Kamu pernah mengalami atau mendapatkan curhat dari teman perempuanmu yang dilarang bekerja oleh pasangannya dengan alasan seperti ini?
Hal ini sempat dialami oleh Anggie, perempuan berusia 24 tahun yang saat ini bekerja sambil berkuliah. Ia memutuskan untuk menikah setelah enam bulan pacaran karena desakan keluarga pasangannya. Setelah menikah, pasangannya melarang Anggie untuk bekerja dan melakukan kekerasan terhadap Anggie. Dalam keadaan begitu, mertuanya malah membela sang suami alih-alih membantu Anggie. Bagaimana Anggie menghadapi berlapis tantangan dalam rumah tangganya?
Simak kisah Anggie selengkapnya dalam Podcast, Women, Work & Untold Stories yang dituturkan oleh komika Sakdiyah Ma’ruf.
Enggak terasa FTW Media sudah sampai episode terakhir aja, nih. Dari perjalanan kami mengupas representasi perempuan di media, ternyata masih banyak di antaranya yang nggak sensitif gender dalam pemberitaannya.
Masalahnya beragam banget, mulai dari seksisme, seksualisasi, stereotipe, hingga yang suara perempuan yang masih minim terwakilkan di media. Memang sih, saat ini sudah ada beberapa perubahan dengan inisiatif menarik seperti Womenunlimited.id, sebuah database berisi narasumber peeempuan di berbagai sektor. Dalam iklan kita juha bisa melihat kampanye suami sejati dari kecap ABC, dan lain-lain.
Tapi perubahan kayak gini nggak akan menjamur kalau konsumen kayak kita juga enggak mendukungnya. Kita bisa lho, mendorong produsen atau media untuk menggambarkan gender dengan lebih fair.
Yuk simak episode terakhir FTW Media ini!
Nah, kamu punya komentar, masukan atau pertanyaan terkait bahasan ini? Kamu bisa sampaikan melalui [email protected] atau bisa melalui pesan di media sosial kami ya!
Pernah enggak sih kamu perhatiin orang-orang melanesia atau Indonesia Timur lebih sering digambarkan sebagai preman, atau orang jahat di sinetron dan film.
Kalau pun mereka tidak digambarkan jahat, biasanya dijadikan bahan olok-olokan dan digambarkan tidak bisa tertib dan suka membuat onar. Penampilan mereka pun biasanya digambarkan sebagai orang berkulit gelap dengan rambut yang keriting.Padahal tidak semua Melanesia berpenampilan seperti itu loh.
Alih-alih memberikan edukasi dan representasi yang baik untuk teman-teman minoritas, media malah menyebarkan representasi keliru seperti ini yang ujungnya bakal sangat merugikan kelompok minoritas.
Lantas, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengurangi representasi keliru ini? Sebetulnya, sudah sejauh mana sih media memperbaiki isu ini agar mereka lebih inklusif terhadap kelompok minoritas?
Di dunia dangdut, bukan hal langka mendapati penyanyi perempuan bergoyang erotis dan kerap mendapat pelecehan dari penonton laki-laki. Mulai dari saweran yang diselipkan di belahan dada hingga aksi meraba bagian tubuh si penyanyi perempuan saat si penonton laki-laki berjoget bersamanya di panggung. Emang harus banget ya seperti ini? Bagaimana dengan genre musik yang lain?
Sayangnya di genre lain pun, sebagian penyanyi perempuan enggak luput dari eksploitasi, mulai secara ekonomi sampai seksual.
Apa memang mustahil bagi penyanyi perempuan untuk mendapatkan ruang aman untuk berkarya? Apa saja yang bisa kita lakukan agar ruang aman tersebut dapat terwujud?
Semua perusahaan berlomba-lomba membuat iklan yang menarik untuk menarik perhatian masyarakat agar produk mereka dikonsumsi dan meraup untung. Untuk membuat iklan, kita memang perlu mengetahui siapa target pasar kita. Nah, untuk meraih target pasar yang dituju, para pembuat iklan kerap kali terjebak dalam stereotip gender bahkan seksisme.
Masih banyak iklan yang melanggengkan stereotip negatif terutama untuk perempuan. Dalam iklan-iklan bumbu dapur, misalnya, skenario umumnya adalah penggambaran perempuan dengan peran ibu yang sedang sibuk memasak dan terkadang suaminya muncul setelah pulang kerja, kemudian mencicipi makanan dengan gembira.
