Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso, Sosok Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Maria Ulfah Santoso adalah salah satu contoh bagaimana feminisme itu sudah ada di Indonesia sejak Indonesia belum terbentuk, alih-alih sebuah produk impor dari Barat sebagaimana diyakin banyak pihak. Aktivis hak perempuan dan politisi itu memiliki buah pikiran penting bagi perempuan dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ia pintar dan kritis serta berdaya juang tinggi, berkontribusi besar pada pergerakan nasional.

Lahir pada 18 Agustus 1911 di Serang, Banten, Maria yang bernama lengkap Hajjah Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo itu merupakan perempuan Indonesia pertama yang memiliki gelar bidang hukum, sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi anggota kabinet.

Baca Juga: Ongkos Politik Tinggi, Proses Pemilihan Elitis Hambat Perempuan Jadi Wakil Rakyat

Berlawanan dengan keinginan sang ayah, R.A.A. M. Achmad, seorang bupati Kuningan yang berada, Maria Ulfah tidak mengambil pendidikan dokter. Ia lebih memilih ilmu hukum karena khawatir melihat nasib kurang baik perempuan saat menghadapi perceraian.

Saat Maria Ulfah Santoso bersama keluarganya berkunjung ke Belanda pada tahun 1920-an, ia memutuskan untuk masuk ke Fakultas Hukum Universitas Leiden. Saat berkuliah Maria tinggal di rumah keluarga Belanda dan menetap bersama Siti Soendari, yang merupakan adik bungsu Soetomo, dokter dan kemudian menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

Empat tahun berlalu, Maria Ulfah Santoso berhasil menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil mendapatkan gelar meester in de rechten (Mr) atau sarjana hukum. Ia lulus di usianya 22 tahun dan langsung kembali ke Indonesia. Pernah bekerja di wilayah Cirebon sebagai pegawai honorer dan dikontrak selama enam bulan di Cirebon.

Sosok Maria Ulfah yang Belajar dari Sjahrir

Maria Ulfah pertama kali bertemu dengan Sutan Sjahrir di Belanda pada tahun 1930. Waktu itu, Maria diundang oleh dokter Djoehana yang merupakan saudara dari Sjahrir.

Baca Juga: Meski Ada Budaya Matrilineal, Jumlah Perempuan Masuk Politik di Sumbar Masih Rendah

Meski kontak mereka hanya sebentar karena Sjahrir harus kembali ke Indonesia lebih dahulu tugas dari Bung Hatta, Maria Ulfah mendapat pelajaran banyak dari Sjahrir. Setelah Maria kembali ke tanah air pada tahun 1933, ia dan Sjahrir tidak bisa langsung bertemu karena Sjahrir ditangkap Belanda dan dimasukkan ke penjara Cipinang.

Kontribusi Maria Ulfah Santoso

Maria Ulfah Santoso memiliki jasa besar bagi pergerakan nasional. Pada tahun 1934, ia mulai bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Muhammadiyah dan Pergerakan Rakyat. Ia juga sangat giat membangun kursus untuk menghilangkan tingkat buta huruf di kalangan ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.

Kontribusinya buat berjuang mendapatkan hak kaum perempuan dimulai saat ia ikut Konferensi Perempuan Indonesia II tahun 1935 di Jakarta, yang waktu itu masih bernama Batavia. Setelah konferensi tersebut, Maria Ulfa Santoso diminta memimpin Biro Konsultasi yang membawahi isu perkawinan, terutama membantu perempuan-perempuan yang memiliki masalah dalam perkawinannya. 

Peran Ulfah pada Zaman Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang, Maria Ulfah memutuskan untuk bekerja di Departemen Kehakiman atau shikoku.

Baca Juga: Politik Afirmasi dan Permasalahannya Bagi Perempuan

Pada saat itu, Maria Ulfah masuk ke dalam Majelis Pertimbangan yang dibuat oleh tentara Jepang pada tanggal 16 April 1943 dan dikepalai oleh empat Serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh Hatta, Kyai Haji Mas Mansyur, serta Ki Hajar Dewantara.

Maria Ulfah juga diminta oleh Prof. Soepomo untuk bekerja di Departemen Kehakiman dari 1942 sampai dengan 1945. Maria Ulfah bertugas untuk menerjemahkan undang-undang serta peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris.

Waktu itu, semua kegiatan masyarakat berfokus untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Tercatat juga kaum perempuan terlibat dalam organisasi Fujinkai. Fujinkai dibuat pada Agustus 1943 dan berkiprah di seluruh bidang sosial yang menyokong Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Kiprah Maria Ulfah Santoso Menjelang Proklamasi

Saat menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia, Maria Ulfa Santoso bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan sukses memasukkan Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian.

Baca Juga: 5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

BPUPKI merupakan kumpulan dari orang-orang yang memberikan gagasan mengenai pembentukan negara Republik Indonesia. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, keadaan berubah dengan munculnya pasukan sekutu yang bertugas untuk melakukan komunikasi dengan Pemerintah Indonesia yang sudah terbentuk pada 18/8/1945.