Dalam iklan produk rumah, misalnya cairan pembersih, perempuan juga tampil lebih banyak, hanya lagi-lagi dengan peran ibu yang sedang mencuci atau menjemur pakaian. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut tentang isu ini, kamu dengarkan podcast FTW Media yang secara lengkap mengupas isu perempuan dalam periklanan.
Memang enggak ada perubahan sampai sekarang? Ada sih, tapi iklan-iklan yang menantang atau meruntuhkan stereotip gender negatif masih sangat sedikit. Contohnya di tataran global adalah ketika Gilette, perusahaan pembuat pisau cukur, mengeluarkan iklan dengan jargon “The Best Men Can Be”, menggantikan jargon sebelumnya, “The Best a Man Can Get”. Iklan baru tersebut menggambarkan tentang bullying dan toxic masculinity, dan bagaimana bahwa laki-laki bisa lebih baik dari itu. Iklan ini banyak mendapat pujian, meski ada cemoohan tentunya. Satu hal yang pasti, perusahaan bisa kok membuat iklan yang keren sekaligus juga memutus stereotip negatif gender dalam masyarakat.
Berikut ini beberapa hal yang perlu kamu ketahui tentang isu-isu terkait gender dalam periklanan.
1. Perempuan dalam Iklan dan Karakter Ibu yang Mendominasi
Skenario iklan bumbu dapur atau iklan produk pembersih rumah tangga sering kali menampilkan dengan karakter ibu yang tengah melakukan kerja domestik. Pun saat ada suami di rumah, biasanya sang suami cuma jadi tim hore saja, atau diperlihatkan sedang akan berangkat atau pulang kerja. Ini menguatkan peran gender normatif bahwa tugas-tugas rumah tangga hanya menjadi tugas seorang ibu.
Ketika pandemi COVID-19 menyebar di seluruh dunia dan mengubah hidup kita secara drastis, iklan pun juga memperlihatkan perubahan itu. Tapi, lihat saja dalam iklan sebuah susu untuk anak terkenal, di situ lagi-lagi ditampilkan sang ibu, yang menemani anak sekolah online. Lantas, di mana sang ayah?
Ini juga yang menjadi pertanyaan semua orang ketika melihat gambar legendaris di kotak biskuit Khong Guan yang cuma memperlihatkan ibu dan anak-anaknya.
2. Karakter Laki-laki Selalu Digambarkan Tidak Paham Soal Urusan Rumah
Mengenai peran ayah di skenario periklanan, sebuah episode podcast Indonesia FTW Media juga membahas hal ini bersama dengan Aliansi laki-laki Baru, sebuah gerakan laki-laki untuk mendukung kesetaraan gender. Fauzan dari komunitas tersebut mengatakan, walaupun sudah ada perempuan yang digambarkan sebagai perempuan pekerja, namun tetap saja skenario perempuan yang mengambil keputusan masih minim.
“Ini juga terjadi dengan peran laki-laki yang cuma digambarkan sebagai suami yang mencicipi masakan istrinya, atau bahkan nonton di saat istrinya lagi mencuci, ini sangat melanggengkan nilai-nilai patriarki dan sudah enggak relevan dengan masa kini,” ujarnya.
Menurut Fauzan, peran sosial itu tidak ditentukan dari jenis kelamin, tetapi kemampuan si manusia. Faktanya, baik laki-laki dan perempuan peran mereka dapat dipertukarkan sesuai dengan kebutuhannya.
“Saya merasa enggak terwakili dalam iklan-iklan yang berada di media, sebab ya skenario tersebut sudah enggak relevan dengan masa kini. Seharusnya penggambaran peran perempuan dan laki-laki sangat cair,” katanya.
3. Pembagian Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Lanskap Periklanan Indonesia
Sebetulnya, sudah banyak penelitian yang memotret isu perempuan dalam periklanan. Salah satunya dilakukan oleh Liestianingsih dari Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga. Dalam perbincangan dengan podcast FTW Media, Liestianingsih mengatakan bahwa secara keseluruhan, dari tahun ke tahun, periklanan tidak banyak perubahan.
“Kita bisa lihat di produk-produk kecantikan, sabun, produk dapur, itu masih didominasi oleh peran perempuan, perempuan pun bukan perempuan pekerja, tapi ibu rumah tangga. Jadi masih tidak banyak berubah,” kata Liestianingsih.
Ia menambahkan, jika produk tersebut ditujukan kepada target pasar laki-laki, skenarionya banyak berputar di peran laki-laki ranah profesional di ranah publik.
Temuan lain dari Liestianingsih adalah, untuk produk sabun kewanitaan, perempuan masih tetap digambarkan di posisi submisif dengan tugas memuaskan suami secara seksual.
Periklanan juga menguatkan standar kecantikan normatif dan toksik dalam masyarakat. Ini berakibat buruk terutama pada anak dan remaja perempuan. Lebih lengkap tentang hal ini dapat disimak di podcast FTW Media episode (Un)filter Me.
Iklan-iklan produk perawatan kulit dan kecantikan masih menampilkan standar kecantikan warisan kolonial. Misalnya, bagaimana pernyataan “aku ingin cantik natural” dalam iklan-iklan itu adalah agar kulit cerah dan lebih putih. Iklan-iklan produk pemutih kulit ini yang masih marak juga tidak menghormati keragaman kulit perempuan, dan dengan jahatnya menyatakan dengan implisit bahwa “kamu tidak akan dicintai kalau kulitmu tidak putih.”
5. Iklan-iklan Keren yang Tampilkan Kesetaraan Gender
Kabar baiknya, sedikit-sedikit ada iklan yang muncul dan sedikit membongkar stereotip gender. Salah satunya iklan ABC tentang kampanye suami sejati. Iklan tersebut pada intinya mengajak para suami untuk lebih banyak terlibat di dapur.
Kampanye ini didasari penelitian Hakuhodo Institute of Life and Living ASEAN (HILL ASEAN) tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 75 persen pekerjaan rumah tangga dibagi antara suami dan istri. Namun untuk urusan memasak, hanya 3 dari 10 suami saja yang membantu istri di dapur.
Salah satu ilmuwan perempuan yang ikut andil dalam penanganan pandemi virus Covid-19 di Indonesia adalah Herawati Sudoyo, Wakil Kepala Lembaga Eijkman untuk Bidang Penelitian Fundamental. Sejak awal pandemi, keberadaannya di deretan Tim Pakar Medis Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menjadi sangat penting. Namun, dalam mencapai posisinya saat ini, Herawati mengalami banyak tantangan menjadi seorang ilmuwan perempuan.
Dalam sebuah podcast IndonesiaHow Women Lead, Herawati menceritakan perjalanannya menjadi seorang ilmuwan perempuan dan bagaimana ia berkecimpung dalam keilmuan biologi molekuler yang saat itu terbilang bidang baru.
Sebetulnya, sejak kecil Herawati Herawati memang menyukai dunia sains, tapi ia sebetulnya lebih menyukai bidang arsitektur dan desain interior. Namun, ia kemudian didorong keluarga untuk lebih memilih bidang medis dan Herawati akhirnya berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setelah mendapat gelar dokter, Herawati, yang saat itu bekerja di bagian biologi, Fakultas Kedokteran UI, merasa perlu melanjutkan studinya di dunia pendidikan. Ketika ia menempuh studi doktoral di Departemen Biochemistry Monash University pada 1990, untuk pertama kalinya ia jatuh hati dengan cabang ilmu baru yaitu biologi molekuler.
Biologi molekuler adalah cabang ilmu yang mempelajari keunikan makhluk hidup melalui bagian paling kecil, yaitu DNA dan RNA. Saat mempelajari ilmu ini, Herawati merasa benar-benar dibentuk dan berkembang secara optimal, dan ia merasa ini lah jalan untuknya.Namun, ketika menekuni keilmuan baru ini, ada tantangan yang dihadapi oleh Herawati.
“Bekerja di bidang yang baru ini membuat saya tidak memiliki panutan. Pada saat itu, orang banyak yang menganggap penelitian itu enggak penting,” ujar Herawati dalam wawancara bersama How Women Lead.
Ilmuwan Perempuan Herawati Sudoyo Berjasa dalam Identifikasi Tersangka Bom Bunuh Diri Kedubes Australia
Salah satu pencapaian terbesar Herawati adalah ketika ia berhasil mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri di depan Kedubes Australia pada 2004. Pada saat itu, Kepolisian Republik Indonesia ditantang untuk mengidentifikasi secara cepat siapa pelaku di balik bom bunuh diri ini.