Namun, menurut kelompok pimpinan Soekarno serta Moh Hatta merupakan figur bentukan Jepang hingga tidak mau berdiskusi dengan mereka.

Setelah Indonesia merdeka dan para pemimpin giat membenahi pemerintahan, Sutan Sjahrir menunjuk Maria Ulfah Santoso menjadi “liaision officer“, yang merupakan penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia dengan Sekutu.

Baca Juga: Dewi Sartika, Pahlawan Nasional yang Suarakan Isu Buruh Perempuan

Maria Ulfah sampai pada puncak karier berpolitik di Indonesia saat Sutan Sjahrir memilihnya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II dan III. Waktu ia menjabat sebagai menteri sosial itulah Maria mengeluarkan Maklumat Kementerian Sosial mengenai Hari Buruh.

Pada tanggal 19 Agustus 1947 sampai dengan September 1962, ia menjadi Sekretaris Perdana Menteri dan Sekretaris Dewan Menteri yang selanjutnya jabatan tersebut diubah menjadi Direktur Kabinet RI.

Dari tahun 1950 sampai dengan 1961 Maria Ulfah Santoso mengemban jabatan sebagai Ketua Sekretariat Kongres Wanita Indonesia.

Dedikasi dan perjuangannya dalam memenuhi hak-hak kaum perempuan, apalagi dalam hukum keluarga dan perkawinan yang diwujudkan pada waktu Pemerintah RI mengesahkan UU No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2/01/1974.

Maria Ulfah Santoso juga merupakan tokoh dan pahlawan perempuan Indonesia yang melawan poligami. Ia selalu mendorong perempuan untuk lebih maju dan berani berekspresi dalam mengeluarkan idenya dan pandangan kebangsaan yang lebih luas.

Read More
Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

5 Pahlawan Perempuan Indonesia yang Perjuangkan Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia tidak serta-merta lahir hanya dari jerih payah para laki-laki saja, namun terdapat andil pahlawan perempuan juga di dalamnya. Sejak dahulu, perempuan juga sudah banyak berperan dalam berbagai gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajahan Belanda. Mereka dengan berani serta gigih berjuang di garis terdepan dan membantu dengan segala cara mereka.

Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

Pahlawan Perempuan Berjuang di Berbagai Daerah

Dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali patriot-patriot perempuan yang siap berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda serta Jepang. Tidak hanya di garis depan memegang senjata, mereka juga pandai mengatur strategi serta membantu menyuplai perbekalan para tentara yang berjuang di medan perang.

Walaupun dahulu mereka tidak mengenal istilah feminisme dan kesetaraan gender, para perempuan ini hanya memiliki satu tujuan yaitu merdeka. Mau laki-laki atau pun perempuan, mereka bekerja sama agar cita-cita untuk merdeka tercapai. Sebagai generasi penerus bangsa, kita perempuan juga perlu banyak belajar dari cerita-cerita para pahlawan perempuan Indonesia. Maka dari itu, berikut ini beberapa nama pahlawan perempuan beserta keahlian mereka, yang perlu kamu ketahui. 

1. Panglima perang perempuan pertama Laksamana Malahayati

nama pahlawan perempuan indonesia Laksamana Malahayati

Siapa sangka Indonesia memiliki seorang laksamana perempuan. Ia bernama Keumalahayati, atau lebih dikenal sebagai Laksamana Hayati. Ia seorang alumni Akademi Ketentaraan Kesultanan Aceh Darussalam Ma’had Biatul Makdis, yang dilatih oleh instruktur perang dari Turki.

Baca Juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Laksamana Hayati merupakan perempuan panglima perang pertama di Nusantara. Saat itu, sebelum kolonialisme masuk ke Indonesia, prajurit perempuan merupakan hal yang biasa dimiliki oleh kerajaan.

Ketika suaminya, Laksamana Zainal Abidin, meninggal dalam perang melawan Portugis di Teluk Haru, Malahayati mengusulkan kepada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari janda prajurit Aceh yang gugur dalam perang.

Ia pun diangkat menjadi pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat Laksamana.

Laksamana Malahayati bersama dengan pasukannya pun berhasil memukul mundur Belanda pada 1559 dan menyebabkan tewasnya salah satu pemimpinnya, Cornelis De Houtman.

2. Jeane D’Arc asal Indonesia Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah remaja perempuan berusia 17 tahun yang melawan penjajahan Belanda di daerah Maluku. Christina lahir pada 4 Januari 1800 sebagai anak pertama dari Kapitan Paulus Tiahahu, seorang pemimpin tentara rakyat Maluku. Ia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan sang ayah mewariskan keahlian berperang dan menggunakan tombak pada Christina.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Pengusaha Perempuan Pantang Menyerah

Dengan berani, Martha mendampingi sang ayah memimpin pasukan di Pulau Nusalaut, Saparua. Ia juga turut andil dalam membakar semangat para perempuan Maluku lainnya untuk angkat senjata ddalami perang ini. Walaupun sempat menjatuhkan Benteng Duurstede bersama dengan kepemimpinan Pattimura, bagaimanapun juga laskar rakyat Maluku tetap kalah jumlah.