Tragedi itu menewaskan 10 korban dan melukai lebih dari 180 orang. Pelaku bom bunuh diri tersebut menggunakan mobil boks untuk mengangkut bom. Mobil tersebut hancur total dan tidak ada bagian badan yang memungkinkan untuk diidentifikasi menggunakan metode konvensional seperti sidik jari, gigi, hingga pengenalan wajah.
Karenanya, identifikasi DNA-lah jawabannya. DNA merupakan singkatan dari deoxyribonucleic acid, sebuah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti berisi tentang informasi-informasi dari orang tua.
Setelah metode ditentukan, untuk membedakan mana pelaku dan korban, tim identifikasi mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan bagian-bagian kecil dari tubuh dengan basis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi keberadaan pelaku. Pelaku yang pasti dekat dengan bom, serpihan tubuhnya akan terlontar lebih jauh daripada korban.
Teknik yang dikembangkan oleh tim Herawati dengan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) ternyata terbukti ampuh. Jaringan tubuh dari tempat-tempat jauh memiliki profil yang sama dengan profil DNA keluarga yang dicurigai. Dalam waktu kurang dari dua minggu, tim Eijkman dan Polri berhasil mengidentifikasi pelaku.
Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Herawati mengatakan, tantangan lain yang ia hadapi adalah bagaimana ia bekerja dan meraih gelar doktornya sembari tetap mengurus anak. Ketika bersekolah di Australia, ia harus membawa kedua anaknya ke kampus. Saat itu ia mengambil gelar doktor di satu lab yang pada saat itu merupakan salah satu empat lab di dunia yang mengerjakan topik doktoralnya.
“Saat itu yang saya rasakan benar-benar sangat kompetitif. Kita diminta untuk benar-benar berkonsentrasi pada pekerjaan. Tetapi di saat yang sama saya pun perlu mengurus anak. Kita harus belajar sendiri bagaimana berbagi konsentrasi pada pekerjaan kita. Saya menjalankan itu selama empat tahun,” ujar Herawati
Herawati “Kantor Perlu Dukung Ilmuwan Perempuan untuk Berkarier”
Dari pengalamannya itu, Herawati banyak sekali mendapat pengalaman dan bagaimana ia harus bersikap dalam memimpin anak buahnya. Ia paham bagaimana perjuangan-perjuangan ilmuwan perempuan untuk meraih posisinya dan terus berkarier.
Ketika pertama kali memulai karier, banyak ilmuwan perempuan yang ia kenal mengundurkan diri dan memilih untuk mengurus keluarga. Hal ini menurutnya dapat diatasi dengan adanya dukungan dari kantor tempat ilmuwan tersebut bekerja.
“Ilmuwan perempuan harus di dukung dari luar serta dari dalam, yaitu keluarganya sendiri. Kalau itu tidak dilakukan, akan sangat sulit bagi dia. Sebab di dalam dunia yang masih konservatif ini, walaupun perempuan memiliki karier tinggi ya tetap harus ingat tempatnya. Itu kata-kata yang dipakai untuk saya,” kata Herawati.
Gaya kepemimpinan yang secara umum dianggap baik adalah gaya kepemimpinan maskulin dan tegas. Hal ini juga karena posisi-posisi kepemimpinan masih diisi sebagian besar oleh laki-laki dengan gaya maskulin, sehingga kepercayaan umum adalah bahwa kepemimpinan yang tegas dan maskulin itu lebih efektif. Padahal pandangan semacam itu terbukti keliru. Salah satu podcast Indonesia berjudul How Women Lead memberikan pemaparan panjang soal ini.
Dalam masyarakat, gaya kepemimpinan maskulin lebih akrab ditemui sehari-hari, padahal belum tentu lebih efektif dalam memimpin sebuah perusahaan, komunitas, atau gerakan.
Berbeda dari kepemimpinan maskulin seperti yang kita lihat dari beberapa pemimpin dunia saat ini, kepemimpinan feminin memiliki ciri membangun penilaian diri perempuan untuk memperkokoh kepemimpinannya, serta membekali mereka dengan kemampuan, sumber daya, dan akses sehingga mereka dapat membuat sebuah perubahan untuk komunitasnya.
Selain itu, kepemimpinan feminin lebih berfokus pada redistribusi kekuasaan serta tanggung jawab. Tujuan lain dari gaya kepemimpinan ini alih-alih berfokus pada kompetisi, ia lebih mengutamakan kerja sama dan membangun relasi, sehingga terbentuklah tim yang solid.