Ayah Martha ditangkap lalu dijatuhi hukuman mati. Nasib Martha sendiri awalnya dibebaskan namun, kembali ditangkap  lalu dipekerjakan paksa sebagai budak di Pulau Jawa. Dalam perjalanan di kapal, kondisi kesehatan Martha memburuk dan ia menolak untuk diobati dan makan. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1818.

3. Cut Meutia

pahlawan perempuan indonesia cut meutia

Lahir di Keureutoe, Pirak Timur, Aceh Utara pada 15 Februari 1870, Cut Meutia adalah salah satu Pahlawan Nasional asal Aceh. Perlawanan Cut Meutia melawan penjajahan Belanda berawal dari membantu sang suami Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Sebelum meninggal dunia, Tjik Tunong memberikan wasiat pada teman dekatnya, Pang Nangroe agar bersedia menikahi istrinya dan merawat anak mereka.

Cut Meutia akhirnya menikah dengan Pang Naggroe dan kembali berjuang di medan perang. Pang Nanggroe gugur pada 26 September 1910. Setelah itu Cut Meutia kembali melanjutkan perjuangan bersama dengan pasukan yang tersisa. Ia berhasil menyerang dan merampas pos-pos Belanda sambil bergerak maju melalui hutan belantara. Pada 24 Oktober 1910, Cut Meutia akhirnya gugur dalam bentrokan di Alue Kurieng.

4. Pahlawan perempuan ahli strategi Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang lahir pada tahun 1762. Ia merupakan keturunan Sunan Kalijaga yang mendapat wilayah di Serang.  Sejak ia kecil, Nyi Ageng Serang menyukai latihan bela diri serta strategi perang. Ia menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam tiap serangan dalam Perang Jawa. Perang ini merupakan perang yang paling berpengaruh dalam membuat VOC atau kongsi dagang Belanda bangkrut.

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

Biang keladinya? Tentu saja Nyi Ageng Serang dan pasukannya, Semut Ireng. Taktik gerilya yang berhasil memorak-porandakan pasukan VOC menjadi salah satu inspirasi Jenderal Sudirman dan digunakan pada perang revolusi.

Nyi Ageng Serang juga dikenal dengan kesaktiannya dengan memberikan azimat lempeng logam yang dibalut ayat-ayat Al-Qur’an (rajah), dan banyak orang berguru padanya untuk mendapatkan ilmu strategi perang dan hal spiritual.

5. Erna Djajadiningrat

pahlawan perempuan indonesia Erna Djajadiningrat

Perjuangan memerdekakan Indonesia tidak bakal berjalan mulus kalau tidak ada bantuan logistik untuk para prajurit. Hal ini tidak akan berhasil tanpa bantuan pasokan makanan dari Erna Djajadiningrat, seorang pahlawan perempuan dari Jawa Barat, bersama dengan organisasi Wani (Wanita Indonesia) yang didirikan pada 1945 bersama dengan Maria Ulfah beserta Suwarni Pringgodigdo.

Ia merupakan keturunan bangsawan Serang, Jawa Barat, dan di masa kemerdekaan ia membantu di bagian dapur umum untuk memasok logistik untuk para prajurit di garis depan. Dapur umum Wani bertugas untuk memasok nasi bungkus  untuk beratus-ratus prajurit badan keamanan rakyat. Ketika rumahnya ditembaki tentara Belanda, NICA, ia tidak panik, malah sangat tenang sampai-sampai ia dijuluki sebagai si nona keras kepala.

Ketika Belanda mencium gelagat bahwa organisasi Wani membantu menyuplai Logistik untuk garis depan, Belanda pun melarang kegiatan mereka. Tidak tinggal diam, Erna mengubah nama Wani menjadi PSKP (Panitia Sosial Korban Politik) dan tetap melakukan kegiatan dapur. Tidak hanya itu PSKP juga menangani pembebasan para pejuang yang ditahan Belanda.

Read More
Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

6 Pahlawan Perempuan Indonesia Beserta Asalnya yang Perlu Kamu Ketahui

Kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan perempuan dapat terwujud berkat para perempuan hebat di masa-masanya. Terlepas dari norma-norma masyarakat yang membuat perempuan susah untuk mendapatkan pendidikan dan berdikari, banyak pahlawan perempuan yang sangat berjasa dalam kemajuan kaum perempuan.

Pahlawan Perempuan dari Berbagai Daerah Indonesia

Sering kali kita hanya berfokus pada daerah Jawa dalam konteks perjuangan para pahlawan perempuan Indonesia. Padahal, banyak sekali pahlawan-pahlawan perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan kaum perempuan di daerah mereka. Berikut ini beberapa pahlawan perempuan ini perlu kamu ketahui cerita dan juga asalnya.

1. Andi Depu Pahlawan Perempuan asal Mandar, Sulawesi Barat

Andi Depu

Andi Depu lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perempuan yang bernama lengkap Andi Depu Maraddia Balanipa ini sempat merasakan bangku pendidikan hingga tingkat Volkschool (Sekolah Rakyat). Pada tahun 1939, ia diangkat menjadi Raja Balanipa ke-52 dan hal ini mempertegas posisinya untuk melawan Belanda.

Baca Juga: 6 Perempuan Muslim yang Sukses Mendobrak Bidang STEM

Ia tidak lama duduk dalam tampuk kekuasaan karena memilih untuk berjuang bersama rakyat di luar istana. Dengan berani serta gigih, Andi Depu berhasil mempertahankan daerahnya dari serangan Belanda.

Aksinya yang paling diingat adalah ketika ia berani menaikkan bendera merah putih di depan istananya, meskipun Belanda sudah mengancam dan mengepungnya sedemikian rupa pada 28 Oktober 1945

2. Ruhana Kudus Pahlawan asal Koto Gadang, Sumatra Barat

Ruhana Kudus

Lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, Ruhana Kudus adalah wartawan perempuan Indonesia dan aktif dalam dunia pendidikan. Ruhana giat menulis dalam surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Saat Belanda membredel media tersebut, Ruhana turut mendirikan surat kabar bernama Sunting Melayu, yang juga tercatat sebagai  koran perempuan pertama di Indonesia.

Meskipun ia tidak bisa mendapatkan pendidikan secara formal, Ruhana belajar dengan tekun dari ayahnya yang rajin membawakan bahan bacaan dari kantor. Semangatnya yang tinggi untuk belajar hal-hal baru membuat Ruhana mudah menyerap segala pelajaran. Ia belajar membaca, menulis, lalu bahasa Belanda hingga aksara Arab. Ketika mengikuti ayahnya dinas ke Alahan Panjang, Ruhana  bertetangga dengan seorang pejabat Belanda, yang istrinya mengajari Ruhana segala bentuk kerajinan tangan.

Dengan hal-hal yang ia pelajari itu, Ruhana pun kembali ke kota asalnya dan mendirikan sebuah sekolah bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini mengajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, serta mengelola keuangan, baca tulis, hingga bahasa Belanda. Saat itu masih banyak yang menentang keberadaan sekolah ini, namun Ruhana tetap tegar dan terus berjuang untuk kemajuan para perempuan.

3. Dewi Sartika Pahlawan Perempuan asal Jawa Barat

Dewi Sartika pahlawan perempuan asal Jawa Barat

Ia lahir di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Saat masih anak-anak,  Dewi Sartika suka bermain peran sebagai guru dengan teman-temannya. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika tinggal bersama pamannya, dan mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman. 

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi

Pada tahun 1904, Dewi Sartika mendirikan sebuah sekolah bernama Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah itu kemudian dipindahkan ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Kaoetaman Istri pada 1910. Sekolahnya semakin berkembang dan di tahun 1912, ia sudah memiliki sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 1920, lembaga ini berkembang menjadi satu sekolah di setiap kota dan kabupaten. Sembilan tahun kemudian, sekolah tersebut berubah nama menjadi Sekolah Raden Dewi.

4. Maria Walanda Maramis pahlawan perempuan asal Minahasa, Sulawesi Utara

Pahlawan perempuan Maria Walanda Maramis

Perempuan bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis ini lahir di Kema, Minahasa Utara pada 1 Desember 1872. Setiap 1 Desember, orang-orang Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis yang dikenal sebagai tokoh pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemajuan perempuan.

Ketika ia pindah ke Manado, Maria mulai aktif mengirimkan artikel opini ke surat kabar lokal bernama Tjahaja Siang. Dalam opininya, ia sangat vokal menyuarakan pentingnya peran ibu dalam keluarga dalam menjaga kesehatan keluarga serta pendidikan anak-anak.

Maria menyadari, saat itu perempuan-perempuan muda butuh sekali pendidikan untuk menjalani peranan mereka sebagai pengasuh keluarga. Ia pun mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada 8 Juli 1917, untuk mendidik kaum perempuan yang tamat sekolah dasar.

Selain mengadvokasi pendidikan untuk perempuan, Maria juga mendorong agar perempuan mendapatkan hak suara dalam memilih wakil rakyat untuk sebuah badan perwakilan di Minahasa bernama Minahasa Raad. Saat itu, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk memilih dan menjadi anggota, sehingga Maria mengupayakan agar ada perempuan yang masuk ke dalam badan tersebut. Usahanya pun berbuah hasil di tahun 1921, saat keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad.