Gaya kepemimpinan feminin terbukti lebih efektif karena memiliki spektrum yang patut diseimbangkan. Sebagai seorang pemimpin yang baik, tentu saja dalam memimpin tidak boleh hanya terpatok dengan satu gaya saja. Seorang pemimpin perlu menyeimbangkan antara gaya feminin serta maskulinnya.
Di kehidupan nyata, sudah banyak sekali contoh-contoh kasus kegagalan sebuah perusahaan, komunitas, bahkan satu negara akibat gaya kepemimpinan super maskulin. Contoh paling baru bisa kita lihat bagaimana kegagalan Amerika Serikat dan Brasil menangani pandemi COVID-19 ketika awal-awal virus tersebut menyebar. Nah sebelum ini, sebetulnya ada contoh nyata banget ini bagaimana kepemimpinan macho atau maskulin menghancurkan sebuah negara, yakni di Islandia.
Pada 2008, ketika seluruh dunia mengalami krisis ekonomi, Islandia menjadi salah satu negara yang paling terimbas krisis tersebut. Nilai tukar mata uang melemah, angka pengangguran melonjak, bahkan pasar sahamnya karam. Lebih parah lagi, tiga bank utama di negara tersebut, Kaupthing, Glitnir dan Landsbankinn dibiarkan gagal.
Dalam situasi yang sangat genting itu, ada satu perusahaan investasi yang tidak terkena imbas krisis keuangan besar itu, yakni Audur Capital. Padahal perusahaan ini baru saja setahun berdiri, dibentuk oleh dua orang perempuan, Halla Tómasdóttir dan Kristín Pétursdóttir.
Ada empat kunci keberhasilan dari perusahaan tersebut dalam melewati krisis itu. Dalam Ted Talk di London, Tomasdottir menyampaikan bahwa pertama, kita harus menyadari risiko. Tomasdottir melihat ada perbedaan antara menghindari risiko, tidak mau mengambil risiko, dan menyadari risiko yang akan dihadapi, yang berarti tidak ingin mengambil risiko yang belum sepenuhnya dipahami.
Kedua, komunikasi publik yang baik. Tomasdottir mengatakan para pemimpin harus berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat soal aspek bagus dan aspek buruk dalam mengambil keputusan dan hasilnya. Hal ini penting dilakukan agar selamat dari krisis.
Ketiga, kita boleh memikirkan laba tapi tetap berpegang pada prinsip keberlanjutan. Tomasdottir mengatakan, buat apa mendapat laba tetapi merugikan kondisi sosial serta lingkungan. Ia juga mengatakan bahwa kita perlu melihat jangka panjang dan definisi laba yang lebih luas.
Prinsip yang terakhir adalah modal emosional, yakni memotivasi, mendukung, dan berhubungan dengan orang-orang yang dia investasikan. Seperti yang ia katakan, “Ketika Anda hanya menginvestasikan uang, tidak banyak yang terjadi.”
Nilai-nilai yang disebutkan oleh Tomasdottir ini termasuk ke dalam gaya kepemimpinan feminin.
Dalam salah satu episode podcast Indonesia yang berjudul “Bye Kepemimpinan Macho!” salah satu narasumbernya yaitu dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, memaparkan mengapa kepemimpinan super maskulin masih saja dianut padahal jelas-jelas sudah terbukti banyak gagal.
Saras menjelaskan bahwa masyarakat dalam memahami ekonomi, politik,serta budaya lebih mengarah pada perlombaan untuk berkompetisi, menguasai satu di atas lainnya. Padahal seharusnya, alih-alih berkompetisi, kita perlu meniru cara kerja siklus yang mengandung kerja sama, saling menguntungkan, dan saling menciptakan kehidupan yang seimbang serta selaras.
Saras mencontohkan beberapa perjuangan perempuan Indonesia di basis akar rumput seperti perjuangan ibu-ibu Kendeng, dan gerakan menenun yang dilakukan Mama Aleta Baun.
Dalam sejarahnya, perjuangan yang dilakukan oleh perempuan memang dua kali lebih keras dari laki-laki dalam meraih posisi di dalam mengambil keputusan. Tidak hanya soal status pendidikan, lingkar keluarga, dan lain-lain, perempuan pun juga harus berjuang melawan segala macam prasangka bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk memimpin.