5. Rasuna Said pahlawan asal Daerah Maninjau, Sumatra Barat

Rasuna Said

Setelah menamatkan pendidikan SD, Rasuna dikirim ayahnya ke sebuah pesantren bernama Ar-Rasyidiyah, yang merupakan satu-satunya santri perempuan. Setelah itu Rasuna kembali melanjutkan  pendidikannya di Diniyah (SMA) Putri dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan pendidikan Islam, Thawalib.

Rasuna Said dikenal sebagai salah satu nama pahlawan perempuan Indonesia yang sangat memperhatikan kemajuan kelompok perempuan dalam hal pendidikan dan politik. Ia pernah menjadi guru di Diniyah Putri, namun ketika ia ingin memasukkan pendidikan politik di sekolah tersebut, idenya ditolak. Setelah ia tidak lagi menjadi guru, Rasuna sangat aktif  menulis di media. 

Pada 1935, Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Tulisan-tulisannya dikenal tajam dan membuat Belanda geram.  Rasuna juga pernah mendirikan sebuah majalah mingguan di Sumatra Utara, Menara Poetri, dan menyebarluaskan gagasan-gagasannya serta isu-isu perempuan.

Sesudah Indonesia merdeka, Rasuna Said aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Ia juga menduduki kursi Dewan Perwakilan dan mewakili daerah Sumatra Barat. Rasuna kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rayat RI dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga ia wafat.

6. Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan asal Yogyakarta

Lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1872, Siti Walidah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan merupakan anak dari Kyai Haji Muhammad Fadli, ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Ia bersekolah di rumah serta diajarkan beragam aspek soal Islam termasuk bahasa Arab dan Al Quran.

Ia menikah dengan Ahmad Dahlan yang juga merupakan sepupunya. Ketika itu, Ahmad Dahlan sedang sibuk-sibuknya mengembangkan Muhammadiyah. Namun karena beberapa pemikiran Ahmad Dahlan dianggap radikal, pasangan ini kerap mendapatkan ancaman dari kelompok Islam lain.

Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan

Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pendidikan Sopo Tresno. Ia beserta suaminya bergantian mengajarkan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikan maknanya. Menariknya, Nyai Ahmad Dahlan lebih berfokus pada ayat-ayat yang berhubungan dengan isu perempuan.

Sopo Tresno kemudian diresmikan dan berganti nama menjadi Aisyiyah. Melalui organisasi ini, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah perempuan, dan ia pun berkhotbah menentang kawin paksa. Nyai Ahmad Dahlan juga berpendapat bahwa istri adalah mitra suami dan menentang budaya patriarki.

Read More
tokoh perempuan dalam proklamasi

7 Tokoh Perempuan yang Berperan dalam Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Hari bersejarah itu diselenggarakan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. 

Sebelumnya, sudah ada rangkaian peristiwa yang mendorong Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

Pada 14 Agustus 1945, golongan muda seperti Sutan Syahrir, Wikana, dan Darwis mendengar dari Radio BBC bahwa Jepang telah menyerah kepada pihak Sekutu. Hal ini mendorong mereka mendesak Presiden Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, para senior ini menolak untuk melakukannya secara terburu-buru.

Baca Juga: Tokoh Perempuan Disney Masih Terjebak Stereotip Negatif Perempuan Pemimpin

Pada tanggal 16 Agustus malam hari, Soekarno dan Mochammad Hatta dibawa oleh golongan muda ke Rengasdengklok agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang, dan meyakinkan kedua tokoh tersebut agar tetap memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Peran Tokoh Perempuan dalam Proklamasi Kemerdekaan

Akhirnya setelah diskusi tersebut, di Jakarta, Wikana dan Achmad Soebardjo melakukan perundingan dan menelurkan kesepakatan bahwa proklamasi akan dilangsungkan di Jakarta. Setelah itu, Soekarno dan Hatta pun dibawa kembali ke ibu kota, ke rumah Laksamana Muda Maeda sebagai tempat rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Setelah melalui perundingan, malam itu teks proklamasi pun dirumuskan di rumah Laksamana Muda Maeda. Terlepas dari jasa para tokoh-tokoh ini, proklamasi kemerdekaan tidak akan berjalan dengan lancar tanpa bantuan dari tokoh-tokoh perempuan yang turut andil dalam hal ini. Ada yang menjadi anggota pengibar bendera, ada juga yang menjadi anggota pengamanan pada hari itu, serta Ibu Negara Fatmawati yang berjasa menjahit Bendera Pusaka Merah Putih dan menyediakan makanan untuk warga yang datang pada acara tersebut.

Berikut ini beberapa peran tokoh perempuan yang turut andil dalam pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

1. Fatmawati, Ibu Negara Pertama

Fatmawati merupakan Ibu Negara pertama yang memiliki andil besar dalam penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Lahir di Bengkulu,  5 Februari 1923, Fatmawati merupakan tokoh perempuan yang menjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta.

Baca Juga: 4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Barat adalah Tokoh Feminisme

Tidak hanya menjahit bendera saja, Fatmawati juga membuka dapur umum di rumahnya untuk menyuplai makan pagi untuk rakyat yang hadir dalam acara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

2. Oetari Soetarti

Oetari merupakan mahasiswi Ika Daigaku (sekolah kedokteran pada zaman Jepang) yang turut datang menyaksikan detik-detik Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Ia bertugas sebagai salah satu anggota pos Palang Merah Indonesia (PMI) di Bidara Cina. Oetari kemudian menikah dengan seorang teman kampusnya Cr. Suwardjono Surjaningrat, yang kemudian menjadi Menteri Kesehatan era Soeharto pada periode 1978-1988.

3. Retnosedjati

Retnosedjati juga salah satu mahasiswi Ika Daigaku yang hadir dalam detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia lahir di Den Haag, Belanda pada 29 Maret 1924. Dia menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) di bawah Prof. Soetojo setelah Indonesia merdeka. Sebelumnya, pada perang kemerdekaan Indonesia, ia sudah menjadi anggota PMI dan bertugas mengurus obat-obatan untuk prajurit di Solo, Yogyakarta, serta Klaten.

4. Tokoh Perempuan yang Bertugas dalam Penaikan Bendera Pusaka: Yuliari Markoem

Yuliari Markoem merupakan salah satu tokoh mahasiswi yang bertugas dalam penaikan Bendera Pusaka. Ia merupakan mahasiswa Ika Daigaku yang juga turut andil membantu dalam Perang Kemerdekaan sebagai penghubung dalam kegiatan pengiriman kebutuhan medis di daerah-daerah gerilya.

5. Gonowati Djaka Sutadiwiria

Gonowati merupakan perempuan asal Semarang yang juga turut andil dalam penyelenggaraan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945. Ia bertugas sebagai anggota pengamanan pada saat itu. Gonowati merupakan mahasiswa Sekolah tinggi Kedokteran  Ika Daigaku dan juga anggota Palang Merah Indonesia (PMI), yang berperan dalam membantu mengumpulkan obat-obatan dalam Perang Kemerdekaan.

6. Zuleika Rachman Masjhur Jasin

Zuleika merupakan anggota PMI Mobile Colonne setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Zuleika yang juga merupakan pemimpin mahasiswi Ika Daigaku juga ikut menyaksikan detik-detik proklamasi di jalan Pegangsaan Timur No. 56 itu.

7. Tokoh Perempuan Pejuang Revolusi Kemerdekaan: S.K Trimurti

Perempuan bernama lengkap Surastri Karma Trimurti ini merupakan perempuan asal Boyolali yang juga bekerja sebagai wartawan. Ia sangat gencar dalam melawan kolonialisme serta anti terhadap penjajahan Belanda. 

Ia lulus dari sekolah kelas dua untuk anak pegawai rendah Tweede Indiansche School. Sebelum menjadi seorang wartawan, S.K Trimurti pernah mengajar di sekolah-sekolah dasar di Surakarta, Bandung, Banyumas, serta Solo, pada 1930. Ia juga aktif dalam berpolitik dengan bergabung dalam sebuah partai bernama Partindo pada 1933.

Baca Juga: Perempuan Pemimpin dalam Film: Kurang Representasi, Diseksualisasi

SK Trimurti juga merupakan tokoh perempuan yang sering menyuarakan permasalahan perempuan dan ia percaya dengan revolusi kemerdekaan, perempuan bisa mencapai kebebasan sebagai warga negara. Ia juga pernah ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda karena menyebarkan pamflet anti-kolonialisme.

Setelah bebas dari penjara, S.K Trimurti aktif menulis dengan nama samaran dan terkenal kritis serta anti-kolonialisme. Salah satu koran tempat ia bekerja adalah Pikiran Rakyat dan bersama dengan suaminya ia pun menerbitkan koran Pesat, yang dilarang oleh pemerintah Jepang.

Dalam Proklamasi Kemerdekaan, ia diminta mengibarkan Bendera Pusaka Merah Putih, tetapi ia menolak dan merekomendasikan Latied Hendraningrat dari Peta (Pembela Tanah Air). Setelah Indoensia merdeka, ia menjadi Menteri Perburuhan pertama.

Read More
kepemimpinan perempuan pada era kolonial

Rasuna Said dan Soewarni Pringgodigdo: Contoh Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial

Penulis: Selma Kirana Haryadi

Buat sebagian orang, kepemimpinan perempuan era kolonial mungkin bak ide utopis tentang kesetaraan gender. Bagaimana mungkin Indonesia yang budayanya punya kecenderungan patriarkal, juga saat itu masih dijajah, memberikan ruang bagi perempuan di ruang publik? Ditambah lagi, tokoh besar pejuang kemerdekaan yang selama ini diperkenalkan berbagai instansi didominasi oleh laki-laki.

Tapi kenyataannya, selalu ada peran perempuan Indonesia dalam perjuangan ideologis, meski hampir di semua kasus keterlibatan itu harus direbut dan diperjuangkan mati-matian.

Di masa kolonialisme, perjuangan perempuan diawali di koridor pendidikan. Pada tahun  1900-an, ketika pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik etis sebagai wujud balas budi dan tanggung jawab dalam menjamin kesejahteraan bumiputra. Ada empat kebijakan yang diluncurkan, yakni irigasi (pengairan), imigrasi, dan edukasi. Salah satu perwujudan dari kebijakan edukasi itu adalah pembukaan sekolah modern bagi perempuan.

Satu karakter yang menonjol dari sekolah modern bagi perempuan ini adalah lokasinya selalu dibangun berdekatan dengan wilayah perkebunan, khususnya yang dijadikan sumber pemenuhan kebutuhan industrialisasi perkebunan kolonial. Hal ini tak lain dan tak bukan akal bulus pemerintah kolonial Belanda untuk meraih keuntungan material. Mereka membutuhkan pekerja kerani, atau juru catat, di perkebunan atau kantor usaha perkebunan untuk mendata keluar-masuk barang, serta inventaris. Sehingga, para perempuan disekolahkan untuk diajari baca tulis.

Semula hanya sebagai pelengkap keterampilan di dalam urusan-urusan rumah tangga, bekal ilmu baca tulis itu justru mentransformasi para perempuan Indonesia menjadi manusia kritis. Mereka gencar melakukan perlawanan terhadap adat atau kebiasaan kelompoknya yang menindas dan menomorduakan perempuan. Perjuangan itu dimulai dari perlawanan terhadap hal-hal yang ada di sekitar, seperti praktik poligami. Dari sini kemudian lahir pergerakan-pergerakan perempuan di ranah publik.

Kepemimpinan Perempuan Era Kolonial: Rasuna Sang Orator

Salah satu tokoh yang menonjol dalam kepemimpinan perempuan era kolonial adalah Rasuna Said, pemimpin perempuan Minang yang gencar menyuarakan semangat kesetaraan gender dan anti-kolonialisme. Gerakan-gerakan yang digagas dan dipimpinnya juga berhasil mengguncang “ketenangan” pemerintah kolonial. Meski tentu, bergerilya ideologi di negara yang masih dijajah dan belum terbiasa melihat geliat perempuan yang vokal dan kritis di ranah publik, melahirkan banyak tantangan bagi Rasuna. Tapi, ia membuktikan buah dan esensi penting dari semangat dan konsistensi untuk membela kemanusiaan.

 Selain aktif di berbagai organisasi dan gerakan berbasis Islam, seperti menjadi pendiri organisasi Persatoean Moeslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi, Sumatra Barat, Rasuna Said juga aktif bersuara dan bergerak di dunia jurnalisme. Lewat penelitiannya yangberjudul “The Emancipation of Information in Rasuna Said’s Struggle for Women’s Empowerment in Indonesia’ di buku In Search of Key Drivers of Indonesia Empowerment(2017)”, Andri Azis Putra menyebut bahwa Rasuna memiliki tulisan-tulisan yang tajam dan kritis dalam menyuarakan semangat anti-kolonialisme kepada kaum perempuan. Hal itu mengantarkan Rasuna menjadi pemrakarsa sekaligus pemimpin di beberapa surat kabar dan majalah, seperti menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya pada tahun 1935, sebuah majalah radikal yang kerap dikecam oleh pemerintah kolonial, Suntiang Nagari, serta majalah mingguan Menara Poetri pada tahun 1937.

Baca juga: Menjadi Pemimpin Efektif dengan Gaya Kepemimpinan Feminis

Kepemimpinan Rasuna bukan lantas berjalan lancar tanpa guncangan dari sana-sini, terlebih saat itu perjuangannya selalu mendapat pengawasan dari pemerintah kolonial. Berkali-kali Rasuna merasakan jatuh-bangun memimpin surat kabar dan majalah yang berakhir tragis karena tangan besi pemerintah kolonial. Pertama, majalah Raya yang dipimpinnya harus bubar karena disebut terlalu vokal. Padahal di bawah kepemimpinan Rasuna, majalah Raya berhasil menjadi salah satu tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Tapi polisi rahasia Belanda mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawannya.

Surat kabar Menara Poetri pimpinannya juga kritis menentang praktik penjajahan di Indonesia dan menyuarakan isu-isu kesetaraan gender serta perjuangan perempuan. Ketajaman pena Rasuna bahkan berhasil membawa Menara Poetri yang berbasis di Medan, Sumatera Utara, beredar hingga terkenal ke berbagai daerah di Indonesia sampai menembus Pulau Jawa, salah satunya di daerah Surabaya.

Kekritisan Rasuna bahkan mengantarkannya menjadi perempuan Indonesia pertama yang dipenjara atas tuduhan ujaran kebencian, karena sering berorasi untuk menentang pemerintahan dan politik praktis Belanda di Indonesia. Jurnalis Rosihan Anwar lewat bukunya Sejarah Kecil: Jilid 1 (2004) menyebut Rasuna Said sebagai perempuan yang cerdik berbicara dan mampu menguasai massa. Dua hal itulah yang menjadikan Rasuna ahli politik sekaligus orator yang kuat.

Soewarni, Sang “Feminis Galak”

Selain Rasuna Said, pada periode yang sama, ada pula pejuang perempuan bernama Soewarni Pringgodigdo yang beraliran sekuler. Alkisah, Kongres Perempuan Indonesia pertama yang dilaksanakan pada tahun 1928 mengecualikan isu politik dan keterlibatan perempuan di ruang publik dari pembahasan mereka. Kongres tersebut memutuskan untuk fokus membahas isu-isu sosial dan domestik. Perserikatan Perempuan Indonesia, asosiasi yang terbentuk di dalam kongres tersebut, juga kemudian mendeklarasikan dirinya netral secara politis dan religiositas. Hal ini membuat pemerintah kolonial merasa “tenang” karena konservatisme dan kenaifan perempuan bumiputera.

Tapi, pada tahun 1930, PPI yang diganti namanya menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII) mulai menjadikan penderitaan perempuan sebagai bahan kajiannya. Mereka mulai menyinggung isu eksploitasi pekerja perempuan dan perdagangan anak dan perempuan. Inilah awal mula gerakan perempuan yang bersifat politis secara eksplisit lahir. Salah satunya  dipengaruhi oleh organisasi perempuan bernama Isteri Sedar yang didirikan oleh Soewarni sendiri.

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu

Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Women and The Colonial State (2000) menyebutkan, berbeda dengan kebanyakan organisasi perempuan yang saat itu ada, di bawah kepemimpinan Soewarni, Isteri Sedar secara eksplisit menunjukkan ideologi organisasinya yang feminis-demokratis. Isteri Sedar menerbitkan majalah Sedar, yang memuat tulisan-tulisan mengenai kesetaraan gender, khususnya perlawanan terhadap poligami, kesetaraan peran dalam pernikahan, serta keadilan bagi perempuan di ranah publik dan domestik.

“Hanya orang-orang yang tidak modern dan tidak idealis-lah yang setuju bahwa laki-laki bisa mengikuti nafsu mereka dan mendukung poligami,” kata Soewarni dalam bukunya yang berjudul Perlindoengan dalam Perkawinan (1937).

Dalam salah satu tulisannya yang terbit tahun 1930, Istri Sedar mengkritisi pandangan arus utama mengenai pekerja perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan kelas-pekerja di Indonesia harus bekerja dalam jam-jam yang panjang menjadi pekerja rumah tangga di rumah-rumah untuk mendapatkan uang, dengan konsekuensi meninggalkan anaknya sendiri menderita.

Lewat bukunya yang berjudul Women and The State in Modern Indonesia (2004), Susan Blackburn menyebutkan, Istri Sedar di bawah pimpinan Soewarni juga gencar mengkritik konsepsi ibuisme di Indonesia yang hanya menekankan peran domestik ibu, tanpa banyak memperhitungkan realitas hidup perempuan kelas pekerja yang harus bekerja siang dan malam untuk menghidupi anak dan keluarganya.

Pemberian label galak dan ngegas terhadap para feminis ternyata sudah terjadi sejak zaman perjuangan Soewarni ratusan tahun silam. Seperti dikisahkan Blackburn dalam bukunya yang sama, Soewarni yang sangat membenci poligami dan sejak awal terang-terangan menyuarakannya, pernah berdebat dengan seorang delegasi Permi di dalam Kongres Perempuan Indonesia II tahun 1935. Waktu delegasi Permi itu menyampaikan pandangan setujunya terhadap poligami, Soewarni langsung menyanggahnya. Perdebatan berlangsung sampai suasana memanas dan membuat Soewarni dan delegasi Isteri Sedar lainnya nyaris meninggalkan tempat acara, yang akhirnya berhasil dihentikan panitia setelah menjanjikan bahwa isu persetujuan terhadap poligami itu tidak akan diungkit lagi di dalam kongres.

Di tengah-tengah perdebatan, Soewarni ditanyai mengenai alasan mengapa dirinya sangat menentang poligami, dan bagaimana bila suaminya sendiri memutuskan untuk menikah lagi. Dengan berapi-api, Soewarni menjawab bahwa dia akan “membunuh suaminya, lalu membunuh dirinya sendiri.” Alhasil, oleh banyak pihak, Soewarni disebut perempuan yang galak. Padahal, sikap kerasnya dalam menentang poligami dilandasi oleh keinginan untuk memiliki pernikahan yang aman dan stabil, yang diharapkannya juga bisa dimiliki oleh perempuan Indonesia lainnya.

Read More